ilmu al-hudhuri - STAINU PURWOREJO

advertisement
ILMU AL-HUDHURI
(Telaah Filsafat Ilmu atas Pemikiran Mehdi Hairi Yazri)
Abstrak:
Penelitian ini menunjukkan bahwa pemikiran Mehdi Hairi Yazri membawa adanya
pengertian tentang Ilmu al-Huduri yang ditawarkan, Ilmu al-Huduri dalam konteks
penjelasannya tentang mistisisme secara rasional, tokoh ini mampu mempertahankan
secara filosofis keabsahan dan realitas dari pengalaman mistik. Mitisisme adalah merupakan pendekatan lain atas kesadaran manusia terhadap realitas dunia. Karena dalam
kenyataannya Ilmu al-Huduri berkaitan dengan swa-objektivitas. Selanjutnya dalam
menjelaskan perolehan ilmu tersebut, tokoh ini menawarkan sebuah gagasan dalam
metodologi; pertama, cara pendidikan (educative) yaitu dengan cara menjelaskan teratur dan sisitematis tentang seluruh bidang filsafat, atau tentang salah satu bagian sejauh telah dihasilkan, tentang topik-topiknya, pendapat-pendapat atau alairan-aliran
yang berhubungan topik-topik tersebut, dalam bentuk kuliah atau dalam bentuk buku.
Kedua, untuk mencegah pelaksanaan gaya pendidikan yang terlalu ekstrim, maka model
invensif melengkapi model edukatif tersebut. Model ini mencari pemahaman baru terhadap pola pemikiran yang telah dikumpulkan dan berusaha nenberikan pemecahan bagi
masalah-masalah yang belum terselesaikan.
Model invensif ini dari satu pihak mengoreksi tendensi objektivitas, dengan
menekankan evaluasi terhadap pengetahuan yang disajikan sebagai data. Tetapi di
satu sisi cara ini juga menghindarkan diri dari kecenderungan subjektivitas, dengan
mengadakan komparasi terhadap kekayaan pemikiran yang telah didapat. Maka model ini sesungguhnya berusaha mengabungkan model pengetahuan sepanjang sejarah,
dengan pemahaman dan kekayaan personal. Kemudian dari situlah, dilihat dari model
metodologis untuk melakukan dan mengatur pengetahuan ilmiahnya, Mehdi Hairi cenderung kepada model invensif dengan metode pendekatan filsafat isyraqiyyah. Hal ini
ketika Mehdi mengunakan analisa filosofis dalam merumuskan teori mistisisme untuk
menjelaskan kemanunggalan seluruh alam wujud sebagai proposisi utama teori mistik.
Kata Kunci: ilmu al-hudhuri, mistisisme, dan filsafat isyaqiyah.
Mahmud Nasir,
STAINU Purworejo
“DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016
9
Pendahuluan
Telah menjadi hal yang niscaya
bahwa perkembangan pemikiran
dalam filsafat adalah merupakan
kesinambungan historis, baik yang
berkaitan dengan sejarah dunia Barat
maupun Timur. Oleh karena itu,
mempelajari perkembangan filsafat
dalam Islam tidak akan terlepas dari
para pemikiran filosof sebelumnya.
Munculnya filsafat Islam, harus
diakui adanya faktor pengaruh dari
luar agama Islam, sehingga terjadi
alkulturasi berbagai macam peradaban
dari luar agama Islam.
Tak heran ketika mememukan
kreasi-kreasi yang baru dalam tradisi
itelektual di dunia Islam.Sebut saja,
misalnya, pandangan Plato dan
Aristoteles yang saling bersebrangan
dan tidak dapat dipertemukan lewat
kacamata filsafat Barat.Namun lain
halnya, ditinjau dari optik filsafat
Islam, pandangan kedua filsuf
tersebut dapat mempertemukan, dan
bahkan saling memperkaya, sehingga
menambah warna khasanah keilmuan
dalam Islam.Sebut saja, di antaranya;
Al-Farabi, tercatat sebagai tokoh
yang pertama kali meletakan proyek,
penyatuan pemikiran ini, yaitu terkenal
10
dengan sebutan Teori Harmonisasi
padangan Plato dan Aristoteles.
Tidak hanya itu, kemudian diikuti
oleh generasi berikutnya, seperti Ibn
Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusdy, Ibn
Arabi, hingga puncaknya pada Sayikh
Suhrawardi serta Mulla Sadra.
Corak pemikiran dari beberapa
filosof Islam kenamaan tersebut
dalam penyampaian gagasannya
tidak terlepas dari persoalan tentang
“wujud” yang dijelaskan melalui
teori cahaya.Dapat dilihat khususnya
pada Ibn Sina, tentang teori emanasi,
Al-Ghazali terkenal dengan Teori
Ceruk Cahaya-cahaya (Nur alAnwar), Suhrawardi dengan filsafat
al-Isyraqiyyah-nya
dan
Mulla
Sadra dengan filsafat al-Hikmah alMua’aliyah-nya.Di bawah naungan
adanya teori cahaya khususnya
tentang emanasi, akhirnya Mehdi
Hairi Yazdi mengembangkan gagasan
tentang Ilmual-Huduridalam konteks
penjelasannya tentang mistisisme
secara
rasional.
