kontruksi identitas islam dalam sosok perempuan - Seminar

advertisement
Konferensi Nasional Ilmu Sosial & Teknologi (KNiST)
Maret 2013, pp. 357~363
357
KONTRUKSI IDENTITAS ISLAM DALAM SOSOK
PEREMPUAN BERJILBAB PADA FILM KHALIFAH
(2011)
Sulhizah Wulan Sari
ABA BSI Jakarta
e-mail: [email protected]
Abstrak
Tulisan ini membahas konstruksi identitas Islam dalam sosok perempuan berjilbab
dalam film Khalifah. Penelitian ini menggunakan metode analisis teks dalam adegan dan dialog
dalam film dengan berlandaskan pada konsep identitas Castells, hermeneutik al-Qur’an Asma
Barlas, gender, dan ideologi patriarki. Identitas keislaman dalam sosok perempuan berjilbab
terikat oleh relasi kekuasaan patriarki dalam tafsiran teks agama, sehingga perempuan
mengalami ketidaksetaraan gender. Hasil penelitian membuktikan bahwa tokoh utama dalam
sosok perempuan berjilbab terikat oleh relasi kuasa, ideologi patriarki, dan konstruksi sosial.
Islam yang ditampilkan dalam tokoh utama menunjukkan Islam radikal lewat praktik pemakaian
purdah yang diproyeksikan oleh kepentingan patriarki.
Keywords: Film Islami, Khalifah, Kontruksi Identitas, Perempuan Berjilbab
1. Pendahuluan
Setelah terjadi peristiwa serangan 11
September 2001 di WTC (Pentagon) Islam
dituduh oleh Negara Barat sebagai agama
yang membawa teror. Wajah Islam di media
dan bagi Negara Barat dianggap menjadi
sebuah ancaman. Sebagaimana Said (1997)
mengatakan “that her or his faith, culture, and
people are seen as a source of threat, and
that she or he has been deterministically
associated with terrorism, violence and
‘fundamentalism”.
Pernyataan
Said
menunjukkan bahwa Islam terutama di dalam
media selalu diberitakan secara negatif. Oleh
sebab itu, isu tersebut
memberikan
pengaruh negatif kepada politik keagamaan,
khususnya Islam di Media.
Media yang banyak digunakan dalam
menyebarkan isu baik berupa pesan
informatif, edukatif, dan persuasif adalah film.
Dalam hal ini, film yang mengangkat isu
tersebut salah satunya adalah film Khalifah.
Film Khalifah adalah film bergenre religi yang
diproduseri oleh Nurman Hakim. Film ini telah
mendapatkan penghargaan “Prixe deu
Publique”, yaitu film favorit pilihan penonton
dalam
penyelenggaraan
Festival
Internasional de Cinemas d’Asie (FICA) 2012
yang diadakan di Vesoul, Perancis.
Disamping itu, isu dalam film ini adalah
mengenai pemakaian kerudung (purdah)
yang dilakukan oleh laki-laki (suami) kepada
perempuan yang tercermin lewat sosok
Khalifah dan film ini sedikit menyinggung
masalah penjodohan yang dilakukan oleh
laki-laki sebagai ayah.
Dalam film Khalifah, Sosok Perempuan
berkerudung bernama Ifah merupakan
gambaran
Islam
yang
menghasilkan
perbedaan corak Islam yang ditampilkan.
Gambaran perempuan berjilbab dalam Islam
pada film Khlaifah dibangun dan ditafsirkan
berdasarkan pemahaman patriarkal akan
agama. Perempuan berjilbab digambarkan
sebagai perempuan yang shaleh, taat pada
suami, berada di wilayah domestik, dan
menutup auratnya dengan kerudung.
Oleh karena itu, fokus penelitian ini adalah
pada konstruksi identitas Islam dalam sosok
perempuan berjilbab, yakni pada tokoh utama
perempuan berjilbab dalam film, dengan
berbasis pada subjektivitas perempuan.
