Konferensi Nasional Ilmu Sosial & Teknologi (KNiST) Maret 2013, pp. 357~363 357 KONTRUKSI IDENTITAS ISLAM DALAM SOSOK PEREMPUAN BERJILBAB PADA FILM KHALIFAH (2011) Sulhizah Wulan Sari ABA BSI Jakarta e-mail: [email protected] Abstrak Tulisan ini membahas konstruksi identitas Islam dalam sosok perempuan berjilbab dalam film Khalifah. Penelitian ini menggunakan metode analisis teks dalam adegan dan dialog dalam film dengan berlandaskan pada konsep identitas Castells, hermeneutik al-Qur’an Asma Barlas, gender, dan ideologi patriarki. Identitas keislaman dalam sosok perempuan berjilbab terikat oleh relasi kekuasaan patriarki dalam tafsiran teks agama, sehingga perempuan mengalami ketidaksetaraan gender. Hasil penelitian membuktikan bahwa tokoh utama dalam sosok perempuan berjilbab terikat oleh relasi kuasa, ideologi patriarki, dan konstruksi sosial. Islam yang ditampilkan dalam tokoh utama menunjukkan Islam radikal lewat praktik pemakaian purdah yang diproyeksikan oleh kepentingan patriarki. Keywords: Film Islami, Khalifah, Kontruksi Identitas, Perempuan Berjilbab 1. Pendahuluan Setelah terjadi peristiwa serangan 11 September 2001 di WTC (Pentagon) Islam dituduh oleh Negara Barat sebagai agama yang membawa teror. Wajah Islam di media dan bagi Negara Barat dianggap menjadi sebuah ancaman. Sebagaimana Said (1997) mengatakan “that her or his faith, culture, and people are seen as a source of threat, and that she or he has been deterministically associated with terrorism, violence and ‘fundamentalism”. Pernyataan Said menunjukkan bahwa Islam terutama di dalam media selalu diberitakan secara negatif. Oleh sebab itu, isu tersebut memberikan pengaruh negatif kepada politik keagamaan, khususnya Islam di Media. Media yang banyak digunakan dalam menyebarkan isu baik berupa pesan informatif, edukatif, dan persuasif adalah film. Dalam hal ini, film yang mengangkat isu tersebut salah satunya adalah film Khalifah. Film Khalifah adalah film bergenre religi yang diproduseri oleh Nurman Hakim. Film ini telah mendapatkan penghargaan “Prixe deu Publique”, yaitu film favorit pilihan penonton dalam penyelenggaraan Festival Internasional de Cinemas d’Asie (FICA) 2012 yang diadakan di Vesoul, Perancis. Disamping itu, isu dalam film ini adalah mengenai pemakaian kerudung (purdah) yang dilakukan oleh laki-laki (suami) kepada perempuan yang tercermin lewat sosok Khalifah dan film ini sedikit menyinggung masalah penjodohan yang dilakukan oleh laki-laki sebagai ayah. Dalam film Khalifah, Sosok Perempuan berkerudung bernama Ifah merupakan gambaran Islam yang menghasilkan perbedaan corak Islam yang ditampilkan. Gambaran perempuan berjilbab dalam Islam pada film Khlaifah dibangun dan ditafsirkan berdasarkan pemahaman patriarkal akan agama. Perempuan berjilbab digambarkan sebagai perempuan yang shaleh, taat pada suami, berada di wilayah domestik, dan menutup auratnya dengan kerudung. Oleh karena itu, fokus penelitian ini adalah pada konstruksi identitas Islam dalam sosok perempuan berjilbab, yakni pada tokoh utama perempuan berjilbab dalam film, dengan berbasis pada subjektivitas perempuan. Posisi perempuan dalam agama ditunjukkan dalam bentuk pengalaman perempuan di dalam film yang berkenaan dengan ketidakadilan gender melalui interpretasi patriarkal terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Identitas Islam akan terkait dengan orang yang menggunakan agama Islam. Identitas Islam, seperti kerudung dipakai oleh perempuan Muslim untuk memosisikan dirinya dan memberi kejelasan bagi peran dirinya dalam lingkungan dan dalam relasinya dengan orang lain atau kelompok. Dalam relasi perempuan dengan lingkungan terdapat nilai-nilai yang berkenaan dengan Diterima 19 Januari 2013; Revisi 16 Februari 