BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan utama digulirkannya reformasi adalah mendorong
pertumbuhan demokrasi dan mempertegas eksistensi Pemerintah Daerah di
seluruh lapisan pemerintahan.
Lebih lanjut lagi, upaya untuk mendorong
pertumbuhan demokrasi secara nyata dilakukan dengan mendorong dan
memperbesar peranan Pemerintah Daerah, sehingga digulirkan berbagai produk
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya untuk meningkatkan
peran serta Pemerintah Daerah dalam kerangka otonomi daerah1.
Sebagai bukti pemberdayaan Pemerintah Daerah dalam kerangka otonomi
daerah, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19452
Pasal 18 ayat (2) telah ditegaskan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
1
Peraturan Perundang-undangan terkait dengan eksistensi pemerintahan daerah dalam
bentuk undang-undang yang terbaru adalah Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menggantikan Undang-Undang Republik Indonesia No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
2
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hasil dari 4
(empat) kali perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Adapun perubahan tersebut secara
kronologis adalah sebagai berikut:
a. Perubahan pertama disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999;
b. Perubahan kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000;
c. Perubahan ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001;
d. Perubahan keempat disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
.
2
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Penegasan ini sekaligus juga
merupakan bukti nyata adanya tekad untuk memberikan keleluasaan kepada
seluruh lapisan Pemerintahan Daerah baik di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pemberian otonomi
tersebut
pada
hakekatnya
bertujuan
untuk
mempercepat
terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan
peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia3.
Tiap-tiap daerah otonom baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota
diberikan kewenangan yang seluas-luasnya dan disertai dengan pemberian hak
dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintahan Negara. Hal ini dilakukan agar masing-masing
daerah otonom mampu menerjemahkan keinginannya untuk maju dan
berkembang dengan mengedepankan kepentingan masyarakat demi terciptanya
kemakmuran rakyat, dengan memperhatikan keunggulan dan ciri khas masingmasing daerah otonom.
Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah selanjutnya diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, telah membawa perubahan besar dalam setiap segmen
penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana yang diungkapkan Soekarwo
3
Dasar Pertimbangan/Konsideran huruf (a) Undang-Undang Republik Indonesia No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
3
sebagaimana dapat dilihat bukunya dalam Akmal Boedianto4. Dalam penjelasan
umum UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga menegaskan
bahwa:
Pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas
penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar
susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan
keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan
selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam
persaingan global dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberi kewenangan
yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
negara.
Dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, segenap warga negara
dituntut untuk bersatu dalam keragaman (unity in diversity), dan dalam wadah
negara kesatuan ini juga termasuk dimungkinkan adanya ketidakseragaman dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Semua daerah harus mendapatkan
kewajiban dan hak, tugas dan wewenang yang serupa untuk seluruh Indonesia,
hanya saja untuk daerah-daerah tertentu yang mempunyai latar belakang historis,
politik dan ekonomi yang berbeda, dapat diterapkan kebijakan yang bersifat
khusus sebagai tambahan ciri terhadap ciri-ciri umum otonomi yang berlaku bagi
seluruh daerah.
Dalam pelaksanaan pemerintahan pada seluruh daerah otonom, sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi Negara Kesatuan Republik
4
Akmal Boedianto, 2010, Hukum Pemerintahan Daerah (Pembentukan Perda APBD
Partisipatif) Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal. 1
4
Indonesia sebagai negara hukum, tiap-tiap Pemerintah Daerah selalu melandaskan
seluruh kebijakan dan tindakannya pada suatu dasar hukum sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Dalam perspektif daerah otonom, salah satu
landasan hukum yang dipergunakan oleh Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan
pemerintahan adalah berbagai peraturan daerah yang telah ditetapkan sebelumnya.
Di dalam Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
ditegaskan bahwa peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah
mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selanjutnya
dalam ayat (2) hal tersebut lebih dipertegas, dengen menegaskan bahwa peraturan
daerah
dibentuk
dalam
rangka
penyelenggaraan
otonomi
daerah
provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan.