Posisi perempuan dalam agama ditunjukkan
dalam bentuk pengalaman perempuan di
dalam film yang berkenaan dengan
ketidakadilan gender melalui interpretasi
patriarkal terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Identitas Islam akan terkait dengan orang
yang menggunakan agama Islam. Identitas
Islam, seperti kerudung dipakai oleh
perempuan Muslim untuk memosisikan
dirinya dan memberi kejelasan bagi peran
dirinya dalam lingkungan dan dalam relasinya
dengan orang lain atau kelompok. Dalam
relasi
perempuan
dengan
lingkungan
terdapat nilai-nilai yang berkenaan dengan
Diterima 19 Januari 2013; Revisi 16 Februari 2013; Disetujui 15 Maret 2013
ISBN: 978-602-61242-1-0
peran gender, sehingga identitas keislaman
perempuan berjilbab tidak terpisahkan dari
relasi kekuasaan yang membentuknya.
Dalam hal ini, relasi kekuasaan yang
membentuk identitas Islam dalam sosok
perempuan berjilbab berkenaan dengan
kekuasaan patriarki, sehingga melalui
representasi inilah identitas individu maupun
identitas kolektif terbentuk melalui makna
atau pesan yang dikonstruksi dan dalam
representasi tersebut dapat menunjukkan
konstruksi identitas Islam seperti apa yang
akan dibangun.
Pada akhirnya, tujuan penelitian ini adalah
menjelaskan bagaimana identitas keislaman
di Indonesia dikontruksi,
sehingga dapat
melihat Islam seperti apa yang dibangun oleh
film Khalifah.
Menurut Castells (1997). Identitas adalah
bentuk relasi kekuasaan. Dalam hal ini,
identitas Islam yang melekat pada sosok
perempuan berjilbab dibentuk berdasarkan
relasi kekuasaan. Identitas yang dibentuk
melalui relasi kekuasaan tersebut ia namakan
sebagai identity building, yang terbagi dalam
tiga bagian, yaitu:
1. Legitimazing Identity, yaitu identitas yang
dibentuk oleh institusi dominan dengan
tujuan
untuk
merasionalkan
tujuan
mereka.
2. Resistance Identity, yaitu identitas yang
dikembangkan
oleh
mereka
yang
terdominasi sebagai bentuk perlawanan
atau resistensi tehadap pihak yang
mendominasi.
3. Project Identity, yaitu ketika sekelompok
orang, dengan sebab atau latar belakang
tertentu, membentuk sebuah identitas
baru yang menentukan kembali posisi
mereka dalam masyarakat.
Konsep Gender dan Patriarki
Menurut Fakih (1996), gender adalah sifat
yang melekat pada kaum perempuan
maupun laki-laki yang dikonstruksi secara
sosial maupun kultural. Sifat perempuan
adalah lemah lembut, keibuan, emosional,
cantik, dll, berdasarkan sudut pandang
biologisnya
(sex),
sedangkan
laki-laki
memiliki sifat jantan, rasional, kuat, dll. Sifatsifat tersebut dikonstruksi secara sosial dan
kultural, sehingga perempuan dipandang oleh
laki-laki memiliki kelemahan berdasarkan
sifat-sifat yang melekat padanya.
Dalam hal ini, perbedaan peran perempuan
yang dilekatkan berdasarkan sifat biologisnya
adalah
berdasarkan
sudut
pandang
patriarkal. “ Patriarki adalah berbagai cara
laki-laki memperluas kekuatan kekuasaanya
untuk merepresi perempuan, baik secara
psikis maupun di tingkat social” (Josh Tosh
dalam Kurniawati, 2009). Sejalan dengan hal
tersebut, Abbott (1992) mengatakan bahwa
“the ability of men to control the laws and
institutions of society, combined with men’s
superior status, is known as patriarchy”,
(Kemampuan laki-laki untuk mengontrol
hukum dan institusi masyarakat, didukung
dengan status superior laki-laki, disebut
sebagai patriarki). Dalam hal ini, perbedaan
peran perempuan dan laki-laki dibentuk
berdasarkan visi dan misi patriarki, sehingga
posisi perempuan menjadi subordinat lakilaki. Oleh karena itu, gender adalah kontruksi
sosial, gender hadir bukan sebagai kodrat
Tuhan melainkan diciptakan oleh dominasi
laki-laki.
Konsep Hermeneutik al-Qur’an Asma
Barlas
Teori Hermeneutika Asma Barlas digunakan
untuk mendapatkan hasil interpretasi yang
berkeadilan
gender
(Barlas,
2003).
