22 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyakit

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Penyakit kardiovaskular adalah penyakit yang menyerang jantung dan pembuluh
darah, yang secara umum dibedakan atas penyakit jantung bawaan (congenital heart
diseases)
dan
penyakit
jantung
didapat
(acquired
heart
diseases).
Penyakit
kardiovaskular merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian diseluruh dunia. Pada
tahun 2005, penyakit ini menyebabkan 17,5 juta kematian, yaitu sekitar 30% dari total
kematian pada tahun tersebut (Lindholm and Mendhis, 2007). Angka kematian akibat
kelainan kardiovaskular diperkirakan akan meningkat menjadi 25 juta orang pada tahun
2020, atau sekitar 37% dari total kematian yang diperkirakan. Selain memiliki angka
kematian yang tinggi, penyakit kardiovaskular juga berkaitan dengan beban kesehatan
yang besar. Pada tahun 1990, penyakit ini menimbulkan 134 juta DALY (disability
adjusted life-years), yang merupakan 10% dari total DALY pada saat tersebut. Nilai
DALY akibat kelainan ini akan mencapai 204 juta pada tahun 2020 atau sekitar 15% dari
total DALY yang terjadi pada tahun tersebut (Neal, Chapman and Patel, 2002).
Diantara penyakit kardiovaskular, penyakit jantung koroner atau PJK (coronary
artery diseases atau CAD) merupakan penyakit yang paling sering terjadi dengan tingkat
mortalitas yang tinggi. PJK merupakan penyebab utama kematian pada hampir semua
negara didunia. Di Amerika Serikat, tingkat kematian PJK adalah 144,4 per 100.000
populasi. American Heart Association (AHA) menyebutkan bahwa pada tahun 2008,
22
sekitar 770.000 orang Amerika mengalami serangan pertama jantung koroner dan sekitar
430.000 orang menderita serangan berulang. Selain itu, sekitar 190.000 orang mengalami
komplikasi penyakit koroner (infark miokard) setiap tahun. AHA melaporkan bahwa
setiap 26 detik, 1 orang Amerika akan mendapat penyakit jantung koroner dan setiap
menit, 1 orang Amerika meninggal karena penyakit ini. Pada tingkat global, 3,8 juta lakilaki dan 3,4 juta wanita meninggal akibat PJK setiap tahun (WHO, 2004).
Beban PJK bukan hanya terjadi pada negara-negara maju tetapi juga pada negara
berkembang. Sekitar 60% dari total kematian PJK terjadi di negara-negara berkembang
(Tardif, 2010). WHO menyebutkan bahwa pada tahun 2004, sekitar 80% kematian dan
beban PJK terjadi di negara-negara yang memiliki pendapatan rendah atau menengah
(WHO, 2007).
Di Indonesia, belum ada data lengkap mengenai epidemiologi penyakit
kardiovaskular. Namun berdasar data yang tersedia, tingkat mortalitas dan morbiditas
penyakit ini cukup besar. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001
menunjukkan bahwa proporsi kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah
berkisar 26,3% dari seluruh kematian dan menduduki peringkat pertama penyebab
kematian umum (Surkesnas, 2002). SKRT 2004 melaporkan bahwa sekitar 2,2%
penduduk Indonesia yang berusia diatas 15 tahun pernah didiagnosis menderita penyakit
jantung dan sekitar 1,3% penduduk Indonesia pernah didiagnosis menderita penyakit
jantung angina (Depkes, 2007). Riset Kesehatan Dasar Indonesia 2007 melaporkan
bahwa prevalensi penyakit jantung berdasar wawancara berkisar 7,2% dan berdasar
riwayat didiagnosis oleh tenaga kesehatan berkisar 0,9% (Balitbangkes, 2008).
23
Selain itu, Profil Kesehatan Indonesia 2006 melaporkan bahwa penyakit-penyakit
yang berhubungan erat dengan sistem kardiovaskular, seperti stroke dan hipertensi,
memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Stroke dilaporkan sebagai salah
satu penyebab utama kematian di Indonesia. Pada tahun 2005, penyakit ini menyebabkan
lebih 4.000 kematian atau sekitar 5,2% dari jumlah kematian pada tahun tersebut.
Prevalensi penyakit stroke dilaporkan berkisar 8,3 per 1.000 penduduk, dan berdasar
diagnosis tenaga kesehatan berkisar 6 per 1.000 penduduk. Hipertensi dilaporkan sebagai
penyakit nomor dua terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit-rumah sakit.
Prevalensi hipertensi pada penduduk Indonesia yang berusia 18 tahun keatas berkisar
31,7% berdasar pemeriksaan tekanan darah dan sekitar 7,2% berdasar diagnosis dari
tenaga kesehatan (Balitbangkes, 2008).
