SIKAP AKADEMISI DAKWAH TERHADAP INTERNET

advertisement
SIKAP AKADEMISI DAKWAH TERHADAP INTERNET
SEBAGAI MEDIA DAKWAH
THE ATTITUDE OF DA’WA ACADEMICIANS ON THE INTERNET AS A PREACHING MEDIA
Moch Fakhruroji1 dan Enjang Muhaemin2
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Popularitas internet sebagai media telah membuka babak baru dalam aktivitas komunikasi, tidak terkecuali dalam aktivitas
komunikasi keagamaan seperti dakwah dan sejenisnya. Tidak dapat dimungkiri bahwa sebagian umat Islam masih
memandang negatif internet, namun sebagian yang lainnya justru melihat internet sebagai peluang baru bagi aktivitas
dakwah. Dengan menggunakan studi kasus, tulisan ini mengungkap pandangan dan sikap akademisi ilmu dakwah di
lingkungan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung terhadap internet sebagai media dakwah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pandangan dan sikap mereka dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori: pertama, optimistikprogresif, yakni memandang internet sebagai media mutakhir yang sangat strategis untuk dimanfaatkan sebagai media
dakwah di era global; kedua, optimistik-suportif yakni memandang positif tentang pentingnya internet sebagai media
dakwah dan dalam batas kemampuannya berupaya memanfaatkan internet sebagai media penting untuk dakwah; dan
ketiga, optimistik-pasif, yakni memiliki optimisme terhadap internet sebagai media dakwah namun masih belum tergerak
untuk memanfaatkan dan mengoptimalkan internet sebagai media dakwah.
Kata kunci: internet, dakwah Islam, sikap, akademisi dakwah
ABSTRACT
The popularity of the Internet as a medium has emerged a new chapter in communication contexts, including religious
communication activities such as Islamic preaching, etc. It is inevitable that some Muslims see the Internet negatively but
most of the others actually see the Internet as a new opportunity for da’wa activity. Using case studies, the researches
revealed the views and attitudes of da’wa academicians in the Faculty of Da’wa and Communication UIN Bandung
on the Internet as a medium for da’wa. The results showed that their views and attitudes could be classified into three
categories: The first, the optimistic-progressive, which sees the internet as an up-to-date medium and are well placed to
be used as a medium of da’wa in the global era; secondly, the optimistic-supportive which sees positively the importance
of the Internet as a medium of da’wa while their limits to seek to utilize the internet as an important medium for da’wa;
and the third, optimistic-passive, which optimistically sees the internet as a medium of da’wa but they do not exploit and
optimize the Internet as a medium of da’wa.
Keywords:Internet, Islamic da’wa, attitude, da’wa academician
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang demikian
cepat telah mengubah sejumlah praktik
kebudayaan. Beberapa kalangan melihat
hal ini sebagai sesuatu yang sangat
positif dan konstruktif sehingga dapat
memudahkan dan meningkatkan kualitas
hidup manusia secara keseluruhan. Sifat
interaktif, konvergen, dan digital yang
dikandung internet telah menjadikannya
sebagai primadona abad ini. Kini ini,
hampir seluruh kegiatan komunikasi dan
penyebaran informasi turut menyertakan
internet sebagai media yang melakukan
perluasan jangkauan agar dapat diakses
secara lebih luas.
Dalam konteks kehidupan
agama—sebagaimana juga terjadi dalam
82
konteks sosial-kebudayaan lainnya—
orang-orang
kemudian
berduyunduyun menggunakan internet sebagai
saluran informasi yang mereka gunakan
secara primer maupun sekunder.
Salah satu keistimewaan internet
yang mampu memosisikan setiap
penggunanya menjadi produsen dan
konsumen informasi sekaligus telah
melahirkan fenomena bahwa mereka
menggunakan internet bukan hanya
sebagai sarana pemenuhan kebutuhan
informasi keagamaan, tetapi juga
untuk memproduksi dan menyebarkan
informasi tersebut.
Dalam istilah yang lebih generik,
kegiatan mendistribusikan informasi
keagamaan—dengan ragam bentuk dan
metodenya—dikenal dengan istilah
Moch Fakhruroji dan Enjang Muhaemin | Sikap Akademisi Dakwah.....
dakwah meskipun secara teoretis konsep
dakwah tidak hanya diwakili oleh proses
penyampaian informasi keagamaan.
Akan tetapi, dakwah juga terkait
dengan gerakan-gerakan pemberdayaan
masyarakat berdasarkan nilai-nilai Islam.
Persenyawaan antara kegiatan dakwah
dengan kehidupan sosial-kebudayaan
masyarakat terlihat dari evolusi dakwah
itu sendiri, salah satunya adalah dengan
menyesuaikan tema, metode, dan media
yang digunakan dalam kegiatan dakwah.
Terutama terkait dengan bagaimana Islam ditransformasikan kepada
masyarakat yang selalu berubah berikut
ragam problematika yang semakin
kompleks, kegiatan dakwah sebagai
upaya transformasi nilai Islam ini dapat
menggunakan pendekatan komunikasi
melalui media-media, lisan (dakwah billisan), tulisan (dakwah bil-kitabah), dan
perbuatan (dakwah bil-hal) (Muhtadi,
2005: 178). Dalam pandangan umat
Islam, dakwah merupakan suatu proses
yang selalu berhubungan dengan
kehidupan manusia. Oleh sebab itu,
para pelaku dakwah dituntut mampu
merespons segala tuntutan dan perubahan
sejarah yang terjadi di era modern secara
tepat (Kahmad, 2002: 68). Kemampuan
ini diperlukan untuk memahami indikasiindikasi adanya perubahan mendasar
yang bukan hanya dalam konteks kultural
dan sosial keagamaan, tetapi juga dalam
korelasinya dengan perubahan dan
perkembangan teknologi komunikasi.
