BAB II TINJAUAN PUSTAKA Fotosintesis pada Kondisi Intensitas Cahaya Rendah Photosynthetically Active Radiation (PAR) dan Fotosintesis Cahaya matahari merupakan sumber energi bagi kehidupan di atas bumi ini, karena semua mahluk hidup seperti tumbuhan, hewan, bakteri, ganggang, langsung atau tidak langsung tergantung dari fotosintesis. Organisme fotosintetik menggunakan energi cahaya untuk mensintesis makromolekul (karbohidrat, asam amino, dan asam lemak) yang pada gilirannya digunakan oleh organisme lain sebagai material dasar untuk proses metabolisme. Spektrum cahaya yang dibutuhkan tanaman berkisar antara panjang gelombang 400-700 nm, yang biasa disebut photosynthetically active radiation (PAR). Energi cahaya dikonversi ke molekul berenergi tinggi (ATP) dan NADPH, terjadi di dalam pigmen atau kompleks protein yang menempel pada membran tilakoid yang terletak pada kloroplas. Pigmen tanaman yang meliputi klorofil a, klorofil b, dan karotenoid termasuk xantofil menyerap PAR terbaik pada panjang gelombang tertentu (Gambar 2). Klorofil a menyerap cahaya tertinggi pada kisaran panjang gelombang 420 nm dan 660 nm. Klorofil b menyerap cahaya paling efektif pada panjang gelombang 440 nm dan 640 nm, sedangkan karotenoid termasuk xantofil mengabsorpsi cahaya pada panjang gelombang 425 dan 470 nm. Menurut Salisbury dan Ross (1992); Grant (1997), cahaya dengan panjang gelombang lebih pendek akan menghasilkan energi foton yang lebih besar dari pada cahaya dengan panjang gelombang lebih panjang. Dengan demikian klorofil a menyerap energi foton lebih besar dari pada klorofil b. Photosynthetically Active Radiation (PAR) dikelompokkan menjadi dua bagian berdasarkan kisaran panjang gelombang yang diserap pigmen tanaman yaitu panjang gelombang aktifitas tinggi (400-500 nm) kelompok cahaya biru, dan panjang gelombang aktif rendah (600-700 nm) kelompok cahaya merah (respon fitokrom). Kelompok radiasi tersebut aktif untuk proses fotosintesis, fotomorfogenesis, dan biosintesis klorofil. Cahaya biru aktif untuk fototropisme, pembukaan stomata, dan biosintesis klorofil. Cahaya merah (respon fitokrom) aktif untuk induksi fotoperiodisitas pembungaan, perkembangan kloroplas (tidak termasuk sintesis klorofil), penuaan (senescence) daun dan absisi daun. Kelompok cahaya hijau dengan panjang gelombang 500-600 nm tergolong tidak aktif untuk fotosintesis. Cahaya merah jauh (far-red) dengan panjang gelombang 700-800 nm juga tidak aktif untuk fotosintesis akan tetapi banyak mempengaruhi fotomorfogenesis (Grant 1997). Ungu Biru Hijau Kuning Jingga Merah Klorofil a Klorofil b Serapan Karotenoid 400 450 500 550 600 Panjang gelombang (nm) 650 700 Gambar 2 Spektrum cahaya yang dapat diserap oleh pigmen tanaman, biasa disebut photosynthetically active radiation (PAR) (Salisbury dan Ross 1992) Fotosintesis dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yang terpisah: (i) reaksi terang, dimana energi radiasi (hv) diserap dan digunakan untuk menghasilkan senyawa berenergi tinggi ATP dan NADPH; (ii) reaksi gelap, meliputi reduksi biokimia CO2 menjadi gula menggunakan senyawa berenergi tinggi yang dihasilkan pada reaksi terang; dan (iii) suplai CO2 dari udara ke tempat reduksi di kloroplas (Jones 1992). Secara umum proses fotosintesis dipengaruhi oleh umur daun, genotipe tanaman, besarnya kebutuhan hasil asimilat oleh sink, dan pengaruh lingkungan seperti kandungan hara, kelembaban, suhu, dan cahaya. Dalam kondisi tanpa stres, intensitas radiasi merupakan faktor lingkungan terpenting yang menyebabkan perbedaan laju fotosintesis (Sinclair dan Torie 1989). 9 Tanaman yang memiliki efisiensi fotokimia yang lebih besar pada cahaya rendah akan mempunyai kecepatan pertumbuhan yang lebih besar dan akan berhasil dalam berkompetisi pada vegetasi yang rapat atau pada kondisi yang ternaungi (Lawlor 1987). Aklimatisasi fotosintetik pada kondisi cahaya rendah memiliki karakteristik tertentu. Sebagai contoh daun yang terbentuk pada kondisi intensitas cahaya rendah menunjukkan peningkatan jumlah klorofil (Evans 1987) dan akumulasi karbohidrat yang rendah (Makino et al. 1985). Tanaman naungan mengandung klorofil a dan b per unit volume kloroplas 4 sampai lima kali lebih banyak dan mempunyai nisbah a/b lebih rendah pada tanaman cahaya penuh karena mempunyai kompleks pemanen cahaya yang meningkat (Lawlor 1987). Daun yang ternaungi memperlihatkan perkembangan grana yang lebih intensif tetapi kapasitas transpor eletron cenderung berkurang. Sebagai contoh, transpor elektron melalui kedua fotosistem 14 kali lebih tinggi pada kloroplas yang diekstrak dari daun cahaya penuh dibandingkan tanaman naungan. Cyt b6f yang merupakan bagian transpor elektron juga berkurang pada tanaman ternaungi (Jones 1992). Pembentukan Klorofil Klorofil dihasilkan di dalam kloroplas pada jaringan fotosintesis daun. Prekursor dalam pembentukan senyawa pigmen klorofil adalah senyawa intermidiate, glutamat, yang mengalami deaminasi menghasilkan α-ketoglutarat, kemudian direduksi menjadi γ,δ-dioxovalerate dan mengalami transaminasi menjadi asam δ–amino-laevulinat (ALA); sintesis ini memerlukan ATP dan NADPH (Malkin dan Niyogi 2000). Pelepasan air dari asam amino-laevulinat menghasilkan porphobilinogen yang mengandung struktur cincin pyrrole. Selanjutnya terjadi reaksi pelepasan NH3 dan CO2 kemudian membentuk protoporphyrinogen. Penambahan Mg2+ dan adenosylmethionine pada protoporphyrin menghasilkan Mg-protoporphyrin monomethylester. Mg pada klorofil berfungsi sebagai pengatur penyerapan spektrum. Mg-protoporphyrin monomethylester mengalami dehidrasi dan reduksi menghasilkan protochlorophylide. Penambahan H+ menghasilkan chlorophyllide a menjadi klorofil a, proses ini sangat dipengaruhi oleh cahaya (Lawlor 1987). 10 A Glutamat Protoporfirin IX CHL D, CHL I, CHL H Mg-adenosylmethionine Mg-protoporfirin monometilester H2O CDR -4H Protoklorofilide a DVR Klorofilide a POR cahaya -6H Geranyl-geranyl pyrophosphate Klorofil a CAO Klorofil b B Gambar 3 Lintasan reaksi pembentukan klorofil a dan klorofil b yang melibatkan gen-gen fotosintesis (A) dan struktur kimia klorofil a dan klorofil b (B) (Malkin dan Niyogi 2000; Nagata et al. 2005) 11 Klorofil b merupakan bentuk khusus dari klorofil a. Pembentukan klorofil b membutuhkan O2 dan NADPH2 dengan bantuan enzim chlorophyll a oxygenase (CAO). Pigmen klorofil menyusun sekitar 4% bobot kering kloroplas, dan klorofil b berjumlah sekitar 1/3 dari klorofil a (Hall dan Rao 1999). Klorofil a berperan sentral untuk menyerap dan menyalurkan energi cahaya ke pusat reaksi untuk mengeksitasi elektron. Klorofil b berfungsi sebagai pigmen antena. Cahaya ditangkap oleh klorofil b yang tergabung dalam kompleks pemanen cahaya (LHC) kemudian segera ditransfer ke klorofil a dan pigmen antena lain yang berdekatan dengan pusat reaksi. Dalam pembentukan klorofil terdapat paling kurang 3 lintasan reaksi yang dikendalikan oleh gen-gen inti yaitu: lintasan reaksi antara protoporfirin 9 dan protoklorofilide yang melibatkan gen-gen CHLD, CHLI, CHLH, CDR, perubahan protoklorofilide menjadi klorofilide yang melibatkan gen-gen seperti VDR, POR, dan lintasan sintesis klorofil b yang melibatkan gen CAO (Malkin dan Niyogi 2000; Masuda et al. 2002; Nagata et al. 2005; Heyes et al. 2006). Reaksi-reaksi yang terlibat dalam lintasan pembentukan klorofil dan kendali gen-gen inti serta struktur kimia klorofil a dan b disajikan pada Gambar 3. Klorofil a (C55H72O5N4Mg) dan klorofil b (C55H72O6N4Mg) dapat dibedakan dengan adanya gugus metil (CH3) pada klorofil a dan gugus aldehid (CHO) pada klorofil b. Klorofil biasanya mengalami degradasi atau terurai seiring dengan penuaan daun, dan sebagian besar nitrogennya diabsorpsi kembali oleh tanaman. Klorofil terdapat pada membran tilakoid pada kloroplas. Kloroplas terdapat di dalam sitoplasma dan mengandung DNA, RNA, ribosom dan ensim sendiri (Salisbury dan Ross 1992). Pigmen yang menyerap cahaya pada membran tilakoid tersusun di dalam suatu rangkaian fungsional yang disebut fotosistem. Fotosistem ini mengandung 200-300 molekul klorofil dan sekitar 40 molekul karotenoid. Kelompok pigmen ini menyerap cahaya dengan panjang gelombang 400-700 nm, dan semua molekul pigmen pada fotosistem disebut pigmen tetap cahaya atau ‘antena’. Besaran kuantitas pigmen pada fotosistem ini menentukan ukuran antena (antena size) ( Taiz dan Zeiger 2002). 