Menganalisis dalil-dalil agama berdasarkan
pendekatan hermeneutika dilakukan melaui
tiga tahap. Pertama, Aspek teologi meliputi
sifat-sifat yang melekat pada Tuhan.
Penyikapan sifat-sifat Tuhan (God’s Self
Disclosure) digunakan sebagai landasan
untuk menginterpretasikan teks-teks alQur’an. Kedua, Aspek metodologis meliputi
cara membaca holistik atau dengan cara satu
kesatuan, bukan ayat perayat, serta
memberikan prioritas kepada ayat-ayat
muhkamat. Ayat-ayat muhkamat (ayat yang
memiliki kejelasan makna) digunakan untuk
menjawab realitas sosial. Membaca holistik
artinya
mencari
makna
terbaik
dan
menggunakan penalaran analisis dalam
penafsiran, sesuai dengan sifat Ilahi yang
menurunkannya. Selain itu, pembacaan alQur’an
meliputi
beberapa
prinsip
pembacaan:
1. behind the text (pembacaan dari
belakang) adalah melakukan rekonstruksi
terhadap
konteks
sejarah
yang
memunculkan teks tersebut (West dalam
Barlas, 2003).
2. in front of the text (pembacaan dari
depan) adalah cara kontekstualisasi alQur’an sesuai dengan kebutuhan zaman.
3. Aspek etik adalah pencarian makna
terbaik berdasarkan sifat al-Qur’an. Sifat
al-Qur’an adalah polisemik, yakni terbuka
bagi beragam bentuk pembacan atau
terbuka bagi lebih dari satu pemaknaan
(Barlas, 2002).
KNiST, 30 Maret 2013
358
ISBN: 978-602-61242-1-0
4. Aspek otoritas adalah otoritas dalam
menafsirkan al-Qur’an yang berada pada
setiap Mukmin atau Muslim, dan baik lakilaki maupun perempuan bertanggung
jawab terhadap penaf siran al-Qur’an.
(Diambil
dari
kutipan
seminar
Hermeneutika,
http://www.wahidinstitute.org).
Oleh karena itu, untuk mendapatkan
representasi identitas Islam dan konstruksi
Islam dalam sosok perempuan berkerudung,
maka peneliti menggunakan konsep identitas
Manuel Castells, hermeneutik al-Qur’an,
gender, dan ideologi patriarki.
2. Metode Penelitian
Metode deskriptif kualitatif digunakan dalam
penelitian ini, yakni menganalisis teks dalam
adegan dan dialog dalam film yang
berlandaskan pada konsep identitas Castells,
hermeneutik al-Qur’an Asma Barlas, gender,
ideologi patriarki dalam sudut pandang kajian
budaya (Cultural Studies). Data tersebut
berupa foto, teks dalam dialog, dan dalil
agama. Penulis membatasi penelitian ini
hanya pada beberapa adegan dialog dan
gambar yang menunjukkan konstruksi dari
jenis identitas Islam dan menafsirkan dalil
agama berdasarkan konteks dalam film.
3. Pembahasan
Taaruf dan Pemakaian Kerudung Sebagai
Praktik Patriarki yang Melalui Sosok
Khalifah.
Dalam adegan film digambarkan bahwa ayah
Ifah menjodohkan Ifah berdasarkan agama
yang dianut oleh calon suami, memiliki
kepribadian yang baik, mapan, dan pintar
mengaji. Meskipun ayah Ifah melihat hak
individual perempuan untuk memilih dan
menentukan
kehendaknya,
penjodohan
tersebut tetap saja dilatarbelakangi oleh
kepentingan laki-laki dari segi ekonomi.
Sehingga, ayah Ifah menikahkannya agar
terlepas dari jeratan hutang, sebagaiman
dialog dalam film disebutkan:
Ayah Ifah:
Khalifah, kata pak umar, Pak usin itu
orangnya baik, Insya Allah keponkannya
juga baik. Rasyid sudah punya
pekerjaan yang bagus, sholeh, pinter
ngaji lagi, jadi lebih cepat kamu ngambil
keputusan, itu akan lebih baik. Kamu
tidak perlu khawatir lagi dengan masa
depan kamu dan keluarga kita. Insya
Allah, dia akan bantu kita. Tapi ya
semua itu terserah pada kamu nak.