Dalam perkembangan pemerintahan daerah otonom, eksistensi peraturan
daerah ternyata banyak memberikan warna bagi masing-masing pelaksanaan
pemerintahan daerah itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan begitu banyaknya
peraturan daerah yang dihasilkan oleh masing-masing pemerintah daerah dengan
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perihal adanya pemerintahan
daerah otonom, tentu saja terkait dengan pembentukan suatu peraturan
pemerintahan daerah iru sendiri. Menurut Jimly Asshiddiqie5:
Dalam keadaan yang normal, sistem norma hukum diberlakukan
berdasarkan undang-undang dasar dan perangkat peraturan perundangundangan yang secara resmi diadakan untuk mengatur berbagai aspek
yang berkenaan dengan penyelenggaraan kegiatan bernegara pada
umumnya, akan tetapi kadang-kadang kurang terbayangkan bahwa aka
nada keadaan lain yang bersifat tidak normal, dimana sistem hukum yang
5
Jimly Asshiddiqie, 2007, Hukum Tata Negara Darurat, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hal. 1
5
biasa itu tidak dapat diharapkan efektif untuk mewujudkan tujuan hukum
itu sendiri.
Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia, saat ini telah
mengakibatkan pula terjadinya pergeseran paradigma dari sentralistik ke arah
desentralisasi, yang ditandai dengan pemberian otonomi kepada daerah.
Pengalaman dari banyak negara mengungkapkan bahwa pemberian otonomi
kepada daerah-daerah merupakan salah satu resep politik penting untuk mencapai
sebuah stabilitas sistem dan sekaligus membuka kemungkinan bagi proses
demokratisasi yang pada gilirannya nanti akan semakin mengukuhkan stabilitas
sistem secara keseluruhan.
Pelaksanaan desentralisasi dengan pemberian otonomi kepada daerah tidak
demikian mudahnya memenuhi keinginan daerah bahwa dengan otonomi daerah
segalanya akan berjalan lancar dan mulus. Keberhasilan otonomi daerah sangat
bergantung pada pemerintah daerah dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah, serta Perangkat Daerah lainnya.
Dengan demikian, perlu adanya hubungan yang harmonis antara DPRD dan
Kepala Daerah.
Salah satu unsur penting dalam gagasan desentralisasi dan otonomi daerah
ini adalah keinginan yang sangat kuat agar proses pembangunan di masa depan
benar-benar bertumpu pada kepentingan rakyat terutama mereka yang ada di
daerah-daerah. Keinginan yang sangat kuat ini di dasarkan pada kenyataan di
masa lampau yang lebih mengedepankan pandangan pusat yang dianggap telah
mencerminkan dan mewakili kepentingan masyarakat di daerah.
6
Dalam pelaksanaan otonomi daerah ini selain diselenggarakan sesuai
dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah mengalami beberapa perubahan, dan mana perubahan terakhir
telah ditetapkan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, di mana hal ini tentu saja memerlukan
berbagai produk peraturan perundangan lainnya yang bersifat kedaerahan yang
disebut Peraturan Daerah, yang juga merupakan produk hukum dari pemerintah
daerah itu sendiri yang diharapkan akan mampu menunjang perwujudan otonomi
daerah yang sesuai dengan harapan.
Peraturan daerah ini menjadi sangat penting karena selain merupakan
penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya atau yang
lebih tinggi, peraturan daerah ini juga harus memperhatikan kebutuhan dan
perkembangan daerah yang bersangkutan, artinya dengan diterbitkannya
peraturan daerah ini jangan sampai mengakibatkan terganggunya kerukunan antar
warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan ketentraman/ketertiban
umum serta menimbulkan kebijakan yang bersifat diskriminatif.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah ini sangat diperlukan sebagai suatu pedoman khusus dalam
membentuk suatu Peraturan Perundang-undangan, sehingga akan terjadi
keseragaman bentuk aturan Perundang-undangan antar daerah yang satu dengan
yang lainnya.