12 Klorofil a berfungsi meneruskan cahaya ke pusat reaksi yang merubah energi cahaya menjadi energi kimia. Sedangkan klorofil b berfungsi sebagai pemanen cahaya dan meneruskan energi dari karotenoid ke klorofil a (Salisbury dan Ross 1992). Pengaruh Intensitas Cahaya Rendah terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Bagi tanaman, cahaya sangat besar peranannya dalam proses fisiologi, seperti fotosintesis, respirasi, pertumbuhan dan perkembangan, penutupan dan pembukaan stomata, berbagai pergerakan tanaman dan perkecambahan (Taiz dan Zeiger 2002; Salisbury dan Ross 1992). Kedelai termasuk tanaman C3, yang mempunyai tingkat fotorespirasi yang lebih tinggi yang mengakibatkan hasil bersih fotosintesisnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan tanaman C4. Baharsyah et al. (1993) menyatakan bahwa radiasi matahari akan mencapai titik jenuh antara 0.1-0,6 kal/cm2/menit. Hasil bersih dari proses fotosintesis pada radiasi penuh (1,4-1,7 kal/cm2/menit) adalah sebesar 15-35 mg CO2/dm2 luas daun/jam. Pada kedelai, radiasi matahari optimum untuk fotosistesis maksimal pada kondisi laboratorium berkisar 0,3-0,8 kal/cm2/menit (432-1152 kal/cm2/hari) (Kassam 1978; Salisbury dan Ross 1992). Nilai tersebut jauh lebih besar dibandingkan intensitas cahaya di bawah tegakan karet (Chozin et al. 1999). Studi yang telah dilakukan untuk tanaman padi gogo sebagai tanaman sela pada perkebunan karet menunjukkan, rata-rata nilai intensitas cahaya pada areal terbuka sebesar 398,4 kal/cm2/hari. Nilai rata-rata intensitas cahaya dibawah tegakan karet umur 1, 2, 3 dan 4 tahun berturut-turut sebesar 326.7; 237.6; 109.2 dan 38.2 kal/cm2/hari. Nilai intensitas cahaya di bawah tegakan karet umur 2 tahun setara dengan naungan paranet 25%, nilai di bawah tegakan karet umur 3 tahun setara dengan naungan paranet 50 %, dan untuk umur 4 tahun sudah melebihi naungan paranet 75 % (Chozin et al. 1999; Haris 1999). Penurunan intensitas cahaya akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedelai. Studi tentang pengaruh cekaman intensitas cahaya rendah terhadap penurunan pertumbuhan dan produksi tanaman serta terganggunya berbagai proses metabolisme tanaman telah terdokumentasikan cukup baik pada tanaman 13 padi gogo (Watanabe et al. 1993; Jiao et al. 1993; Chozin et al. 1999; Sulistyono et al. 1999; Lautt et al. 2000; Sopandie at al. 2003b dan 2003c). Akan tetapi informasi serupa pada tanaman kedelai belum banyak diperoleh. Penelitian Baharsyah (1980) pada kedelai menunjukkan bahwa penurunan cahaya menjadi 40 % sejak perkecambahan mengakibatkan penurunan jumlah buku, cabang, diameter batang, jumlah polong dan hasil biji. Naungan 60 % pada saat awal pengisian polong menyebabkan penurunan jumlah polong, hasil biji dan kadar protein biji. Asadi et al. (1997) menunjukkan bahwa penurunan hasil biji kedelai (28 galur) yang diuji di bawah naungan 33 % berkisar 2-45 % dibandingkan dengan tanpa naungan Mekanisme Adaptasi Tanaman terhadap Intensitas Cahaya Rendah Pada kebanyakan tanaman, kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman intensitas cahaya rendah tergantung kepada kemampuannya melanjutkan fotosintesis dalam kondisi defisit cahaya. Hale dan Orchut (1987) menjelaskan bahwa adaptasi terhadap naungan pada dasarnya dapat melalui dua cara, yaitu melalui: (a) peningkatan luas daun sebagai cara mengurangi penggunaan metabolit, dan (b) pengurangan jumlah cahaya yang ditransmisikan dan yang direfleksikan. Levitt (1980) membuat hipotesis bahwa adaptasi terhadap naungan dicapai melalui: (a) mekanisme penghindaran (avoidance) yang berkaitan dengan respon perubahan anatomi dan morfologi daun untuk peningkatan penangkapan cahaya dan fotosintesis yang efisien (Gambar 4A), serta (b) mekanisme toleransi (tolerance) yang berkaitan penurunan titik konpensasi cahaya serta respirasi yang efisien (Gambar 4B). Penghindaran defisit cahaya dilakukan dengan mengurangi kutikula, lilin, dan bulu daun serta meniadakan pigmen antosianin (Levitt 1980). Pada mekanisme toleransi, asimilasi bersih CO2 nol terjadi pada titik kompensasi cahaya (LCP) yaitu cahaya pada permukaan daun yang menginduksi kecepatan asimilasi CO2 aktual sama dengan kecepatan evolusi O2 respirasi. Tanaman naungan ditandai dengan rendahnya LCP sehingga dapat mengakumulasi produk fotosintat pada tingkat cahaya yang rendah dibanding tanaman cahaya penuh. Selain itu tanaman naungan juga memperlihatkan kejenuhan cahaya pada level intensitas cahaya rendah. 14 (A) Peningkatan efisiensi penangkapan cahaya Peningkatan area penangkapan cahaya Peningkatan penangkapan cahaya per unit area fotosintetik Peningkatan proporsi area fotosintetik (daun) Refleksi avoidance Transmisi avoidance ”waste” absorbsi Avoidance Hilangnya kutikula, lilin dan rambut pada permukaan daun Hilangnya pigmen non- kloroplas (Antosianin) Peningkatan kandungan kloroplas Peningkatan kandungan pigmen per kloroplas Peningkatan kandungan kloroplas per sel mesofil Kloroplas kandungan kloroplas dalam sel epidermis (B) Toleransi defisit cahaya Penurunan LCP Penurunan kecepatan respirasi di bawah LCP Penghindaran kerusakan sistem fotosintetik Menghindari penurunan akivitas enzim Menghindari kerusakan pigmen Penurunan kecepatan respirasi mendekati LCP Menurunkan substrat respirasi Menurunkan sistem respiratory: mitokondria & enzim Gambar 4 Model mekanisme penghindaran (avoidance) (A) dan mekanisme toleransi (tolerance) (B) untuk adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah (Levitt 1980) 15 Perubahan anatomi dan morfologi. Dari sudut anatomi dan morfologi, karakter yang mengalami perubahan terhadap intensitas cahaya rendah telah dijelaskan oleh Bjorkman (1981), Anderson (1986), Evans (1988) dan Anderson et al. (1995). Intensitas cahaya akan mempengaruhi bentuk dan anatomi daun termasuk sel epidermis dan tipe sel mesofil (Vogelmann dan Martin 1993). Perubahan tersebut sebagai mekanisme untuk pengendalian kualitas dan jumlah cahaya yang dapat dimanfaatkan oleh kloroplas daun. Daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar dari pada daun yang ditanam pada areal terbuka, yang disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Taiz dan Zeiger 2002). Pada genotipe padi gogo dan kedelai toleran naungan, terjadi pengurangan lapisan palisade yang lebih besar akibat cekaman naungan dibanding genotipe peka, menyebabkan daun menjadi lebih tipis (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2003a, 2003b). Lapisan palisade dapat berubah sesuai kondisi cahaya, yang menyebabkan tanaman menjadi efisien dalam menyimpan energi cahaya (Taiz dan Zeiger 2002). Tanaman dikotil termasuk kedelai mempunyai kapasitas yang lebih besar untuk menggunakan cara menghindari naungan (shade avoidance) (Morelli dan Ruberti 2002). Perubahan kandungan klorofil daun. Pada keadaan normal, aparatus fotosintetik termasuk klorofil mengalami proses kerusakan, degradasi dan perbaikan. Proses perbaikan ini tergantung pada cahaya, sehingga apabila tanaman dinaungi kemampuan ini akan menjadi terbatas (Richter et al. 1990). Kekuatan melawan degradasi ini sangat penting bagi daya adaptasi terhadap naungan, yaitu dengan meningkatkan jumlah kloroplas per luas daun (Hale dan Orchut 1987) dan dengan peningkatan jumlah klorofil pada kloroplas (Okada et al. 1992). Hal ini ditunjukkan juga oleh genotipe toleran padi gogo yang memiliki kadar klorofil a dan b lebih tinggi dibanding yang peka (Chowdury et al. 1994; Sulistyono et al. 1999; Sopandie et al. 2003b). Hal yang senada juga dijumpai pada kedelai toleran naungan (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2003a). Hidema et al. (1992) melaporkan bahwa intensitas cahaya rendah menurunkan nisbah klorofil a/b, karena adanya peningkatan klorofil b pada tanaman yang dinaungi, yang berkaitan dengan peningkatan protein klorofil a/b pada LHC II. Membesarnya antena untuk fotosistem II ini akan mempertinggi efisiensi pemanenan cahaya. Walaupun 16 kandungan klorofil tinggi, rendahnya laju fotosintesis sering dihubungkan dengan tingginya resistensi stomata dan rendahnya aktivitas Ribulose bifosfat (RuBP) (Murty dan Sahu 1987). Selain itu, walaupun kandungan klorofil meningkat namun terjadi penurunan klorofil per luas area karena daun menjadi lebih tipis (Nilsen dan Orcutt 1996). Perubahan fisiologi dan biokimia. Hubungan antara enzim rubisco dan fotosintesis telah diketahui dengan sangat baik (Makino et al. 1984; Evans 1987); jumlahnya pada daun secara relatif merefleksikan 20-30 % dari total N daun. Naungan menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia, salah satu di antaranya adalah perubahan kandungan N daun, kandungan rubisco dan aktivitasnya. Rubisco adalah enzim yang memegang peranan penting dalam