ILMU AL-HUDHURI (Telaah Filsafat Ilmu atas Pemikiran Mehdi Hairi Yazri) Abstrak: Penelitian ini menunjukkan bahwa pemikiran Mehdi Hairi Yazri membawa adanya pengertian tentang Ilmu al-Huduri yang ditawarkan, Ilmu al-Huduri dalam konteks penjelasannya tentang mistisisme secara rasional, tokoh ini mampu mempertahankan secara filosofis keabsahan dan realitas dari pengalaman mistik. Mitisisme adalah merupakan pendekatan lain atas kesadaran manusia terhadap realitas dunia. Karena dalam kenyataannya Ilmu al-Huduri berkaitan dengan swa-objektivitas. Selanjutnya dalam menjelaskan perolehan ilmu tersebut, tokoh ini menawarkan sebuah gagasan dalam metodologi; pertama, cara pendidikan (educative) yaitu dengan cara menjelaskan teratur dan sisitematis tentang seluruh bidang filsafat, atau tentang salah satu bagian sejauh telah dihasilkan, tentang topik-topiknya, pendapat-pendapat atau alairan-aliran yang berhubungan topik-topik tersebut, dalam bentuk kuliah atau dalam bentuk buku. Kedua, untuk mencegah pelaksanaan gaya pendidikan yang terlalu ekstrim, maka model invensif melengkapi model edukatif tersebut. Model ini mencari pemahaman baru terhadap pola pemikiran yang telah dikumpulkan dan berusaha nenberikan pemecahan bagi masalah-masalah yang belum terselesaikan. Model invensif ini dari satu pihak mengoreksi tendensi objektivitas, dengan menekankan evaluasi terhadap pengetahuan yang disajikan sebagai data. Tetapi di satu sisi cara ini juga menghindarkan diri dari kecenderungan subjektivitas, dengan mengadakan komparasi terhadap kekayaan pemikiran yang telah didapat. Maka model ini sesungguhnya berusaha mengabungkan model pengetahuan sepanjang sejarah, dengan pemahaman dan kekayaan personal. Kemudian dari situlah, dilihat dari model metodologis untuk melakukan dan mengatur pengetahuan ilmiahnya, Mehdi Hairi cenderung kepada model invensif dengan metode pendekatan filsafat isyraqiyyah. Hal ini ketika Mehdi mengunakan analisa filosofis dalam merumuskan teori mistisisme untuk menjelaskan kemanunggalan seluruh alam wujud sebagai proposisi utama teori mistik. Kata Kunci: ilmu al-hudhuri, mistisisme, dan filsafat isyaqiyah. Mahmud Nasir, STAINU Purworejo “DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016 9 Pendahuluan Telah menjadi hal yang niscaya bahwa perkembangan pemikiran dalam filsafat adalah merupakan kesinambungan historis, baik yang berkaitan dengan sejarah dunia Barat maupun Timur. Oleh karena itu, mempelajari perkembangan filsafat dalam Islam tidak akan terlepas dari para pemikiran filosof sebelumnya. Munculnya filsafat Islam, harus diakui adanya faktor pengaruh dari luar agama Islam, sehingga terjadi alkulturasi berbagai macam peradaban dari luar agama Islam. Tak heran ketika mememukan kreasi-kreasi yang baru dalam tradisi itelektual di dunia Islam.Sebut saja, misalnya, pandangan Plato dan Aristoteles yang saling bersebrangan dan tidak dapat dipertemukan lewat kacamata filsafat Barat.Namun lain halnya, ditinjau dari optik filsafat Islam, pandangan kedua filsuf tersebut dapat mempertemukan, dan bahkan saling memperkaya, sehingga menambah warna khasanah keilmuan dalam Islam.Sebut saja, di antaranya; Al-Farabi, tercatat sebagai tokoh yang pertama kali meletakan proyek, penyatuan pemikiran ini, yaitu terkenal 10 dengan sebutan Teori Harmonisasi padangan Plato dan Aristoteles. Tidak hanya itu, kemudian diikuti oleh generasi berikutnya, seperti Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusdy, Ibn Arabi, hingga puncaknya pada Sayikh Suhrawardi serta Mulla Sadra. Corak pemikiran dari beberapa filosof Islam kenamaan tersebut dalam penyampaian gagasannya tidak terlepas dari persoalan tentang “wujud” yang dijelaskan melalui teori cahaya.Dapat dilihat khususnya pada Ibn Sina, tentang teori emanasi, Al-Ghazali terkenal dengan Teori Ceruk Cahaya-cahaya (Nur alAnwar), Suhrawardi dengan filsafat al-Isyraqiyyah-nya dan Mulla Sadra dengan filsafat al-Hikmah alMua’aliyah-nya.Di bawah naungan adanya teori cahaya khususnya tentang emanasi, akhirnya Mehdi Hairi Yazdi mengembangkan gagasan tentang Ilmual-Huduridalam konteks penjelasannya tentang mistisisme secara rasional. Lantas, dari gagasannya itulah, ia secara tidak langsung telah berhasil menghalau pengaruh sikap Barat yang pada umumnya memandang miring terhadap pengalaman mistik sebagai “DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016 sesuatu yang tidak objektif dan penuh halusinasi.11 Dengan karya The Prinsiples of Epistemology in Islamic PhlosophyKnowledge by Presence, ia mampu mempertahankan secara filosofis keabsahan dan realitas dari pengalaman mistik. Atas dasar latar belakang itulah, berikut akan dipaparkan secara singkat berkaitan dengan pemikiran Mehdi Hairi Yazdi tentang Ilmu alHuduri. Dalam runtun pembahasan penelitian ini, diharapkan nantinya akan membawa pada sebuah kesimpulangagasan pemikiran tokoh tersebut,khususnya tentang kaitanya dengan filsafat ilmu, tampak segi-segi epistemologi yang ia tawarkan. Sekilas Biografi Mehdi Hairi Yazdi Mehdi Hairi Yazdi dilahirkan pada tahun 1923 dalam salah satu keluarga ulama terkenal di Qum, Iran. Ayahnya bernama Ayatullah Syaikh Abdul Karim Hairi Yazdi, dia adalah ulama masyhur dan berpengaruh di masanya. Dia memperoleh pendidikan awal di bawah bimbingan 11 Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 107. pembelajaran ayahnya sendiri dan baru kemudian melanjutkan studi tradisional formalnya di Qum. Di sana ia menguasai dengan baik ilmu-ilmu naqli maupun ilmu-ilmu intelektual, dan dari situlah ia juga mencapai otoritas tertinggi (ijtihad) dalam hukum Islam serta teologi dan filsafat. Kepada Sayyid Muhammad Hujjat Kuh Kamara’i dan Ayatullah Burujirdi, Mehdi Hairi Yazdi belajar ilmu fiqh. Dia menkaji Syarah alHidayah al-Atsariyah, komentar Mulla Sadra mengenai karya besar paripatetik dan Astiruddin Abhari, dan Syarah al-Isyarat, komentar Nasruddin Thusi mengenai kitab masyhur al-Isyarat wa al-Tanbihat, karya Ibn Sina. Kemudian juga, kepada Ayatullah Sayyid Akhmad Khunsari di Teheran, Mehdi juga mengkaji matematika tradisional yang didasarkan pada dalil-dalil Euclid, belajar al-Syifa’ karya Ibn Sina, belajar ensiklopedia filsafat paripatetik kepada Mirza Mahdi Asytiyani, kemudian belajar kitab Asfar karya Mulla Sadra dan Syarah al-Manzumah karangan Hajji Mullah Sabziwari, serta belajar ‘irfani (gnosis) kepada Ayatullah Ruhullah “DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016 11 Khumayni yang saat itu mengajar di Qum.12 Pada tahun 1952, Mehdi mendapat gelar doktor di Universitas Teheran pada fakultas Yeologi (Illahiyat). Kemudia dia pergi ke Barat selama sepuluh tahun dalam kajian formal dan sisitematis mengenai filsafat Barat di Universita, antara lain: Michingan dan Toronto. Yang selanjutnya dari situ, dia dinobatkan mendapat gelar master maupun doktor dalam filsafat pada tahun 1979.Mehdi juga semapat mangajar bertahun-tahun di beberapa perguruan tinggi Barat, seperti Harvard dan Goergetown di Amerika, McGill di Kanada dan Oxford di Inggris.Tahun 1979, dia kembali ke Iran dan menduduki jabatan guru besar di bidang filsafat Islam pada Universitas Teheran.13 Adapun sejumlah karya yang ditulis Mehdi Hairi Yazdi, yaitu meliputi sejumlah besar makalah dan buku-buku penting dalam bahasa Persia, Arab dan beberapa dalam bahasa Inggris. Karya-karyanya meliputi: ‘Ilm Kuli (Pengetahuan 12 13 12 Mehdi HairiYazdi, The Principles of Epistemologi in Islamic Philosophy Knowledge by Presence (New York: State University of New York, 1992), hlm.xiii. Ibid., hlm. x. Universal), Kawisyhayi ’Aql alNazhari (Penyelidikan mengenai Akal Murni), Aqohi wa Quwahi (Konsep dan Penilaian), yang merupakan terjemahan dan komentar tentang al-Tashawur wa al-Tasdiqkarya Mulla Sadra, Kawisyhayi ‘Aqli (Penyelidikan tentang Akal Praktis), Hiram-i Hasti (Piramida Eksistensi) dan Metafisika. Dari situlah, tampak bahwa dirinya merupakan seorang tokoh pemikir orisinal, dan dalam kajiannya di satu pihak membahas isuisu baru dalam filsafat Islam, di pihak lain dengan kemampuanya membahas masalah-masalah baru pada pemikiran filsafat Barat Modern. Selain itu, dia mempunyai kapasitas sebagai ahli perbandingan menyangkut filsafat Barat dan Fisafat Islam, dengan karya terkenalnya Comparative Philosophy (Perbandingan Filsafat).14 Mehdi Hairi Yazdi juga dapat dikategorikan sebagai tokoh pertama yang dididik dalam ilmu-ilmu keIslaman tradisional dari pemikir seperti Ibn Sina, Shurawardi, Ibn Arabi, Nasruddin Thusi, Mulla Sadra dan lain sebagainya. Kemudian juga menyerap dari beberapa pemikir 14 Ibid., hlm. xi-xii. “DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016 Barat, seperti Kant dan Hegel, Russel dan Wittgenstein.15 