Berkaitan dengan pembentukan peraturan daerah telah pula diatur dalam
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
7
yang selanjutnya telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang mengatur tentang prosedur
dan teknis
pembentukan peraturan perundang-undangan
yang termasuk
didalamnya adalah peraturan daerah. Sesuai dengan Pasal 26 Undang-Undang
Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yang menegaskan bahwa rancangan peraturan daerah dapat
berasal
dari
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
atau
Gubernur,
atau
Bupati/Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, atau kota. Sedangkan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia
No. 12 Tahun 2011, diatur dalam Pasal 32, yang menegaskan bahwa,
“Perencanaan penyusunan Peraturan daerah Provinsi dilakukan dalam Prolegda
Provinsi”, dan telah diatur juga dalam Pasal-Pasal berikutnya, yaitu Pasal 32
sampai dengan Pasal 38,
terkait dengan prosedur dan teknis pembentukan
peraturan perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan daerah
Dalam pembentukannya, setiap peraturan daerah dapat dipastikan akan
melalui proses pembahasan yang dilakukan secara bersama-sama antara Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Dalam hal ini,
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 42 ayat (1), telah ditegaskan
bahwa rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh
pimpinan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
kepada
Gubernur
atau
Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Selanjutnya UU No,
8
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah
diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, dalam Pasal 32 sebagaimana yang telah dipaparkan
sebelumnya bahwa Perencanaan penyusunan Perda Provinsi dilakukan dalam
Prolegda Provinsi”, kemudian pada Pasal selanjutnya yaitu Pasal 33 UU No. 12
tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menegaskan:
(1) Prolegda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 memuat program
pembentukan Perda Provinsi dengan judul Rancangan Perda Provinsi,
materi yang diatur dan keterkaitannya dengan peraturan perundangundangan lainnya
(2) Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundangundangan lainnnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
keterangan mengenai konsepsi rancangan Perda yang meliputi:
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
c. Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
d. Jangkauan dan arah pengaturan
(3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah
melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam naskah
akademik.
Kemudian pada Pasal selanjutnya dipaparkan lebih jelas lagi terutama mengenai
Perda APBD, yaitu :
Pasal 34
(1) Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan
Pemerintah Daerah Provinsi.
(2) Prolegda Provinsi ditetapkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Perda Provinsi.
(3) Penyusunan dan Penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun
sebelum penetapan Rancangan Perda Provinsi tentang Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah Provinsi.
9
Pasal 35
Dalam penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(1), penyusunan daftar rancangan Perda Provinsi didasarkan atas:
a.
b.
c.
d.
Perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi;
Rencana pembangunan daerah;
Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
Aspirasi masyarakat daerah.
Pasal 36
(1) Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah
Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat
kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi
dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus
menangani bidang legislasi.
(3) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi
dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi
vertical terkait.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi
di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan DPRD Provinsi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi
di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 37
(1) Hasil penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan
Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat
(1) disepakati menjadi Prolegda Provinsi dan ditetapkan dalam Rapat
Paripurna DPRD Provinsi.
(2) Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan DPRD Provinsi.
Pasal 38
(1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang
terdiri atas :
a. Akibat putusan Mahkamah Agung; dan
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi
10
(2) Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi:
a. Untuk mengatsi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana
alam;
b. Akibat kerja sama dengan pihak lain; dan
c. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu
Rancangan peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama
oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang
legislasi dan biro hukum.
Bunyi dari beberapa Pasal yang terdapat di dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yang menggantikan UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan perundang-undangan, secara teks berbeda, dimana
penyebutan rancangan perda provinsi dikategorikan kedalam program dari
Prolegda Provinsi sedangkan Prolegda itu sendiri dilaksanakan oleh DPRD
Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi, tidak menyebutkan kepala daerah
provinsi yakni Gubernur, sebagaimana isi dari UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Meskipun demikian hal tersebut
tidak menjadi masalah sebab istilah Pemerintah Daerah Provinsi didalam UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 1 (3), menyebutkan bahwa
“pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah”, selanjutnya pada ayat (4)
menyebutkan bahwa
“Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya
disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. Jadi jelas bahwa pemerintah daerah yang
dimaksud pada UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah Gubernur, bupati dan/atau walikota,.walaupun
11
didalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut, tidak ada
pemisahan pengertian antara Pemerintah daerah dengan Pemerintah Daerah
Provinsi.