fotosintesis, yaitu yang mengikat CO2 dan RuBP dalam siklus Calvin yang menghasilkan 3-PGA. Intensitas cahaya rendah (naungan) menyebabkan rendahnya aktivitas rubisco (Portis 1992, Bruggeman dan Danborn 1993). Diperkirakan genotipe kedelai toleran naungan akan memiliki aktivitas rubisco yang lebih tinggi dan kandungan N terlarut yang lebih rendah dibandingkan dengan yang peka pada kondisi naungan, seperti dilaporkan pada padi gogo (Sopandie et al. 2003b). Hubungan antara cekaman intensitas cahaya rendah dengan penurunan karbohidrat dapat dijelaskan dalam beberapa hal. Pengurangan fotosintat pada intensitas cahaya rendah dapat dihubungkan dengan tingginya resistensi stomata dan sel-sel mesofil terhadap pertukaran CO2. Pada kondisi cahaya rendah aktivitas karboksilase dan RuBP menurun (Thorne dan Koller 1974). Reaksi pembentukan pati dikatalisis oleh enzim ADP-glukosa pyrofosforilase yang mengatur aliran karbon, dimana enzim ini diatur secara alosterik oleh produk dari siklus PCR. Intensitas cahaya yang rendah menyebabkan rendahnya pembentukan 3-PGA, yang menyebabkan hambatan kerja enzim ADP-glukosa pyrofosfatase karena adanya Pi yang berinteraksi dengan 3-PGA. Soverda (2002) menunjukkan bahwa cekaman intensitas cahaya rendah menurunkan aktivitas PGA kinase, penurunan yang lebih kecil dijumpai pada genotipe padi gogo yang toleran naungan dibandingkan genotipe yang peka. Thorne dan Koller (1974) menunjukkan bahwa pemberian naungan menyebabkan penurunan kandungan pati pada daun kedelai, sementara sukrosa 17 mengalami kenaikan, selanjutnya perimbangan antara pati dan sukrosa tersebut berubah kembali seperti semula setelah perlakuan naungan dihentikan. Pada intensitas cahaya rendah terjadi gangguan translokasi karbohidrat. Pada kondisi ini gula total (sebagian besar gula non reduksi dan pati) secara nyata menurun pada seluruh bagian tanaman. Murty dan Sahu (1987) melaporkan peningkatan kandungan total amino-N dan N terlarut pada varietas padi yang peka, yang menyebabkan sintesis protein terganggu dan ketersediaan karbohidrat menjadi rendah dan tingkat kehampaan menjadi tinggi. Penelitian Lautt et al. (2000) pada padi gogo menunjukkan bahwa galur toleran padi gogo memperlihatkan kandungan pati pada daun dan batang yang lebih tinggi daripada yang peka saat dinaungi 50 % saat vegetatif aktif. Kenaikan sukrosa pada saat vegetatif aktif hanya terjadi pada galur yang toleran, sejalan dengan peningkatan aktivitas enzim SPS (sukrosa fosfat sintase). Perubahan struktur kloroplas. Intensitas cahaya tinggi maupun intensitas cahaya rendah merupakan faktor stres yang dapat merusak dan mempengaruhi struktur dan fungsi kloroplas (Mostowska 1997). Menurut Biswal (1997b) dan Mostowska (1997), perubahan struktur dan fungsi kloroplas akibat stres cahaya terjadi pada level komposisi pigmen, struktur organisasi tilakoid, reaksi fotokimia, dan efisiensi fiksasi CO2. Selain itu juga penurunan bahkan kehilangan pigmen fotosintesis, perbedaan respon Chla dan Chlb, dan perubahan dalam komposisi karotinoid, terutama perubahan komposisi komponen siklus xanthophyll. Stress tersebut menyebabkan perubahan struktur kloroplas (secara umum) dan kompleks transport elektron (secara khusus). Perubahan pigmen dan struktur membran tilakoid diikuti oleh perubahan laju reaksi fotokimia yang terkait dengan PSI dan PSII dan juga aktivitas enzim dalam siklus Calvin (Biswal 1997b). Bagian kloroplas yang paling peka terhadap stres cahaya adalah PSII dan diidentifikasi sebagai sasaran utama kerusakan akibat stres cahaya. Kerusakan fotosintetik karena kelebihan cahaya merupakan sindrom stres cahaya tinggi (fotoinhibisi). Tanaman atau kloroplas yang menerima cahaya tinggi dalam waktu lama menyebabkan foto-oksidasi pigmen atau foto-destruksi kloroplas. Fotosistem ini diketahui terkait dengan berbagai mekanisme adaptasi sehingga telah 18 dilaporkan sebagai suatu komponen kunci selama pengiriman signal stres untuk adaptasi kloroplas (Biswal 1997b; Mostowska 1997). Pengaruh stres cahaya rendah terhadap perubahan kloroplas juga sudah dilaporkan. Intensitas cahaya rendah terbukti mempengaruhi orientasi kloroplas tanaman. Pada intensitas cahaya rendah kloroplas akan mengumpul pada dua bagian, yaitu pada kedua sisi dinding sel terdekat dan terjauh dari cahaya (Salisbury dan Ross, 1992). Hal ini sering menyebabkan warna daun lebih hijau, karena posisi kloroplas yang terkonsentrasi pada permukaan daun. Intensitas cahaya rendah menyebabkan terjadi peningkatan jumlah kloroplas per sel, volume kloroplas dan membran tilakoid serta grana (stack granum), seperti pada Gusmania monostachia (Maxwell et al. 1999). Respon kloroplas terhadap perubahan intensitas cahaya matahari tergantung pada skala waktu perubahan tersebut. Respon jangka pendek terjadi dalam beberapa detik sampai menit yang melibatkan penyusunan kembali struktur dan fungsi komponen kloroplas. Regulasi jangka pendek ini termasuk pada saat transisi dan penyesuaian fotosistem stoikiometrik pada fosforilasi protein tilakoid (Allen 1995), regulasi untuk efisiensi PS II (Horton et al. 1996), serta perubahan aktivitas rubisco (Salvucci dan Ogren 1996). Perubahan jangka panjang terhadap cahaya melibatkan sintesis yang selektif dan degradasi komponen kloroplas untuk menyusun komposisi dan fungsi organ fotosintesis. Sangat menarik untuk dipelajari perubahan struktur kloroplas pada genotipe kedelai toleran dan peka dalam kondisi intensitas cahaya rendah dalam periode pendek dan panjang. Hipotesis yang dapat diajukan adalah genotipe toleran akan memiliki struktur kloroplas dan komponen (grana, jumlah tilakoid pada grana, stroma, stack membrane, ukuran kloroplas) yang normal dibandingkan dengan yang peka. Struktur Kloroplas dan Mekanisme Transport Elektron Struktur Kloroplas Kloroplas terdiri atas dua komponen utama (Gambar 5), (a) lamellar network, disebut tilakoid, dan (b) stroma matrix dengan berbagai enzim yang terkait dengan siklus Calvin seperti Rubisco (ribulose bisphosphat carboxylase/oxygenase). Terdapat juga beberapa kopy DNA sirkular dan semua 19 komponen transkripsi dan translasi, dan enzim-enzim untuk sintesis lipid, porphyrin, terpenoid, quinoid dan senyawa aromatik lain. Struktur membran tilakoid beragam dari yang sederhana pada bakteri sampai yang paling kompleks pada kloroplas tanaman tingkat tinggi. Membran tilakoid, yang diklasifikasikan ke dalam grana dan lamella stroma, terdiri atas pigmen-pigmen fotosintesis seperti klorofil a, klorofil b, karoten, dan xantofil. Pigmen-pigmen tersebut berasosiasi dengan protein spesifik yang terikat membran (specific membrane-bound protein) dan membentuk gabungan pigmen guna mengoptimalkan penyerapan energi cahaya (foton) (Biswal dan Biswal 1999). Gambar 5 Skema bangun kloroplas. Kloroplas merupakan organel semi-otonom pada sel tanaman. Energi cahaya dirubah menjadi energi kimia di membran tilakoid. Fiksasi CO2 berlangsung di stroma. Tumpukan grana lebih besar pada daun yang ternaungi dari pada daun penuh cahaya (Biswal dan Biswal 1999). Kompleks protein membran yang terlibat dalam reaksi cahaya tidak tersebar merata di seluruh membran tilakoid. Menurut Critchley (1997), fotosistem II (PSII) dan kompleks pemanen cahaya II (light harvesting complex II) terkonsentrasi di grana, sedangan fotosistem I (PSI) dan ATP-sintase sebagian besar di stroma. Kompleks cytochrome b6 f hampir sama jumlahnya di kedua daerah tilakoid tersebut. 