BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) 2.1.1. Taksonomi dan Tata Nama Taksonomi dari sengon adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Fabales Suku : Leguminoceae Sub famili : Mimosoidae Marga : Paraserianthes Jenis : falcataria (L.) Nielsen 2.1.2. Ekologi dan Penyebaran Alami Berdasarkan sejarah, sengon adalah jenis asli dari kepulauan sebelah Timur Indonesia yakni di sekitar Maluku dan Irian Jaya, merupakan jenis pionir, terutama terdapat di hutan hujan dataran rendah. Tahun 1870-an pohon ini menyebar keseluruh kawasan Asia Tenggara mulai dari Myanmar sampai Filipina. Habitat alami pohon sengon ditemukan di kepulauan Maluku, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Bismark. Tahun 1871 tanaman ini mulai dimasukkan ke Jawa tepatnya ke Kebun Raya Bogor (Atmosuseno 1998). Sejak itulah sengon mulai ditanam diberbagai tempat di Jawa sebagai tanaman pelindung perkebunan. Sengon dapat tumbuh dengan kisaran suhu 20─33oC dalam pertumbuhannya. Namun demikian, suhu optimum yang diperlukan oleh sengon berkisar antara 22─29oC. Sengon tumbuh mulai dari pantai hingga ketinggian 1600 mdpl, dengan ketinggian optimum 0─800 mdpl. Sengon dapat beradaptasi dengan iklim monsoon dan lembab dengan curah hujan 200─2700 mm/tahun dengan bulan kering sampai 4 bulan (Atmosuseno 1998). Pada dasarnya sengon dapat tumbuh pada tanah yang tidak subur tanpa dipupuk. Akan tetapi sengon tidak tumbuh pada lahan dengan drainase jelek. Dari pengamatan di lapangan, tanaman sengon dapat tumbuh baik pada tanah regosol, aluvial, dan latosol. Tanah-tanah tersebut bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dengan kemasaman tanah sekitar pH 6─7 (Santoso 1992). Sengon merupakan salah satu spesies yang paling cepat tumbuh di dunia, mampu tumbuh 8 m/tahun dalam tahun pertama penanaman. 2.1.3. Ciri Morfologi Tinggi pohon sengon dapat mencapai 40 m dengan tinggi bebas cabang 20 m. Pohon sengon memiliki ciri-ciri, yaitu tidak berbanir, kulit licin, berwarna kelabu muda, bulat agak lurus. Diameter pohon dewasa bisa mencapai 100 cm atau lebih. Tajuk berbentuk perisai, jarang selalu hijau. Daun majemuk, panjang dapat mencapai 40 cm, terdiri dari 15─25 helai daun. Daunnya kecil-kecil dan mudah rontok. Bunga tersusun dalam bentuk malai. Bunganya kecil sekitar 0,5─1 cm, berwarna putih kekuning-kuningan dan sedikit berbulu. Setiap kuntum bunga yang mekar berisi bunga jantan dan betina. Adapun cara penyerbukannya dibantu dengan perantaraan angin dan serangga. Buah sengon berbentuk polong, pipih, tipis, dan panjangnya sekitar 6─12 cm. Setiap polong buah berisi 15─30 biji. Biji tersebut biasanya terlepas dari polongnya yang terbuka bila terlalu masak. Bentuk biji dari sengon ini mirip perisai kecil, dan jika sudah tua biji tersebut berwarna cokelat kehitam-hitaman, agak keras dan berlilin (Santoso 1992). Perakaran sengon relatif menguntungkan dibandingkan akar pohon lainnya. Akar tunggangnya cukup kuat menembus ke dalam tanah. Semakin besar pohonnya semakin dalam akar tunggangnya menembus ke dalam tanah. Sementara itu, akar rambut dari pohon sengon tidak terlalu besar, tidak rimbun, dan tidak menonjol ke permukaan tanah. akar rambut sengon justru dimanfaatkan oleh pohon induk untuk menyimpan nitrogen. Maka dari itu, tanah disekitar pohon sengon akan menjadi subur (Santoso 1992). 2.1.4. Kegunaan dan Manfaat Sengon merupakan pohon serba guna yang memiliki beragam manfaat dari semua bagian pohonnya. Selain itu sengon menjadi salah satu pohon alternatif yang ditanam secara ekstensif untuk tujuan rehabilitasi lahan-lahan marginal. Dilihat dari karakteristik kayu sengon, kayu ini sangat sesuai dengan kebutuhan 4 industri. Adapun pohon sengon memiliki karakteristik masa tebang pohon yang relatif cepat, teknik budi daya mudah diaplikasikan, dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, kayu serba guna, dapat membantu menyuburkan tanah dan memperbaiki kualitas lahan (Siregar 2008). Kayu sengon banyak diusahakan untuk berbagai keperluan dalam bentuk kayu olahan berupa papan-papan dengan ukuran tertentu sebagai bahan baku pembuat peti, papan penyekat, industri korek api, pensil, papan partikel, serta bahan baku industri pulp dan paper. Daun sengon merupakan pakan ternak yang sangat baik dan mengandung protein tinggi. Selain sebagai pakan ternak, daun sengon yang berguguran akan menjadi pupuk hijau yang baik bagi tanah dan tanaman disekitarnya. Sementara itu, tajuk pohonnya yang rindang dapat dimanfaatkan sebagai pohon penaung di beberapa areal perkebunan (Siregar 2008). Kulit kayu sengon yang memiliki tannin dapat digunakan sebagai penyamak. Selain itu, sengon sebagai tanaman hutan juga memiliki jasa ekologis, diantaranya tegakan murninya yang dapat menahan erosi tanah dan air, serta berfungsi sebagai naungan pada penanaman campuran dengan teh, kopi dan cokelat (ICRAF 2006, diacu dalam Dwiyanti 2009). 