School Well-Being Model: Sebuah Model Promosi Kesehatan di Sekolah Oleh: Praharesti Eriany Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang Abstract The importance of health promotion goals in school development has been strongly emphasized, including World Health Organization. A health promoting school can be characterized as a school constantly strengthening it's capacity as a healthy setting for living, learning and working. Konu and Rimpela school well-being model is based on Allardt's Sociological Theory of Wellfare and assesses well-being as an entity in school setting. Indicators of well-being are divided into four categories : school conditions (having), social relationship (loving), means for self fulfillment (being) and health status. The model takes into account the important impact of pupils homes and the sorrounding community. School well-being model considers health education and healthy promotion as important part of schooling. Key Wolds : Schoof Well-being, Health Promoting in Schoof Pendahu luan Pada awalnya kesehatan mental dan problem psikososial bukan menjadi prioritas dari pembuat kebijakan sekolah . Sekolah seringkali dipandang sebagai sebuah bisnis pendidikan semata. Fokus perhatian hanya tertuju pada problema yang tampak menonjol secara kasat mata, mis : ketika ada siswa yang bunuh diri atau terjadi peningkatan kasus perundungan (bullying) . Upaya yang dilakukan lebih bersifat kuratif daripada preventif. Untuk itu, perlu ada perubahan paradigma bahwa prasyarat utama untuk belajar adalah dimilikinya mental yang sehat pada siswa dan ini harus menjadi bagian dari misi sekolah (Christner dan Mennuti, 1999) 50 Savitri (dalam Pandia dkk, 2014, h.91-95) mengatakan bahwa institusi berperan dalam meningkatkan kesehatan mental dan komunitas terkait. Perlu ada dukungan dari level organisasi sekolah mencanangkan sekolah yang ramah bagi siswa. Upaya dalam untuk mewujudkan kesehatan mental di sekolah meliputi : 1. Komitmen dari tim manajemen puncak untuk menciptakan budaya sekolah yang mengedepankan pada rasa percaya, integritas, demokrasi, kesamaan kesempatan dan setiap anak dihargai tanpa mempertimbangkan kemampuan. 2. Suatu budaya yang menghargai guru, staf non akademik dan semua pihak yang terlibat dalam penanganan dan pengawasan siswa. 3. Kebijakan yang meliputi program untuk mencegah masalah kesehatan mental serta prosedur identifikasi gangguan maupun strategi penatalaksanaan di sekolah. Selain itu, sekolah juga perlu memiliki komitmen untuk menyeimbangkan antara tuntutan akademik dengan pengembangan individual siswa, Kesehatan mental yang baik di masa anaklremaja akan tercermin dari perkembangan psikologis (kognitif, afektif, psikososial) yang optimal yang ditandai dengan hubungan sosial yang produktif, pembelajaran yang efektif, kemampuan untuk self care/self help, kesehatan fisik yang baik dan partisipasi ekonomi di masa dewasa. Selain itu, juga memiliki daya tahan dan kelenturan (resilience) individu terhadap stresor kehidupan yang ditandai dengan kemampuan adaptasi individu terhadap tantangan/perubahan kehidupan agar bertahan hidup (Prasetyo dalam Pandia dkk, 2014, h.7). Salah satu penyebab stres yang dialami siswa adalah tingkat kompetisi yang tinggi. Anak dituntut menguasai ban yak hal dan menjadi pemenang ketika harus berkompetisi. Data di Amerika pada tahun 2007 menunjukkan bahwa sekitar 9,7 % remaja usia 15-24 tahun sudah melakukan upaya bunuh diri (Savitri dalam Pandia dkk, 2014, h.91) . 