1 BAB I Pendahuluan 1.1 Latal Belakang Masalah Indonesia memiliki sejarah panjang untuk menjadi negara yang berdaulat hingga saat ini. Indonesia juga mengalami transisi model kepemimpinan dan perpolitikan tanah air, bahkan hingga saat ini. Ketika berbicara tentang sejarah menuju kemerdekaan Indonesia, maka akan banyak nama yang muncul, salah satunya Mohammad Natsir. Mohammad Natsir dikenal sebagai politisi, orator ulung dan seorang da’i yang mampu menembus kesegala perbedaan. Maka dalam interaksinya, Muhammad Natsir banyak di kenal hingga lapisan masyarakat bawah. Muhammad Natsir lahir pada tanggal 16 Juli 1908 di Maninjau Sumatera Barat. Ia dibesarkan di keluarga agamis, ayahnya seorang ulama terkenal di Indonesia. Lingkungan seperti ini sangat berpengaruh pada pertumbuhan sang putra. Ia belajar di sekolah agama dan negeri. Mendapat ijazah perguruan tinggi tarbiyah Bandung, Mendapat gelar Doktor Honoris Causal dari Universitas Islam Indonesia (dulu Sekolah Tinggi Islam), Yogyakarta. Ketika Belanda hendak menjadikan Indonesia negera serikat, Muhammad Natsir menentangnya dan mengajukan pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia. Usulan ini disetujui 90% anggota Masyumi. Tahun 1950, ia diminta membentuk kabinet sekaligus menjadi perdana Menterinya. Tapi belum genap setahun ia dipecat karena bersebrangan dengan presiden Soekarno. Ia tetap memimpin Masyumi dan menjadi angota parlemen hingga tahun 1957. Pidatonya http://digilib.mercubuana.ac.id/ 2 yang berjudul “Pilihlah salah satu dari dua jalan, Islam atau Atheis.” yang disampaikan di parlemen Indonesia dan dipublikasikan majalah “Al Muslimin”, punya pengaruh besar pada anggota parlemen dan masyaakat muslim Indonesia. Saat menerjuni bidang politik, Muhammad Natsir adalah sorang politikus piawai. Saat menerjuni medan perang, ia menjadi panglima yang gagah berani, dan saat berdebat dengan musuh, ia tampil sebagai pakar ilmu dan dakwah. Muhammad Natsir menentang serangan membabi buta yang dilancarkan para misionaris Kristen, antek-antek penjajah dan para kaki tangan Barat maupun Timur, dengan menerbitkan majalah Pembela Islam. Ia juga menyerukan Islam sebagai titik tolak kemerdekaan dan kedaulatan, pada saat Soekarno dan antekanteknya menyerukan nasionalisme Indonesia sebagai titik tolak kemerdekaan. Saat itu Soekarno bersekutu dengan Komunis yang terhimpun dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk melawan Muhammad Natsir dan Partai Masyumi. Pertarungan ini berlangsung hingga tahun 1961, Soekarno membubarkan Partai Masyumi dan menahan pemimpinnya, terutama Muhmmad Natsir. Namun perlawan kaum muslimin Indonesia tidak padam, terus berlanjut hingga terjadi revolusi militer yang berhasil menggulingkan Soekarno pada tahun 1965. Muhammad Natsir pernah menjadi Menteri Penerangan Kabinet Sjahrir I946 – 12 Maret 1946), Menteri Penerangan Kabinet (12 Maret 1946 – 2 Oktober 1946), Menteri Penerangan Kabinet (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947), Menteri Penerangan Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949), dan Perdana Menteri Kabinet Natsi (6 September 1950 - 26 April 1951). