spiritualisme dalam pembelajaran ips

advertisement
ANTARA
TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL DAN IPS
DI INDONESIA**
Oleh Sardiman AM
(0811255660)
Pendahuluan
Menelaah tentang rumusan tujuan pendidikan nasional dikaitkan dengan
penyelenggaraan pendidikan IPS di lapangan, sangatlah menarik. Dengan telaah ini
diharapkan kita semua menjadi sadar tujuan, bahwa setiap aktivitas pendidikan yang kita
lakukan itu perlu memperhatikan bagaimana arah dan tujuan yang telah ditetapkan.
Tetapi kenyataannya jarang yang demikian. Di Indonesia, para pelaku pendidikan di
sekolah lebih banyak memperhatikan isi materi atau SK dan KD. Akibatnya, pedidikan
itu kurang bermakna bagi kehidupan.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa kondisi pendidikan kita masih belum seperti yang
diharapkan. Pemerintah memang telah melakukan berbagai perbaikan, misalnya: adanya
peningkatan anggaran pendidikan, pembudayaan IT, adanya sekolah berstandar
internasional, dilaksanakannya ujian nasional (sekalipun ada pro dan kontra), program
sertifikasi guru (yang belum sepenuhnya memenuhi sasaran sebagai upaya peningkatan
kualitas), juga adanya penyempurnaan kurikulum terkait dengan dikeluarkannya Permen
no. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, dan Permen no. 23 tentang Standar Kompetensi
Lulusan (SKL), yang kemudian melahirkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), termasuk sudah barang tentu untuk mata pelajaran IPS. Namun kenyataannya,
perbaikan Standar Isi untuk bidang IPS belum begitu memuaskan bila dikaitkan dengan
hakikat pembelajaran IPS yang sesungguhnya. Pelajaran IPS tetap dipandang sebagai
hal yang tidak penting dan disepelekan, oleh masyarakat, karena tidak di UN-kan.
Pelajaran IPS terlalu sarat materi, bersifat kognitif dan hafalan. Karena bersifat hafalan,
pembelajaran IPS menjadi menjemukan, tidak menarik dan justru dipandang sebagai
beban bagi peserta didik.
2
Kini reformasi sudah berlangsung sekitar 12 tahun. Upaya-upaya untuk memperbaiki
kualitas pendidikan ternyata belum membuahkan hasil yang signifikan. Karena derasnya
pengaruh lingkungan, kegiatan pendidikan umunya menghadapi kesulitan dalam
membina peserta didik menjadi generasi muda yang cerdas dan sekaligus beriman,
berakhlak mulia, serta berkepribadian Pancasila. Mengapa demikian, adakah yang salah
dengan pendidikan kita? Dari pertanyaan-pertanyaan ini marilah kita membuat refleksi.
Di Antara Dua Aliran
Secara historis, bangsa Indonesia sejak era pra aksara sudah merintis perikehidupan
yang menganut paham sosialisme-religius. Nilai-nilai dalam paham itu kemudian diakui
sebagai bagian dari nilai-nilai keindonesiaan, yang oleh Bung Karno digali dan
dirumuskan menjadi bagian dari sila-sila Pancasila. Hal ini dapat dikatakan bahwa
aslinya bangsa Indonesia itu memang religius. Oleh karena itu, para founding fathers
telah merumuskan rambu-rambu penyelenggaraan pendidikan juga tidak dapat
melepaskan dari aspek keagamaan. Sebagai bukti dapat kita lihat pada berbagai rumusan
tujuan pendidikan nasional. Sebagai contoh pada UU
No. 20, tahun 2003 tentang
Sisdiknas, dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Mencermati rumusan tujuan pendidikan tersebut, jelas ada keinginan besar agar
kegiatan pendidikan melahirkan insan-insan yang seimbang antara kehidupan jasmani
dan rohaninya, sebagai gambaran manusia Indonesia seutuhnya. Dalam bahasa yang lain,
rumusan tujuan pendidikan nasional kita itu berada dia antara dua kontinum paham
budaya, Semitisme dan Hellenisme. (lih. M. Numan Soemantri, 2001: 3-4). Budaya
Semitisme merupakan budaya yang memandang bahwa ”keimanan” lebih penting dari
”pikiran” dan aktivitas fisik manusia. Kebenaran dan kepastian ditentukan oleh agama.