Lantas,
dari
gagasannya itulah, ia secara tidak
langsung telah berhasil menghalau
pengaruh sikap Barat yang pada
umumnya
memandang
miring
terhadap pengalaman mistik sebagai
“DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016
sesuatu yang tidak objektif dan
penuh halusinasi.11 Dengan karya The
Prinsiples of Epistemology in Islamic
PhlosophyKnowledge by Presence,
ia mampu mempertahankan secara
filosofis keabsahan dan realitas dari
pengalaman mistik.
Atas dasar latar belakang itulah,
berikut akan dipaparkan secara
singkat berkaitan dengan pemikiran
Mehdi Hairi Yazdi tentang Ilmu alHuduri. Dalam runtun pembahasan
penelitian ini, diharapkan nantinya
akan membawa pada sebuah
kesimpulangagasan pemikiran tokoh
tersebut,khususnya tentang kaitanya
dengan filsafat ilmu, tampak segi-segi
epistemologi yang ia tawarkan.
Sekilas Biografi Mehdi Hairi
Yazdi
Mehdi Hairi Yazdi dilahirkan
pada tahun 1923 dalam salah satu
keluarga ulama terkenal di Qum, Iran.
Ayahnya bernama Ayatullah Syaikh
Abdul Karim Hairi Yazdi, dia adalah
ulama masyhur dan berpengaruh
di masanya. Dia memperoleh
pendidikan awal di bawah bimbingan
11
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu:
Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2002),
hlm. 107.
pembelajaran ayahnya sendiri dan
baru kemudian melanjutkan studi
tradisional formalnya di Qum. Di sana
ia menguasai dengan baik ilmu-ilmu
naqli maupun ilmu-ilmu intelektual,
dan dari situlah ia juga mencapai
otoritas tertinggi (ijtihad) dalam
hukum Islam serta teologi dan filsafat.
Kepada Sayyid Muhammad
Hujjat Kuh Kamara’i dan Ayatullah
Burujirdi, Mehdi Hairi Yazdi belajar
ilmu fiqh. Dia menkaji Syarah alHidayah al-Atsariyah, komentar
Mulla Sadra mengenai karya besar
paripatetik dan Astiruddin Abhari,
dan Syarah al-Isyarat, komentar
Nasruddin Thusi mengenai kitab
masyhur al-Isyarat wa al-Tanbihat,
karya Ibn Sina. Kemudian juga,
kepada Ayatullah Sayyid Akhmad
Khunsari di Teheran, Mehdi juga
mengkaji matematika tradisional
yang didasarkan pada dalil-dalil
Euclid, belajar al-Syifa’ karya Ibn
Sina, belajar ensiklopedia filsafat
paripatetik kepada Mirza Mahdi
Asytiyani, kemudian belajar kitab
Asfar karya Mulla Sadra dan Syarah
al-Manzumah karangan Hajji Mullah
Sabziwari, serta belajar ‘irfani
(gnosis) kepada Ayatullah Ruhullah
“DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016
11
Khumayni yang saat itu mengajar di
Qum.12
Pada tahun 1952, Mehdi mendapat
gelar doktor di Universitas Teheran
pada fakultas Yeologi (Illahiyat).
Kemudia dia pergi ke Barat selama
sepuluh tahun dalam kajian formal
dan sisitematis mengenai filsafat Barat
di Universita, antara lain: Michingan
dan Toronto. Yang selanjutnya dari
situ, dia dinobatkan mendapat gelar
master maupun doktor dalam filsafat
pada tahun 1979.Mehdi juga semapat
mangajar bertahun-tahun di beberapa
perguruan tinggi Barat, seperti
Harvard dan Goergetown di Amerika,
McGill di Kanada dan Oxford di
Inggris.Tahun 1979, dia kembali ke
Iran dan menduduki jabatan guru
besar di bidang filsafat Islam pada
Universitas Teheran.13
Adapun sejumlah karya yang
ditulis Mehdi Hairi Yazdi, yaitu
meliputi sejumlah besar makalah
dan buku-buku penting dalam bahasa
Persia, Arab dan beberapa dalam
bahasa Inggris. Karya-karyanya
meliputi: ‘Ilm Kuli (Pengetahuan
12
13
12
Mehdi HairiYazdi, The Principles of Epistemologi
in Islamic Philosophy Knowledge by Presence
(New York: State University of New York, 1992),
hlm.xiii.
Ibid., hlm. x.
Universal), Kawisyhayi ’Aql alNazhari (Penyelidikan mengenai Akal
Murni), Aqohi wa Quwahi (Konsep
dan Penilaian), yang merupakan
terjemahan dan komentar tentang
al-Tashawur wa al-Tasdiqkarya
Mulla Sadra, Kawisyhayi ‘Aqli
(Penyelidikan tentang Akal Praktis),
Hiram-i Hasti (Piramida Eksistensi)
dan Metafisika. Dari situlah, tampak
bahwa dirinya merupakan seorang
tokoh pemikir orisinal, dan dalam
kajiannya di satu pihak membahas isuisu baru dalam filsafat Islam, di pihak
lain dengan kemampuanya membahas
masalah-masalah baru pada pemikiran
filsafat Barat Modern. Selain itu, dia
mempunyai kapasitas sebagai ahli
perbandingan menyangkut filsafat
Barat dan Fisafat Islam, dengan karya
terkenalnya Comparative Philosophy
(Perbandingan Filsafat).14
Mehdi Hairi Yazdi juga dapat
dikategorikan sebagai tokoh pertama
yang dididik dalam ilmu-ilmu
keIslaman tradisional dari pemikir
seperti Ibn Sina, Shurawardi, Ibn
Arabi, Nasruddin Thusi, Mulla Sadra
dan lain sebagainya. Kemudian juga
menyerap dari beberapa pemikir
14
Ibid., hlm. xi-xii.
“DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016
Barat, seperti Kant dan Hegel, Russel
dan Wittgenstein.15
Epistemologi Ilmu al-Huduri
Menjawab Mistisime Secara
Rasional
Telah diketahui bahwa sosok
Mehdi Hairi Yazdi menduduki jabatan
profesor di Universitas Teheran,
selain itu ia juga pantas dimasukkan
ke dalam sederetan filosof Muslim
terkemuka, karena kapasitasnya
telah diakui memiliki pemahaman
yang dalam dan luas di bidang
filsafat Islam abad pertengahan,
khususnya mengenai metode-metode
dan analitis modern. Hal ini dapat
dilihat dalam karya besarnya, The
Prinsiples of Epistemology in Islamic
PhlosophyKnowledge by Presence.
Di mana pada dasarnya dalam karya
monumentalnya ini, Mehdi merusaha
mengemukakan
pemikirannya
tentang epistemologi ilmu al-huduri.
Dijelaskam bahwa apa dimaksud
ilmu huduri secara harafiah adalah
pengetahuan dengan kehadiran.
Pengertian perolehan pengetahuan
dengan kehadiran yaitu ditandai oleh
keadaan neotic,16dan mempunyai objek
15
16
Ibid., hlm. xi.
Pengertian neoticsama dengan kognitif (bersifat
pengetahuan), yaitu pengetahuan yang merupakan
yang imanen yang menjadikannya
pengetahuan swaobjek (self-objectknowledge), yang menandai untuk
definisi pengetahuan seperti itu
tanpa membutuhkan objek transitif
yang koresponden, selain objek yang
imanen.17
Secara global pemikirannya,
dalam karya tersebut, Mehdi tampak
berusaha
mengelaborasi
bahwa
bentuk-bentuk pengetahuan huduri ini
pada kenyataannya memang tunduk
kepada penyelidikkan filosofis serta
jauh dari bersifat anomali terhadap
pemikiran logis, untuk selanjutnya
pengetahuan ini muncul karena untuk
melangkah lebih jauh penelitian
mengenai hakekat wujud.18 Begitu
juga dalam pemahaman tentang
“kehadiran”, ada pemahaman yang
berbeda dengan tokoh lain, misalnya,
Gabriel Marcel (1889-1773),19 yang
cenderung memakai kehadiran antara
subjek dan objek, karena objeknya
17
18
19
konsekuensi dari fungsi fakultas kognitif kita
atau merupakan kandungan fakultas kognitif,
biasanya merujuk pada pengetahuan yang tidak
tergantung pada pengindraan. Mehdi Hairi Yazdi,
Ilmu Huduri: Prinsip-Prinsip Epitemologi dalam
Filsafat Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung:
Mizan, 1996), hlm. 21.
Mehdi HairiYazdi, The Principles of Epistemologi,
hlm. 41.
Ibid., hlm. 6.
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid II
(Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 304.
“DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016
13
di luar subjek (objek transitif),
berbeda dengan pandangan itu,
Mehdi Hairi Yazdi memberi makna
dalam pembahasan ilmu hudurinya.
Menurutnya, antara subjek dan
objek maupun tindak pelaku yang
mengetahui menjadi satu, yaitu
yang disebut swaobjektifitas, yang
kemudian diaplikasikan ke dalam
Ilmu al-Huduri dalam menjelaskan
mistisisme secara rasional.
Menurut Seyyed Hossein Nasr,
dalam pengantar buku karya Mehdi
tersebut, mengatakan bahwa karya
Mehdi ini bukan merupakan buku
biasa tentang filsafat Islam, dan bukan
sebuah tambahan yang biasa-biasa
saja bagi kumpulan karya yang telah
ada mengenai filsafat Islam dalam
bahasa Eropa, akan tetapi adanya
merupakan salah satu karya pertama
dalam bahasa Inggris yang berasal
dari taradisi filsafat Islam yang terus
hidup dan ditulis oleh seorang yang
telah terlatih dalam metode tradisional
kajian filsafat.20
Gagasan Mehdi Hairi Yazdi,
tentang Ilmu al-Huduri tidak hanya
dimiliki sebagai warisan historis,
akan tetapi ini merupakan bentuk
20
14
Seyyed Hossein Nasr , dalam Pengantar
bukuMehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, hlm. vii.
kemandirian juga, karena merupakan
pelaku sejarah yang berimplikasi
terhadap terpisahnya filsafat Islam
dan filsafat Barat, yang keduannya
tercatat sama-sama muncul sebagai
akibat dari tradisi filsafat Hellenistik.
Tentunya, Mehdi dengan tulisan
karyanya
tersebut,
berusaha
mengungakapkan
tujuan-tujuanya,
yaitu; pertama, memperkenalkan
gagasan ilmu huduri kepada kajian
epistemologi, khususnya filsafat
ilmu yaitu sebagai bentuk kesadaran
manusia nonfenomenal yang identik
dengan wujud fitrah manusia sendiri.