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 3 Muhammad Natsir menjadi Ketua Pimpinan Pusat Masyumi pada 1949, 1951, 1952, 1954 dan 1956. Setelah Masyumi dibubarkan, Muhammad Natsir dengan kawan-kawannya tokoh-tokoh Islam Masyumi• mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada 1967. Ketika berkiprah di Dewan Dakwah, Muhammad Natsir melakukan pendidikan dai secara nasional dan sistematis, mendirikan perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam di luar IAIN, memelopori pendirian pesantren-pesantren di sekitar kampus-kampus umum, mengirimkan dai-dai sekolah ke Timur Tengah dan lain-lain. Muhammad Natsir berhasil menjelmakan dalam hidupnya sebagai seorang pemimpin Islam, dai dan politisi Islam sebenarnya. Ia bukan hanya pintar berdakwah, berorasi dan berstrategi, tapi yang jauh lebih penting keteladanan hidup dan perjuangan Islamnya. Keteladanannya menyamai tokoh-tokoh gerakan di negeri-negeri Islam lainnya. Ini semua menjadikan kata-katanya bersinar hingga kini. Muhammad Natsir adalah orator dan penulis ulung, Banyak karya tulis yang ditinggalkan oleh Muhammad Natsir, baik yang terkait dengan dakwah atau pemikiran. Sebagian telah diterbitkan dalam bahasa Arab dengan jumlah lebih dari 35 buah buku, diantaranya adalah Fiqhud Da’wah (Fikih Dakwah) dan Ikhtaru Ahadas Sabilain (Pilih salah satu dari dua jalan), Capita Selecta. Disamping itu masih banyak ceramah, riset, makalah Muhammad Natsir yang tersebar dan tidak dapat dihitung. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 4 Ketokohan Natsir ini bisa kita lihat juga penghormatan tokoh-tokoh politik, seperti Amien Rais dan Anwar Ibrahim kepadanya. Dalam Tempo edisi 14-20 Juli 2008, Amien Rais menyandingkan ketokohan Mohammad Natsir di dunia Islam, dengan Abul Maududi dan Sayid Qutb, dalam kolomnya di Tempo edisi 14-20 Juli 2008. Bulan Juli 2008, bertepatan dengan seratus tahun kelahiran Mohammad Natsir, majalah Tempo dan al Mujtama mengangkat Natsir sebagai laporan utama. Tempo membuat tulisan panjang dengan membuat cover majalah berjudul “Politik Santun Diantara Dua Rezim. Sedangkan al Mujtama membuat tulisan penuh satu majalah dengan cover depan berjudul : “Maestro Dakwah yang Tak Kenal Lelah” Ketika bergerak di Masyumi, Natsir dan kawan-kawan konsisten dan terus menerus memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Indonesia. Natsir tidak segansegan mengusulkan Islam sebagai dasar negara, diantaranya dengan Piagam Jakarta. Argumen-argumen Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi sangat kuat. Ditambah kecakapan ilmiah, baik tertulis maupun orasi, kejujuran dan kesederhanaannya, maka Natsir sangat dihormati bahwa oleh kawan maupun lawan. Dalam pidatonya di Dewan Konstituante, 12 November 1957, Natsir mengatakan bahwa faham sekulerisme mengandung bahaya-bahaya. Sekulerisme adalah suatu pandangan hidup, opini-opini, tujuan-tujuan dan sifat-sifat yang dibatasi oleh batas-batas keberadaan duniawi. Kata Natsir: “Meskipun mungkin pada suatu saat kaum sekuleris itu mengakui keberadaan Tuhan, di dalam http://digilib.mercubuana.ac.id/ 5 kehidupan kesehariannya sebagai pribadi-pribadi sekuleris, tidak mengakui kebutuhan terhadap suatu hubungan itu dalam kehidupan sehari-hari dinyatakan dalam sikap-sikap, tingkah laku dan tindakan-tindakan atau dalam doa dan ibadah. Natsir melanjutkan: Juga kaum sekuleris memandang konsep-konsep mengenai Tuhan dan agama hanya sebagai hasil ciptaan manusia, yang ditentukan oleh kondsi-kondisi sosial, bukan ditentukan oleh kebenaran wahyu. Bagi kaum sekuleris doktrin agama dan Tuhan relatif dan tergantung pada penemuanpenemuan umat manusia. Dan tolok ukur kebenaran dan kebahagiaan atau ukuran keberhasilan manusia semata-mata ditentukan oleh materi (benda), Di negara sekuler, masalah-masalah ekonomi, hukum, pendidikan, sosial dan lain-lainnya semata-mata ditentukan oleh kepentingan material, bukan oleh nilai-nilai spiritual.