Pengaruh dari budaya Semitisme ini dapat membangkitkan ruh pengembangan IPTEKS
yang warisannya dapat disaksikan seperti di Andalusia (Spanyol). Di Indonesia dapat
3
dilihat pada kejayaan nilai-nilai budaya dan bangunan Hindu-Budha, Wali Songo dan
nilai-nilai budaya masa Kerajaan Islam. Sebaliknya budaya Hellinisme berpandangan
bahwa pikiran manusia itu lebih penting dan menentukan, dibanding dengan ”keimanan”.
Oleh karena itu, kebenaran tidak tergantung pada agama dan keimanan. Kultur
Hellenisme ini telah mendorong berkembangnya rasionalisme, dan individualisme yang
melepaskan diri dari ikatan teologi. Transendensi diingkari dan imanensi menjadi mutlak.
Spiritualisme rontok dan sekularisme merajalela. Format budaya ini memang
telah
berhasil membawa kemajuan yang begitu spektakuler di bidang sains, teknologi dan
seni, sehingga meningkatkan kebudayaan materiil sampai sekarang. Begitu juga bidang
pendidikan telah terkena derasnya aliran Hellenisme. Namun bagi masyarakat Indonesia
menyadari betul bagaimana nilai-nilai keagamaan itu telah mengakar, sehingga para ahli
pendidikan di Indonesia merumuskan tujuan pendidikan nasional secara seimbang antara
aspek fisik kebendaan dengan aspek-aspek psikis keruhanian. Sekalipun perkembangan
pendidikan dunia telah dikuasai dan diwarnai oleh kekuatan Hellinisme, namun rumusan
tujuan pendidikan nasional di Indonesia tetap berlandaskan pada nilai-nilai moral
spiritual, dengan menyeimbangkan aspek-aspek duniawi maupun ukhrowi.
Rumusan tujuan pendidikan nasional di Indonesia, merupakan tujuan pendidikan
yang paling lengkap. Namun dalam praktek penyelenggarannya jauh dari ideal.
Rumusan tujuan pendidikan nasional yang begitu komprehensif itu tidak sepenuhnya
dipedomani. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia lebih pragmatis dengan tetap
menekankan pada penguasaan materi ajar. Pendidikan di Indonesia lebih banyak melatih
otak kiri, sehingga pendidikan kita bersifat intelektualistik. Kurikulum yang dipandang
sebagai komponen vital dalam keseluruhan sistem pendidikan, nampaknya belum
menjadi instrumen efektif bagi terwujudnya pendidikan nasional yang ideal. Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) juga masih akrab dengan paradigma esensialisme
(Wayan Lasmawan, 2009: 1). Implikasi dari pradigma ini, maka para pelaku pendidikan
di sekolah, target yang dikejar adalah menaikkan kelas semua peserta didik dan
meluluskan sebanyak-banyaknya, sebagai bentuk kepuasan sesaat.