Adik Ifah:
Kalau nggak sreg jangan dipaksakan
Mba. Zaman sekarang mana ada jodohjodohan.
Khalifah
:
Ayah sama ibu dijodohin, mereka sangat
bahagia (dengan raut muka penuh
keraguan)
Dalam teks di atas, Khalifah menunjukkan
sikap menerima praktik patriarkal. Ifah mau
saja dijodohkan dengan laki-laki yang tidak
Khalifah kenal. Dalam hal ini, Khalifah secara
sadar menerima praktik patriarkal, sehingga
tampak bahwa penjodohan adalah praktik
yang berkaitan dengan relasi kekuasan ayah.
Dibalik penjodohan tersebut dilatarbelakangi
oleh kepentingan ayahnya, yaitu agar
kehidupan Khalifah dan keluarganya dijamin
oleh calon suaminya.
Dalam film, praktik penjodohan yang
dilakukan oleh ayah Khalifah merupakan
praktik yang berdasarkan kehendak ayahnya,
bukan kehendak Khalifah. Sehingga, pada
realita kehidupan Khalifah dalam berumah
tangga, Khalifah tidak merasakan keindahan
berumah tangga, seperti kehidupan yang
dijalani oleh orang tua Khalifah. Kehidupan
Ifah setelah menikah semakin tertekan, ia
sering mendapatkan cacian, sindiran, ejekan
bahkan pukulan dari orang asing yang ia
temui. Terlebih lagi, Ifah semakin tidak
mengenal sosok Rasyid yang telah banyak
merubah
kehidupannya.
Ifah
hanya
mengetahui bahwa suaminya adalah seorang
pedagang barang-barang dari Arab dan
beragama Islam. Khalifah mulai menyadari
bahwa identitas suaminya ternyata palsu.
Rasyid memiliki nama lain, yaitu Ahmad
Zamroni. Rasyid juga telah menikah dengan
wanita lain, serta memiliki seorang putri.
Ditambah lagi, Khalifah merasa dibohongi
ketika ia mengetahui Rasyid adalah seorang
teroris yang menganut ajaran Islam garis
keras. Dalam kehidupan berumah tangga
dengan Rasyid, Rasyid sering meninggalkan
Khalifah berminggu-minggu, bahkan hingga
berbulan-bulan. Rasyid terkadang meminta
Khalifah untuk mengenakan kerudung secara
halus. Sebagaiman kutipan dialog berikut:
Ifah :
Dengan senang hati, aku mengikuti
keinginan
Mas
Rasyid
untuk
mengenakan kerudung
Dalam teks di atas tampak bahwa Ifah
mengenakan kerudung bukan atas dasar
keinginannya, melainkan keinginan Mas
Rasyid. Dalam hal ini, Ifah diperintahkan oleh
Rasyid untuk mengenakan kerudung biasa.
KNiST, 30 Maret 2013
359
ISBN: 978-602-61242-1-0
Meski Ifah merasa senang dengan perintah
tersebut,
praktik
tersebut
tetap
dilatarbelakangi oleh kepentingan laki-laki
dan praktik pemakaian kerudung tersebut
berdasarkan relasi kekuasaan laki-laki
sebagai suami, sehingga Ifah hanya patuh
saja. Tidak lama kemudian, Rasyid menyuruh
Khalifah mengenakan cadar atau purdah.
Dalam hal ini, identitas keislaman Khalifah
dibentuk oleh kekuasaan suami, sehingga
tampak bahwa perempuan berpakaian cadar
tidak hanya sekedar menutup anggota
tubuhnya, tapi juga agar dilihat cantik hanya
dihadapan
suaminya,
sebagaimana
ditunjukkan dalam gambar berikut:
Gambar 1.
Perubahan Identitas Diri Khalifah
Dalam teks gambar di atas, keislaman
khalifah dibatasi oleh cara dan gaya
berpakain perempuan di mata patriarkis.
Dalam sudut pandang patriarkis, pakaian
yang menampakkan auratnya merupakan
pakaian yang diidentikkan sebagai penanda
pemancing hasrat seksual. Gambar di atas
menunjukkan perbedaan yang sangat
mencolok antara memakai kerudung, cadar,
dan tidak memakai kerudung atau pakaian
yang menampakkan auratnya.