2013; Disetujui 15 Maret 2013 ISBN: 978-602-61242-1-0 peran gender, sehingga identitas keislaman perempuan berjilbab tidak terpisahkan dari relasi kekuasaan yang membentuknya. Dalam hal ini, relasi kekuasaan yang membentuk identitas Islam dalam sosok perempuan berjilbab berkenaan dengan kekuasaan patriarki, sehingga melalui representasi inilah identitas individu maupun identitas kolektif terbentuk melalui makna atau pesan yang dikonstruksi dan dalam representasi tersebut dapat menunjukkan konstruksi identitas Islam seperti apa yang akan dibangun. Pada akhirnya, tujuan penelitian ini adalah menjelaskan bagaimana identitas keislaman di Indonesia dikontruksi, sehingga dapat melihat Islam seperti apa yang dibangun oleh film Khalifah. Menurut Castells (1997). Identitas adalah bentuk relasi kekuasaan. Dalam hal ini, identitas Islam yang melekat pada sosok perempuan berjilbab dibentuk berdasarkan relasi kekuasaan. Identitas yang dibentuk melalui relasi kekuasaan tersebut ia namakan sebagai identity building, yang terbagi dalam tiga bagian, yaitu: 1. Legitimazing Identity, yaitu identitas yang dibentuk oleh institusi dominan dengan tujuan untuk merasionalkan tujuan mereka. 2. Resistance Identity, yaitu identitas yang dikembangkan oleh mereka yang terdominasi sebagai bentuk perlawanan atau resistensi tehadap pihak yang mendominasi. 3. Project Identity, yaitu ketika sekelompok orang, dengan sebab atau latar belakang tertentu, membentuk sebuah identitas baru yang menentukan kembali posisi mereka dalam masyarakat. Konsep Gender dan Patriarki Menurut Fakih (1996), gender adalah sifat yang melekat pada kaum perempuan maupun laki-laki yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Sifat perempuan adalah lemah lembut, keibuan, emosional, cantik, dll, berdasarkan sudut pandang biologisnya (sex), sedangkan laki-laki memiliki sifat jantan, rasional, kuat, dll. Sifatsifat tersebut dikonstruksi secara sosial dan kultural, sehingga perempuan dipandang oleh laki-laki memiliki kelemahan berdasarkan sifat-sifat yang melekat padanya. Dalam hal ini, perbedaan peran perempuan yang dilekatkan berdasarkan sifat biologisnya adalah berdasarkan sudut pandang patriarkal. “ Patriarki adalah berbagai cara laki-laki memperluas kekuatan kekuasaanya untuk merepresi perempuan, baik secara psikis maupun di tingkat social” (Josh Tosh dalam Kurniawati, 2009). Sejalan dengan hal tersebut, Abbott (1992) mengatakan bahwa “the ability of men to control the laws and institutions of society, combined with men’s superior status, is known as patriarchy”, (Kemampuan laki-laki untuk mengontrol hukum dan institusi masyarakat, didukung dengan status superior laki-laki, disebut sebagai patriarki). Dalam hal ini, perbedaan peran perempuan dan laki-laki dibentuk berdasarkan visi dan misi patriarki, sehingga posisi perempuan menjadi subordinat lakilaki. Oleh karena itu, gender adalah kontruksi sosial, gender hadir bukan sebagai kodrat Tuhan melainkan diciptakan oleh dominasi laki-laki. Konsep Hermeneutik al-Qur’an Asma Barlas Teori Hermeneutika Asma Barlas digunakan untuk mendapatkan hasil interpretasi yang berkeadilan gender (Barlas, 2003). Menganalisis dalil-dalil agama berdasarkan pendekatan hermeneutika dilakukan melaui tiga tahap. Pertama, Aspek teologi meliputi sifat-sifat yang melekat pada Tuhan. Penyikapan sifat-sifat Tuhan (God’s Self Disclosure) digunakan sebagai landasan untuk menginterpretasikan teks-teks alQur’an. Kedua, Aspek metodologis meliputi cara membaca holistik atau dengan cara satu kesatuan, bukan ayat perayat, serta memberikan prioritas kepada ayat-ayat muhkamat. Ayat-ayat muhkamat (ayat yang memiliki kejelasan makna) digunakan untuk menjawab realitas sosial. Membaca holistik artinya mencari makna terbaik dan menggunakan penalaran analisis dalam penafsiran, sesuai dengan sifat Ilahi yang menurunkannya. Selain itu, pembacaan alQur’an meliputi beberapa prinsip pembacaan: 1. behind the text (pembacaan dari belakang) adalah melakukan rekonstruksi terhadap konteks sejarah yang memunculkan teks tersebut (West dalam Barlas, 2003). 