menggagas kepastian hukum perkawinan beda agama di indonesia

advertisement
Menggagas Kepastian Hukum....
MENGGAGAS KEPASTIAN
HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA
DI INDONESIA
Anwar Nuris
Alumni Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah
Jurusan Syari‟ah STAIN Jember
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Perdebatan perkawinan beda agama di Indonesia sebenarnya telah
selesai –untuk tidak menyebutnya tuntas- diperdebatkan pada saat
setelah disahkannya UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(UUP). Penyelesaian perdebatan perkawinan beda agama diakhiri
oleh Pasal 2 Ayat (1) UUP. Namun, maraknya praktek
perkawinan
beda agama di kalangan sebagian masyarakat
Indonesia di satu sisi, dan diajukannya uji materiil Pasal 2 Ayat
(1) UUP kepada Mahkamah Konstitusi, seolah membuka kembali
file perdebatan yang telah berlangsung beberapa puluh tahun lalu.
Bahkan belakangan, larangan perkawinan
beda agama di
Indonesia sebagai dalam UUP di konfrontir dengan pasal-pasal
dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Beragam upaya seperti penafsiran terhadap pasal-pasal kunci UUP
dan berbagai diskursus ilmiah tentang perkawinan beda agama di
Indonesia sudah kerap dilakukan. Upaya tersebut tidak cukup
memberikan kepastian hukum. Kondisi ini mengharuskan
negara/pemerintah segera bertindak tegas membuat produk
legislasi dan atau produk regulasi baru. Sekali lagi, bahwa
pemerintah diharapkan segera menciptakan kepastian hukum
perkawinan beda agama, sehingga mampu menjawab kegelisahan
di tengah-tengah masyarakat. Keadilan hukum akan terwujud jika
terlebih dahulu tercipta kepastian hukum.
Kata kunci: Kepastian Hukum, Perkawinan Beda Agama.
PENDAHULUAN
Perdebatan mengenai perkawinan beda agama sebenarnya
telah selesai –untuk tidak menyebutnya tuntas- dibicarakan pada
tahun sesaat setelah disahkannya UU. No. 1 Tahun 1974 tentang
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
61
Anwar Nuris
Perkawinan (UUP). Perdebatan perkawinan beda agama di
Indonesia diakhiri oleh UUP Pasal 2 Ayat (1) dalam bab I tentang
Dasar Perkawinan, dikuatkan Pasal 8 huruf (f) dalam bab II
tentang Syarat-syarat Perkawinan, Pasal 57 dalam bab XII tentang
Ketentuan-ketentuan Lain pada Bagian Ketiga tentang
Perkawinan Campuran, dan pasal 66 dalam bab XIV tentang
Ketentuan Penutup. Sejak UUP disahkan, perkawinan beda
agama di Indonesia tidak mendapatkan tempat (tidak
diperbolehkan). Oleh karena itu, peratuan-peraturan hukum
perkawinan sebelumnya, secara otomatis terhapus/tidak berlaku
jika bertentangan dengan UUP dan sejauh tidak ditentukan lain
oleh UUP.1
Belakangan, maraknya praktek perkawinan beda agama oleh
sebagian masyarakat di satu sisi, dan diajukannya uji materiil
Pasal 2 Ayat (1) UUP oleh seorang mahasiswa dan beberapa
alumnus Universitas Indonesia2 –yang saat ini sedang
berlangsung- kepada Mahkamah Konstitusi, seolah membuka
kembali file perdebatan yang telah berlangsung beberapa puluh
tahun lalu. Perkawinan campuran karena berbeda agama
(perkawinan beda agama ) selalu hangat dibicarakan karena
masalahnya menyangkut akidah dan hukum yang sangat sensitif.
Ia dapat disebut dengan perkara antar agama yaitu ikatan lahir
batin antara seorang pria dan wanita yang berbeda agama yang
menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan
mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkara sesuai
dengan hukum agamanya masing-masing. Terbukti sejak awal
kemerdekaan hingga saat ini perdebatan perkawinan beda agama
masih menjadi kontroversi antara pro dan kontra.3
Sebagaimana asas lex posteriori derogat legi priori (Undang-undang
yang berlaku kemudian, membatalkan undang-undang terdahulu, sejauh
undang-undang itu mengatur objek yang sama). Ishaq, Dasar-dasar Ilmu
Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 76.
2 Mereka bernama Anbar Jayadi, Damian Agata Yuvens, Rangga
Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Luthfi Sahputra.
http://www. Perkawinan Beda Agama%3b file/Hakim Beri Masukan
Pemohon Perkawinan Beda Agama - hukumonline.com.html. diakses hari
Minggu, 31 Oktober 2014.
3 Hartini, “Implementasi Perkawinan Berbeda Agama di Luar
Negeri”, Majalah Mimbar Hukum, Vol. vi, No. 47, (2004), 14.
1
62
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Menggagas Kepastian Hukum....
Di satu sisi, UUP melarang perkawinan beda agama, namun
di sisi lain negara seolah-olah membiarkan mereka yang
melakukan perkawinan beda agama. Pembiaran ini dipicu dari
masih adanya celah hukum perkawinan beda agama Warga
Negara Indonesia (WNI) yang dilaksanakan di luar negeri. Selain
itu, terdapat berbagai putusan Mahkamah Agung yang
mengabulkan permohonan perkawinan
beda agama, salah
satunya Putusan Mahkamah Agung No. 1400.K/Pdt/19864
menjadi dasar tersendiri terhadap pintu awal terjadinya upaya
relegalisasi perkawinan beda agama di Indonesia.
Pengaturan hukum perkawinan beda agama di Indonesia
tidak menunjukkan adanya kepastian hukum. Pembiaran yang
dilakukan negara dalam mengatur perkawinan beda agama, di
satu sisi dan Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan
permohonan perkawinan beda agama, di sisi lain menjadi bukti
nyata. Ironisnya, UUP memberikan sumbangan terhadap tidak
adanya kepastian hukum perkawinan beda agama di Indonesia.