Epistemologi Ilmu al-Huduri Menjawab Mistisime Secara Rasional Telah diketahui bahwa sosok Mehdi Hairi Yazdi menduduki jabatan profesor di Universitas Teheran, selain itu ia juga pantas dimasukkan ke dalam sederetan filosof Muslim terkemuka, karena kapasitasnya telah diakui memiliki pemahaman yang dalam dan luas di bidang filsafat Islam abad pertengahan, khususnya mengenai metode-metode dan analitis modern. Hal ini dapat dilihat dalam karya besarnya, The Prinsiples of Epistemology in Islamic PhlosophyKnowledge by Presence. Di mana pada dasarnya dalam karya monumentalnya ini, Mehdi merusaha mengemukakan pemikirannya tentang epistemologi ilmu al-huduri. Dijelaskam bahwa apa dimaksud ilmu huduri secara harafiah adalah pengetahuan dengan kehadiran. Pengertian perolehan pengetahuan dengan kehadiran yaitu ditandai oleh keadaan neotic,16dan mempunyai objek 15 16 Ibid., hlm. xi. Pengertian neoticsama dengan kognitif (bersifat pengetahuan), yaitu pengetahuan yang merupakan yang imanen yang menjadikannya pengetahuan swaobjek (self-objectknowledge), yang menandai untuk definisi pengetahuan seperti itu tanpa membutuhkan objek transitif yang koresponden, selain objek yang imanen.17 Secara global pemikirannya, dalam karya tersebut, Mehdi tampak berusaha mengelaborasi bahwa bentuk-bentuk pengetahuan huduri ini pada kenyataannya memang tunduk kepada penyelidikkan filosofis serta jauh dari bersifat anomali terhadap pemikiran logis, untuk selanjutnya pengetahuan ini muncul karena untuk melangkah lebih jauh penelitian mengenai hakekat wujud.18 Begitu juga dalam pemahaman tentang “kehadiran”, ada pemahaman yang berbeda dengan tokoh lain, misalnya, Gabriel Marcel (1889-1773),19 yang cenderung memakai kehadiran antara subjek dan objek, karena objeknya 17 18 19 konsekuensi dari fungsi fakultas kognitif kita atau merupakan kandungan fakultas kognitif, biasanya merujuk pada pengetahuan yang tidak tergantung pada pengindraan. Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri: Prinsip-Prinsip Epitemologi dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 21. Mehdi HairiYazdi, The Principles of Epistemologi, hlm. 41. Ibid., hlm. 6. K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid II (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 304. “DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016 13 di luar subjek (objek transitif), berbeda dengan pandangan itu, Mehdi Hairi Yazdi memberi makna dalam pembahasan ilmu hudurinya. Menurutnya, antara subjek dan objek maupun tindak pelaku yang mengetahui menjadi satu, yaitu yang disebut swaobjektifitas, yang kemudian diaplikasikan ke dalam Ilmu al-Huduri dalam menjelaskan mistisisme secara rasional. Menurut Seyyed Hossein Nasr, dalam pengantar buku karya Mehdi tersebut, mengatakan bahwa karya Mehdi ini bukan merupakan buku biasa tentang filsafat Islam, dan bukan sebuah tambahan yang biasa-biasa saja bagi kumpulan karya yang telah ada mengenai filsafat Islam dalam bahasa Eropa, akan tetapi adanya merupakan salah satu karya pertama dalam bahasa Inggris yang berasal dari taradisi filsafat Islam yang terus hidup dan ditulis oleh seorang yang telah terlatih dalam metode tradisional kajian filsafat.20 Gagasan Mehdi Hairi Yazdi, tentang Ilmu al-Huduri tidak hanya dimiliki sebagai warisan historis, akan tetapi ini merupakan bentuk 20 14 Seyyed Hossein Nasr , dalam Pengantar bukuMehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, hlm. vii. kemandirian juga, karena merupakan pelaku sejarah yang berimplikasi terhadap terpisahnya filsafat Islam dan filsafat Barat, yang keduannya tercatat sama-sama muncul sebagai akibat dari tradisi filsafat Hellenistik. Tentunya, Mehdi dengan tulisan karyanya tersebut, berusaha mengungakapkan tujuan-tujuanya, yaitu; pertama, memperkenalkan gagasan ilmu huduri kepada kajian epistemologi, khususnya filsafat ilmu yaitu sebagai bentuk kesadaran manusia nonfenomenal yang identik dengan wujud fitrah manusia sendiri. Kedua, dalam analisa hakekat ilmu huduri akan memperluas; konsep ilmu tersebut sebagaimana identik dengan konsep makna tidak terbatas dari wujud identitas diri manusia, serta untuk memperjelas implikasi radikal ilmu huduri tersebut, yang merupakan penjelasan rasional mengenai pengalaman-pegalaman mistis.21 Dengan demikian ia dengan pendekatan yang dimilikinya, berusaha mencapai pemahaman mengenai