23 BAB II KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI

advertisement
23
BAB II
KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI INSTRUMENTER
DALAM PEMBUATAN AKTA NOTARIS
A. Saksi Secara Umum
1. Pengertian Umum Saksi
Saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu
peristiwa (kejadian); orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa yang
dianggap mengetahui kejadian tersebut agar pada suatu ketika, apabila
diperlukan, dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa
peristiwa itu sungguh-sunguh terjadi; orang yang memberikan keterangan di
muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa; orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
peradilan tertentu suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau
dialaminya sendiri.34
Secara umum keterangan saksi adalah alat bukti yang sah.35
Sebagai alat bukti yang sah, saksi adalah seorang yang memberikan
kesaksian, baik dengan lisan maupun secara tertulis atau tanda tangan, yakni
menerangkan apa yang ia saksikan sendiri (waarnemen), baik itu berupa
perbuatan atau tindakan dari orang lain atau suatu kejadian. 36
34.
Kamus Besar Bahasa Indonesia diakses dari http://kbbi.web.id/saksi tanggal
15 April 2015.
35.
Pasal 1866, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
diterjemahkan oleh R.Subekti (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004).
36.
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1992),
hal.168.
Universitas Sumatera Utara
24
Tan Thong Kie menyatakan juga bahwa saksi adalah seseorang
yang memberikan kesaksian dengan menerangkan apa yang dilihat dan
didengar.37
Pasal 1 angka 26 KUHAP menyatakan bahwa saksi adalah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan
dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia sendiri.38
Saksi adalah seseorang yang memberikan kesaksian, baik secara
lisan maupun secara tertulis, yaitu menerangkan apa yang ia saksikan sendiri
(waarnemen), baik itu berupa perbuatan atau tindakan dari orang lain atau
suatu keadaan ataupun suatu kejadian; orang yang memberi penjelasan di
dalam sidang pengadilan untuk kepentingan semua pihak yang terlibat di
dalam perkara terutama terdakwa dan pendakwa; orang yang dapat
memberikan keterangan tentang segala sesuatu yang didengar, dilihat dan
dialami sendiri untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan
mengenai suatu perkara pidana.39
37.
Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris-Buku II, (Jakarta: Ichtiar
Baru, 1994), hal.268.
38.
H.M.Kamaluddin Lubis., Hukum Pembuktian Pidana Dan Perdata Dalam Teori
Dan Praktek, (Medan:1992), hal.18.
39.
Sudarsono, Kamus Hukum, Cet.VI, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal.415.
Universitas Sumatera Utara
25
2. Penggolongan Saksi
Saksi dalam lalu lintas hukum atau kejadian hukum dapat
digolongkan sebagai berikut:
a. Saksi Kebetulan
Saksi kebetulan adalah saksi yang secara kebetulan melihat atau
mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan di muka Hakim.40 Hari
Sasangka juga berpendapat saksi kebetulan adalah saksi yang secara
kebetulan melihat atau mendengar atau mengalami sendiri tentang
perbuatan atau peristiwa hukum yang menjadi perkara. 41
Contoh dari saksi kebetulan, misalnya A pada waktu datang ke
rumah B secara kebetulan melihat B dan C mengadakan transaksi jualbeli.42 Dari ilustrasi tersebut dapat terlihat kedudukan dari saksi kebetulan
bahwa saksi kebetulan memenuhi unsur tidak sengaja atau kebetulan
mendengar dan melihat suatu peristiwa.
b. Saksi Sengaja
Saksi sengaja adalah saksi yang diminta menyaksikan suatu
perbuatan hukum yang sedang dilakukan, misalnya menyaksikan jual-beli
tanah yang sedang dilangsungkan, menyaksikan suatu pembagian warisan,
menyaksikan suatu pernikahan, dan lain sebagainya.43
40
. R.Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007). hal.37.
41.
Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana Untuk Mahasiswa Dan
Praktisi, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hal.62.
42.
Ibid., hal.62.
43.
R.Subekti, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
26
c. Saksi A Charge
Saksi a charge adalah saksi yang memberikan keterangan di dalam
persidangan, dimana keterangan yang diberikannya mendukung surat
dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disebut JPU) atau
memberatkan terdakwa.44 Pasal 160 ayat (1) KUHAP juga menyebutkan
tentang saksi a charge, yaitu:
1) Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut
urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh Hakim ketua sidang setelah
mendengar pendapat umum, terdakwa atau penasihat hukum;
2) Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang
menjadi saksi;
3) Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang
memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara
dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau
penuntut umum selam berlangsung sidang atau sebelum dujatuhkannya
putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi
tersebut.45
Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat diketahui bahwa saksi
ini dihadirkan ke persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum.
44
. Darwan Prints, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan, 1998).
hal.139.
45.
Irenrera Putri, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Karyawan Notaris
sebagai Saksi Dalam Peresmian Akta, diakses dari http:/www.google.com/lib.ui.ac.id/file
digital/131194-T, pada tanggal 19 Maret 2015.
Universitas Sumatera Utara
27
d. Saksi A de Charge
Saksi a de charge adalah saksi yang memberikan keterangan di
dalam persidangan, dimana keterangan yang diberikannya meringankan
terdakwa atau dapat dijadikan dasar bagi nota pembelaan (pledoi) dari
terdakwa atau penasehat hukumnya.46
Saksi yang meringakan atau saksi a de charge merupakan saksi
yang diajukan terdakwa dalam rangka melakukan pembelaan atas dakwaan
yang ditujukan pada dirinya. Hal ini dilandasi Pasal 65 KUHP yakni
tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan
saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan
keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.
Dasar hukum saksi a de charge ini diatur dalam Pasal 116 ayat (3)
KUHAP yang berbunyi “dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia
menghendaki saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada
maka hal itu dicatat dalam berita acara.”
e. Saksi Berantai
Pada pasal 185 ayat (4) yang dimaksud saksi berantai, yakni:
Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang
suatu kejadian atau keadaam dapat digunakan sebagai suatu alat
bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu
dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan
adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.47
46.
47.
Prints, Loc.Cit.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, pasal 185 ayat (4).
Universitas Sumatera Utara
28
Saksi berantai tersebut juga diungkapkan oleh S.M. Amin, SH
kesaksian berantai ini ada 2 (dua) macam, yaitu: 48
1) Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi, dalam satu perbuatan.
2) Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi, dalam beberapa perbuatan.
Kesaksian berantai adalah beberapa orang saksi yang memberikan
keterangan tentang suatu kejadian yang tidak bersamaan, asalkan
berhubungan yang satu dengan yang lain sedemikian rupa dan tidak
dikenai unus testis nullus testis.49
Berdasarkan pejabaran tersebut, maka saksi berantai diartikan
sebagai keterangan-keterangan saksi-saki yang berdiri sendiri, akan tetapi
memiliki hubungan antara satu dengan lainnya untuk menggambarkan
suatu kejadian atau keadaan tertentu berkaitan dengan perkara yang
disidangkan di pengadilan.
f. Saksi Mahkota
Saksi Mahkota (Kroon Getuige; Crown Witness) adalah saksi yang
dimajukan Penuntut Umum didepan persidangan, dimana saksi tersebut
juga merupakan teman terdakwa yang ikut serta melakukan perbuatan
pidana itu. Saksi ini harus dimajukan oleh Penuntut Umum dengan syarat
bahwa kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam “satu berkas
perkara” dengan terdakwa yang diberikan kesaksian (gesplit).50
48.
H.M.Kamaluddin Lubis., Hukum Pembuktian Pidana Dan Perdata Dalam Teori Dan
Praktek, (Medan:1992), hal.29
49.
Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana Untuk Mahasiswa Dan
Praktisi, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hal.87.
50.
H.M.Kamaluddin Lubis., Op.Cit., hal.34.
Universitas Sumatera Utara
29
Sofyan Lubis, S.H., memberi defenisi saksi mahkota adalah saksi
yang berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau
terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan
kepadanya diberikan mahkota dalam bentuk ditiadakan penuntutan
terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat ringan
apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan. 51
Saksi Mahkota disalahartikan di Indonesia. Seakan-akan para
terdakwa dalam hal ini ikut serta (medeplegen) perkaranya dipisah dan
kemudian bergantian menjadi saksi, disebut saksi mahkota. Ini merupakan
kekeliruan terbesar. Terdakwa bergantian menjadi saksi atas perkara yang
dia sendiri ikut serta didalamnya. Sebenarnya bertentangan dengan
larangan selfincrimination (mendakwa diri sendiri), karena dia sebagai
saksi akan disumpah yang dia sendiri juga terdakwa atas perkara itu.
Saksi mahkota dikenal dalam praktik pengadilan di Nederland,
yaitu seorang terdakwa yang paling ringan peranannya dalam pelaksanaan
kejahatan itu, misalnya delik narkoba atau terorisme dikeluarkan dari
daftar terdakwa dan dijadikan saksi. Dasar hukumnya ialah asas
oportunitas yang ada di tangan jaksa untuk menuntut atau tidak menuntut
seseorang ke pengadilan baik dengan syarat maupun tanpa syarat.
51.
Irenrera Putri, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Karyawan Notaris
sebagai Saksi Dalam Peresmian Akta, diakses dari http:/www.google.com/lib.ui.ac.id/file
digital/131194-T, pada tanggal 13 Pebruari 2015.
Universitas Sumatera Utara
30
g. Saksi Verbalisant
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat
KBBI), verbalisan berarti orang (penyidik) yang melakukan proses verbal
(penyidikan).52
Kata verbalisant adalah suatu istilah yang lazim dipergunakan
dalam praktek peradilan pidana berdasarkan kebutuhan praktek yaitu
penyidik, pada umumnya anggota Polri, yang menyidik dan membuat
berita acara peristiwa pidana yang bersangkutan, baik atas permintaan
penuntut umum maupun atas perintah hakim untuk didengarkan
keterangannya sebagai saksi dalam perkara yang sedang berjalan.