Di antaranya ketentuan Pasal 57 ketika dihubungkan dengan
Pasal 66 UUP menimbulkan multi tafsir. Wal Hashil, perkawinan
beda agama di Indonesia berada pada dua titik perdebatan antara
diakui dan tidak diakui, boleh dan dilarang, sah dan batal secara
hukum.
Kondisi demikian tidak bisa dibiarkan terus-menerus
mengingat belakangan ini, praktek perkawinan beda agama
begitu marak dilakukan masyarakat. oleh sebab itu, negara harus
hadir dalam memberikan kepastian hukum di tengah-tengah
masyarakat. Tulisan ini akan mencoba mengkaji dan menggagas
kepastian hukum perkawinan beda agama di Indonesia dari
perspektif yuridis dan akademis.
PEMBAHASAN
Perkawinan Beda Agama Perspektif UUP
Pasal pertama dan utama menjadi rujukan perdebatan
perkawinan beda agama adalah pasal 2 Ayat (1) UUP, yang
4Jarwo
Yunu, Aspek Perkawinan Beda Agama Di Indonesia, (Jakarta: CV.
Insani, 2005), 11. Meskipun, jika dicermati putusan MA tersebut tidak terjadi
perkawinan beda agama, karena salah satu pihak dianggap keluar dari
agamanya dan memilih agama salah satu pasangannya.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
63
Anwar Nuris
menyatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam
poin penjelasan pasal demi pasal UU ini, dijelaskan bahwa tidak
ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, sesuai dengan UUD 1945. Yang dimaksud
dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak
bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang
ini.5 Maka, perkawinan beda agama tidak legal/tidak diakui dan
karenanya tidak memiliki kekuatan hukum di Indonesia.
Hal ini berdasarkan beberapa alasan. Pertama, dinamika
perumusan UUP yang terjadi pada tahun 1973 memicu
perdebatan terhadap pasal-pasal Rancangan Undang-Undang
Perkawinan (RUUP) yang kontroversial, terutama perdebatan
berkaitan dengan Pasal 11 ayat (2) RUUP “Perbedaan karena
kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan
dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan”. Namun,
pada akhirnya Pasal 11 Ayat (2) RUUP ini dihapus.6 Selanjutnya,
Pasal 2 Ayat (1) RUUP semula dirumuskan :7
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan dihadapan
pencatat perkawinan, dan dilangsungkan menurut
ketentuan undang-undang ini dan/ atau ketentuan hukum
perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan,
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini”.
Pasal 2 Ayat (1) RUUP tersebut masih dianggap kontroversi,
akhirnya mengalami perubahan sehingga seperti rumusan pasal 2
Ayat (1) seperti UUP saat ini. Maka perkawinan beda agama tidak
dimungkinkan (dilarang) di Indonesia.8
Tim Redaksi Fokus Media, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
Tentang Perkawinan , Cet., III., (Bandung: Fokusmedia, 2007), 25.
6 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia; Kajian Posisi Hukum
Islam dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, (Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008), 225.
7 Ibid., 226.
8 M. Rasjidi, Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen
(Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 10-12.
5
64
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Menggagas Kepastian Hukum....
Kedua, beberapa pasal yang menjadi dasar larangan
perkawinan beda agama dalam UUP, yaitu pasal 2 ayat (1) dan
pasal 8 huruf (f). Pasal 2 Ayat (1) UUP menyerahkan keabsahan
perkawinan kepada masing-masing agama untuk menentukan
cara-cara dan syarat-syarat pelaksanaan perkawinan tersebut, di
samping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh
negara. Jadi, apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, dan
apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau
tidak, di samping ditentukan oleh hukum agamanya masingmasing, juga tergantung ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam UUP. Sedangkan pasal 8 huruf (f) UUP menyatakan,
“Perkawinan dilarang antara dua orang yang; mempunyai hubungan
yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
perkawinan ”.9
Dalam perspektif agama-agama di Indonesia, perkawinan
beda agama tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum
agama yang diakui di Indonesia. Menurut MUI (Majelis Ulama‟
Indonesia) dalam gelar pertemuan yang diikuti Walubi
(Perwakilan Umat Budha Indonesia), PHDI (Parisada Hindu
Dharma Indonesia), PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia),
KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), dan Matakin (Majelis
Tinggi Agama Konghucu Indonesia). Ketua MUI Bidang
Kerukunan Umat Beragama Slamet Effendi Yusuf mengatakan :
“Hasil pertemuan ini menyimpulkan tiga sikap penting.
Pertama, perkawinan adalah peristiwa yang sakral. Oleh
Selain Islam, agama Katolik memandang bahwa perkawinan sebagai
sakramen sehingga jika terjadi perkawinan beda agama dan tidak dilakukan
menurut hukum agama Katholik, maka perkawinan tersebut dianggap tidak
sah. Sedangkan agama Protestan lebih memberikan kelonggaran pada
pasangan yang ingin melakukan perkawinan beda agama. Walaupun pada
prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya perkawinan
dengan orang yang seagama, tetapi jika terjadi perkawinan beda agama,
maka gereja Protestan memberikan kebebasan kepada penganutnya untuk
memilih apakah hanya menikah di Kantor Catatan Sipil atau diberkati di
gereja atau mengikuti agama dari calon suami/istrinya. Sedangkan agama
Hindu tidak mengenal perkawinan beda agama dan pedande/pendeta akan
menolak perkawinan tersebut. Agama Budha tidak melarang umatnya
untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain asal dilakukan
menurut tata cara agama Budha. O.S Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam
Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 118-125.
