Aplikasi Teori Humanistik dalam Interaksi - E

advertisement
Robingatun, Reaktualisasi Nilai-nilai Tasawuf
REAKTUALISASI NILAI-NILAI TASAWUF DALAM
MENATA KEHIDUPAN MODERN
Robingatun*
Abstract
Modernization era marked with the development of science and
technology as will as rationalism , empirism, and positivism have created a
crisis of spirituality, as shown by the degradation of people morality. It
was believed that modernity supported progressivity. But in contrast, it has
emerged a symptom of so called with the agony modernization.This is
because of no balancing improvement between physic and spirituality.
Therefore, if society then return to religious values, especially
Sufism, as shown by the growing of society enthusiasm to Sufism. The
Sufism as a dimention of spiritual in Islam need to be actualized in
arranging this modern life so that it will be able to place human being on
the stage “ummatan wasathan” namely. People residing in the middle of,
far from extreme materialism attitude and of extreme spirituality.
Kata Kunci : Tasawuf, kehidupan modern
Pendahuluan
Kehidupan modern sebenarnya berawal sejak pecahnya revolusi
industri di Barat pada abad ke 17, yang sampai sekarang telah
mendominasi kehidupan manusia. Kehidupan modern saat ini juga
merupakan pengembangan dari kebudayaan Yunani Purba yang
mendasarkan pada berfikir rasional dan ilmiah. Yang kemudian diolah dan
dikembangkan oleh orang Eropa menjadi canggih dan melahirkan
kebudayaan barat yang modern ini. Cara berfikir yang rasional dan ilmiah
ini menjadi salah satu cirri masyarakat modern. Ciri yang lain yang sangat
menonjol adalah sikap hedonistic dan materialistic. Ini berarti nilai-nilai
spiritual yang immaterial di abad klasik menjadim idola umat telah
berubah total dan digantikan oleh nilai-nilai bendawi yang material.
Banyak orang berebut kekayaan dan kekuasaan yang bersifat duniawi yang
fana dan temporer demi memenuhi kenikmatan sejenak. Untuk tujuan
tersebut mereka mengorbankan harga diri, saling memfitnah, dan bahkan
saling membunuh demi kepentingan pribadi. Gaya hidup penuh kekerasan,
provokator, dan beberapa tindak kriminal selalu mewarnai kehidupan
*
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
1
Robingatun, Reaktualisasi Nilai-nilai Tasawuf
mereka. Kesejukan, keindahan, kedamaian, dan kepuasan berkomunikasi
dengan sang Kholiq tidak lagi dirasakan, bahkan hilang dari kehidupan
mereka.
Kemajuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan tehnologi
seiring dengan dominasi rasionalisme, empirisisme, dan positivisme
ternyata telah membawa manusia pada situasi krisis spiritualitas yang
menimbulkan kegersangan rohani. Kemajuan di bidang informasi dan
komunikasi telah mampu menghilangkan batas ruang dan waktu antara
individu satu dengan lainnya, antara negara satu dengan lainnya, tetapi
komunikasi antara manusia dengan tuhan semakin jauh dan memperkuat
tabir yang menyelimuti hamba dengan kholiqnya. Padahal antara hamba
dengan kholiq tidak ada tabir, hanya manusia sendirilah yang menciptakan
tabir dan menutup dirinya untuk tuhannya.
Krisis spiritualitas ini terjadi karena hilangnya keseimbangan antara
peradaban dunia yang berkembang pesat dengan kesadaran spiritualitas
agama. Kemajuan nilai –nilai dunia tidak dibarengi dengan nilai-nilai
ukhrowi. Nilai-nilai ukhrowi yang dihidupkan oleh para sufi di abad klasik
terasa mulai termarginalkan bahkan tercabut dari akarnya dan digantikan
dengan nilai-nilai materialistic dan hedonistic.
Untuk mengatasi krisis spiritual dengan fenomena-fenomena social
di atas perlu dihadirkan kembali nilai-nilai tasawuf dalam menata
kehidupan modern ini, yang dapat mengantarkan manusia pada kehidupan
yang sempurna demi tercapainya kebahagiaan di dunia dan akherat.