Perkembangan teknologi komunikasi semestinya disikapi secara
proaktif. Era informasi yang ditandai
dengan popularitas internet sudah
selayaknya dipandang sebagai peluang
sekaligus tantangan guna mewujudkan
dakwah Islam yang lebih efektif, efisien,
dan mengglobal. Secara signifikan,
internet telah menjadi ruang baru dalam
memperkenalkan, memperluas, dan
memopulerkan nilai-nilai, termasuk
nilai-nilai agama yang pada awalnya
83
menjadi bahan-bahan yang disajikan
dalam kegiatan dakwah. Bahkan
Zaleski (1999: 81) mengungkapkan
internet mampu mentransformasikan
peribadatan, organisasi keagamaan, dan
bahkan gagasan inti keagamaan sehingga
mengimplikasikan bahwa internet mampu menjadi media dakwah yang berdaya
guna.
Dalam konteks ini, pengetahuan
tentang efektivitas internet sebagai
media dakwah disinyalir berbanding
lurus dengan sikap seseorang terhadap
internet itu sendiri, terlebih bagi kalangan
akademisi. Oleh sebab itu, salah satu
persoalan mendasar yang diungkap
dalam tulisan ini adalah bagaimana sikap
akademisi ilmu dakwah terhadap internet
sebagai media dakwah? Hal ini menjadi
penting karena berbeda dengan kelompok
masyarakat lain pada umumnya,
akademisi dakwah merupakan “kelas
tertentu” dari sebuah masyarakat yang
lebih spesifik. Tidak hanya kualifikasi
mereka sebagai akademisi, tetapi juga
sebagai “elite agama Islam” khususnya
dalam ilmu dakwah yang terkait langsung
dengan pembahasan utama dalam tulisan
ini.
Era informasi telah membuka
peluang baru bagi banyak hal, termasuk
aktivitas dakwah. Namun, perlu dicatat
bahwa pada saat yang sama, tantangan
dan permasalahan dakwah pun semakin
berat dan kompleks. Penguasaan sarana
dan media-media informasi yang muncul
belakangan ini kemudian menjadi sebuah
keniscayaan agar dakwah dapat terus
bertahan dalam arus global yang terus
mengalir ini. Sebagai upaya perbaikan
kondisi masyarakat, dakwah diharapkan
mampu menjadi penyeimbang atau
paling tidak dapat berfungsi sebagai
pengingat tentang hakikat kemanusiaan
sebagai makhluk Tuhan.
Dalam banyak kasus, era informasi
melahirkan globalisasi yang ditandai
dengan fenomena deteritorialisasi kebu-
84
Jurnal Sosioteknologi
| Vol. 16, No 1, April 2017
dayaan, yakni hilangnya batas-batas
kebudayaan. Hal ini ditandai dengan
praktik dan karakeristik kebudayaan
yang hampir seragam di seluruh dunia.
Naisbitt dan Aburdene yang dikutip
oleh (Ibrahim, 1994: 191) menunjukkan
k e sa m a an gaya hidup di selu r uh
dunia dapat diidentifikasi melalui 3F
yakni food (makanan), fashion (mode
pakaian), dan fun (hiburan). Lebih jauh,
(Rakhmat, 1991: 70-75) menambahkan
5F lagi, yakni faith (kepercayaan), fear
(ketakutan), facts (fakta), fiction (cerita
rekaan), dan formulation (perumusan).
Jika yang dikemukakan Rakhmat
di atas benar, penguasaan teknologi
informasi dan komunikasi di kalangan
pelaku dakwah akan menjadi sebuah
keniscayaan.
Sebagai salah satu media paling
populer dan menjanjikan terkait cakupan
globalnya yakni internet telah mendorong
banyak pihak untuk terlibat secara aktif
dalam memproduksi informasi untuk
kemudian didistribusikan secara global.
Mereka tidak hanya menggunakan
internet untuk mengonsumsi informasi
yang mereka butuhkan, tetapi juga
membagikannya kembali, mereproduksi,
atau bahkan memproduksi informasi
yang baru. Oleh sebab itu, pengguna
internet disebut user, alih-alih audience
y a n g d alam konteks komunika si
diposisikan sebagai pihak yang relatif
lebih pasif.
Selain aspek teknis sebagai salah
satu benda teknologi, aspek-aspek sosialkebudayaan dari internet juga telah
diteliti oleh banyak kalangan. Bunt &
Lampeter (2005: 6) misalnya mengkaji
dampak situs-situs Islam di internet
dalam hubungannya dengan perspektif
muslim dan nonmuslim mengenai Islam
dan isu-isu Islam. Salah satu informasi
yang disampaikan oleh penelitian ini
adalah bahwa internet memiliki dampak
yang besar dalam pembaharuan atau
perubahan sosial dalam dunia muslim di
masa depan.
Selain itu, salah satu penelitian
yang menggelitik adalah penelitian
ya ng dila kuka n ole h Za le ski ya ng
mengungkap tentang bagaimana internet
memengaruhi kehidupan keberagamaan
(Zaleski, 1999). Ia mengulas pergulatan
kaum beragama di cyberspace yang
memunculkan semacam praktik-praktik
baru beragama. Beberapa persoalan
yang diangkatnya berkisar pada relasi
antara praktik-praktik agama secara fisik
dengan praktik-praktif secara virtual
dalam konteks cyberspce.
