BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Singkat Nyeri 2.1.1

advertisement
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Singkat Nyeri
2.1.1. Definisi Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan itu sendiri atau
potensi kerusakan jaringan, atau istilah terhadap kerusakan yang sama (Loeser,
2011).
Nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu
penyakit atau akibat fungsi otot atau viseral yang terganggu. Nyeri tipe ini
berkaitan dengan stress neuroendokrin yang sebanding dengan intensitasnya.
Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas saraf otonom dan umumnya mereda dan
hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan.(Stoelting 2006).
Adanya nyeri yang bersifat akut merupakan alasan individu untuk mencari
sumber pelayanan kesehatan, dan pada umumnya timbul setelah terjadinya
trauma, pembedahan, atau suatu proses penyakit. Nyeri akut didefinisikan sebagai
nyeri yang disebabkan karena jejas jaringan tubuh dan terjadi aktivasi transducer
nosiseptif pada tempat terjadinya kerusakan jaringan lokal. Jejas lokal ini
menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik nosiseptor dan koneksi ke
sentral, serta sistem saraf otonom. Jejas pada nyeri somatik akut berasal dari
permukaan tubuh atau jaringan muskuloskeletal, sedangkan nyeri viseral akut
berasal dari organ-organ internal dalam. Secara umum, nyeri akut disini
6
7
berlangsung dalam kurun waktu yang relatif singkat, dan berangsur-angsur
menghilang bila proses patologis yang mendasari dapat diatasi (Turk, 2002).
Ketidakmampuan seseorang untuk berkomunikasi secara verbal tidak
menyingkirkan kemungkinan bahwa seseorang mengalami nyeri dan memerlukan
terapi analgetik yang tepat. Nyeri selalu bersifat subyektif. Setiap orang belajar
untuk menerapkan kata nyeri melalui pengalaman terhadap cedera pada awal
hidupnya. Para ahli biologi mengakui bahwa kerusakan jaringan bertanggung
jawab terhadap rangsangan yang dapat menyebabkan nyeri. Dengan demikian,
nyeri merupakan pengalaman yang kita hubungkan dengan potensi dan kerusakan
jaringan itu sendiri. Hal ini merupakan suatu sensasi yang tidak usah
dipertanyakan lagi pada suatu atau beberapa bagian tubuh, namun juga selalu
tidak nyaman dan oleh karenanya juga merupakan suatu pengalaman emosional.
Suatu pengalaman yang menghasilkan nyeri, namun tidak menyebabkan
ketidaknyamanan, misalnya memasang tindik, tidak disebut sebagai nyeri.
Pengalaman tidak nyaman abnormal (disestesia) juga merupakan nyeri, namun
tidak begitu penting, karena secara subyektif seringkali tidak memiliki kualitas
sensoris terhadap nyeri. Banyak orang mengeluh nyeri meskipun tidak ada
kerusakan jaringan atau penyebab patologis lainnya; biasanya hal ini terjadi
karena alasan psikologis. Seringkali susah untuk membedakannya dengan yang
disebabkan oleh kerusakan jaringan jika kita meneliti secara subyektif. Jika pasien
tersebut menganggap pengalamannya sebagai nyeri, dan menyatakan sama dengan
yang disebabkan oleh karena kerusakan jaringan, maka harus disebut sebagai
nyeri. Definisi ini, tidak berhubungan dengan rangsangan. (Loeser, 2011)
8
2.1.2. Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi (Latief
2001, Ballantyne 2008):
a.
Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi
nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan
pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris
dan simpatik.
b.
Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada
sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer,
infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi
yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai
hilangnya rasa atau adanya rasa tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat
menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau
peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan
sympathetically maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri
kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian
analgetik konvensional.
c.
Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan
depresi.
9
Berdasarkan Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada
lima aksis yaitu:
Aksis I
: regio atau lokasi anatomi nyeri
Aksis II
: sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan
timbulnya nyeri
Aksis III
: karakteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler,
kontinyu)
Aksis IV
: waktu mula/onset terjadinya nyeri
Aksis V
: etiologi nyeri
Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi (Latief 2001):
a.
Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini
ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi, hipertensi,
hiperhidrosis, pucat, midriasis dan perubahan wajah seperti menyeringai atau
menangis. Bentuk nyeri akut dapat berupa:
1.
Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa
2.
Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan
ikat
3.
b.
Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral
Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda aktivitas
otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap
10
bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit atau operasi) atau awalnya berupa
nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh :
1.
kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf
2.
non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll
Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:
a.
Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari
hari dan menjelang tidur.
b.
Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang
bila penderita tidur.
c.
Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak
dapat tidur dan sering terjaga akibat nyeri.
2.1.3. Patofisiologi Nyeri Pascaoperasi
Tindakan pembedahan menyebabkan kerusakan pada jaringan yang
selanjutnya akan melepaskan histamin dan mediator inflamasi seperti peptida
(misalnya bradikinin), lemak (misanya prostaglandin), neurotransmitter (misalnya
serotonin), dan neurotrofin (misalnya nerve growth factor). Pelepasan mediator
inflamasi akan mengaktifkan saraf nosiseptor perifer, yang akan memulai proses
transduksi dan transmisi informasi nosisepsi ke sistem saraf pusat dan proses
inflamasi neurogenik yang dapat menyebabkan pelepasan neurotransmitter
(misalnya substansi P dan peptida kalsitonin gene-related) di perifer dan
menyebabkan vasodilatasi dan ektravasasi plasma. Rangsang noksius dirubah
menjadi aktifitas listrik oleh saraf nosiseptor perifer dan di transmisikan oleh
serat saraf Aδ dan C dari daerah somatik dan viseral perifer ke kornu posterior
11
medula spinalis, dimana terjadi integrasi antara rangsang nyeri perifer dan input
modulator descenden (misalnya serotonin, norepinefrin, γ-aminobutyric acid, dan
enkefalin). Selanjutnya, transmisi informasi rangsang nyeri ditentukan oleh
pengaruh kompleks modulasi di medula spinalis. Beberapa impuls melewati kornu
anterior dan anterolateral sehingga menghasilkan respon refleks segmental
(spinal), yang berakibat terhadap peningkatan tonus otot skelet, hambatan fungsi
saraf frenikus, dan bahkan penurunan motilitas gastrointestinal. Sebagian lagi
ditransmisikan ke pusat yang lebih tinggi melalui traktus spinotalamikus dan
spinoretikuler, yang menimbulkan respon suprasegmental dan korteks yang
akhirnya menghasilkan persepsi rasa nyeri. (Miller, 2010)
Deskripsi mekanisme dasar terjadinya nyeri secara klasik dijelaskan
dengan empat proses yaitu transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
Transduksi adalah proses konversi energi dari rangsangan noksius (suhu,
mekanik, kimia) menjadi energi listrik (impuls saraf) oleh reseptor sensorik untuk
nyeri (nosiseptor). Sedangkan transmisi adalah proses penyampaian impuls saraf
yang terjadi akibat adanya rangsangan di perifer ke pusat. Modulasi adalah proses
pengaturan impuls yang dihantarkan yang dapat terjadi di setiap tingkat, namun
biasanya diartikan sebagai pengaturan yang dilakukan oleh otak terhadap proses
di kornu dorsalis medula spinalis. Persepsi merupakan proses apresiasi atau
pemahaman dari impuls saraf yang sampai ke sistem saraf pusat sebagai rasa
nyeri. (Miller, 2010)
Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai
dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis yang disebut nosisepsi. Ada
12
4 proses yang mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu (Stoelting, 2006; Morgan
dkk, 2006) :
2.1.3.1. Tranduksi
Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik
pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin,
bradikinin, leukotrin, substansi P, kalium, histamin, asam laktat, dan lain-lain
akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri
merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat aferen A delta dan C.
Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam
pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf aferen A delta dan C adalah
serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari
perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan
reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.
2.1.3.2. Transmisi
Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut
yang menyusul proses tranduksi. Oleh serat aferen A-delta dan C impuls nyeri
diteruskan ke sentral, yaitu ke medula spinalis, ke sel neuron di kornu dorsalis.
Serat aferen A-delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai
perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai diameter lebih besar
dibanding dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30
m/detik) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di medula
spinalis kornu dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel
neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat
13
aferen A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornu
antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornu anterior
medula spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornu antero-lateral akan menimbulkan
peningkatan tonus sistem saraf otonom simpatis dengan segala efek yang dapat
ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornu anterior medulla
spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan
segala akibatnya.
2.1.3.3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT)
dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan
oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis
medulla
spinalis
tidak
semuanya
diteruskan
ke
sentral
lewat
traktus
spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk
dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi
eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih
dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek
sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel
nyeri.
2.1.3.4. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang
sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya
menghasilkan sensibel nyeri.
14
Gambar 2.1 Patofisiologi Nyeri (Dikutip dari Salerno, 2006).
2.1.4. Sensitisasi Perifer
Sensitifitas ujung saraf nosiseptor di perifer tidaklah tetap, dan sensitisasi
terhadap neuron sensoris primer dapat teraktifasi baik oleh stimulasi perifer
berulang atau oleh perubahan komponen kimia dari ujung saraf tersebut.
Fenomena demikian disebut sebagai sensitisasi perifer. Adanya sensitisasi perifer
15
menunjukkan perubahan pada ambang dan kinetik chanel transduksi dan
eksitabilitas membran terminal. Perubahan ini terjadi sebagai respon terhadap
aktifasi langsung chanel transduksi, terhadap proses autosensitisasi, dan terhadap
rangsang ekstrinsik seperti mediator inflamasi. Sebagai contoh, autosensitisasi
TRPV1 melibatkan masuknya kalsium ke chanel ion, sehingga menyebabkan
aktivasi protein C kinase dalam sitoplasma terminal saraf perifer. Protein C kinase
(PKC) akan memfosforilasi TRPV1, sehingga menyebabkan penurunan ambang
aktivasi dari 43 °C menjadi 38 °C. Heterosensitisasi di perantarai oleh agen
sensitisasi seperti prostlagandin E 2, bradikinin, 5-HT, dan nerve growth factor
yang melalui reseptor protein G-coupled atau tirosin kinasenya akan mengaktifkan
kinase intraseluler yang memfosforilasi dan memperkuat aktifitas chanel natrium
voltage-gate seperti Nav1.8, chanel natrium neuron sensoris.
Pelepasan mediator inflamasi yang terus menerus di perifer mensentisisasi
nosiseptor fungsional dan mengaktifasi yang tadinya tidak aktif. Sensitisasi
nosiseptor perifer dapat terjadi dan hal ini ditandai dengan penurunan ambang
batas aktifasi, peningkatan kecepatan discharge oleh aktifasi, dan peningkatan
kecepatan discharge basal (spontan). Input rangsang nyeri dari perifer yang kuat
juga menghasilkan sensitisasi sentral dan hiperkesitabilitas. Input rangsang nyeri
tersebut dapat menyebabkan perubahan fungsional pada kornu dorsalis medula
spinailis dan konsekuensi lain yang selanjutnya menyebabkan nyeri pascaoperasi
dirasakan menjadi lebih nyeri dari yang seharusnya. Sistem sirkuit di kornu
dorsalis sangatlah kompleks, dan kita baru mulai mempelajari peranan spesifik
dari berbagai macam neurotransmitter dan reseptor dalam proses perangsangan
16
nyeri. Meskipun demikian, nampaknya beberapa reseptor (misalnya N-methyl-Daspartate [NMDA]) penting dalam perkembangan nyeri kronik setelah cedera
akut, meskipun neurotransmiter lainnya atau efektor second messenger (misalnya
substansi P, protein C-γ kinase) juga memainkan peranan penting dalam
sensitisasi medula spinalis dan nyeri kronik (Miller, 2010).
2.1.5. Efek Nyeri Akut
Pada periode perioperatif, terdapat berbagai respon patofisiologi yang
dimulai dan dipertahankan oleh input rangsang nyeri. Meskipun respon ini
sebenarnya memiliki tujuan yang baik, namun secara bersamaan respon tersebut
juga dapat menimbulkan hal yang tidak baik. Nyeri perioperatif yang tidak
terkontrol dapat menimbulkan patofisiologi perioperatif ini dan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Pengurangan nyeri pascaoperasi, terutama dengan
beberapa regimen analgetik, dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas (Miller,
2010).
Transmisi rangsang nyeri dari perifer ke SSP menghasilkan respon stress
neuroendokrin, sebuah kombinasi antara substansi inflamasi lokal (misalnya
sitokin, prostaglandin, leukotrin, tumor necrosis factor-α) dan mediator sistemik
pada respon neuroendokrin. Respon neuroendokrin yang dominan terhadap nyeri
adalah interaksi antara hipotalamus-hipofisis-adrenokortikal dan simpatoadrenal.
Respon refleks suprasegmental terhadap nyeri menghasilkan peningkatan tonus
simpatis, peningkatan katekolamin, dan sekresi hormon katabolik (misalnya
kortisol, hormon adrenokortikotropik, hormon antidiuretik, glukagon, aldosteron,
renin, angiotensin II), dan penurunan sekresi hormon anabolik. Efeknya berupa
17
retensi air dan natrium, dan peningkatan level glukosa darah, asam lemak bebas,
badan keton, dan laktat. Selanjutnya akan terjadi keadaan hipermetabolik
katabolisme sehingga terjadi peningkatan metabolisme dan konsumsi oksigen
meningkat dan substrat metabolik dikeluarkan dari tempat penyimpanannya.
Tingkat respon terhadap stress dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti jenis
anestesi dan intensitas tindakan pembedahan, dimana tingkat respon terhadap
stress sebanding dengan derajat trauma pembedahan. Keseimbangan nitrogen
negatif dan katabolisme protein dapat menghambat pemulihan. Oleh karena itu,
penghambatan respon terhadap stress dan nyeri pascaoperasi dapat memfasilitasi
dan memperbaiki pemulihan pasien pascaoperasi.
2.1.6. Stress respon neuroendokrin
Respon neuroendokrin terhadap stress dapat merusak efek fisiologis pada
beberapa daerah dari tubuh. Respon terhadap stress merupakan faktor yang
penting dalam perkembangan hiperkoagulabilitas pascaoperasi. Peningkatan
koagulasi (misalnya penurunan level antikoagulan alami dan peningkatan level
prokoagulan), menghambat fibrinolisis, dan meningkatkan reaktifitas platelet dan
viskositas plasma sehingga dapat meningkatkan resiko kejadian yang disebabkan
karena hiperkoagulabilitas pascaoperasi seperti deep venous thrombosis,
kegagalan graft vaskuler, dan iskemia otot jantung. Stress respon dapat
meningkatkan
imunosupresi
pascaoperasi,
dimana
tingkat
penekanannya
sebanding dengan beratnya trauma bedah. Hiperglikemia dari stress respon dapat
mengakibatkan penyembuhan luka yang buruk dan depresi fungsi imun.