9
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
65
Anwar Nuris
karena itu, pada dasarnya harus dilakukan sesuai dengan
ajaran agama masing-masing. Dalam Islam jelas tidak boleh
nikah beda agama. Begitu juga penjelasan dari agama-agama
lain. Semua kompak nikah harus dilakukan sesuai ketentuan
agama. Kedua, negara wajib mencatat perkawinan yang
sudah disahkan oleh agama, sebagaimana diatur dalam UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam proses
pernikahan posisi agama menjadi unsur pertama baru
setelah itu negara. Ketiga, kewajiban negara untuk mencatat
perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan untuk
dicatatkan di catatan sipil. Ketentuan ini diatur dalam UU 23
Tahun 2006 jo. UU 24 Tahun 2013 tentang Administrasi
Kependudukan”.10
Hal senada juga disampaikan Chandra Setiawan dari
Matakin yang mengatakan, bahwa kesepakatan itu merupakan
hasil pembahasan bersama. Menurut dia, pernikahan itu
merupakan proses sakral dan dilakukan dalam upacara
keagamaan. Kedua mempelai diteguhkan, karena itu harus
seagama.11
Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Syaifuddin
mengatakan, bahwa dalam pasal yang digugat di Mahkamah
Konstitusi (MK) sejatinya tidak disebutkan secara tersirat
pernikahan beda agama itu dilarang. Tetapi, pasal itu
mengamanatkan pernikahan dijalankan sesuai ketentuan agama.
Jadi prosesi nikah itu dikembalikan lagi ke ajaran agama masingmasing. Hakim mengatakan, bahwa dia sudah berkonsultasi
dengan seluruh tokoh agama. Hasilnya enam agama yang dianut
masyarakat Indonesia itu kompak menyebutkan menolak nikah
beda agama.12
Ketiga, merujuk kepada pasal 66 UUP yang menyatakan :
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini,
10
http://www.jpnn.com/read/2014/09/13/257500/Kompak-TolakNikah-Beda-Agama- . diakses minggu, 1 Oktober 2014 , 05:05:00 WIB.
Diakses tanggal 25 Oktober 2014.
11 Ibid.,
12 Ibid.,
66
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Menggagas Kepastian Hukum....
maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuanketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan
Indonesia
Kristen
(Huwelijks
Ordonantie
Chisten
Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op de gemegnde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan
peraturan-peraturan
lain
yang
mengatur
tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini,
dinyatakan tidak berlaku”.13
Dari ketentuan pasal 66 UUP, jelas bahwa ketentuanketentuan GHR (Stb. 1898 No. 158) tidak dapat diberlakukan lagi
karena di samping ketentuannya telah mendapat pengaturan
dalam UUP, GHR juga mengandung asas yang bertentangan
dengan asas keseimbangan hukum antara suami istri sebagaimana
yang dianut oleh UUP.14
Selain itu, rumusan mengenai perkawinan campuran dalam
GHR berbeda dengan rumusan dalam pasal 57 UUP yang
menyatakan :
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam
Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang
di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia”.15
Rumusan perkawinan campuran di atas membatasi hanya
pada perkawinan antara WNI dengan warga negara asing (WNA).
Adapun perkawinan antara sesama WNI yang tunduk kepada
hukum yang berlainan, termasuk perkawinan beda agama, tidak
13 Hal ini sesuai dengan asas hukum Lex posteriori derogat legi priori
(Undang-undang yang berlaku kemudian, membatalkan undang-undang
terdahulu, sejauh undang-undang itu mengatur objek yang sama). Ishaq,
Dasar-dasar..., 76.
14Anggreini Carolina Palandi, “Analisa Yuridis Perkawinan Beda
Agama Di Indonesia”, Lex Privatum, Vol. I, No. 2., (April-Juni 2013), 202.
15 Tim Redaksi Fokus Media, Himpunan Peraturan..., 17.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
67
Anwar Nuris
termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut
UUP.
Secara yuridis berdasarkan UUP Pasal 2 ayat (1) tentang
sahnya perkawinan, Pasal 8 huruf (f) tentang larangan
perkawinan, Pasal
57 tentang
perkawinan campuran
(perkawinan antar negara, bukan beda agama) dan Pasal 66
tentang ketentuan penutup. Maka, dapat ditarik kesimpulan
bahwa dengan berlakunya UUP, maka ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Howelijks,
Ordonantie Christen Indonesiers stb. 1933 No.74), Peraturan
Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken/
GHR Stb. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang
mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UUP,
dinyatakan tidak berlaku. Maka, perkawinan beda agama tidak
diakui di Indonesia.
Karena itu, sebenarnya perkawinan beda agama bisa
dianggap sebagai kepastian hukum, „dilarang di Indonesia‟.
Namun, terdapat ketentuan pasal lain dalam UUP yang
membuka/ mengaburkan kepastian hukumnya. Hal ini
menyebabkan terjadinya multitafsir, sehingga perkawinan beda
dalam UUP terkesan tidak dinyatakan secara tegas dan eksplisit.
Beberapa pasal tersebut antara lain. Pasal 56 UUP yang
menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar
Indonesia antara dua orang WNI atau WNI dengan WNA adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di
mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi WNI tidak
melanggar ketentuan-ketentuan UUP. Pasal ini kemudian
menimbulkan multitafsir. Bahwa dalam hal perkawinan di luar
Indonesia, dimungkinkan juga perkawinan antara WNI atau
seorang WNI dengan WNA di mana salah satu pihak berbeda
agama. Nampaknya, Pasal inilah yang menjadi salah satu dasar
oleh masyarakat pelaku perkawinan
beda agama yang
dilaksanakan di luar negeri.
Pasal 57 UUP yang mengatur tentang perkawinan
campuran. Rumusan perkawinan campuran dalam Pasal 57 UUP
ini membatasi hanya perkawinan antar warga negara (beda
negara), bukan perkawinan beda agama. Dengan demikian, UUP
tidak mengatur secara jelas/ pasti tentang perkawinan beda
68
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Menggagas Kepastian Hukum....
agama. Sehingga sebagian pemerhati hukum perkawinan
menafsirkan bahwa perkawinan beda agama tidak diatur dalam
UUP, dan karenanya berlaku ketentuan peraturan hukum lama,
yaitu GHR dan peraturan lain yang berlaku sebelumnya sehingga
perkawinan beda agama sah/ diakui di Indonesia.16
Penafsiran pasal 57 UUP tersebut didasarkan pada pasal 66
UUP tentang Ketentuan Penutup yang menyatakan bahwa dalam
hal ketentuan-ketentuan yang tidak diatur dalam UUP, maka
berlaku peraturan lama.