pengetahuan melalui “kehadiran” yang termuat dalam kerangka filsafat Islam, selebihnya merupakan solusi filosofis paradoks 21 Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, hlm. 2-3. “DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016 kesatuan mistis diri dengan yang Esa dan Yang Esa dengan diri. Hal ini, semata-mata untuk meluruskan adanya miskosepsi tentang pemahaman mistik, baik itu dalam pemahaman Islam maupun pemahaman dalam pengertian yang umum, sebagaimana yang dikatakan Harold H. Titus dan kawan-kawan, yaitu: ketika jiwa maengalami fanadisebut “terserap dalam kekosongan” dan pengalaman mistik dipahami sebagai bentuk yang tidak sadar suatu “tidur tanpa mimpi”.22 Untuk kemudian, dalam literaturliteratur filsafat timbul penrtanyaan khususnya tentang pemahaman mistik apa dapat dirasionalkan. Akan tetapi, model metodologi ini mempunyai implikasi negatif, yaitu ketika disajikan terlalu objektif dan statis, sebagai suatu kantong pengetahuan yang selesai jadi peserta didik menjadi seperti bank yang menyimpan dengan setia semua yang dimasukkan.23 Sebagai reaksi dapat muncul model ekstrim sebaliknya, yang dapat disebut gaya emansipatoris atau konsistensi. Di mana, dengan cara ini tidak mengajar bahan yang telah jadi, tapi secara sistematis metodis mendidik dan mendorong orang untuk menyusun pandangan hidup sendiri dan memecahkan masalahnya sendiri.24 Mehdi Hairi Yazdi, menjawabnya dengan pola pemikiran fisafat atau dengan metodologi; pertama, cara pendidikan (educative) yaitu dengan cara menjelaskan teratur dan sisitematis tentang seluruh bidang filsafat, atau tentang salah satu bagian sejauh telah dihasilkan, tentang topiktopiknya, pendapat-pendapat atau alairan-aliran yang berhubungan topik-topik tersebut, dalam bentuk kuliah atau dalam bentuk buku. Kedua, untuk mencegah pelaksanaan gaya pendidikan yang terlalu ekstrim, maka model invesif melengkapi model edukatif tersebut. Model ini mencari pemahaman baru terhadap pola pemikiran yang telah dikumpulkan dan berusaha nenberikan pemecahan bagi masalahmasalah yang belum terselesaikan. Model invensif ini dari satu pihak mengoreksi tendensi objektivitas, dengan menekankan evaluasi 22 Harold H. Titus, dkk.,Persoalan-persoalan Filsafat, terj. M. Rasyidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 419. 23 Ibid., hlm. 383. 24 Seyyed Hossein Nasr , dalam Pengantar bukuMehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, hlm. xiii. “DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016 15 terhadap pengetahuan yang disajikan sebagai data. Tetapi di satu sisi cara ini juga menghindarkan diri dari kecenderungan subjektivitas, dengan mengadakan komparasi terhadap kekayaan pemikiran yang telah didapat. Maka model ini sesungguhnya berusaha mengabungkan model pengetahuan sepanjang sejarah, dengan pemahaman dan kekayaan personal.25Kemudian dari situlah, dilihat dari model metodologis untuk melakukan dan mengatur pengetahuan ilmiahnya, Mehdi Hairi cenderung kepada model invensif dengan metode pendekatan filsafat isyraqiyyah.26Hal ini ketika Mehdi mengunakan analisa filosofis dalam merumuskan teori mistisisme untuk menjelaskan kemanunggalan seluruh alam wujud sebagai proposisi utama teori mistik. Pengetahuan melalui kehadiran adalah pengetahuan dimana subjek merasakan lansung apa yang dialami, seperti halnya, peryataan manusia 25 26 16 Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, hlm. 17. Sebagaimana filsafat israqiyyah, melukiskan dalam bahasa simbolik secara imanen, suatu dunia yang sangat luas berdasarkan pada suatu simbolisme cahaya dan “Timur”, yang memutuskan batasbatas epistemologi Aritotelian dan juga batas-batas rasio yang didefinisikan oleh Aritotelian. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis, terj. Suharsosno (Yogyakarta: Putaka Pelajar, 1996), hlm. 74. seperti “aku berfikir” atau “aku berkata”, secara khusus menjadi media untuk menyatakan pengetahuan ini. Subjek objektif dari penilaianpenilaian ini yaitu “aku” performatif yang dibedakan dari “aku” metafisika, atau diri yang selama ini merupakan pokok isu dalam setiap penyelidikan filosofis.27 Berkaitan dengan pengetahuan Suhrawardi dalam bagian pembahasan fisika al-Talwihat dan alMasyari’ wa al-Mutharahat mampu membangun validitas pengetahuan. Mehdi mengatakan bahwa kesadaran akan esensi diidentifikasikan sebagai unsur penting jiwa rasional. Selajutnya dikatakan bahwa dalam hikmat alIsyraq sesuatu yang menyadari akan esensinya sendiri adalah “cahaya abstrak” (nur-mujjarad), yang kemudian disebut “cahaya diri yang hidup”. Oleh karena itu, jiwa rasional melalui “aktivitas” kesadaran diri yang diidentifikasi, atau merupakan konsep “cahaya abstrak”, mengaitkan tatanan kosmis dengan tatanan fisik melalui prisip kesadaran langsung.28 Terkait dengan itu, Seyyed Hossein Nasr, berangkat dari sabda Nabi bahwa Mehdi HairiYazdi, The Principles of Epistemologi, hlm. 2. 