18
Nyeri pascaoperasi yang tidak terkontrol dapat mengaktifkan sistem saraf
simpatis yang ikut andil dalam morbiditas atau mortalitas. Aktifasi simpatis dapat
meningkatkan
konsumsi
oksigen
otot
jantung,
yang
penting
dalam
perkembangannya menjadi iskemia dan infark otot jantung, dan dapat
menurunkan suplai oksigen karena terjadi vasokontriksi di pembuluh koroner dan
penghambatan vasodilatasi pembuluh koroner metabolik lokal. Aktifasi sistem
saraf simpatis juga dapat menurunkan motilitas gastrointestinal pascaoperasi, yang
akhirnya dapat berkembang menjadi ileus paralitik. Meskipun ileus pascaoperasi
dihasilkan dari kombinasi input inhibisi dari faktor sentral dan lokal, peningkatan
aktifitas aferen simpatis, misalnya yang berasal dari nyeri yang tidak terkontrol,
dapat menurunkan aktifitas gastrointestinal dan penundaan kembalinya fungsi
gastrointestinal.
Nosiseptor teraktivasi setelah trauma bedah dan dapat mengasilkan
beberapa kekacauan refleks arkus spinal. Fungsi respirasi pascaoperasi dapat
segera menurun, terutama setelah operasi abdomen atas dan thoraks. Inhibisi
refleks spinal pada aktifitas nervus frenikus merupakan komponen penting dalam
penurunan fungsi paru pascaoperasi ini. Oleh karena itu kontrol terhadap nyeri
pascaoperasi juga penting karena pasien dengan kontrol nyeri yang buruk dapat
menyebabkan pernafasan yang menurun, refleks batuk yang tidak adekuat, dan
lebih mudah berkembang menjadi komplikasi pulmoner pascaoperasi. Aktivasi
nosiseptor juga dapat menyebabkan hambatan fungsi refleks spinal dari
gastrointestinal dan menunda pulihnya motilitas gastrointestinal. Banyak efek
patofisiologi yang merugikan yang terjadi pada periode perioperasi dan hal ini
19
dihubungkan dengan aktifasi nosiseptor dan respon terhadap stress. Nyeri yang
tidak terkontrol dapat mengaktifkan sistem saraf simpatis, yang dapat berpotensi
menyebabkan respon fisiologis yang berbahaya yang dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas. Aktifasi nosiseptor juga dapat menyebabkan mencegah
beberapa refleks spinal. Kontrol terhadap proses patofisiologi karena nyeri
pascaoperasi dapat menurunkan respon terhadap stress, rangsangan simpatis, dan
pencegahan refleks spinal dan mengurangi morbiditas, mortalitas, dan outcome
pasien (misalnya kenyamanan pasien, kualitas hidup yang baik).
2.2.
Instrumen penilaian nyeri
Menurut JCAHO (Joint Commision on Accreditation of Healthcare
Organizations) pada tahun 2001, penilaian nyeri merupakan tanda vital yang
kelima yang harus kita nilai pada setiap pasien. Penilaian nyeri yang teratur dan
berulang harus dilakukan untuk menilai keadekuatan terapi analgesia yang sedang
berjalan. Frekuensi penilaian nyeri tergantung dari durasi dan beratnya nyeri,
kebutuhan serta respon pasien serta jenis obat dan intervensi yang digunakan.
Penilaian rasa nyeri pada pasien pascaoperasi harus meliputi penilaian pada
kondisi statik (saat istirahat, tidak bergerak) dan pada kondisi dinamis (saat
bergerak, duduk, batuk). Secara garis besar, penilaian nyeri dibagi menjadi dua,
yaitu penilaian unidimensional dan penilaian multidimensional (Cousin, 2010).
Penilaian unidimensional merupakan skala untuk menilai intensitas nyeri
ataupun tingkat berkurangnya nyeri setelah suatu intervensi obat analgesia. Dalam
menilai respon terhadap suatu terapi biasanya dipakai skala penurunan nyeri dan
bukan intensitas nyerinya (Cousin, 2010). Skala kategori menggunakan kata-kata
20
untuk mendeskripsikan intensitas nyeri atau derajat penurunan nyeri. Verbal
descriptive scale (VDS) biasanya menggunakan kata tidak nyeri, nyeri ringan,
nyeri sedang, nyeri berat atau sangat nyeri. VDS pertama kali disampaikan oleh
Keele pada tahun 1948. VDS lebih sulit digunakan pada pasien pascaoperasi
dibandingkan dengan skala numerikal dan kurang sensitif untuk menilai hasil
terapi analgesia dibandingkan dengan VAS (Ballantyne, 2008). Skala kategori
mempunyai keuntungan karena sederhana, mudah, dan cepat dilakukan, dan
berguna pada pasien-pasien tua atau pasien dengan gangguan penglihatan. Akan
tetapi terbatasnya pilihan kategori dibandingkan dengan numerical pain scales
(NPS) membuat skala kategori lebih sulit untuk mengetahui adanya perbedaan
terhadap hasil terapi analgesia yang diberikan (Cousin, 2010; Deloach dkk.,
1998).
Skala numerikal terdapat dalam bentuk sebagai kalimat verbal ataupun
tertulis. Skala numerikal dalam kalimat verbal dikenal sebagai numerical rating
scale (NRS), disampaikan oleh Downie pada tahun 1978, dimana pasien diminta
untuk menyatakan tingkat nyerinya dalam skala numerikal, biasanya antara 0-10
dimana 0 sebagai tidak nyeri, dan 10 sebagai sangat nyeri. NRS merupakan salah
satu instrumen pengukur nyeri yang sering digunakan dalam penelitian. Skala
numerikal dalam bentuk tertulis dikenal sebagai VAS dan saat ini merupakan
pengukur nyeri yang paling luas digunakan dalam praktek klinis maupun dalam
penelitian. VAS berupa suatu garis lurus horizontal dengan panjang 100 mm, pada
ujung kiri ditandai dengan tidak ada nyeri sedangkan pada ujung kanan ditandai
dengan sangat nyeri, kemudian pasien diminta untuk memberi tanda pada garis
21
tersebut yang kemudian akan diukur jaraknya dari sebelah kiri. Jarak tersebut
dihitung dalam satuan milimeter (mm) dan mencerminkan tingkat nyeri yang
dialami pasien. Selain dalam posisi horizontal, VAS juga dapat diposisikan
vertikal dan hasilnya tetap valid. Interpretasi nilai VAS sangat bervariasi
tergantung dari definisi yang digunakan, akan tetapi interpretasi nilai VAS yang
paling banyak digunakan yaitu nilai <40 mm sebagai nyeri ringan, 41-70 mm
sebagai nyeri sedang, dan >71 mm sebagai nyeri berat. Hasil dari penilaian VAS
ini dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam menyesuaikan dosis obat
analgetik yang diberikan (Aubrun dkk., 2003; Bodian dkk., 2001). Skala ini
mempunyai
keuntungan
oleh
karena
sederhana,
mudah
dan
cepat
menggunakannya, memungkinkan pasien menentukan sendiri tingkat nyerinya
dalam rentang yang cukup lebar. Akan tetapi dalam menentukan skala ini
diperlukan konsentrasi dan koordinasi yang cukup baik sehingga tidak dapat
dipergunakan pada anak-anak (Cousin, 2010). Perubahan nilai VAS juga
mempengaruhi tingkat kepuasan pasien. Penurunan nilai VAS kira-kira 10 mm
atau 15% dikatakan sebagai nyeri sedikit menurun, penurunan nilai 20-30 mm
atau 33% dianggap sebagai penurunan nyeri yang bermakna dari sudut pasien dan
penurunan VAS hingga 66% dianggap sebagai menghilangnya nyeri yang
substansial.
