laporan praktikum farmakoterapi endokrin, saluran

advertisement
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOTERAPI ENDOKRIN, SALURAN CERNA DAN NAFAS
KASUS SALURAN NAFAS
“Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)”
KELOMPOK G / 7 / FKK-4
Dosen Pengampu:
Yane Dila Keswara., MSc., Apt.
Disusun Oleh :
1. Hapsari Dyah A. P
(19133957A)
2. Kartika Nur Astana
(19133959A)
3. Beatriks Julita D.
(19133977A)
4. Arum Dwi Nur Fadzilah
(19133978A)
Alamat e-mail :[email protected]
Waktu pengumpulan :
UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA
FAKULTAS FARMASI
2016
I. Dasar Teori
1. Epidemiologi
Pada studi populasi
di
Inggris selama 40 tahun, didapati bahwa
hipersekresi mukus merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK,
penelitian ini menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan
hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, dengan
prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%. B a d a n K e s h a t a n
Dunia
(WHO)
memperkirakan
bahwa
menjelang
tahun
2 0 2 0 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit
tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian
tersering peringkatnya jugameningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Di Eropa, tingkat kejadian
PPOK tertinggi terdapat pada negara-negara Eropa Barat seperti Inggris dan Prancis,
dan paling rendah pada negara-negaraEropa Selatan seperti Italia. Negara Asia Timur
seperti Jepang dan China memiliki kejadianterendah PPOK, dengan jarak antara
angka kejadian terendah dan tertinggi mencapai empatkali lipat. Pada 12 negara Asia
Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun
keatas, dengan tingkat sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan Singapura dengan
angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%. Indonesia
sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei
Kesehatan RumahTangga Depkes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama
dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di
Indonesia.
2. Klasifikasi
3. Faktor Resiko
- Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)
- Hiperaktiviti bronkus
- Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
- Pertambahan penduduk
- Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63
tahun pada tahun 1990-an
- IndustrialisasiMdan Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di
pertambangan.
- Di negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar penderita
yang sembuh setelah pengobatan TB. Pada sebagian penderita, secara klinik timbul
gejala sesak terutama pada aktiviti, radiologik menunjukkan gambaran bekas TB
(fibrotik, klasifikasi) yang minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran
obstruksi jalan napas yang tidak reversibel. Kelompok penderita tersebut dimasukkan
dalam kategori penyakit Sindrom Obstruksi Pascatuberkulosis (SOPT).
II. Patofisiologi
1. Patogenesis
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel
goblet, inflamasi,hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis.
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:
- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,
terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama
- Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan
terbanyak pada paru bagian bawah
- Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal,
duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan
hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.
2. Etiologi
Faktor Lingkungan, meliputi :
- Merokok
- Pekerjaan
- Polusi Udara
- Infeksi
Faktor Host, meliputi :
- Usia
- Jenis Kelamin
- Penyakit Paru yang sudah ada
3. Gejala
4. Manifestasi Klinik
-
Gejala awal PPOK termasuk batuk kronik dan produksi sputum, pasien dapat
mengalami gejala ini selama beberapa tahun sebelum berkembangnya dispnea.
-
Pemeriksaan fisik menunjukan hasil normal pada pasien yang berada pada
tahap PPOK yang lebih ringan. Bila keterbatasan aliran udara menjadi parah,
pasien dapat mengalami sianosis membran mukosa, “barrel chest” karena
pengembangan paru paru berlebihan, peningkatan laju respirasi istirahat, nafas
dangkal, bibir monyong selama ekspirasi, dan penggunaan otot respirasi
pelengkap.
-
Paisen dengan PPOK yang memburuk dapat mengalami dispnea yang lebih
parah, peningkatan volume sputum, atau peningkatan kandungan nanah pada
sputum. Tanda umum lain dari PPOK yang memburuk termasuk dada sempit,
peningkatan kebutuhuhan bronkodilator, tidak enak badan, lelah dan
penurunan toleransi latihan fisik.
5. Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi
paru.
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Keluhan
- Riwayat penyakit
- Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan fisis
B. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
b. Pemeriksaan khusus
A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR ), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
• Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Peleba
ran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher dan
edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
• Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
• Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah
• Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed - lips
breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi
CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang
terjadi pada gagal napas kronik.
B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti
harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
• Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20%
nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
• Normal
• Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total
(KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan
VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak
terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT
- Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang
tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi
- Mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
9. bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi
saluran napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita
PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
III. Sasaran Terapi
IV. Tujuan Terapi
Hasil akhir terapi meliputi penghentian merokok, penyembuhan gejala, pengurangan
dalam penurunan tingkat FEV 1, pengurangan angka kejadian keparahan akut,
peningkatan kesejahteraan fisik dan psikologis, dan pengurangan tingkat kematian,
perawatan dirumah sakit, dan hari tidak masuk kerja.
V. Strategi Terapi
1. Tujuan tatalaksana
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita
2. Tatalaksana
Guideline Terapi
3. Terapi Farmakologi
Menggunakan bronkodilator untuk mengontrol gejala. Pemilihan pengobatan
didasarkan pada kepatuhan pasien, respon individu dan efek samping. Pengobatan dapat
dipakai sesuai kebutuhan atau didasarkan pada jadwal, dan terapi tambahan sebaiknya
ditambahkan pada tahapan tergantung respond an keparahan penyakit. Keuntungan klinis
bronkodilator termasuk peningkatan kapasitas latihan fisik, penurunan terperangkapnya
udara, dan peredaan gejala seperti dyspnea. Namun, peningkatan berarti pada penentuan
fungsi paru-paru seperti FEV1 mungkin tidak terlihat.
2. Simpatomimetik