4
Pengaruh Kapitalis Liberal ala Neoklasik
Relevan dengan uraian di atas, mengingatkan kita kepada sistem pendidikan yang
dipengaruhi oleh ideologi kapitalis liberal dan neoklasik. Penyelenggaraan pendidikan
di suatu negara, termasuk Indonesia, memang tidak dapat terlepas dari main stream
pandangan ideologi yang sedang berkembang. Pada masa Orde Baru, sekalipun secara
resmi ideologi Pancasila, tetapi dengan format pembangunan fisik dan ekonomi, telah
mengantarkan kepada kecenderungan ideologi kapitalis liberal ala neoklasik (Sultan
Hamengku Buwono X, 2006: 10-11). Menurut ideologi kapitalis liberal ala neoklasik
ini, sumber daya manusia merupakan output untuk modal utama pembangunan. SDM
ini sangat diperlukan untuk dipekerjakan sebagai instrumen teknostruktur di sektor
moderen. Dalam hal ini SDM ini cenderung dijadikan mesin pekerja pembangunan,
sehingga mereduksi nilai manusia menjadi
sekedar
alat pembangunan, "alat alat
industri." Sistem pendidikan ala Neoklasik merupakan proses halus dehumanisasi SDM
yang dibungkus dengan retorika pembangunan dan dapat
menggiring kepada
komersialisasi pendidikan di berbagai jenjang. Berbagai aktivitas pendidikan dikemas
bagaikan perusahaan dengan mempertimbangkan untung rugi. Lembaga pendidikan
yang paling baik adalah yang SDM lulusannya paling laku di dunia kerja. Implikasi dari
sistem penyelenggaraan pendidikan yang demikian itu, akan lebih banyak menghasilkan
lulusan yang cenderung berpikir instan. Mereka itu lebih pragmatis- rasionalistis yang
kadang tanpa akal budi.
Pembangunan di era Orde Baru tidak sedikit melahirkan SDM yang berpikir instan,
termasuk produk-produk tenaga kependidikan. Masyarakat cenderung berilaku pragmatis
dan mengorbankan idealisme sebagai warga bangsa. Bidang pendidikan yang merupakan
kegiatan investasi masa depan, kurang mendapatkan porsi sebagaimana mestinya.
Pendidikan lebih berorientasi pada inovasi dan eksperimentasi yang bersifat teknologis.
Kemajuan dan kualitas masyarakat lebih diartikan sebagai perubahan dalam penggunaan
alat-alat teknologi ketimbang kemajuan dan kualitas dalam arti tujuan kehidupan yang
asasi. (Sodiq A. Kuntoro, 2008:4) Pendidikan kita lebih berorientasi kekinian, dari pada
masa depan. Sebab dalam praktiknya peserta didik yang dipikir adalah praktisnya, yang
penting dapat mengerjakan soal, rapornya baik dan naik kelas, NEM nya baik dan lulus.
Aspek-aspek moral dan karakter yang merupakan unsur fundamental dari kegiatan
5
pembangunan, menjadi terabaikan. Oleh karena itu krisis ekonomi dan moneter menjadi
berkepanjangan, sehingga berlanjut menjadi krisis multidimensional yang kemudian
bermetamorfosis menjadi krisis intelektual dan hati nurani atau krisis akhlak dan moral
(Soemarno Soedarsono, 2009: 115). Bidang pendidikan yang sebenarnya merupakan
aspek fundamental dalam memperkokoh karakter dan
jati diri bangsa tidak dapat
berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, sangat tepat apa yang telah dicanangkan
pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional tentang pendidikan budaya dan
karakter bangsa. Dengan program pendidikan budaya dan karakter bangsa ini, diharapkan
dapat mengurai berbagai permasalahan, baik yang terkait dengan penyelenggaraan
pendidikan maupun kegiatan pembangunan pada umumnya. Program pendidikan budaya
dan karakter bangsa ini merupakan manifestasi dari
pelaksanaan pendidikan yang
sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Posisi Pendidikan IPS
Bagaimana posisi dan peran pendidikan IPS dalam pengembangan pendidikan
karakter seperti diamantakan tujuan pendidikan nasional? Di Indonesia, IPS merupakan
kajian yang menunjuk pada ujud keterpaduan dari pembelajaran ilmu-ilmu sosial
(integrated social sciences) (lih. Zamroni, 2010: 7). Jadi sifat keterpaduan ini menjadi
ciri pokok mata kajian yang disebut IPS. Oleh karena itu, S. Hamid Hasan (2010: 1)
menegaskan bahwa IPS adalah studi integratif tentang kehidupan manusia dalam
berbagai dimensi ruang dan waktu dengan segala aktivitasnya. Sementara itu kalau
mengacu pada kajian Social Studies,
National Council for Social Studies (NCSS)
dijelaskan bahwa:
"Social studies are the integrated study of the social sciences and humanities to
promote civic competence. Within the school program, social studies provides
coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology,
archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science,
psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities,
mathematics, and the natural sciences. The primary purpose of social studies is to help
young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public
good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world “
(1994: 3).