Penilaian multidimensional tidak hanya menilai intensitas nyeri, tapi juga
menghasilkan informasi tentang karakteristik nyeri dan dampaknya terhadap
individu pasien. Salah satu penilaian multidimensional yang sering dipakai adalah
the McGill Pain Questionaire (MPQ). MPQ dikembangkan oleh Melzack pada
22
tahun 1987 untuk memperoleh penilaian kualitatif dan kuantitatif dari nyeri yang
dirasakan oleh pasien. MPQ menghasilkan dua nilai global, yaitu pain rating
index dan intensitas nyeri terkini. MPQ terbukti sebagai penilaian nyeri yang valid
dan dapat dipercaya. Pain rating index diperoleh dari jumlah nilai dari 20
pertanyaan yang dijawab oleh pasien yang mendeskripsikan segi sensoris, afektif,
dan dimensi nyeri. Intensitas nyeri terkini berupa skala nyeri dari 0-5, dimana 0 =
tidak nyeri, 1 = nyeri ringan, 2 = merasa tidak nyaman, 3 = terganggu oleh nyeri,
4 = sangat terganggu oleh nyeri, 5 = sangat tersiksa oleh nyeri.
2.3.
Obat Anestesi Lokal
Anestesi lokal merupakan obat yang menghasilkan blokade konduksi atau
blokade natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi
sepanjang saraf, yang jika dipergunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestesi
lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan
dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf. Semua obat anestesi lokal
baru adalah sebagai rekayasa obat lama yang dianggap masih mempunyai
kekurangan-kekurangan.(Stoelting R,dkk 2006)
Kokain merupakan obat anestetik lokal yang paling pertama diperkenalkan
oleh Kollar, pada tahun 1884 yang digunakan pada operasi mata. Penggunaan
kokain aman hanya untuk anestesi topikal. Penggunaan secara sistemik akan
meyebabkan efek samping keracunan sistem saraf, sistem kardiovaskuler,
ketagihan, sehingga dibatasi pembuatannya hanya untuk topikal mata, hidung dan
tenggorokan. Sifat unik yang lain dari kokain adalah kemampuannya
menghasilkan vasokontriksi pada daerah setempat, membuat kemudahan dalam
23
hal prosedur rinolaringologi dan pada saat intubasi endotrakea. (Katzung B,dkk
2006)
Anestesi lokal sintetik yang pertama kali diperkenalkan adalah derifat ester
prokain, yang diperkenalkan oleh Einhorn pada tahun 1905. Lidokain disintesa
sebagai golongan amid oleh Lofgren pada tahun 1943. Menghasilkan blokade
konduksi yang lebih cepat, intens dan lebih lama hasil konduksinya. Tidak seperti
prokain, lidokain merupakan anestesi topikal lebih efektif dan dipakai sebagai
obat antidisritmia. Untuk alasan ini lidokain merupakan pilihan standar bila
dibandingkan dengan anestetik lokal lainnya.(Katzung B,dkk 2006)
Bupivakain adalah lokal anestesi golongan amino amid disintesis pertama
oleh A.F. Ekenstam di Swedia pada tahun 1957. Bupivakain pertama digunakan
tahun 1963 oleh L. J. Teluvio. Bupivakain merupakan salah satu lokal anestesi
dengan durasi kerja yang lama, digunakan secara luas untuk intratekal, epidural
dan blok saraf perifer. Obat ini berupa serbuk kristal larut dalam air.
2.3.1. Struktur Anestetik Lokal
Anestetik lokal ialah gabungan dari garam larut dalam air dan alkaloid
larut dalam lemak dan terdiri dari bagian kepala cincin aromatic tak jenuh yang
bersifat lipofilik, bagian badan sebagai penghubung terdiri dari cincin hidrokarbon
dan bagian ekor yangbterdiri dari amino tersier bersifat hidrofilik. Hampir semua
anestetik lokal, ester (-CO-) atau amid (-NHC-) berikatan dengan rantai
hidrokarbon menuju cincin aromatik lipofilik. Perbedaan utama antara golongan
ester dan amide dari anestetik lokal adalah dalam hubungannya menduduki dalam
24
metabolisme dan berpotensi untuk menghasilkan reaksi alergi.(Stoelting R,dkk
2006; Katzung B,dkk 2006)
Bagian lipofilik, biasanya terdiri dari cincin aromatik (benzene ring) tak
jenuh, misalnya PABA (para-amino-benzoic acid). Bagian ini sangat penting
untuk aktifitas anestesi. Bagian Hidrofilik, biasanya golongan amino tersier
(dietil-amin)
Anestetik lokal dibagi menjadi dua golongan.
1.
Golongan Ester (-COOC-)
Kokain, benzokain (amerikain), ametocaine, Prokain (novocaine), tetrakain
(pontocaine), kloroprokain (nesacaine)
2.
Golongan Amid (-NHCO-)
Lidokain (xylocaine, lignocaine), mepivakain (carbocaine), prilokain
(citanest),
bupivakain
(marcaine),
etidokain
(duranest),
(nupercaine), ropivakain (naropin), levobupivakain (chirocaine)
Gambar 2.3 Struktur kimia bupivakain
Properti fisiokimia
1. Molekul C18H28N2OHCl
2. Berat molekul 288,43 g/mol
dibukain
25
3. pH larutan 5,2
4. pKa 8,1
5. Berat jenis 1,021 pada suhu 370C
2.3.2. Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal
Obat anestetik lokal mencegah proses terjadinya depolarisasi membran
saraf pada tempat suntikan obat tersebut, sehingga membran akson tidak akan
bereaksi dengan asetilkolin sehingga membran akan tetap dalam keadaan
semipermeabel dan tidak terjadi perubahan potensial. Keadaan ini menyebabkan
aliran impuls yang melewati saraf tersebut terhenti, sehingga segala macam
rangsang atau sensasi tidak sampai analgesia, paresis sampai paralisis dan
vasodilatasi pembuluh darah pada daerah yang terblok (Katzung B,dkk 2006;
Heavner James 2007).
Hambatan depolarisasi dilakukan melalui mekanisme :
1.
Penggantian ion kalsium pada membran dengan bagian/struktur dari obat
anestesi lokal.
2.
Mengurangi permeabilitas membrane sel terhadap natrium
3.
Menurunkan laju depolarisasi aksi potensial membran.
4.
Menurunkan derajat depolarisasi sampai ambang potensial.
5.
Menggagalkan perkembangan penyebaran aksi potensial.
Proses yang terjadi semenjak obat anestetik lokal disuntikkan ke dalam
jaringan sehingga timbul efek difusi obat ke dalam urat saraf, proses penetrasi ke
dalam sel saraf, distribusi obat-obat di dalam sel saraf, fiksasi obat pada membran
sel.
26
Sama seperti agen anestesi lain pada umumnya, mekanisme kerja
bupivakain adalah sebagai berikut:
1. Bupivakain memblok konduksi saraf dengan mencegah terjadinya aksi
potensial dalam akson.