Untuk mencegah timbul dan memberatnya PJK dapat dilakukan tiga jenis
penatalaksanaan, yaitu penatalaksanaan non-farmakologis, farmakologis dan tindakantindakan khusus. Penatalaksanaan non-farmakologis adalah tindakan memperbaiki faktorfaktor risiko kardiovaskular dengan melakukan perubahan gaya hidup (lifestyle
modification). Penatalaksanaan farmakologis adalah tindakan penggunaan obat-obatan
yang bertujuan memperbaiki faktor risiko kardiovaskular serta mencegah timbul dan
memberatnya PJK. Obat-obatan yang banyak digunakan adalah anti-platelet (seperti
aspirin dan clopidogrel), anti-angina (seperti nitroglycerine), anti-kolesterol (seperti
statin dan gemfibrozil), anti-hipertensi, obat diabetes dan sebagainya. Pada kasus-kasus
tertentu dapat dilakukan tindakan-tindakan khusus, seperti pemasangan balon
24
(angioplasty), pemasangan cincin koroner (stent) dan tindakan operasi (coronary artery
bypass graft) (Gaziano, et al., 2006).
Diantara ketiga penatalaksanaan ini, upaya non-farmakologis lewat perubahan
gaya hidup dianggap sebagai komponen utama penatalaksanaan PJK. Perubahan gaya
hidup adalah tindakan mengubah atau memodifikasi gaya hidup dengan tujuan
mengurangi timbul dan memberatnya PJK. Hingga saat ini, telah terdapat banyak
penelitian yang melaporkan efektivitas program perubahan gaya hidup dalam
menurunkan faktor risiko dan penyakit kardiovaskular. Pada penelitian-penelitian
tersebut disimpulkan bahwa perubahan gaya hidup memiliki keefektifan klinik (clinically
effective). Dalam suatu studi multicenter yang membandingkan secara langsung (face to
face) peranan perubahan gaya hidup dengan penatalaksanaan lain pada penderita PJK,
didapatkan bahwa perubahan gaya hidup yang dilakukan secara teratur menghindarkan
penderita dari tindakan revaskularisasi seperti percutaneous transluminal coronary
angioplasty (PTCA) dan coronary artery bypass graft (CABG). Dari penderita PJK yang
menjalankan program perubahan gaya hidup, sekitar 77% terhindar dari tindakan
revaskularisasi. Program perubahan gaya hidup juga memiliki keefektifan pembiayaan
(cost-effective). Studi yang dilakukan oleh Ornish pada tahun 1998 mendapatkan bahwa
rerata biaya 1 tahun program perubahan gaya hidup adalah US$ 7.000. Biaya ini jauh
lebih rendah dibandingkan dengan biaya PTCA yang berkisar US$ 31.000 dan CABG
yang berkisar US$ 46.000 (Ornish, 1998). Perubahan gaya hidup juga efektif dalam
pencegahan kelainan kardiovaskular dan penyakit-penyakit lain. Sejumlah studi
melaporkan efektivitas ini. Diantaranya adalah hasil meta-analisis yang dilakukan oleh
25
Janssen dkk. terhadap 23 studi acak yang melibatkan 11.085 pasien. Dalam analisis
tersebut didapatkan bahwa program perubahan gaya hidup berhubungan dengan
penurunan kematian akibat semua penyebab (odds-ratio atau OR 1,34), penurunan
kematian kardiovaskular (OR 1,48) serta penurunan perawatan rumah sakit dan kejadian
infark non-fatal (OR 1,35) (Janssen, et al., 2012).
Sejalan dengan hal ini, WHO
menyebutkan bahwa sekitar 80% kematian kardiovaskular dapat dicegah dengan
perubahan gaya hidup. Selain memberi manfaat pada penderita kelainan kardiovaskular,
perubahan gaya hidup juga bermanfaat bagi penderita penyakit tidak menular lainnya
(seperti diabetes, kanker dan sindrom metabolik) serta pada masyarakat yang tidak
menderita penyakit. Karena efektivitasnya, perubahan gaya hidup dianjurkan untuk
dipraktikkan dalam semua tingkat penatalaksanaan kelainan kardiovaskular (WHO,
2009).
Dalam perubahan gaya hidup, individu dimotivasi dan difasilitasi untuk
memperbaiki faktor-faktor yang memudahkan timbul dan memberatnya kelainan
kardiovaskular. Dalam epidemiologi klinis, faktor-faktor yang memudahkan timbulnya
kelainan kardiovaskular disebut sebagai faktor risiko dan faktor-faktor yang dapat
memperberat atau mempengaruhi perjalanan penyakit kardiovaskular yang telah ada
disebut sebagai faktor prognosis (Fletcher and Fletcher, 2005). Meski terdapat perbedaan
antara istilah faktor risiko dan faktor prognosis, dalam praktiknya istilah faktor risiko
sering digunakan untuk menggambarkan faktor risiko dan faktor prognosis secara
bersamaan. Untuk kesamaan terminologi dalam disertasi ini, istilah faktor risiko
digunakan untuk menggambarkan faktor-faktor yang dapat mempermudah timbulnya
26
penyakit kardiovaskular serta faktor-faktor yang dapat memperberat atau mempengaruhi
perjalanan penyakit kardiovaskular yang telah ada.