Berdasarkan argumentasi sebagaimana tersebut di atas, UUP
dalam mengatur dan menentukan pengaturan hukum perkawinan
beda agama di Indonesia masih simpang-siur. Hal ini semakin
terasa dengan adanya pembiaran negara/ pemerintah dalam
menanggapi fenomena perkawinan beda agama di Indonesia.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum
terhadap keabsahan perkawinan beda agama di Indonesia.
Perkawinan Beda Agama Perspektif Akademis
Pada tahun 1955, Sudargo Gautama (Gouww Giok Siong)
menulis Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran dalam
disertasinya. Gautama menjelaskan perkawinan campuran sudah
dikenal sejak pada masyarakat kolonial, yaitu perkawinan
campuran antar tempat (interlocal), perkawinan campuran antar
agama (interreligeus) dan perkawinan campuran antar golongan
(Intergentiel) dan bahkan menurut pendapatnya berdasarkan hasil
penyelidikan yang dilakukan, ia mendalilkan bahwa dalam tahuntahun sesudah perang pasifik, teristimewa sesudah peristiwa
penyerahan kedaulatan, perkawinan campuran telah bertambah.17
Kemudian, pada tahun 1987 Gautama menulis, Mahkamah
Agung dan Keanekaragaman Hukum Perdata Masalah Perkawinan
Campuran Antar Agama, di mana ia berkesimpulan bahwa
Mahkamah Agung masih tetap beranggapan bahwa hukum yang
16Wantjik
K. Shaleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1982), 13.
17 Sudargo Gautama, Pembaharuan Hukum di Indonesia, (Bandung:
Alumni, 1973), 1-19.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
69
Anwar Nuris
uniform18 secara murni belum berlaku untuk bidang perkawinan
setelah diintrodusir UUP.19 Termasuk perkawinan beda agama
yang luput dari pengaturan UUP. Mahkamah Agung tetap
berpendirian bahwa GHR masih tetap berlaku, karena
Perkawinan Campuran – termasuk perkawinan beda agamabelum diatur dalam UUP, maka dapat digunakan peraturan lama
dalam GHR. Sehingga saat ini orang dapat menikah, meski
mempunyai agama berbeda. Mereka dapat melangsungkan
perkawinan secara sah tanpa perlu merubah agama. Tidak perlu
main sulap dengan agama apabila tidak ada keyakinan untuk itu.
Pada bagian akhir tulisannya, Gautama menulis kalimat menarik,
“Perbedaan agama tidak merupakan penghalang untuk tetap
dilangsungkannya perkawinan”. Hal ini sejalan dengan Ketentuan
Pasal 7 Ayat (2) GHR yang menyatakan “Perbedaan agama, suku
bangsa atau keturunan tidak menjadi penghalang untuk terjadinya
perkawinan”.20
Menurut Wirjono Prodjodikoro, bagian hukum mengenai
perjanjian (keperdataan) dalam perdagangan dan hubungan
kekayaan pada umumnya seperti jual beli, sewa-menyewa dan
lain sebagainya memang diakui sebagai keperdataan saja. Karena
agak jauh dari pada kerohanian dan kepribadian seorang
manusia. Namun, hubungan seorang manusia dengan istrinya
atau dengan suaminya dan dengan anggota-anggota keluarganya
(masalah perkawinan) bersifat terus-menerus (permanen). Maka
dengan ini ajaran-ajaran suatu agama dapat lebih meresap dalam
hal perkawinan dan kekeluargaan. Berbeda dengan hubungan
Uniform adalah peraturan-peraturan yang bersifat menyeluruh dan
berlaku secara nasional.
19 Tidak adanya uniform dalam UUP, terutama terkait pengaturan
perkawinan beda agama di Indonesia. Hal ini bisa dipahami dari ketentuan
Pasal 2 Ayat (1) UUP. UUP menyerahkan syarat-syarat perkawinan kepada
agama masing-masing dan kepercayannya itu. Sedangkan menurut agamaagama di Indonesia memiliki syarat dan ketentuan berbeda tentang
perkawinan . Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan
Ham, Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Perkawinan, (Jakarta:
Kementerian Hukum Dan Ham, 2011), 13- 14.
20
Zulfa Djoko Basuki, “Perkawinan Beda Agama Yang
Dilangsungkan Di Luar Negeri Ditinjau Dari Hukum Perdata
Internasional”, Mimbar Hukum Dan Peradilan, no.70, (Januari 2010), 52.
18
70
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Menggagas Kepastian Hukum....
dalam hal perjanjian-perjanjian (keperdataan) adalah bersifat
kebetulan atau incidenteel.21
Sementara itu, menurut Ichtianto UUP disusun berdasarkan
Pancasila sebagai cita hukum Nasional -berlaku bagi seluruh
penduduk Indonesia- menggantikan hukum perkawinan lama.22
Ichtianto menyatakan bahwa UUP tidak mengandung unifikasi
hukum. Dari segi Ilmu Hukum Pasal 2 ayat (1) UUP melahirkan
hukum antar tata hukum (HATAH), antar hukum perkawinan
agama dalam sistem hukum nasional Indonesia. Ichtianto
menegaskan, bahwa sebagai UU yang dibentuk berdasarkan dan
bercita hukum Pancasila, UUP memberikan kekuatan berlaku
hukum perkawinan agama-agama yang dipeluk penduduk
Indonesia. Tidak ada perkawinan yang dilangsungkan di luar
hukum Agama.23
Selanjutnya mengenai perkawinan campuran yang sesuai
dengan cita hukum, Ichtianto mengemukakan ada dua pemikiran
tentang pengaturan perkawinan campuran dalam Negara
Pancasila. Pertama, menyatakan bahwa dalam Negara Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila tidak boleh ada pencatatan
tentang perkawinan campuran antar pemeluk agama yang
berbeda, karena berbahaya dan langsung bertentangan dengan
Pancasila.24 Di antara pemerhati hukum perkawinan yang
berpendapat demikian antara lain, Daud Ali dan Bustanul
Arifin.25
Pemikiran kedua menyatakan, bahwa :
1. Pasal 2 Ayat (1) UUP dari sudut Ilmu Hukum telah melahirkan
masalah hukum antar agama.
