PELAKSANAAN KEWAJIBAN NOTARIS TERHADAP KUALITAS PRODUK AKTA DAN AKIBAT HUKUMNYA EXECUTION OF OBLIGATION NOTARY TO QUALITY PRODUCT ACT AND ITS LEGAL CONSEQUENCES Ni Nyoman Juliantari, Syamsul Bachri, Farida Patittingi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Alamat Koresponden: Magister Kenotariatan Universitas Hasanuddin Hp.081246761668 Email: [email protected] Abstrak Notaris sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta otentik dituntut akan tanggung jawabnya untuk membuat akta yang berkualitas yang dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) kemampuan Notaris dalam melaksanakan kewajibannya terhadap kualitas produk akta yang dibuatnya., (2)bentuk tanggung jawab Notaris terhadap produk akta yang menjadi permasalahan hukum dipengadilan. Penelitian dilaksanakan di Kantor Majelis Pengawas Daerah kabupaten Gianyar, Kantor Notaris di Kabupaten Gianyar dan Pengadilan Negeri Gianyar. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosioyuridis. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, dokumentasi dan kajian pustaka. Data dianalisis dengan mengunakan analisis kualitatif. Hasil menunjukkan Bahwa (1) Notaris belum mampu melaksanakan kewajibannya dalam menjalankan tugasnya untuk membuat akta yang berkualitas dalam memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak yaitu masyarakat yang mengunakan jasa Notaris dalam membuat suatau perjanjian. (2) tanggungjawab Notaris terhadap akta yang dibuatnya mengandung cacat hukum dan menjadi permasalahan hukum diperadilan maka akta yang dibuatnya dengan sendirinya batal demi hukum atau akta dapat dibatalkan . Kata Kunci : Kualitas akta Notaris, Kewajiban, Tanggung jawab. Abstract Notary as public functionary which given by authority to make claimed by pukka act of its responsibility will to make act which with quality able to give protection of law to all side making agreement. This research aim to know ( 1) ability of Notary in executing its obligation to quality of made act product it., ( 2) form Notary responsibility to act product becoming problems of justice law. Research executed by in Office Ceremony Supervisor of Area subprovince of Gianyar, Office Notary in Sub-Province of Gianyar and District Court Of Gianyar. This Research use approach of sosioyuridis. Data collecting through observation, book study and documentation. Data analysed with using analyse qualitative. Result indicate that ( 1) Notary not yet can execute its obligation in running its duty to make act which with quality in giving certainty and protection law to the parties that is society which is Notary service using in making agreement a certain. ( 2) Notary Responsibility to made act it contain handicap punish and become problems of jurisdiction law hence made act it by itself cancel for the shake of act or law can be canceled. Keyword : Quality of notary deed, Obligation, Responsibility. PENDAHULUAN Dalam kehidupan interaksi antara masyarakat baik dari sisi perbuatan hukum antara masyarakat satu dengan yang lainnya perlu dibuatkan suatu hubungan hukum agar memiliki legalitas, yang mana salah satu fungsi hukum adalah untuk memberikan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Demi tercapainya kepastian hukum tersebut dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum, hal ini berdampak pula pada peningkatan di bidang jasa Notaris, dimana penjelasan mengenai Notaris adalah pejabatyang diangkat oleh pemerintah untuk melayani kebutuhan masyarakat akan dokumen-dokumen legal yang sah. Apabila dikaitkan dengan sektor pelayanan jasa, peran Notaris dalam sektor pelayanan jasa adalah sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh negara untuk melayani masyarakat dalam bidang perdata khususnya pembuatan akta otentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, (selanjutnya disingkat dengan UUJN) : “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Pasal 15 Ayat (1) UUJN menetukan bahwa: Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik menjamin kepastian tanggal pembutan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.” Menurut Philipus M. Hadjon, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. (Philipus M. 1997). kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara,( A. Gunawan 1990). Wewenang merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan. Dengan demikian setiap wewenang ada batasannya, sama halnya dengan kewenangan yang dimiliki oleh Notaris. Wewenang Notaris terbatas pada peraturan perundangundangan yang mengatur jabatan Notaris. Landasan filosofis dibentuknya UUJN adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan melalui akta yang dibuat