Oleh karena identitas Khalifah dalam
mengenakan kerudung dibentuk berdasarkan
kekuasaan Rasyid sebagai suaminya,
identitas Khalifah semakin terlihat berbeda
dan berubah. Hal tersebut terihat dari
bagaimana orang terdekatnya dan orang
asing memperlakukannya. Hal ini ditunjukkan
dalam dialog berikut:
(Di Salon)
Khalifah
:
Ifah merasa terpanggil memakai pakaina
ini.
Tante Rita:
Tapi Khalifah, para customer g bakal
datang kalau kamu begini.
Dalam teks di atas, sosok Ifah dibatasi oleh
kerudungnya untuk berhubungan dengan
orang lain dan untuk mendapatkan pekerjaan
sesuai dengan kehendaknya. Identitas
keislaman khalifah tertutup dan terasing dari
dunia sosial yang membuat Ifah tidak dapat
dikenali oleh orang lain, bahkan oleh
keluarga terdekatnya sendiri. Sebagaimana
Ayah Ifah mengatakan, “ayah sekarang tidak
bisa melihat apakah kamu sedang sedih,
menangis, gembira atau biasa-biasa saja”.
Kutipan teks tersebut menunjukkan bahwa
pakain
yang
dikenakan
oleh
Ifah
merepresentasikan wajah Islam yang tertutup
dari dunia sosial.
Makna kerudung yang dikenakan Ifah
sebagai pembatas dan identik dengan
menjauhi dunia sosial atau keterasingan telah
menciptakan citra negatif pada diri Khalifah.
Persepsi masyarakat mengenai perempuan
tidak baik terbentuk melalui pakaian yang
dikenakan oleh Ifah. Jadi, dalam hal ini,
identitas Ifah dibangun oleh konstruksi sosial
melalui pandangan masyarakat mengenai
Khalifah berdasarkan pakaian yang melekat
padanya. Sebagaimana dialog berikut
dinyatakan,
(Di Halte Bus)
Ibu:
Brengsek kamu! Dasar pembunuh, nih
lihat nih. Ini kena bom gara-gara orang
seperti kamu. Nih lihat nih, lihat nih,
belum lagi yang dibadannya, itu garagara kamu tau! Dasar teroris suami kamu
pasti teroris kan? Heh, ngaku aja, kenapa
diem?Tanggung jawab kamu! Tanggung
jawab.
Khalifah
:
Astagfirullah (tidak melakukan apa-apa)
(Di Kantor Polisi)
Polisi:
Apakah anda ikut pengajian tersebut?
Khalifah
: Nggak pa.
Polisi
: Tau al-Qaedda?
Khalifah
: Cuma tau dari TV
Polisi
: suami kamu siapa
namanya?
Khalifah
:Rasyid, Muhammad Rasyid.
Polisi
: Apa kerjanya?
Khalifah
:Jual produk-produk
Arab.
Dalam teks di atas menunjukkan bahwa
persepsi masyarakat mengenai cadar
menunjukkan stigma buruk. Stigma negatif
masyarakat pada perempuan bercadar
adalah berdasarkan ciri yang melekat pada
identitas pakaiannya. Dalam hal ini, pakaian
bercadar diidentikkan dengan gerakan teror,
sehingga mereka mengaitkan perempuan
bercadar sebagai perempuan yang lekat
dengan gerakan teroris. Oleh karena itu, Ifah
KNiST, 30 Maret 2013
360
ISBN: 978-602-61242-1-0
diperlakukan
kasar
oleh
masyarakat
berdasarkan pakaian yang ia kenakan.
Dalam hal ini, jilbab dengan menggunakan
cadar atau yang sering disebut purdah sering
dipandang oleh pemerintah dan masyarakat
secara umum sebagai pakaian yang dapat
menimbulkan kecurigaan dan sering dikaitkan
dengan gerakan Islam radikal. Di lain sisi,
Khalifah menunjukkan keraguannya terhadap
identitas keislamannya dalam berpakaian
cadar,
sebagaimana
dialog
berikut
dinyatakan:
Khalifah
: Sejak kapan pakai
cadar?
Fatimah
:Apa maksud
pertanyaan kamu?