Kegersangan Spiritual Masyarakat Modern
Perubahan yang mendalam yang dihadapi umat manusia pada abad
ini merupakan kelanjutan seluruh proses modernisasi dunia. Sepanjang
sejarah masalah modernisasi selalu diikuti oleh perjuangan untuk
mengadakan perubaha di seluruh lini kehidupan manusia, baik di bidang
social, kebudayaan, serta penyesuaian kepada nilai-nilai moral. Laju
perubahan yang begitu pesat di abad modern ini memposisikan umat
beragama untuk menghadapi beberapa tantangan yang ditimbulkan akibat
modernisasi. Dengan melihat berbagai bentuk kehidupan keagamaan yang
ada saat ini, dapat dibuat generalisasi bahwa semua agama mengajarkan
tanggung jawab baik secara pribadi maupun tanggung jawab social.
Agama merupakan suatu cara manusia untuk menemukan makna
hidup dari dunia yang menjadi lingkungannya. Tetapi makna hidup dan
dunia ini menjadi sulit diterangkan karena ditimbulkan oleh masalahmasalah yang muncul akibat dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai ciri-ciri utama abad modern yang secara tak terbendung mengubah
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
2
Robingatun, Reaktualisasi Nilai-nilai Tasawuf
bentuk dan jaringan masyarakat serta lembaga-lembaganya. Pada abad
modern, nilai berganti dengan cepat, begitu pula dengan cara hidup. Semua
itu sebagai akibat timbulnya rasa tidak menentu serta kejutan-kejutan, dan
memisahkan manusia semakin jauh dari kepastian moral dan etis
tradisional. Inilah tantangan-tantangan yang di hadapi agama-agama.1
Dengan tanpa mengingkari berbagai kemajuan dan keberhasilan di
abad modern telah pula melahirkan manusia yang tidak sempurna, pincang,
hanya berorientasi kekinian (duniawi), mengingkari spiritualitas dan
agama. Manusia yang tidak sempurna ini selanjutnya menghasilkan
perubahan social budaya baik secara evolusi maupun revolusi. Setiap
perubahan yang tidak dilandasi pegangan hidup dan tujuan hidup yang
kuat akan menimbulkan krisis. Sebab hilangnya keyakinan dan
ketidaktentuan dalam proses perubahan akan mengakibatkan
ketidakpastian,
ketidakpastian
akan
menyebabkan
kesangsian,
kebimbangan yang akan melahirkan kegelisahan dan akhirnya muncul
ketakutan.2 Banyak orang menyangka dan terpukau bahwa dengan
modernisasi itu serta merta akan membawa kesejahteraan, tetapi ternyatta
dibalik modernisasi yang serba gemerlap itu ada gejala yang dinamakan
the agony modernization, yaitu adzab sengsara karena modernisasi.3 Adzab
sengsara tersebut nampak dengan semakin meningkatnya tindak kriminal
berupa perkosaan, perjudian, penyalahgunaan obat terlarang, stress dan
sebagainya. Gejala psikosocial tersebut disebabkan semakin modern suatu
masyarakat yang tidak didasari oleh pegangan hidup yang kuat. Sayyed
Hosain Nasr menyayangkan lahirnya keadaan tersebut dan ia menyebut
manusia yang hidup dalam kegersangan spiritual tersebut sebagai the
plight of modernmen (nestapa orang-orang modern).4
Perhatian yang berlebihan terhadap orientasi nilai-nilai duniawi
menjadikan tidak adanya keseimbangan antara kehidupan dunia yang
semakain pesat dengan spiritualitas agam yang semakin termarginalkan.
Dengan demikian modernisasi menyisakan ruang kosong dari kehidupan
manusia yang hakiki, yaitu dimensi spiritual menjadi gersang. Modernisai
1
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan,
1991), hal. 156.
2
Sidi Gazalba, Islam dan Perubahan Sosial Budaya, (Jakarta: Pustaka al-Husna,
1983), hal. 251 – 252 .
3
Amin Syukur dan Abdul Muhaya, “Kata Pengantar” dalam Tasawuf dan Krisis,
(Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. VII.
4
Sayyed Hosain Nasr, Islam and The Plight of Modernmen, Terjemahan Annas
Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1987), hal. 15.