2. Peraturan perkawinan campuran sebagai HATAH intern dan
ekstern.
21Wirjono
Prodjodikoro, Hukum Perperkawinan..., 8. Dalam Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Ham, Laporan Akhir
..., 18.
22Ichtianto, Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia,
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI,
2003), 1.
23 Ibid.,195-196.
24Ibid., 197.
25 Ibid.,
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
71
Anwar Nuris
3. Di Indonesia ada keanekaragaman hukum perkawinan sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku (Pasal 2 ayat (1),
AB Pasal 16).
4. Pelaksanaan perkawinan campuran sesuai dengan peraturan
yang berlaku dilangsungkan menurut hukum perkawinan sang
suami (Pasal 66 UUP jo. Pasal 6 GHR, Stb. 1898 No. 100).
5. Negara berkewajiban memberikan pelayanan kenegaraan
kepada seluruh penduduk yang beragama atau berkeyakinan
agama apapun dengan prinsip Persamarataan Sistem Hukum.26
Mereka yang berpendapat demikian antara lain, Wirjono
Prodjodikoro, Sudirman Kartohadipradjo Sudargo Gautama,
Asmin, Amir Murtono, Endar Pulungan, Romaharbo,
Amiruddin.27
Sedangkan Ichtianto sendiri berpendapat bahwa negara
Indonesia berkewajiban mengatur perkawinan campuran sesama
WNI yang hukum perkawinannya berlainan yang telah
ditunaikan dengan adanya Bab XII Bagian Ketiga Perkawinan
Campuran dalam UUP yang dibentuk dan disusun berdasar
Pancasila yang terdapat pluralisme hukum di bidang perkawinan,
perlu ada norma hukum perkawinan campuran (antara lain
perkawinan campuran antar pemeluk agama yang berbeda)
sebagai norma.28 Selain itu, konsep perkawinan yang dianut UUP
adalah perkawinan berdasarkan atas prinsip ketuhanan Yang
Maha Esa, sehingga tidak dimungkinkan adanya perkawinan
yang bersifat sekuler,29 sebagaimana ketentuan Pasal 1 Ayat (1)
dan (2) UUP.
Mencermati ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UUP menurut
Hartini, UUP menyerahkan kepada masing-masing agama untuk
menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanaan perkawinan,
di samping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh
Ibid.,
Ibid., 198.
28Ibid.,198-200.
29 Sekuler di sini dimaksudkan sebagai perkawinan yang dipisahkan
dari syarat dan ketentuan agama dan memandang bahwa peristiwa
perkawinan hanya bersifat keperdataan saja dan tidak ada campur tangan
agama, sebagaimana dalam jual-beli, sewa-menyewa dan perjanjianperjanjian keperdataaan lainnya.
26
27
72
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Menggagas Kepastian Hukum....
Negara. Hal ini dipertegas oleh ketentuan Pasal 8 huruf (f) UUP.
Sehingga, dapat ditarik kesimpulan bahwa sekalipun UUP tidak
mengatur secara tegas mengenai perkawinan beda agama. Namun
secara implisit bagi orang Islam terdapat suatu larangan
sebagaimana yang ditentukan dalam agama Islam,30 demikian
juga bagi orang Kristen, Katholik serta pemeluk agama lain.31
Di samping itu, Hartini mengemukakan bahwa masingmasing UUP belum memberi ketegasan pengaturan tentang
perkawinan beda agama. Demikian juga belum ada ketegasan
pengaturan tentang sahnya perkawinan di luar peneguhan secara
agama.32
Berbeda dengan hal itu, Maria Ulfah Sudibio menyatakan,
bahwa UUP bersifat nasional. Jadi, berlaku untuk semua warga
negara. Akan tetapi belum diatur seluruhnya misalnya
perkawinan WNI yang berlainan agama. Hal ini mungkin terjadi
berdasarkan Pasal 29 UUD 1945 bahwa negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Sedangkan Pasal 66 UUP menyatakan tidak
berlaku berbagai peraturan yang mengatur perkawinan. Karena
itu, ia berpendapat bahwa karena perkawinan WNI yang
berlainan agama tidak diatur dalam UUP, masih berlaku
peraturan hukum lama, yaitu GHR.33 Pandangan ini juga dianut
oleh Sudargo Gautama.34
Kontradiksi antar pasal dalam satu perundang-undangan,
termasuk pegaturan hukum perkawinan beda agama sebagai
30Misalnnya
Pasal 40 huruf (c) Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991
Tentang Kompilasi Hukum Islam. “Dilarang melangsungkan perkawinan
antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu,
seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Demikian juga dalam Pasal 44
“Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama Islam”. Instruksi Presiden No. 1 Tahun
1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
31 Hartini, Implementasi Perkawinan ..., 14.
32 Ibid.,
33Maria Ulfah Sudibio, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-undang
Perkawinan , (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981), 22-23.
34Murdiati Trisnaningsih, Relevansi Kepastian Hukum Dalam Mengatur
Perkawinan Beda Agama di Indonesia, (Bandung: CV. Utomo, 2007), 3.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
73
Anwar Nuris
dalam UUP, telah menunjukkan adanya sikap kompromistis yang
secara formal sangat tidak mempedulikan nilai-nilai metode
pembuatan
perundang-undangan
secara
benar,
yakni
terpenuhinya asas konsistensi, harmonisasi, sistematisasi dan
sinkronisasi.35
Trisnaningsih menyatakan, bahwa secara material UUP
tidak memberikan kepastian hukum secara memadai terhadap
pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan beda agama.