Dari sisi hukum acara pidana, yang dimaksud dengan saksi
verbalisan atau saksi penyidik adalah seorang penyidik yang kemudian
menjadi saksi atas suatu perkara pidana karena terdakwa menyatakan
bahwa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) telah dibuat di bawah tekanan
atau paksaan. Dengan kata lain, terdakwa membantah kebenaran dari BAP
yang dibuat oleh penyidik yang bersangkutan. Sehingga, untuk menjawab
bantahan terdakwa, penuntut umum dapat menghadirkan saksi verbalisan
ini.
52.
Irenrera Putri, Op.Cit., diakses dari
digital/131194-T, pada tanggal 13 Pebruari 2015.
http:/www.google.com/lib.ui.ac.id/file
Universitas Sumatera Utara
31
Saksi Verbalisant adalah Polisi dan Jaksa yang membuat,
menyusun atau mengarang berita acara. Polisi dan Jaksa dalam membuat
berita acara hanya mendengarkan keterangan orang lain (saksi-saksi), tidak
perlu menilai tentang kebenaran dari pada keterangan saki yang
diperiksanya itu dan ataupun tidak berwenang untuk menilai segi yuridis
dari keterangan saksi-saksi.53
Pasal 163 KUHAP yang menentukan pada hakekatnya saksi
verbalisant dihadirkan sebagai saksi di sidang pengadilan jika:
1) Terdakwa mangkir atau menyangkal keterangan saksi.
2) Keterangan saksi atau terdakwa disidanng pengadilan berbeda dengan
keterangan tersebut dalam berita acara penyidik.54
h. Saksi Korban
Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik,
mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana.55
Saksi korban adalah saksi yang dimintai keterangannya dalam
perkara karena ia menjadi korban langsung dari perkara karena ia menjadi
korban langsung dari perkara tersebut atau mengalami penderitaan fisik,
mental dan/atau kerugian ekonomi dalam suatu tindak hukum yang
dilakukan oleh tersangka / terdakwa.
53.
H.M.Kamaluddin Lubis, SH., Op.Cit., hal 30-31.
Ibid.,
55.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
pasal 1 angka (2).
54.
Universitas Sumatera Utara
32
i. Saksi Pelapor
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang
karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat
yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya
peristiwa pidana.56 Saksi pelapor adalah orang yang memberikan
kesaksian berdasarkan laporannya tentang suatu peristiwa pidana baik
yang ia lihat atau alami sendiri, namun ia tidak harus menjadi korban dari
peristiwa pidana tersebut.
Dalam perkembangannya istilah saksi pelapor ini digunakan
dengan istilah whistleblower. Walaupun secara terjemahan harafiah dalam
Bahasa Indonesia, whistleblower adalah “peniup peluit”, namun istilah
tersebut dimaksudkan adalah orang-orang yang mengungkapkan fakta
kepada publik.57
j. Saksi Anak
Kedudukan saksi anak yang menjadi korban tindak pidana di
Indonesia masih belum diakui secara sah oleh peraturan perundangundangan
yang
berlaku
di
Indonesia.
Bahkan
KUHAP
sendiri
menggolongkan anak ke dalam pihak yang hanya boleh memberi
keterangan tanpa dibawah sumpah, hal ini terlihat dari rumusan Pasal
171 KUHAP yaitu yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa
sumpah ialah:
56.
Irenrera Putri, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Karyawan Notaris
sebagai Saksi Dalam Peresmian Akta, diakses dari http:/www.google.com/lib.ui.ac.id/file
digital/131194-T, pada tanggal 19 Maret 2015.
57.
Ibid., pada tanggal 19 Maret 2015.
Universitas Sumatera Utara
33
1) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin.
2) Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali.
Selanjutnya yang dimaksud dengan keterangan anak adalah
keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal yang diperlukan
untuk
membuat
terang suatu perkara pidana guna
kepentingan
pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka seorang anak belum dapat
dikategorikan sebagai saksi dalam suatu proses peradilan sebelum genap
berusia lima belas tahun, akan tetapi kedudukan dia hanya sebagai pemberi
keterangan dalam suatu proses perkara.
k. Testimonium de Auditu
Testimonium de auditu yaitu saksi yang memberikan keterangan
berdasarkan dari orang lain atau pihak ketiga, tidak mempunyai nilai.
Kesaksian yang testimonium de auditu tidak dapat dijadikan sebagai alat
bukti yang sah menurut hukum, hal ini sesuai dengan kehendak dan tujuan
hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran yang materil, lagi pula untuk
perlindungan terhadap hak-hak asai manusia, dimana keterangan seorang
saksi yang hanya mendengar dari orang lain, tidak terjamin kebenarannya,
maka kesaksian de auditu patut tidak dipakai di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
34
Hal ini sesuai dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro yang
mengatakan “hakim dilarang memakai sebagai alat bukti suatu keterangan
saksi de auditu yaitu tentang suatu keadaan yang saksi itu hanya dengar
saja terjadinya dari orang lain. Larangan semacam ini baik, bahkan sudah
semestinya, akan tetapi perlu diperhatikan, bahwa kalau ada saksi yang
menerangkan telah mendengar terjadinya suatu keadaaan dari orang lain,
kesaksian semacam ini tidak selalu dapat dikesampingkan begitu saja.
Mungkin sekali hal pendengaran suatu peristiwa dari orang lain itu, dapat
berguna untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap
terdakwa.58
Putusan Mahkamah Agung R.I tertanggal 11 Nopember 1959
No.308 K/Sip/1959, yang telah menjadi yurisprudensi menyatakan
testimonium de auditu tidak dapat digunakan sebagai bukti langsung,
tetapi penggunaan kesaksian yang bersangkutan sebagai petunjuk itu
dibuktikan sesuatu, tidaklah dilarang.59
58.
H.M.Kamaluddin Lubis, SH., Hukum Pembuktian Pidana Dan Perdata Dalam Teori
Dan Praktek, (Medan: tidak ada penerbit, 1992), hal.19-21.
59..
Ibid., hal.20-21.
Universitas Sumatera Utara
35
3. Saksi Menurut KUHPerdata
Keberadaan saksi di Indonesia diatur di dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, diantaranya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Perdata, yakni Pasal 164 sampai Pasal 172 Bab kesembilan HIR
stb.1941 Nomor 44, yang mengatur tentang saksi dalam suatu pemeriksaan
perkara dalam proses persidangan untuk perkara perdata yang menjadi
wewenang Pengadilan Negeri. Selain itu terdapat pula dalam Rbg. Stb.1927
No.227 tentang saksi pada bab keempat tentang tata cara mengadili perkara
perdata dalam tingkat pertama menjadi wewenang Pengadilan Negeri serta
Bab kelima tentang bukti dalam perkara perdata.
Selanjutnya tentang saksi juga diatur di dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata pada Buku keempat Bab ketiga tentang pembuktian
dan saksi dalam Pasal 1895 KUHPerdata, 1902 KUHPerdata, dan Pasal 1904
sampai 1912 KUHPerdata.
Dalam buku keempat bab ke satu Pasal 1866 Kitab UndangUndang Hukum Perdata menyebutkan bahwa keterangan saksi adalah alat
bukti yang sah.60 Sebagai alat bukti yang sah, saksi adalah seorang yang
memberikan kesaksian, baik dengan lisan maupun secara tertulis atau tanda
tangan, yakni menerangkan apa yang ia saksikan sendiri (waarnemen), baik
itu berupa perbuatan atau tindakan dari orang lain atau suatu kejadian.61
60.
Pasal 1866, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
diterjemahkan oleh R.Subekti (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004).
61.
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1992),
hal.168.
Universitas Sumatera Utara
36
Saksi adalah seseorang yang memberikan kesaksian, baik secara
lisan maupun secara tertulis, yaitu menerangkan apa yang ia saksikan sendiri
(waarnemen), baik itu berupa perbuatan atau tindakan dari orang lain atau
suatu keadaan ataupun suatu kejadian; orang yang memberi penjelasan
di dalam sidang pengadilan untuk kepentingan semua pihak yang terlibat
di dalam perkara terutama terdakwa dan pendakwa; orang yang dapat
memberikan keterangan tentang segala sesuatu yang didengar, dilihat dan
dialami sendiri untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan
mengenai suatu perkara pidana.62
Pasal 1909 KUHPerdata, Pasal 139 HIR mengungkapkan pada
asasnya semua orang cakap dapat bertindak sebagai saksi. Dan apabila telah
dipanggil dengan sah dan patut menurut hukum, wajiblah ia mengemukakan
kesaksiannya di muka pengadilan. Apabila tidak mau datang atau datang
tetapi tidak mau memberikan kesaksian, ia dapat dikenakan sanksi-sanksi.
Pasal 1909 KUHPerdata, Pasal 146 HIR, Pasal 174 RBg terdapat
beberapa
kelompok
yang
mempunyai
hak
mengundurkan
diri
(verschoningsrecht) sebagai saksi. Pada dasarnya mereka cakap (capable)
jadi saksi, oleh karena itu memikul kewajiban hukum (legal obligation)
menjadi
saksi,
dan terhadap
mereka
berlaku
tindakan pemaksaan
(compellable) untuk hadir dalam persidangan. Pasal 146 HIR menentukan
terdiri dari: 63
62.
Sudarsono, Kamus Hukum, Cet.VI, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 415.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),
hal. 666-667.
63
Universitas Sumatera Utara
37
a. Saudara laki-laki dan saudara perempuan, dan ipar laki-laki dan
perempuan dari salah satu pihak.
b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan
perempuan dari laki-laki atau istri dari salah satu pihak.
c. Semua orang yang karena kedudukan pekerjaan atau jabatannya yang sah
diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya mengenai hal
demikian yang dipercayakan padanya.