Kedua, dalam analisa hakekat ilmu
huduri akan memperluas; konsep
ilmu tersebut sebagaimana identik
dengan konsep makna tidak terbatas
dari wujud identitas diri manusia,
serta untuk memperjelas implikasi
radikal ilmu huduri tersebut, yang
merupakan
penjelasan
rasional
mengenai
pengalaman-pegalaman
mistis.21 Dengan demikian ia dengan
pendekatan
yang
dimilikinya,
berusaha mencapai pemahaman
mengenai
pengetahuan
melalui
“kehadiran” yang termuat dalam
kerangka filsafat Islam, selebihnya
merupakan solusi filosofis paradoks
21
Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, hlm. 2-3.
“DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016
kesatuan mistis diri dengan yang Esa
dan Yang Esa dengan diri. Hal ini,
semata-mata untuk meluruskan adanya
miskosepsi tentang pemahaman
mistik, baik itu dalam pemahaman
Islam maupun pemahaman dalam
pengertian yang umum, sebagaimana
yang dikatakan Harold H. Titus dan
kawan-kawan, yaitu: ketika jiwa
maengalami fanadisebut “terserap
dalam kekosongan” dan pengalaman
mistik dipahami sebagai bentuk yang
tidak sadar suatu “tidur tanpa mimpi”.22
Untuk kemudian, dalam literaturliteratur filsafat timbul penrtanyaan
khususnya tentang pemahaman mistik
apa dapat dirasionalkan.
Akan tetapi, model metodologi ini
mempunyai implikasi negatif, yaitu
ketika disajikan terlalu objektif
dan statis, sebagai suatu kantong
pengetahuan yang selesai jadi peserta
didik menjadi seperti bank yang
menyimpan dengan setia semua yang
dimasukkan.23 Sebagai reaksi dapat
muncul model ekstrim sebaliknya,
yang dapat disebut gaya emansipatoris
atau konsistensi. Di mana, dengan cara
ini tidak mengajar bahan yang telah
jadi, tapi secara sistematis metodis
mendidik dan mendorong orang
untuk menyusun pandangan hidup
sendiri dan memecahkan masalahnya
sendiri.24
Mehdi Hairi Yazdi, menjawabnya
dengan pola pemikiran fisafat
atau dengan metodologi; pertama,
cara pendidikan (educative) yaitu
dengan cara menjelaskan teratur dan
sisitematis tentang seluruh bidang
filsafat, atau tentang salah satu bagian
sejauh telah dihasilkan, tentang topiktopiknya, pendapat-pendapat atau
alairan-aliran yang berhubungan
topik-topik tersebut, dalam bentuk
kuliah atau dalam bentuk buku.
Kedua,
untuk
mencegah
pelaksanaan gaya pendidikan yang
terlalu ekstrim, maka model invesif
melengkapi model edukatif tersebut.
Model ini mencari pemahaman
baru terhadap pola pemikiran yang
telah dikumpulkan dan berusaha
nenberikan pemecahan bagi masalahmasalah yang belum terselesaikan.
Model invensif ini dari satu pihak
mengoreksi tendensi objektivitas,
dengan
menekankan
evaluasi
22 Harold H. Titus, dkk.,Persoalan-persoalan
Filsafat, terj. M. Rasyidi (Jakarta: Bulan Bintang,
1984), hlm. 419.
23 Ibid., hlm. 383.
24 Seyyed Hossein Nasr , dalam Pengantar
bukuMehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, hlm. xiii.
“DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016
15
terhadap pengetahuan yang disajikan
sebagai data. Tetapi di satu sisi cara
ini juga menghindarkan diri dari
kecenderungan subjektivitas, dengan
mengadakan komparasi terhadap
kekayaan pemikiran yang telah
didapat. Maka model ini sesungguhnya
berusaha mengabungkan model
pengetahuan sepanjang sejarah,
dengan pemahaman dan kekayaan
personal.25Kemudian dari situlah,
dilihat dari model metodologis
untuk melakukan dan mengatur
pengetahuan ilmiahnya, Mehdi Hairi
cenderung kepada model invensif
dengan metode pendekatan filsafat
isyraqiyyah.26Hal ini ketika Mehdi
mengunakan analisa filosofis dalam
merumuskan teori mistisisme untuk
menjelaskan kemanunggalan seluruh
alam wujud sebagai proposisi utama
teori mistik.
Pengetahuan melalui kehadiran
adalah pengetahuan dimana subjek
merasakan lansung apa yang dialami,
seperti halnya, peryataan manusia
25
26
16
Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, hlm. 17.
Sebagaimana filsafat israqiyyah, melukiskan dalam
bahasa simbolik secara imanen, suatu dunia yang
sangat luas berdasarkan pada suatu simbolisme
cahaya dan “Timur”, yang memutuskan batasbatas epistemologi Aritotelian dan juga batas-batas
rasio yang didefinisikan oleh Aritotelian. Lihat
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam: Teologi,
Filsafat dan Gnosis, terj. Suharsosno (Yogyakarta:
Putaka Pelajar, 1996), hlm. 74.
seperti “aku berfikir” atau “aku
berkata”, secara khusus menjadi
media untuk menyatakan pengetahuan
ini. Subjek objektif dari penilaianpenilaian ini yaitu “aku” performatif
yang dibedakan dari “aku” metafisika,
atau diri yang selama ini merupakan
pokok isu dalam setiap penyelidikan
filosofis.27
Berkaitan
dengan
pengetahuan Suhrawardi dalam bagian
pembahasan fisika al-Talwihat dan alMasyari’ wa al-Mutharahat mampu
membangun validitas pengetahuan.