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
3
Robingatun, Reaktualisasi Nilai-nilai Tasawuf
dipandang telah gagal dalam memberikan kehidupan yang lebih bermakna
kepada manusia.
Pemberdayaan Nilai-nilai Tasawuf dalam Modern
Dalam suasana kehidupan yang menyesakkan kemerdakaan nurani,
masih banyak tokoh-tokoh dan pemikir yang menyuarakan harapan, bahwa
pesan-pesan sufisme lebih urgen di dunia yang semakin materialistikkonsumeristik ini. Dalam perkembangan masyarakat seperti ini tidak
cukup hanya dengan sekedar literalisme doktriner keagamaan belaka,
tetapi masyarakat masa kini memerlukan pengalaman keagamaan yang
lebih intens, lebih menusuk dalam pencarian nilai dan makna.5 Tetapi yang
terjadi bahwa ditengah-tengah memuncaknya teknologi modern dewasa
ini, agama masih saja diterangkan dan dijabarkan secara tradisional dan
dogmatis, tenaga energi agama tak pernah lagi kelihatan. Pembinaan
agama hanyalah pada bidang-bidang dhohir seperti fiqih, ilmu Mantiq,
Tafsir, Bahasa Arab dan sebagainya. Sedangkan pembinaan terhadap
nyawa agama yang mengandung energi, dari Islam itu sendiri yaitu bidang
tasawuf masih diabaikan.6
Mengamati trend kehidupan dengan gaya hidup materialistichidonistik yang mengakibatkan ketidak sempurnaan dan kepincangan
kehidupan manusia di abad modern ini nampaknya dipandang perlu untuk
mengisi kekosongan spiritualitas yang disisakan oleh kehidupan modern
yaitu dengan mengaktualisasikan kembali nilai-nilai tasawuf yang pernah
jaya diabad-abad klasik.
Eksistensi Tasawuf dalam Lintas Sejarah
Dalam sejarah pemikiran Islam dan perkembangan peradaban
muslim dikenal paling tidak empat pola keberagamaan yang masingmasing menekankan aspek tertentu dari ajaran Islam, yaitu aspek aqidah
(teologis), fiqih (legal-normatif), falsafah-hikmah (filosofis), dan tasawuf
tarekat (mistisisme-spiritualisme). Masing-masing pola keberagaman telah
menumbuh kembangkan tradisi dan melahirkan berbagai aliran (madzab)7
5
6
7
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), hal. 230.
Budi Santoso, “Islam Kaffah Sebagai Fundamen Masyarakat Madani” dalam
Seminar Tasawuf Reaktualisasi Nilai-nilai Tasawuf dalam Menata Kehidupan
Modern, (Surakarta: 29 Januari 2005), hal. 2.
Nur A Fadhil Lubis, “Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indonesia” , dalam
Semniar Nasional Tasawuf Reaktualisasi Nilai-nilai Tasawuf dalam menataa
Kehiduopan Modern, (Surakarta 29 Januari 2005), hal. 5.
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
4
Robingatun, Reaktualisasi Nilai-nilai Tasawuf
Dalam perkembangan keempat pola tersebut telah diwarnai beberapa
konflik kekerasan terhadap keberadaan masing-masing.
Term tasawuf dikenal secara luas di kawasan Islam sejak
penghujung abad dua hijriyah.8 Tetapi hakekat tasawuf yang berupa
praktek-praktek rukhaniah sudah ada sejak Nabi dan para Sahabatsahabatnya yang nyata dalam kepribadian Nabi dan sahabatnya yang
sangat sederhana seperti Abu Dzar al-Ghifari, Abu Darda’, Salman al-Faris
dari Persi dan lain-lain. Menurut Umar Ibrahim, pengetahuan dan
kesadaran spiritualisme pada masa ini seimbang (tawazun) dengan
orientasi profetik, artinya pengetahuan dan kesadaran tersebut
diaktualisasikan dalam pengamalan riel (amal sholeh) di semua lini
kehidupan umat dan tidak hanya di fokuskan bagi spiritualisme semata.