Hal ini, dapat dikatagorikan sebagai kurang menghargai HAM.
Perkawinan yang memiliki dimensi sosial, agama dan hukum,
telah menjadikan keabsahan suatu perkawinan berada dalam
ajang perdebatan. Muncul pemahaman bahwa sahnya perkawinan
cukup
dilihat
dari
hubungan
keperdataan,
sehingga
pembuktiannya cukup melalui akta perkawinan yang dikeluarkan
oleh petugas Catatan Sipil.36 Menurut pemahaman ini,
perkawinan merupakan urusan yang sangat pribadi, sehingga
pribadi lain ataupun negara tidak berhak turut campur secara
mendalam. Oleh karena itu, adanya perbedaan agama di antara
para pihak, atau sekalipun para pihak tidak beragama misalnya,
bukan merupakan suatu yang perlu dipersoalkan.37
Sedangkan pada sisi lain muncul pemahaman yang
berlawanan yang meyakini sahnya suatu perkawinan adalah
sesuai dengan norma agama. Perkawinan harus dipandang
sebagai peristiwa sakral, memiliki dimensi serba keterhubungan
dan ketergantungan dengan Tuhan Allah sebagai penguasa
tertinggi atas dunia dan akhirat. Konsekuensi pemahaman ini,
perkawinan yang hanya berdasarkan hubungan perdata harus
sebagai tidak sah. Pencatatan perkawinan dalam bentuk akta
perkawinan dipandang hanya sebagai ciptaan manusia dan
bersifat keduniawiaan.38
Ibid., 141.
Ibid., 142.
37Ibid., 58.
38Murdiati Trisnaningsih, Beberapa Persoalan Hukum Perkawinan di
Indonesia, (Bandung: Pusat Pemeberdayaan dan Pengembangan Wawasan
Sosial Budi Pratama, 2008), 50. UUP menurut Trisnaningsih berupaya
mengakomodir kedua pemahaman tersebut. Kenyataan terlihat secara
eksplisit dalam Pasal 2 UUP yang mengandung unsur Agama dan unsur
hubungan perdata di dalam suatu peristiwa perkawinan . Pernyataan dan
35
36
74
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Menggagas Kepastian Hukum....
Dari berbagai argumentasi akademis sebagai terurai di atas,
persoalan perkawinan
beda agama mengerucut pada dua
pandangan. Pertama, menyatakan bahwa persoalan perkawinan
beda agama tidak dapat dilakukan/ tidak diakui dan karenanya
tidak memiliki kekuatan hukum berdasarkan Pasal 2 Ayat (1),
Pasal 8 huruf (f) dan Pasal 66 UUP. Kedua, perkawinan beda
agama belum diatur oleh UUP, dan karenanya berdasarkan
ketentuan Pasal 66 UUP berlaku ketentuan lama, yaitu GHR dan
peraturan lainnya yang terkait, sehingga perkawinan beda agama
memungkinkan dilaksanakan (dilegalkan) di Indonesia.
Terjadinya dua pandangan ini berangkat dari hasil diskursus
ilmiah para pemerhati hukum perkawinan di Indonesia dan
berbagai penafsiran yang berkaitan dengan pengaturan hukum
perkawinan
beda agama, baik dalam pasal-pasal maupun
penjelasannya serta peraturan pelaksanaannya, mana tidak ada
ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai perkawinan
berbeda agama.
Menurut penulis, perdebatan perkawinan beda agama
selalu akan mengarah pada titik kulminasi antara diperbolehkan
atau dilarang, dan sah atau tidak sah, serta memiliki kekuatan
hukum atau batal demi hukum. Hal ini disebabkan karena di satu
sisi Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk wet Boek)
sebagai payung utama UUP menghendaki bahwa persoalan
perkawinan hanya dipandang sebagai keperdataan saja.39 Namun,
UUP tidak hanya memandang sebagai hubungan keperdataan
saja, melainkan bersifat sakral, ada syarat-syarat tertentu yang
harus dipenuhi menurut agama-agama masing-masing yang
diakui Indonesia. UUP mendudukkan hukum agama sebagai
pertama -kewajiban akan pemenuhan syarat-syarat dan tata cara
perkawinan berdasarkan hukum agama masing-masing-
pengakuan unsur agama dan unsur hubungan perdata di dalam peraturan
perkawinan di Indonesia, meskipun belum dapat mengakomodir berbagai
kepentingan masyarakat, tetapi untuk sementara ini dapat dikatakan
sebagai bentuk akomodasai yang paling mungkin dilakukan. Trisnaningsih,
Beberapa Persoalan Hukum..., 58-59.
39M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analsis dari UU.
No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
1996), 193.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
75
Anwar Nuris
kemudian diikuti dengan hukum negara –kewajiban pencatatan
perkawinan.
Menggagas Kepastian Hukum Perkawinan Beda Agama di
Indonesia
Berbagai upaya terhadap diskursus mengenai lembaga
perkawinan beda agama di Indonesia sebenarnya telah dilakukan
oleh para pemerhati hukum perkawinan di Indonesia. Bahkan hal
ini telah menjadi perdebatan sejak awal-awal kemerdekaan
Indonesia. Perdebatan tersebut hanya menyimpulkan dua
pandangan antara pro dan kontra. Diskursus mengenai
perkawinan beda agama dapat dipastikan bermuara antara
diperbolehkan dan dilarang. Masing-masing argumentasi yang
disampaikan kedua pandangan tersebut sama-sama kuat, dan
dibenarkan baik secara ilmiah maupun secara yuridis, bahkan dari
aspek HAM dan UUD 1945.