• Natsir juga tak segan-segan berterus terang tentang perlunya Islam dan negara bersatu: “Kalau kita terangkan bahwa agama dan negara harus bersatu, maka terbayang sudah dimata seorang bahlul (bloody fool) duduk di atas singgasana, dikelilingi oleh haremnya menonton tari dayang-dayang. Terbayang olehnya yang duduk mengepalai kementrian kerajaan, beberapa orang tua bangka memegang hoga. Sebab memang beginilah gambaran pemerintahan Islam yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropah yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru bangsa Barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 6 Natsir melanjutkan : “Suatu negeri yang pemerintahannya tidak memperdulikan keperluan rakyat, membiarkan rakyat bodoh dan dungu, tidak mencukupkan sarana yang perlu untuk kemajuan agar jangan tercecer dari negerinegeri lain, dan yang kepala-kepalanya menindas rakyat dengan memakai islam sebagai kedok atau memakai ibadah-ibadah sebagai kedok; sedangkan kepalakepala pemerintahan itu sendiri penuh dengan segala macam maksiyat dan membiarkan takhayul, khurafat merajalela sebagaimana keadaan pemerintahan Turki pada zaman Sultan-sultannya yang akhir-akhir, maka pemerintahan yang semacam itu bukanlah pemerintahan Islam. Islam tidak menyuruh dan tidak membiarkan orang menyerahkan sesuatu urusan kepada yang bukan ahlinya. Malah Islam mengancam akan datang kerusakan dan bala bencana, bila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya itu. “Apabila satu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya. (HR Bukhari). Bisa kita melihat ketika Natsir memanfaatkan moment pertemuan besar baik nasional dan inernasional, ia ungkapkan segala ide dan gagasannya tentang sebuah negara. Di sinilah komunikasi politik dalam bentuk opini yang sudah lama dikembangkan kemudian dimaksimalkan. Realitas ini menunjukkan bahwa ada korelasi antar komponen dalam strategi retorika, dimulai dari harus mengenali sasaran komunikasi politiknya, kerangka referensi yang cocok dengan kebutuhan yang terinternalisasi sebagai hasil dari panduan pengalaman, pendidikan, gaya hidup, norma hidup, status sosial,idiologi, cita-cita dan sebagainya. Situasi dan kondisi komunikan. Baik keadaan fisik atau mentalnya, pemilihan media juga http://digilib.mercubuana.ac.id/ 7 penting untuk menjaga keefektifan komunikasi massa, pendalaman tujuan pesan sebagai salah satu komponen komunikasi menjadi penting untuk dilakukan kajian yang lebih mendalam, terakhir komunikator penentu keefektifan dalam proses komunikasi, daya tarik sumber dan kredibilitas sumber misalnya (Onong, 1990: 36-39). Colin Cherry (1964) mendefinisikan komunikasi sebagai “usaha untuk membuat satuan sosial dari individu dengan menggunakan bahasa atau tanda”. Harnack dan Fest (1964) menganggap komunikasi sebagai “proses interaksi di antara orang untuk tujuan integrasi intrapersonal dan interpersonal”, di sini bisa kita lihat bahwa yang dilakukan Mohammad Natsir dengan kemampuan komunikasi massanya dengan melalui media pidato atau retorika, dia telah mampu merubah semangat, emosi, kondisi kejiwaan rakyat Indonesia yang sedang merindukan bentuk negara yang terbaik. Sehingga dengan keinginan tersebut kemudian disentuh emosinya, kemudian terpancing oleh retorika atau pidato Muhammad Natsir maka alam bawah sadar rakyat Indonesia tergugah begitu saja Untuk itu penulis tertarik mengkaji kembali cara komunikasi pemerintahan seorang muhammad Natsir yang ia sampaikan lewat pidato atau retorika yang telah mampu menggerakkan jiwa rakyat, khususnya umat muslim untuk membuang sistem pemikiran barat dan mengusir penjajah dari Indonesia. Pokok pikiran M. Natsir tentang Islam dan Tatanegara adalah; bahwa urusan