Seperti yang dijelaskan, pada dasarnya kelompok ini cakap sebagai
saksi sehingga secara yuridis pada diri mereka melekat kewajiban hukum dan
sekaligus dapat dipaksa menjadi saksi. Namun pasal 146 HIR, Pasal 1909
KUHPerdata, memberi hak mengundurkan diri (verschoningsrecht) untuk
menjadi saksi. Secara spesifik orang yang termasuk dalam kelompok ini
terdiri dari orang-orang:
a. Karena kedudukan,
b. Karena pekerjaan, atau
c. Karena jabatan.
Orang-orang ini dibenarkan hukum mengundurkan diri sebagai
saksi. Artinya mereka dapat menyatakan dengan tegas kepada Hakim dalam
sidang pengadilan, mengundurkan diri sebagai saksi. Berdasarkan pernyataan
itu, Hakim dapat membebaskan yang bersangkutan dari kewajiban hukum
menjadi saksi.
Universitas Sumatera Utara
38
Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi diwajibkan
memberikan kesaksian. Bahwa memberikan kesaksian itu merupakan suatu
kewajiban, dapat dilihat dari diadakannya sanksi-sanksi terhadap seorang
yang tidak memenuhi panggilan untuk dijadikan saksi. Menurut UndangUndang orang itu dapat dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah
dikeluarkan untuk memanggil saksi, secara paksa dibawa ke Pengadilan, dan
dimasukkan dalam penyanderaan (gijzeling). 64
Sebagai orang yang cakap dalam memberikan kesaksian, saksi
wajib untuk memenuhi beberapa kewajiban sebagai berikut: 65
a. Kewajiban untuk menghadap.
Dalam suatu proses peradilan jika diperlukan adanya saksi maka
hakim menyuruh memanggil para saksi untuk menghadap hadir dalam
sidang peradilan, dan kepada saksi yang dipanggil wajib menghadap dalam
proses peradilan tersebut. Adanya kewajiban tersebut karena adanya
sanksi, sehingga jika kewajiban tersebut dilanggar atau tidak dipenuhi
maka diancam terkena sanksi. Hal tersebut seperti tersirat dalam Pasal 140
HIR bahwa saksi dihukum untuk membayar segala biaya yang telah
dikeluarkan dan harus dipanggil satu kali lagi dengan biaya sendiri. Serta
saksi dapat dipaksa oleh polisi agar datang menghadap ke persidangan.
66
64.
Irenrera Putri, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Karyawan Notaris
sebagai Saksi Dalam Peresmian Akta, diakses dari http:/www.google.com/lib.ui.ac.id/file
digital/131194-T, pada tanggal 17 April 2015.
65.
Teguh Samudera, Op.Cit., hal.70-72.
66.
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
39
Pada Pasal 121 ayat (1) HIR ditentukan bahwa sebelum perkara
diperiksa di muka sidang pengadilan negeri, pengadilan (hakim) menyuruh
memanggil para pihak dan saksi untuk menghadap pada hari sidang yang
telah di tentukan. Akan tetapi apabila dengan aturan pasal 121 (1) HIR
saksi tidak dapat menghadap karena tidak mau atau sebab lainnya,
sedangkan kesaksiannya itu benar dibutuhkan untuk meneguhkan
kebenaran tuntutan penggugat dan atau perlawanan tergugat, maka hakim
menyuruh memanggil saksi lagi agar menghadap di hari persidangan yang
akan datang, demikian dapat disimpulkan dari pasal 139 HIR.
b. Kewajiban untuk bersumpah
Dalam suatu perkara kewajiban saksi untuk mengucap sumpah atau
janji merupakan syarat mutlak untuk suatu kesaksian. Jadi, sebelum
memberikan keterangan, saksi wajib mengucap sumpah atau janji menurut
cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan
yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.67
Saksi yang dipanggil telah memenuhi panggilan dan tidak
mengundurkan diri sebagai saksi, maka sebelum mengemukakan
keterangannya ia harus disumpah menurut agamanya, ketentuan ini
terbukti dari pasal 147 HIR, pasal 1911 KUHPerdata.
67.
Teguh Samudera, SH, Op.Cit.,hal.70-72.
Universitas Sumatera Utara
40
Selanjutnya jika ternyata seorang saksi menolak untuk melakukan
pengucapan sumpah yang merupakan syarat mutlak untuk memberikan
kesaksian. Maka menurut ketentuan Pasal 161 ayat (1) dan (2) KUHAP
saksi tersebut dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara
paling lama empat belas hari dan jika setelah masa penyanderaan berakhir
saksi tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan
yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan
keyakinan Hakim.
Dengan demikian adanya sanksi terhadap saksi yang tidak mau
disumpah atau mengucap janji maka pengucapan sumpah atau janji
merupakan suatu kewajiban.
c. Kewajiban memberi keterangan.
Seorang saksi juga memiliki kewajiban untuk memberikan
keterangan yang benar dalam proses perkara di pengadilan. Dalam
KUHAP hal tersebut tidak diatur dengan tegas, akan tetapi dari ketentuan
yang diatur dalam pasal 148 HIR tersirat bahwa saksi wajib memberikan
keterangan yang benar.
Dalam Pasal 148 HIR dinyatakan bahwa seorang saksi yang
menghadap persidangan dan enggan memberi keterangannya, maka atas
permintaan pihak yang berkepentingan, hakim ketua dapat memberi
perintah supaya saksi itu disanderakan sampai saksi itu memenuhi
kewajibannya.
Universitas Sumatera Utara
41
Oleh karena itu saksi wajib mengucap sumpah atau janji
(apabila tidak mau bersumpah atau mengucap janji dalam memberikan
keterangan akan dikarenakan sanksi), dan jika tidak bersumpah atau
berjanji, maka keterangan yang diberikan itu dianggap benar karena berada
di bawah sumpah atau janji.
Apabila ada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saksi
harus disampaikan lebih dahulu kepada Hakim. Jadi, yang berkepentingan
tidak boleh langsung melakukan tanya jawab kepada saksi, melainkan melalui
hakimlah tanya jawab itu dilakukan. Hakim dapat menolak pertanyaanpertanyaan yang tidak ada hubungan dengan perkara (pasal 150 (1) HIR).
Saksi yang mengemukakan keterangan di persidangan akan dicatat di dalam
berita acara persidangan oleh Panitera (pasal 152 HIR).
Pasal 1909 KUHPerdata juga memberikan pengecualian terhadap
kecakapan menjadi seorang saksi. Hal ini terlihat dalam pasal tersebut yang
memaparkan bahwa seorang saksi dapat dibebaskan dari kewijabannya
memberikan kesaksian, karena:
a. Terdapat pertalian kekeluargaan darah dalam garis samping dalam derajat
kedua atau semenda dengan salah satu pihak;
b. Terdapat pertalian darah dalam garis lurus tak terbatas dan dalam garis
samping dalam derajat kedua dengan suami atau istri salah satu pihak;
c. Segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya
menurut Undang-Undang, diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun
Universitas Sumatera Utara
42
hanyalah
semata-mata
mengenai
hal-hal
yang
pengetahuannya
dipercayakan kepadanya dengan demikian.
Pasal 1910 KUHPerdata dengan tegas mengatakan bahwa ada
golongan atau orang-orang tertentu yang dianggap tidak cakap untuk menjadi
saksi dan tidak boleh didengar kesaksiannya ialah para anggota keluarga dan
semenda dalam garis lurus dari salah satu pihak, begitu pula suami atau istri,
sekalipun setelahnya suatu perceraian.
Namun demikian KUHPerdata dalam Pasal 1910 juga memberikan
pengecualian terhadap anggota keluarga sedarah dan semenda menjadi
cakap untuk menjadi saksi dalam perkara-perkara tertentu, yaitu:
a. Dalam perkara-perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak;
b. Dalam perkara-perkara mengenai nafkah, yang harus dibayar menurut
Buku Ke Satu, termasuk pembiayaan pemeliharaan dan pendidikan
seorang anak belum dewasa;
c. Dalam
suatu
pemeriksaan
mengenai
alasan-alasan
yang
dapat
menyebabkan pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua atau
perwalian;
d. Dalam perkara-perkara mengenai suatu perjanjian perburuhan.
Dalam perkara-perkara sebagaimana dimaksud, maka mereka yang
disebutkan dalam Pasal 1910 di bawah (a) dan (b), tidak berhak untuk minta
dibebaskan dari kewajiban memberikan kesaksian.
Universitas Sumatera Utara
43
Kemudian pengecualian sebagai saksi tersebut, Kitab UndangUndang Hukum Perdata lebih lanjut menegaskan tentang orang-orang yang
tidak cakap untuk memberikan kesaksian sebagaimana tercantum dalam
Pasal 1912 KUHPerdata, yaitu orang-orang yang belum mencapai usai genap
lima belas tahun, begitu pula orang-orang yang ditaruh dalam pengampuan
karena dungu, sakit ingatan atau mata gelap, atau pun selama perkara sedang
bergantung, atas perintah Hakim telah dimasukkan dalam tahanan, tidak dapat
diterima sebagai saksi.
Hakim leluasa untuk mendengar orang-orang yang belum dewasa
itu atau orang yang terampu yang tempo-tempo dapat berpikir sehat, tanpa
suatu penyumpahan, namun keterangan-keterangan orang-orang tersebut
hanya dapat dianggap sebagai penjelasan.