Mehdi mengatakan bahwa kesadaran
akan esensi diidentifikasikan sebagai
unsur penting jiwa rasional. Selajutnya
dikatakan bahwa dalam hikmat alIsyraq sesuatu yang menyadari akan
esensinya sendiri adalah “cahaya
abstrak”
(nur-mujjarad),
yang
kemudian disebut “cahaya diri yang
hidup”. Oleh karena itu, jiwa rasional
melalui “aktivitas” kesadaran diri
yang diidentifikasi, atau merupakan
konsep “cahaya abstrak”, mengaitkan
tatanan kosmis dengan tatanan fisik
melalui prisip kesadaran langsung.28
Terkait dengan itu, Seyyed Hossein
Nasr, berangkat dari sabda Nabi bahwa
Mehdi HairiYazdi, The Principles of Epistemologi,
hlm. 2.
28 Hossein Ziai, Knowledge and illumination: a
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq (Georgia:
Scolars Press, tth.), hlm. 148-149.
27
“DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016
ilmu adalah cahaya (al-‘ilmun nurun),
menjelaskan bahwa pengetahuan yang
direalisasikan tidak dapat kecuali
merupakan realisasi dari cahaya,
yang tidak hanya mengiluminasi akal,
tetapi juga memperindah jiwa dan
menyinari tubuh, sementara itu dari
sudut pandang pelaksanaannya, relasi
itu sendiri dibutuhkan sebagai kondisi
pendahuluan dan latihan tubuh maupun
jiwa, suatu pelatihan (riyadhah)
yang menyiapkan mikrokosmos
manusia untuk menerima “cahaya
kemenangan” pengetahuan suci.29
Jadi dapat dikatakan bahwa kebenaran
manusia atau semua makhluk ciptaan
Allah sangat tergantung pada kadar
sinar yang memancar mengenainya.
Berdarakan
penjelasan
di
atas, maka teori Ilmu al-Huduri
memungkinkan
dilakukannya
pendekatan
sistematis
terhadap
seluruh pokok masalah mitisisme dan
perumusan suatu pendekatan filosofis
terhadap pemikiran mitisisme yang
bebas dari idionsikrasi intelektual yang
sejauh ini menjadi ciri khas hubungan
mitisisme dan filsafat.30Oleh karena
29
30
Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian,
terj. Suharsono (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1990), hlm. 359.
Mehdi HairiYazdi, The Principles of Epistemologi,
hlm. 2.
itu, selanjutnya agar pengetahuan dapat
menyelamatkan harus direalisasikan
oleh semua orang dan menegakkan
semua mikrokosmos manusia.
Mistisisme yang dirasionalkan
oleh Mehdi Hairi Yazdi melalui ilmu
al-Huduri dan kemudian dibahasakan
denagan metamitisisme atau dalam
pengertian lain melalui “ilmu ‘irfan”,
tentunya menurut hemat penulis, hal
ini tidak lepas dari languagegame
yang telah diperkenalkan oleh
Wittgennstein, yaitu ketika orang
merasakan
kehadiran
sesuatu
pada dirinya, baik itu kehadiran
swaobjektivitas maupun emanatif.
Hal itu tidak lepas dari bentuk-bentuk
yang bersifat metafisika, kemudian
dibahasakan dan dikomunikasikan
kepada orang lain dalam bahasa
sehari-hari. Untuk itu perlu disadari
(introspeksi) bahwa yang telah
dilakukan oleh orang yang telah
mengalami kehadiran swaobjektivitas
maupun dalam bentuk emansi; tidak
dapat dengan utuk digambarkan dengan
kata-kata karena lagi-lagi kemampuan
manusia dalam mengungkapkannya
sangat
terbatas.
Oleh
karena
itu, ketika dalam penjelasannya
Wittegenstein, Russel atau ahli filsafat
“DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016
17
bahasa lainnya memberi kesimpulan
tentang metafisik adalah nonsense
(bualan/tidak bermakna)31, sama saja
mereka menghancurkan bangunan
epistemologi secara umum. Pasalnya,
epistemologi sendiri tidak lepas dari
persoalan metafisika, dan metafisika
tidak terlepas dari persoalan-persoalan
dalam
kehidupan
sehari-hari.
Sebagaimana Wittgenstein sendiri
menyadari pada buku karangannya
yang
ke
dua,
Philosolhical
Investigation terdapat penolakan
terhadap
pandangannya
yang
pertama (menolak metafisika). Sebab
menurutnya bahasa itu digunakan
tidak hanya untuk mengungkapkan
proposisi-proposisi logis melainkan
digunakan dalam banyak cara yang
berbeda
untuk
mengungkapkan
pembenaran, pernyataan-pernyataan,
perintah, pengumuman dan banyak
sekali gejala-gejala yang dapat
diungkapkan dengan kata-kata.32
Sebagaimana yang dijelaskan
Mehdi Hairi Yazdi mengenai Ilmu alHuduri, sejauh yang penulis pahami,
mempunyai dua pengertian yang
menjadi kunci dalam memahami
31Kaelan, Filsafat
Perkembangannya
2002), hlm. 142.
32 Ibid., hlm. 145.
18
Bahasa: Masalah dan
(Yogyakarta: Paradigma,
maksud mistisisme secara rasional.