Fatimah
:
Saya itu mulai pakai cadar sejak awal
menikah, 10 tahun yang lalu. Maksud
pertanyaan kamu itu biasanya ditanyakan
oleh orang-orang yang negative thinking
terhadap yang memakai cadar, atau
ditanyakan oleh orang yang baru
memakai cadar.
Dalam teks di atas menunjukkan bahwa
Khalifah menemukan sosok perempuan yang
mengenakan identitas yang sama, yakni
menggunakan cadar. Hal tersebut memicu
keingintahuannya akan latar belakang
seorang
perempuan
lain
dalam
menggunakan cadar. Ditambah lagi, pada
saat itu, Khalifah baru mengenakan cadar
dan itupun atas dasar perintah suaminya,
sehingga
Ifah
bertanya
demikian.
Pengalamannya dalam menggunakan cadar
atas dorongan suami membuat dirinya berfikir
bahwa baginya dan di matanya, perempuan
lain pun akan mengalami hal yang sama
seperti dirinya. Di lain sisi, cadar dimaknai
oleh Fatimah sebagai sebuah pemaknaan
atas sesuatu yang ada pada batinnya. Dalam
hal ini, cadar dan purdah dimaknai sebagai
indikasi bersihnya hati dan diri, sebagaimana
Fatimah mengatakan pada Ifah, “yakinkan
hatimu untuk bercadar, kalau belum yakin
lebih baik tidak usah bercadar, la ikroha fiddin
(tidak ada paksaan dalam agama)”.
Pernyataan dari kalimat tersebut merupakan
sebuah bentuk pilihan perempuan untuk
memutuskan
berdasarkan
kehendaknya
secara sadar.
Praktik
pemakaian
kerudung
yang
dipaksakan secara halus (berupa perintah)
oleh Rasyid merupakan sebuah bentuk
kekerasan. Sehingga, di balik praktik
penjodohan yang dilakukan oleh ayah dan
pemakain kerudung yang dilakukan oleh
suaminya
(Rasyid)
terhadap
Khalifah
terdapat sebuah bentuk relasi dominasi
kekuasaan laki-laki yang memaksakan
kehendaknya. Dalam adegan film ini, Rasyid
menggunakan dalil agama sebagai alat untuk
melegalkan kekuasaannya, sebagaimana
Ifah diperintahkan untuk mengenakan
kerudung oleh Rasyid karena ia mengalami
keguguran.
Ifah:
Dosa apa yang telah aku perbuat dan
tanda-tanda apa yang telah aku abaikan
dalam
hidup
ini,
sampai Tuhan
mengambil bayi yang ada dalam
kandungan ini?
Rasyid:
Musibah yang datang dari Allah
membawa peringatan bagi kita. Kita
sebagai
hambanya
harus
pandai
membaca
peringatan
itu.
Kamu
keguguran adalah peringatan dari Allah
(Rasyid membacakan surat an-Nur, ayat
31). Janganlah mereka menampakkan
auratnya kecuali yang biasa terlihat.
Dalam teks di atas menunjukkan bahwa ada
kepentingan laki-laki dalam pemakaian
kerudung. Kepentingan tersebut ditunjukkan
dengan pemahaman Rasyid akan kandungan
ayat al-Qur’an. Keguguran, menurut Rasyid,
adalah musibah dan musibah diartikan
olehnya sebagai tanda peringatan dari
Tuhan. Rasyid mengatakan “musibah yang
datang dari Alllah membawa peringatan bagi
kita. Kita sebagai hambanya harus pandai
membaca peringatan itu. Kamu keguguran
adalah peringatan dari Allah”. Kemudian,
Rasyid membacakan ayat al-Qur’an “wakulil
mu’minati…dan
janganlah
mereka
menampakkan auratnya kecuali yang biasa
terlihat”. Dalam teks tersebut menunjukkan
bahwa pemahaman Rasyid akan isi
kandungan ayat tersebut berada di luar
konteks ayatnya.