2.2. Dasar─Dasar Genetika Molekuler 2.2.1. PCR (Polymerase Chain Reaction) Kary B. Mullis mengembangkan Polymerase Chain Reaction (PCR) pada tahun 1983, untuk merevolusi metodologi dari biologi molekuler. PCR yaitu suatu proses yang didasarkan pada reaksi enzimatik in-vitro dalam amplifikasi DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler. Nama PCR berasal dari kata DNA polymerase yang merupakan enzim yang berperan dalam replikasi DNA di dalam sel, disebut juga reaksi berantai (chain reaction) karena DNA polymerase akan melakukan replikasi secara terus─menerus sampai dengan sejuta kopi DNA yang diinginkan (Mader 2001, diacu dalam Husnaeni 2008). 5 Dalam uji PCR, terdapat tiga langkah temperatur terkendali yang dapat dilihat, dan siklus dari proses PCR ini dapat diulang berkisar antara 25─50 siklus. Menurut Bernard (1998) diacu dalam Siregar et al. (2008), PCR merupakan suatu teknik untuk memperbanyak potongan DNA spesifik. Ada empat komponen utama yang dibutuhkan untuk melakukan proses PCR yaitu: (i) DNA target, (ii) primer, (iii) DNA polymerase dan (iv) dNTP. Menurut Weising et al. (2005) ada lima komponen penting yang dibutuhkan untuk PCR yaitu: (i) Buffer, yang biasanya terdiri dari Tris-HCl, KCl dan MgCl2, (ii) DNA polymerase, (iii) dNTP, (iv) primer dan (v) DNA target. Selektivitas reaksi dalam proses PCR ini ditentukan oleh pemilihan primer. Primer yang terdiri dari potongan kecil DNA yang dihasilkan secara buatan dimana biasanya terdiri antara 10─25 nukleotida (oligonukleotida) melengkapi urutan template yang mengapit wilayah yang ditargetkan. Untuk memperhitungkan amplifikasi yang eksponensial, primer harus menempel pada arah yang berlawanan. Amplifikasi yang paling efisien untuk mengikat dua primer tidak lebih dari berkisar 4 kb. Namun, produk amplifikasi lebih dari 10 kb dapat diperoleh pada kondisi yang optimal (Weising et al. 2005). Dalam proses PCR langkah pertama dari siklus pertama, DNA template yang asli dibuat menjadi berberkas tunggal dengan meningkatkan suhu 94oC, dikenal dengan tahap denaturasi. Tahap denaturasi ini biasanya dilakukan agak lama (sampai 5 menit) untuk memastikan semua berkas DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak stabil sehingga menjadi tempat bagi primer. Pada langkah kedua, primer menempel pada DNA template. Hal ini biasanya dilakukan dengan menurunkan suhu sekitar 35─65oC, tahap ini dikenal dengan tahap annealing. Primer sebaiknya menempel pada daerah yang spesifik. Semakin panjang primer, maka semakin harus spesifik daerah yang diamplifikasi. Suhu yang tidak tepat menyebabkan terjadinya penempelan primer disembarang tempat. Langkah ketiga, suhu yang dipilih berkisar antara 65 oC─72oC. Suhu yang dipakai pada proses ini tergantung dari jenis DNA polymerase yang dipakai. Langkah ini dikenal dengan tahap pemanjangan atau elongasi. Produk PCR dari produk yang berbeda akan menghasilkan panjang sekuen yang berbeda. Hal ini dapat dideteksi dengan elektroforesis pada gel agarose. 6 2.2.2. Penanda Genetik Menurut Siregar dan Kusmana (2002), analisis keragaman suatu tanaman dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran terhadap performa fenotipe atau melalui penanda tertentu. Sifat fenotipe suatu tanaman dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genotipe dan lingkungan. Genotipe adalah informasi genetik yang mengontrol fenotipe yang diamati. Fenotipe suatu tanaman akan berbeda dengan tanaman yang lain. Penanda genetik merupakan alat terpenting untuk mempelajari sistem genetik pada banyak organisme. Penanda genetik banyak diterapkan pada program pemuliaan dan konservasi sumberdaya genetik hewan dan tumbuhan. Adapun kegunaan dari