2. in front of the text (pembacaan dari depan) adalah cara kontekstualisasi alQur’an sesuai dengan kebutuhan zaman. 3. Aspek etik adalah pencarian makna terbaik berdasarkan sifat al-Qur’an. Sifat al-Qur’an adalah polisemik, yakni terbuka bagi beragam bentuk pembacan atau terbuka bagi lebih dari satu pemaknaan (Barlas, 2002). KNiST, 30 Maret 2013 358 ISBN: 978-602-61242-1-0 4. Aspek otoritas adalah otoritas dalam menafsirkan al-Qur’an yang berada pada setiap Mukmin atau Muslim, dan baik lakilaki maupun perempuan bertanggung jawab terhadap penaf siran al-Qur’an. (Diambil dari kutipan seminar Hermeneutika, http://www.wahidinstitute.org). Oleh karena itu, untuk mendapatkan representasi identitas Islam dan konstruksi Islam dalam sosok perempuan berkerudung, maka peneliti menggunakan konsep identitas Manuel Castells, hermeneutik al-Qur’an, gender, dan ideologi patriarki. 2. Metode Penelitian Metode deskriptif kualitatif digunakan dalam penelitian ini, yakni menganalisis teks dalam adegan dan dialog dalam film yang berlandaskan pada konsep identitas Castells, hermeneutik al-Qur’an Asma Barlas, gender, ideologi patriarki dalam sudut pandang kajian budaya (Cultural Studies). Data tersebut berupa foto, teks dalam dialog, dan dalil agama. Penulis membatasi penelitian ini hanya pada beberapa adegan dialog dan gambar yang menunjukkan konstruksi dari jenis identitas Islam dan menafsirkan dalil agama berdasarkan konteks dalam film. 3. Pembahasan Taaruf dan Pemakaian Kerudung Sebagai Praktik Patriarki yang Melalui Sosok Khalifah. Dalam adegan film digambarkan bahwa ayah Ifah menjodohkan Ifah berdasarkan agama yang dianut oleh calon suami, memiliki kepribadian yang baik, mapan, dan pintar mengaji. Meskipun ayah Ifah melihat hak individual perempuan untuk memilih dan menentukan kehendaknya, penjodohan tersebut tetap saja dilatarbelakangi oleh kepentingan laki-laki dari segi ekonomi. Sehingga, ayah Ifah menikahkannya agar terlepas dari jeratan hutang, sebagaiman dialog dalam film disebutkan: Ayah Ifah: Khalifah, kata pak umar, Pak usin itu orangnya baik, Insya Allah keponkannya juga baik. Rasyid sudah punya pekerjaan yang bagus, sholeh, pinter ngaji lagi, jadi lebih cepat kamu ngambil keputusan, itu akan lebih baik. Kamu tidak perlu khawatir lagi dengan masa depan kamu dan keluarga kita. Insya Allah, dia akan bantu kita. Tapi ya semua itu terserah pada kamu nak. Adik Ifah: Kalau nggak sreg jangan dipaksakan Mba. Zaman sekarang mana ada jodohjodohan. Khalifah : Ayah sama ibu dijodohin, mereka sangat bahagia (dengan raut muka penuh keraguan) Dalam teks di atas, Khalifah menunjukkan sikap menerima praktik patriarkal. Ifah mau saja dijodohkan dengan laki-laki yang tidak Khalifah kenal. Dalam hal ini, Khalifah secara sadar menerima praktik patriarkal, sehingga tampak bahwa penjodohan adalah praktik yang berkaitan dengan relasi kekuasan ayah. Dibalik penjodohan tersebut dilatarbelakangi oleh kepentingan ayahnya, yaitu agar kehidupan Khalifah dan keluarganya dijamin oleh calon suaminya. Dalam film, praktik penjodohan yang dilakukan oleh ayah Khalifah merupakan praktik yang berdasarkan kehendak ayahnya, bukan kehendak Khalifah. Sehingga, pada realita kehidupan Khalifah dalam berumah tangga, Khalifah tidak merasakan keindahan berumah tangga, seperti kehidupan yang dijalani oleh orang tua Khalifah. Kehidupan Ifah setelah menikah semakin tertekan, ia sering