Faktor risiko PJK adalah faktor-faktor yang memudahkan timbul dan
memberatnya PJK. Secara umum, faktor risiko ini dibedakan atas faktor risiko yang tidak
dapat diubah (seperti umur, jenis kelamin, ras dan riwayat keluarga menderita kelainan
PJK) dan faktor risiko yang dapat diubah (seperti kebiasaan merokok, diet, aktivitas fisik
yang kurang, kegemukan, tekanan darah tinggi, penyakit diabetes dan sebagainya).
Secara umum dikatakan bahwa semakin banyak dan berat faktor risiko yang dimiliki
individu, semakin besar pula kemungkinan timbul dan memberatnya PJK (Mackay and
Mensah, 2004). Untuk memperbaiki faktor-faktor risiko tersebut, individu dimotivasi dan
difasilitasi untuk menghentikan kebiasaan merokok, melakukan aktivitas fisik teratur
atau berolahraga, mengkonsumsi diet sehat, menghindari stres berlebihan dan melakukan
perubahan gaya hidup sehat lainnya. Memperbaiki faktor-faktor risiko ini dapat
mencegah timbulnya PJK serta memberatnya perjalanan PJK yang telah ada.
Perubahan gaya hidup dapat dicapai lewat 3 strategi utama, yaitu pendidikan
kesehatan (health education), promosi kesehatan (health promotion) dan program
intervensi langsung (direct intervention). Strategi-strategi ini dapat dijalankan secara
terpisah dan dapat pula digabung.
Pendidikan kesehatan (health education) adalah strategi yang bertujuan
meningkatkan pengetahuan kesehatan individu agar individu dapat melakukan perubahan
gaya hidup. Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap perubahan gaya hidup bersifat tidak
langsung tetapi melalui faktor antara, yaitu pengetahuan (knowledge), kepercayaan
27
(belief) dan sikap (attitude). Strategi pendidikan kesehatan umumnya dilakukan lewat
konseling, yaitu proses pemberian bantuan kognitif dan dukungan psikososial yang
dilakukan oleh konselor terhadap individu, keluarga individu atau kelompok. Secara
umum, konseling dapat dibedakan atas 3 jenis, yaitu brief advice, behavior change dan
motivational interview. Perbedaan jenis konseling ini terletak pada tujuan, lama dan
kedalaman materi yang disampaikan (Miller and Rollnick, 2002).
Promosi kesehatan (health promotion) merupakan strategi penting dalam
perubahan gaya hidup. Meski sebagian ahli menganggap pendidikan kesehatan adalah
bagian dari promosi kesehatan, sebagian ahli lain membedakan kedua strategi ini.
Pendidikan kesehatan dianggap lebih terfokus pada individu sedangkan promosi
kesehatan lebih terfokus pada aspek-aspek non-individu yang mempengaruhi perubahan
perilaku. Kegiatan yang dilakukan pada program promosi kesehatan meliputi komunikasi
kesehatan (penggunaan teknik komunikasi yang dapat mempengaruhi individu, populasi
dan organisasi, termasuk penggunaan media massa untuk menyampaikan pesan
kesehatan), self-help (komunikasi kondusif antara orang-orang yang memiliki persoalan
dan pengalaman yang sama dengan tujuan sharing information dan social support),
perubahan organisasi (proses atau kebijakan pada tingkat organisasi yang menciptakan
lingkungan kondusif bagi terjadinya perubahan perilaku), pengembangan dan mobilisasi
komunitas (kegiatan membantu komunitas untuk menemukan persoalan yang mereka
hadapi dan mencarikan jalan keluar), pengembangan kebijakan (penggunaan kebijakan
publik untuk terciptanya perubahan gaya hidup sehat) serta advokasi (komitmen politik
untuk tercapainya program perubahan gaya hidup) (WHO, 2012).
28
Selain pendidikan kesehatan dan promosi kesehatan, perubahan gaya hidup dapat
difasilitasi oleh program intervensi langsung (direct intervention), yaitu program yang
berisi kegiatan yang berkaitan langsung dengan upaya berhenti merokok, diet sehat dan
aktivitas fisik/olahraga. Jenis program intervensi langsung amat bervariasi dan setiap
penyelenggara program dapat memilih jenis program yang akan dijalankan sesuai tujuan,
target, cakupan dan pembiayaan yang tersedia. Contoh intervensi langsung yang
berkaitan dengan upaya berhenti merokok adalah pendirian klinik berhenti merokok dan
penyediaan terapi pengganti nikotin (nicotine replacement therapy). Program intervensi
yang berkaitan dengan aktivitas fisik antara lain berupa pembagian pedometer kepada
individu, pelaksanaan kegiatan aerobik atau olahraga teratur serta pemberian akses
penggunaan gymnasium. Sementara program yang berkaitan dengan diet sehat antara lain
berupa pembagian minyak goreng atau buah-buahan tertentu, pembagian video atau kaset
yang berkaitan dengan diet atau nutrisi, pembagian menu diet tertentu seperti Dietary
Approach to Stop Hypertension (DASH), pembagian kupon makanan sehat dan
sebagainya (AHA, 2010).