Bahkan pada waktu itu pengetahuan dan kesadaran tersebut berakibat
secara langsunng pada pembangunan etika, yang mampu menggerakkan
atau menyemarakkan kehidupan umat secara menyeluruh.9
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah tatkala terciptanya
imperium yang semakin luas dengan pola kehidupan yang penuh dengan
kemewahan dunia, maka kesadaran spiritualitas pada waktu itu
diaktualisasikan dalam bentuk kehidupan zuhud (asketisme). Kehidupan
zuhud tersebut sebagai reaksi terhadap kehidupan yang sekuler dan sikap
penguasa dinasti Umayyah di istana yang kebanyakan bersikap kontras
dengan kesalehan dan kesederhanaan yang diajarkan oleh Islam.10 Sebagai
perkembangan lanjut dari kehidupan zuhud tersebut ditunjukkan dengan
sikap mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan hidup
rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan dunia. Tokoh popular pada
gerakan ini antara lain Hasan al Bashri (w.110H), Rabiah al Adawiyah
(w.185 H), serta Ma’ruf al Karkhi (w. 200 H).
Sejak abad III dan IV Hijriah, tasawuf berkembang dengan sangat
pesatnya. Pengalaman religius dinyatakan dalam berbagai corak dan gaya,
sehingga muncul berbagai faham atau aliran dalam tasawuf, seperti
ma’rifat, fana’-baqa’, ittihad, hulul dan sebagainya. Aliran-aliran tasawuf
ini sudah dipengauhi oleh pemikiran filsafat dan telah mencapai peringkat
tertinggi dalam perjalanan rohaniahnya menuju Allah yaitu persatuan
8
Al-Qusyairi, Al-Risalah al-Qusyairiyah, (Kairo, tp., 1966), hal. 138.
Umar Ibrahim, “Mengaktualisasikan Nilai-nilai Sufistik dalam Kehidupan
Modern”, dalam Seminar Nasional Tasawuf Reaktualisasi Nilai-nilai Tasawuf
dalam Menata Kehidupan Modern, (Surakarta 29 Januari 2005), hal. 3.
10
Ibid.
9
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
5
Robingatun, Reaktualisasi Nilai-nilai Tasawuf
hamba dengan sang kholiq. Dalam hal ini Rivay Siregar membedakan
tasawuf ke dalam dua aliran, yaitu tasawuf sunni dan tasawuf falsafi.11
Munculnya ragam tasawuf falsafi telah mengundang kontroversi
diantara para sufi sendiri yang mengarah kepada pertentangan dan
pertarungan diantara para sufi falsafi dengan ulama Sunni. Pertentangan
tersebut akhirnya dapat dikompromikan oleh tokoh-tokoh Sunni, seperti alQusyairi (456 H) al-Harawi (396 H), dan al-Gazali (450 – 505 H). Oleh
karena tiu tasawuf pada abad ini cenderung mengadakan pembaharuan
atau disebut sebagai masa konsolidasi, yaitu periode pemantapan dan
pengembalian tasawuf pada landasannya (Al-Qura’an dan Al-Hadits).12
Pengaruh al-Gazali sangatlah kuat dalam perkembangan tasawuf
selanjutnya.
Pemikiran-pemikirannya
mampu
menata
kembali
keharmonisan antara bagian-bagian dari Islam yang sebelumnya difahami
dan diamalkan secara terpisah-pisah sertta mampu membersihkan tasawuf
dari unsur-unsur tidak Islami, sehingga tasawuf dapat diterima sebagai
bagian integral dari ajaran Islam.
Pada abad VI H dan dilanjutkan abad VII H, muncul cikal bakal
tarekat. Tasawuf dalam bentuknya tarekat telah terorganisasi. Organisasi
ini memiliki hirarki kepemimpinan, inisiasi atau baiat, formula dzikir dan
silsilah yang diyakini sampai kepada Nabi. Tasawuf yang semula
merupakan fenomena individual yang spontan berubah menjadi terstruktur
dan terlembagakan sehingga terjadi proses pemassalan.13 Pasca abad VI H
ini dunia Islam didominasi oleh tarekat yang memainkan peran besar
dalam kehidupan sosial politik. Tasawuf dalam bentuknya yang
terorganisir, juga berfungsi sebagai suatu protes melawan tirani politik.14
Diantara tarekat-tarekat yang berkembang sampai dengan sekarang antara
lain, tarekat Qodiriyah oleh Abd. Al-Qodir al-Jaelani (471 – 561 H),
tarekat Suhrowardiyah oleh Syihab al-Din Umar Ibn Abdillah alSuhrowardy (539 –631 H), tarekat Rifa’iyyah oleh Ahmad rifa’I (52 H),
Perbedaan kedua aliran ini terletak pada tujuan “antara”, yaitu maqam tertinggi
yang dapat dicapai seorang sufi. Yang dimaksud tujuan “antara” adalah
terciptanya komunikasi langsung antara makhluk dengan kholiq. Bagi tasawuf
sunni antara makluk dengan kholiq tetap ada jarak yang tak terjembatani,
sedangkan bagi tasawuf falsafi manusia seesensi dengan tuhan karena tercipta
dari esensi-Nya. Lihat Rivay siregar, Tasauf .., hal.55-56.