Ketentuan mengenai penetapan rancangan peraturan daerah menjadi
peraturan daerah sebagaimana dipaparkan di atas juga diatur dalam UndangUndang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
yaitu dalam Pasal 144 yang menentukan sebagai berikut:
(1) Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD
dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan
DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan
sebagai peraturan daerah.
(2) Penyampaian rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu palin lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
(3) Rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama.
(4) Dalam hal rancangan peraturan daerah tidak ditetapkan Gubernur atau
Bupati/Walikota dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
rancangan peraturan daerah tersebut sah menjadi peraturan daerah dan
wajib diundangkan dengan memuatnya dalam lembaran daerah.
(5) Dalam hal sahnya rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), rumusan kalimat pengesahannya berbunyi, “Peraturan
Daerah ini dinyatakan sah,” dengan mencantumkan tanggal sahnya.
(6) Kalimat pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus
dibubuhkan pada halaman terakhir peraturan daerah sebelum
pengundangan naskah peraturan daerah ke dalam lembaran daerah.
Selain ketentuan mengenai penetapan rancangan peraturan daerah menjadi
peraturan daerah, dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah juga mengatur mekanisme pembatalan peraturan
daerah, di mana dalam Pasal 145 ayat (2) ditegaskan bahwa peraturan daerah
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan
12
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan
oleh Pemerintah.
Dalam kurun waktu pelaksanaan otonomi daerah pasca reformasi,
pemerintahan daerah ditenggarai banyak melakukan penyimpangan dan kesalahan
persepsi mengenai otonomi daerah. Implementasi Undang-Undang Republik
Indonesia No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kebanyakan hanya
berorientasi keuangan dengan menciptakan berbagai peraturan daerah yang
menekankan kepentingan ekonomi dari pada kepentingan publik. Berbagai kasus
pembatalan peraturan daerah yang dilakukan pemerintah pusat dalam hal ini
melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri akhirnya muncul sebagai suatu
kenyataan yang mesti diterima oleh Pemerintah Daerah. Berbagai peraturan
daerah yang dibatalkan tersebut semuanya bersentuhan dengan masalah
pengelolaan keuangan daerah. Dari data yang berhasil dihimpun, Departemen
Dalam Negeri (Depdagri) pada tahun 2003 telah pula mengumumkan kurang
lebih 7000 (tujuh ribu) buah peraturan daerah yang harus dibatalkan karena
dianggap bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan dan memberatkan
publik6
Terkait dengan pembatalan peraturan daerah, berdasarkan UndangUndang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 145 ayat (3), telah ditegaskan bahwa keputusan pembatalan peraturan
daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 145 ayat (2)
ditetapkan dengan
Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya peraturan
6
Akmal Boedianto, 2010,Hukum Pemerintahan Daerah (Pembentukan Perda APBD
Partisipatif) Laksbang Presindo, Yogyakarta, hal. 5
13
daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 145 ayat (1). Namun demikian, dalam
kenyataannya selama ini pembatalan suatu peraturan daerah hanya dilakukan
dengan ditetapkannya suatu Keputusan Menteri Dalam Negeri. Sejak tahun 2002
sampai dengan tahun 2009 terdapat 406 (empat ratus enam) buah peraturan daerah
yang dibatalkan melalui keputusan Menteri Dalam Negeri7
Pembatalan suatu peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam
Negeri tentunya bertentangan dengan ketentuan yang dipaparkan sebelumnya,
yang menjelaskan dengan tegas berdasarkan amanat Undang-Undang Republik
Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa pembatalan
suatu peraturan daerah hanya dapat dilakukan melalui Peraturan Presiden. Salah
satu Peraturan Daerah yang dapat dijadikan contoh adanya pembatalan Peraturan
Daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, adalah Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 348 Tahun 2009, tentang Pembatalan Peraturan Daerah
Kabupaten Pasaman No. 4 Tahun 2000, tentang Pengelolaan dan Pengusahaan
Sarang Burung Walet.