Diantara semua strategi perubahan gaya hidup, pendidikan kesehatan lewat
konseling dianggap sebagai strategi utama. Pada hampir semua program perubahan gaya
hidup, kegiatan konseling selalu diikutsertakan. Artinian dkk. melakukan analisis
komprehensif program perubahan gaya hidup di Amerika Serikat dan menyimpulkan
bahwa program konseling, baik secara individu maupun kelompok, merupakan strategi
yang selalu digunakan pada hampir semua program perubahan gaya hidup (AHA, 2010).
Konseling dianggap penting karena merupakan strategi efektif dalam perubahan gaya
29
hidup. Hingga kini, terdapat berbagai studi yang menunjukkan efektivitas konseling, baik
sebagai strategi tunggal maupun gabungan dengan strategi lain, dalam program
perubahan gaya hidup. Studi meta-analisis terhadap 20 penelitian yang dilakukan oleh
Lancaster dan Stead (2004) menunjukkan bahwa konseling singkat (brief advice) yang
dilakukan oleh dokter meningkatkan jumlah orang yang berhenti merokok paling tidak
dalam waktu enam bulan. Sejalan dengan hal ini, Cochrane Collaboration menyimpulkan
bahwa “Even brief advice by a health care professional increases the probability of a
smoker quitting and, as a result, this method is highly cost effective.” (Lancaster and
Stead, 2004). Berkaitan dengan aktivitas fisik, konseling juga memiliki peran penting
sebagaimana yang disimpulkan oleh Ockene dan Hebert pada tahun 1996 serta Calfas
dkk. pada tahun 2000 bahwa konseling singkat dapat mempengaruhi dan membantu
pasien melakukan perubahan diet dan peningkatan aktivitas fisik (AMA, 2010).
Untuk meningkatkan efektivitasnya, konseling perlu dikombinasi dengan metodemetode lain, seperti pembagian materi cetak (brosur, pamflet, leaflet, booklet), peragaan
alat audio-visual (penggunaan video, tape recorder, televisi) serta penggunaan alat-alat
komunikasi (email, internet dan telepon). Sejumlah studi melaporkan terdapatnya
peningkatan efektivitas apabila konseling dikombinasikan dengan metode-metode lain.
Ahluwalia dkk., misalnya, menunjukkan bahwa gabungan konseling dengan penggunaan
alat audio-visual meningkatkan efektivitas konseling sebesar 35% (Ahluwalia, 2004).
Selain dikombinasikan dengan metode lain, konseling juga perlu dilakukan secara
berulang atau dilanjutkan dengan follow-up teratur. Semakin sering konseling dilakukan
semakin besar tingkat efektivitasnya. Follow-up teratur juga meningkatkan efektivitas
30
konseling. AHA menganjurkan agar kegiatan konseling diikuti dengan follow-up paling
tidak dalam beberapa bulan setelah kegiatan pertama konseling diberikan (AHA, 2009).
Di Indonesia, Departemen Kesehatan dan jajarannya telah memfasilitasi dan
menjalankan sejumlah program perubahan gaya hidup lewat pendikan kesehatan, promosi
kesehatan dan program-program intervensi. Pada tingkat individu, strategi perubahan
gaya hidup umumnya dilakukan lewat konseling perorangan atau kelompok, dimana
konselor
menyampaikan pesan-pesan
kesehatan
kepada
target
dengan
tujuan
meningkatkan pengetahuan kesehatan dan memudahkan target melakukan perubahan
perilaku sehat. Konseling merupakan kegiatan yang rutin dilakukan dalam praktik
pelayanan kesehatan diberbagai tempat, seperti ruang praktik dokter pribadi, klinikklinik, pusat kesehatan masyarakat dan rumah sakit. Konseling juga dilaksanakan pada
tingkat komunitas, seperti pada posyandu, pembangunan kesehatan masyarakat desa, pos
kesehatan pesantren, usaha kesehatan sekolah dan sebagainya. Untuk meningkatkan
efektivitasnya, kegiatan konseling biasanya disertai dengan pembagian materi cetak
seperti brosur, pamflet dan leaflet. Kombinasi kegiatan konseling dan pembagian materi
cetak umumnya dilaksanakan di puskesmas-puskesmas lewat kegiatan Penyuluhan
Kesehatan Masyarakat (PKM) dan di rumah sakit-rumah sakit lewat kegiatan Penyuluhan
Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS). Pada institusi yang memiliki sarana
lengkap, pendidikan kesehatan atau konseling kadang dilengkapi dengan presentasi video
dan pembagian compact disk (CD) berkaitan dengan topik yang dibahas.
Meski program perubahan gaya hidup seperti disebutkan di atas sudah rutin
dijalankan di Indonesia, sepanjang yang diketahui, belum ada program perubahan gaya
31
hidup di Indonesia yang secara terstruktur menggabungkan metode-metode di atas.
Hingga kini, misalnya, belum ditemukan adanya program yang secara teratur memfollow-up pasien paska-konseling, baik lewat pengulangan konseling maupun follow-up
lewat telepon, email atau media komunikasi lainnya.