oleh Notaris, (Ali, A. 2002). Produk akta yang dikeluarkan oleh Notaris digolongkan sebagai akta otentik dan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, karena memenuhi persyaratan sebagaimana definisi akta otentik yang ditentukan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, selanjutnya disingkat dengan KUHPerdata : “ Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”. Keberadaan akta otentik, baik karena Undang-undang mengharuskannya alat bukti untuk perbuatan tertentu itu (dengan diancam kebatalan jika tidak dibuat dengan akta otentik) seperti akta pendirian, (Budiono, H. 2010). Notaris, dalam praktek Notaris disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara, dan akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) Notaris, dalam praktek Notaris biasa disebut Akta Pihak. Pembuatan akta Notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar Notaris membuat akta yaitu harus adanya keingingan dan permintaan dari para pihak. Dengan bertambahnya tuntutan masyarakat akan pentingnya kekuatan pembuktian suatu akta, menuntut peranan notaris sebagai pejabat umum harus selalu dapat mengikuti perkembangan hukum dalam memberikan jasanya kepada masyarakat yang memerlukan dan menjaga akta-akta yang di buatnya untuk selalu dapat memberikan kepastian hokum, (Ghofur, A. 2006). Dengan demikian diharapkan bahwa keberadaan akta otentik notaris akan memberikan jaminan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh. Notaris dalam menjalankan jabatannya harus dapat bersikap professional dengan dilandasi kepribadian yang luhur dan senantiasa melaksanakan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku sekaligus menjunjung tinggi kode etik profesi Notaris sebagai rambu yang harus ditaati, (Liliana T. 1995). Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur, memiliki integeritas moral yang mantap, harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri (kejujuran intelektual), sadar akan batas-batas kewenangannya, dan tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang. Notaris berkewajiban untuk mengeluarkan Grosse akta , Salinan akta dan Kutipan akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Notaris selain berwenang untuk membuat akta otentik, juga mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta Notaris serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan terkait bagi para pihak penandatangan akta. Untuk menciptakan kepastian, ketertiban, perlindungan hukum dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan Undang-undang kepada Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, maka dalam hal ini diperlukan pengawasan agar tugas Notaris selalu sesuai dengan kaidah hukum yang mendasarinya. Pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Menteri (Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia), dimana di dalam melaksanakan pengawasan tersebut, Menteri membentuk Majelis Pengawas yang berjumlah 9 (sembilan) orang yang terdiri atas unsur Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang, Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang, dan ahli/akademisi sebanyak 3 (tiga) orang. Majelis Pengawas tersebut terdiri dari Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah, Majelis Pengawas Pusat. Dalam menjalankan tugasnya, Majelis Pengawas tersebut melakukan pengawasan terhadap perilaku Notaris dan pelaksanaan Jabatan Notaris. Notaris dalam menjalankan kewenangannya tidak lepas dari tugas dan kewajibannya sebagai pejabat umum yang diberi kepercayaan oleh masyarakat dalam membuat akta otentik, dimana akta otentik merupakan alat bukti yang terkuat dan terpenuh, yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Dalam kenyataannya akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris masih ada yang menimbulkan kerugian bagi banyak pihak, dan pihak yang merasa dirugikan memberikan pengaduan kepada pihak yang berwenang yaitu polisi, (Harahap,Y. 2010). Pengaduan masyarakat tersebut diantaranya adalah lamanya penyelesaian proses jual-beli tanah, penitipan pembayaran pajak para pihak kepada Notaris, dimana cukup lama tidak diproses atau tidak dibayarkan, dalam isi akta perjanjian tidak mencantumkan batas waktu pembayaran/batas waktu pelunasan dan tidak menegaskan sanksi atas keterlambatan pelunasan, kesalahan dalam mencantumkan identitas para pihak. Tujuan Penelitian ini Untuk mengetahui dan menjelaskan kemampuan Notaris dalam melaksanakan kewajibannya terhadap kualitas produk akta yang dapat dipertanggung jawabkan secara hokum. METODE PENELITIAN Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat sosio yuridis yaitu penelitian yang didasarkan tidak hanya pada aspek normatifnya akan tetapi juga meneliti aspek empirisnya. Untuk menunjang dan melengkapi data yang diperoleh dari penelitian normatif, maka dilakukan penelitian lapangan (Field Research). Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari bahan-bahan hukum yaitu peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Penelitian lapangan (Field Research) adalah penelitian yang dilakukan dengan pengumpulan data melalui wawancara langsung kepada pihak – pihak yang sesuai dengan obyek penelitian. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan Notaris yang ada di Gianyar, MPD Gianyar, dan masyarakat yang terkait dengan penggunaan jasa Notaris dalam pembuatan akta. Adapun sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan sampel yang dilakukan dengan cara menentukan sendiri sampel yang dianggap mewakili keseluruhan populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah: a. MPD : 3 orang b. Notari :20 orang c. Pengguna jasa Notaris : 5 orang dan Jumlah sampel adalah 28 orang. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan sebagai dasar untuk menunjang hasil penelitian adalah Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden yang terpilih dengan menggunakan teknik wawancara dan kuesioner. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari peratuaran perundang-undangan, literatur-literatur bacaan dan tulisan yang berkaitan dengan obyek penelitian. Teknik Pengumpulan Data Guna menunjang kelancaran dan keberhasilan penelitian, pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan teknik Wawancara, yaitu dimana penulis melakukan tanya jawab langsung kepada pihak-pihak yang terkait dan sesuai dengan obyek penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah disiapkan sebelumnya. Kuesioner, yaitu penulis menyediakan daftar pertanyaan tertulis yang disusun secara sistematis kepada para responden yang telah ditentukan dalam penelitian ini. Dokumentasi atau disebut juga studi pustaka (library research), dengan melakukan pencatatan data secara langsung dari dokumen yang isinya berkaitan dengan masalah penelitian. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dari lapangan baik data primer maupun data sekunder diolah dan dianalisis secara kualitatif, selanjutnya disajikan secara deskriptif yaitu dengan menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan permasalahan serta penyelesaiannya dengan menggunakan landasan teori. HASIL Kewajiban Notaris terhadap kualitas akta adalah bahwa Notaris dalam membuat akta harus tetap berpegang pada ketentuan undang-undang sehingga akta yang diterbitkannya dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pihak dalam membuat suatu perjanjian. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perjanjian dan perbuatan hukum seperti akta pendirian Perseroan Terbatas , akta pendirian Comanditare Venootschaf, akta Perikatan Perjanjian Jual Beli (untuk selanjutnya disingkat dengan PPJB), akta Sewa-Menyewa dan semua bentuk perjanjian yang ditentukan oleh undang-undang. Notaris dalam membuat akta PPJB, baik itu PPJB Tanah, PPJB Rumah, PPJB Kendaraan, Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah, Rumah, Mobil, dan lainnya, Notaris berkewajiban untuk memeriksa kejelasan subyek dan obyek dari perjanjian tersebut. Dari banyaknya PPJB yang dibuat oleh Notaris yang paling berpotensi konflik adalah akta PPJB yang subjeknya tentang peralihan hak dan objeknya adalah tanah, misalnya seperti para pihak tidak memberikan keterangan yang benar tentang keadaan objek perjanjian, apakah objek tersebut dalam sengketa atau tidak, pihak penjual menjual tanah tidak dengan persetujuan istri/suami, pihak penjual memberikan surat keterangan waris yang keliru , atau bisa juga ditimbulkan karena kekhilafan/kesalahan Notaris itu sendiri, misalnya Notaris memihak pada salah satu pihak yang membuat perjanjian, tidak mencantumkan batas waktu perjanjian dalam akta sehingga hal-hal tersebut menimbulkan permasalahan bagi para pihak yang membuat perjanjian. Sehubungan dalam pembuatan akta PPJB tanah dari hasil wawancara dengan Megawati Widiatmadja, Notaris di Kabupaten Gianyar, pada tanggal 08 Maret 2013 menyatakan dalam proses pembuatan akta, Notaris berkewajiban meminta kepada para penghadap untuk menyerahkan kelengkapan yang harus dipenuhi sebagai persyaratan untuk dapat dibuatkannya akta perjanjian adalah sertipikat tanah Hak Milik yang asli bila perorangan dan sertipikat Hak Guna Bangunan yang asli apabila berbadan hukum, kartu identitas para pihak seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), STTS khusus untuk PPJB yang berbadanhukum wajib dilampiri surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Salinan