2. Bupivakain berinteraksi secara langsung dengan reseptor spesifik pada kanal
Na+ sehingga menghambat masuknya ion Na + dengan akibat terjadi hambatan
impuls saraf. Molekul obat anestesi harus melewati membran sel melalui
difusi non ionik pasif dari molekul dan kemudian terikat pada kanal Na+.
3. Peningkatan konsentrasi bupivakain menyebabkan transmisi impuls otonom,
somatosensoris dan somatomotoris terhenti, menghasilkan blokade sistem
saraf otonom, sensoris dan motoris pada daerah yang diinnervasi oleh saraf
yang terkena blokade. Eleminasi bupivakain diikuti oleh kembalinya secara
spontan dan komplit konduksi saraf tanpa terjadinya kerusakan struktural
pada serabut saraf sebagai akibat dari efek obat lokal anestesi (Miller, 2009).
Selain efek farmakologi tersebut, obat anestesi lokal juga menimbulkan
efek pada sistem organ lain pada tubuh. Efek ini disebabkan karena obat tersebut
mengalami proses absorpsi dan distribusi ke dalam sirkulasi dan jaringan tubuh
sama seperti yang dialami oleh obat lain (Heavner James, 2007).
Potensi obat anestesi lokal dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin
larut makin poten. Ikatan dengan protein (protein binding) mempengaruhi lama
kerja dan konstanta dissosiasi (pKa) menentukan awal kerja (Gordon D, 2008).
Konsentrasi minimal anestetika lokal (analog dengan MAC, minimum
alveolar concentration) dipengaruhi oleh: ukuran,jenis dan mielinisasi saraf, pH
27
(asidosis akan menghambat blokade saraf), frekuensi stimulasi saraf (Stoelting R,
dkk, 2006).
Mula kerja bergantung dari beberapa faktor, yaitu :
1.
pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi
meningkat dan dapat menembus membrane sel saraf sehingga menghasilkan
mula kerja cepat.
2.
Alkalinisasi anestesi lokal membuat mula kerja cepat.
3.
Konsentrasi obat anestesi lokal.
Lama kerja obat anestesi lokal dipengaruhi oleh ikatan dengan protein
plasma, karena reseptor anestesi lokal adalah protein. Kemudian dipengaruhi juga
oleh kecepatan absorpsi dan banyaknya pembuluh darah perifer di daerah
pemberian anestesi lokal.
2.3.3. Efek pada sistem organ
Karena kemampuannya dalam hal memblok reseptor spesifik pada saluran
natrium (sodium channel) sehingga tidak terjadi aksi potensial, maka tidaklah
mengherankan bila obat anestesi lokal mempunyai kemampuan menghasilkan
efek toksik sistemik (Katzung B,dkk, 2006).
1.
Sistem saraf pusat (SSP)
SSP rentan terhadap toksisitas anestesi lokal, dengan tanda-tanda awal
paresthesia lidah, pusing, kepala terasa ringan, tinitus, pandangan kabur, agitasi,
twitching, depresi pernafasan, tidak sadar, konvulsi, koma. Tambahan adrenalin
beresiko menyebabkan kerusakan saraf. Karena potensi kelarutan tinggi dalam
lemak, anestesi lokal dapat menghasilkan seizures pada konsentrasi rendah dalam
28
darah. Dengan cara menurunkan aliran darah ke otak dan paparan obat juga
diturunkan. Bila terjadi seizure pemberian preparat benzodiazepin dan
hiperventilasi meningkatkan ambang dari anestesi lokal untuk menghasilkan
seizure.
Bupivakain bisa menyebabkan rangsangan, penekanan, atau keduanya.
Rangsangan sentral ditunjukkan sebagai gelisahnya pasien, tremor, menggigil
yang memberat sampai kejang, dilanjutkan depresi, koma dan puncaknya terjadi
henti napas.
2.
Sistem pernafasan
Bupivakain dapat mendepresi sistem saraf pusat pada pusat hipoksik
sehingga meningkatkan ambang respon terhadap ventilasi pada kondisi pO2 yang
rendah. Hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis dan paralisis respirasi akibat
level blok motoris yang terlalu tinggi bisa menyebabkan hipoventilasi. Apabila
tidak diterapi bisa menyebabkan terjadinya henti jantung.
3.
Sistem kardiovaskuler
Pada umumnya, semua anestesi lokal secara otomatis menyebabkan
depresi pada otot jantung (spontan dari fase IV depolarisasi) dan menurunkan
durasi periode refrakter. Semua obat anestesi lokal kecuali kokain menghasilkan
relaksasi otot polos. Gejala toksik mayor terhadap kardiovaskuler biasanya sekitar
tiga kali dari konsentrasi dalam darah yang menyebabkan seizures.
Bupivakain mendepresi otomatisasi miokard (fase IV depolarisasi
spontan) dan mengurangi durasi dari periode refraktif. Kontraktilitas miokard dan
kecepatan konduksi didepresi pada konsentrasi yang lebih tinggi. Injeksi
29
bupivakain intravaskular yang tidak disengaja selama anestesi regional dapat
menyebabkan reaksi kardiotoksik berat, hipotensi, blok atrioventrikuler dan
disritmia seperti fibrilasi ventrikel. Selain itu, perlu dosis maksimal bupivakain (3
mg/kgBB) karena bisa terjadi absorbsi sistemik.
4.
Sistem imunologi
Golongan ester menyebabkan reaksi alergi lebih sering, karena merupakan
derifat para-amino-benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai alergen. Reaksi
alergi pada pemakaian bupivakain sangat jarang terjadi.
5.
Sistem muskuloskletal
Pada saat penyuntikkan langsung ke dalam otot rangka (contohnya trigger
point injection), anestesi lokal bersifat miotoksik (bupivakain>lidokaine>
prokaine). Secara histologi, hiperkonsentrasi dari miofibril mengakibatkan
degenerasi dan lisis, edema, serta nekrosis. Proses regenerasi biasanya terjadi
dalam waktu 3-4 minggu.
6.
Sistem hematologi
Terjadi penurunan proses koagulasi saat pemberian lidokain (pencegahan
proses trombosis dan penurunan agregasi platelet) dan meningkatkan terjadinya
fibrinolisis. Efek seperti ini berhubungan dengan penurunan efikasi dari epidural
autologus. Bupivakain bersifat toksik terhadap otot.
2.3.4. Farmakokinetik
Anestetik lokal merupakan basa lemah yang memiliki nilai pK sedikit
diatas pH fisiologis. Hasilnya, <50% dari anestetik lokal merupakan bentuk larut
dalam lemak tidak terionisasi pada pH fisiologis. Contoh, pada pH 7,4 hanya 5%
30
dari tetrakain yang dalam bentuk tidak terionisasi. Adanya asidosis pada tempat
injeksi anestesi lokal (seperti yang terjadi pada jaringan yang infeksi)
menyebabkan peningkatan fraksi obat terionisasi. Hal ini sesuai dengan kenyataan
lemahnya anestesi lokal yang terjadi bila anestesi lokal diinjeksikan pada tempat
yang terinfeksi dan asidosis. Anestesi lokal dengan nilai pK mendekati pH
fisiologis memiliki mula kerja yang paling cepat, hal ini mencerminkan adanya
rasio yang optimal antara fraksi obat terionisasi dengan fraksi obat tidak
terionisasi.(Katzung B,dkk 2006)
Adanya aktivitas vasodilator intrinsik juga mempengaruhi potensi dan
masa kerja anestesi lokal. Sebagai contoh, adanya efek vasodilator yang lebih kuat
pada lidokain bila dibandingkan dengan mepivakain, menghasilkan absorpsi
sistemik lidokain yang lebih besar dan masa kerja yang lebih singkat. Bupivakain
dan etidokain menghasilkan vasodilatasi yang serupa, namun konsentrasi plasma
dari bupivakain melebihi etidokaine pada penggunaan epidural. Kelarutan dalam
lemak yang lebih besar oleh etidokain menghasilkan sekuestrasi jaringan dan
ketersediaan obat untuk absorpsi sistemik. Adanya pemanjangan blokade sensoris
setelah injeksi etidokain dihubungkan dengan adanya sekuestrasi jaringan
(Katzung B,dkk 2006).