Selain itu, sepanjang yang diketahui, belum ada studi di Indonesia yang meneliti
efektivitas program perubahan gaya hidup terhadap faktor risiko dan risiko
kardiovaskular mayor pada penderita kelainan kardiovaskular. Kurangnya informasi
tentang hal ini menyebabkan perubahan gaya hidup sering dianggap sebagai
penatalaksanaan yang kurang memiliki bukti ilmiah (evidence base) dan kurang penting
dibandingkan dengan penatalaksanaan kardiovaskular lainnya. Adanya penelitian tentang
efektivitas program perubahan gaya hidup akan membantu meningkatkan pemahaman
tentang pentingnya upaya ini dalam penatalaksanaan kelainan kardiovaskular.
1.2. Rumusan Masalah
Penyakit-penyakit kardiovaskular, terutama PJK, merupakan penyebab utama
kesakitan dan kematian diseluruh dunia. Diberbagai negara saat ini, penyakit PJK
menempati urutan pertama penyakit tersering dan penyebab kematian. Penyakit ini juga
menimbulkan beban kesehatan yang besar, terutama di negara-negara berkembang.
Meski belum ada data lengkap dan detail mengenai epidemiologi penyakit kardiovaskular
di Indonesia, laporan yang tersedia menyebutkan bahwa penyakit ini memiliki tingkat
morbiditas
tersering
dan
di
mortalitas
Indonesia.
yang
tinggi.
Penyakit-penyakit
PJK
yang
merupakan
penyebab
berhubungan
kematian
dengan
sistem
32
kardiovaskular, seperti stroke dan hipertensi, juga menjadi penyebab utama kunjungan
rumah sakit dan penyebab utama kematian di negeri ini. Selain itu, prevalensi faktor
risiko kardiovaskular, seperti kebiasaan merokok, diet tidak sehat, kegemukan serta
kurangnya aktivitas fisik juga cukup besar. Akibat tingginya tingkat morbiditas dan
mortalitas penyakit kardiovaskular, Indonesia menghadapi beban ganda dalam bidang
kesehatan. Disatu pihak, penyakit-penyakit infeksi dan menular belum dapat
dikendalikan sepenuhnya, dipihak lain muncul penyakit kardiovaskular dengan tingkat
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Penatalaksaan PJK bertujuan mencegah timbul dan memberatnya penyakit ini.
Penatalaksanaan PJK dapat berupa tindakan non-farmakologis, farmakologis dan
tindakan khusus. Tindakan non-farmakologis merupakan tindakan tanpa obat yang
bertujuan memotivasi dan memfasilitasi individu memperbaiki gaya hidup dengan
berhenti merokok, melakukan diet sehat serta melakukan aktivitas fisik/olahraga secara
teratur.
Tindakan
farmakologis
menggunakan
berbagai
jenis
obat
dalam
penatalaksanaannya, seperti obat-obatan anti-platelet, anti-angina, anti-kolesterol, obat
hipertensi dan diabetes. Sedangkan tindakan khusus meliputi tindakan kateterisasi dengan
balon dan pemasangan stent (PTCA) serta tindakan operasi (CABG).
Diantara ketiga penatalaksanaan tersebut, tindakan non-farmakologis lewat
perubahan gaya hidup merupakan komponen utama karena upaya ini dapat mencegah
penyakit
kardiovaskular, memperbaiki faktor-faktor risiko serta memperlambat
progresivitas penyakit. Perubahan gaya hidup
juga bersifat cost-effective, praktis
dijalankan serta memiliki efek samping minimal. Selain itu, perubahan gaya hidup juga
33
dapat dilakukan oleh kebanyakan orang, termasuk penderita kelainan kardiovaskular.
Karena perannya yang penting, perubahan gaya hidup dianjurkan dipraktikkan pada
semua tingkat penatalaksanaan penyakit kardiovaskular.
Untuk mencapai perubahan gaya hidup dapat dilakukan tiga strategi utama, yaitu
pendidikan kesehatan, promosi kesehatan dan program intervensi langsung. Diantara
ketiga strategi ini, pendidikan kesehatan lewat konseling merupakan strategi utama dan
merupakan dasar dari program perubahan gaya hidup. Dengan pendidikan kesehatan,
individu dapat mengalami peningkatan pengetahuan (knowledge) dan sikap (attitude)
kesehatan yang pada akhirnya meningkatkan praktik (practice) kesehatan mereka,
termasuk mengubah gaya hidup menjadi gaya hidup sehat.
Untuk meningkatkan efektivitasnya, konseling perlu dikombinasi dengan metodemetode lain, seperti pembagian materi cetak ((brosur, pamflet, leaflet, booklet), peragaan
alat audio-visual (penggunaan video, tape recorder, televisi) serta penggunaan alat-alat
komunikasi (email, internet dan telepon). Selain itu, konseling juga perlu dilakukan
secara berulang atau dilanjutkan dengan follow-up teratur. Kombinasi konseling dengan
metode lain serta pengulangan/follow-up konseling meningkatkan efektivitas program
dalam mencapai perubahan gaya hidup.