. Hakikat IPS dalam pengertian yang terpadu inilah yang diajarkan di tingkat
pendidikan dasar (SD dan SMP). Dengan pengertian itu menunjukkan bahwa IPS
6
sebenarnya merupakan pelajaran yang cukup komprehensif yang dapat menjadi salah satu
instrument untuk ikut memecahkan masalah-masalah sosio-kebangsaan di Indonesia.
Kalau demikian apa tujuan pembelajaran IPS itu? Tujuan pembelajaran IPS, secara
umum dapat dirumuskan
antara lain untuk mengantarkan, membimbing dan
mengembangkan potensi peserta didik agar : (1) menjadi warga negara (dan juga warga
dunia) yang baik; (2) mengembangkan pemahaman mengenai pengetahuan dasar
kemasyarakatan , (3) mengembangkan kemampuan berpikir kritis dengan penuh kearifan
dan keterampilan inkuiri untuk dapat memahami, menyikapi, dan mengambil langkahlangkah untuk ikut memecahkan masalah sosial kebangsaan, (4) membangun komitmen
terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan menghargai serta ikut mengembangkan nilai-nilai
luhur dan budaya Indonesia, dan (5) mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan
bekerja sama dalam kehidupan masyarakat yang majemuk, baik lokal, regional maupun
internasional.
Memahami uraian tentang pengertian dan tujuan pembelajaran IPS di atas,
nampaknya sangat erat kaitannya dengan pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang
dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti
(lih. juga Darmiyati Zuchdi, 2008: 5) itu, memiliki arah dan tujuan yang sama dengan
tujuan pembelajaran IPS, yakni sama-sama bertujuan agar peserta didik dan warga belajar
pada umumnya menjadi warga negara yang baik. Bahkan secara tegas Gross menyatakan
bahwa Values Education as social studies “to prepare students to be well-fungtioning
citizens in democratic society” (dikutip dari Hamid Darmadi, 2007: 8). Dalam konteks
tujuannya, keduanya memiliki banyak persamaan. Pembelajaran IPS diarahkan untuk
menjadikan warga negara yang baik, melahirkan pelaku-pelaku sosial yang cerdas, arif
dan bermoral. Dalam konteks pendidikan karakter, para peserta didik dengan potensi
yang dimilikinya, difasilitasi untuk mengembangkan perilaku jujur, bertanggung jawab,
santun, kasih sayang dan saling menghormati, berlatih berpikir kritis dan kreatif, percaya
diri dan membangun kemandirian; memiliki semangat kebangsaan, dan bangga terhadap
hasil karya budaya bangsa sendiri. Thomas Lickona (2000: 48) menyebutkan beberapa
nilai kebaikan yang perlu dihayati dan dibiasakan dalam kehidupan peserta didik agar
tercipta kehidupan yang harmonis di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat.
Beberapa nilai itu antara lain: kejujuran, kasih sayang, pengendalian diri, saling
7
menghargai, kerjasama, tanggung jawab. Terkait dengan ini, maka dalam pengembangan
pendidikan karakter di sekolah,
guru harus juga bekerja sama dengan keluarga atau
orang tua/wali peserta didik. Bahkan menurut Cletus R. Bulach (2002: 80), orang tua
dan guru perlu membuat kesepakatan tentang nilai-nilai utama apa yang perlu
dibelajarkan misalnya: respect for self, others, and property; honesty; selfcontrol/discipline.
Uraian tersebut, menunjukkan begitu eratnya anatara makna pembelajaran dan
pendidikan IPS dengan tujuangn pengembangan pendidikan karakter. Dengan demikian
dapat ditegaskan
bahwa apabila pembelajaran IPS itu dilaksanakan sesuai dengan
maksud dan tujuan pembelajaran IPS yang sebenarnya, maka proses pembelajaran itu
secara tidak langsung merupakan proses pendidikan karakter. Pembelajaran IPS dapat
berperan sebagai pendidikan nilai atau pendidikan karakter, karena dalam pembelajaran
IPS juga membelajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai keindonesiaan.