51 Selain kasus bullying dan bunuh diri, ada juga kasus membolos yang dilakukan remaja. Dalam beberapa survey ditemukan beragam penyebab munculnya perilaku membolos, antara lain : korban bullying, sekolah dipandang membosankan, tugas rumah yang tidak selesai, menghindari ulangan, tidak menyukai guru atau mata pelajaran, dipaksa untuk menggunakan seragam sekolah, dibentak dalam kelas, tidak suka teman-temannya. Selain itu, survey juga menunjukkan faktor kurikulum, cara mengajar yang buruk, relasi guru-siswa yang kurang hangat dan relasi dengan teman sebaya sebagai alasan utama perilaku membolos pad a banyak sekolah (Reid, 1999, h. 3-5). Dampak dari perilaku membolos bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Perilaku membolos dipandang sebagai prediktor utama terjadinya kenakalan pada remaja maupun kejahatan pada orang dewasa dan problem psikiatrik. 2/3 pelaku kejahatan muda diawali ketika mereka membolos sekolah. Perilaku membolos juga berkaitan erat dengan kesulitan hidup yang luas di masa dewasanya yaitu ketidakmampuan untuk bertahan dalam aktivitas kerja yang rutin ataupun dalam kehidupan perkawinan, sering berpindah pekerjaan, terisolir, gangguan patologi, kemiskinan, peningkatan rerata kasus perpisahan dan perceraian, depresi, temper tantrum dan ketidakmampuan untuk terlibat dalam aktivitas pelayanan pada masyarakat. Selain itu juga, semakin tinggi kemungkinan menjadi orangtua di usia muda, pengangguran maupun tunawisma (Reid, 1999, h.3) Berdasarkan gambaran singkat mengenai ketiga problem di atas, maka perlu ada sebuah model promosi kesehatan yang bisa diterapkan di sekolah yang bersifat integratif. 52 Dasar Teori Fungsi Sekolah Di sekolah siswa dapat belajar mengenai berbagai pengetahuan, ketrampilan dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Secara umum, sekolah memiliki dua fungsi umum yaitu maintenance actualization function (fungsi pemeliharaan aktualisasi dan skill training function (tungsi pelatihan ketrampilan). Fungsi pemeliharaan aktualisasi bertujuan memberikan kesempatan bagi siswa untuk berkembang secara sosial, personal dan emosional. Adapun tungsi pelatihan ketrampilan berarti sekolah menyediakan kebutuhan ketrampilan dan pengetahuan agar siswa mampu mandiri dan produktit dalam masyarakat (Dusek dikutip Agustin, 2010). Fungsi sekolah bukan hanya berkaitan dengan materi akademik saja namun juga berkaitan dengan atmosfer/iklim yang ada di sekolah, berupa guru dan stat administrasi, ternan, kurikulum, perasaan aman dan nyaman ketika berada di sekolah. Bila sekolah tidak dapat menjalankan fungsinya maka akan muncul beberapa permasalahan seperti perilaku membolos. Pemandangan mengenai anak-anak yang membolos dari sekolah pada jam pelajaran bukanlah hal baru. Iklim Sekolah Freiberg (1999, h. 13) menggunakan istilah iklim sekolah sebagai kualitas sekolah yang membentuk tempat belajar yang sehat, mendukung tercapainya aspirasi dan impian anak maupun orangtua, menstimulasi kreativitas dan antusiasme guru dan membangkitkan gairah bagi anggotanya. Iklim sekolah merupakan hearl and soul dari sekolah dan secara berkelanjutan akan memunculkan sense of belonging. Iklim sekolah sering diasosiasikan sebagai "perasaan", "well being", "sehat", "Iingkungan "keterbukaan" belajar yang aman (secara fisik dan psikologis)", dan "pengasuhan" di sekolah dan kelas. Sekolah tidak 53 sekedar dimaknai dalam terminologis biologis semata tetapi juga ada makna kualitas hidup organisme dalam sebuah organisasi dengan cultural sense tertentu. Struktur fisik sekolah berpengaruh langsung pada kesehatan individu yang bekerja dan belajar disana. Kuantitas dan kualitas penerangan, suara, kimiawi dan udara di sekolah umumnya tidak berbeda jauh. Untuk mengukur bagaimana persepsi siswa mengenai iklim sekolah dapat menggunakan gambar siswa (student drawings), narasi jurnal guru maupun siswa. Pada gambar anak-anak dapat menunjukkan bagaimana perasaan mereka tentang