Farmakokinetik dari bupivakain adalah sebagai berikut:
1. Absorbsi
Absorbsi sistemik dari obat injeksi bupivakain tergantung pada aliran darah,
dan ditentukan oleh faktor berikut ini:
31
a. Lokasi suntikan
Jumlah absorbsi sistemik berbanding lurus dengan vaskularitas pada
daerah suntikan; intravena > trakeal > interkostal > kaudal > paraservikal
> epidural > pleksus brakialis > subkutaneus.
b. Adanya vasokonstriktor
Penambahan epinefrin atau fenilefrin menyebabkan vasokontriksi di
daerah suntikan. Akibat dari penurunan absorbsi adalah meningkatnya
ambilan neuronal, meningkatkan kualitas analgesia, memperpanjang
durasi kerja dan membatasi efek samping berupa toksisitas. Masa kerja
anestesi lokal berbanding langsung dengan waktu kontak aktifnya dengan
saraf. Akibatnya, tindakan yang dapat melokalisasi obat pada saraf akan
memperpanjang waktu anestesi. Penambahan epinefrin pada larutan
anestesi lokal akan memperpanjang kerja blokade konduksi dan
menurunkan absorpsi sistemik anestesi lokal hingga sepertiga-nya (Liu
1997; Scott, 1972). Larutan suntik anestetik lokal biasanya mengandung
epinefrin (1:200.000), norepinefrin (1:100.000). pada umumnya zat
vasokonstriktor ini harus diberikan dalam kadar efektif minimal.
Epinephrine mengurangi kecepatan absorpsi anest esi lokal sehingga akan
mengurangi juga toksisitas sistemiknya (Stoelting R,dkk 2006; Katzung
B,dkk 2006).
Sebagian vasokonstriktor mungkin akan diserap dan bila
jumlahnya cukup banyak akan menimbulkan efek samping, misalnya,
gelisah, takikardi, palpitasi, dan nyeri di dada. Untuk mengurangi
32
perangsangan adrenergik yang berlebihan dan yang tidak diinginkan
tersebut, perlu dipertimbangkan penggunaan obat penghambat alfa atau
beta adrenergik. Mungkin pula terjadi perlambatan penyembuhan luka,
edema atau nekrosis. Nekrosis dapat terjadi karena amin simpatomimetik
menyebabkan peningkatan pemakaian oksigen jaringan, dan dengan
adanya vasokonstriksi terjadi hipoksia dan kerusakan jaringan setempat.
Keadaan ini akan membahayakan bila zat anestesi lokal digunakan pada
tindakan pembedahan jari tangan atau kaki. Vasokonstriksi pembuluh nadi
utama
yang
hanya
mempunyai
sedikit
sirkulasi
kolateral
akan
menimbulkan kerusakan jaringan yang ireversibel atau gangren. Selain itu
zat anestesi lokal sendiri mungkin dapat mengganggu proses penyembuhan
luka (Stoelting R,dkk 2006).
2. Distribusi
Distribusi ditentukan oleh faktor berikut:
a. Perfusi jaringan
b. Koefisien partisi jaringan/ darah di mana ikatan dengan protein
mempertahankan obat bupivakain lebih lama dalam darah.
c. Massa jaringan
Semakin larut dalam lemak semakin tinggi ambilan obat oleh jaringan.
3. Metabolisme dan ekskresi
Proses hilangnya efek obat anestesi lokal sebagai berikut :
Obat yang berada di luar saraf akan diabsorpsi oleh sistem pembuluh darah
kapiler. Sel saraf akan melepaskan ikatannya dengan obat anestesi lokal. Hal ini
33
disebabkan karena adanya perbedaan konsentrasi obat di dalam dengan di luar
sel. Setelah obat diabsorpsi oleh sistem sirkulasi, didistribusikan ke organ-organ
lain. Kemudian baru terjadi proses detoksifikasi dan eliminasi (Heavner James,
2007).
2.3.5. Kontraindikasi pemakaian bupivakain:
1. Pasien diketahui hipersensitif pada agen lokal anestesi golongan amida.
2. Tidak direkomendasikan untuk anestesi regional intravena.
2.4.
Transversus Abdominis Plane (TAP) Block
Abdominal field block sudah dikenal sejak lama dan telah digunakan
secara luas karena tehniknya yang hampir tidak pernah berubah. Meskipun
demikian, tehnik ini memberikan daerah analgesik yang terbatas, sehingga tehnik
ini juga membutuhkan tindakan penyuntikan multipel. Secara sederhana, blok ini
dilakukan dengan batas yang buta (blind), sehingga kesuksesan dari tehnik ini
tidak dapat diprediksi. TAP (Transversus abdominis plane) block merupakan
tehnik yang baru, untuk dapat memberikan analgesia pada dinding abdomen
anterior (Jankovic, 2009). Deskripsi tehnik landmark untuk melakukan
transversus abdominis plane block menghasilkan titik masuk tunggal, segitiga
Petit, yang dapat mengakses sejumlah saraf dinding abdomen sehingga
memberikan daerah analgesia yang lebih luas. Saat ini, transversus abdominis
plane block yang menggunakan panduan ultrasonografi (USG) telah terbukti
memberikan penempatan dan deposisi obat anestesi lokal yang lebih baik dengan
akurasi yang lebih baik (Mukhtar, 2009).
34
Keuntungan perioperatif dapat berupa ekstubasi yang lebih cepat karena
pemakaian opioid yang lebih sedikit, analgesia yang baik, dan kebutuhan morfin
pascaoperasi yang minimal (Allcock, 2010). TAP block efektif dalam mengurangi
nyeri pascaoperasi bedah berbagai penelitian, bahkan hingga 48 jam pasca bedah
(McDonnell, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Carney secara acak pada 50
wanita yang menjalani operasi abdominal histerektomi, didapatkan bahwa pada
pasien yang dilakukan TAP block menggunakan ropivakain terjadi penurunan nilai
skala nyeri menggunakan VAS dibandingkan dengan plasebo pada 48 jam
pertama (Carney, 2010). TAP block juga baik dalam menurunkan analgesi pada
operasi kolorektal (Bharti, dkk, 2011), ginekologi laparoskopi (Oliviera, 2011).
Jika dibandingkan dengan penggunaan morfin subarakhnoid, kemampuan TAP
block untuk memberikan analgetik masih berada dibawahnya, namun efek
sampingnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan morfin subarakhnoid (Kanazi,
2010).
Belum banyak penelitian mengenai TAP block dalam menurunkan angka
kejadian dan beratnya PONV. Suatu penelitian oleh Carney, belum dapat
membuktikan itu. Hal ini diperkirakan karena pada penelitian tersebut, morfin
juga digunakan sebagai analgesia intravena PCA. Dimana morfin dapat
menyebabkan PONV (Carney, 2010).