penanda genetik ini antara lain: identifikasi klon-klon, identifikasi hibrid, pengukuran keragaman genetik antar dan dalam populasi, pengamatan sistem reproduksi (meliputi sistem perkawinan dan aliran gen), bukti selektifitas (berkaitan dengan praktek pengelolaan hutan atau perubahan lingkungan) dan identifikasi lokus sifat kuantitatif atau Quantitative Train Loci (QTLs) (Finkeldey 2005). Menurut Karsinah et al. (2002), penanda genetik merupakan teknik yang efektif dalam analisis genetik dan telah diaplikasikan secara luas dalam pemuliaan tanaman. RAPD dihasilkan melalui proses amplifikasi DNA secara in-vitro dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) yang dikembangkan oleh Williams et al. 1990. Menurut Bernard (1998) diacu dalam Siregar et al. (2008), PCR merupakan suatu teknik untuk memperbanyak potongan DNA spesifik. Adapun menurut Finkeldey (2005), PCR adalah suatu metode untuk menggandakan atau mengamplifikasi DNA yang diisolasi pada sebuah tabung reaksi kecil dengan melalui replikasi berulang. Empat komponen utama yang dibutuhkan untuk melakukan proses yaitu: DNA target, primer, DNA polymerase, dan dNTP (Bernard 1998 dalam Siregar et al. 2008). Titik awal dari reaksi (primer) adalah oligonukleotida, yakni potongan kecil DNA yang dihasilkan secara buatan (biasanya terdiri antara 10─25 nukleotida). Sekuensi basa dari primer dapat dipilih secara bebas. Menurut Demeke dan Adams (1994) yang diacu dalam Karsinah et al. (2002), prosedur RAPD lebih murah, lebih cepat, membutuh sample DNA lebih 7 rendah (0,5–50 ng), tidak membutuhkan radioisotip, dan tidak terlalu membutuhkan keahlian untuk pelaksanaannya. Teknik RAPD akan mendeteksi polimorfisme DNA yang diakibatkan oleh tidak munculnya amplifikasi pada suatu lokus. Hal ini disebabkan oleh perbedaan urutan pada titik pertemuan primer. Ini mengakibatkan primer tidak dapat menempel pada bagian tersebut sehingga tidak terjadi amplifikasi. Oleh karena itu, hanya ada dua kemungkinan alel pada penanda RAPD, yaitu timbulnya pita pendek sebagai hasil amplifikasi atau tidak adanya pita karena tidak adanya amplifikasi. Penanda yang demikian disebut dominant marker. Pita yang berbeda ukurannya dari suatu primer RAPD diasumsikan berasal dari lokus yang berbeda. Metode RAPD ini mampu mendeteksi sekuen nukleotida dengan hanya menggunakan suatu primer atau nukleotida yang disusun secara acak. Dengan teknik ini keragaman genetik suatu populasi dapat dianalisis. Secara teoritis jumlah fragmen yang diamplifikasi tergantung pada panjang primer dan ukuran genom target. Pada kebanyakan tanaman, primer dengan panjang antara 9─10 nukleotida dapat menghasilkan antara 2─10 produk amplifikasi. 2.3. Keragaman Genetik Keragaman genetik adalah suatu besaran yang mengukur variasi fenotipe yang disebabkan oleh faktor-faktor genetik (Finkeldey 2005). Keragaman genetik juga merupakan perbedaan gen individu dalam suatu populasi dan berhubungan dengan kemampuan beradaptasinya suatu individu selama proses perkembangannya. Dalam suatu individu memiliki beberapa keragaman diantaranya keragaman provenan (keragaman geografis), keragaman antar tempat tumbuh (lokal), dan keragaman antar pohon. Variasi genetik terjadi karena adanya gen-gen yang bersegresi dan berinteraksi dengan gen-gen lain. Keragaman genetik dari suatu tanaman merupakan hasil dari perkembangbiakan secara seksual. Perkembangbiakan seksual terjadi karena adanya proses reduksi jumlah kromosom diploid (2n) dan sel tetua menjadi haploid (n) dalam gamet (Crowder 2006). Menurut Finkeldey (2005), keragaman genetik dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu keragaman dalam populasi (intra-population) dan keragaman 8 antar populasi (inter-population). Mengukur keragaman genetik dalam populasi adalah menghitung ukuran variasi genetik dalam populasi dari suatu populasi tunggal. Adapun ukuran-ukuran yang digunakan untuk mencirikan variasi genetik dalam populasi adalah Persentase Lokus Polimorfik (PLP), jumlah alel yang diamati (na), jumlah alel yang efektif (ne), dan keragaman gen (He). Sedangkan keragaman genetik antar populasi dapat diukur dari jarak genetik dan diferensiasi genetik (Gst). Besarnya keragaman genetik dapat dijadikan tolak ukur dalam menduga keberhasilan perbaikan genetik dalam kegiatan pemuliaan. 9