mendapatkan cacian, sindiran, ejekan bahkan pukulan dari orang asing yang ia temui. Terlebih lagi, Ifah semakin tidak mengenal sosok Rasyid yang telah banyak merubah kehidupannya. Ifah hanya mengetahui bahwa suaminya adalah seorang pedagang barang-barang dari Arab dan beragama Islam. Khalifah mulai menyadari bahwa identitas suaminya ternyata palsu. Rasyid memiliki nama lain, yaitu Ahmad Zamroni. Rasyid juga telah menikah dengan wanita lain, serta memiliki seorang putri. Ditambah lagi, Khalifah merasa dibohongi ketika ia mengetahui Rasyid adalah seorang teroris yang menganut ajaran Islam garis keras. Dalam kehidupan berumah tangga dengan Rasyid, Rasyid sering meninggalkan Khalifah berminggu-minggu, bahkan hingga berbulan-bulan. Rasyid terkadang meminta Khalifah untuk mengenakan kerudung secara halus. Sebagaiman kutipan dialog berikut: Ifah : Dengan senang hati, aku mengikuti keinginan Mas Rasyid untuk mengenakan kerudung Dalam teks di atas tampak bahwa Ifah mengenakan kerudung bukan atas dasar keinginannya, melainkan keinginan Mas Rasyid. Dalam hal ini, Ifah diperintahkan oleh Rasyid untuk mengenakan kerudung biasa. KNiST, 30 Maret 2013 359 ISBN: 978-602-61242-1-0 Meski Ifah merasa senang dengan perintah tersebut, praktik tersebut tetap dilatarbelakangi oleh kepentingan laki-laki dan praktik pemakaian kerudung tersebut berdasarkan relasi kekuasaan laki-laki sebagai suami, sehingga Ifah hanya patuh saja. Tidak lama kemudian, Rasyid menyuruh Khalifah mengenakan cadar atau purdah. Dalam hal ini, identitas keislaman Khalifah dibentuk oleh kekuasaan suami, sehingga tampak bahwa perempuan berpakaian cadar tidak hanya sekedar menutup anggota tubuhnya, tapi juga agar dilihat cantik hanya dihadapan suaminya, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar berikut: Gambar 1. Perubahan Identitas Diri Khalifah Dalam teks gambar di atas, keislaman khalifah dibatasi oleh cara dan gaya berpakain perempuan di mata patriarkis. Dalam sudut pandang patriarkis, pakaian yang menampakkan auratnya merupakan pakaian yang diidentikkan sebagai penanda pemancing hasrat seksual. Gambar di atas menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok antara memakai kerudung, cadar, dan tidak memakai kerudung atau pakaian yang menampakkan auratnya. Oleh karena identitas Khalifah dalam mengenakan kerudung dibentuk berdasarkan kekuasaan Rasyid sebagai suaminya, identitas Khalifah semakin terlihat berbeda dan berubah. Hal tersebut terihat dari bagaimana orang terdekatnya dan orang asing memperlakukannya. Hal ini ditunjukkan dalam dialog berikut: (Di Salon) Khalifah : Ifah merasa terpanggil memakai pakaina ini. Tante Rita: Tapi Khalifah, para customer g bakal datang kalau kamu begini. Dalam teks di atas, sosok Ifah dibatasi oleh kerudungnya untuk berhubungan dengan orang lain dan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kehendaknya. Identitas keislaman khalifah tertutup dan terasing dari dunia sosial yang membuat Ifah tidak dapat dikenali oleh orang lain, bahkan oleh keluarga terdekatnya sendiri. Sebagaimana Ayah Ifah mengatakan, “ayah sekarang tidak bisa melihat apakah kamu sedang sedih, menangis, gembira atau biasa-biasa saja”. Kutipan teks tersebut menunjukkan bahwa pakain yang dikenakan oleh Ifah merepresentasikan wajah Islam yang tertutup dari dunia sosial. Makna kerudung yang dikenakan Ifah sebagai pembatas dan identik dengan menjauhi dunia sosial atau keterasingan telah menciptakan citra negatif pada diri Khalifah. Persepsi masyarakat mengenai perempuan tidak baik terbentuk melalui pakaian yang dikenakan oleh Ifah. Jadi, dalam hal ini, identitas Ifah dibangun oleh konstruksi sosial melalui pandangan masyarakat mengenai Khalifah berdasarkan pakaian yang melekat