Namun demikian, TAP block juga belum terbukti sepenuhnya membantu
analgesia pascaoperasi misanya, penelitian yang dilakukan oleh Griffits, dan
kawan-kawan yang menunjukkan bahwa blokade melalui TAP yang diberikan
tidak memiliki keuntungan analgesi multimodal pada wanita yang menjalani
35
bedah kanker ginekologi (Griffiths, 2010). Freir juga melaporkan bahwa TAP
block pada pasien dengan transplantasi renal tidak menunjukkan penurunan
konsumsi opioid pasca bedah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Bahkan
pasien dengan TAP block dilaporkan memiliki resiko hingga 2,2 kali lebih besar
untuk menyebabkan PONV dibanding pada kelompok kontrol. Demikian pula
keefektifan TAP Block untuk operasi laparoskopi kolesistektomi, masih terdapat
perbedaan (Freir, 2012). Ortiz menunjukkan ketidakberhasilannya (Ortiz 2012),
sementara Petersen berhasil menunjukkan efektifitas TAP block dalam
mengurangi nyeri pasca bedah (Petersen, 2012).
Pada awalnya, TAP block disebut sebagai tehnik yang mudah dilakukan
tanpa komplikasi mayor. Namun, dengan meningkatnya penggunaan, dan
perbedaan tehnik, akhirnya banyak terjadi komplikasi dan kegagalan (Jankovic
2009).
2.4.1. Anatomi
Tranversus abdominis plane (TAP) adalah sebuah daerah yang secara
anatomi berada diantara otot obliqus internus dan transversus abdominis dan
meluas ke abdomen dimana kedua otot ini masih ada. TAP block merupakan
tehnik anestesi regional yang baru dan cepat berkembang dengan melakukan
injeksi bolus tunggal anestesi lokal yang banyak ke daerah anatomi ini untuk
menghambat saraf aferen somatik sebelum keluar dari TAP menuju ke dinding
abdomen anterior dari dermatom T8 ke L1 (Jankovic 2009).
Segitiga lumbar Petit adalah daerah anatomi yang secara teori dapat
digunakan sebagai titik referensi masuknya jarum suntik ke daerah TAP. Pada
36
bagian posteriornya, segitiga ini dibentuk dari dinding lateral otot latisimus dorsi
dan dari arah anteriornya dibentuk dari tepi bebas posterior otot obliqus internus,
dengan krista iliaka di bagian bawah. Secara berurutan segitiga ini memiliki
lapisan dari superfisial ke dalam yang dibentuk oleh jaringan subkutan, otot
obliqus internus, dan otot transversus abdominis. Meskipun demikian, lokasi
segitiga lumbar Petit ini masih merupakan kontroversi (Jankovic, 2009).
Persarafan dinding abdomen anterolateral berasal ramus anterior nervus
spinalis T7 sampai L1. Termasuk didalamnya adalah nervus interkostal (T7-T11),
nervus subkostal (T12), dan nervus iliohipogastrik dan nervus ilioinguinal (L1)
(Mukhtar, 2009)
Gambar 2.4 Persarafan kutaneus dinding abdomen. Daerah yang berwarna adalah
daerah yang mengalami efek analgesia pada injeksi tunggal TAP block posterior.
Divisi anterior T7-T11 keluar dari celah interkostal untuk kemudian
memasuki dinding abdominal muskulus tranversus abdominis dan obliqus
internus, dimana disitu akan menyebar, dan berakhir sebagai cabang kutaneus
37
anterior yang mempersarafi kulit dinding abdomen bagian depan. Di pertengahan
jalan, nervus ini menembus muskulus obliqus eksternus dan latissimus dorsi.
Cabang anterior T12 berhubungan dengan nervus iliohipogastrik dan
sebuah cabang ke piramidalis. Cabang kutaneus lateralnya masuk ke muskulus
obliqus internus dan eksternus dan turun melewati krista illiaka dan memberikan
rasa sensasi ke bagian depan regio gluteal.
Nervus iliohipogastrik (L1) terbagi diantara obliqus internus dan
transversus abdominis di dekat krista illiaka ke cabang kutaneus lateral dan
anterior, sebagian mempersarafi kulit regio gluteal sementara yang lainnya
mempersarafi regio hipogastrik. Nervus illioinguinal (L1) berhubungan dengan
nervus iliohipogastrik diantara obliqus internus dan transversus abdominis dekat
bagian anterior crista illiaca. Nervus ini mempersarafi bagian atas dan medial
paha dan bagian kulit yang menutupi genital.
2.4.2. Indikasi
Blok ini diindikasikan untuk semua tindakan pembedahan pada abdomen
bawah seperti appendisektomi, repair hernia, seksio sesarea, histerektomi
abdominal, dan prostatektomi. Keberhasilan pada operasi laparoskopi sudah
terbukti baik. Blok bilateral dapat dilakukan untuk insisi midline atau operasi
laparoskopi. Yang harus diperhatikan adalah supaya dosis obat anestesi lokal yang
diberikan tidak melebihi batas keamanan dengan injeksi bilateral.
Terdapat kontroversi pada literatur yang ada dalam hal penyebaran dan
derajat blok yang dicapai dengan penyuntikan TAP tunggal. Penelitian pendahulu
menunjukkan penyebaran dari T7 sampai L1 dengan penyuntikan posterior tunggal
38
sehingga blok ini baik untuk insisi abdominal midline, sementara penelitian yang
lain tidak berhasil menunjukkan penyebaran lebih tinggi dari T 10 sehingga hanya
cocok untuk pembedahan abdominal bawah.
Pada penelitian sederhana terhadap kadaver, T11, T12, dan L1 hampir selalu
ada di lapangan transversus abdominis, sedangkan T 10 ada pada 50% kasus. Oleh
karenanya secara rasional dapat diperkirakan bahwa dengan penyuntikan tunggal
di bagian posterior antara regio T 10 sampai L1 akan memberikan efek analgesia
yang baik. Penambahan penyuntikan subkostal membantu blok yang lebih tinggi
hingga mencapai T7. TAP subkostal merupakan modifikasi dari tehnik asli dimana
probe ultrasonografi diletakkan dibawah tepi kosta dan paralel dengannya. Jarum
kemudian dimasukkan dari sisi lateral ke otot rektus di lapangan gambaran
ultrasonografi, dan anestesi lokal disuntikkan sebanyak 10 ml ke transversus
abdominis plane untuk memberikan analgesia yang lebih dari yang diberikan oleh
TAP block dibawah umbilikus.
2.4.3. Tehnik Blok
Tujuan dari TAP block adalah untuk deposit anestesi lokal pada bidang
antara otot obliqus internus dan transversus abdominis menargetkan saraf tulang
belakang pada daerah ini. Persarafan pada kulit perut, otot dan peritoneum parietal
akan terganggu. Jika pembedahan melintasi rongga peritoneum, nyeri viseral
tumpul (dari kejang atau peradangan setelah pembedahan) masih akan tetap
terjadi (Mukhtar, 2009). Saat ini terdapat dua tehnik penyuntikan, yaitu: 1)
menggunakan pendekatan landmark klasik melalui Segitiga Petit, dan 2)
39
menggunakan pendekatan bantuan ultrasonografi (pendekatan klasik, dan
subkosta) (Logan, 2013).
Gambar 2.5 Jalur nervus spinal T7 sampai T12 dan percabangan dinding abdomen
2.4.3.1.
Blind TAP
Penggunaan ultrasonografi sebagai panduan untuk melakukan anestesi
regional masih sangat terbatas digunakan pada daerah perifer terutama pada
negara-negara berkembang dengan kemampuan ekonomi yang masih belum baik.