20 Mekanisme Transport Elektron Menurut Critchley (1997) dan Biswal dan Biswal (1999), reaksi cahaya yang terjadi pada membran tilakoid dikendalikan oleh dua fotosistem (PSII dan PSI) yang dihubungkan oleh suatu intersistem rantai transport elektron (Gambar 6). Reaksi cahaya merupakan reaksi fotokimia yang menghasilkan NADPH dan ATP serta membebaskan O2 dari molekul air. Produk reaksi cahaya selanjutnya digunakan reaksi gelap melalui siklus Calvin untuk pembentukan gula. Gambar 6 Skema rantai transport elektron fotosintetik pada PS II dan PS I (Surpin et al. 2002; Andersson et al. 2003). Secara skematis lintasan elektron yang terjadi pada pusat reaksi membentuk formasi huruf Z sehingga disebut skema Z. Dalam rangkain proses transport elektron dilibatkan sekurangnya 4 kompleks protein utama, yaitu: sistem cahaya II (PSII), kompleks sitokrom b6f, sistem cahaya I (PSI) dan kompleks ATP sintase. Keempat kompleks protein ini terletak di dalam membran tilakoid. PSII berfungsi mengoksidasi air menjadi oksigen dengan melepaskan proton ke lumen (bagian dalam tilakoid). Kompleks sitokrom b6f menerima elektron dari PSII kemudian mengirim elektron tersebut ke PSI dengan disertai pemompaan proton dari stroma ke lumen. PSI mereduksi NADP+ menjadi NADPH di dalam stroma dengan bantuan feredoksin dan enzim Flavoprotein-NADP reduktase (FNR). Kompleks 21 ATP sintase memproduksi ATP dengan memanfaatkan energi yang diperoleh dari proton (H+) yang kembali berdifusi dari lumen ke stroma (Critchley 1997). Secara detail, rangkaian transport elektron dapat dijelaskan sebagai berikut: Cahaya (hv) yang diterima fotosistem II (PSII) menyebabkan terjadinya pemisahan muatan pada pusat reaksi sehingga terbentuk pasangan radikal (P680+Pheo-). P680+ melepas satu elektron dari residu tyrosin di dalam protein D1 kemudian direduksi kembali oleh elektron dari kelompok manganese yang mengoksidasi air dan melepaskan proton (H+) dan O2 ke lumen. Pheo- mereduksi quinone yang masih terikat (QA) dan menggerakkan elektron ke quinone kedua (QB) untuk membentuk semi quinone (QB-). Selanjutnya, QB direduksi menjadi quinol dan membutuhkan dua H+ dari stroma dan mendifusikan ke tempat ikatannya menjadi plastoquinol (PQH2). PQH2 dioksidasi di dalam siklus Q oleh sitokrom kompleks b6f yang mereduksi plastosianin (PC) dan melepaskan proton ke lumen (Biswal dan Biswal 1999; Surpin et al. 2002; Andersson et al. 2003). Pada fotosistem I (PSI) penyerapan cahaya menyebabkan pemisahan muatan antara P700 dan penerima elektron A0 (klorofil). Elektron tersebut bergerak melalui filoquinon (A1) dan sejumlah pusat Fe-S (Fx, FA dan FB) ke Fe-S protein ferredoksin terlarut (Fdx). Fdx-NADP+ reduktase (FNR) NADP+ mereduksi menjadi NADPH dengan elektron dari Fdx dan dari H+ stroma. P700+ direduksi kembali dengan elektron yang berasal dari plastosianin (PC). Translokasi H+ dari lumen ke stroma menghasilkan proton motif force yang menyebabkan fosforilasi ADP menjadi ATP oleh ATP sintase (CF0 CF1) (Surpin et al. 2002; Andersson et al. 2003). Secara ringkas, energi matahari digunakan untuk mengoksidasi air untuk menghasilkan proton, elektron dan oksigen. Elektron dikonversi ke NADPH. H+ dari oksidasi air dan siklus Q digunakan untuk mensintesis ATP. Selanjutnya NADPH dan ATP yang terbentuk digunakan untuk asimilasi CO2 menjadi karbohidrat pada siklus Calvin-Benson (Surpin et al. 2002; Andersson et al. 2003). Fotosistem II (PSII). Fotosistem II (PSII) merupakan kompleks multiprotein yang terdapat pada membran tilakoid kloroplas selain PSI, Cyt b6f, dan ATPase. Semua proses fotokimia termasuk transport elektron dari air sampai 22 plastoquinon (PQ) dimediasi oleh PSII (Trebst 1995; Kulandaivelu dan Lingakumar 2000). Biswal dan Biswal (1999) menyebut PSII sebagai kompleks multi-subunit yang terdiri atas lebih dari 25 jenis protein berbeda. Beberapa di antara protein tersebut terletak intrinsik dan protein yang lainnya ekstrinsik serta dikode oleh genom plastida dan genom inti. Protein intrinsik seperti D1 dan D2 serta komponen nonprotein seperti Chl a dimer (P680), 2 Chl a monomer, 2 pheophytin (pheo), quinon A (QA), dan quinon B (QB), dan Fe nonheme, menyusun kompleks inti (core complex) PSII. Kompleks inti tersebut berhubungan dengan kluster Mn (4 Mn) dan antena pemanen cahaya (lightharvesting antenna) seperti CP47 dan CP43 (Whitelegge 1997; Biswal dan Biswal 1999). Beberapa protein ekstrinsik, seperti protein 33-kDa penstabil Mn (Mnstabilizing protein) bergabung dengan fotosistem pada sisi lumen. P680 bertindak sebagai donor elektron dan pheo sebagai akseptor elektron. Fotokimia atau reaksi cahaya PSII dimulai dengan pemisahan muatan yang menghasilkan pasangan radikal P680+ Pheo-. Menurut Whitelegge (1997), aktifitas PSII dapat dibagi menjadi 3 domain fungsional. Fungsi pemanen cahaya dengan sejumlah protein intrinsik (CP43 dan CP47) adalah mentransfer energi dari kompleks antena ke pusat reaksi fotosintesis. Pusat reaksi mengandung residu tyrosin (Yz) yang merupakan donor sekunder, kemudian menerima elektron dari domain ketiga, oxygen-evolving complex (OEC), dengan empat elektron. Inti dari OEC adalah kluster Mn tetranuclear yang terkait erat dengan pusat reaksi dan distabilkan oleh sejumlah protein ekstrinsik termasuk ion Ca2+. Komponen transport elektron sisi donor (donor-side) PSII terdiri atas oxygen-evolving complex (OEC) dengan kluster Mn. Fungsi Mn adalah mengakumulasi muatan positif dari evolusi O2. Kluster Mn terkait erat dengan protein D1 dan D2. Sejumlah asam amino pada protein tersebut merupakan ligan untuk mengikat logam. Ion seperti Ca2+ dilaporkan memodulasi struktur OEC yang berperan dalam penguraian molekul H2O (Biswal dan Biswal 1999). Protein yang mengikat Chl a/b, seperti LHCII, terkait dengan PSII. Secara fungsional LHCII dibentuk pada saat unit monomer bergabung pada PSII dalam bentuk trimer. Susunan komponen struktural PSII ditunjukkan seperti pada Gambar 7. 23 Gambar 7 Diagram skematik pusat reaksi PSII (PSII RC). PSII RC terdiri atas core heterodimer yang tersusun dari protein D1 dan D2. Lhcb1-6 merupakan protein antena pemanen cahaya. CP43 dan CP47 adalah protein yang terikat PSII RC, berperan sangat penting dalam mempertahankan struktur dan fungsi PSII. QA dan QB adalah molekul quinon yang terikat berturut-turut dengan protein D1 dan D2. H, I, W merupakan protein minor terkait dengan kompleks PSII (Kulandaivelu dan Lingakumar 2000; Luciński dan Jackowski 2006). Sistem pemanen cahaya PSII (LHCII) terdiri atas protein produk 6 gen Lhcb (Lhcb1-6) yang dirangkai menjadi 4 jenis kompleks: LHCIIa, LHCIIb, LHCIIc, dan LHCIId (Luciński dan Jackowski 2006). LHCIIb merupakan kompleks trimerik yang mengikat sekitar 60% klorofil PSII. LHCIIa, LHCIIc dan LHCIId merupakan kompleks monomerik yang diketahui berturut-turut sebagai CP29, CP26, dan CP24 (Janson 1999). Data terkini menunjukkan bahwa CP29 dan CP26 berperan dalam sistem pemanen cahaya dan dissipasi energi dalam proses fotosintesis (Andersson et al. 2001). Dalam percobaannya menggunakan alga hijau, Nishigaki et al. (2000) melaporkan, sel yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya rendah memiliki bentuk pemanen cahaya LHC II dan LHC I, sedangkan pada intensitas cahaya tinggi memiliki bentuk LHCII, LHC H1 dan LHC H2. LHCI dan LHC HI menjaga efisiensi transfer energi dari Chlb dan lutein ke Chla. LHC H2 menunjukkan rasio 24 Chla/b tinggi. Chlb dan lutein tidak dapat mentransfer secara lengkap energi eksitasi ke Chla pada LHC H2. Peranan PSII dalam transport elektron dalam proses fotosintesis agak khusus karena membawa fungsi evolusi oksigen (oxygen-evolving complex, OEC) yang merepresentasikan permulaan rantai elektron fotosintetik yang efektif. Lintasan transfer eletron pada PSII adalah sebagai berikut: H2O merupakan sumber elektron untuk PSII; Oksidasi H2O di dalam kluster Mn (M) terjadi sebagai ekstraksi 4 elektron dari 2 molekul air, diistilahkan ‘oxygen clock’ yang dikontrol oleh satu elektron dari P680. Transport elektron dari M-Z-P-I- sampai QA meliputi satu elektron saja. Akan tetapi, transfer elektron terakhir dalam PSII terjadi 2 reduksi elekrton dari QB menjadi anion semiquinon (QB-) kemudian menjadi quinol tereduksi penuh (QB--). Plastoquinol menjadi protonasi dan meninggalkan PSII-binding site. Plastoquinon kemudian berikatan dengan QBbinding site, dan proses transfer elektron diulangi seperti semula (Critchley 1997). Menurut Critchley (1999), terdapat dua fungsi PSII dalam fotosintesis. Yang pertama adalah dalam pemanenan energi cahaya untuk mengontrol transport elektron. Air merupakan donor untuk transport elektron yang mereduksi NADP melalui PSI. Yang kedua, PSII berperan menjaga gradien pH di dalam membran tilakoid, yang diperlukan untuk sintesis ATP. Fotosistem I (PSI). Fotosistem I merupakan kompleks pigmen protein yang mengandung multisubunit yang terletak pada membran tilakoid, yang dapat memfotoreduksikan ferredoxin dengan elektron yang berasal dari fotosistem II (PSII) melalui pembawa elektron, plastosianin (PC). Secara singkat PSI merupakan oksidoreduktase plastosianin:ferredoxin yang dikendalikan cahaya (Hiyama 1997). PSI berfungsi pada separo kedua dari rantai transfer elektron dan menggunakan cahaya matahari untuk mentransfer elektron dari plastosianin ke NADP+ (Webber et al. 1997). Pada tanaman, PSI terdiri atas dua moietie: pusat reaksi dan kompleks pemanenan cahaya I (LHCI). Pusat reaksi terdiri atas 11 subunit, dengan nomenklatur (PsaA to PsaF and PsaI to PsaM) yang berasal dari gen psaA to psaF and psaI to psaM. Sebagian besar dari subunit tersebut merupakan membrane-integral. 