28 Hossein Ziai, Knowledge and illumination: a Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq (Georgia: Scolars Press, tth.), hlm. 148-149. 27 “DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016 ilmu adalah cahaya (al-‘ilmun nurun), menjelaskan bahwa pengetahuan yang direalisasikan tidak dapat kecuali merupakan realisasi dari cahaya, yang tidak hanya mengiluminasi akal, tetapi juga memperindah jiwa dan menyinari tubuh, sementara itu dari sudut pandang pelaksanaannya, relasi itu sendiri dibutuhkan sebagai kondisi pendahuluan dan latihan tubuh maupun jiwa, suatu pelatihan (riyadhah) yang menyiapkan mikrokosmos manusia untuk menerima “cahaya kemenangan” pengetahuan suci.29 Jadi dapat dikatakan bahwa kebenaran manusia atau semua makhluk ciptaan Allah sangat tergantung pada kadar sinar yang memancar mengenainya. Berdarakan penjelasan di atas, maka teori Ilmu al-Huduri memungkinkan dilakukannya pendekatan sistematis terhadap seluruh pokok masalah mitisisme dan perumusan suatu pendekatan filosofis terhadap pemikiran mitisisme yang bebas dari idionsikrasi intelektual yang sejauh ini menjadi ciri khas hubungan mitisisme dan filsafat.30Oleh karena 29 30 Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1990), hlm. 359. Mehdi HairiYazdi, The Principles of Epistemologi, hlm. 2. itu, selanjutnya agar pengetahuan dapat menyelamatkan harus direalisasikan oleh semua orang dan menegakkan semua mikrokosmos manusia. Mistisisme yang dirasionalkan oleh Mehdi Hairi Yazdi melalui ilmu al-Huduri dan kemudian dibahasakan denagan metamitisisme atau dalam pengertian lain melalui “ilmu ‘irfan”, tentunya menurut hemat penulis, hal ini tidak lepas dari languagegame yang telah diperkenalkan oleh Wittgennstein, yaitu ketika orang merasakan kehadiran sesuatu pada dirinya, baik itu kehadiran swaobjektivitas maupun emanatif. Hal itu tidak lepas dari bentuk-bentuk yang bersifat metafisika, kemudian dibahasakan dan dikomunikasikan kepada orang lain dalam bahasa sehari-hari. Untuk itu perlu disadari (introspeksi) bahwa yang telah dilakukan oleh orang yang telah mengalami kehadiran swaobjektivitas maupun dalam bentuk emansi; tidak dapat dengan utuk digambarkan dengan kata-kata karena lagi-lagi kemampuan manusia dalam mengungkapkannya sangat terbatas. Oleh karena itu, ketika dalam penjelasannya Wittegenstein, Russel atau ahli filsafat “DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016 17 bahasa lainnya memberi kesimpulan tentang metafisik adalah nonsense (bualan/tidak bermakna)31, sama saja mereka menghancurkan bangunan epistemologi secara umum. Pasalnya, epistemologi sendiri tidak lepas dari persoalan metafisika, dan metafisika tidak terlepas dari persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana Wittgenstein sendiri menyadari pada buku karangannya yang ke dua, Philosolhical Investigation terdapat penolakan terhadap pandangannya yang pertama (menolak metafisika). Sebab menurutnya bahasa itu digunakan tidak hanya untuk mengungkapkan proposisi-proposisi logis melainkan digunakan dalam banyak cara yang berbeda untuk mengungkapkan pembenaran, pernyataan-pernyataan, perintah, pengumuman dan banyak sekali gejala-gejala yang dapat diungkapkan dengan kata-kata.32 Sebagaimana yang dijelaskan Mehdi Hairi Yazdi mengenai Ilmu alHuduri, sejauh yang penulis pahami, mempunyai dua pengertian yang menjadi kunci dalam memahami 31Kaelan, Filsafat Perkembangannya 2002), hlm. 142. 32 Ibid., hlm. 145. 