Oleh karena itu tehnik blind TAP block injection (penyuntikan secara tersamar
tanpa menggunakan panduan ultrasonografi) merupakan salah satu pilihan yang
sesuai.
Titik masuk blind TAP block adalah segitiga Petit. Segitiga ini berada
diantara tepi bawah costa dan krista illiaca. Segitiga ini terikat di anterior oleh
muskulus obliqus eksternus dan di posterior oleh latisimus dorsi. Tehnik ini
40
digambarkan sebagai perasaan double pop (dua kali terasa tahanan) karena jarum
menembus muskulus obliqus eksternus dan obliqus internus. Jarum yang tumpul
akan banyak menyebabkan hilangnya tahanan.
Gambar 2.6 Segitiga petit diantara muskulus obliqus ekternus dan latissimus dorsi
CM: costal margin, IC: krista illiaca.
Jarak rata-rata dari garis midaksiler sepanjang krista iliaka ke pusat
segitiga Petit lumbal pada level jaringan subkutan adalah 6,9 cm (kisaran 4,5-9,2
cm) dan dari permukaan kulit adalah 9,3 cm (kisaran 4-15,1 cm). Pusat segitiga
Petit lumbal adalah 1,4 cm diatas krista iliaka. Kedalaman TAP pada posisi
segitiga Petit lumbal adalah 1,5-4 cm dan pada garis midaksilaris adalah 0,5-2 cm.
Rata-rata ukuran segitiga Petit adalah 2,3 cm x 3,3 cm x 2,2 cm, dengan daerah
rata-rata 3,6 x 1,93 cm2. Dari tiga dari 26 spesimen kadaver yang di eskplorasi
menunjukkan bahwa saraf yang di lakukan TAP block melewati lateral segitiga
Petit. Terdapat temuan secara tidak sengaja yaitu bahwa pada 66% segitiga Petit
lumbal spesimen didapatkan cabang arteri subkostal. (Jankovic, 2009)
2.4.3.2.
TAP block menggunakan panduan ultrasonografi (USG)
Probe dari ultrasonografi diletakkan di lapangan transversus ke dinding
abdominal lateral di garis midaksiler, diantara tepi kosta bagian bawah dan krista
illiaka. Penggunaan ultrasonografi menghasilkan deposisi anestesi lokal yang
41
akurat pada daerah neurovaskuler yang tepat. Apabila durasi analgesia yang lebih
lama diperlukan untuk sekali penyuntikan anestesi lokal, kateter dapat digunakan
pada lapangan transversus abdominis menggunakan jarum. Setelah membuka
lapangan anestesi menggunakan larutan garam fisiologis 2 ml, kateter dimasukan
sekitar 3 cm melewati needle tip. Posisinya dipastikan dengan menginjeksi
anestesi lokal bolus (20 ml). Infus larutan anestesi lokal dimulai dengan kecepatan
7 sampai 10 ml per jam.
Gambar 2.7 Gambar skematik blok transversus abdominis menggunakan panduan
ultrasonografi. EO: external oblique, IO: internal oblique, TA: transversus
abdominis, LA: local anaesthetic
Melakukan blok menggunakan panduan ultrasonografi
Peralatan:
-
Mesin ultrasonografi dengan sebuah probe frekuensi tinggi (10-5 MHz)
-
Penutup probe ultrasonografi
42
-
Antiseptik untuk desinfeksi kulit
-
Gel ultrasonografi steril
-
Jarum: 50 mm atau 80 mm
-
Jarum 20 ml dan selang ekstensi
-
Anestesi lokal 20 mL (dengan konsentrasi berapa saja, blok ini tergantung pada
penyebaran obat anestesi lokal daripada konsentrasinya, yaitu tergantung volume).
2.4.3.3.
Tehnik block menggunakan panduan USG
Probe ultrasonografi frekuensi tinggi diletakkan memotong lapangan
dinding abdomen diantara tepi kosta dan krista iliaka saat pasien berada dalam
posisi supine
Gambar 2.8 Tehnik pemasangan USG dan penusukan jarum
Gambar ultrasonografi yang dihasilkan (dari atas ke bawah) menunjukkan kulit,
jaringan subkutan, lemak, oblikus eksternus, oblikus internus, transversus
abdominis. Peritoneum dan bowel loop dapat terlihat lebih dalam lagi dari otot.
43
Gambar 2.9 Gambaran ultrasonografi dinding abdomen. EO: external oblique, IO:
internal oblique, TA: transversus abdominis.
Jarum dimasukkan pada lapangan probe ultrasonografi tepat dibawah
probe dan dimasukkan hingga mencapai mencapai lapangan di antara otot oblikus
internus dan transversus abdominis. Jarum juga bisa dimasukkan beberapa
sentimeter ke arah medial
dari probe (dengan jarak yang ekivalen dengan
kedalaman lapangan sesuai dengan gambaran ultrasonografi). Probe kemudian
mengikuti titik masuknya jarum pada bagian superfisialnya dan kemudian
dikembalikan pada posisi aslinya pada garis midaksiler dimana jarum terlihat
lebih dalam.
Setelah mencapai lapangan, larutan garam fisiologis disuntikkan untuk
memastikan bahwa posisi jarum sudah benar, selanjutnya jika sudah benar, larutan
anestesi lokal disuntikkan sebanyak 20 ml. Transversus adbominis plane akan
nampak
mengembang
hipoekhoik).
setelah
penyuntikkan
(tampak
sebagai
bayangan
44
Gambar 2.10 Deposisi anestesi lokal yang tepat pada transversus adbominis plane
2.4.4. Komplikasi TAP Block
Saat ini belum terdapat laporan mengenai komplikasi pada penggunaan
tehnik menggunakan penuntun ultrasonografi (Mukhtar, 2009). Sampai saat ini
juga belum ada literatur dalam bahasa Inggris yang menunjukkan adanya
toksisitas setelah dilakukannya TAP Block (Young, 2012). Terdapat sedikit
komplikasi yang dilaporkan pada tehnik block buta (blind block), dimana yang
paling berarti adalah adanya kasus penyuntikan intrahepatik. Komplikasi lain
yang mungkin terjadi adalah: penyuntikan intraperitoneal, hematoma usus besar
dan kelemahan saraf femoral sementara. Toksisitas obat anestesi lokal juga dapat
terjadi karena perlunya volume yang banyak untuk mencapai block ini, terutama
apabila dilakukan secara bilateral. Sama seperti tehnik regional lainnya, aspirasi
45
secara hati-hati akan membantu menghindari injeksi intravaskuler (Mukhtar,
2009).
Meskipun blind TAP Block cukup beresiko untuk terjadinya komplikasi,
namun dengan adanya modifikasi menggunakan segitiga Petit ini terbukti
menghindarkan dari resiko komplikasi (Mukthar, 2009).
Griffiths bersama rekannya melaporkan rata-rata puncak plasma
ropivacaine adalah 2,54±0,75 mcg/mL pada TAP block bilateral dengan dosis
total 3 mg/kg. Level ini lebih tinggi dari dosis toksik minimal pada level plasma
yang dibakukan yaitu 2,2 mcg/mL, hampir sama dengan level yang umumnya
digunakan untuk blok saraf perifer (misalnya 2,58 mcg/mL untuk blok aksiler).
Kato dkk. juga melaporkan bahwa level toksik plasma dicapai pada penggunaan
lidokain 1% sebanyak 40 mL.
Download