Salah satu kajian awal tentang
internet di Indonesia dapat dilacak dari
penelitian David Hill dan Krisha Sen. Hill
& Sen (2005) mengawali studi mereka
dengan sebuah tinjauan atas kemunculan
dan perkembangan internet di Indonesia
berdasarkan kunjungan enam bulan ke
Yogyakarta pada tahun 1996. Keduanya
berpendapat bahwa perkembangan
internet di Indonesia telah menjadi
alat politik bagi demokratisasi, satu di
antaranya dengan menyediakan sebuah
forum untuk kebebasan berekspresi
dalam masalah pandangan politik. Para
pengguna internet dapat memperoleh
informasi-informasi alternatif yang
mungkin menjadi berbeda dengan
sumber-sumber resmi pemerintah.
Para pengguna juga memiliki ruang
bebas untuk berpendapat, beropini, dan
berdebat secara daring tanpa sensor. Tak
menutup kemungkinan pula, beragam
gagasan, pendapat, dan komentar mereka
yang awalnya tidak tersentuh media
mainstream menjadi isu yang lebih luas
dan kajian banyak pihak.
Penelitian lainnya dilakukan oleh
Birgit Brauchler tentang “Cyberidentities
at War: Religion, Identity and the internet
in Moluccan Conflict” yang mengkaji
penggunaan internet oleh kelompokkelompok agama yang terlibat dalam
konflik di Ambon (Brauchler, 2003). Ia
menganalisis karakter dan strategi para
Moch Fakhruroji dan Enjang Muhaemin | Sikap Akademisi Dakwah.....
aktor, baik muslim maupun kristen yang
terlibat dalam konflik untuk mengungkap
upaya mereka dalam membangun identitas kolektif keagamaan berdasarkan
pada konten dan posting pada situs
mereka. Ia beragumen bahwa alihalih digunakan untuk mengatasi permasalahan di masyarakat Maluku yang
terpecah, internet justru digunakan
untuk memperluas perpecahan komunal
yang ada. Didalam hal ini, agama Islam
dan Kristen, sebagai penanda identitas
memainkan peranan kunci dalam
membangun identitas kolektif. Dengan
kata lain, konflik tersebut diperluas
ke cyberspace oleh cyberactor, yakni
kelompok muslim dan kristen yang
terlibat dalam konflik.
Selanjutnya, adalah penelitian
Iqbal (2010) yang menulis tentang
gerakan salafi di Indonesia. Iqbal
menyajikan fakta bahwa kaum salafi
menggunakan internet sesuai tujuan dan
kepentingan ideologis mereka dalam
kerangka kerja yang disebut dengan
cultured technology (pembudayaan
teknologi), localization process of global
force of technology (proses lokalisasi
kekuatan global teknologi), appropriation
of global media (penyelarasan media
global), dan spiritualizing technology
(spiritualisasi teknologi).
Kajian-kajian di atas pa da
dasarnya mendeskripsikan telaah terhadap konsep dan realitas internet sebagai
kekuatan global teknologi komunikasi
yang berkembang pesat dewasa ini
dalam hubungannya dengan politik
dan agama untuk kebutuhan dan tujuan
tertentu. Tampaknya, kajian-kajian di
atas memberikan analisis penting untuk
memahami hubungan internet dengan
masyarakat yang satu sama lain saling
melengkapi dan memengaruhi. Namun,
sebagai kajian spesifik, penelitian tentang
sikap akademisi dakwah terhadap
internet sebagai media dakwah menjadi
bersifat khas dan spesifik.
85
Untuk mencapai tujuan tersebut,
tulisan ini berpijak pada beberapa konsep
dan teori. Pertama teori interaksionisme
simbolik yang secara umum berasumsi
bahwa pengalaman manusia ditengahi
oleh penafsiran. Objek, orang, situasi, dan
peristiwa tidak memiliki pengertiannya
sendiri, sebaliknya pengertian itu
diberikan untuk mereka. Penafsiran
bukanlah tindakan bebas dan bukan
pula ditentukan oleh kekuatan manusia
atau bukan. Melalui interaksi seseorang
membentuk pengertian (Moleong, 2008:
19-20).
Oleh sebab itu, teori interaksionisme simbolik melihat bahwa
makna-makna (meanings) diciptakan dan
dilanggengkan melalui interaksi dalam
kelompok-kelompok sosial. Interaksi
sosial memberikan, melanggengkan,
dan mengubah aneka konvensi, seperti
peran, norma, aturan, dan makna-makna
yang ada dalam suatu kelompok sosial.
Bahasa dalam hubungan ini dipandang
sebagai pengangkut realita (informasi)
yang karenanya menduduki posisi sangat
penting (Parwito, 2006: 67). Secara
ringkas, interaksionalisme simbolik
dapat dikatakan sebagai cara pandang
terhadap komunikasi dan masyarakat
yang pada intinya beranggapan bahwa
struktur sosial dan makna-makna dicipta
dan dilanggengkan melalui interaksi
sosial.
Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan
kegiatan dinamis manusia. Hal ini berbeda
dengan pendekatan struktural yang
memfokuskan pada individu dan ciri-ciri
kepribadiannya atau bagaimana struktur
sosial membentuk perilaku tertentu
individu. Perspektif interaksi simbolik
memandang bahwa individu bersifat
aktif, reflektif, dan kreatif, menafsirkan,
menampilkan perilaku yang rumit dan
sulit diramalkan. Menurut Mulyana
(2001: 61), paham ini menolak gagasan
bahwa individu adalah organisme pasif
86
Jurnal Sosioteknologi
| Vol. 16, No 1, April 2017
yang di dalamnya perilaku ditentukan
oleh kekuatan-kekuatan atau struktur
di luar dirinya. Oleh karena individu
terus berubah, masyarakat pun berubah
melalui interaksi. Jadi, interaksilah yang
dianggap sebagai variabel penting yang
menentukan perilaku manusia, bukan
struktur masyarakat. Struktur itu sendiri
tercipta dan berubah karena interaksi
manusia, yakni ketika individu-individu
berpikir dan bertindak secara stabil
terhadap seperangkat objek yang sama.