Hakim dalam hal ini tidak boleh mempercayai apa yang menurut
orang-orang tak cakap itu telah didengarnya, dilihatnya, dihadirinya dan
dialaminya, biarpun itu semua disertai alasan-alasan tentang bagaimana
mereka mengetahuinya, namun Hakim hanya boleh menggunakannya untuk
mengetahui dan mendapatkan petunjuk-petunjuk ke arah peristiwa-peristiwa
yang dapat dibuktikan lebih lanjut dengan alat bukti yang biasa.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa secara umum yang
cakap menjadi saksi adalah: 68
a. Dewasa;
b. Tidak gila atau hilang ingatan;
68.
Irenrera Putri, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Karyawan Notaris
sebagai Saksi Dalam Peresmian Akta, diakses dari http:/www.google.com/lib.ui.ac.id/file
digital/131194-T, pada tanggal 17 April 2015.
Universitas Sumatera Utara
44
c. Tidak memiliki pertalian atau hubungan darah baik garis ke samping
dalam derajat kedua atau semenda dengan salah satu pihak dan tidak
memiliki pertalian darah dalam garis lurus tak terbatas dan dalam garis ke
samping dalam derajat kedua dengan suami atau istri salah satu pihak;
d. Tidak sedang memiliki kedudukan, pekerjaan atau jabatan yang menurut
undang-undang diwajibkan untuk merahasiakan sesuatu;
e. Seseorang yang memiliki pertalian atau hubungan darah dan dianggap
dilarang untuk didengar kesaksiannya, akan memiliki kecakapan dan dapat
memberikan kesaksiannya dalam perkara-perkara tertentu yang telah
ditentukan oleh undang-undang;
f. Melakukan sumpah atau janji menurut agama dan kepercayaannya.
4. Dasar Hukum Saksi Secara Umum
Keberadaan saksi di Indonesia diatur di dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, diantaranya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Perdata, yakni Pasal 164 sampai Pasal 172 Bab kesembilan
HIR stb.1941 No.44, yang mengatur tentang saksi dalam suatu pemeriksaan
perkara dalam proses persidangan untuk perkara perdata yang menjadi
wewenang Pengadilan Negeri. Serta terdapat pula dalam Rbg. Stb.1927
No.227 tentang saksi pada Bab keempat tentang tata cara mengadili perkara
perdata dalam tingkat pertama menjadi wewenang Pengadilan Negeri serta
Bab kelima tentang bukti dalam perkara perdata.
Universitas Sumatera Utara
45
Selanjutnya tentang saksi juga diatur di dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata pada Buku keempat Bab ketiga tentang pembuktian
dan saksi dalam Pasal 1895 KUHPerdata, 1902 KUHPerdata, dan Pasal 1904
sampai 1912 KUHPerdata.
Pengaturan tentang saksi juga terdapat di dalam KUHAP
diantaranya Pasal 1 angka 26, Pasal 159 sampai dengan Pasal 158 KUHAP.
Demikian pula tentang saksi diatur juga dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris terdapat dalam pasal 40 dan dalam
Pasal 20 sampai Pasal 24 Peraturan Jabatan Notaris. 69
69.
Irenrera Putri, diakses dari http:/www.google.com/lib.ui.ac.id/file digital/131194-T,
pada tanggal 19 Maret 2015.
Universitas Sumatera Utara
46
B. Saksi Instrumenter Dalam Pembuatan Akta Notaris
1. Pengertian dan Dasar Hukum Saksi Instrumenter
Suatu peresmian akta notaris mengharuskan adanya dua orang saksi
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l jo Pasal 40 ayat
(1) UUJN. Namun pada dasarnya dalam Undang-Undang Jabatan Notaris
tidak mengatur tentang jenis-jenis saksi yang diharuskan tersebut. Pengertian
saksi yang ada di dalam lembaga Notaris terdapat 2 (dua) jenis yaitu
Saksi Attesterend dan Saksi Instrumenter. Saksi yang diangkat dalam tesis ini
adalah saksi Instrumenter.
Saksi
Attesterend
/
saksi
pengenal,
yakni
saksi
yang
memperkenalkan penghadap kepada Notaris dikarenakan penghadap tersebut
tidak bisa dikenal oleh notaris atau dikarenakan tidak memiliki identitas atau
Notaris meragukan identitasnya, maka Notaris minta diperkenalkan oleh saksi
attesterend. Pengenalan penghadap tersebut harus dinyatakan dalam akta. 70
Untuk seorang penghadap yang tidak dikenal maka disyaratkan ada
satu orang saksi attesterend, sedangkan bila terdapat lebih dari 2 (dua) orang
penghadap, maka mereka dapat saling memperkenalkan kepada Notaris.
Dengan demikian, dalam salah satu atap verlidjen yaitu pada saat
penandatanganan
akta,
seorang
menandatangani,
namun apabila
saksi
attesterend
mereka tetap
tidak
ingin
diharuskan
membubuhkan
tandatangannya tidak ada larangan untuk hal tersebut.
70
Irenrera Putri, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Karyawan Notaris
sebagai Saksi Dalam Peresmian Akta, diakses dari http:/www.google.com/lib.ui.ac.id/file
digital/131194-T, pada tanggal 19 Maret 2015.
Universitas Sumatera Utara
47
Saksi instrumenter adalah saksi dalam akta Notaris yang
merupakan para saksi yang ikut serta di dalam pembuatan terjadinya akta. 71
Para saksi ikut serta di dalam pembuatan terjadinya akta (instrument) itu dan
itulah sebabnya dinamakan saksi instrumenter (instrumentaire getuigen)
dengan jalan membubuhkan tanda tangan, memberikan kesaksian tentang
kebenaran adanya dilakukan dan dipenuhinya formalitas-formalitas yang
diharuskan oleh undang-undang, yang disebutkan dalam akta itu dan yang
disaksikan oleh para saksi.72
Ketentuan bahwa dalam pembacaan akta Notaris harus dihadiri
oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, hal ini sejalan dengan Asas dalam
Hukum Acara Pidana dengan istilah Asas Unus Testis Nullus Testis yang
diatur dalam pasal 169 HIR/Pasal 306 RBg yang berbunyi keterangan seorang
saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain di muka pengadilan tidak boleh
dipercaya.
Jadi keterangan seorang saksi saja adalah tidak cukup untuk
membuktikan bahwa dalih yang dikemukakan dalam gugatan terbukti. Prinsip
tersebut diatas juga dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
yang tersimpul dalam pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menyatakan
keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
71
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1992),
hal.168.
72.
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
48
Syarat-syarat untuk menjadi saksi instrumenter diatur dalam suatu
peraturan tersendiri, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Jabatan Notaris dan Staatblad 1860 Nomor 3 tentang Peraturan Jabatan
Notaris tersebut telah jelas diatur mengenai saksi instrumenter.
Di dalam Pasal 40 Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut telah
jelas diatur mengenai saksi dalam peresmian dan pembuatan akta notaris yang
berupa persyaratan bagi para saksi. Adapun ketentuan yang diatur dalam
Pasal 40 UUJN, untuk menjadi saksi diantaranya sebagai berikut :
a. Saksi paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;
Dalam Pasal 40 ayat (2) UUJN dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan dewasa adalah telah berumur 18 tahun atau telah menikah. Seseorang
yang akan menjadi saksi harus sudah dewasa. Dewasa dalam hal ini adalah
sudah berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah,
ketentuan tentang usia dewasa ini diatur dalam Pasal 40 ayat (2)
huruf (a) UUJN.
Usia dewasa yang ditentukan dalam UUJN tersebut selaras dengan
ketentuan dalam KUHPerdata. Namun demikian, batas usia menurut
KUHPerdata untuk menjadi saksi harus sudah dewasa dengan usia 15 tahun.
Pada intinya kedua Undang - Undang tersebut memiliki ketentuan yang sama
untuk menjadi saksi, yakni sudah dewasa. Tetapi untuk menjadi saksi dalam
peresmian akta, dewasa diartikan berumur 18 tahun atau lebih atau sudah
menikah.
Universitas Sumatera Utara
49
Dengan demikian apabila akta notaris terjadi masalah dan dibawa
ke dalam persidangan, maka saksi yang terdapat didalam akta yang
bermasalah tersebut tidak jadi hambatan untuk menjadi saksi dalam peradilan,
oleh karena batas usia seorang saksi dalam peradilan cukup berusia 15 tahun.
b.
Cakap melakukan perbuatan hukum;
Pada dasarnya setiap orang cakap untuk menjadi saksi, kecuali
Undang - Undang menyatakan orang tersebut tidak cakap untuk menjadi
saksi. Dalam hal peresmian akta untuk menjadi saksi juga harus memiliki
kecakapan. Menurut Pasal 40 ayat (2) huruf b UUJN, untuk menjadi saksi
notaris, seseorang harus memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum dan menurut Pasal 1909 KUHPerdata, saksi tersebut wajib untuk
memberi kesaksiannya.
Namun demikian seseorang yang memilliki kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum tersebut tidak dengan sendirinya cakap untuk
menjadi saksi.
Perlu diuraikan orang - orang yang tidak cakap menjadi saksi,
dalam arti diluar ketentuan orang - orang yang tidak cakap menjadi saksi
adalah cakap menjadi saksi. Dalam Pasal 40 ayat (2) UUJN tidak disebutkan
dengan tegas para saksi yang tidak cakap, namun tersirat ketidakcakapan
orang menjadi saksi dari Pasal 40 ayat (2) huruf e UUJN tersebut.
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak cakap
menjadi saksi adalah orang yang mempunyai hubungan perkawinan atau
hubungan darah dalam garus lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan
Universitas Sumatera Utara
50
derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris
atau para pihak.
c.
Mengerti bahasa yang digunakan dalam akta;
Dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2) huruf c UUJN menyebutkan
bahwa salah satu syarat untuk menjadi saksi notaris adalah harus mengerti
bahasa yang digunakan dalam akta. Artinya saksi harus mengerti bahasa yang
ada dalam akta agar dapat mengerti juga pembacaan akta yang akan
dilakukan oleh notaris yang berisi kehendak para pihak yang menghadap pada
Notaris.