12
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal.
36.
13
Fazlur Rahman, Islam, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), hal. 209.
14
Ibid, hal. 240.
11
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
6
Robingatun, Reaktualisasi Nilai-nilai Tasawuf
tarekat Naqsabandiyyah oleh Muhammad Ibn Baha’ al-Din al-Uwaisi alBukhori (717 – 791 H), dan sebagainya.
Perkembangan tasawuf dan tarekat mempunyai sisi positif dan
sekaligus memunculkan sisi negatifnya. Pengkultusan terhadap Syeikh
dalam suatu tarekat merupakan sasaran kritik yang dilontarkan oleh para
pembaharu (modernis) dalam Islam atau bahkan dari tasawuf itu sendiri.
Dalam perkembangannya, disatu sisi tasawuf merupakan gerakan
reaksioner spiritual terhadap keadaan social, politik dan praktek agam yang
menyimpang, tetapi disisi lain tasawuf berkembang menjadi institusi yang
terlembagakan (tarekat) yang berperan aktif dalam kancah politik.
Aktualisasi Nilai-nilai Tasawuf
Pada masa modern ini, tasawuf yang merupakan dimensi spiritual
dalam Islam apakah mampu mengaktualisasikan nilai-nilai sufistiknya
dalam konteks jamannya?. Tentu saja nilai-nilai tasawuf tidak mungkin
bertahan dalam bentuk yang kaku, tetapi harus ditempatkan dalam posisi
dialog dengan perkembangan jaman. Dalam rangka dialog tersebut kita
harus melihat kecenderungan masyarakat di masa kini dan masa depan,
serta pengaruhnya terhadap kehidupan.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi serta industrialisasi
terus melaju dengan pesat dan irreversible (sulit dirubah), serta
memberikan warna penentu peradaban manusia. Manusia sebagai
pelakunya merupakan penentu penting dalam mewarnai peradaban
tersebut. Oleh karena itu , masalah-masalah moral dan etika akan ikut
mempengaruhi pilihan strategis dalam mengembangkan peradaban
modern, kini dan mendatang. Untuk itu tasawuf harus dapat
diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam menata kehidupan modern
ini. Ajaran-ajaran tasawuf harus berfungsi sebagai pendorong untuk
meningkatkan etos kerja dan bukan sebagai pelarian ketidak berdayaan
masyarakat dalam mengatasi tantangan kehidupan, serta tasawuf harus
berfungsi sebagai tali penghubung dengan Tuhan.15 Untuk itu tasawuf
yang dulunya difahami bersifat individual, pinggiran dan tidak mempunyai
rasa tanggung jawab social harus diubah dan di sesuaikan dengan tuntutantuntutan
perkembangan jaman. Pada masa sekarang ini tasawuf
dihadapkan pada tanggung jawab social yang nyata yang meliputi aspek
spiritual psikologis, politik, moral, intelektual, ekonomi dan sebagainya.
Aspek spiritual tasawuf bisa memberikan kesejukan kepada masyarakat
terutama pada masa kritis. Aspek psikologis dapat memberikan solusi bagi
problem penyakit modern dan kejiwaan (seperti; stress, hasud, dengki dan
15
Umar Ibrahim, Mengaktualisasi………….., hal. 7 – 8.