Blumer yang dikutip oleh
Bachtiar (2006: 249) mengungkapkan
bahwa interaksi simbolik bertumpu
pada tiga premis: (1) manusia bertindak
terhadap sesuatu berdasakan maknamakna yang ada pada sesuatu itu bagi
mereka; (2) makna tersebut berasal dari
“interaksi sosial dengan orang lain”; (3)
makna tersebut disempurnakan di saat
proses interaksi berlangsung.
Secara ringkas Mulyana (2001: 7172) menguraikan bahwa interaksionisme
simbolik didasarkan pada premis-premis
berikut: Pertama, individu merespons
suatu situasi simbolik. Mereka merespons
lingkungan, termasuk objek fisik (benda)
dan objek sosial (perilaku manusia)
berdasarkan makna yang dikandung
komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Ketika mereka
menghadapi suatu situasi, respons
mereka tidak bersifat mekanis, tidak pula
ditentukan oleh faktor-faktor eksternal.
Alih-alih, respons mereka bergantung
pada bagaimana mereka mendefinisikan
situasi yang dihadapi dalam interaksi
sosial. Jadi, individulah yang dipandang
aktif untuk menentukan lingkungan
mereka sendiri.
Kedua, makna adalah produk
interaksi sosial. Oleh karena itu, makna
tidak melekat pada objek, melainkan
dinegosiasikan melalui penggunaan
bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan
karena manusia mampu menamai
segala sesuatu, bukan hanya objek fisik,
tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa
kehadiran objek fisik, tindakan atau
peristiwa itu), tetapi juga gagasan yang
abstrak. Akan tetapi, nama atau simbol
yang digunakan untuk menandai objek,
tindakan, peristiwa atau gagasan itu
bersifat arbitrer (sembarang). Artinya,
apa pun dapat dijadikan simbol dan
karena itu tidak ada hubungan logis
antara nama atau simbol dengan objek
yang dirujuknya meskipun terkadang
sulit untuk memisahkan kedua hal itu.
Melalui penggunaan simbol itulah,
manusia dapat berbagi pengalaman dan
pengetahuan tentang dunia.
Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu
ke waktu sejalan dengan perubahan situasi
yang ditemukan dalam interaksi sosial.
Perubahan interpretasi dimungkinkan
karena individu dapat melakukan proses
mental, yakni berkomunikasi dengan
dirinya sendiri. Manusia membayangkan
atau merencanakan apa yang akan mereka
lakukan. Dalam proses ini, individu
mengantisipasi reaksi orang lain dan
mencari alternatif-alternatif ucapan atau
tindakan yang akan dilakukan. Individu
membayangkan bagaimana orang lain
akan merespons ucapan atau tindakan
mereka.
Secara praktis, fenomena interaksi simbolik dapat dilihat melalui sikap
dan tindakan yang diperlihatkan seorang
individu terkait dengan pendapat dan
pandangannya mengenai sesuatu. Lange
menggunakan istilah sikap dalam bidang
eksperimen mengenai respons untuk
menggambarkan kesiapan subjek dalam
menghadapi stimulus yang datang tibatiba. Dalam pandangan Lange (dalam
Azwar, 2007: 3-4), sikap tidak hanya
menyangkut aspek mental semata,
melainkan juga mencakup aspek respons
fisik.
Menurut para ahli, sikap adalah
semacam kesiapan untuk bereaksi
terhadap suatu objek dengan cara-
Moch Fakhruroji dan Enjang Muhaemin | Sikap Akademisi Dakwah.....
cara tertentu. Dapat dikatakan bahwa
kesiapan yang dimaksudkan merupakan
kecenderungan potensial untuk bereaksi
dengan cara tertentu apabila individu
dihadapkan pada suatu stimulus yang
menghendaki adanya respons. Sikap
dinilai sebagai suatu pola perilaku,
tendensi atau kesiapan antisipatif,
p r e d i sp osisi untuk menyesua ika n
diri dalam situasi sosial, atau secara
sederhana. Sikap adalah respons terhadap
stimulus sosial yang telah terkondisikan.
Oleh sebab itu, D. Krech dan R.S
Crutchfield (dalam Sears, et al., 1999)
berpendapat bahwa sikap merupakan
o rg a n i s asi yang bersifat men e ta p
dari proses motivasional, emosional,
p e r se p t ual, dan kognitif m enge na i
aspek dunia individu. Adapun struktur
sikap, sebagaimana diungkapkan oleh
Azwar (2007: 33) dapat dibedakan atas
tiga komponen yang saling menunjang
satu sama lain, yakni: (a) komponen
kognitif, adalah representasi atas apa yang
dipercayai oleh individu pemilik sikap;
(b) komponen afektif, adalah perasaan
yang menyangkut aspek emosional yang
biasanya berakar paling dalam sebagai
komponen sikap; dan (c) komponen
konatif, adalah aspek kecenderungan
berperilaku tertentu sesuai dengan sikap
yang dimiliki oleh seseorang.