Pertama, Ilmu al-Huduri mempunyai
pengertian yang berarti hadir dalam
kontek pengetahuan swaobjektivitas.
Kedua, pengertian hadir dalam
hubungannya dengan teori emanasi,
baik yang dipahami melalui teori
emansi yang diperkenalkan oleh
Ibn Sina dalam ontologi dan
kosmologinya, maupun Mulla Sadra
melalui priramida eksistensial.
Emanasi sebagai pendekatan
dalam Ilmu al-Huduri
Sebagaimana diketahui bahwa
filsafat
iluminasi
menggunakan
suatu bahasa khas, istilah-istilah
etnis tertentu, dan menekankan
suatu bentuk simbolik ekspresi yang
didasarkan pada lebih luasa dan dalam
prinsip, citra cahaya dan kegelapan.
Simbolisme cahaya digunakan untuk
wujud-wujud tertentu dan batas-batas
wujud, bentuk dan materi, Tuhan,
hal-hal yang terpikirkan baik primer
maupun skunder, intelek jiwa, ipseity
individual dan tingkatan-tingkatan
intensitas pengalaman mistis.33Dengan
demikian,
dalam
pengetahuan
iluminasi,
dimungkinkan
oleh
33
Hossein Ziai, Knowledge and illumination, hlm. 27.
“DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016
hubungan dengan tatanan malaikat,
mentranformasikan
kebenaran
manusia daln menolongnya.Malaikat
instrument iluminasi, karena menjadi
alat
penyelamat.Manusia
turun
dari “cahaya-cahaya signirial” dan
dikembalikan kepada dunia ini
serta disatukan kembali dengan
sifat
kemalaikatannya,
“teman
yang dipercaya” di mana manusia
menemukan bagiannya yang murni
sekali lagi.34 Dengan kata lain, posisi
malaikat-malaikat terpenting berada
di Timur (syarq) yang dibayangkan
sebagi dunia cahaya murni tanpa
materi, sedangkan Barat adalah
dunia kegelapan dan dunia materi,
kedua wilayah ini dipisahkan oleh
bintang-bintang tetap yang berarti
bahwa Timur dan Barat dipahami
sebagai pengertian vertikal dan bukan
horizontal.35
Sebagaimana telah diketahuai
bahwa dalam filsafat Islam, teori
emanasi
mengenai
hubungan
Iluminasi menurun diawali oleh Ibnu
Sina dalam penjelasannya mengenai
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam: Teologi,
Filsafat dan Gnosis, terj. Suharsono dan
Jamaluddin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. 74.
35 Annemarie Schimmel, Dinmensi MIstik dalam
Islam, terj., Supardi Djoko Damono, dkk. (Jakarta:
Pustaka Fidaus, 1986), hlm. 270.
34
doktrin Aristoteles tentang Kausa
efisien pertama.Menanggapi hal
itu, lebih lanjut Mehdi menjelaskan
bahwa seluruh pokok masalah yang
diperbincangkan adalah masalah
prinsip pertam, sebagai wujud
wajib yang tunggal secara absolut,
dan hanya melahirkan satu wujud
yang sepenuhnya bergantung pada
sumbernya.36Adapun
emanasi
menurutnya hanya dapat diungkap
dengan frase berpreposisi. Realitas
emanasi dianalogkan dengan arti
kata-kata sambung dan preposisi,
seperti “lahir dari…”, “bergantung
pada…”, “diterangi oleh…”, dan
lain sebagainnya, semua kata yang
digunakan dalam definisi emanasi
hanya berarti, seperti yang dapat
dilihat, tinadakan murni, dan imenen
oleh pelaku sebagai menifestasi
kebenaran substansi, karena realitas
emanasi tidak punya arti yyang
jelas dan bias didefinisikan dalam
diri sendiri terpisah dari prinsip
subtansinya. Jadi realitas emansi
tidak dapat didefinisiskan sebagai
kata kerja ataupun kata benda, akan
tetapi sebagaimana halnya sebuah
preposisi hanya dapat dipahami
36
Mehdi Hairi Yazdi,The Principles of Epistemologi,
hlm. 115.
“DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016
19
dengan tepat dan bermakna jika
dapat mengaitkannya dengan kata
benda, dan kata kerja yang tepat.
Yang kebenaran esensial emanasi
sepenuhnya terletak dalam kebenaran
sumber subtansinya.37Oleh karena itu,
garis-garis emanasi bersifat vertikal
horizontal. Hal itu disebabkan dalam
teori emanasi tidak ada kemungkinan
kehampaan eksistensial, yaitu intrupsi
ketiadaan antara sebab pertama dan
hal-hal utama yang beremanasi dari
yang pertama. Karena merupakan
amnifestasi dari iluminasi, suatu
emanasi, baik yang ada pada peringkat
efek pertama ataupun yang terakhir,
seluruhnya tergantung pada prinsip
terdekatnya. Prisip terdekat ini terus
bergantung pada yang terdekat hingga
semua tereduksi pada dan lebur
dalam prisip pertama eksistensial.38
Mengenai diagram emanasi, dalam
sistem “piramida eksistensi” cahaya
eksistensi bersinar dari sumber cahaya
pada puncak ke dasar piramida,
yang melambangkan dunia objekobjek material.39 Diagram piramida
kosmologi pencerahan tersebut,
pembedaan
antara
sambungan
vertikal dan horizontal di dalamnya,
37
38
39
20
Ibid., hlm. 125.
Ibid..