sekolah. Penggunaan tes menggambar dengan Kinetic School Drawing dimana anak-anak diminta untuk menggambarkan dirinya bersama teman-teman sedang melakukan sesuatu dalam situasi sekolah. Tes ini dipandang merupakan salah satu tes yang mudah administrasinya namun memiliki nilai proyeksi yang tinggi. Tidak memunculkan rasa cemas pada anak karena tugas menggambar dipandang familiar bagi anak (Freiberg, 1999, h. 18). Program promosi kesehatan yang dilakukan di sekolah tidak hanya sebatas pada konsep "sehat" semata namun juga pada konsep mengenai weI/-being. Dalam perkembangan lebih lanjut, penulis melihat bahwa iklim sekolah ternyata merupakan bag ian dari aspek relasi sosial pada konsep teori school well-being yang diajukan oleh Konu dan Rimpela. School Well-Being: School weI/-being (kesejahteraan anak di sekolah) merupakan masalah yang jarang diperhatikan pendidik karena banyak pendidik memaknai kesejahteraan hanya dari terpenuhinya kebutuhan sandang dan pangan pada anak. Konsep mengenai school well being diajukan oleh Konu dan Rimpella (2002) berdasar pada "wellfare theory" yang dikemukakan oleh Allardt. Namun kemudian konsepnya diperluas dengan 54 mempertimbangkan aspek kondisi sekolah (having), relasi sosial (loving), pemenuhan kebutuhan diri (being) dan kesehatan (health). Keempat berkembang model baik pendekatan dan ini seimbang mendukung sebagai individu siswa dan agar anggota masyarakat, disamping memberi pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan dalam hidup. TIME HOME. ~ r lTEACHING AND l......... · --~----tf LEARNING EDUCATlZ. J a ~ "" SClIOOL ~ I ~ / ' WELL~Bf:ING ;:.::; Vj ro"ing J Qviag !!tbool ,,'1JIditiutls MlCiat n:1lI110~!\bi~ ·~'i'_"ttalut .",-J;,.>lclimore rtr;.lt(~~ .~.I~"'14 __ E~~ ·~dymtni'" • {.~SIll<knt .~~ "'A11u:'*lff~,~)lJt'~_" .~,.uti>~,> 'f'''';'''''''''''-\'>. ...rolY ·bd"'fu~ .'<l...,J~ ."'~" •......."""-I\CiII!Il~ being • v";'", <if slHilmf. ""'" '~ililJ<!<>' 'II'Jid..."".~_m: • IITI'lo<cItes..1><.,,, <It;;i!i<1f;-.....O>t healtb .~'d-Ik"&miG't:i.t: ,!(}-~tmf .~",d~,ji."""""", ... • ~- <. .m_1<H~ ·ltt.t'CfeilhW:'!!' Dalam model ini, well-being, teaching and educating (pengajaran dan pendidikan) serta learning (pembelajaran) saling berhubungan. Pengajaran dan pendidikan mempengaruhi masing-masing kategori dari well-being dan dihubungkan dengan pembelajaran. Pembelajaran juga berhubungan dengan well-being serta pengajaran dan pendidikan. Selain itu, pada model di atas juga terlihat bahwa lingkungan rumah dan komunitas memiliki dampak terhadap siswa dan siswa sekolah. Pendidikan bergantung pada pendidikan yang diterima di lingkungan 55 rumah dan juga tidak dapat dipisahkan dari pengaruh masyarakat dimana ia tinggal. 1. Having, merupakan kondisi sekolah meliputi lingkungan fisik di sekitar sekolah dan lingkungan dalam sekolah. Kondisi fisik mencakup keamanan, kenyamanan, kegaduhan, pertukaran udara. Indikator lain dari kondisi sekolah adalah lingkungan pembelajaran mencakup mata pelajaran dan jadwal pelajaran serta hukuman yang diberikan siswa. Indikator ketiga adalah pelayanan sekolah terhadap siswa seperti pelayanan kesehatan dan konseling. 2. Loving, diwakili dengan hubungan sosial. Kebutuhan ini meliputi iklim sekolah, dinamika kelompok, hubungan antara guru dan murid, hubungan dengan teman sebaya serta hubungan sekolah dengan keluarga siswa. 3. Being, bila diterapkan dalam setting sekolah maka bisa dillihat sebagai cara sekolah dalam memberikan sarana pemenuhan diri. Setiap siswa harus dipertimbangkan sebagai anggota komunitas sekolah yang sama pentingnya. Dalam school well-being maka kategori being diwakili oleh self-fulfillment yang meliputi penghargaan yang diberikan sekolah terhadap hasil kerja siswa, bimbingan dan dorongan yang diberikan guru kepada siswa, peningkatan harga diri dan penggunaan kreativitas. 