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
7
Robingatun, Reaktualisasi Nilai-nilai Tasawuf
sebagainya). Aspek politis tasawuf dituntut untuk dapat memecahkan
ketidakadilan dan pemihakan terhadap kaum dhu’afa’. Dengan
pemahaman menyeluruh tersebut tasawuf bisa tetap actual dan eksis
karena bersifat praktis dan fungsional bagi kehidupan manusia.
Tasawuf adalah bagian dari syariat Islam, yaitu wujud dari ihsan.
Oleh karena itu perilaku tasawuf harus tetap berada dalam kerangka syariat
Islam. Tasawuf sebagai perwujudan dari Islam berarti beribadah kepada
Allah seakan-akan melihat-Nya, dan apabila tidak mampu melihat-Nya
maka harus disadari bahwa Dia melihat diri kita. Ini merupakan kwalitas
penghayatan seorang terhadap agamanya. Dengan demikian tasawuf
bertujuan membangun dorongan-dorongan yang terdalam pada diri
manusia, yaitu dorongan untuk merealisasikan diri secara menyeluruh
sebagai makhluk , yang secara hakiki adalah bersifat kerohaniahan dan
kekal. Tidak sekedar esoteris, ganjil dan hayali, tetapi justru sublim,
universal dan benar-benar praktis. Tasawuf mampu menawarkan
pembebasan spiritual, mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan
akhirnya mampu mengenal Tuhannya. Hal ini merupakan pegangan hidup
yang paling terpercaya, sehingga manusia tidak terombang ambing badai
kehidupan dan menuntun manusia menuju hidup yang bermoral, sehingga
mampu menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk termulia di muka
bumi.16 Dengan demikian tasawuf bisa menyelematkan manusia dari sifat
materialisme ekstrem dan spiritualisme ekstrem. Tasawuf mampu
menempatkan umat pada posisi moderat dan berada di tengah (ummatan
wasatan).
Dalam hal ini Quraish Shihab memberikan pengertian ummatan
wasatan adalah umat yang moderat yang posisinya berada di tengah,
sehingga dapat dilihat semua fihak dan dari segala penjuru. Pada posisi
ummatan wasatan ini manusia tidak hanyut dalam materialisme dan tidak
membumbung tinggi ke dalam rohani. Posisi ini telah mampu memadukan
aspek rohani dan jasmani, materiil dan spirituil dalam segala sikap dan
aktifitas.17
Untuk mewujudkan umatan wasatan memang diperlukan nilai-nilai
moral yang mampu membangunkannya. Nilai-nilai moral yang dimaksud
adalah jalan mistik sebagai jalan yang dilewati oleh sufi dalam upaya
pendekatan diri pada Tuhannya. Dalam bahasa tasawuf nilai-nilai moral
sebagai jalan mistik tersebut mengarah pada pengertian maqomat.18
16
Amin Syukur, Mengenal Tasawuf, hal. 2.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 328.
18
Secara etimologi “maqom” berarti “tempat berdiri”, dalam terminology
tasawuf berarti tempat atau martabat seorang hamba di hadapan Allah pada
17
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
8
Robingatun, Reaktualisasi Nilai-nilai Tasawuf
Maqomat merupakan proses training melatih diri dalam hidup
kerohaniahan (riyadlah), memerangi hawa nafsu (mujahadah) dan
melepaskan kegiatan dunia untuk semata-mata berbakti kepada Allah.19
Oleh karena itu maqomat mempunyai tiga tahapan proses
pembelajaran untuk sampai kepada tujuan ideal tasawuf. Pertama,
mengosongkan dan membersihkan diri dari sifat-sifat keduniawian,
termasuk di dalamnya segala bentuk kemungkaran dan kemaksiatan, yang
dikenal dengan istilah takhliyah. Tahapan ini dimaksudkan untuk
mengetahui dan menyadari betapa buruknya sifat-sifat tercela dan kotorankotoran hati. Kedua, mengisi kembali dan menghias jiwa dengan jalan
membiasakan diri dengan sifat, sikap dan perbuatan yang baik, dikenal
dengan istilah tahliyah, tahap ini bertujuan membina pribadi agar memiliki
akhlak terpuji, seperti tauhid, taubat, zuhud, wara’, cinta, sabar dan
sebagainya. Tahapan ketiga adalah tajliyah, yaitu stratifikasi dimana hati
telah bersih yang berdampak pada lenyapnya hijab dari sifat kemanusiaan
dan tersembulnya sinar Ilahi dalam pribadi seseorang sufi, sehingga segala
hal yang terlaksana pada dasarnya merupakan manisfestasi dari Tuhan.20
Dalam konteks kehidupan modern, aktualisasi nilai-nilai moral
ditujukan pada adanya keseimbangan ingatan kepada Allah yang terjadi
pada proses takhalli dan tahalli yang pada gilirannya terwujud
kesempurnaan pengabdian kepada Allah menjalankan tugas kholifah di
muka bumi.