Simpatomimetik selektif β2 menyebabkan relaksasi otot polos bronkial dan
bronkodilatasi dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk meningkatkan
pembentukan adenosin monofosfat siklik (cAMP). Simpatomimetik juga dapat
meningkatkan klirens mukosiliar

Pemberian melalui metered-dose inhaler (MDI) atau dry-powder inhaler
(DPI) setidaknya seefektif terapi nebulisasi dan biasanya lebih disukai karena
alasan biaya dan keamanan.

Albuterol, levalbuterol, bitolterol, pirbuterol, dan terbutalin merupakan agen
aksi pendek yang lebih disukai karena mempunyai selektifitas β2 lebih besar
dan durasi aksi lebih panjang dibandingkan agen aksi pendek lainnya
(isoproterenol, metaproterenol, dan isoetarin). Rute inhalasi lebih diminati
daripada rute oral dan parenteral dalam hal efikasi dan efek samping. Agen
aksi pendek dapat digunakan untuk meredakan gejala secara akut atau
berdasarkan jadwal untuk mencegah atau meredakan gejala. Durasi aski
agonis β2 aksi pendek adalah 4 hingga 6 jam.

Formoterol dan salmeterol merupakan agonis β2 inhalasi aksi panjang yang
diberikan setiap 12 jam berdasarkan jadwal dan menghasilkan bronkodilatasi
selama interval dosis. Penggunaan ini sebaiknya dipertimbangkan utnuk
pasien yang memperlihatkan kebutuhan akan agen aksi pendek. Tidak ada
satupun obat yang diindikasikan untuk peredaan gejala akut.
3. Antikolinergik

Ketika diberikan secara inhalasi antikolinergik, memproduksi bronkodilatasi
dengan menginhibisi reseptor kolinergik secara kompetitif pada otot polos
bronkial. Aktivitas ini memblok asetilkolin, yang efek selanjutnya adalah
pengurangan guanosin monofosfat siklik (CGMP) yang umumnya
mengkontriksi otot polos bronkial.

Ipratropium bromide memiliki onset yang lebih lambat disbanding agonis β2
aksi pendek (15-20 menit vs 5 menit untuk albuterol). Karena alasan ini zat
tersebut kurang sesuai untuk penggunaan ketika dibutuhkan tetapi sering
diresepkan untuk keadaan ini. Ipratropium memiliki efek bronkodilator lebih
panjang dibanding agonis β2 aksi pendek. Efek puncaknya muncul pada 1,5
hingga 2 jam dan durasinya adalah 4-6 jam. Dosis yang direkomendasikan
menggunakan MDI adalah 2 hirup 4 jam sekali sehari dengan peningkatan
bertahap yang sering hingga 24 hirup per hari. Zat ini juga tersedia dalam
bentuk larutan untuk nebulisasi. Keluhan paling sering adalah mulut kering,
mual, dan kadang terasa seperti logam. Karena antikolinergik tidak diserap
baik sescara sistematis, efek sampingnya jarang terlihat (pandangan kabur,
retensi urinary, mual dan tachycardia).

Tiotropium bromide merupakan agen aksi panjang yang memberikan
perlinduga terhadap bronkokonstriksi kolinergik selama lebih dari 24 jam.
Onset terjadi dalam 30 menit dan efek puncak terjadi dalam 3 jam.
Download