Rapat Umum Pemegang Saham. Jika tanah yang akan diperjual belikan untuk perorangan yang tanahnya tersebut merupakan tanah waris yang belum disertipikat maka Notaris berkewajiban meminta pihak penjual menyerahkan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPORADIK), Surat Keterangan Kematian dari Desa (SKKD), Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), PIPIL, Silsilah Keturunan, Surat Pembagian Waris dibawah tangan/putusan pengadilan, Surat Kuasa jika penghadap bertindak sebagai kuasa dari ahli waris, yang kemudian oleh Notaris dituangkan dalam akta. Di dalam penulisan akta perjanjian jual beli untuk tanah yang belum bersertipikat batasbatas tanah harus dijelaskan dan untuk penulisan dalam komparisi apabila itu tanah warisan dicantumkan nama pemilik yang lama (almarhum) dan disebutkan para pihak yang menghadap selaku ahli waris untuk tanah yang akan diperjual belikan dan untuk penulisan luas tanah biasanya para pihak sepakat untuk mengisi dengan bahasa kurang lebih “karena luas tanah yang tercantum dalam SPPT tidak menjamin luas pada objek dilapangan”, hal tersebut dibuat agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari apabila terjadi perubahan ukuran luas tanah yang telah diukur, untuk pembuatan akta PPJB ini pada umumnya diminta oleh para pihak sifatnya untuk mengikat antara dua belah pihak sambil menunggu proses terbitnya sertipikat dan peralihan hak bisa dilakukan keatas nama pembeli yang baru, kelengkapan warkah yang harus dilengkapi tersebut akan dilekatkan dengan minuta akta Notaris yang menjadi satu kesatuan dari akta tersebut yang tak terpisahkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Cuaca Candra Sedana, Notaris di Gianyar, pada tanggal 04 Maret 2013 dalam perbuatan hukum dalam melakukan PPJB Tanah untuk perorangan maupun badan hukum umumnya Notaris membuatkan akta jual beli dengan menuangkan keinginan para pihak, yang dimana dalam hal ini sebagai notaris diwajibkan untuk mengetahui objek yang diperjual belikan misalnya jual beli tanah pihak penjual harus menunjukan sertipikat asli, para pihak dalam melakukan perbuatan hukum jual beli bertindak untuk diri sendiri apa selaku kuasa dari penjual, para pihak menunjukan kartu identitas seperti KTP dan KK, Bukti surat pajak terakhir dan setiap membuat akta PPJB selalu disertakan dengan akta kuasa dengan tujuan untuk melindungi para pihak agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Dengan dibuatkannya akta kuasa tersebut diharapkan memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang dimana dalam membuat akta perjanjian ada beberapa unsur yang belum terpenuhi, seperti contoh Pihak pembeli belum melunasi pembayaran sepenuhnya atau cara pembayaran dilakukan secara bertahap, apabila sebelum terjadi pelunasan tersebut pihak penjual atau pembeli meninggal dunia maka akan diserahkan dan dilanjutkan oleh para ahli warisnya seperti yang disebutkan dalam PPJB dan akta Kuasanya sehingga segala yang diperjanjikan dalam jual beli tersebut tercapai maksud dan tujuannya dengan catatan apabila belum terjadi pelunasan terhadap objek yang dijual dengan perjanjian dibayar secara bertahap maka akta kuasa disimpan dinotaris sampai terjadi pelunasan tersebut. PEMBAHASAN Pada penilitian ini menunjukkan bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman kepada aturan-aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Kewajiban dalam menjalankan jabatannya yang telah ditentukan baik di dalam UUJN, khususnya dalam Pasal 16 UUJN maupun Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia, dimana Notaris dalam menjalankan jabatannya, berkewajiban bertindak jujur, seksama, mandiri, penuh rasa tanggung jawab serta harus pula menerapkan prinsip kehati-hatian dalam setiap tindakan yang akan dilakukan. Namun dari analisis yang dilakukan Kemampuan Notaris dalam melaksanakan kewajibannya belum optimal karena belum sejalan dengan kualitas produk akta yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ,( Miru, A. 2009). Hal tersebut dapat dilihat dari masih terdapatnya akta Notaris yang dipermasalahkan oleh para pihak. Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN menentukan bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan para pihakyang terkait dalam perbuatan hukum. Di samping itu Notaris wajib mengutamakan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak. Notaris dituntut untuk senantiasa mendengar dan mempertimbangkan keinginan para pihak agar tindakannya dituangkan dalam akta, (Habib A. 2008). Selain itu dalam pembuatan akta Notaris diwajibkan untuk bertindak cermat dan seksama yaitu dengan :(1). Melakukan pengenalan terhadap penghadap berdasarkan identitasnya yang diperlihatkan kepada Notaris. (2). Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau kehendak para pihak tersebut. (3). Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para pihak tersebut. (4). Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi keinginan atau kehendak para pihak tersebut. (5). Memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta notaris, seperti pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan dan pemberkasan untuk minuta. (6). Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris. Notaris mempunyai peranan untuk menentukan suatu tindakan dapat dituangkan dalam bentuk akta atau tidak. Sebelum sampai pada keputusan seperti ini, Notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang diperlihatkan kepada Notaris, meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepadanya, mendengarkan keterangan atau pernyataan para pihak. Keputusan tersebut harus didasarkan pada alasan hukum yang harus dijelaskan kepada para pihak, (Kanter, E.Y. 2001). Pertimbangan tersebut harus memperhatikan semua aspek hukum termasuk masalah hukum yang akan timbul di kemudian hari. Selain itu, setiap akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris harus mempunyai alasan dan fakta yang mendukung untuk akta yang bersangkutan atau ada pertimbangan hukum yang harus dijelaskan kepada para pihak/penghadap. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus tetap pada koridor yang ditentukan dalam UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris.Namun dalam kenyataannya masih saja ada akta Notaris yang dipermasalahkan oleh para pihak danpenyebab terjadinya konflik timbul dari akta yang dibuat oleh kesalahan yang dilakukan oleh Notaris itu sendiri ataupun dari pihak lain. Di Tahun 2011 terdapat 16 (enam belas) akta Notaris dari 10 (sepuluh) Notaris yang aktanya bermasalah, permasalahannya adalah PPJB Tanah yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris sehingga oleh para pihak menuntut Notaris atau pihak yang lain telah melakukan pemalsuan surat (melampirkan silisilah palsu), pemalsuan tandatangan/cap jempol, dan salah satu pihak merasa tidak pernah menandatangani surat perjanjian tersebut (pengingkaran tandatangan) dan penguasaan tanah oleh seseorang berdasarkan akta yang dibuat oleh Notaris namun disisi lain ada pihak lain yang merasa berhak atas tanah tersebut, sedangkan di Tahun 2012 terdapat 11 (sebelas) akta Notaris dari 8 (delapan) Notaris yang aktanya bermasalah. Permasalahannya diantaranya adalah tentang pemalsuan surat, pemalsuan tandatangan/atau cap jempol, tentang adanya silsilah palsu, di dalam isi akta Notaris tidak mencantumkan batas waktu pelunasan dan sanksi terhadap keterlambatan pembayaran tanah yang kemudian oleh pihak pembeli melakukan perbuatan yang merugikan pihak penjual, penggelapan uang titipan pembayaran pajak sehingga proses perjanjian jual beli menjadi tidak lancar. Di Tahun 2013 (3 (tiga) bulan terakhir) terdapat 2 (dua) akta Notaris dari 2 (dua) Notaris hal yang dipermasalahkan yaitu tentang adanya penggelapan penitipan uang pembayaran pajak dan penitipan uang pelunasan pembayaran objek perjanjian dari pihak pembeli tidak dibayarkan oleh Notaris kepada pihak penjual sehingga memicu konflik antara penjual dan pembeli. Berdasarkan penelitian penulis di lapangan bahwa terdapat Notaris X melakukan tindakan penggelapan uang pelunasan objek perjanjian yang dalam hal ini adalah PPJB Tanah, bahwa oleh karena beberapa persyaratan yang belum terpenuhi sehingga Akta Jual Beli belum dapat dilakukan, Notaris X memberikan saran kepada para pihak untuk menitipkan uang pelunasan tanah kepada Notaris dengan alasan bahwa itu adalah suatu wujud servis yang diberikan oleh Notaris agar para pihak merasa nyaman telah membuat PPJB di hadapan Notaris X, namun setelah lewat 3 (tiga) bulan Akta Jual Beli Tanah belum juga terselesaikan padahal oleh pihak pembeli uang pelunasan tanah sudah diberikan dan dititipkan kepada Notaris X, dan ketika uang pelunasan yang dititipkan oleh pihak pembeli diminta oleh pihak penjual kepada Notaris, Notaris X tidak dapat memberikannya karena uang yang dititipkan kepadanya telah habis terpakai, (Jimly A dkk, 2006). Akta Notaris yang tidak mencantumkan batas waktu pelunasan obyek perjanjian adalah suatu kelalaian si Notaris, dimana hal tersebut dijadikan alasan bagi pihak pembeli untuk mengulur-ulur waktu pembayaran pelunasan obyek perjanjian, yang dalam hal ini obyeknya adalah tanah, sedangkan tanah tersebut sudah beralih kepemilikan menjadi nama pihak pembeli. Jika dilihat dari permasalahan yang ada maka si Notaris telah lalai