Proyeksi Masa Depan Tasawuf
Dari perubahan di atas bisa dikatakan bahwa sepanjang sejarah
tasawuf tidak pernah tercabut dari akar keislaman, walaupun benturan,
tantangan dan hambatan baik dari dalam maupun luar Islam selalu
mewarnai perjalanan tasawuf. Seirama dengan abad kebangkitan umat
Islam, ternyata bangkit pula gerakan spiritualitas Islam.
Dari pragmentasi kesejarahan peradaban Islam memperlihatkan
bahwa rasionalitas Islam selalu melahirkan pendangkalan moralitas,
sementara itu Islam tidak mungkin diaktualkan hanya dengan kecanggihan
rasional dan juga tidak mungkin hanya dengan kelembutan kalbu nurani.
Islam hanya bisa difahami dan diaktualkan secara utuh dengan
menyerahkan segenap ekspresi insani, baik secara esoteris maupun
saat ia berdiri menghadap kepada-Nya. Tentang macam dan urutan maqom
literature tasawuf tidak selamanya memberikan susunan yang sama.
19
Imam Taufiq, “Maqomat dan Ahwal (Tinjauan Methodologis)” dalam Tasawuf
dan Krisis, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 131.
20
Ibid, hal. 132.
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
9
Robingatun, Reaktualisasi Nilai-nilai Tasawuf
eksoteris. Semisal Fazlur Rahman yang mempelopori gerakan Neo
Sufisme. Gerakan ini menekankan pada motif moral memiliki penerapan
metode dzikir dan muroqobah dengan tujuan mendekati Allah yang
disejajarkan dengan doktrin syari’ah.21
Dalam suatu survei yang dilakukan oleh Sayyid Husein Nashr
belum lama ini menyimpulkan bahwa dalam beberapa dekade terakhir ini
sufisme mengalami kebangkitan di dunia muslim seperti, Syiria, Iran,
Turki, Pakistan sampai Asia Tenggara. Terdapat peningkatan signifikan
dalam minat terhadap tasawuf, terutama di kalangan pendidik.
Meningkatnya minat masyarakat terhadap tasawuf dapat dilihat dari
fenomena-fenomena sosial yang muncul saat ini, di antaranya banyak
bermunculan kajian-kajian/kursus-kursus seperti yang dilakukan oleh
LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat), jurnal-jurnal tasawuf dan
sebagainya. Di dunia selebritis muncul penyair-penyair sufistik sepertti
Emha Ainun Najib, dan masih banyak lagi.
Kalau kita cermati perjalanan perkembangan keberagamaan di
kalangan pengamal tasawuf dan pengikut tarekat di Indonesia setelah
kemerdekaan telah terjadi banyak perubahan atau pergeseran. Penelitian
yang dilakukan di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa
tidak seorangpun dari mursyid tarekat yang ada yang mengamalkan pola
hidup faqir dan zuhud seperti dalam pemahaman tasawuf klasik.22
Fasilitas-faslitas peribadatan yang digunakan telah mempergunakan
teknologi canggih. Perubahan lain yang terjadi adalah bergesernya pola
keberagamaan esoteric (tasawuf/tarekat) yang dulunya banyak diamalkan
oleh masyarakat tradisional dan kehidupan desa, beberapa tahun
belakangan sudah menyentuh masyarakat modern dan telah menarik
perhatian kalangan profesional modern, termasuk insinyur, pengacara,
ekonom, saintist dan birokrat.23 Dengan meningkatnya minat masyarakat
terhadap tasawuf belakangan ini, maka prediksi terhadap fungsi pola
keberagamaan spiritual akan memudar bahkan eksistensi relegius mistis
akan terancam dengan dominannya landasan berfikir rasional empiris dan
pola kehidupan materialistis-hedoistis sebagaimana yang terjadi pada
masyarakat modern ternyata tidak terbukti. Malahan yang terjadi justru
sebaliknnya, semakin modern pola hidup masyarakat maka semakin
dibutuhkan nilai-nilai spiritual dari tasawuf untuk mengisi kekosongan di
dunia modern. Untuk itu perlu dilakukan reinterpretasi dan reaktualisasi
21
H.A. Rivay Siregar, Tasawuf dariSufisme Klasik Ke Neo Sufisme, hal. 263.