25 Subunit besar PsaA dan PsaB heterodimer merupakan inti (core) dari PSI, mengatur hampir seluruh kofaktor sistem tranfer elektron dan sistem antena. PsaA-PsaB heterodimer mengikat pasangan klorofil spesifik P700 (dua molekul filloquinon, satu kluster Fe-S, dan sejumlah molekul klorofil a pemanen cahaya). Pada subunit tersebut terjadi pemisahan muatan yang dikendalikan oleh cahaya, dan juga meliputi akspetor elektron yang penting A0 (klorofil a), A1 (filloquinon) dan FX (suatu kluster Fe4-S4). Selain itu, heterodimer mengkoordinasikan sekitar 80 klorofil yang berfungsi sebagai antena pemanen cahaya intrinsik (Nelson dan Ben-Shem 2002; Jordan et al. 2001). Komponen terminal dari rantai transfer elektron pada PSI yaitu dua kluster Fe4-S4 (FA dan FB) yang terikat pada PsaC. Sisanya adalah subunit yang berperan serta di dalam penempatan (docking) ferredoxin yaitu (PsaC, PsaE dan PsaD) dan plastosianin (yaitu PsaF), asosiasi dengan LHCI (PsaK, PsaG, PsaJ dan PsaF), docking LHCII (PsaI, PsaH dan PsaL), dan menjaga integritas dan kestabilan kompleks, dan mungkin beberapa fungsi lainnya (Scheller et al. 2001). Kompleks pemanen cahaya (LHCI) pada PSI merupakan antena membran pemanen cahaya periferal ekstrinsik, dan antena ini dibentuk dari susunan modular dari empat macam protein yang mengandung klorofil pemanen cahaya (Lhca1–Lhca4). Keempat protein tersebut bergabung menjadi dua dimer yang docking pada sisi PsaF dari pusat reaksi (Ben-Shem et al. 2003). Pada PSI terdapat juga donor elektron (plastosianin) dan penerima elektron (ferredoxin) yang memberikan struktur yang lebih lengkap tentang mekanisme transfer elektron pada fotosistem I. Plastosianin menerima elektron dari sitokrom b6f, kemudian secara langsung memberikan elektron ke P700. Ferredoxin merupakan protein Fe-S, menerima elektron dari PSI, dan membentuk kompleks dengan enzim flavoprotein (ferredoxin : NADP oxidoreductase, FNR) yang mereduksi NADP menjadi NADPH. Pada kondisi tertentu ferredoxin terreduksi dan memberikan elektron secara langsung kepada kompleks cytochrome b6f dan memfasilitasi pembentukan ATP melalui fosforilasi siklik (Nelson dan Ben-Shem 2004). Pada S. elongatus, PSI memiliki 3 subunit stroma kecil: PsaC, PsaD, dan PsaE dengan BM masing-masing 8.7, 15.2, and 8.3 kDa (Tabel 1). Ketiga subunit 26 tersebut merupakan subunit ekstrinsik, non-membrane-integral, menutupi permukaan stroma, melebar melebih daerah membran integral (Gambar 8). PsaD dan PsaE dikode gen fotosintetik inti, sedangkan PsaC dikode gen kloroplas (Klukas et al. 1999; Kraub dan Saenger 2001). Tabel 1 Diskripsi subunit protein pada fotosistem 1 (PSI) (Hiyama 1997; Webber et al. 1997; Kraub dan Saenger 2001) Nama Subunit protein PsaA Berat Nama Lokasi Molekul Gen (kDa) 83 psaA Intrinsik PsaB 83 psaB PsaC 9 psaC PsaD 15 psaD PsaE 8 psaE PsaF 15 psaF PsaI 4 psaI PsaJ 5 psaJ PsaK 8 psaK PsaL 16 psaL PsaM 3 psaM Asal gen Keterangan Kloroplas Mengikat rantai transfer elektron intrinsik membran dan mayoritas kofaktor antena core bersama-sama dengan PsaB Intrinsik Kloroplas Mengikat rantai transfer elektron intrinsik membran dan mayoritas kofaktor antena core bersama-sama dengan PsaA Stromal Kloroplas Terletak pada permukaan Ekstrinsik stroma, mengikat kluster Fe-S, FA dan FB Stromal Inti Terletak pada permukaan Ekstrinsik stroma, diperlukan untuk stabilitas PSI, docking ferredoxin / flavodoxin. Stromal Inti Terletak pada permukaan Ekstrinsik stroma, terlibat pada docking ferredoxin / flavodoxin dan aliran elektron siklik. Intrinsik Inti Terlibat dalam docking plastocyanin / cytochrome c6 Intrinsik Kloroplas Menstabilkan PsaL pada kompleks PS I Intrinsik Kloroplas Menstabilkan PsaF pada kompleks PS I Intrinsik Inti Terkait erat dengan PsaA pada pusat reaksi PSI Intrinsik Inti Bertanggung jawab untuk trimerisasi PSI Intrinsik Kloroplas Fungsi belum diketahui 27 PsaD mengandung satu -helix pendek, Da, yang berdekatan dengan PsaC yang dikeliling oleh -sheet, yang terdiri atas paling kurang tiga -strands (gugus) yang relatif panjang. Satu gugus PsaD menutup dan membungkus PsaC, yang lain terletak di permukaan stroma, tidak berhubungan dengan subunit yang lain, berfungsi menjaga stabilitas peran PsaD terhadp PsaC. Pada tanaman, PsaD mempunyai gugus N yang terlibat dalam pengikatan subunit stroma lain, dan ini menunjukkan pentingnya PsaD dalam menjaga kestabilan stroma pada tanaman (Klukas et al. 1999). Kruip et al. (1997) juga melaporkan, PsaD diperlukan untuk menstabilkan PsaC, dan subunit yang mengarah ke sitoplasma dari PSI. PsaD merupakan ‘master’ subunit yang menstabilkan keseluruhan gabungan PsaC/D/E pada fotosistem I. Dengan demikian, subunit PsaD berperan penting dalam kelangsungan transfer elektron yang berlangsung pada PSI (Klukas et al. 1999). A B Gambar 8 Struktur keseluruhan PSI. A. Simulasi permukaan gundukan stroma PSI. PsaC diberi warna kuning, PsaD warna merah, PsaE warna biru, dan subunit membran-integral warna putih. PsaC terletak di pusat monomer, diapit oleh PsaD dan PsaE. PsaD terletak lebih dekat dengan trimer, sedangkan PsaE terletak dekat dengan periferal. B. gambaran samping, sejajar dengan membran, terhadap susunan PSI, termasuk subunit ekstrinsik PsaE, PsaC dan PsaD stroma (Kruip et al. 1997; Klukas et al. 1999; Kraub dan Saenger 2001) 28 Gen-gen Fotosintesis yang Terkait Adaptasi Tanaman terhadap Intensitas Cahaya Rendah Fotosintesis terjadi pada kloroplas yang di dalamnya terdapat sistem membran tilakoid yang terorganisir dengan baik dan melibatkan semua komponen aparatus fotosintetik yang dikode gen inti dan gen kloroplas untuk penangkapan cahaya dan pembentukan struktur pemanenan fotosintetik yang optimal (Allen dan Forsberg 2001; Pfannschmidt 2003). Gen kloroplas terdapat pada genom kecil yang disebut plastome, yang mengandung 100-120 kelompok gen yang relatif stabil (Race 1999). Kloroplas juga mengandung komponen yang lengkap untuk mengekspresikan informasi genetik (Stern 1997), meskipun sebagian besar protein kloroplas dikode di inti (Abdallah 2000) dan harus diimpor secara posttranslasional ke kloroplas melalui komponen import yang terletak di amplop kloroplas (Jarvis dan Soll 2001). Stern (1997) melaporkan bahwa protein yang terletak pada dan/atau dekat dengan pusat reaksi fotosintesis dikode di plastome, sementara protein periferal dikode di inti. Gen-gen inti mengatur jumlah ion dan asam amino tertentu pada sitoplasma, yang dapat mempengaruhi kemampuan plastida untuk tumbuh dan berkembang. Pada tahapan berikut, perkembangan dan diferensiasi plastida memerlukan enzim, enzim subunit, yang dikendalikan gen inti. Gen-gen inti ini mempengaruhi taraf transkrip gen kloroplas, transkripsi dan translasi gen kloroplas, dan stabilitas protein produk gen plastida. Semua gen inti tersebut dapat membantu memadukan aktivitas genom inti dan genom kloroplas (Hatchel 1997). Gen-gen Fotosintetik Inti Gen-gen inti yang mengkode protein komponen PSI antara lain psaD, psaE, psaF, psaK, psaL, psaN, psaO, psaX, psaY, dan petF yang mengkode ferredoxin (Fd), petE mengkode plastosianin (PC), petH mengkode ferredoxin:NADP oksidoreduktase (FNR) (Hiyama 1997). Gen-gen lain yang terkait cahaya yang terlibat dalam fotosintesis antara lain rbcS yang mengkode mRNA dan protein sub unit kecil ribosom, lhcb, chlorophyll a/b binding protein (CAB), chalcone synthase (CHS) (Peters et al. 1998), chlorophyll a oxygenase (CAO), gen yang mengkode enzim biosintesis klorofil seperti CHLD, DVR (Masuda et al. 2002), 29 dan gen-gen yang terkait dengan kualitas cahaya seperti gen fitokrom (phy), DET2 (de-etiolated-2) (Ziemienowicz dan Gabrys 2003), por, Apx (Pfannschmidt 2003). Menurut Steindler et al. (1999), gen ATHB-2 mengkode protein homeodomain-leucine zipper yang diinduksi dengan cepat dan kuat oleh adanya perubahan rasio cahaya merah (R) : merah jauh (FR) yang terjadi selama siang hari di bawah naungan kanopi dan menginduksi respon shade avoidance tanaman. Gen-gen Fotosintesis Kloroplas Gen fotosintesis kloroplas merupakan kelompok gen kloroplas yang terlibat dalam fotosintesis. Gen kloroplas (plastida) berbentuk sirkuler, disebut plastome, dengan ukuran 120-217 kb. Genom kloroplas terdiri atas 2 kelompok, daerah large single copy (LSC) dan small single copy (SSC) dengan 2 inverted repeats (IR) yang dapat menyandi sekitar 140 protein selain 30 protein dalam proses fotosintesis (Hachtel 1997; Joshi 1997; Tyagi et al. 2000). Gen kloroplas terutama menyandi komponen protein dari empat kelompok kompleks protein yang terdapat pada membran tilakoid yaitu: 6 gen untuk protein PSI (psaA-C,I,J,M; produk P700 Chla