Sementara itu, dalam pemahaman
yang paling luas, dakwah merupakan
upaya untuk mengajak masyarakat
m e n u j u kondisi yang lebih ba ik
dengan prinsip dan nilai-nilai yang
didasarkan pada ajaran Islam. Secara
teologis, dakwah merupakan aktualisasi
imani yang dimanifestasikan dalam
suatu sistem kegiatan dalam bidang
kemasyarakatan untuk memengaruhi
cara merasa, berpikir, bersikap dan
bertindak dalam rangka mengusahakan
terwujudnya ajaran Islam dalam semua
segi kehidupan dengan menggunakan
cara tertentu. Dengan demikian, hal
ini mengindikasikan bahwa aktivitas
87
dakwah akan selalu bersinggungan
dengan realitas-realitas masyarakat
tempat dakwah itu dilakukan.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mulkhan (1996; 205) bahwa
hakikat dakwah adalah upaya mengubah
satu kondisi kepada kondisi lain yang
lebih baik menurut tolok ukur ajaran
sebagai ajaran Islam dan pandangan
hidup. Di sisi lain, perubahan kebudayaan
masyarakat sebagai mad’u (objek
dakwah) menjadi salah satu persoalan
penting yang juga berkonsekuensi
terhadap perubahan pendekatan dakwah.
Oleh karena itu, kegiatan dakwah di
abad informasi dapat dilakukan dengan
menggunakan atau memanfaatkan media
yang berbasis teknologi informasi dan
komunikasi.
Tidak mengherankan jika dalam
konteks dakwah, media merupakan salah
satu unsur mendasar karena dapat menjadi
saluran bagi proses transmisi informasiinformasi keislaman kepada objek
dakwah. Media yang digunakan dalam
kegiatan dakwah bisa sangat beragam,
bergantung pada proses pelaksanaan
kegiatan dakwah berlangsung. Namun
demikian secara umum, jenis media
yang dapat digunakan dalam berdakwah
terbagi pada dua bagian besar. Pertama,
media tradisional, yakni media tanpa
teknologi komunikasi. Kedua, media
modern, yakni media dengan teknologi
komunikasi. Media tradisional pada
umumnya te r ka it de nga n konte ks
kebudayaan tertentu yang berkembang
dalam pergaulan tradisionalnya.
Popula r ita s inte r ne t de nga n
sejumlah fiturnya telah menghantarkan
aktivitas dakwah pada babak baru,
sebagaimana aktivitas sosial-budaya
lainnya. Dengan memanfaatkan internet,
aktivitas dakwah hari ini dapat dilakukan
di sebuah ruangan kecil namun dapat
diakses oleh jutaan orang dengan
bantuan koneksi internet. Dalam konteks
ini, jelas terlihat bahwa teknologi
88
Jurnal Sosioteknologi
| Vol. 16, No 1, April 2017
memainkan peran mendasarnya sebagai
alat yang memudahkan aktivitas. Dengan
demikian, sebagaimana dikemukakan
oleh Fakhruroji (2015: 246) teknologi
dipandang sebagai sarana penting
sehingga makna-makna agama dapat
ditransformasi secara lebih luas ke
hadapan publik.
Ragam fitur yang ditawarkan
oleh internet pun memberikan banyak
pilihan bagi para pelaku dakwah untuk
menyampaikan pesan-pesan keagamaan.
Beberapa kategori dakwah yang pada
umumnya muncul di internet antara lain
(a) website, blog, dan konten berbasis
WWW lainnya, (b) media sosial seperti
Facebook, Twitter, atau Instagram, (c)
email melalui newsgroup atau mailing
list, (d) video sharing dengan konten
dakwah, (e) chat atau forum diskusi,
(f) meme dakwah, dan beberapa jenis
lainnya yang terus-menerus berkembang
secara signifikan.
Namun demikian, para pelaku
dakwah hendaknya memahami bahwa
pengguna internet sebagai objek dakwah
juga dihadapkan pada pilihan-pilihan lain.
Bisa jadi, pilihan-pilihan ini membuat
mereka cepat berpindah dari satu situs
ke situs lainnya jika merasa jenuh.
Oleh sebab itu, pesan-pesan dakwah di
internet itu sendiri yang harus singkat,
padat, dan menarik, tetapi juga harus
disesuaikan dengan kehendak pengguna
sebagai objek dakwah. Selain sifatnya
yang konvergen, internet juga memiliki
karateristik digital yang kemudian
membedakannya dengan media-media
informasi yang telah ada sebelumnya.
METODE
Pendekatan yang digunakan
dalam tulisan ini adalah pendekatan
kualitatif dengan metode studi kasus
yang bertujuan mengungkap fenomena
khas mengenai sekelompok individu atau
lembaga tertentu. Pemilihan studi kasus
lebih disebabkan oleh pertimbangan
bahwa tulisan ini merupakan eksplorasi
tentang suatu relatitas tertentu tanpa
bermaksud melakukan generalisasi
namun pada saat yang sama meyakini
bahwa realitas empirik dan konsep
teoritis adalah kedua hal yang saling
menguatkan (Given, 2008: 69).
Oleh sebab itu, data primer
didasarkan pada hasil wawancara
terhadap sejumlah informan yang
diarahkan oleh konsep-konsep dan teori
yang dijadikan sebagai pijakan awal
untuk memahami fakta-fakta dan realitas
di lapangan yang kemudian dikorelasikan
dengan fakta-fakta dan realitas lainnya.
Wawancara dilakukan kepada 20
orang dosen di Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Bandung sebagai
akademisi ilmu dakwah untuk menggali
realitas tentang bagaimana sikap mereka
terhadap internet sebagai media dakwah.
Informan dipilih dengan menggunakan
prinsip purposive sampling dengan
menggunakan pertimbangan sejalan
dengan tujuan penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan observasi dan
wawancara yang dilakukan dapat
diketahui bahwa secara kognitif,
pemahaman para informan tentang
pentingnya dakwah di internet dapat
dipilah menjadi tiga kategori, yakni
sangat penting, penting, dan cukup
penting. Data awal ini menarik karena
ternyata tidak ada seorang pun yang
memandang tidak penting terhadap
fungsi internet sebagai media dakwah.