Kharisudin Aqib, Al-Hikmah; Memahami Teosofi Tarekat Qodiriyah wa
Naqsabandiyah, (Surabayaa: Bina Ilmu, 2004), hal. 32.
23
Nur A. Fadil Lubis, Sejarah…………………, hal. 13.
22
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
10
Robingatun, Reaktualisasi Nilai-nilai Tasawuf
nilai dasar tasawuf terdahulu ke arah interpretasi yang sesuai dengan
konteks kekinian.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sepanjang sejarah
menunjukkan bahwa tasawuf tidak pernah tercabut dari akarnya, walaupun
banyak tantangan, hambatan, baik dari dalam maupun dari luar. Seirama
dengan abad kebangkitan (modernisasi0, maka bangkit pula gerakangerakan spiritualitas Islam. Hal ini menegaskan bahwa kehadiran tasawuf
telah membawa dukungan yang sangat positif bagi pembinaan moralitas
yang karimah dan intensitas penghayatan keislaman. Oleh karena itu dalam
menghadapi derasnya arus modernsasi yang ternyata telah menyisakan
ruang kosong dari sisi kehidupan manusia, yaitu dimensi rohaniah, maka
nilai-nilai dasar tasawuf atau term-term tasawuf harus diaktualisasikan ke
dalam konteks kekinian. Dengan aktualisasi tersebut akan mampu
menempatkan manusia pada posisi ummatan wasatan, yaitu umat yang
moderat yang terselamatkan dari sifat materialisme ekstrem dan
spiritualisme ekstrem.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Yogjakarta: Pustaka pelajar, 2002.
Amin Syukur dan Abdul Muhayya, Tasawuf dan Kritis, Yogjakarta:
Pustaka Pelajar, 2001.
Budi santoso, “Islam Kaffah sebagai Fondamen Masyarakat Madani”
dalam Seminar Nasional Tasawuf Reaktualisasi Nilai-Nilai
Tasawuf dalam menata Kehidupan Modern,Surakarta: 29 Januari
2005.
Fazlur Rahman, Islam, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987.
Imam Taufiq, “Maqamat dan Ahwal (Tinjauan metodologis)” dalam
Tasawuf dan Kritis, Yogjakarta: Pustaka pelajar, 2001.
Kharisuddin Aqib, Al-Hikmah; Memahami Teosofi tarekat Qodiriyah dan
Naqsabandiyah, Surabaya: Bina Ilmu, 2004.
Nur A. fadhil lubis,”Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indonesia”, dalam
Seminar Nasional Tasawuf Reaktualisasi Nilai-Nilai Tasawuf
dalam Menata Kehidupan Modern, Surakarta: 29 januari 2005.
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung:
Mizan, 1991.
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
11
Robingatun, Reaktualisasi Nilai-nilai Tasawuf
Quraish Shihab, Wawasan Alquran, Bandung: Mizan, 1996.
Al-Qusyairi, Al-Risalah al-Qusyairiyah, Kairo: tp. , 1966.
Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: Raja
grafindo Persada, 2000.
Sayyed Hosain Nashr, Islam and The plight of Modernmen, terjemahan
Annas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1987.
,Sidi Gazalba, Islam dan perubahan Sosial Budaya, Jakarta: Pustaka alHusna, 1983.
Umar Ibrahim, “Mengaktualisasikan Nilai-Nilai Sufistik dalam Kehidupan
Modern”, dalam Seminar Nasional Tasawuf Reaktualisasi NilaiNilai tasawuf dalam Menata kehidupan Modern, urakarta: 29
januari, 2005.
Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005
12
Download