apoprotein A1, P700 apoprotein Chla A2, protein 9kDa), 12 gen untuk protein PSII (psbA-F,H-N; produk pusat reaksi protein D1, D2, apoprotein Chla 47kDa CP47, apoprotein Chla 43kDa CP43, cyt b559 8kDa, cyt b559 4kDa), 6 gen untuk cyt b6/f (petA-B,D,G; produk cytochrome f, cytochrome b6), dan 6 gen untuk ATPase (atpA-B, atpE-I; produk subunit CF1 alpha, CF1 beta), dan gen yang mengkode subunit besar Rubisco (rbcL) (Hachtel 1997; Joshi 1997; Tyagi et al. 2000). Prinsip Kontrol Redoks pada Ekspresi Gen Fotosintetik Proses transduksi tanaman terhadap adanya cekaman faktor luar mencakup tiga proses pokok, yaitu: stress perception, transduction of stress signal, dan final response. Terhadap stres lingkungan, tanaman dapat merasakan, mengenali signal stres, dan menggunakan signal tersebut sebagai isyarat (cue) untuk membentuk perubahan-perubahan spesifik pada berbagai tingkatan sebagai bentuk adaptasinya, seperti perubahan struktur morfologi, fisiologi (physiological 30 behavior), modifikasi lintasan biokimia, dan ekspresi gen-gen spesifik (stressspecific gene expression) (Biswal dan Biswal 1999). Mekanisme tanaman untuk dapat mengenali dan merasakan suatu signal stres kemudian merubah signal tersebut menjadi respon biokimia (biochemical response) masih belum begitu jelas. Akan tetapi, penerimaan (perception) tanaman terhadap signal stres dan interaksi awal dengan sel dapat diketahui dengan adanya berbagai perubahan fisik seperti perubahan volume sel, struktur biomembran, keseimbangan ion, total kandungan dan komposisi solut, atau perubahan terhadap interaksi protein-ligan (Biswal dan Biswal 1999). Membran sel yang terdiri atas protein dan lipid bilayer merupakan tempat terjadinya proses persepsi signal stres. Seperti membran plasma, membran kloroplas tidak hanya tersusun oleh lipid dan protein tetapi juga ion-ion dan berbagai macam reseptor yang dapat mengenali signal intrinsik maupun signal dari lingkungan. Perubahan struktur lipid dan/atau kompleks lipoprotein akibat stres (stress-induced changes) tersebut selanjutnya dikirim (transmitted) ke berbagai jenis respon seluler melalui perubahan biokimia yang sesuai untuk mengembangkan mekanisme adaptasi guna mengimbangi pengaruh cekaman tersebut. Signal stres dapat menyebabkan terjadinya perubahan di dalam fluiditas membran dan memicu serangkaian perubahan-perubahan, termasuk ekspresi gengen yang berperan terhadap adaptasi stres (Murata dan Loss 1997). Stres cahaya rendah misalnya, sebagaimana yang dilaporkan pada padi gogo, menyebabkan proses metabolisme terganggu, yang berimplikasi pada menurunnya laju fotosintesis dan sintetis karbohidrat (Chaturvedi dan Ingram 1989; Vijayalaksmi et al. 1991; Murty et al. 1992; Jiao et al. 1993; Watanabe et al. 1993; Yeo et al. 1994). Pengaruh tercepat dari cekaman intensitas cahaya rendah adalah penurunan kandungan karbohidrat, terutama fruktosa dan sukrosa (Kephart et al. 1992; Chaturvedi et al. 1994) yang diikuti dengan berbagai perubahan dari proses metabolisme pada tanaman. Terhadap ekspresi gen, cahaya merupakan salah satu faktor lingkungan yang paling penting pada organisme fotosintetik. Fotosintesis memberikan signal yang penting terhadap ekspresi gen dengan kontrol cahaya melalui perubahan pada status reduksi/oksidasi (redoks) dari molekul signaling. Perubahan pada status 31 redoks seperti itu diinduksi oleh perubahan kualitas dan kuantitas cahaya yang diterima. Mekanisme signal redoks memungkinkan fotosintesis mengadakan perubahan pada struktur aparatus fotosintesis melalui kontrol umpan balik ekspresi gen fotosintesis, dan mekanisme signal ini disebut ’kontrol redoks’ (Pfannschmidt et al. 2001; Surpin et al. 2002; Pfannschmidt 2003). Reaksi redoks merupakan reaksi kimia yang meliputi transfer elektron atau atom hidrogen antar molekul. Reduksi merupakan perolehan satu atau lebih elektron atau atom hidrogen oleh akseptor elektron. Oksidasi merupakan kehilangan satu atau lebih elektron atau atom hidrogen pada suatu donor elektron. Status redoks artinya status oksidasi atau reduksi dari suatu molekul tertentu. Kontrol redoks dari setiap fenomena biologi dapat diuraikan sebagai ketergantungan suatu respon molekuler terhadap status redoks dari satu atau lebih molekul penyusunnya. Banyak proses metabolisme di dalam sel melakukan reaksi redoks sehingga terjadi berbagai respon biologi dan ini dilaporkan sebagai kontrol redoks (Pfannschmidt et al. 2001; Surpin et al. 2002). Secara sederhana, untuk mengklasifikasi perbedaan tipe kontrol redoks adalah dengan menentukan posisi parameter controlling pertama di dalam rantai transduksi signal antara stimulus lingkungan dengan respon molekuler. Pada sel hidup, rantai transduksi signal ini meliputi persepsi rangsangan lingkungan baik melalui satu atau beberapa reseptor, proses transduksi signal melalui rantai molekul transduksi yang sesuai, yang pada akhirnya respon molekuer yang menyebabkan sel-sel mampu melakukan aklimatisasi terhadap perubahan lingkungan (Gambar 9). Berdasarkan posisi parameter kontrol di dalam rantai transduksi signal, kontrol redoks dibedakan menjadi kontrol redoks persepsional dan kontrol redoks transduksional. Kontrol redoks persepsional, terjadi apabila faktor lingkungan (misal, cahaya) itu sendiri menginduksi signal redoks di dalam sistem sensor persepsi. Kontrol redoks transduksional, terjadi apabila persepsi dari faktor lingkungan (misal cahaya) menghasilkan perubahan status redoks dari molekul-molekul terkait yang ada di sistem sensor (phytochrome family, dan blue light photoreceptor, PSII, PSI). Pada organisme fotoautotropik, aparatus fotosintetik dapat berfungsi sebagai sistem sensor dan berfungsi sebagai fotoreseptor (Pfannschmidt et al. 2001; Pfannschmidt 2003). 32 B P Gambar 9 Model kontrol redoks (redox control) terhadap ekspresi gen fotosintesis pada tanaman tingkat tinggi. (A) Skema tahapan proses signaling di dalam sel tanaman. (B) Skema tahapan kontrol redoks terhadap ekspresi gen fotosintesis. Kotak dengan huruf P menunjukkan sistem sensor dari perceptional redox control; kotak dengan huruf T menggambarkan komponen transductional redox control. Garis panah tebal menunjukkan lintasan signaling yang dikontrol redoks. Rantai tranport elektron dari kloroplas digambarkan secara sistematik sesuai dengan skema Hill– Bendall Z dan aliran elektron ditampilkan dengan panah yang menghubungkan antar komponen (Pfannschmidt et al. 2001; Surpin et al. 2002). Regulasi redoks oleh faktor lingkungan ‘cahaya’ sangat umum di antara organisme fotosintetik pada tanaman tingkat tinggi. Hasil penelitian dilaporkan bahwa perubahan pencahayaan (kualitas atau kuantitas cahaya) digunakan untuk mempengaruhi transport elektron pada membran tilakoid in vivo, yang pada gilirannya menyebabkan perubahan status redoks komponen fotosintetik. Penelitian dengan perubahan kualitas cahaya umumnya melibatkan kondisi cahaya rendah. Pada kloroplas tanaman yang mengalami kondisi tersebut, gen-gen fotosintetik plastid saja yang terpengaruh. Sebaliknya, perubahan kuantitas cahaya 33 secara predominan menunjukkan adanya pengaruh redoks persepsional terhadap gen fotosintetik inti. Dari kedua kasus tersebut, terindikasi bahwa sensor redoks yang paling memungkinkan adalah PQ-pool dan/atau kompleks cyt b6f. Pada tanaman tingkat tinggi, Sinapsis alba, pencahayaan yang lama dengan perubahan kualitas cahaya menyebabkan penyesuaian jumlah molekul (stoikiometri) fotosistem melalui variasi densitas PSI dan PSII secara simultan. Kuantitas cahaya juga berpengaruh terhadap ekspresi gen-gen fotosintetik inti. Ekspresi gen Lhcb (yang mengkode chlorophyll-binding protein dari kompleks pemanen cahaya PSII, LHCII) pada alga bersel satu, D. tertiolecta, dapat dirangsang oleh PQ-pool teroksidasi (melalui switch dari intensitas cahaya tinggi ke rendah) (Pfannschmidt et al. 2001; Surpin et al. 2002; Pfannschmidt 2003). Pengetahuan terkini menunjukkan bahwa komponen redoks menginisiasi lintasan signaling yang cukup penting, yang akhirnya meregulasi ekspresi gen-gen fotosintesis. Akan tetapi pada level molekuler, ada dua pertanyaan mendasar yang masih krusial, bagaimana signal redoks itu ditransduksi ke gen target, dan apakah berbagai pengaruh redoks yang diamati pada sistem in vivo dan in vitro menunjukkan network signaling redoks yang terintegrasi. Pfannschmidt et al. (2001) meringkas berbagai hasil penelitian sebelumnya dan menyatakan bahwa signal redoks ditransfer keluar dari membran tilakoid melalui dua cara yaitu: signal redoks utama dari PQ-pool dimediasi melalui kompleks