Dari kategori pertama, dapat
dilihat bahwa penggunaan internet
sebagai media dakwah adalah sangat
penting dengan beberapa alasan yang
mereka kemukakan. Secara umum, ada
tiga alasan untuk kategori ini, yakni (1)
internet merupakan produk teknologi
mutakhir yang memiliki jumlah
pengguna yang semakin meningkat dan
daya jangkau yang tidak terbatas oleh
Moch Fakhruroji dan Enjang Muhaemin | Sikap Akademisi Dakwah.....
ruang dan waktu selama terhubung
dengan jaringan internet; (2) internet
merupakan media dengan tingkat privasi
yang tinggi sehingga memungkinkan
seseorang dapat mengakses internet
tanpa terkendala status sosial dan latar
belakang pendidikan; dan (3) internet
merupakan salah satu media, oleh sebab
itu dakwah harus memanfaatkan secara
optimal.
Namun demikian, kelompok
ini memiliki penilaian bahwa aktivitas
dakwah konvensional pun harus
tetap dilaksanakan. Alasan lainnya
lebih bersifat ideologis bahwa Islam
merupakan agama rahmatan lil ‘alamin
yang harus didakwahkan pada kelompok
dan kelas masyarakat mana pun. Selain
itu, internet merupakan arena pertarungan
ideologi—termasuk agama—sehingga
mengharuskan para pelaku dakwah
untuk mengambil peran secara aktif
dalam aktivitas dakwah berbasis internet.
Berikut ini adalah salah satu petikan
wawancara,
“Saya yakin bahwa internet
bukan hanya sekadar alternatif, tapi
sudah menjadi sesuatu yang mutlak
bagi kepentingan dakwah. Dakwah
yang efektif hari ini adalah dakwah
yang dilakukan melalui internet, baik
itu melalui Facebook, Twitter, blog,
audio, maupun melalui Youtube. Bukan
hanya khalayak yang dijangkaunya luar
biasa banyaknya, tapi juga mudah di
akses, kapan pun dan di mana pun. Maka
sangat penting bagi setiap da’i untuk
bisa menguasai internet sebagai media
dakwah… (Wawancara dengan Informan
A9 di Bandung, April 2016).
Sementara itu, kategori kedua
terdiri atas informan yang berpandangan
bahwa dakwah Islam melalui internet
adalah penting. Adapun alasan mereka
antara lain karena tidak sedikit para
pelaku dakwah di internet yang tidak
memiliki ilmu keislaman dan wawasan
kedakwahan yang mumpuni sehingga
89
penjelasan dan pemaparan pelaku dakwah
ini terkadang sangat tidak memuaskan.
Kelompok ini memandang bahwa
mereka tidak bisa disalahkan karena
memang sebatas itulah kemampuan
mereka. Namun demikian, diperlukan
upaya untuk meluruskan pandangan
tersebut dan mendorong untuk lebih
memperdalam keislaman, tentunya
dengan nasihat persuasif. Bagaimana
pun, mereka dengan kemampuan dan
penguasaan internet telah berusaha untuk
menyampaikan pesan-pesan keislaman.
Salah seorang informan mengungkapkan bahwa meskipun internet
memiliki peran yang penting, namun
jauh lebih penting adalah penguasan
materi dakwah itu sendiri sebagaimana
dikemukakan sebagai berikut,
Internet hanyalah adalah sebuah alat…Bagaimanapun kita harus
mengoptimalkan manfaatnya dan
meminimalkan madaratnya. Dalam
konteks inilah dai akademisi tidak hanya
mesti memiliki kemampuan dalam
menggunakan internet tetapi harus terus
meningkatkan pemhaman keislamannya
sebagai materi dakwah… (Wawancara
dengan Informan A15, April 2016).
Sementara itu, kelompok ketiga
merupakan kelompok informan yang
memandang bahwa dakwah melalui
internet merupakan upaya yang cukup
penting. Meski demikian, kelompok ini
berpandangan bahwa dakwah melalui
internet belum masuk dalam kategori
sangat penting. Hal ini karena mad’u yang
berada di alam nyata masih jauh lebih
banyak dan membutuhkan bimbingan
keislaman yang jauh lebih intensif.
Kelompok informan ini juga secara
jujur mengakui masih belum banyak
mengetahui dan menguasai teknologi
internet sehingga tidak banyak berkiprah
dalam dakwah melalui internet. Meski
begitu, kelompok ini tetap mendukung
rekan-rekan mereka yang melakukan
dakwah melalui internet.
90
Jurnal Sosioteknologi
| Vol. 16, No 1, April 2017
Sebagai angkatan lama, jelas saya
ketinggalan… Pesan-pesan dakwah insya
Allah bukan suatu masalah, insya Allah
saya menguasai. Tapi ketika berhadapan
dengan internet, kendala teknis muncul.
Penguasaan internet minim, sehingga
saya memilih tetap dakwah konvensional
di alam nyata. Saya tahu diri, kemajuan
internet menjadi wilayah dakwah digital
yang menjadi ranah dakwahnya para da’i
akademisi muda... (Wawancara dengan
Informan A19, April 2016)
Ditinjau dari aspek pemahaman,
hampir seluruh informan pada umumnya
m e m i l i k i pem aham an yang re la tif
baik meskipun belum berbanding
lurus dengan upaya mereka untuk
mengoptimalkan internet sebagai media
dakwah. Fenomena ini mengantarkan
pada simpulan bahwa jika dilihat dari
aspek penguasaan dan pemanfaatan
teknologi internet sebagai media dakwah,
akademisi dakwah di Fakultas Dakwah
dan Komunikasi UIN Sunan Gunung
Djati Bandung dapat dikategorikan ke
dalam empat kelompok.