Ayat al-Qur’an tersebut secara lengkap
peneliti jabarkan:
KNiST, 30 Maret 2013
361
ISBN: 978-602-61242-1-0
Artinya:
Dan katakanlah kepada para perempuan
yang beriman, agar mereka menjaga
pandangannya,
dan
memelihara
kemaluannya,
dan
janganlah
menampakkan perhiasannya (auratnya),
kecuali yang biasa terlihat, dan
hendaklah mereka menutupkan kain
kerudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya (auratnya),
kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau
putra-putra mereka, atau atau putra-putra
suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau atau putra saudara
laki-laki
mereka,
atau
putra-putra
saudara perempuan mereka, atau para
perempuan (sesama Islam) mereka, atau
hamba sahaya yang mereka miliki, atau
para pelayan lelaki (tua) yang tidak
mempunyai
keinginan
(terhadap
perempuan), atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat perempuan, dan
janganlah mereka mengentakkan kakinya
agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan, dan bertaubatlah kamu
semua kepada Allah, wahai orang-orang
yang beriman, agar kamu beruntung.
(Qs. an-Nur: 31).
Menurut pandangan masyarakat Muslim,
musibah dapat dikatakan sebagai ujian atau
cobaan yang datang dari Tuhan. Musibah
diberikan kepada manusia agar manusia
ingat kembali kepada Tuhan, bersabar, dan
berserah diri. Dalam konteks film ini, musibah
dimaknai oleh suami Khalifah (Rasyid)
sebagai peringatan akan dosa-dosa yang
telah dilakukan istrinya, sehingga Rasyid
mengaitkan musibah keguguran dengan
peringatan untuk menutup tubuh perempuan.
Tubuh perempuan dalam pandangan laki-laki
adalah
sebuah
dosa
karena
dapat
mendekatkan pada perbuatan-perbuatan
maksiat atau perbuatan yang dilarang oleh
Tuhan.
Menurut argumentasi kritis peneliti, surat anNur ayat 31 tidak sesuai dengan praktik yang
dilakukan oleh Rasyid. Ketidaksesuaian
tersebut
terlihat
ketika
Rasyid
menghubungkan musibah keguguran dengan
praktik menutup tubuh perempuan dengan
cadar atau purdah. Musibah adalah ujian
untuk menaikkan tingkat spiritualitas takwa
seseorang pada Tuhannya, sedangkan
praktik menutup tubuh tidak ada kaitanya
dengan musibah keguguran. Artinya, nilai
takwa tidak
dapat didasarkan pada
penggunaan jilbab atau cadar. Nilai takwa
seseorang hanya Tuhan yang memiliki
otoritas penuh terhadapnya, sehingga apa
yang telah diperintahkan oleh Rasyid kepada
Ifah untuk mengenakan kerudung adalah
berdasarkan pemahamannya sebagai lakilaki dan berdasarkan kepentingannya agar
Khalifah mengenakan jilbab atau penutup
aurat pada seluruh anggota tubuhnya.
Menurut hemat peneliti, konsep aurat di
dalam ayat al-Qur’an tersebut
tidak
dijelaskan secara detail. Ayat al-Qur’an
tersebut hanya menunjukkan pada bagian
tubuh tertentu, yakni perempuan harus
menutupi bagian tubuhnya, seperti dada
hingga
kemaluan.
Bagian
tersebut
merupakan bagian tubuh yang berkenaan
dengan wilayah privat dan bersifat erotis.
Sehingga, anjuran tersebut merupakan
sebuah bentuk kebebasan bagi perempuan
untuk berpakaian sesuai dengan nilai
kesopanan
berpakaian
dan
sesuai
kehendaknya untuk mengenakan kerudung
ataupun tidak.
Oleh karena itu, peneliti berpendapat bahwa
penjodohan dan praktik pemakaian kerudung
menunjukkan
batasan
ruang
antara
perempuan dan laki-laki. Dalam hal ini, hak
dan ruang kerja perempuan dibatasi oleh
penjodohan dan pemakaian kerudung. Akibat
praktik pemaksaan tersebut, ruang gerak
perempuan menjadi terbatas dalam bidang
pekerjaan, pergaulan dengan orang lain, dan
masyarakat. Dalam hal ini, Ifah harus patuh
kepada ayah dan suaminya sebagai
pengendali
kehidupannya.
Praktik
penjodohan dan praktik pemakaian kerudung
adalah praktik yang berkenaan dengan hak
sebagai seorang perempuan yang dibatasi
oleh kehendak berupa nilai kepantasan dan
kekuasaan patriarkal.