cyt b6f, dan transduksi signal redoks PQ/cyt b6f melalui kinase yang terkait dengan tilakoid. Kedua, status redoks dari PQ diterima oleh membran yang terikat, dua komponen sensor kinase, yang mentransfer signal tersebut sampai adanya respon molekuler, yang pada gilirannya mempengaruhi ekspresi gen. Metabolisme kloroplas dan fotosintesis berkontribusi terhadap signal kloroplas yang menentukan ekspresi gen. Perbedaan kontrol redoks gen fotosintesis kloroplas dan inti adalah signal redoks yang menuju inti terdiri atas 80-120 signal (tergantung jumlah kloroplas pada sel yang bersangkutan), sedangkan kontrol redoks di dalam kloroplas merupakan spesifik kloroplas, sehingga ekspresi gen fotosintesis inti menggambarkan respon terhadap rata-rata dari seluruh signal tersebut. Signal redoks kloroplas yang ke inti mengandung informasi yang sifatnya lebih umum tentang kapasitas fotosintesis sel, sedangkan 34 signal redoks di dalam kloroplas menghasilkan kontrol ekspresi gen tergantung situasi spesifik di dalam masing-masing kloroplas (Pfannschmidt et al. 2001; Pfannschmidt 2003). Pada kondisi intensitas cahaya rendah, status redoks PQ-pool tergantung secara langsung pada transport elektron. Peran fisiologi yang utama adalah untuk meredistribusikan ketidakseimbangan energi eksitasi antara kedua fotosistem (PSI dan PSII) untuk menghasilkan flux elektron yang efisien, meskipun pada hasil foton yang terbatas, dengan cara aktifasi keragaman fisiologi atau mekanisme ekspresi gen (Pfannschmidt et al. 2001; Pfannschmidt 2003). Ekspresi Gen-gen Terkait Adaptasi Tanaman terhadap Intensitas Cahaya Rendah Fotosintesis merupakan reseptor untuk informasi lingkungan yang mengontrol ekspresi gen-gen yang dikode inti dan plastida yang mengkode komponen-komponen yang diperlukan untuk proses fotosintesis yang efisien. Beberapa data mengenai kontrol redoks terhadap ekspresi gen fotosintesis konsisten dan mengindikasikan fotosintesis berperan penting sebagai regulator metabolisme tanaman dan juga ekspresi gen (Pfannschmidt et al. 2001; Pfannschmidt 2003). Sebagaimana diketahui bahwa gen-gen inti diregulasi pada level transkripsi dan gen-gen kloroplas diregulasi pada level post-transkripsi. Akan tetapi, banyak penelitian menunjukkan bahwa ekspresi gen pada organisme hidup cukup kompleks dan banyak dipengaruhi berbagai faktor dalam dan luar tanaman. Ekspresi gen meliputi beberapa tahapan, dimulai dengan transkripsi gen atau operon menjadi pre-mRNA (hnRNA) yang kemudian diproses menjadi molekul mRNA matang oleh mekanisme yang meliputi splicing dan editing. Ukuran pool molekul mRNA selanjutnya tergantung pada stabilitas mRNA. Terakhir, untuk memperoleh polipeptida fungsional, mRNA dikirim ke poliribosom untuk translasi menjadi protein. Sebagian besar tahapan ekspresi gen ini diregulasi oleh inti dan kloroplas. Cahaya mengaktifkan ekspresi gen inti maupun kloroplas dan juga prosesing subunit protein untuk pembentukan protein kompleks. Cahaya bekerja 35 pada level post-transkripsi di dalam kloroplas, sementara secara langsung mengontrol laju transkripsi selama ekspresi gen inti. Sensor tanaman menerima cahaya putih (400-700 nm), UV dan merah jauh (far-red). Terdapat paling kurang 3 fotoreseptor yang terlibat dalam penerimaan cahaya, yaitu a) reseptor fitokrom, reseptor cahaya merah/merah-jauh, b) reseptor cahaya biru/UV-A dan/atau UV-B, dan c) protochlorophyllide, dengan kapasitas penerimaan cahaya merah. Signal cahaya diterima oleh fotoreseptor dan ditransmisi secara bertahap (cascade) untuk mengontrol perubahan transkripsi atau post-transkripsi. Transduksi signal yang menghubungkan penerimaan cahaya oleh fotoreseptor dan ekspresi gen masih belum jelas, kecuali elemen regulatory cahaya pada daerah promoter yang menerima signal yang diproses fotoreseptor untuk aktivitas gen (Biswal 1997a, Tyagi et al. 2000). Misalnya promoter rbcS pada kacang kapri (Pisum sativum) dengan sekuens -35 bp sampai -2 bp yang mencakup TATA box dijumpai menginduksi ekspresi gen light-regulated dan positif regulatory elemen (PRE) yang dijumpai pada daerah upstream promoternya. Gambar 10 Model sintesis, prosesing, transport, dan protein PSII intrinsik dan ekstrinsik (Biswal 1997a). 36 Intensitas dan kualitas cahaya juga mempengaruhi tingkat transkripsi dan mRNA. Di antara panjang gelombang, cahaya merah/merah-jauh yang bekerja melalui fitokrom dan cahaya biru melalui kriptokrom tampaknya paling penting yang mengkode beberapa gen kloroplas (Tyagi et al. 2000). Empat subunit protein intrinsik yang penting dari kompleks PSII, seperti D1, D2, cyt b556, CP43, dan CP47 dikode oleh gen kloroplas, disintesis di kloroplas, diproses di membran, dan ditransfer di dalam tilakoid dari lamela stroma ke daerah tumpukan grana, dimana protein tersebut diinsersi dengan protein lain dan komponen nonprotein untuk membentuk hasil akhir. Sebaliknya, protein ekstrensik dengan berat molekul 33, 23, dan 18 kDa dikode oleh gen inti, disintesis di sitoplasma sebagai prekursor dengan berat molekul tinggi, diproses, dan ditransfer melalui membran kloroplas dan membran tilakoid. Terakhir, protein mencapai lumen dan bergabung dengan protein intrinsik (Gambar 10) (Biswal 1997a; Rochaix 2001). Analisis Genetik Adaptasi Tanaman Pendugaan Jumlah Gen Pengendali Adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah dapat berupa sifat kualitatif atau kuantitatif. Sifat kualitatif dikendalikan oleh gen mayor dan memiliki ragam diskret (diskontinu) yang dapat dipisahkan secara jelas menjadi kelas-kelas tertentu. Sifat kualitatif dikendalikan satu atau beberapa gen yang ekspresinya tidak banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sifat kuantitatif memiliki ragam terusan (kontinu), dikendalikan oleh banyak gen minor yang ekspresinya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Allard 1960; Fehr 1987). Untuk menduga apakah suatu karakter dikendalikan oleh gen sederhana (gen mayor), poligenik (gen minor) atau keduanya sekaligus dapat dilakukan melalui pengamatan sebaran frekuensi karakter yang diamati pada populasi bersegregasi (F2). Sebaran frekuensi F2 yang diskret menunjukkan bahwa karakter yang diamati dikendalikan oleh gen mayor (gen sederhana). Sebaran terusan (kontinu) satu puncak dan menyebar normal menunjukkan gen pengendali adalah gen minor. Apabila membentuk sebaran terusan dengan dua puncak atau lebih, 37 karakter yang diamati dikendalikan oleh beberapa gen mayor dan gen minor sekaligus (Fehr 1987). Analisis genetik untuk karakter yang dikendalikan oleh gen mayor dilakukan dengan analisis genetika Mendel, yaitu dengan membandingkan nisbah fenotipe hasil pengamatan pada populasi F2 terhadap nisbah Mendel atau nisbah fenotipe tertentu sebagai simpangan nisbah Mendel dengan uji Chi-Kuadrat (Fehr 1987; Crowder 1993). Untuk keperluan tersebut fenotipe pada populasi F2 dikelompokkan ke dalam kelas-kelas tertentu sesuai dengan jumlah kelas dalam nisbah pembanding. Melalui cara pendekatan ini diperoleh dugaan jumlah gen dan aksi gen yang bersegregasi untuk karakter yang diamati. Menurut Allard (1960); Burns (1976), karakter kualitatif dicirikan oleh adanya ragam diskret (diskontinu) pada kurva sebaran frekuensi dengan munculnya kembali ragam kedua tetua di dalam generasi bersegregasi (F2) dan salah satu tetua mempunyai pengaruh dominansi penuh dalam generasi F1. Karakter kuantitatif secara umum dicirikan oleh adanya varian kontinu pada kurva sebaran frekuensi di dalam generasi bersegregasi (F2) dengan varian F2 yang lebih besar dari varian F1. Untuk mengetahui sebaran frekuensi dari populasi yang diuji, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas sebaran frekuensi F2 menggunakan metode Shapiro dan Wilk (1965). Apabila sebaran frekuensi F2 menunjukkan sebaran dengan satu puncak dan menyebar normal, maka karakter yang diuji dikendalikan oleh banyak gen minor (poligenik). Pendugaan jumlah gen yang bersegregasi dilakukan dengan menggunakan beberapa rumus, salah satunya adalah rumus Castle (1921) dalam Roy (2000), sebagai berikut. n = ( p1 − p 2 ) 2 8 ( σ 2 F 2 − σ 2 F1 ) dimana, n = jumlah gen pengendali; p1 = rata-rata tetua 1; p2 = rata-rata tetua 2; σ2F1 = varians populasi F1; σ2F2 = varians populasi F2. Apabila sebaran frekuensi F2 menunjukkan tidak mengikuti sebaran normal, maka kemungkinan karakter tersebut dikendalikan oleh gen minor dan gen mayor. 