Bahasa dalam pembuatan akta notaris digunakan Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia yang dimaksud dalam akta adalah Bahasa Indonesiayang
tunduk pada kaedah Bahasa Indonesia yang baku. 73 Apabila notaris tidak bisa
menjelaskan atau menterjemahkannya, akta itu diterjemahkan atau dijelaskan
oleh seorang peterjemah resmi. Peterjemah resmi yang dimaksud adalah
peterjemah yang disumpah. Kemudian jika pihak yang berkepentingan
menghendaki bahasa lain dan dipahami oleh Notaris maka akta dapat dibuat
dalam bahasa lain tersebut sepanjang saksi juga memahami bahasa tersebut.
Sehingga sewaktu akta dibacakan, yang merupakan kewajiban notaris, bisa
dipahami oleh saksi.
d.
Dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf;
73.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, Penjelasan Pasal 43.
Universitas Sumatera Utara
51
Segera setelah selesai dibacakan oleh Notaris, semua akta notaris
harus dibubuhi tandatangan oleh para penghadap. Selain itu juga
ditandatangani oleh Notaris dan para saksi pada akhir akta tersebut. Dari
kalimat tersebut dengan jelas dapat diketahui bahwa pembacaan dan
penandatanganan akta merupakan suatu perbuatan yang tidak terbagi - bagi
dengan suatu hubungan yang tidak terpisah - pisah. Dengan perkataan lain,
tidak diperkenankan bahwa penghadap yang satu menandatangani akta itu
pada hari ini dan penghadap lainnya pada esok harinya. Penandatanganan
akta oleh para penghadap termasuk dalam yang dinamakan “velijden van
de akte” (pembacaan dan penandatanganan akta).
Apabila penandatanganan akta itu dilakukan pada hari - hari yang
berlainan, maka tentunya pembacaan dan penandatanganannya itu dilakukan
pada hari - hari yang berlainan pula dan dengan demikian akta itu harus pula
mempunyai lebih dari satu tanggal, hal mana bertentangan dengan bunyi
pasal 28 Peraturan Jabatan Notaris yang mengatakan “segera setelah akta
dibacakan”, persyaratan mana tidak memungkinkan adanya dua tanggal. 74
Akta itu juga harus ditandatangani oleh peterjemah apabila didalam
pembuatan akta tersebut harus ada penterjemah. 75
74.
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1992),
hal.168.
75.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, Pasal 44 ayat (3).
Universitas Sumatera Utara
52
Apabila dalam suatu pembuatan akta terdapat saksi pengenal
(attesterend) maka saksi pengenal tidak diwajibkan untuk menandatangani
akta, akan tetapi apabila saksi pengenal menghendaki untuk menandatangani
akta itu, maka untuk itu tidak terdapat keberatan. 76 Sedangkan saksi
instrumentair atau saksi dari karyawan notaris wajib menandatangani akta
tersebut.77
Seperti
diuraikan
diatas,
dalam
pembuatan
akta
harus
ditandatangani oleh penghadap. notaris dan saksi. Saksi dan Notaris wajib
membubuhi tandatangan dalam akta tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal
40 ayat (2) huruf d jo Pasal 44 UUJN. Jadi saksi wajib untuk bisa membubuhi
tandatangan dan apabila tidak bisa membubuhi tandatangan, tidak
diperkenankan menjadi saksi dalam pembuatan akta.
Para penghadap harus menandatangani sendiri, artinya tandatangan
itu harus dibubuhi oleh para penghadap sendiri dan tidak diwakilkan kecuali
telah dikuasakan kepada orang lain, karena akan berakibat tandatangan
tersebut dianggap tidak ada.
Dalam hal para penghadap tidak bisa membubuhkan tandatangan,
maka menurut Pasal 44 ayat (1) UUJN dibolehkan dengan menyebutkan
alasannya, dan alasan tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam akta.
Sebagaimana telah diuraikan, bahwa semua akta harus ditandatangani oleh
Notaris dan penandatanganan itu tidak dapat diwakilkan.
76.
77.
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit., hal.204.
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
53
Dalam
hal penandatanganan akta oleh notaris pengganti,
pengertiannya bukan pengganti pembubuhan tandatangan pada akta notaris
yang digantikan, melainkan akta notaris yang dibubuhi tandatangan oleh
notaris pengganti adalah akta yang dibuat oleh si notaris pengganti tersebut.
Selanjutnya selain harus membubuhi tandatangan, saksi juga harus
mampu membubuhi paraf pada setiap halaman minuta akta notaris. 78 Dari
uraian tersebut diatas, Nampak bahwa apabila dalam suatu akta Notaris tidak
terdapat kelengkapan ketentuan tandatangan dan paraf dari saksi yang
ditetapkan oleh UUJN, maka berakibat akta notaris tersebut hanya memiliki
kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.
e.
Tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam
garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke
samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak;
Sebagaimana telah diuraikan terdahulu dalam point b diatas, serta
tercantum dalam Pasal 40 ayat (2) UUJN dan Pasal 1909 jo Pasal 1910
KUHPerdata, maka tidak diperkenankan menjadi saksi orang yang
mempunyai hubungan darah dalam garis lurus keatas atau kebawah tanpa
pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga
dengan Notaris atau para pihak. Ketentuan tersebut cukup beralasan agar
akta yang dibuat oleh notaris tidak akan menimbulkan suatu keadaan yang
berpihak pada salahsatu penghadap, selain itu untuk menjaga keadaan
yang netral dari peresmian akta tersebut.
78.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, Pasal 16 ayat (7).
Universitas Sumatera Utara
54
f.
Saksi harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepada Notaris atau
diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada notaris oleh
penghadap.
Pasal 40 ayat (3) UUJN menyebutkan bahwa saksi harus dikenal
oleh Notaris atau diperkenalkan kepada notaris atau diterangkan tentang
identitas dan kewenangannya kepada notaris oleh penghadap. Pengertian dari
istilah dikenal tidak dijelaskan secara tegas dalam UUJN. Ahli hukum Tan
Thong Kie mengutip pendapat J.C.H. Mellis bahwa pengertian dari istilah
dikenal dalam arti yuridis, artinya ada kesesuaian antara nama dan alamat
yang disebutkan oleh yang bersangkutan di hadapan notaris dan juga dengan
bukti - bukti atau identitas atas dirinya yang diperlihatkan kepada notaris.
Mengenal juga berarti penunjukkan orang dalam akta harus sama dengan
penunjukkannya, yang dengannya ia dapat dibedakan dan diindividualisasim
dari orang - orangd alam masyarakat.79
G.H.S. Lumban Tobing memberikan pengertian dari istilah dikenal
tersebut ialah bahwa nama dari orang - orang yang dicantumkan dalam akta
itu benar - benar adalah sama dengan orang - orang yang bertindak sebagai
saksi - saksi pada pembuatan akta itu; mereka yang nama namanya disebut
dalam akta itu harus sesuai dengan orang - orang, sebagaimana mereka itu
dikenal didalam masyarakat, nama - nama yang memperkenalkan saksi
kepada notaris dalam pembuatan akta harus dinyatakan dalam akta tersebut.
79
Habib Adjie, Op.Cit., hal.184.
Universitas Sumatera Utara
55
Jadi pengenalan oleh notaris atau memperkenalkan kepada notaris harus
diberitahukan dalam akta yang bersangkutan. 80
Bahwa yang dimaksud sebenarnya (menghadap) adalah kehadiran
yang nyata (verschijnen) secara fisik atau digunakan kata menghadap,
terjemahan dari verschijnen.81 Selanjutnya sebagaimana telah diuraikan diatas
dalam hal notaris tidak mengenal saksi yang kemudian penghadap
memperkenalkan saksi tersebut kepadanya, maka notaris memperoleh data
dari penghadap yang menerangkan tentang identitas dan kewenangannya dari
para saksi tersebut. Notaris dalam upaya memperoleh keterangan tentang
identitas dan keterangan para saksi harus melihat kebenaran dari identitas
orang tersebut, karena menurut ketentuan Pasal 40 ayat (3) UUJN harus
menyebutkan identitas dan kewenangan dalan akta. Khususnya nama, alamat
dan pekerjaan dari saksi.
Jadi notaris harus dapat memperoleh jaminan bahwa keterangan
tentang identitas dan kewenangan dari saksi adalah benar dari saksi yang
menghadap kepadanya bukan identitas dan kewenangan orang lain.
Selanjutnya pengenal atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi
harus dicantumkan secara tegas dalam akta. 82
80.
Lumban Tobing, Op.Cit., hal.181.
Habib Adjie, Op.Cit., hal.147.
82.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, Pasal 40 ayat (4).
81.
Universitas Sumatera Utara
56
Pasal 22 Peraturan Jabatan Notaris juga menyebutkan syarat-syarat
yang harus dipenuhi seorang saksi instrumenter adalah sebagai berikut:
a. Para saksi harus dikenal oleh Notaris atau identitas dan wewenang mereka
harus dinyatakan kepada Notaris oleh seorang atau lebih dari para
penghadap, dengan kewajiban bagi Notaris untuk memberitahukan hal itu
dalam akta yang bersangkutan.