UUP dalam penafsiran resminya hanya mengakui
perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama dan
kepercayaan yang sama dari dua orang yang berlainan jenis yang
hendak melangsungkan perkawinan. Dalam masyarakat yang
pluralistik seperti di Indonesia, sangat mungkin terjadi
perkawinan di antara dua orang pemeluk agama berbeda.
Beberapa di antara mereka yang mampu secara finansial mungkin
tidak terlampau pusing karena bisa menikah di negara lain,
namun bagaimana yang kondisi ekonominya serba pas-pasan.
Tentu ini menimbulkan masalah hukum.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan
beda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dimungkiri.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara
positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa
sebenarnya perkawinan beda agama tidak diinginkan, karena
bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Tetapi
ternyata perkawinan beda agama masih saja terjadi dan akan
terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial di antara warga negara
Indonesia yang pluralis agamanya.
Selanjutnya, menarik dicermati kesimpulan hasil Laporan
Akhir kompendium Bidang Hukum Perkawinan, Perkawinan
Beda Agama dan Implikasinya oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasonal Menkumham. Pertama, bahwa UUP tidak mengatur
76
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Menggagas Kepastian Hukum....
perkawinan campuran mencakup perkawinan beda agama. UUP
hanya mengenal perkawinan campuran, yaitu perkawinan antara
dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal
57 UU UUP. Dengan demikian UUP tidak secara tegas melarang
perkawinan beda agama.40
Berbeda dengan UUP, GHR menyatakan bahwa perbedaan
agama, bangsa atau keturunan sama sekali bukan menjadi
penghalang terhadap perkawinan sebagaimana dalam Pasal 7
Ayat (2). Sesuai dengan Pasal 66 UUP, maka Peraturan
Perkawinan Campuran (GHR), dan Peraturan-peraturan lain yang
mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UUP,
dinyatakan tidak berlaku.41
Setelah hampir 40 tahun UUP disahkan dan berlaku di
Indonesia, ternyata masalah perkawinan beda agama masih tetap
menarik perhatian. Meskipun secara agama tidak diperbolehkan,
ternyata dalam praktek terjadi perkawinan beda agama. Dalam
praktek, muncul problematika menyangkut perkawinan beda
agama, misalnya perkawinan antara seorang wanita Islam dengan
pria non Islam. Jika ditinjau dari segi agama Islam, maka
perkawinan demikian
tidak dibenarkan.
Jika hendak
melangsungkan perkawinan beda agama itu dihadapan pejabat
KUA maka tidak dapat dilaksanakan. Pengadilan agama pun
tidak akan membenarkannya.42
Peraturan perkawinan campuran –dalam arti luas
menyangkut perkawinan beda negara dan perkawinan beda
agama- di Indonesia sebelum UUP lebik baik dan mudah
dilaksanakan oleh GHR, karena dimungkinkan berbagai
perbedaan dicampur dalam keluarga melalui perkawinan yang
sah. Sejak tahun 1974 di Indonesia peraturan perkawinan
campuran didasarkan atas ketentuan Pasal 57 UUP, yang
menetapkan percampuran hanya perbedaan kewarganegaraan.
Bila yang dicampur dalam keluarga itu berbeda agama, mereka
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan
Ham, Laporan Akhir ..., 175.
41Ibid.,
42Ibid., 176.
40
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
77
Anwar Nuris
biasanya –untuk tidak mengatakan harus- melangsung
perkawinannya ke luar Indonesia, dengan syarat pertama negara
yang bersangkutan membenarkan adanya perkawinan beda
agama dan kedua, bagi WNI tidak boleh melanggar syarat
perkawinan yang berlaku di Indonesia.43
Bila memperhatikan unsur syarat bagi WNI ditetapkan
bahwa “bagi warganegara Indonesia tidak melanggar undang-undang
ini”. Undang-undang ini maksudnya UUP Pasal 2 ayat (1).
Ketentuan pasal ini mengandung ketentuan kontradiktif melarang
perkawinan beda agama. Karena itu unsur syarat ini akan menjadi
penghalang perkawinan WNI beda agama yang diselenggarakan
di luar Indonesia. Dalam praktek kita saksikan perkawinan seperti
itu dapat dilangsungkan.
Menurut penulis, ketentuan perkawinan campuran yang
dianut oleh UUP terkesan bersifat munafik. Karena satu sisi boleh
asal dilakukan di luar Indonesia, di sisi lain dengan syarat tidak
boleh melanggar syarat perkawinan di Indonesia. Wal hashil, UUP
dalam mengatur perkawinan beda di Indonesia tidak
menciptakan kepastian hukum.
Perkawinan campuran haruslah tegas dan mudah
dilaksanakan serta dengan biaya ringan, seperti yang pernah
berlaku di Indonesia, GHR. Tentunya, pengaturan hukum
perkawinan beda agama yang tegas, pasti, dan tidak multitafsir
sangat lebih diharapkan masyarakat –sekalipun pada akhirnya
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan- dari pada terus menerus
berada pada kondisi perdebatan yang tidak kunjung selesai.
Kondisi pengaturan hukum perkawinan beda agama yang terus
menerus demikian ini, sulit mempertanggungjawabakannya dari
aspek hukum maupun HAM sebagaimana disinggung dalam Bab
XA Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang
43Ibid., 33-34. Hal ini didasari dari penafsiran Pasal 56 UUP Ayat (1)
yang menyatakan “Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia
antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warganegara
Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara di mana perperkawinan a itu
dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuanketentuan Undang-undang ini”. Dari ketentuan pasal 56 Ayat (1) ini,
memungkinkan perkawinan antar WNI dan atau antara WNI dengan WNA
di mana salah satu pihak berbeda agama.
78
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Menggagas Kepastian Hukum....
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah”. Termasuk dalam hal melalui perkawinan
beda agama.
Berdasarkan ulasan perkawinan beda agama di Indonesia
baik dari sisi yuridis maupun akademis sebagai di atas,
diharapkan dapat diambil hikmahnya dalam pembentukan
peraturan untuk waktu yang akan datang, di bidang sinkronisasi
pasal-pasal dan dapat dijadikan pertimbangan revisi peraturan
yang saat ini masih tidak mampu memberi solusi dari perbedaan.