padanya. Sebagaimana dialog berikut dinyatakan, (Di Halte Bus) Ibu: Brengsek kamu! Dasar pembunuh, nih lihat nih. Ini kena bom gara-gara orang seperti kamu. Nih lihat nih, lihat nih, belum lagi yang dibadannya, itu garagara kamu tau! Dasar teroris suami kamu pasti teroris kan? Heh, ngaku aja, kenapa diem?Tanggung jawab kamu! Tanggung jawab. Khalifah : Astagfirullah (tidak melakukan apa-apa) (Di Kantor Polisi) Polisi: Apakah anda ikut pengajian tersebut? Khalifah : Nggak pa. Polisi : Tau al-Qaedda? Khalifah : Cuma tau dari TV Polisi : suami kamu siapa namanya? Khalifah :Rasyid, Muhammad Rasyid. Polisi : Apa kerjanya? Khalifah :Jual produk-produk Arab. Dalam teks di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat mengenai cadar menunjukkan stigma buruk. Stigma negatif masyarakat pada perempuan bercadar adalah berdasarkan ciri yang melekat pada identitas pakaiannya. Dalam hal ini, pakaian bercadar diidentikkan dengan gerakan teror, sehingga mereka mengaitkan perempuan bercadar sebagai perempuan yang lekat dengan gerakan teroris. Oleh karena itu, Ifah KNiST, 30 Maret 2013 360 ISBN: 978-602-61242-1-0 diperlakukan kasar oleh masyarakat berdasarkan pakaian yang ia kenakan. Dalam hal ini, jilbab dengan menggunakan cadar atau yang sering disebut purdah sering dipandang oleh pemerintah dan masyarakat secara umum sebagai pakaian yang dapat menimbulkan kecurigaan dan sering dikaitkan dengan gerakan Islam radikal. Di lain sisi, Khalifah menunjukkan keraguannya terhadap identitas keislamannya dalam berpakaian cadar, sebagaimana dialog berikut dinyatakan: Khalifah : Sejak kapan pakai cadar? Fatimah :Apa maksud pertanyaan kamu? Fatimah : Saya itu mulai pakai cadar sejak awal menikah, 10 tahun yang lalu. Maksud pertanyaan kamu itu biasanya ditanyakan oleh orang-orang yang negative thinking terhadap yang memakai cadar, atau ditanyakan oleh orang yang baru memakai cadar. Dalam teks di atas menunjukkan bahwa Khalifah menemukan sosok perempuan yang mengenakan identitas yang sama, yakni menggunakan cadar. Hal tersebut memicu keingintahuannya akan latar belakang seorang perempuan lain dalam menggunakan cadar. Ditambah lagi, pada saat itu, Khalifah baru mengenakan cadar dan itupun atas dasar perintah suaminya, sehingga Ifah bertanya demikian. Pengalamannya dalam menggunakan cadar atas dorongan suami membuat dirinya berfikir bahwa baginya dan di matanya, perempuan lain pun akan mengalami hal yang sama seperti dirinya. Di lain sisi, cadar dimaknai oleh Fatimah sebagai sebuah pemaknaan atas sesuatu yang ada pada batinnya. Dalam hal ini, cadar dan purdah dimaknai sebagai indikasi bersihnya hati dan diri, sebagaimana Fatimah mengatakan pada Ifah, “yakinkan hatimu untuk bercadar, kalau belum yakin lebih baik tidak usah bercadar, la ikroha fiddin (tidak ada paksaan dalam agama)”. Pernyataan dari kalimat tersebut merupakan sebuah bentuk pilihan perempuan untuk memutuskan berdasarkan kehendaknya secara sadar. Praktik pemakaian kerudung yang dipaksakan secara halus (berupa perintah) oleh Rasyid merupakan sebuah bentuk kekerasan. Sehingga, di balik praktik penjodohan yang dilakukan oleh ayah dan pemakain kerudung yang dilakukan oleh suaminya (Rasyid) terhadap Khalifah terdapat sebuah bentuk relasi dominasi kekuasaan laki-laki yang memaksakan kehendaknya. Dalam adegan film ini, Rasyid menggunakan dalil agama sebagai alat untuk melegalkan kekuasaannya, sebagaimana Ifah diperintahkan untuk mengenakan kerudung oleh Rasyid karena ia mengalami keguguran. Ifah: Dosa apa yang telah aku perbuat dan tanda-tanda apa yang telah aku abaikan dalam hidup ini, sampai Tuhan mengambil bayi yang ada dalam kandungan ini? Rasyid: Musibah yang datang dari Allah membawa peringatan bagi kita. Kita sebagai hambanya harus