kenegaraan pada dasarnya merupakan satu bagian yang tak dapat http://digilib.mercubuana.ac.id/ 8 dipisahkan, satu “integreerend deel” dari Islam itu sendiri. M. Natsir (1973). Maksudnya agama dan negara harus bersatu. Seperti dikemukakan oleh Munawir Syadzali (1993): “Menurut M. Natsir, Islam-berbeda dari agama-agama lain-mengandung peraturan-peraturan atau hukum-hukum kenegaraan, termasuk hukum perdata dan hukum pidana. Untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut diperlukan lembaga yang dengan kekuasaannya dapat menjamin berlaklunya hukum-hukum itu. Oleh karena itu adanya penguasa atau pemerintah merupakan suatu keharusan. M. Natsir menjamin bahwa dalam satu negara yang berdasarkan Islam umat dari agama-agama lain mendapat kemerdekaan beragama dengan luas; dan mereka tidak akan keberatan kalau di negara itu berlaku hukum Islam mengenai soal-soal kemasyarakatan. Dengan berlakunya undang-undang Islam, agama mereka tidak akan terganggu, tidak akan rusak dan tidak akan kurang satu apapun”. M. Natsir, seakan bertindak sebagai wakil dari golongan Islam yang pikiran dan sikapnya pada masa pergerakan nasional melawan penjajahan Belanda, ingin mengembalikan citra yang mendasar mengenai Islam. Deliar Noer (1982). Hal ini terlihat dalam perdebatan ideologi antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam yang tercermin dalam polemik pemikiran antara Soekarno dan M. Natsir tahun 1930-1940 tentang hubungan agama dan negara, yang pembahasan berlanjut dan berkembang dalam forum diskusi Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 9 Topik pembicaraan selama persidangan antara lain adalah seputar dasar negara. Anggota BPUPKI terbagi dua kelompok: Satu pihak ada kelompok anggota BPUPKI yang mengusulkan agar negara Indonesia merdeka berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan khusus pada ideologi keagamaan, dan satu kelompok lainnya mengajukan Islam sebagai dasar negara. Umar Basalim (2002) dan M. Yamin (1971). Dua paham yang saling kontroversi ini dapat diselesaikan melalui kesepakatan yang di wadahkan dalam “Piagam Jakarta” sebagai kesepakatan kehormatan yang biasa disebut gentelment agreement dan dapat diterima sebagai rancangan Pembukaan Undang Undang Dasar. Tanggal 18 Agustus 1945, satu hari setelah Indonesia merdeka, dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) kesepakatan ini disorot dan digugat kembali, akhirnya disetujui bahwa tujuh kata setelah ketuhanan dihilangkan, tetapi atribut strategis “Yang Maha Esa” dikukuhkan sebagai penggantinya, dan disepakati Pancasila sebagai Dasar Negara. Aspirasi politik Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara kembali ditawarkan partai Masyumi dalam sidang Konstituante 1956-1959, tapi tawaran tersebut terbentuk lagi karena adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah jatuhnya pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto dan muncul era reformasi, ditandai dengan perubahan mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang diawali dengan kesepakatan berbagai komponen bangsa untuk melakukan amandemen (perubahan) terhadap Undang Undang Dasar 1945. Bersamaan dengan itu muncul pula ide untuk kembali ke Piagam http://digilib.mercubuana.ac.id/ 10 Jakarta dari berbagai kelompok Islam, terutama dari partai politik yang berasaskan Islam untuk memasukan kembali tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” kedalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Maka penulis sangat tertarik mengkaji dan menganalisis kembali lembaran-lembaran sejarah itu dengan pendekatan Hermeneutika Historis