38 Jumlah gen mayor dihitung dengan membandingkan sebaran frekuensi fenotipik hasil pengamatan (observation) dengan nisbah harapan (expectation) menggunakan uji Chi-Kuadrat (χ2) (Fehr 1987; Crowder 1993). Untuk pendugaan jumlah dan aksi gen, fenotipe pada populasi F2 terlebih dahulu dikelompokkan ke dalam kelas-kelas tertentu sesuai dengan jumlah kelas dalam nisbah pembanding (Fehr 1987; Crowder 1993). Pengelompokan fenotipe berdasarkan kelas-kelas pembanding dalam analisis genetika Mendel adalah sebagai berikut: 2 kelas: peka (1,2), toleran (3,4,5,6,7,8,9); 3 kelas: peka (1,2), moderat (3,4,5), toleran (6,7,8,9); 4 kelas: peka (1,2), agak peka (3,4), agak toleran (5,6), toleran (7,8,9). Untuk menguji kesesuaian nilai pengamatan dengan nilai harapan digunakan Uji Chi-square (χ2): X 2 ( Oi − Ei ) 2 = ∑ Ei dimana χ2 merupakan nilai chi-square hitung; i = 1,2,3,….n; Oi = nilai pengamatan; Ei = nilai yang diharapkan dalam kelas ke i. Apabila nilai χ2 hitung lebih kecil dari χ2 tabel, maka tidak ada beda nyata, berarti sebaran fenotipik pada populasi F2 mengikuti nisbah Mendel atau nisbah fenotipik tertentu. Aksi Gen Konsep umum cara kerja gen atau aksi gen adalah salah satu dari dominansi atau resesif. Alel dapat menunjukkan karakternya secara lengkap atau sama sekali tidak terlihat dalam fenotipe. Konsep ini merupakan konsep atau teori Mendel, dengan asumsi: setiap sifat hanya ditentukan oleh satu lokus, alel dalam setiap lokus bersegregasi bebas (independent assortment) dari lokus lain, dan gen-gen tersebut merupakan gen inti. Akan tetapi, beberapa hasil penelitian mengungkapkan terdapat banyak aksi dan interaksi gen yang berbeda-beda membuat pola segregasi yang berbeda dengan yang didapatkan Mendel. Tipe aksi gen dikelompokkan menjadi dua kategori interaksi umum yaitu intralokus dan interlokus (Welsh 1991; Yusuf 2001). 39 Interaksi intralokus atau alelik. Interaksi intralokus atau yang dikenal dengan alelik yaitu interaksi antar alel pada lokus yang sama, misalnya alel dominan menutup pengaruh dari alel resesif (Crowder 1988). Ada tiga macam interaksi intralokus yaitu, dominansi, tidak ada dominansi (aditif), dan dominansi berlebih (overdominan). Dominansi, sama dengan yang dimaksud Mendel bahwa dari persilangan dua tetua homozigot dihasilkan perbandingan segregasi fenotipe pada generasi F2 yaitu 3:1. Tidak ada dominansi (aditif), fenotipe heterozigot terletak tepat di antara dua tetua homozigot, dihasilkan perbandingan segregasi fenotipe pada generasi F2 yaitu 1:2:1. Variasi interaksi ini dapat terjadi bilamana fenotipe heterozigot mendekati salah satu nilai tetuanya. Keadaan ini disebut dominansi tidak sempurna atau dominansi sebagian atau dominansi parsial. Dominansi berlebih (overdominan), fenotipe heterozigot terletak di luar kedua tetuanya, dihasilkan perbandingan segregasi fenotipe pada generasi F2 yaitu 1:1:2 (Welsh 1991; Crowder 1993). Aksi gen intralokus ini dapat didekati dengan menghitung derajat dominansi melalui rumus nisbah potensi (hp) seperti yang diajukan Petr dan Frey (1966), sebagai berikut. hp = F − MP HP − MP dimana hp = nilai nisbah potensi atau derajat dominansi gen, F = rata-rata nilai F1, HP = rata-rata nilai tetua tertinggi, MP = nilai tengah kedua tetua Selanjutnya berdasarkan nilai potensi rasio, derajat dominansi atau aksi gen diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 2 Klasifikasi derajat dominansi berdasarkan nilai potensi rasio (Petr dan Frey 1966) Kisaran nilai hp 0,00 < hp ≤ 0,25 Derajat dominansi Linier aditif, tidak ada dominansi 0,25 < hp ≤ 0,75 Dominan parsial, tidak sempurna 0,75 < hp ≤ 1,25 Dominan lengkap, sempurna Hp >1,25 Dominan berlebih, overdominan 40 Interaksi interlokus atau non-alelik. Interaksi interlokus atau disebut juga non alelik yaitu interaksi antar alel pada lokus yang berbeda. Sama halnya dengan sistem intralokus, pada interlokus juga terdapat bermacam-macam interaksi alel antar lokus sehingga merubah pola distribusi F2. Untuk dua pasang gen yang memisah secara bebas tanpa adanya interaksi, nisbah fenotipik F2 yang diharapkan adalah 9:3:3:1. Ekspresi sifat satu alel dapat berubah karena kehadiran atau ketidakhadiran salah satu alel atau lebih pada lokus yang berbeda. Proses ini disebut epistasis yang dapat berlangsung apabila paling sedikit terdapat dua lokus yang mengendalikan satu karakter (Welsh 1991; Crowder 1993). Yusuf (2001) membagi interaksi interlokus (epistasis) menjadi tiga macam yaitu epistasis komplementasi, modifikasi, dan duplikasi. Epistasis komplementasi terjadi karena munculnya hasil ekspresi suatu gen yang memerlukan kehadiran alel tertentu pada lokus yang lain. Terdapat dua kasus nisbah yang termasuk epistasis komplementasi yaitu epistasis duplikasi resesif dan epistasis resesif. Epistasis duplikasi resesif atau aksi gen pelengkap yaitu bentuk epistasis dimana munculnya suatu produk memerlukan kehadiran alel dominan pada dua lokus. Distribusi frekuensi pada generasi bersegregasi F2 adalah 9:7. Epistasis resesif atau modifikasi aksi gen yaitu bentuk epistasis dimana faktor resesif homozigot pada suatu lokus bersifat epistasis terhadap faktor dominan pada lokus lain. Distribusi frekuensi fenotipik pada generasi F2 adalah 9:3:4 (Welsh 1991; Crowder 1993; Yusuf 2001). Epistasis modifikasi merupakan bentuk epistasis dimana kegiatan satu gen pada suatu lokus menekan atau merubah hasil kerja gen pada lokus yang lain. Terdapat tiga bentuk epistasis modifikasi yaitu epistasis dominan dan resesif, epistasis dominan, dan kasus segregasi F2 nisbah 7:6:3. Epistasis dominan dan resesif disebut juga epistasis penghambat (inhibitor) yaitu kehadiran suatu alel dominan pada lokus akan menghambat pengaruh alel dominan lain. Pada generasi F2 distribusi fenotipik adalah 13:3. Epistasis dominan (aksi gen menyelubung) yaitu bentuk epistasis dimana kedua lokus menghasilkan produk yang berbeda, produk dari salah satu lokus tersebut menutupi pemunculan dari produk yang lain. Distribusi frekuensi pada generasi bersegregasi F2 adalah 12:3:1. Kasus nisbah 7:6:3 muncul karena adanya satu gen yang mencegah ekspresi gen yang lain, 41 dimana terdapat perbedaan derajat penekanan antara homozigot dominan dengan homozigot resesif (Welsh 1991; Crowder 1993; Yusuf 2001). Epistasis duplikasi yaitu bentuk epistasis yang berlangsung karena dua gen memproduksi bahan yang sama dan menghasilkan fenotipe yang sama. Bentuk interaksi ini disebut juga duplikasi epistasis dominan (isoepistasis) yaitu bentuk epistasis dimana alel dominan pada satu lokus dapat bersifat lebih dominan terhadap alel yang resesif homozigot pada lokus yang lain. Distribusi frekuensi fenotipik pada F2 adalah 15:1 (Welsh 1991; Crowder 1993; Yusuf 2001). Pendugaan Nilai Heritabilitas Salah satu parameter genetik dalam pemuliaan tanaman yang berfungsi untuk mengetahui hubungan genetik antara tetua dengan turunan serta efisiensi seleksi relatif untuk beberapa karakter adalah heritabilitas (Allard 1960). Heritabilitas terdiri atas dua tipe yaitu: heritabilitas arti luas (broad sense heritability) yang dihitung sebagai nisbah varians total genetik, yang meliputi varians dominan, aditif dan epistasis, terhadap varians fenotipik. Heritabilitas arti sempit (narrow sense hetitability) sebagai nisbah varians genetik aditif terhadap varians fenotipik yang menggambarkan seberapa besar suatu karakter mewaris kepada generasi berikutnya. Nilai heritabilitas arti sempit biasanya lebih kecil dari pada nilai heritabilitas arti luas, dan lebih menggambarkan pada kemajuan genetik suatu karakter yang diperoleh dari hasil seleksi (Fehr 1987). Pendugaan nilai heritabilitas arti luas dapat dilakukan melalui komponen varians, regresi tetua - keturunan, pendugaan varians lingkungan secara tidak langsung, dan melalui besarnya perbaikan genetik atau respon seleksi (Fehr 1987). Pendugaan nilai heritabilitas melalui pendugaan varians lingkungan secara tidak langsung dengan melibatkan ragam kedua tetua, generasi F1 dan generasi F2 dengan rumus seperti yang dikemukakan Warner (1952) dalam Fehr (1987). Pendugaan nilai heritabilitas arti sempit dapat dihitung dengan melibatkan varians F2 dari persilangan antar tetua dan F2 dari populasi yang dikembangkan dari backcross (Fehr 1987; Roy 2000). McWhirter (1979) menggolongkan nilai heritabilitas rendah apabila h2 < 20%, nilai heritabilitas sedang apabila 20% < h2 < 50%, dan nilai heritabilitas 42 tinggi apabila h2 > 50%. Terdapat beberapa asumsi-asumsi yang harus dipenuhi sehingga diperoleh nilai duga heritabilitas yang tidak bias, yaitu: tidak ada interaksi non alelik, tidak ada interaksi antara genetik dengan lingkungan, tidak ada pautan antar gen, dan varians lingkungan populasi F2 dan backcross adalah sama. 43