melaksanakan kewajibannya dimana dalam membuat akta, Notaris yang seharusnya bertindak cermat dan teliti agar hak dan kewajiban para pihak terpenuhi malah menjadi pemicu terjadinya konflik, (Muhammad, A. 1997). Atas dasar permasalahan yang ada maka pihak penjual melaporkan Notaris tersebut ke pihak yang berwajib yaitu polisi. Atas dasar laporan tersebut pihak kepolisian memanggil Notaris melalui ijin MPD terlebih dahulu. Wewenang MPD dalam pemanggilan Notaris oleh kepolisian adalah memanggil Notaris yang aktanya dipermasalahkan tersebut dengan membentuk tim atau majelis pemeriksa yang dibentuk oleh MPD dengan anggota yang merupakan anggota MPD, terdiri dari 1 orang unsur pemerintah, 1 orang unsur akademisi, 1 orang unsur Notaris, dan 1 orang sekretaris. Pemanggilan yang dilakukan oleh MPD terhadap Notaris adalah guna untuk memeriksa dan menyidangkan Notaris yang bersangkutan maupun akta yang sedang dipermasalahkan tersebut, apakah memang kelalaian dari Notaris ataukah karena dilakukan oleh orang lain. Jika dalam pemeriksaan MPD Notaris yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran dari segi formal bahwa akta yang dibuat Notaris tersebut adalah salah atau kabur atau memang Notaris telah melakukan kesalahan secara pribadi maka MPD akan memberikan ijin atas permohonan polisi mengenai pemanggilan Notaris tersebut. Namun MPD akan menolak memberikan ijin kepada kepolisian untuk memanggil Notaris jika akta yang dibuat oleh Notaris telah memenuhi syarat formal dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya terjadinya kesalahan non formal seperti adanya silsilah palsu atau dokumen palsu yang dibawa oleh para pihak saat pembuatan akta atau surat kuasa di bawah tangan, maka MPD dalam hal ini tidak mengijinkan kepolisian untuk memanggil Notaris tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman kepada aturan-aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Kewajiban dalam menjalankan jabatannya yang telah ditentukan baik di dalam UUJN, khususnya dalam Pasal 16 UUJN maupun Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia, dimana Notaris dalam menjalankan jabatannya, berkewajiban bertindak jujur, seksama, mandiri, penuh rasa tanggung jawab serta harus pula menerapkan prinsip kehati-hatian dalam setiap tindakan yang akan dilakukan. Namun dari analisis yang dilakukan Kemampuan Notaris dalam melaksanakan kewajibannya belum optimal karena belum sejalan dengan kualitas produk akta yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Hal tersebut dapat dilihat dari masih terdapatnya akta Notaris yang dipermasalahkan oleh para pihak. Bentuk tanggung jawab Notaris terhadap produk akta yang dipermasalahkan di pengadilan terkait dengan akta yang dibuatnya adalah bahwa Notaris dapat saja dituntut sebagai tergugat maupun sebagai turut tergugat. Jika terbukti akta yang dipermasalahkan oleh para pihak adalah kelalaian Notaris maka akta yang dibuat oleh Notaris dapat saja dibatalkan atau batal demi hukum, dan Notaris bertanggung jawab mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada para pihak yang merasa dirugikan. Perlu ditingkatkan kemampuan Notaris secara berkelanjutan baik dari bentuk pendidikan formal maupun non formal hal ini dilakukan untuk menjamin kualitas akta yang dibuat oleh Notaris dapat memberikanperlindungan hukum bagi para pihak yang membuat akta perjanjian. DAFTAR PUSTAKA Adjie, Habib. (2008). Hukum Notaris Indonesia.Bandung : PT. Refika Aditama. Ali, Achmad. (2002). Menguak Tabir Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence). Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Budiono, Herlien (2010). Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung Ghofur, Anshori Abdul. (2006). Kontribusi Pendidikan Hukum Dalam PembentukanMoral Penegak Hukum.Yogyakarta. Hadjon, M Philipus. (1997). Tentang Wewenang. Makalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Yuridika. Surabaya. Harahap,Yahya. (2010). Hukum Acara Perdata. Cetakan 10. Sinar Grafika. Jakarta. Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Syafaat, (2006). Konstitusi Press. Jakarta. Pengantar Hukum Tata Negara. Penerbit Kanter, E.Y. (2001). Etika Profesi Hukum Sebuah Pendekatan Sosio-Religius. Storia Grafika. Miru, Ahmadi., Sakka Pati. (2009). Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW. Rajawali Pers. Jakarta. Muhammad, Abdulkadir. (1997). Etika Profesi Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Setiarja, A.Gunawan. (1990). Dealektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia. Kanisius. Yogyakarta. Tedjasaputro, Liliana. (1995). Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana. BIGRAF Publishing. Yogyakarta.