4. Health, difokuskan pada status kesehatan siswa, tidak adanya disease and illness, bebas dari gejala penyakit kronis. School well-being model dapat digunakan untuk konstruksi indikator dan profil dari sekelompok siswa, misal kelompok underachiever, pengganggu atau siswa yang sangat patuh. Dengan menggunakan model ini, dapat dideteksi pad a area mana siswa bermasalah dan perlu lebih banyak dukungan . Disamping itu juga dapat melihat profil untuk seluruh sekolah dan memberi penekanan pada area yang butuh dikembangkan sebagai 56 upaya promosi kesejahteraan siswa . Model ini juga dapat digunakan sebagai alat evaluasi keberhasilan sebuah intervensi (Konu dkk, 2002) Korelasi antar faktor dari school well-being model Konu dkk (2002) melakukan penelitian dan analisis faktor dari school well-being model. Data penelitian dikumpulkan oleh School Health Promotion Survey di Finlandia, melibatkan 40.147 responden yang duduk di kelas 8 dan 9. Hasil matriks interkorelasinya menunjukkan hasil sebagai berikut : Matriks korelasi antar faktor dalam school well-being model X1 X2 X3 X4 X1 - 0.42 0.30 0.32 X2 0.42 - 0.78 0.43 X3 0.30 0.78 - 0.43 X4 0.32 0.44 0.43 - Keterangan : X 1 : Kondisi Sekolah X2 : Relasi Sosial X3 : Pemenuhan kebutuhan diri X4 : Status kesehatan Hasil menunjukkan koefisien korelasi berkisar antara 0.30 - 0.78 dengan koefisien reliabilitas berkisar antara 0.62 - 0.84. Profil Sekolah Musashino Higashi School (MHS) MHS adalah sebuah sekolah inklusi di Jepang yang menurut hemat penulis sudah mengembangkan model pendekatan school well-being dalam proses pendidikan dan pengajarannya. Didirikan pada tahun 1964 oleh Dr Kiyo Kitahara, berlokasi di Tokyo. Sekolah ini menyatukan anak 57 autis dengan siswa reguler di dalam satu kelas. Berada di sebuah kompleks peru mahan dengan bentuk bangunan seperti sekolah lain di Jepang (aspek having). Interaksi antar siswa reguler dengan siswa autis sangat baik (aspek loving) dan tidak kentara perbedaannya. Baru setelah dicermati lebih teliti, baru tampak ada beberapa siswa penyandang autis dengan karakteristik khasnya seperti terpaku pada suatu obyek dengan serius, menghindari kontak mata, melakukan gerakan berulang atau senyum sendiri. Pada tahun 2010 dari total jumlah 2.144 siswa, sebanyak 476 siswa (22%) adalah penyandang autis. Pada awal penerimaan siswa, anak penyandang autis tidak langsung digabung dengan siswa reguler tapi ditampung di kelas khusus dulu. Setelah dianggap cukup siap menerima pelajaran (mampu memegang alat tulis dengan benar, dapat berkonsentrasi, mandiri ke kamar kecil, tidak destruktif, jarang mengamuk) maka bisa bergabung di kelas reguler (Being). Satu kelas reguler terdiri dari 32-34 siswa dan diantaranya terdapat 2-4 siswa autis. Siswa yang mengalami kendala perilaku seperti tantrum duduk paling depan, dekat guru agar mudah ditangani. Guru yang cukup senior, ketrampilan mengajarnya baik, penguasaan materinya andal biasanya ditempatkan untuk menangani kelas dengan kemampuan akademik yang lebih rendah (Being). Orangtua menjadi mitra kerja dalam mendidik anak di rumah (Home). Semua orang di sekolah ini yang berperan dalam mendidik anak dipanggil sensei. Sopir antar jemput Uuga mengikuti pelatihan ketrampilan kelistrikan, membantu membersihkan lapangan olahraga), pelayan kantin (bukan hanya menyediakan makanan tapi juga mengajarkan bagaimana cara menghargai makanan, cara makan yang baik dan sopan) (Being) . Jika ada sopir antar jemput berhalangan maka kepala sekolah tidak segan 58 mengantarkan para siswa ke rumahnya dengan kendaraan sekolah (Loving). Selain menerapkan kurikulum