Sebagai catatan penutup, penulis berharap kepada
Mahkamah Konstitusi yang hingga saat ini sedang menyidangkan
perkara uji materiil terhadap Pasal 1 Ayat (2) UUP yang berkaitan
langsung dengan relegalisasi perkawinan beda agama di
Indonesia mempertimbangkan berbagai aspek hukum, sosial
masyarakat Indonesia dan falsafah bangsa Indonesia yang sangat
berbeda dengan falsafah bangsa-bangsa barat dan lainnya. Perlu
ditegaskan lagi bahwa lembaga perkawinan di Indonesia
menyangkut tiga aspek sekaligus, yaitu agama, hukum, dan adatistiadat. Mahkamah Konstitusi harus berani memutuskan apakah
perkawinan beda agama akan diperbolehkan atau justeru
menolaknya, demi tercapainya kepastian hukum. Sebagaimana
para filsuf hukum mengajarkan bahwa keadilan tidak akan
tercipta tanpa terlebih dahulu tercipta kepastian hukum.
KESIMPULAN
Pengaturan hukum perkawinan beda agama di Indonesia
sebagai yang diatur dalam UUP masih tidak tegas dan
kontradiktif. Hal ini menyebabkan perkawinan beda agama
membingungkan masyarakat, terkait keabsahannya. Hasil
penafsiran para pemerhati terhadap pasal-pasal kunci terkait
perkawinan beda agama di Indonesia juga menyatakan bahwa
larangan perkawinan beda agama di Indonesia tidak tegas-tegas
dinyatakan. Kemudian terdapat pasal-pasal lain yang membuka
penafsiran bahwa perkawinan beda agama memang diakui di
Indonesia. Secara yuridis pengaturan hukum perkawinan beda
agama dalam UUP tidak dinyatakan secara tegas mengenai sah
dan tidaknya.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
79
Anwar Nuris
Secara akademis, perdebatan perkawinan beda agama
mengerucut pada dua pandangan. Pertama berpandangan bahwa
perkawinan beda agama di Indonesia tidak mendapatkan tempat,
mengingat ketentuan pasal 57 UUP tentang perkawinan
campuran membatasi perkawinan antar warga negara (bukan
beda agama). hal ini diperkuat oleh Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 8
huruf (f) dan Pasal 66 UUP. Kedua, mengingat perkawinan beda
agama tidak diatur secara eksplisit dalam UUP, maka UUP tidak
mengatur perkawinan beda agama. sehingga, berdasarkan Pasal
66 UUP, berlaku peraturan lama, yaitu GHR dan HOCI, dan
peraturan lainnya tentang perkawinan. Karenanya perkawinan
beda agama diakui dan disahkan di Indonesia.
Bahwa betapapun gencarnya upaya penafsiran pasal-pasal
dan diskursus ilmiah tentang perkawinan beda agama,
sebenarnya hal ini tidak cukup menciptakan kepastian hukum di
tengah masyarakat. Pemerintah melalui lembaga yang berwenang
harus segera mengatur secara tegas perkawinan beda agama.
Karena, keadilan hukum akan terwujud jika terlebih dahulu
tercipta kepastian hukum.
80
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Menggagas Kepastian Hukum....
DAFTAR PUSTAKA
Eoh, O.S. Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996).
Gautama, Sudargo. Pembaharuan Hukum di Indonesia (Bandung:
Alumni, 1973).
Halim, Abdul. Politik Hukum Islam di Indonesia; Kajian Posisi Hukum
Islam dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era
Reformasi (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen
Aagama RI, 2008).
Hartini, Implementasi Perkawinan Berbeda Agama di Luar Negeri.
Majalah Mimbar Hukum No. 47/VI/2004.
Ichtianto, Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Keagamaan
Departemen Agama RI, 2003).
Ishaq. Dasar-dasar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
Kementerian Hukum Dan Ham. Laporan Akhir Kompendium Bidang
Hukum Perkawinan; Perkawinan Beda Agama dan Implikasinya.
tidak diterbitkan, (Jakarta: Kementerian Hukum Dan Ham,
2011).
Purwaharsanto pr, FXS. Perkawinan Campuran Antar Agama
menurut UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Sebuah
Telaah Kritis Aktualita Media Cetak (Yogyakarta: TP, 1992).
Ramulyo, M. Idris. Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analsis dari UU.
No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 1996).
Rasjidi, M. Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan
Kristen (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).
Shaleh K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1982).
Sudibio, Maria Ulfah. Perjuangan Untuk Mencapai Undang-undang
Perkawinan (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981).
Trisnaningsih, Murdiati. Relevansi Kepastian Hukum Dalam
Mengatur Perkawinan Beda Agama di Indonesia (Bandung:
CV. Utomo, 2007).
__________, Beberapa Persoalan Hukum Perkawinan di Indonesia
(Bandung: Pusat Pemeberdayaan dan Pengembangan
Wawasan Sosial Budi Pratama, 2008).
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
81
Anwar Nuris
Tim Redaksi Fokus Media. Himpunan Peraturan Perundangundangan Tentang Perkawinan, Cet., III.,
(Bandung:
Fokusmedia, 2007.).
Yunu, Jarwo. Aspek Perkawinan Beda Agama Di Indonesia, (Jakarta:
CV. Insani, 2005).
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum
Islam.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 165.
http://www. Kawin Beda Agama%3b file/Hakim Beri Masukan
Pemohon Kawin Beda Agama - hukumonline.com.html.
diakses hari Minggu, 31 Oktober 2014.
http://www.jpnn.com/read/2014/09/13/257500/KompakTolak-Nikah-Beda-Agama-.diakses minggu, 1 Oktober 2014
, 05:05:00 WIB. Diakses tanggal 25 Oktober 2014.
82
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Download