Pembelajaran IPS juga dapat menjadi kerangka untuk memantapkan rekayasa
sosial dalam pendidikan karakter. Bagaimana dalam proses pendidikan dan pembelajaran
itu diarahkan agar peserta didik menjadi warga negara yang baik, dilatih untuk
memahami aspek-aspek kehidupan bermasyarakat dan berbangsa atas dasar nilai dan
moralitas, memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Semuanya ini jelas terkait
dengan pendidikan karakter bangsa.
Agar pembelajaran IPS itu dapat berperan dan menjadi instrumen penting bagi
pengembangan pendidikan karakter, maka perlu dilakukan pembenahan-pembenahan
mendasar oleh para pelaku pendidikan dan institusi yang mengelola pendidikan IPS.
Program pendidikan IPS harus menempatkan UU Sisdiknas terutama pasal 3 tentang
tujuan pendidikan nasional sebagai rujukan utama dalam penyelenggaraan sistem
pendidikan nasional secara
utuh. Penyelenggaraan pendidikan selama ini telah
kehilangan ruh dan aspek moralitas, sehingga tidak jarang melahirkan kultur yang tidak
sehat. Muncullah perilaku ketidakjujuran dalam pendidikan, seperti yang terjadi kasus
pada UN, ijazah palsu, perjokian, plagiat, lemahnya internalisasi nilai kebaikan dan
terfragmentasikannya ranah-ranah pendidikan yang lebih didominasi ranah kognitif
(ALPTKI, 2009: 2)
8
Proses pembelalajaran IPS, harus dibangun sebagai sebuah proses transaksi kultural
yang harus mengembangkan karakter sebagai bagian tak terpisahkan dari pengembangan
IPTEKS pada umumnya. Pelaksanaan pendidikan IPS saat ini yang lebih didominasi
oleh praktik pendidikan di tingkat individual yang cenderung kognitif-intelektualistik,
perlu diarahkan kembali
sebagai wahana pembelajaran masyarakat, wahana
pengembangan pendidikan karakter bangsa, sebagai proses pembangunan kecerdasan,
akhlak dan kepribadian warga belajar secara utuh
sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional.
Dalam
mendeisain
kurikulum
pendidikan
IPS,
termasuk
dalam
proses
pembelajarannya, harus juga berangkat dari hakikat dan karakter peserta didik, bukan
berorientasi pada materi semata (lih. Wayan Lasmawan, 2010: 2). Pendekatan
esensialisme sudah saatnya untuk dimodifikasi dengan teori rekonstruksi sosial yang
mengacu pada teori pendidikan interaksional (Nana Syaodih Sukmadinata, 1996: 6).
Sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan kehidupan masyarakat, pembelajaran
IPS harus dikembalikan sesuai dengan khitah konseptualnya yang bersifat terpadu yang
menekankan pada interdisipliner dan trasdisipliner, dengan pembelajaran yang
kontekstual dan transformatif, aktif dan partisipatif dalam perpektif nilai-nilai sosial
kemasyarakatan. Sesuai dengan maksud dan tujuannya,
pembelajaran IPS harus
memfokuskan perannya pada upaya mengembangkan pendidikan untuk menjamin
kelangsungan hidup masyarakat dan lingkungannya secara bermartabat.