Pengertian “dikenal” yang dimaksud dalam pasal 22 tersebut ialah bahwa
nama dari orang-orang yang dicantumkan dalam akta itu benar-benar
adalah sama dengan orang-orang yang bertindak sebagai saksi-saksi dalam
pembuatan akta itu; mereka yang nama-namanya disebut dalam akta itu
harus sesuai dengan orang-orang, sebagaimana mereka itu dikenal di
dalam masyarakat; nama-nama yang disebutkan dalam akta itu benarbenar di pakai oleh orang-orang yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan “dikenal” ini tidak terbatas pada identitas dari para
saksi itu, akan tetapi juga meliputi wewenang mereka. Hal ini jelas dapat
dilihat dari pasal 22 PJN, dimana dikatakan bahwa apabila para saksi tidak
dikenal oleh Notaris, maka identitas dan wewenang mereka harus
dinyatakan kepada Notaris oleh seorang atau lebih dari para penghadap
dan hal mana harus dinyatakan dalam akta yang bersangkutan. 83
b. Para saksi harus cakap menurut ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata
untuk memberikan di bawah sumpah kesaksian dimuka pengadilan. 84
83.
84.
Lumban Tobing,. Op.Cit.,hal.172.
Ibid., hal.171.
Universitas Sumatera Utara
57
Berdasarkan pasal 1912 KUHPerdata, yang dianggap cakap untuk
memberikan kesaksian tentang kebenaran di muka pengadilan adalah
mereka yang telah mencapai umur 15 tahun dan tidak karena dungu, sakit
ingatan atau mata gelap ditaruh di bawah pengampuan ataupun selama
perkara sedang bergantung, dimasukkan dalam tahanan. 85
c. Para saksi harus mengerti bahasa, dalam mana akta itu dibuat.
Pasal 944 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menetapkan bahwa
selain mengerti bahasa yang dipergunakan dalam akta, saksi harus sudah
dewasa dan Warga Negara Indonesia.
d. Saksi harus dewasa dan Warga Negara Indonesia.
e. Para saksi harus dapat menulis tanda tangan mereka.86
Para saksi tidak harus betul-betul pandai menulis, asal saja mereka dapat
menulis tanda tangan mereka, maka telah terpenuhi persyaratan yang
ditentukan oleh undang-undang. Para saksi dalam menulis tanda tangan
mereka tidak boleh dikendalikan oleh orang lain. Dengan dikendalikannya
penulis tanda tangan dari para saksi oleh orang lain justru membuktikan,
bahwa para saksi itu tidak dapat menulis tanda tangan mereka. 87
Seorang saksi termasuk saksi instrumenter mempunyai hak sebagai
saksi yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban :
85
Ibid., hal.173
Ibid., hal.171.
87.
Ibid., hal.173.
86.
Universitas Sumatera Utara
58
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenan dengan kesaksian
yang akan, sedang atau telah diberikannya;
Perlindungan semacam ini merupakan perlindungan utama yang
diperlukan oleh saksi, apabila perlu saksi harus ditempatkan dalam suatu
lokasi yang dirahasiakan dari siapapun untuk menjamin agar saksi aman.
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Mendapat penerjemah;
Hak ini diberikan kepada saksi yang tidak lancar berbahasa Indonesia
untuk memperlancar persidangan.
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
Seringkali saksi hanya berperan dalam pemberian kesaksian di pengadilan,
tetapi saksi tidak mengetahui perkembangan kasus yang bersangkutan.
Oleh karena itu, sudah seharusnya informasi mengenai perkembangan
kasus diberikan kepada saksi.
g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
Informasi ini penting untuk diketahui saksi sebagai tanda penghargaan atas
kesediaan saksi dalam proses peradilan tersebut.
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
Ketakutan saksi akan adanya balas dendam dari terdakwa cukup beralasan
dan saksi berhak diberitahu apabila seorang terpidana yang dihukum
penjara akan dibebaskan.
i. Mendapat identitas baru;
Dalam berbagai kasus, terutama menyangkut kejahatan terorganisasi, saksi
dapat terancam walaupun terdakwa sudah dihukum. Dalam kasus-kasus
tertentu, saksi diberi identitas baru.
j. Mendapatkan tempat kediaman baru
Apabila keamanan saksi sudah mengkhawatirkan, pemberian tempat baru
pada saksi harus dipertimbangkan agar saksi dapat meneruskan
kehidupannya tanpa ketakutan. Yang dimaksud dengan “tempat kediaman
baru” adalah tempat tertentu yang bersifat sementara dan dianggap aman.
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhan;
Saksi yang tidak mampu membiayai dirinya untuk mendatangi lokasi,
perlu mendapat bantuan biaya dari negara.
l. Mendapat nasihat hukum; dan/atau
Yang dimaksud dengan “nasihat hukum” adalah nasihat hukum yang
diperlukan oleh saksi apabila diperlukan.
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir. 88
88.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
pasal 5 angka (1) beserta penjelasan Undang-Undang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
59
Yang dimaksud dengan “biaya hidup sementara” adalah biaya hidup yang
sesuai dengan situasi yang dihadapi pada waktu itu, misalnya biaya makan
sehari-hari.
Saksi adalah merupakan orang ketiga yang ikut atau turut serta
dalam pembuatan terjadinya akta dan saksi ini disebut juga dengan saksi
instrumenter
(instrumenter
getugen).
Mereka
dengan
membubuhkan
tanda tangan mereka, memberikan kesaksian tentang kebenaran adanya,
dilakukan, dan dipenuhinya formalitas-formalitas yang diharuskan oleh
Undang-Undang, yang disebutkan dalam akta itu dan yang disaksikan oleh
para saksi itu.
Saksi instrumenter harus cakap bertindak dalam hukum, mengerti
bahasa akta, tidak boleh ada hubungan keluarga dekat dalam arti garis keatas
dan kebawah tanpa batas dan garis kesamping sampai derajat ketiga baik
dengan Notaris ataupun dengan para penghadap. 89 Dalam praktek sekarang
ini yang menjadi saksi instrumenter adalah karyawan Notaris sendiri.90
Dalam Peraturan Jabatan Notaris seorang saksi intrumenter
mempunyai tugas atau kewajiban sebagai berikut :
a. Dalam akta partij, saksi instrumenter harus hadir pada pembuatan akta,
dalam arti pembacaan dan penandatanganan (verleijden) dari akta itu.
89.
Sutrisno, Komentar UU Jabatan Notaris Buku II, (Medan,2007), hal 37.
Khairulnas, “Nilai Keberadaan Saksi Dalam Akta Notaris”, Majalah Renvoi
(Maret 2014), hal 89.
90.
Universitas Sumatera Utara
60
Dalam kehadiran mereka tersebut, mereka dapat memberi kesaksian
bahwa benar telah dipenuhi formalitas-formalitas yang ditentukan oleh
Undang-Undang, yakni bahwa sebelum ditandatangani oleh para pihak,
akta tersebut telah terlebih dahulu dibacakan oleh Notaris kepada para
pihak, kemudian ditandatangani oleh para pihak, semuanya dilakukan
dihadapan para saksi instrumenter tersebut.
b. Saksi Instrumenter turut menandatangani akta tersebut.
Dari sifat
kedudukannya sebagai saksi,
maka para saksi turut
mendengarkan pembacaan dari akta itu, juga menyaksikan perbuatan atau
kenyataan yang dikonstantir itu dan penandatanganan dari akta itu.
Dalam pada itu saksi tidak perlu harus mengerti apa yang dibacakan itu
dan juga bagi mereka tidak ada kewajiban untuk menyimpan isi dari akta
itu dalam ingatannya.
Para saksi instrumenter harus hadir pada pembuatan, yakni
pembacaan dan penandatanganan akta itu. Hanya dengan hadirnya pada
pembuatan akta, mereka dapat memberikan kesaksian, bahwa benar telah
dipenuhi formalitas-formalitas yang ditentukan oleh undang-undang, yakni
bahwa akta itu sebelum ditandatangani oleh para pihak, telah terlebih dahulu
dibacakan oleh Notaris kepada para penghadap dan kemudian ditandatangani
oleh para pihak yang bersangkutan, hal mana semuanya itu dilakukan oleh
Notaris dan para pihak dihadapan para saksi-saksi. 91
91.
Hasyim Soska, Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Akta Notaris,
diakses
dari
http:/www.google.com/hasyimsoska.blogspot.com/2011/11/perlindunganhukum-terhadap-saksi-dalam.html, pada tanggal 19 Nopember 2014.
Universitas Sumatera Utara
61
Peran saksi instrumenter dalam setiap pembuatan akta Notaris tetap
diperlukan. Karena keberadaan saksi instrumenter selain berfungsi sebagai
alat bukti juga dapat membantu posisi seorang Notaris menjadi aman dalam
hal akta yang dibuat oleh Notaris diperkarakan oleh salah satu pihak dalam
akta atau pihak ketiga. 92
Sebagai saksi dalam akta Notaris, saksi instrumenter mempunyai
tanggung jawab yang cukup besar, terutama dalam peresmian suatu akta
Notaris. Seorang saksi instrumenter harus hadir dalam peresmian suatu akta
Notaris. Dalam hal ini, tanggung jawab saksi instrumenter adalah
menyaksikan apakah suatu akta Notaris tersebut telah dilakukan penyusunan,
pembacaan dan penandatanganan para pihak dihadapan Notaris, sebagaimana
disyaratkan oleh Undang-Undang sebagai syarat otentitas suatu akta.93
Dilihat dari sifat dan kedudukannya sebagai saksi, maka para saksi
turut mendengarkan pembacaan dari akta itu, juga turut menyaksikan
perbuatan atau kenyataan yang dikonstantir itu dan penandatanganan dari kata
itu. Para saksi tidak perlu harus mengerti apa yang dibacakan itu dan juga
bagi mereka tidak ada kewajiban untuk menyimpan isi dari akta itu dalam
ingatannya. Para saksi tidak bertanggung jawab terhadap isi akta itu. 94
92.
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1992),
hal.170.
93.
Ibid.,
94.
Ibid., hal.171.
Universitas Sumatera Utara
62
2. Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi
Instrumenter dalam
Pembuatan Akta Notaris.