18 Bahasa: Masalah dan (Yogyakarta: Paradigma, maksud mistisisme secara rasional. Pertama, Ilmu al-Huduri mempunyai pengertian yang berarti hadir dalam kontek pengetahuan swaobjektivitas. Kedua, pengertian hadir dalam hubungannya dengan teori emanasi, baik yang dipahami melalui teori emansi yang diperkenalkan oleh Ibn Sina dalam ontologi dan kosmologinya, maupun Mulla Sadra melalui priramida eksistensial. Emanasi sebagai pendekatan dalam Ilmu al-Huduri Sebagaimana diketahui bahwa filsafat iluminasi menggunakan suatu bahasa khas, istilah-istilah etnis tertentu, dan menekankan suatu bentuk simbolik ekspresi yang didasarkan pada lebih luasa dan dalam prinsip, citra cahaya dan kegelapan. Simbolisme cahaya digunakan untuk wujud-wujud tertentu dan batas-batas wujud, bentuk dan materi, Tuhan, hal-hal yang terpikirkan baik primer maupun skunder, intelek jiwa, ipseity individual dan tingkatan-tingkatan intensitas pengalaman mistis.33Dengan demikian, dalam pengetahuan iluminasi, dimungkinkan oleh 33 Hossein Ziai, Knowledge and illumination, hlm. 27. “DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016 hubungan dengan tatanan malaikat, mentranformasikan kebenaran manusia daln menolongnya.Malaikat instrument iluminasi, karena menjadi alat penyelamat.Manusia turun dari “cahaya-cahaya signirial” dan dikembalikan kepada dunia ini serta disatukan kembali dengan sifat kemalaikatannya, “teman yang dipercaya” di mana manusia menemukan bagiannya yang murni sekali lagi.34 Dengan kata lain, posisi malaikat-malaikat terpenting berada di Timur (syarq) yang dibayangkan sebagi dunia cahaya murni tanpa materi, sedangkan Barat adalah dunia kegelapan dan dunia materi, kedua wilayah ini dipisahkan oleh bintang-bintang tetap yang berarti bahwa Timur dan Barat dipahami sebagai pengertian vertikal dan bukan horizontal.35 Sebagaimana telah diketahuai bahwa dalam filsafat Islam, teori emanasi mengenai hubungan Iluminasi menurun diawali oleh Ibnu Sina dalam penjelasannya mengenai Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis, terj. Suharsono dan Jamaluddin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 74. 35 Annemarie Schimmel, Dinmensi MIstik dalam Islam, terj., Supardi Djoko Damono, dkk. (Jakarta: Pustaka Fidaus, 1986), hlm. 270. 34 doktrin Aristoteles tentang Kausa efisien pertama.Menanggapi hal itu, lebih lanjut Mehdi menjelaskan bahwa seluruh pokok masalah yang diperbincangkan adalah masalah prinsip pertam, sebagai wujud wajib yang tunggal secara absolut, dan hanya melahirkan satu wujud yang sepenuhnya bergantung pada sumbernya.36Adapun emanasi menurutnya hanya dapat diungkap dengan frase berpreposisi. Realitas emanasi dianalogkan dengan arti kata-kata sambung dan preposisi, seperti “lahir dari…”, “bergantung pada…”, “diterangi oleh…”, dan lain sebagainnya, semua kata yang digunakan dalam definisi emanasi hanya berarti, seperti yang dapat dilihat, tinadakan murni, dan imenen oleh pelaku sebagai menifestasi kebenaran substansi, karena realitas emanasi tidak punya arti yyang jelas dan bias didefinisikan dalam diri sendiri terpisah dari prinsip subtansinya. Jadi realitas emansi tidak dapat didefinisiskan sebagai kata kerja ataupun kata benda, akan tetapi sebagaimana halnya sebuah preposisi hanya dapat dipahami 36 Mehdi Hairi Yazdi,The Principles of Epistemologi, hlm. 115. “DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016 19 dengan tepat dan bermakna jika dapat mengaitkannya dengan kata benda, dan kata kerja yang tepat. Yang kebenaran esensial emanasi sepenuhnya terletak dalam kebenaran sumber subtansinya.37Oleh karena itu, garis-garis emanasi bersifat vertikal horizontal. Hal itu disebabkan dalam teori emanasi tidak ada kemungkinan kehampaan eksistensial, yaitu intrupsi ketiadaan antara sebab pertama dan hal-hal utama yang beremanasi dari yang pertama. Karena merupakan amnifestasi dari iluminasi, suatu emanasi, baik yang ada pada peringkat efek pertama ataupun yang terakhir, seluruhnya tergantung pada prinsip terdekatnya. Prisip terdekat ini terus bergantung pada yang terdekat hingga semua tereduksi pada dan lebur dalam prisip pertama eksistensial.38 Mengenai diagram emanasi, dalam sistem “piramida eksistensi” cahaya eksistensi bersinar dari sumber cahaya pada puncak ke dasar piramida, yang melambangkan dunia objekobjek material.39 Diagram piramida kosmologi pencerahan tersebut, pembedaan antara sambungan vertikal dan horizontal di dalamnya, 37 38 39 20 Ibid., hlm. 125. Ibid.. Ibid., hlm. 105-106. harus dipertimbangkan dengan serius, tidak hanya dalam filsafat pencerahan akan tetapi juga dalam setiap analisis filosofis terhadap persoalaan mitisisme. Begitu juga sangat penting untuk