pemerintah, disini juga dilatihkan Daily Life Therapy yang menekankan belajar melalui seni, musik, drama, kerajinan tangan dan olahraga. Oisini juga diajarkan bagaimana mencuci, menjemur, menyetrika dan melipat baju, melap kaca dengan benar dan menjerang air, menanak nasi, menyiapkan minuman dan ketrampilan hidup lainnya. Ketrampilan ini dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan profesi mereka dalam dunia kerja. Oiharapkan mereka dapat bekerja di tempat laundry, sebagai pelayan restoran, petugas kebersihan di hotellkantor (Being) Olahraga kendo (sejenis seni memainkan pedang) menjadi latihan fisik wajib untuk siswa SO sedangkan karate untuk siswa SMP dan SMK. Olahraga ini sarat dengan pengajaran disiplin, etika, teknik melangkah, mengayun pedang (kendo), mengelola emosi. Siswa autis tidak diperkenankan menggunakan atau mengonsumsi obat-obatan baik untuk menanggulangi epilepsi, mengurangi hiperaktif, impulsif dan alergi terhadap berbagai kandungan makanan. Dr Kitahara percaya bahwa anak perlu menngalahkan kekurangannya dengan kekuatannya sendiri (Health) Hubungan antara guru dengan siswa terjalin harmon is melalui pendekatan dari hati ke hatL Kunci keberhasilan sekolah ini adalah saling menghormati dan disiplin. Oi sekolah ini, orangtua lebih berperan aktif menyampaikan apa yang mereka lakukan di rumah terkait pendidikan (Home). Tidak ada tenaga konselor karena semua guru dapat berperan sebagai konselor bagi siswanya. Guru dibekali dengan pengetahuan mengenai psikologi anak termasuk bagaimana menangani siswa dan melakukan konseling. Sekolah inipun diklaim bebas bully baik fisik maupun verbal. Guru biasanya memanggil pelaku dan korban untuk 59 melakukan self reflection dan memfasilitasi mereka menangani masalahnya sendiri (Loving) (Turistiati, 2011) Kesimpulan Model School Well-Being dari Konu dan Rimpela merupakan salah satu bentuk promosi kesehatan yang bisa diterapkan di sekolah. Mengacu pada konsep well-being dengan empat aspek yaitu having (terkait dengan kondisi sekolah), loving (terkait dengan relasi sosial), being (pemenuhan kebutuhan diri) dan health (status kesehatan) siswa. School well-being dapat meningkatkan afeksi yang baik terhadap sekolah dan kegiatan belajarnya. Pemenuhan kebutuhan anak dan hubungan yang baik antara guru dengan siswa, antar siswa maupun guru dengan orangtua didukung peran masyarakat sekitar dapat meningkatkan kesehatan mental anak. Pada akhirnya, school well-being dapat menjadi alat evaluasi bagi kehidupan siswa di sebuah sekolah. 60 Daftar Pustaka Agustin, E.D. (2010). Hubungan antara Harga Diri dan School Well Being Pada Siswa SMA di Jakarta. Skripsi. Jakarta : Universitas Indonesia. Christner, R.W and Mennuti, R.B. (2009). School Based Mental Health. New York: Taylor and Francis Group. Freiberg, H.J. (1999). School Climate: Measuring, Improving and Sustaining Healthy Learning Environments. Philadelphia : Falmer Press, Taylor and Francis Inc. Negeri 1 Teras Boyolali. Konu, A and Rimpela, M. (2002). Well-being in Schools : A Conceptual Model. Health Promotion International, Vol 17, No 1, p.79-87. Great Britain: Oxford University Press. Konu, A; Alanen, T; Lintonen, T.; Rimpela, M. 2002. Factor Structure of The School Well-being Model. Health Education Research, Theory & Practice. Vol 17, No 6, p. 732-742. Pandia, V. ; Andayani, S.; Iskandar, S. (2014). Mental Health Well-Being for Children, Parents, and Family (Optimalisasi Kesehatan Jiwa Anak, Orangtua dan Keluarga). Proceeding. Bandung AKESWARI. Reid, K. (1999). Truancy and Schools. London : Routledge, Taylor & Francis Group. Turistiati, AT. (2011). Mempelajari Sekolah Inklusif di Jepang. Majalah Intisari. Edisi April. Jakarta: Kompas Gramedia.