Pertama, kelompok yang memiliki pemahaman dan penguasaan
internet yang baik. Kelompok ini
bukan hanya fasih memanfaatkan fiturfitur internet sebagai media dakwah,
melainkan juga akrab dengan teknologi
internet mutakhir. Beberapa juga bahkan
telah menulis sejumlah artikel dan
buku yang berhubungan dengan kajian
internet.
Kedua, kelompok yang memiliki
pemahaman dan penguasaan internet
yang cukup. Mereka yang termasuk
pada kategori ini memiliki pemahaman
terhadap konsep dasar internet dan
mengaplikasikan fitur-fitur internet untuk
kepentingan dakwah. Jumlah informan
yang masuk pada kategori ini relatif
lebih banyak, terlebih jika dibandingkan
dengan kelompok pertama. Kelompok ini
tidak hanya memiliki e-mail dan account
di media sosial seperti Facebook dan
Twitter, juga memiliki situs atau blog dan
tergabung dalam sejumlah mailing list
serta forum diskusi (discusion forum).
Ketiga, kelompok dengan pemahaman dan penguasaan internet yang
relatif rendah. Secara umum, kelompok
ini baru sebatas mengetahui fitur-fitur
internet tanpa memanfaatkannya lebih
jauh, terlebih untuk kepentingan dakwah.
Pemahaman mereka relatif baru terbatas
sekitar penggunaan e-mail, googling,
dan update status di media sosial.
Keempat, kelompok yang terdiri
atas mereka yang jarang bersentuhan
dengan internet. Minimnya interaksi
kelompok ini disebabkan beberapa
hal antara lain (a) kesibukan masingmasing, (b) pengetahuan dan penguasaan
komputer dasar yang masih tertinggal,
dan (c) cenderung menetapkan diri untuk
berkiprah dakwah dengan menggunakan
media konvensional.
Dengan kondisi seperti ini,
pada umumnya akademisi dakwah
memperlihatkan sikap optimistik terkait
internet sebagai media dakwah, tetapi
tida k se lur uhnya me mpe r liha tka n
sikap konstruktif. Oleh sebab itu,
sikap akademisi dakwah terhadap
internet sebagai media dakwah dapat
diidentifikasi dalam tiga kategori, yakni
(1) kelompok optimistik-progresif, (2)
kelompok optimistik-suportif, dan (3)
kelompok optimistik-pasif.
Pertama, yakni kelompok optimistik-progresif adalah kelompok
akademisi dakwah yang memandang
internet sebagai media mutakhir yang
sangat strategis untuk dimanfaatkan
sebagai media dakwah dalam masyarakat
di era global. Beberapa tipe umum dari
kelompok ini adalah (a) memiliki cara
pandang positif dan terbuka, dan (b)
memiliki orientasi dan aktivitas yang
cukup intens untuk menjadikan internet
sebagai media dakwah. Kelompok ini
bukan hanya mengoptimalkan fitur-fitur
internet sebagai media dakwah semata,
Moch Fakhruroji dan Enjang Muhaemin | Sikap Akademisi Dakwah.....
tetapi juga menguasai fitur-fitur internet
yang kemudian diolah dan dikembangkan
agar menjadi internet sebagai media
untuk menyampaikan ajaran Islam.
K elompok ini bukan hanya
melakukan publikasi artikel-artikel
keislaman melalui blog atau situs. Akan
tetapi, mereka juga membuat grup
media kajian keislaman di media sosial,
mailling list, newsgroup, e-book, atau
aktivitas dakwah lainnya yang sejenis.
Kelompok ini juga biasanya tidak hanya
berperan sebagai pengguna, tetapi juga
sebagai admin. Menurut mereka, fungsi
sebagai admin memungkinkan mereka
untuk mengendalikan topik atau pesanpesan dakwah yang berkembang. Selain
itu, mereka juga memiliki hak untuk
m e n g i n gatkan, bahkan m elaku ka n
“sensor” atas respons atau komentar
pengguna lain yang dianggap melanggar
norma dan etika.
Kedua, yakni kelompok yang
tergolong pada kategori optimistiksuportif. Kendati tidak seintensif dan
seprogresif kelompok yang pertama, para
informan yang tergolong pada kelompok
kedua ini juga memiliki pandangan
yang positif tentang pentingnya internet
sebagai media dakwah. Dalam kadar dan
batas-batas kemampuan, kelompok ini
juga berupaya memanfaatkan internet
sebagai media dakwah. Kelompok ini
belum memosisikan dirinya sebagai
pengelola atau admin. Hal ini di
antaranya disebabkan oleh keterbatasan
wawasan dan penguasaan fitur-fitur
internet. Bentuk partisipasi kelompok
ini pada umumnya lebih mengarah pada
bentuk dukungan terhadap aktivitas
dakwah yang dilakukan oleh pihak lain,
di antaranya dengan memberikan respons
positif berupa masukan dan saran.
Ketiga, kelompok optimistikpasif. Kategori ini terdiri atas informan
yang memiliki cara pandang yang
optimistik terhadap internet sebagai
media dakwah. Akan tetapi, kelompok
91
ini masih memperlihatkan sikap yang
pasif dalam menggunakan internet
sebagai media dakwah. Hal ini antara
lain disebabkan oleh kemampuan dan
penguasaan internet yang masih terbatas
sehingga mereka belum mampu untuk
mengekspresikan aktivitas dakwahnya
melalui internet. Salah satu ciri dari
kelompok ini adalah bahwa mereka
lebih banyak memilih aktivitas dakwah
dengan media konvensional yang selama
ini mereka ditekuni.