Di Indonesia, program perubahan gaya hidup umumnya dilaksanakan lewat
konseling pribadi atau kelompok. Aktivitas ini rutin dipraktikkan, baik secara formal
maupun non-formal, diberbagai institusi pelayanan kesehatan, seperti pusat kesehatan
masyarakat dan rumah sakit. Kegiatan konseling biasanya disertai pembagian materi
34
cetak seperti brosur, leaflet, pamflet dan booklet. Pada institusi yang lebih lengkap,
strategi konseling kadang dilengkapi dengan pemutaran video.
Meski program perubahan gaya hidup telah rutin dipraktikkan di Indonesia,
sejauh yang diketahui, hingga kini belum belum ada program yang menggunakan strategi
gabungan IDE KONSULEN (yaitu gabungan video presentasi, konseling individu,
pembagian brosur dan follow-up lewat telepon). Selain itu, sepanjang yang diketahui
belum ada studi yang mempelajari efektivitas program perubahan gaya hidup terhadap
faktor risiko dan risiko kardiovaskular mayor, baik pada penderita maupun bukan
penderita PJK.
Dalam penelitian ini, terdapat tiga masalah utama yang akan ditinjau, yaitu:
1. Apakah program perubahan gaya hidup gabungan IDE KONSULEN (gabungan
presentasi video, konseling, pembagian brosur dan follow-up lewat telepon) akan
memperbaiki faktor risiko dan risiko kardiovaskular mayor pada penderita PJK di
Indonesia?
2. Apakah program perubahan gaya hidup gabungan IDE KONSULEN (gabungan
presentasi video, konseling, pembagian brosur dan follow-up lewat telepon) akan
memperbaiki faktor risiko dan risiko kardiovaskular mayor pada masyarakat
bukan penderita PJK di Indonesia?
3. Apakah program perubahan gaya hidup gabungan IDE KONSULEN (gabungan
presentasi video, konseling, pembagian brosur dan follow-up lewat telepon) akan
memberi manfaat berbeda terhadap penderita dan bukan penderita PJK di
Indonesia?
35
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan umum
Memperoleh informasi tentang pengaruh program perubahan gaya hidup
gabungan IDE KONSULEN (gabungan presentasi video, konseling, pembagian materi
brosur dan follow-up lewat telepon) terhadap faktor risiko dan risiko kardiovaskular
mayor pada kelompok penderita dan bukan penderita PJK.
1.3.2. Tujuan khusus
a. Mengukur pengaruh program perubahan gaya hidup gabungan IDE
KONSULEN (gabungan presentasi video, konseling, pembagian materi brosur
dan follow-up lewat telepon) terhadap faktor risiko dan risiko kardiovaskular
mayor pada penderita PJK yang berobat ke rumah sakit jantung (RSJ)
Harapan Kita Jakarta.
b. Mengukur pengaruh program perubahan gaya hidup gabungan IDE
KONSULEN (gabungan presentasi video, konseling, pembagian brosur dan
follow-up lewat telepon) terhadap faktor risiko dan risiko kardiovaskular
mayor pada kelompok masyarakat yang tidak menderita PJK yang bertempat
tinggal di sekitar RSJ Harapan Kita, Jakarta.
c. Membandingkan pengaruh program perubahan gaya hidup gabungan IDE
KONSULEN (gabungan presentasi video, konseling, pembagian brosur dan
follow-up lewat telepon) terhadap faktor risiko dan risiko kardiovaskular
mayor pada kelompok penderita PJK yang berobat ke RSJ Harapan Kita dan
36
kelompok bukan penderita PJK yang bertempat tinggal di sekitar RSJ Harapan
Kita, Jakarta.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Diharapkan hasil penelitian ini memberikan informasi ilmiah bagi masyarakat dan
pemerintah tentang pengaruh program perubahan gaya hidup terhadap faktor
risiko dan risiko kardiovaskular mayor.
2. Diharapkan hasil penelitian ini memberikan dorongan bagi penderita kelainan
kardiovaskular dan masyarakat umum untuk melakukan perubahan gaya hidup
sebagai upaya mencegah dan mengurangi faktor risiko dan risiko kardiovaskular
mayor.
3. Diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat bagi pemerintah dalam merancang,
mengaktifkan serta meningkatkan kualitas dan kuantitas program perubahan gaya
hidup sebagai upaya mengurangi faktor risiko dan risiko kardiovaskular mayor.
4. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan data dasar untuk penelitian
perubahan gaya hidup selanjutnya, termasuk penelitian yang menggunakan
metode yang lebih bervariasi dan melibatkan populasi yang lebih luas.
5. Diharapkan hasil penelitian ini memberikan landasan ilmiah bagi para dokter dan
petugas kesehatan di Indonesia saat menganjurkan atau mempraktikkan program
perubahan gaya hidup bagi pasien.