Ibid., hlm. 105-106.
harus dipertimbangkan dengan serius,
tidak hanya dalam filsafat pencerahan
akan tetapi juga dalam setiap
analisis filosofis terhadap persoalaan
mitisisme. Begitu juga sangat penting
untuk memahami “kesatuan batin”
dalam kaitannya dengan “keragamaan
lahir” dari diagram, manakala orang
menemukan
peryataan-pernyataan
yang paradoks tentang pengalaman
mistik.40
Sejauh menyinggung ilmu huduri,
pengetahuan Tuhan tentang alam
semesta sebagai tindak emanatif-Nya,
termasuk dalam jenis pengetahuan
yang sama dengan pengetahuan
diri mengenai penginderaan dan
imajinasinya, juga mengenal keadaankeadaan pribadinya melalui kehadiran,
yang dipahami dalam pengertian
pencerahan dan supremasi, yang disebut
kehadiran dengan emanasi.41Mehdi
Hairi Yazdi selanjutnya menjelaskan
dan mempertegas bahwa keseluruhan
cahaya emanisi melimpah dari prisip
pertama eksistensi, dengan begitu dapat
dikatakan bahwa setiap wujud emanatif
dicirikan oleh keadaannya sebagi efek
imanen, atau aksi emanatif prinsipnya
sendiri.Oleh sebab itu, semua wujud
40
41
Ibid., hlm. 127.
Ibid., hlm. 103.
“DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016
emanatif terjadi, jika digambarkan
sebagi efek imanen, atau aksi emanatif
dari sumber mereka. Menurut doktrin
ini ada dua persamaan: mereka yang
bersifat mungkin pada dirinya sendiri
dalam pengertian bahwa mereka
secara mutlak bukanlah apa-apa tanpa
hubungan iluminasi dengan sumber
mereka, dan mereka semua wujud yang
wajib jika dibanding dalam kerangka
hubungan mereka dengan prinsip
tersebut, yamg merupakan wujud
wajib dalam esensi dan tindakannya.42
Pada dasarnya status model
emanasi merupakan sebuah argumen
yang dirancang untuk memperoleh
secara umum modalitas sebuah
konsep dalam kaitannya dengan nilai
kebenarannya dan pertimbangan
eksistensinya, baik konsep tersebut
bersifat
empiris,
transcendental
atau sekedar ilusi. Asalkan ada
sesuatu sebagai subjek dalam bentuk
eksistensi proposisi, manusia mampu
merancang struktur mode proposisi
dan merumuskan apakah subjek
itu bersifat “wajib”, “mungkin”,
atau
“mustahil”.43Umpamanya,
dapat
dipertimbangkan
konsep
42
43
Ibid.,hlm. 117.
A. E. Affifi, Filsafat Mistis Ibn Arabi (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1995), hlm. 23.
transcendental
tentang
Tuhan
dibandingkan
dengan
konsep
predikatif eksistensi dari sudut
pandang argument ini. Dengan
meletakkan Tuhan sebagai subjek
dan maka eksistensi sebagai predikat,
diperoleh proposisi: “Tuhan Ada”.
Dari itu selanjutnya dipertanyakan,
apakah eksistensi Tuhan bersifat
wajib atau mustahil?Manakala dua
dari tiga alternative tersebut—dalam
kasus eksistensi Tuhan, kemungkinan
dan kemustahilan—dikesampingkan,
maka satu yang tersisa yakni “wajib”
(ada), jadi pernyataan tersebut
berbentuk: “Tuhan Pasti Ada”.44
Realitas tindakan emansi adalah
proposiaonal, Mehdi menegaskan,
bahwa tindak emansi tidak perlu
diragukan lagi, karena merupakan
tindakan imanen dan tidak akan
pernah bersifat transitf dan tidaklah
berurusan dengan suatu wujud yang
dibentuk oleh hubungan esensieksistensi, melaikan dengan entitas
sederhana dan tidak terbagi, yang
seluruh hakekatnya dikenal sebagai
manifestasi sumber wujud. Inilah
arti keadaan preposisional wujud
yang menjadi ciri emanasi.Deskripsi
44
Mehdi HairiYazdi, The Principles of Epistemologi,
hlm. 131.
“DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016
21
tentang cara-cara untuk menjelaskan
arti emanasi sudah cukup untuk
menunjukkan bagaimana kebenaran
proposisional harus dipahami.Dengan
ini, maka sampai pada posisi untuk
memahami bagaimana menggunakan
kata “penyerapan” dan “peleburan”.45
Untuk jelasnya, bahwa eksistensi
yang berasal dari Sumber Pertama,
dan yang kedua berarti cahaya yang
naik kepada sumber tersebut, namun
dalam realitas keduanya adalah
satu dan sama. Artinya, tidak ada
kemungkinan membedakan antara
keduanya sebagai entitas yang
berbeda ketika digambarkan dari
sudut yang berbeda.
Apabila Tuhan mengetahui
manusia sebagi emanasiNya dengan
kehadiran, maka manusia sebagai
wujud terserap juga mengetahui
Tuhan dengan kehadiran pula.