pandai membaca peringatan itu. Kamu keguguran adalah peringatan dari Allah (Rasyid membacakan surat an-Nur, ayat 31). Janganlah mereka menampakkan auratnya kecuali yang biasa terlihat. Dalam teks di atas menunjukkan bahwa ada kepentingan laki-laki dalam pemakaian kerudung. Kepentingan tersebut ditunjukkan dengan pemahaman Rasyid akan kandungan ayat al-Qur’an. Keguguran, menurut Rasyid, adalah musibah dan musibah diartikan olehnya sebagai tanda peringatan dari Tuhan. Rasyid mengatakan “musibah yang datang dari Alllah membawa peringatan bagi kita. Kita sebagai hambanya harus pandai membaca peringatan itu. Kamu keguguran adalah peringatan dari Allah”. Kemudian, Rasyid membacakan ayat al-Qur’an “wakulil mu’minati…dan janganlah mereka menampakkan auratnya kecuali yang biasa terlihat”. Dalam teks tersebut menunjukkan bahwa pemahaman Rasyid akan isi kandungan ayat tersebut berada di luar konteks ayatnya. Ayat al-Qur’an tersebut secara lengkap peneliti jabarkan: KNiST, 30 Maret 2013 361 ISBN: 978-602-61242-1-0 Artinya: Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang biasa terlihat, dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau atau putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan lelaki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan, dan janganlah mereka mengentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan, dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung. (Qs. an-Nur: 31). Menurut pandangan masyarakat Muslim, musibah dapat dikatakan sebagai ujian atau cobaan yang datang dari Tuhan. Musibah diberikan kepada manusia agar manusia ingat kembali kepada Tuhan, bersabar, dan berserah diri. Dalam konteks film ini, musibah dimaknai oleh suami Khalifah (Rasyid) sebagai peringatan akan dosa-dosa yang telah dilakukan istrinya, sehingga Rasyid mengaitkan musibah keguguran dengan peringatan untuk menutup tubuh perempuan. Tubuh perempuan dalam pandangan laki-laki adalah sebuah dosa karena dapat mendekatkan pada perbuatan-perbuatan maksiat atau perbuatan yang dilarang oleh Tuhan. Menurut argumentasi kritis peneliti, surat anNur ayat 31 tidak sesuai dengan praktik yang dilakukan oleh Rasyid. Ketidaksesuaian tersebut terlihat ketika Rasyid menghubungkan musibah keguguran dengan praktik menutup tubuh perempuan dengan cadar atau purdah. Musibah adalah ujian untuk menaikkan tingkat spiritualitas takwa seseorang pada Tuhannya, sedangkan praktik menutup tubuh tidak ada kaitanya dengan musibah keguguran. Artinya, nilai takwa tidak dapat didasarkan pada penggunaan jilbab atau cadar. Nilai takwa seseorang hanya Tuhan yang memiliki otoritas penuh terhadapnya, sehingga apa yang telah diperintahkan oleh Rasyid kepada Ifah untuk mengenakan kerudung adalah berdasarkan pemahamannya sebagai lakilaki dan berdasarkan kepentingannya agar Khalifah mengenakan jilbab atau penutup aurat pada seluruh anggota tubuhnya. Menurut hemat peneliti, konsep aurat di dalam ayat al-Qur’an tersebut tidak dijelaskan secara detail. Ayat al-Qur’an tersebut hanya menunjukkan pada bagian tubuh tertentu, yakni perempuan harus menutupi bagian tubuhnya, seperti dada hingga kemaluan. Bagian tersebut merupakan bagian tubuh yang berkenaan dengan wilayah privat dan bersifat erotis. Sehingga, anjuran tersebut merupakan sebuah bentuk kebebasan bagi perempuan untuk berpakaian sesuai dengan nilai kesopanan berpakaian dan sesuai kehendaknya untuk mengenakan kerudung ataupun tidak. Oleh karena itu, peneliti berpendapat bahwa penjodohan dan praktik pemakaian kerudung menunjukkan batasan ruang antara perempuan dan laki-laki. Dalam hal ini, hak dan ruang kerja perempuan dibatasi oleh penjodohan dan pemakaian kerudung. Akibat praktik pemaksaan tersebut, ruang gerak perempuan menjadi terbatas dalam bidang pekerjaan, pergaulan dengan orang lain, dan masyarakat. Dalam hal ini, Ifah harus patuh kepada ayah dan suaminya sebagai pengendali kehidupannya. Praktik penjodohan dan praktik pemakaian kerudung adalah praktik yang berkenaan dengan hak sebagai seorang perempuan yang dibatasi oleh kehendak berupa nilai kepantasan dan kekuasaan patriarkal. 