memahami “kesatuan batin” dalam kaitannya dengan “keragamaan lahir” dari diagram, manakala orang menemukan peryataan-pernyataan yang paradoks tentang pengalaman mistik.40 Sejauh menyinggung ilmu huduri, pengetahuan Tuhan tentang alam semesta sebagai tindak emanatif-Nya, termasuk dalam jenis pengetahuan yang sama dengan pengetahuan diri mengenai penginderaan dan imajinasinya, juga mengenal keadaankeadaan pribadinya melalui kehadiran, yang dipahami dalam pengertian pencerahan dan supremasi, yang disebut kehadiran dengan emanasi.41Mehdi Hairi Yazdi selanjutnya menjelaskan dan mempertegas bahwa keseluruhan cahaya emanisi melimpah dari prisip pertama eksistensi, dengan begitu dapat dikatakan bahwa setiap wujud emanatif dicirikan oleh keadaannya sebagi efek imanen, atau aksi emanatif prinsipnya sendiri.Oleh sebab itu, semua wujud 40 41 Ibid., hlm. 127. Ibid., hlm. 103. “DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016 emanatif terjadi, jika digambarkan sebagi efek imanen, atau aksi emanatif dari sumber mereka. Menurut doktrin ini ada dua persamaan: mereka yang bersifat mungkin pada dirinya sendiri dalam pengertian bahwa mereka secara mutlak bukanlah apa-apa tanpa hubungan iluminasi dengan sumber mereka, dan mereka semua wujud yang wajib jika dibanding dalam kerangka hubungan mereka dengan prinsip tersebut, yamg merupakan wujud wajib dalam esensi dan tindakannya.42 Pada dasarnya status model emanasi merupakan sebuah argumen yang dirancang untuk memperoleh secara umum modalitas sebuah konsep dalam kaitannya dengan nilai kebenarannya dan pertimbangan eksistensinya, baik konsep tersebut bersifat empiris, transcendental atau sekedar ilusi. Asalkan ada sesuatu sebagai subjek dalam bentuk eksistensi proposisi, manusia mampu merancang struktur mode proposisi dan merumuskan apakah subjek itu bersifat “wajib”, “mungkin”, atau “mustahil”.43Umpamanya, dapat dipertimbangkan konsep 42 43 Ibid.,hlm. 117. A. E. Affifi, Filsafat Mistis Ibn Arabi (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), hlm. 23. transcendental tentang Tuhan dibandingkan dengan konsep predikatif eksistensi dari sudut pandang argument ini. Dengan meletakkan Tuhan sebagai subjek dan maka eksistensi sebagai predikat, diperoleh proposisi: “Tuhan Ada”. Dari itu selanjutnya dipertanyakan, apakah eksistensi Tuhan bersifat wajib atau mustahil?Manakala dua dari tiga alternative tersebut—dalam kasus eksistensi Tuhan, kemungkinan dan kemustahilan—dikesampingkan, maka satu yang tersisa yakni “wajib” (ada), jadi pernyataan tersebut berbentuk: “Tuhan Pasti Ada”.44 Realitas tindakan emansi adalah proposiaonal, Mehdi menegaskan, bahwa tindak emansi tidak perlu diragukan lagi, karena merupakan tindakan imanen dan tidak akan pernah bersifat transitf dan tidaklah berurusan dengan suatu wujud yang dibentuk oleh hubungan esensieksistensi, melaikan dengan entitas sederhana dan tidak terbagi, yang seluruh hakekatnya dikenal sebagai manifestasi sumber wujud. Inilah arti keadaan preposisional wujud yang menjadi ciri emanasi.Deskripsi 44 Mehdi HairiYazdi, The Principles of Epistemologi, hlm. 131. “DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016 21 tentang cara-cara untuk menjelaskan arti emanasi sudah cukup untuk menunjukkan bagaimana kebenaran proposisional harus dipahami.Dengan ini, maka sampai pada posisi untuk memahami bagaimana menggunakan kata “penyerapan” dan “peleburan”.45 Untuk jelasnya, bahwa eksistensi yang berasal dari Sumber Pertama, dan yang kedua berarti cahaya yang naik kepada sumber tersebut, namun dalam realitas keduanya adalah satu dan sama. Artinya, tidak ada kemungkinan membedakan antara keduanya sebagai entitas yang berbeda ketika digambarkan dari sudut yang berbeda. Apabila Tuhan mengetahui manusia sebagi emanasiNya dengan kehadiran, maka manusia sebagai wujud terserap juga mengetahui Tuhan dengan kehadiran pula. Oleh kerena itu, ada dua pengertian yang berbeda tentang “kehadiran”, sebagai mana pula ada dua peilustrasian yang berbeda bagi satu realitas emanasi. Kehadiran adalah emanatif karena ia memancar dari Tuhan, sedang kehadiran yang sama adalam penyerapan karena ia 45 22 Ibid., hlm. 138-140. mutlak tergantung terhadap Tuhan.46 Dalam teori emanasi tersebut pada prinsipnya sama, karena secara keseluruhan didasarkan pada teori sinar yang berasal dari wajib wujud yang terus memancar