37
1.5. Keaslian Penelitian
Hingga saat ini telah terdapat sejumlah studi yang mempelajari peranan program
perubahan gaya hidup dalam pencegahan dan penatalaksanaan PJK. Sebagian studi ini
dijalankan pada penderita PJK dan sebagian lagi pada kelompok yang tidak menderita
PJK atau masyarakat umum. Kebanyakan studi ini dilakukan di luar negeri. Studi-studi
ini amat bervariasi, terutama menyangkut jenis program yang diberi, populasi studi,
lokasi, cara atau metode yang digunakan serta hasil akhir yang diukur (outcomes). Di
Indonesia telah terdapat beberapa studi yang mempelajari perubahan gaya hidup.
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh program perubahan gaya hidup
terhadap faktor risiko dan risiko kardiovaskular mayor pada kelompok penderita dan
bukan penderita PJK.
Berdasar penelusuran ilmiah yang dilakukan, telah terdapat sejumlah studi yang
mirip, namun tidak sama dengan studi ini. Diantara studi-studi tersebut adalah :
1. Wister dkk. melakukan penelitian tentang efektivitas program perubahan gaya
hidup pada kelompok yang memiliki risiko sedang dan tinggi mengalami kelainan
kardiovaskular (skor Framingham Heart Study atau FHS > 10%) dan pada
penderita PJK. Program yang dilakukan adalah membagikan hasil pemeriksaan
kesehatan individu (health card) dan konseling lewat telepon oleh perawat. Hasil
studi menunjukkan bahwa kegiatan ini menurunkan nilai rerata skor faktor risiko
sebanyak 3,1 poin, yang secara statistik bermakna dibandingkan dengan
kelompok kontrol yang hanya mengalami penurunan nilai rerata skor risiko
sebanyak 1,3 poin (Wister, et al., 2007).
38
2. Simpson dkk. melaporkan hasil penelitian konseling kelompok (group
counselling) selama 3 bulan yang dilakukannya pada subjek yang memiliki risiko
tinggi mengalami kelainan kardiovaskular. Program ini menurunkan indeks massa
tubuh (IMT) sebesar 2,1%, kadar kolesterol total 7%, kolesterol LDL 6,2%, rasio
total kolesterol/HDL 5,1% dan kadar trigliserida sebesar 10,8%. Sedangkan
konseling individu yang dilakukannya juga menurunkan IMT, kolesterol total,
kolesterol LDL, rasio total kolesterol/HDL dan trigliserida masing-masing sebesar
1,9%, 5,5%, 5,4%, 3,8% dan 8,5% (Simpson, Dixon and Bolli, 2004).
3. Calderon dkk. melakukan konseling singkat pada subjek yang memiliki risiko
tinggi mengalami kelainan kardiovaskular dan menemukan bahwa konseling
singkat bermanfaat dalam menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik, kadar
kolesterol total dan LDL serta meningkatkan aktivitas fisik dan olahraga
(Calderon, Smallwood and Tipton, 2008).
4. Ammerman dkk. melakukan intervensi perubahan gaya hidup gabungan berupa
kombinasi 3 kali konseling, follow-up lewat telepon dan pembagian neswletter
kepada sekelompok masyarakat umum. Sebagai perbandingan, digunakan
kelompok yang hanya diberi hasil pemeriksaan laboratorium saja. Hasil studi
menunjukkan bahwa kelompok yang diberi intervensi gabungan memiliki skor
diet yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (Ammerman, et al.,
2003).
5. Ockene dkk. melakukan studi acak terkontrol dan membandingkan hasil dari 3
jenis konseling, yaitu konseling biasa, konseling dengan dokter yang telah diberi
39
latihan konseling dan gabungan konseling dengan dokter yang telah diberi latihan
konseling dan didukung oleh program intervensi tertentu. Hasil studi
memperlihatkan bahwa ketiga jenis konseling bermanfaat dalam menurunkan
berat badan, kadar kolesterol LDL serta penggunaan energi yang berasal dari
lemak jenuh (saturated fat) (Ockene, et al., 1999).
6. Sarrafzadegan dkk. dalam penelitiannya melaporkan bahwa program perubahan
gaya hidup gabungan yang dilakukan selama 4 tahun pada populasi masyarakat
umum memperbaiki faktor risiko kardiovaskular populasi. Perbaikan yang terjadi
adalah menurunnya prevalensi kebiasaan merokok, meningkatnya energyexpenditure bagi aktivitas fisik/olahraga serta meningkatnya waktu yang
disediakan bagi kegiatan aktivitas fisik/olahraga (Sarrafzadegan, et al., 2009).
7. Eriksson dkk. melaporkan bahwa intervensi perubahan gaya hidup yang dilakukan
dalam periode 1 tahun pada institusi pelayanan dasar memperbaiki faktor risiko
kardiovaskular (Eriksson, et al., 2006).
8. Nilsson dkk. melaporkan bahwa program intervensi perubahan gaya hidup yang
dilakukan pada tempat kerja (worksite) menurunkan secara bermakna IMT,
tekanan darah diastolik, laju jantung, kadar kolesterol LDL serta kebiasaan
merokok (Nilsson, Klasson and Nyberg, 2001).