Notaris mempunyai kewenangan untuk membuat alat bukti otentik
dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat menjadi otentik (otentitas suatu
akta). Syarat-syarat suatu akta dapat dikatakan otentik diatur dalam Buku
IV KUHPerdata, yaitu diatur dalam Pasal 1868. Dimana cara pembuatan atau
terjadinya akta otentik dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat umum
(Notaris, Hakim, Juru Sita Pengadilan, pegawai KUA/Catatan Sipil), akta
otentik sudah pasti merupakan pembuktian yang sempurna, harus dibacakan
dihadapan para penghadap, saksi-saksi. Jika tidak dilakukan maka aktanya
menjadi akta dibawah tangan.95
Akta otentik merupakan alat bukti yang paling kuat nilai
pembuktiannya, bahkan dikatakan mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna atau lengkap yang berarti mengikat dan harus diakui hakim sebagai
kebenaran menurut hukum, kecuali terbukti sebaliknya, misal karena ada
kepalsuan dalam akta otentik.
KUHPerdata mengatur tentang alat-alat
bukti yang dapat
dipergunakan dalam suatu perkara adalah alat bukti tulisan, bukti dengan
saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Walaupun
masing-masing bentuk alat bukti pada prinsipnya diperlakukan sama secara
hukum tapi alat bukti dengan tulisan memiliki banyak kelebihan
dibandingkan alat bukti lainnya.
95.
Hanna Yustianna Yusuf, Pembacaan Akta Oleh Notaris Sebagai Syarat Otentisitas
Akta , diakses dari http:/www.google.com/lib.ui.ac.id/file digital/T30771, pada tanggal 14
Mei 2015.
Universitas Sumatera Utara
63
Keutamaan
alat
bukti
tulisan
akan
meningkat
kekuatan
pembuktiannya apabila terpenuhinya syarat-syarat tertentu sebagai suatu
tulisan otentik. Tulisan otentik ini kemudian disebut sebagai akta otentik.
Akta Notaris sebagai akta otentik memiliki 3 (tiga) kekuatan
pembuktian yaitu kekuatan lahiriah, formal dan materiil. Habib Adjie
menguraikannya sebagai berikut:
a. Kekuatan Pembuktian Lahiriah
Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan kemampuan akta itu
sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik. Jika dilihat
secara lahiriah sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum,
maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai tebukti
sebaliknya.
Nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah akta tersebut
harus dilihat apa adanya. Secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan
dengan alat bukti lainnya. Jika ada yang menilai berlainan, maka yang
bersangkut wajib membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik,
melalui gugatan ke pengadilan.
b. Kekuatan Pembuktian Formal
Akta Notaris memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan
fakta yang terdapat dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau
diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap saat akta dibuat sesuai
dengan prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Jika aspek
formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka yang harus dibuktikan
Universitas Sumatera Utara
64
adalah formalitas dari akta, yaitu ketidakbenaran hari, tanggal, bulan,
tahun dan waktu menghadap, ketidakbenaran mereka yang menghadap,
yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris.
Siapapun boleh melakukan penyangkalan terhadap aspek formal,
jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas akta yang dibuat dihadapan
atau oleh Notaris, dengan suatu gugatan ke Pengadilan.
c. Kekuatan Pembuktian Materiil
Kepastian tentang materiil suatu akta sangat penting, apa yang
tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihakpihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku
untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya. Jika akan membuktikan
aspek materiil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat
membuktikan
bahwa
Notaris
tidak
menyatakan kebenaran
yang
sebenarnya dalam akta atau para pihak tidak memberikan keterangan yang
sebenarnya dalam akta atau para pihak tidak memberikan keterangan yang
sebernarnya dihadapan Notaris.
Dengan demikian barang siapa yang menyatakan bahwa suatu akta
otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu.
Apabila suatu akta otentik tidak memenuhi kekuatan pembuktian lahiriah,
formal dan materiil serta tidak memenhi syarat otentisitas, maka akta
otentik tidak lagi disebut sebagai akta otentik melainkan hanya akta
dibawah tangan.
Universitas Sumatera Utara
65
Hukum pembuktian dalam perkara perdata, merupakan bagian dari
hukum acara perdata. Hukum pembuktian ialah hukum yang mengatur
macam-macam alat bukti yang sah, syarat-syarat dan tata cara mengajukan
alat bukti, dan kewenangan hakim untuk menerima atau menolak serta
menilai hasil pembuktian.96
Dalam rangka proses perdata dalam keseluruhan, maka proses
pembuktian merupakan satu bagian atau tahap daripada proses tersebut,
karenanya tujuan serta prinsip-prinsip yang berlaku baginya juga berlaku bagi
pembuktian.
Hukum pembuktian merupakan bagian dalam hukum acara perdata,
yang diatur dalam: 97
a. Pasal 162-177 HIR;
b. Pasal 282-314 RBg;
c. Pasal 1865-1945 BW;
d. Staatsbald 1867 Nomor : 29.
Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu
perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan hukum tidak mengaturnya
atau kurang jelas (Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004
tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman). Oleh karena itu hakim
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat (Pasal 27 UU No.14 Tahun 1970).
96.
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, (Bandung:Penerbit P.T.
Alumni, 2004), hal.66-67.
97.
Hari Sasangka, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan
Praktisi, (Bandung:Penerbit CV.Mandar Maju, 2005), hal.60-62.
Universitas Sumatera Utara
66
Apabila Hakim menjumpai kesulitan di dalam praktik maka harus
mencari pemecahan masalah dengan doktrin/ajaran dan yurisprudensi.
Salah satu syarat dalam hukum pembuktian adalah dengan adanya
alat bukti. Keterangan saksi merupakan satu dari beberapa alat bukti yang
terdapat dalam hukum acara perdata. Pengaturan tentang pemeriksaan dan
keterangan saksi ini terdapat dalam:
a. Pemeriksaan saksi:
1)
Pasal 144-152 HIR
2)
Pasal 171-179 RBg
b. Keterangan saksi:
1)
Pasal 168-172 HIR
2)
Pasal 306-309 RBg
3)
Pasal 1895-1902 s/d 1912 BW
Keterangan saksi hanya boleh berisikan apa yang dilihat oleh saksi
dengan panca inderanya dan tentang apa yang dapat diketahui sendiri dengan
cara yang demikian. Keterangan saksi hanya gambaran dari apa-apa yang
telah dilihat, didengar dan dialaminya keterangan-keterangan ini semata-mata
bersifat obyektif.
Keterangan saksi atau suatu kesaksian adalah kepastian yang
diberikan kepada Hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan
dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan
salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan.
Universitas Sumatera Utara
67
Mengenai keterangan yang harus diberikan oleh saksi dimuka
persidangan adalah tentang adanya perbuatan atau peristiwa hukum yang
saksi lihat, dengar dan alami sendiri serta alasan atau dasar yang
melatarbelakangi pengetahuan tersebut. Dalam hal ini saksi tidak boleh
menyimpulkan, membuat dugaan ataupun memberikan pendapat tentang
kesaksiannya,
karena
hal
ini
bukan
dianggap
sebagai
kesaksian
(Pasal 171 ayat (2) HIR/1907 BW). Jadi, pendapat atau perkiraan yang
diperoleh dengan jalan pikiran bukanlah suatu kesaksian.
Dalam hukum acara perdata, alat bukti saksi bukan merupakan alat
bukti utama. Hal ini terlihat dari penyebutan alat bukti saksi pada urutan
kedua. Berbeda dengan penyebutan alat bukti saksi dalam hukum acara
pidana, yang dalam penyebutannya sebagai alat bukti pertama.
Alat bukti saksi mempunyai keterbatasan, karena saksi adalah
manusia, sehingga keterbatasan sebagai manusia mewarnai alat bukti saksi
atau kesaksian yaitu:
a. Manusia mudah lupa
b. Ingatan manusia terbatas
c. Manusia suatu saat pasti meninggal, sehingga ada keterbatasan waktu.
Alasan-alasan inilah yang menyebabkan alat bukti saksi bukan alat
bukti utama dalam hukum acara perdata. Dalam hukum acara pidana,
merupakan alat bukti utama karena tidak ada seorang tersangka membuat
surat atau meninggalkan alat bukti lain sesudah melakukan tindak pidana.
Maka dari itu saksi yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri atau
Universitas Sumatera Utara
68
kebetulan melihat, mendengar atau mengalami sendiri merupakan alat bukti
utama dalam perkara pidana.
Keterangan seorang saksi tanpa adanya tambahan dari alat bukti
lainnya, tidak lagi dapat dipercaya, demikian dapat diambil kesimpulan dari
Pasal 169 HIR (Pasal 1905 KUHPerdata).98
Ketentuan Pasal 1905 KUHPerdata mengundang akan adanya
tambahan alat bukti lain yang mendukung keterangan saksi. Dengan demikian
apabila ada alat pembuktian lain, maka hakim dapat, terhadap keterangan satu
orang saksi memberikan arti yang lengkap. Jadi apabila persangkaan dan atau
sumpah tambahan dianggap alat pembuktian, maka keteranngan satu saksi
ditambah dengan persangkaan ataupun sumpah tambahan, sudah memberi arti
yang cukup dalam kekuatan pembuktian keterangan satu saksi bagi hakim.
Hakim dalam melihat alat pembuktian saksi, berdasarkan
Pasal 1908 KUHPerdata (Pasal 172 HIR) diharuskan memperhatikan
kesamaan/persesuaian antara keterangan para saksi; persesuaian antara
keterangan-keterangan dengan apa yang diketahui dengan segi lain tentang
perkara;
sebab-sebab
yang
mendorong
para
saksi
mengemukakan
keterangannya, pada cara hidupnya, kesusilaannya, kedudukan para saksi, dan
segala apa yang berhubungan dengan keterangan yang dikemukakan.