Penutup
Tujuan pendidikan nasional dirumuskan berdasarkan nilai-nilai dasar kehidupan
bangsa Indonesia. Dalam perkembangannya, rumusan itu semakin dimantapkan dengan
sekaligus sebagai respon dan jawaban atas dominasi dua main stream ideologi pemikiran
Semitisme dan Hellenisme. Hellenisme dengan cepat merajai perkembangan pola pikir
manusia sedunia, bahkan kekuatannya semakin dahsyat setelah mendapat polesan dari
kapitalis neoklasik. SDM hasil lulusan institusi pendidikan sekedar teknisi dan mesin
pekerja yang tereduksi harkat dan martabatnya sebagai manusia makhluk paling
sempurna di jagad raya. Sekalipun para pemuka bangsa telah merumuskan tujuan
pendidikan itu lebih menekan pembentukan karakter dan kepribadian bangsa. Namun
9
pelaksanaannya justru terseret oleh arus Hellinisme, kapitalis liberal ala neoklasik yang
semakin mengkerdilkan makna pendidikan nasional yang ditandai dengan pendidikan
serba instan dan lunturnya nilai-nilai karakter bangsa. Program pendidikan budaya dan
karakter
bangsa
yang
terus
digalakkan
oleh
pemerintah,
diharapkan
dapat
mengembalikan proses pendidikan ke jalan yang lurus, sesuai dengan amanat tujuan
pendidikan nasional. Pendidikan dan pembelajaran IPS memiliki peran penting dalam
menopang proses pendidikan budaya dan katakter bangsa. Pendidikan karakter dan
pendidikan IPS sama-sama seiring sejalan untuk menciptakan suasana yang kodusif
sehingga tercipta budi pekerti luhur dan berkembangnya nilai-nilai keindonesiaan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
ALPTKI, 2009. Pemikiran tentang Pendidikan Karakter dalam Bingkai Utuh Sistem
Pendidikan Nasional, Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Bulach, Cletus R., 2002. “Implementing a Character Education CurricuAssessing Its
Impact on Student Behavior”, ProQuest Education Journal, Dec.2002.
Darmiyati Zuchdi, 2008. Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali
Yang Manusiawi, Jakarta: Bumi Aksara
.
Doni Koesoema A. 2007. Pendidikan Karakter, Jakarta: Grasindo.
Pendidikan
Hamengku Buwono X, (2006), “Paradigma Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial, Pendekatan
Teoritik dan Empirik”, Makalah, sebagai Keynote Speech dalam Seminar
Internasional HISPISI-FISE UNY, Yogyakarta, 11 Agustus 2006.
Hamid Darmadi, (2007). Konsep Dasar Pendidikan Moral, Bandung: Alfabeta.
Lickona, Thomas, 2000. “Talks About Character Education”, wawancara oleh Early
Chilhood Today”, ProQuest Education Journal, April, 2000, http://webcache.google
usercontent.com., diunduh, 20 April 2010.
Mastuhu, (2003). Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam abad 21,
(Peny. M. Lukman), Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI UII.
10
Nana Syaodih Sukmadinata, 1996. “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi dalam
Era Globalisasi: Suatu Kajian”, Makalah, disajikan dalam Seminar tentang Sistem
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Menyongsong Era Global oleh
Pusbangkurandik-Balitbangdikbud. Jakarta: Balitbangdikbud.
NCSS., (1994). Curriculum Standars for the Social Studies. Washington D.C.: National
Council for the Social Studies.
Numan Somantri, M. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, Bandung:
Rosda Karya.
S. Hamid Hassan (2010), “Pendidikan IPS (Definisi,Tujuan, SKL, Konten, Proses dan
Asesmen)” Panduan, Yogyakarta: HISPISI.
Sodiq A. Kuntoro, 2008. “Sketsa Pendidikan Humanis Religius”, Makalah, disampaikan
pada diskusi dosen FIP UNY, 5 April 2008.
Soemarno Soedarsono, 2009. Karakter Mengantarkan Bangsa dari Gelab Menuju
Terang. Jakarta: Kompas Gramedia.
Wayan Lasmawan, 2009. ”Merekonstruksi Ke-IPS-an Berdasarkan Paradigma
Teknohumanistik”, Makalah, disajikan pada Seminar tentang Pendidikan IPS oleh FIS
Undiksa, 30 0ktober, 2009.
Zamroni, (2010), ”Peran Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan Karakter Bangsa”,
Makalah, disampaikan pada Seminar Internasional oleh HISPISI dan UNM di UNM
Makasar, 13-14 Juli 2010.
Download