Oleh kerena itu, ada dua pengertian
yang berbeda tentang “kehadiran”,
sebagai mana pula ada dua
peilustrasian yang berbeda bagi satu
realitas emanasi. Kehadiran adalah
emanatif karena ia memancar dari
Tuhan, sedang kehadiran yang
sama adalam penyerapan karena ia
45
22
Ibid., hlm. 138-140.
mutlak tergantung terhadap Tuhan.46
Dalam teori emanasi tersebut
pada prinsipnya sama, karena
secara keseluruhan didasarkan
pada teori sinar yang berasal dari
wajib wujud yang terus memancar
dan menyinari wujud yang berada
di bawahnya, sehingga sampai
pada “jiwa manusia”, yang berasal
dari Wujud Wajib.47 Maka dari
itu, ketika manusia mencapai fana
kemudia fana al-fana (baqa), maka
jiwa manusia akan bersatu dengan
esensi Wajib al-Wujud (Tuhan),
yaitu Tuhan dalam diri—dan diri
dalam Tuhan, hal ini dapat terjadi
sebab berasal dari satu Esensi
yaitu Esensi Tuhan atau dalam
teori Wahdat al-Wujud disebut
monorealistik.
Wal hasil, dari apa yang diuraikan,
maka emanasi merupakan proses
cahaya pertama—juga disebut cahaya
terdekat—dari cahaya segala cahaya.
Cahaya pertama benar-benar diperoleh
perbedaan antara cahaya pertama dan
cahaya segala cahaya hanya dalam
tingkat intensitas yang relatif, yang
menjadi ukuran kesempurnaan.Sedang
cahaya segala cahaya sebagai cahaya
46
47
Ibid., hlm. 142.
Ibid., hlm. 127-128.
“DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016
yang benar-benar setia menyinari.
Kemudian dari situlah akan nampak
antara “emanasi” dan “penyerapan”,
yaitu secara linguistic keduanya tidak
simetris, karena “emanasi” berarti
cahaya eksistensi yan bersumber dari
Sumber Pertama. “Penyerapan” cahaya
yang naik kepada sumber tersebut,
namun pada dasarnya “emanasi dan
penyerapan” adalah sama, artinya
kedua hal tersebut bukan sebagai yang
berbeda, yaitu yang satu beremanasi
dari sumber, dan yang lain terserap
dalam kebenaran sumber.
Oleh karena itu, adalah benar
jika diri sebagai sebagai bentuk
emanasi dalam kesederhanaannya,
dapat ditinjau dari dua sudut pandang
yang berbeda; sebagai cahaya yang
menurun dari sumber, dan sebagai
cahaya yang naik menuju sumbernya.
Selanjutnya yang disebut diri
performatif adalah diri yang selalu
bertindak dan mempersepsikan
yang tidak pernah menjadi objek
yang ditindaki dan dipersepsi, baik
oleh diri sendiri atau oleh orang
lain. Sekali lagi, sebagaimana
pengetahuan introspeksi tentang
diri dan tentang keadaan pikiran
pribadi
harus
didemontrasikan
denagn representasi yang analog
dari kebenaran objektif realitasrealitas, begitu pula pengetahuan
introspeksi tentang kebenaran mistik
juga representasi yang analog dari
pengetahuan swaobjektif mistisisme.
Kesimpulan
Mehdi Hairi Yazdi dengan
gagasan
pemikirannya,
yang
dituangkan dalam buku The Principles
of Epistemologi in Islamic Philosophy
Knowledge by Presence, khususnya
dalam
menjelaskan
mitisisme,
ia berangkat dari pemahaman
kehadiran dalam pengetahuan swaobjektivitas (tentang pengalaman
“rasa” atau “”dzawq”). Dari situlah,
kemudian mistisisme secara rasional
dijelaskan dengan pendekatan filsafat
Isyraqiyyah.
Dalam dua pengertian tentang
Ilmu al-Huduri yang telah dipaparkan
di atas dapat disepakati bahwa
pandangan Mehdi Hairi Yazdi yang
telah mengatakan bahwa mitisisme
adalah merupakan pendekatan lain atas
kesadaran manusia terhadap realitas
dunia. Karena dalam kenyataannya
Ilmu al-Huduri berkaitan dengan swaobjektivitas yaitu pengetahuan tentang
“DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016
23
wujud bukan persepsi, maka logislah
Mehdi Hairi Yazdi ketika menjelaskan
mitisisme dalam pengertian dan
transubtansi
atau
pengalaman
uniter dapat dikomunikasikan atau
dijelaskan dengan bahasa biasa,
yaitu setelah seseorang yang telah
mengalami transubtansi tersebut
kembali kepada kesadaran biasa
dan mengadakan perenungan secara
filosofis atau disebut introspeksi
diri dan kemudian mendeskripsikan
hasil pengalamannya dalam bahasa
keseharian.
Daftar Pustaka
Affifi, A. E. .Filsafat Mistis Ibn Arabi, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995.
Bertens,K..Filsafat Barat Abad XX Jilid II, Jakarta: Gramedia, 1985.
Kaelan, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya (Yogyakarta:
Paradigma, 2002
Kartanegara, Mulyadhi. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam,
Bandung: Mizan, 2002.
Nasr, Seyyed Hossein. dalam Pengantar bukuMehdi Hairi Yazdi, Ilmu
Huduri:Prinsip-Prinsip Epitemologi dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin
Muhammad, Bandung: Mizan, 1996.
---------------------------. Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis, terj.
Suharsosno, Yogyakarta: Putaka Pelajar, 1996.
----------------------------. Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1990.
Schimmel, Annemarie. Dinmensi MIstik dalam Islam, terj., Supardi Djoko
24
“DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016
Download