Dalam beberapa hal keterangan saksi tidak diperkenankan
melainkan harus dipakai alat bukti surat, misalnya:
98.
Teguh Samudera, Op.Cit.,hal.70-72.
Universitas Sumatera Utara
69
a. Dalam hal membuktikan adanya pemisahan harta perkawinan (Pasal 150
BW jo Pasal 29 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan);
b. Dalam hal membuktikan, telah didirikan suatu firma (Pasal 22 Wvk) atau
Perseroan Terbatas (Pasal 7 ayat (1) UU No.1 Tahun 1995);
Keduanya dibuktikan dengan Akta Notaris;
c. Dalam hal membuktikan adanya perjanjian asuransi, harus dibuktikan
dengan polis (258 Wvk);
d. Untuk membuktikan adanya perjanjian perdamaian harus ada akta otentik
atau akta di bawah tangan (Pasal 185 ayat (2) BW). 99
Pada dasarnya, setiap perkara dapat dibuktikan dengan saksi tetapi
ada beberapa hal yang tidak memperbolehkan hal itu, karena ini menentukan.
Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian
dalam perkara perdata, sebab di dalam pembuktian perkara pidana (hukum
acara pidana) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran material, yaitu
kebenaran sejati atau yang sesungguhnya, sedangkan pembuktian dalam
perkara perdata (hukum acara perdata) adalah bertujuan untuk mencari
kebenaran formil, artinya hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang
diajukan oleh para pihak yang berperkara. Jadi hakim dalam mencari
kebenaran formal cukup membuktikan dengan “preponderance of evidence”
sedangkan hakim pidana dalam mencari kebenaran materiil, maka
peristiwanya harus terbukti (beyond reasonable doubt).
99.
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1992),
hal.170.
Universitas Sumatera Utara
70
Masalah pembuktian adalah yang sangat penting dan utama,
sebagaimana menurut Pasal 6 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, bahwa tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila
pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang,
mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap bertanggung jawab,
telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP adalah salah
satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi
mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia
alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Untuk keterangan saksi supaya dapat dipakai sebagai alat bukti
yang sah, maka harus memenuhi dua syarat, yaitu: 100
a. Syarat formil
Bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah, apabila diberikan
memenuhi syarat formil, yaitu saksi memberikan keterangan dibawah
sumpah, sehingga keterangan saksi yang tidak disumpah hanya boleh
dipergunakan sebagai penambahan penyaksian yang sah dan lainnya.
100.
Hanna Yustianna Yusuf, Pembacaan Akta Oleh Notaris Sebagai Syarat Otentisitas
Akta , diakses dari http:/www.google.com/lib.ui.ac.id/file digital/T30771, pada tanggal
14 Mei 2015.
Universitas Sumatera Utara
71
b. Syarat Materil
Bahwa keterangan seorang atau satu saksi tidak dapat dianggap sah
sebagai alat pembuktian (unnus testis nulus testis) karena tidak memenuhi
syarat meteril, akan tetapi keterangan seorang dan satu orang saksi, adalah
cukup untuk alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan.
Untuk suatu penilaian keterangan saksi sebagaimana menurut
Pasal 185 KUHAP, bahwa:
a. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan (testimony).
b. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila
disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
d. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah
apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain
sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau
keadaan tertentu.
e. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan
sungguh-sungguh memperhatikan:
1) Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain;
2) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
Universitas Sumatera Utara
72
3) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang tetrtentu;
4) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.
Demikian pula saksi yang telah memberikan keterangan palsu di
persidangan, sebagaimana menurut Pasal 174 KUHAP, yaitu: 101
a. Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang
memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan
keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang
dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
b. Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena
jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat
memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut
perkara dengan dakwaan palsu.
c. Dalam hal demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan
sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan
persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara
tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera
diserahkan kepada penuntu umum untuk diselesaikan menurut ketentuan
undang-undang.
101.
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana untuk
Mahasiswa dan Praktisi, (Bandung:Penerbit CV.Mandar Maju, 2003), hal.22-23.
Universitas Sumatera Utara
73
d. Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara
semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.
Dalam
setiap
verlidjen
(pembacaan dan penandatanganan)
akta Notaris, Notaris wajib menghadirkan 2 (dua) orang saksi akta.
Dengan kehadiran saksi akta, mereka dapat memberikan kesaksian bahwa
formalitas-formalitas dalam pembuatan akta yang ditentukan oleh UndangUndang telah dipenuhi. Begitu pentingnya saksi akta Notaris, sehingga
apabila keberadaan saksi akta ini tidak terpenuhi, maka berdasarkan
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, akta
tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah
tangan.
Kewenangan penyidik untuk memanggil saksi akta Notaris ini
berdasarkan pada Pasal 7 ayat (1) huruf g KUHAP, bahwa penyidik karena
kewajibannya mempunyai wewenang untuk memanggil orang untuk didengar
dan diperiksa sebagai tersangka atu saksi.102
Dari kedudukannya sebagai saksi, maka para saksi turut
mendengarkan pembacaan dari akta itu, juga turut menyaksikan perbuatan
atau kenyataan yang dikonstantir itu dan penandatanganan dari akta itu.
Dalam hal itu, para saksi tidak perlu harus mengerti apa yang dibacakan itu
dan juga bagi mereka tidak ada kewajiban untuk menyimpan isi dari akta itu
dalam ingatannya. Para saksi tidak bertanggung jawab terhadap isi akta itu.
102.
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana untuk
Mahasiswa dan Praktisi, (Bandung:Penerbit CV.Mandar Maju, 2003),hlm.35-36.
Universitas Sumatera Utara
74
Kekuatan pembuktian keterangan saksi instrumenter terlihat pada
saat persidangan. Suatu akta yang dibuat oleh Notaris merupakan akta otentik
sesuai dengan Pasal 1870 jo 1871 KUHPerdata, maksudnya ketika akta
tersebut telah diresmikan dan ditandatangani oleh peghadap serta disaksikan
oleh Notaris dan saksi-saksi, maka akta tersebut merupakan alat bukti yang
cukup kuat sehingga tidak diperlukan lagi alat bukti lainnya.
Saksi akta atau sering disebut saksi instrumenter, ketika dipanggil
dalam persidangan untuk dimintai keterangannya bukan lagi sebagai saksi
dalam akta yang hanya melihat formalitas-formalitas peresmian akta,
melainkan telah menjadi saksi secara umum yang dapat dimintakan
keterangannya tentang kasus atau sengketa yang melibatkan akta yang dibuat
oleh Notaris. Hal ini dapat terlihat dalam Hukum Acara Pidana dan Hukum
Acara Perdata yang mengatur tentang pembuktian mengenai keterangan saksi.
Saksi yang dihadirkan pada persidangan terkait dengan akta Notaris
yang menjadi sengketa adalah saksi akta yang merupakan karyawan atau
pegawai dari Notaris tersebut. Saksi yang berasal dari karyawan notaris yang
dihadirkan dalam persidangan tersebut, memberikan kesaksian sebatas
tanggung jawabnya dalam melaksanakan kewajibannya yakni dalam
melaksanakan perintah atau tugas yang diberikan oleh notaris. Dari sifat
kedudukannya sebagai saksi, maka para saksi turut mendengarkan pembacaan
dari akta itu, juga turut menyaksikan perbuatan atau kenyataan yang
dikonstantir itu dan penandatanganan dalam akta itu. Dalam hal itu,
para saksi tidak perlu harus mengerti apa yang dibacakan itu, dan bagi mereka
Universitas Sumatera Utara
75
tidak ada kewajiban untuk menyimpan isi dari akta itu dalam ingatannya.
Para saksi (termasuk saksi sebagai karyawan notaris) tidak bertanggung
jawab terhadap isi akta itu.
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa berkaitan
dengan isi akta notaris adalah tetap menjadi tanggung jawab notaris apabila
dipermasalahkan di persidangan perkara yang berkaitan dengan akta notaris,
karena notaris yang berkomunikasi langsung kepada penghadap, sehingga
karyawan notaris tidak bisa dimintakan pertanggung jawabannya apabila
dijadikan saksi di persidangan perkara yang berkaitan dengan suatu isi akta
notaris tersebut, karena tanggung jawab karyawan notaris hanya sebatas
mempersiapkan akta yang dipertanggungjawabkannya kepada notaris.
Hal tersebut berbeda apabila karyawan notaris memberikan kesaksian di
persidangan dalam kedudukannya sebagai saksi instrumentair, maka
karyawan notaris bertanggung jawab secara pribadi atau sendiri terhadap apa
yang telah disaksikannya yaitu berkaitan dengan apakah notaris telah
memenuhi formalitas – formalitas peresmian akta / verlijden seperti yang
diperintahkan oleh Undang – Undang Jabatan Notaris.103
103.
Rosmala Dewi, Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Instrumenter Dalam Akta
Notaris, diakses dari http:/www.google.com/lib.ui.ac.id/file digital/T31529, pada tanggal
23 Maret 2015
Universitas Sumatera Utara
76
Dengan kata lain, saksi yang berasal dari karyawan notaris dalam
memberikan kesaksiannya di persidangan perkara yang berkaitan dengan akta
notaris tersebut sebatas tanggung jawabnya yang dilakukan sesuai tugas yang
diberikan oleh notaris. Jadi sebatas formalitas - formalitas peresmian akta dan
sebatas apa yang diperintahkan atau ditugaskan oleh notaris dalam
mempersiapkan akta. Seperti yang telah diuraikan di atas, yaitu yang
berkenaan dengan pengetikan dalam penyusunan akta, pencocokan identitas
dan surat – surat serta hadir dalam peresmian akta, mendengarkan pembacaan
akta dan ikut menandatangani akta sebagai saksi (verlijden).
Universitas Sumatera Utara
Download