9. Emmen dkk. melakukan penelitian perubahan gaya hidup pada rumah sakit dan
menemukan adanya perbaikan faktor risiko kardiovaskular pada pasien yang
diberi intervensi perubahan gaya hidup (Emmen, et al., 2006).
40
10. Rosolova dkk. melakukan penelitian perubahan gaya hidup pada beberapa kota
(counties) tertentu
dan
melaporkan penurunan
bermakna
faktor risiko
kardiovaskular pada subjek yang menjalani program ini (Rosolova and Simon,
2000).
11. Oslo trial melakukan pengukuran efektivitas konseling diet dan merokok pada
laki-laki sehat berusia 40-49 tahun dan menemukan bahwa intervensi konseling
menurunkan konsumsi lemak jenuh sebesar 10%, kadar kolesterol total sebesar
13%, berhenti merokok sebesar 8% dan risiko kematian dan infark miokard
sebesar 47% (Hjermann, et al., 1981).
12. Selain yang disebutkan di atas, terdapat lagi sejumlah penelitian yang memiliki
kemiripan dengan penelitian ini. Artinian dkk. melakukan analisis komprehensif
mengenai sejumlah penelitian tersebut (AHA, 2010).
Di Indonesia, telah terdapat beberapa studi perubahan gaya hidup yang mirip namun
tidak sama dengan studi ini. Diantaranya adalah:
1. Kurniati melakukan analisis tingkat risiko kelainan kardiovaskular pada karyawan
PT ITP Bogor. Analisis ini menggunakan skor Framingham Heart Study sebagai
luarannya dan mendapatkan bahwa sekitar 8,2% subjek penelitiannya memiliki
risiko
tinggi dan 57,7%
memiliki risiko
sedang
mengalami kelainan
kardiovaskular (Kurniati, 2008).
2. Anam melakukan penelitian tentang pengaruh intervensi diet dan olahraga
terhadap IMT, kesegaran jasmani, kadar hsCRP dan profil lipid pada anak yang
41
gemuk. Dalam studi ini didapatkan bahwa setelah program intervensi ditemukan
perubahan bermakna IMT (rerata penurunan 0,6 kg/m2), LDL (rerata penurunan
13,5 mg/dl) dan HDL (rerata peningkatan 7,5 mg/dl). Selain itu nilai konsumsi
makanan harian juga berkurang 421,3 kkal/hari (Anam, 2010).
Dibandingkan dengan penelitian-penelitian serupa yang pernah ada, penelitian ini
memiliki beberapa nilai kebaruan (novelty), yaitu :
1. Penelitian ini memperkenalkan dan menguji pengaruh program perubahan gaya
hidup gabungan IDE KONSULEN, yaitu gabungan metode presentasi video
(sebagai media elektronik), konseling individu (sebagai media komunikasi verbal
langsung), pembagian brosur (sebagai media cetak) dan follow-up 9 bulan lewat
telepon (sebagai media komunikasi tidak langsung). Berdasar penelusuran ilmiah
lewat pubmed, cochrane, google dan data-base lainnya serta berdasar informasi
dari bagian Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan, hingga saat ini
belum ada program perubahan gaya hidup di Indonesia yang secara terstruktur
menggabungkan metode-metode tersebut di atas. Kebanyakan program perubahan
gaya hidup yang ada di Indonesia hanya mengkombinasikan strategi konseling
dengan presentasi video atau dengan pembagian materi cetak. Belum ada program
yang secara khusus melakukan follow-up berkala pasien dengan menggunakan
telepon atau media komunikasi lainnya.
2. Sepanjang yang diketahui, hingga saat ini belum ada penelitian di Indonesia yang
secara khusus mempelajari efektivitas atau manfaat program perubahan gaya
42
hidup (non-farmakologis) terhadap penderita PJK. Kebanyakan penelitian yang
ada mempelajari efek obat-obatan (farmakologis) dan tindakan medis tertentu
terhadap perjalanan penyakit, tingkat morbiditas dan mortalitas penderita PJK.
Kurangnya penelitian tentang peranan program perubahan gaya hidup terhadap
penderita PJK menyebabkan kurangnya evidence-base tentang manfaat program
perubahan gaya hidup terhadap penderita PJK.
3. Pengukuran program perubahan gaya hidup dalam penelitian ini menggunakan
dua luaran (outcome), yaitu luaran utama (primary outcomes) dan luaran sekunder
(secondary outcomes). Luaran utama yang diukur adalah risiko absolut subjek
mengalami kejadian kardiovaskular mayor dalam periode tertentu yang diprediksi
dengan skor Framingham Heart Study atau FHS (bagi subjek yang tidak
menderita PJK) dan skor ACTION (bagi subjek yang telah menderita PJK).
Luaran sekunder berupa pengukuran nilai faktor-faktor risiko tunggal seperti
seperti kadar-kadar tekanan darah, gula, kolesterol, kebiasaan merokok, skor diet
dan skor aktivitas fisik. Sejauh yang diketahui, penggunaan pengukuran risiko
absolut dengan menggunakan skor Framingham Heart Study dan skor ACTION
masih jarang dilakukan di Indonesia.
43
Download