4. Simpulan Identitas keislaman Khalifah dibangun berdasarkan bagaimana orang lain atau masyarakat memandang dirinya. Dalam hal ini, identitas Khalifah digolongkan sebagai legitimated identity karena identitas keislamannya dalam mengenakan kerudung berdasarkan identitas yang diproyeksikan oleh laki-laki dalam institusi keluarga, yakni Rasyid menyuruh Khalifah menggunakan cadar berdasarkan kepentingan laki-laki. Berdasrkan pola keislaman yang terdapat dalam pakaian, praktik agama, dan pemahaman dalil agama yang terikat oleh relasi kekuasaan patriarki, konstruksi sosial, dan ideologi patriarki maka dapat disimpulkan bahwa Islam yang dikonstruksi dalam sosok KNiST, 30 Maret 2013 362 ISBN: 978-602-61242-1-0 perempuan berjilbab dalam film Khalifah menunjukkan praktik Islam Radikal dan memproyeksikan kepentingan patriarki kepada tokoh utama dalam film. Berikut adalah gambar berdasarkan kesimpulan dari hasil analisis dalam bab pembahasan. Barlas, Asma. (2002). Believing women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations ofthe Quran.Austin, TX: University of Texas Press. ____________. (2003). Cara Quran membebaskanPerempuan(R. Cecep LukmanYasin, penerjemah). Jakarta: Serambi. Castell, Manuel. (1997).The Power Identity. Oxford: Blackwell. of Fakih, Mansour. (1996). Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hatta, Ahmad. (2009. Tafsir Qur’an Per Kata; Dilengkapi dengan Asbabun Nujul dan Terjemah. Jakarta: Magfirah Pustaka. Film ini tidak mengkritisi praktik patriarkal meski dalam adegan pada akhir cerita menunjukkan bahwa Ifah memutuskan menjadi dirinya sendiri tanpa ada relasi kekuasaan yang timpang dengan orang lain, baik dalam menentukan kehidupannya untuk menikah ataupun mengenakan kerudung. Identitas diri Khalifah dipilih oleh dirinya sendiri. Khalifah tetap menjadi dirinya sebagai seorang Muslim dengan mengenakan kerudung biasa tanpa cadar, bekerja di salon, dan hidup sendiri serta mandiri. Sehingga, pesan yang ingin disampaikan oleh film ini adalah praktik penggunaan cadar merupakan praktik yang berkenaan dengan keyakinan dan pilihan masing-masing perempuan dan bukan atas dasar paksaan. Peneliti menyadari bahwa terdapat ketidaksempurnaan dan keterbatasan dalam penelitian ini, baik dari segi waktu maupun terbatasnya pengetahuan peneliti akan objek yang peneliti kaji, yakni film bergenre islami. Oleh karena itu, peneliti memberikan masukan kepada peneliti lain untuk mengkaji film berdasarkan teori dan topik yang berbeda. Referensi Abbott, Marie Richmond. (1992). Masculine and Feminine; Gender Roles Over The Life Cycle 2nd ed. London: McGraw-Hill Inc. Kurniawati, Dian. (2009). Putri Pemilihan Identitas sebagai Resistansi terhadap Dominasi Patriarki (Tesis S2). Program Studi Susastra Universitas Indonesia. Mahmudah, Nur. (2011). Menulis Ulang Partisipasi Perempuan dalam Sejarah Penafsiran Teks Suci: Mufassir Perempuan Masa Modern dan Kontemporer, Jurnal Studi Gender. Vol.4. No.2. Desember 2011, hlm. 221. Said, Edward W. 1997. Covering Islam: How the Media and theExperts Determine. How we see the Rest of the World. New York: Vintage Book. Samsuri, Hamzah. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Surabaya: Greisinda Press. The Wahid Institute. (2008). Seminar “Hermeneutika Pembacaan teks Qur’an oleh Asma Barlas”. Februari 24, 2013.http://www.wahidinstitute.org. KNiST, 30 Maret 2013 363