yang dikembangkan oleh Gadamer. Pemilihan metode yang dikembangkan oleh Gadamer dilandasi oleh pertimbangan dimana Hermenutika Historis menitik beratkan pada pemahaman ketata-bahasaan terhadap semua ekspresi dan pemahaman psikologis terhadap pengarang. Pemilihan Hermenutika Historis Gadamer dilatarbelakangi dengan kesesuaian terhadap aspek yang ingin diketahui permasalahan penelitian. Penelitian ini diarahkan untuk membongkar dan memaknai kembali isi teks pidato Muhammad Natsir “Islam Sebagi Dasar Negara”. Untuk itu peneliti akan mengarah pada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural. 1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, agar ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini lebih fokus, maka peneliti membatasi permasalahan tersebut hanya pada persoalan mengenai pemaknaan terhadap komunikasi pemerintahan Muhammad Natsir dalam pidato “Islam http://digilib.mercubuana.ac.id/ 11 Sebagai Dasar Negara” yang disampaikan dalam Dewan Konstituante 12 November 1957. Berpedoman pada batasan serta latar belakang masalah di atas ada beberapa hal yang peneliti anggap sebagai main point rumusan penelitian ini. Berdasarkan latar belakang permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana makna negara dalam teks pidato M. Natsir ? 2. Bagaimana konsep demokrasi Islam yang terkandung dalam pidato M. Natsir? 3. Bagaimana ideologi Islam dalam teks pidato M. Natsir? 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mentafsir komunikasi pemerintahan Mumammad Natsir dalam teks pidato “Islam Sebagai Dasar Negara”. Mengapa Natsir sangat memperjuangkan Islam sebagai landasan bernegara bagi Republik Indonesia. Jelasnya tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaknai kembali atau mentafsir pemikiran Muhammad Natsir tentang Islam sebagai dasar negara dan mencari relevansi dari pemikiran tersebut yang mungkin bisa diterapkan dalam konsep negara Rupublik Indonesia saat ini. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Penelitian Akademis http://digilib.mercubuana.ac.id/ 12 Hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan atau sumbangan pemikiran ke dalam dunia ilmu komunikasi terutama komunikasi politik dan komunikasi pemerintahan yang berkaitan dengan analisa Hermenutika penafsiran teks pidato Muhammad Natsir berjudul Islam Sebagai Dasar Negara. Penggunaan perangkat analisis hermenutika Historis Gadamer dapat menjadi acuan bagi penelitian lain yang terkait dengan penafsiran sebuah teks lainnya baik itu pidato kenegaraan, teks berita dll. 1.4.2 Manfaat Penelitian Praktis Ada tiga hal penting yang menjadi manfaat penelitiaan ini : 1. Bagi praktisi politik baik baik eksekutif atau legistatif tafsir teks komunikasi pemerintahan Muhammad Natsir dalam judul Islam Sebagai Dasar Negara dapat melihat kembali peran dan konsep pemerintahan yang berlandaskan Islam. 2. Bagi peneliti, penelitian ini selain bermanfaat secara akademis juga secara praktis sebagai syarat menyelesaikan pendidikan untuk mendapatkan gelar Magister Ilmu Komunikasi di Universitas Mercu Buana. 3. Bagi masyarakat atau pembaca, penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan, tambahan referensi untuk kepentingan wawasan. Khususnya pemahaman terhadap komunikasi pemerintahan Muhammad Natsir yang dituangan dalam teks pidato Islam Sebagai Dasar Negara. Penelitian diharapakan dapat menghidupkan hasrat untuk menjalani kehidupan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 13 berberbangsa dan bernegara sesuai dengan syariat Islam yang ditawarkan Muhammad Natsir. http://digilib.mercubuana.ac.id/