4. Simpulan
Identitas keislaman Khalifah dibangun
berdasarkan bagaimana orang lain atau
masyarakat memandang dirinya. Dalam hal
ini, identitas Khalifah digolongkan sebagai
legitimated
identity
karena
identitas
keislamannya dalam mengenakan kerudung
berdasarkan identitas yang diproyeksikan
oleh laki-laki dalam institusi keluarga, yakni
Rasyid menyuruh Khalifah menggunakan
cadar berdasarkan kepentingan laki-laki.
Berdasrkan pola keislaman yang terdapat
dalam pakaian, praktik agama, dan
pemahaman dalil agama yang terikat oleh
relasi kekuasaan patriarki, konstruksi sosial,
dan ideologi patriarki maka dapat disimpulkan
bahwa Islam yang dikonstruksi dalam sosok
KNiST, 30 Maret 2013
362
ISBN: 978-602-61242-1-0
perempuan berjilbab dalam film Khalifah
menunjukkan praktik Islam Radikal dan
memproyeksikan
kepentingan
patriarki
kepada tokoh utama dalam film.
Berikut
adalah gambar berdasarkan kesimpulan dari
hasil analisis dalam bab pembahasan.
Barlas, Asma. (2002). Believing women in
Islam:
Unreading
Patriarchal
Interpretations ofthe Quran.Austin,
TX: University of Texas Press.
____________.
(2003).
Cara
Quran
membebaskanPerempuan(R. Cecep
LukmanYasin, penerjemah). Jakarta:
Serambi.
Castell,
Manuel. (1997).The Power
Identity. Oxford: Blackwell.
of
Fakih, Mansour. (1996). Analisis Gender &
Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Hatta, Ahmad. (2009. Tafsir Qur’an Per Kata;
Dilengkapi dengan Asbabun Nujul
dan Terjemah. Jakarta: Magfirah
Pustaka.
Film ini tidak mengkritisi praktik patriarkal
meski dalam adegan pada akhir cerita
menunjukkan bahwa Ifah memutuskan
menjadi dirinya sendiri tanpa ada relasi
kekuasaan yang timpang dengan orang lain,
baik dalam menentukan kehidupannya untuk
menikah ataupun mengenakan kerudung.
Identitas diri Khalifah dipilih oleh dirinya
sendiri. Khalifah tetap menjadi dirinya
sebagai
seorang
Muslim
dengan
mengenakan kerudung biasa tanpa cadar,
bekerja di salon, dan hidup sendiri serta
mandiri. Sehingga, pesan yang ingin
disampaikan oleh film ini adalah praktik
penggunaan cadar merupakan praktik yang
berkenaan dengan keyakinan dan pilihan
masing-masing perempuan dan bukan atas
dasar paksaan.
Peneliti
menyadari
bahwa
terdapat
ketidaksempurnaan dan keterbatasan dalam
penelitian ini, baik dari segi waktu maupun
terbatasnya pengetahuan peneliti akan objek
yang peneliti kaji, yakni film bergenre islami.
Oleh karena itu, peneliti memberikan
masukan kepada peneliti lain untuk mengkaji
film berdasarkan teori dan topik yang
berbeda.
Referensi
Abbott, Marie Richmond. (1992). Masculine
and Feminine; Gender Roles Over
The Life Cycle 2nd ed. London:
McGraw-Hill Inc.
Kurniawati, Dian. (2009). Putri Pemilihan
Identitas sebagai Resistansi terhadap
Dominasi Patriarki (Tesis S2).
Program Studi Susastra Universitas
Indonesia.
Mahmudah, Nur. (2011). Menulis Ulang
Partisipasi
Perempuan
dalam
Sejarah Penafsiran Teks Suci:
Mufassir Perempuan Masa Modern
dan Kontemporer, Jurnal Studi
Gender. Vol.4. No.2. Desember
2011, hlm. 221.
Said, Edward W. 1997. Covering Islam: How
the Media and theExperts Determine.
How we see the Rest of the World.
New York: Vintage Book.
Samsuri, Hamzah. Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia
Modern.
Surabaya:
Greisinda Press.
The
Wahid Institute. (2008). Seminar
“Hermeneutika Pembacaan teks
Qur’an oleh Asma Barlas”. Februari
24,
2013.http://www.wahidinstitute.org.
KNiST, 30 Maret 2013
363
Download