dan menyinari wujud yang berada di bawahnya, sehingga sampai pada “jiwa manusia”, yang berasal dari Wujud Wajib.47 Maka dari itu, ketika manusia mencapai fana kemudia fana al-fana (baqa), maka jiwa manusia akan bersatu dengan esensi Wajib al-Wujud (Tuhan), yaitu Tuhan dalam diri—dan diri dalam Tuhan, hal ini dapat terjadi sebab berasal dari satu Esensi yaitu Esensi Tuhan atau dalam teori Wahdat al-Wujud disebut monorealistik. Wal hasil, dari apa yang diuraikan, maka emanasi merupakan proses cahaya pertama—juga disebut cahaya terdekat—dari cahaya segala cahaya. Cahaya pertama benar-benar diperoleh perbedaan antara cahaya pertama dan cahaya segala cahaya hanya dalam tingkat intensitas yang relatif, yang menjadi ukuran kesempurnaan.Sedang cahaya segala cahaya sebagai cahaya 46 47 Ibid., hlm. 142. Ibid., hlm. 127-128. “DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016 yang benar-benar setia menyinari. Kemudian dari situlah akan nampak antara “emanasi” dan “penyerapan”, yaitu secara linguistic keduanya tidak simetris, karena “emanasi” berarti cahaya eksistensi yan bersumber dari Sumber Pertama. “Penyerapan” cahaya yang naik kepada sumber tersebut, namun pada dasarnya “emanasi dan penyerapan” adalah sama, artinya kedua hal tersebut bukan sebagai yang berbeda, yaitu yang satu beremanasi dari sumber, dan yang lain terserap dalam kebenaran sumber. Oleh karena itu, adalah benar jika diri sebagai sebagai bentuk emanasi dalam kesederhanaannya, dapat ditinjau dari dua sudut pandang yang berbeda; sebagai cahaya yang menurun dari sumber, dan sebagai cahaya yang naik menuju sumbernya. Selanjutnya yang disebut diri performatif adalah diri yang selalu bertindak dan mempersepsikan yang tidak pernah menjadi objek yang ditindaki dan dipersepsi, baik oleh diri sendiri atau oleh orang lain. Sekali lagi, sebagaimana pengetahuan introspeksi tentang diri dan tentang keadaan pikiran pribadi harus didemontrasikan denagn representasi yang analog dari kebenaran objektif realitasrealitas, begitu pula pengetahuan introspeksi tentang kebenaran mistik juga representasi yang analog dari pengetahuan swaobjektif mistisisme. Kesimpulan Mehdi Hairi Yazdi dengan gagasan pemikirannya, yang dituangkan dalam buku The Principles of Epistemologi in Islamic Philosophy Knowledge by Presence, khususnya dalam menjelaskan mitisisme, ia berangkat dari pemahaman kehadiran dalam pengetahuan swaobjektivitas (tentang pengalaman “rasa” atau “”dzawq”). Dari situlah, kemudian mistisisme secara rasional dijelaskan dengan pendekatan filsafat Isyraqiyyah. Dalam dua pengertian tentang Ilmu al-Huduri yang telah dipaparkan di atas dapat disepakati bahwa pandangan Mehdi Hairi Yazdi yang telah mengatakan bahwa mitisisme adalah merupakan pendekatan lain atas kesadaran manusia terhadap realitas dunia. Karena dalam kenyataannya Ilmu al-Huduri berkaitan dengan swaobjektivitas yaitu pengetahuan tentang “DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016 23 wujud bukan persepsi, maka logislah Mehdi Hairi Yazdi ketika menjelaskan mitisisme dalam pengertian dan transubtansi atau pengalaman uniter dapat dikomunikasikan atau dijelaskan dengan bahasa biasa, yaitu setelah seseorang yang telah mengalami transubtansi tersebut kembali kepada kesadaran biasa dan mengadakan perenungan secara filosofis atau disebut introspeksi diri dan kemudian mendeskripsikan hasil pengalamannya dalam bahasa keseharian. Daftar Pustaka Affifi, A. E. .Filsafat Mistis Ibn Arabi, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995. Bertens,K..Filsafat Barat Abad XX Jilid II, Jakarta: Gramedia, 1985. Kaelan, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya (Yogyakarta: Paradigma, 2002 Kartanegara, Mulyadhi. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2002. Nasr, Seyyed Hossein. dalam Pengantar bukuMehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri:Prinsip-Prinsip Epitemologi dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Mizan, 1996. ---------------------------. Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis, terj. Suharsosno, Yogyakarta: Putaka Pelajar, 1996. ----------------------------. Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1990. Schimmel, Annemarie. Dinmensi MIstik dalam Islam, terj., Supardi Djoko 24 “DINAMIKA” Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam Vol. 2 No 1, 2016