SIMPULAN
Secara umum, informan mengungkapkan bahwa internet merupakan
satu media yang penting bagi aktivitas
da kwa h, te r le bih da la m konte ks
era global dewasa ini. Baik yang
memandang sangat penting, penting dan
cukup penting pada dasarnya memiliki
argumentasi mendasar yang relatif sama
yakni sebagai media yang memiliki
cakupan yang sangat luas meskipun
ada pula yang melihat bahwa objek
dakwah di alam nyata (offline) pun masih
membutuhkan pesan-pesan dakwah.
Selanjutnya, dari aspek pemahaman dapat dikemukakan bahwa hampir
seluruh informan memiliki pemahaman
yang relatif baik tentang internet
meskipun belum berbanding lurus
dengan upaya optimalisasi internet
sebagai media dakwah. Oleh sebab itu,
secara umum, aspek pemahaman dan
pemanfaatan internet sebagai media
dakwah dapat dikategorikan kepada
empat kelompok, yakni (a) mereka
yang memiliki pemahaman mendalam
dan memiliki wawasan yang luas
tentang kajian internet, (b) mereka
yang memiliki pemahaman yang cukup
dan mengaplikasikan fitur-fitur internet
untuk kepentingan dakwah, (c) mereka
yang memiliki pemahaman yang rendah
tentang internet, dan (d) mereka yang
jarang bersentuhan dengan internet.
Meskipun akademisi dakwah
92
Jurnal Sosioteknologi
| Vol. 16, No 1, April 2017
pada umumnya memperlihatkan sikap
optimistik terkait internet sebagai media
dakwah, secara umum sikap mereka dapat
dikategorikan kepada tiga kelompok.
Pertama, kelompok optimistik-progresif, yakni akademisi dakwah yang
memandang internet sebagai media
yang strategis bagi kepentingan dakwah
sebagai media populer di era global.
Mereka secara aktif menggunakan
sejumlah fitur internet untuk kepentingan
penyebaran pesan-pesan keagamaan.
Kedua, kelompok optimistik-suportif.
Mereka yang tergolong pada kelompok
ini memiliki pandangan positif tentang
internet sebagai media dakwah. Bentuk
partisipasi kelompok ini pada umumnya
lebih mengarah pada dukungan terhadap
aktivitas dakwah yang dilakukan oleh
pihak lain. Ketiga, kelompok optimistikpasif yakni kelompok informan yang
memiliki cara pandang yang optimistik
terhadap internet sebagai media dakwah
namun masih bersikap yang pasif dalam
menggunakan internet untuk kepentingan
dakwah. Salah satu faktor penyebabnya
antara lain kemampuan dan penguasaan
internet yang masih terbatas sehingga
mereka belum mampu mengekspresikan
aktivitas dakwahnya melalui internet
sehingga mereka lebih memilih aktivitas
dakwah dengan media konvensional.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. (2007). Sikap Manusia: Teori
dan Pengukurannya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Bachtiar, W. (2006). Sosiologi Klasik;
Dari Comte hingga Parson.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Brauchler, B. (2003). Cyberidentities at
War: Religion, Identity and the
Internet in Moluccan Conflict.
Indonesia, 7, 123–152.
Bunt, G. R., & Lampeter. (2005). Islam
Virtual: Menjelajah Islam di
Jagad Maya. Yogyakarta: Suluh
Press.
Fakhruroji, M. (2015). SMS TAUHIID
sebagai Tekno-religion: Perspektif
Teknokultur atas Penyebaran
Tausiah Agama melalui SMS.
Sosioteknologi, 14(3), 246–
260.
https://doi.org/http://
dx.doi.org/10.5614%2Fsostek.
itbj.2015.14.3.4
Given, L. M. (2008). The SAGE
Encyclopedia of Qualitative
Research Methods. London:
SAGE Publications Ltd.
Hill, D. T., & Sen, K. (2005). The Internet
in Indonesia’s New Democracy.
London: Routledge.
Ibrahim, M. D. (1994). Teknologi,
Emansipasi, dan Transendensi:
Wacana Peradaban dengan Visi
Islam. Bandung: Mizan.
Iqbal, A. M. (2010). Spiritualizing The
Internet; Internet dan Gerakan
Salafi di Indonesia. Bandung:
Global House Publications.
Kahmad, D. (2002). Tarekat dalam
Islam, Spiritualitas Masyarakat
Modern. Bandung: Pustaka Setia.
Moleong, L. J. (2008). Metode Penelitian
Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Muhtadi, A. S. (2005). Pribumisasi
Islam: Ikhtiar Menggagas Fiqh
Kontekstual. Bandung: Pustaka
Setia.
Mulkhan, A. M. (1996). Ideologisasi
Gerakan
Dakwah:
Episod
Kehidupan M Natsir dan Azhar
Basyir. Yogyakarta: SIPress.
Mulyana, D. (2001). Metode Penelitian
Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial
Lainnya. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Parwito. (2006). Penelitian Komunikasi
Kualitatif. Yogyakarta: LKiS.
Rakhmat, J. (1991). Islam Aktual.
Bandung: Mizan.
Sears, D.O., Freedman, J.L., & Peplau,
L. A. (1999). Psikologi Sosial.
Moch Fakhruroji dan Enjang Muhaemin | Sikap Akademisi Dakwah.....
Jakarta: Erlangga.
Zaleski, J. (1999). Spiritualitas Cyberspace; Bagaimana Teknologi
Komputer Memengaruhi Kehidupan Keberagamaan Manusia.
Bandung: Mizan.
93
Download