Lebih lanjut lagi, hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang atau
alasan utama untuk melakukan kajian mengenai pembatalan peraturan daerah
melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri.
Dengan demikian, kajian akan
dilakukan dengan mengedepankan perspektif pembatalan peraturan daerah yang
ditinjau dari berbagai sudut pandang dan konsep-konsep serta teori yang terkait
dengan latar belakang permasalahan yang selanjutnya akan menjadi topik kajian
yang akan dipaparkan.
7
http://www.depdagri.go.id, Produk Hukum – Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri,
tanggal 10-02-2011.
14
Adanya kenyataan bahwa selama ini peraturan daerah hanya dibatalkan
dengan suatu Keputusan Menteri Dalam Negeri telah menjadi suatu fakta menarik
untuk dikaji, yang selanjutnya memicu munculnya berbagai pertanyaan terkait
dengan fakta dimaksud, serta kemudian menjadi latar belakang penelitian. Hal ini
disebabkan karena ketentuan mengenai pembatalan suatu peraturan daerah telah
diatur dalam Pasal 145 Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas akan kita pahami bahwa pada hakikatnya
pembatalan suatu Peraturan Daerah hanya dapat dibatalkan melalui suatu
Peraturan Presiden.
Namun dengan demikian, mekanisme pembatalan suatu peraturan daerah
ternyata diatur juga dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pada Pasal 47 ayat (6), yang
menegaskan sebagai berikut:
“Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan
Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan Rancangan
Peraturan Gubernur tentang Penjabaran APBD menjadi peraturan daerah dan
peraturan gubernur. Menteri Dalam Negeri membatalkan peraturan daerah
dan peraturan gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu
APBD tahun sebelumnya”
Dalam pembentukan peraturan daerah tentang APBD (Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah), hasil yang akan diperoleh merupakan suatu bentuk
penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
15
beserta peraturan pelaksanaannya. Peraturan pelaksanaan yang dimaksud adalah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah, yang mengatur pembentukan peraturan daerah
APBD dan pembatalan peraturan daerah APBD, namun dalam kenyataannya
pengaturan tentang mekanisme pembatalan peraturan daerah telah diatur secara
tegas di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Dimana kedudukan Undang-Undang lebih tinggi dari
pada Peraturan Pemerintah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 UndangUndang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, yang telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Meskipun di dalam UU. No 12
Tahun 2011 ada penambahan dalam jenis peraturan perundang-undangan, namun
tetap menegaskan bahwa kedudukan UU lebih tinggi daripada PP.
Mekanisme pembatalan peraturan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal
47 ayat (6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah tersebut pada hakikatnya bertentangan dengan
mekanisme pembatalan Peraturan Daerah yang telah diatur dalam Pasal 145
Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Dengan demikian akan dapat terlihat bahwa di antara substansi kedua
peraturan perundang-undangan tersebut telah terjadi suatu pertentangan norma
atau konflik norma.
Berdasarkan berbagai pertanyaan terkait dengan latar belakang dengan
topik kajian sebagaimana dipaparkan tersebut di atas, selanjutnya akan dijadikan
16
sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian terhadap tema penelitian dengan
judul “Pembatalan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD) di Tingkat Provinsi Melalui Keputusan Menteri Dalam
Negeri”. Dengan demikian, melalui penelitian dimaksud, maka berbagai
pertanyaan sebagaimana telah dikemukakan akan dapat terjawab secara
komprehensif dan dapat dipertanggung jawabkan secara keilmuan.
1.2. Rumusan Masalah
Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian terdahulu, topik kajian
mengenai pembatalan peraturan daerah APBD tingkat provinsi melalui Keputusan
Menteri Dalam Negeri telah menimbulkan berbagai pertanyaan terkait dengan
topik kajian dimaksud. Namun demikian, keseluruhan pertanyaan tersebut pada
hakekatnya
dapat
di
jelaskan
dua
rumusan
permasalahan
utama. Dengan memperhatikan latar belakang tersebut di atas, dalam kajian ini
rumusan masalah yang akan diketengahkan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana keabsahan pembatalan peraturan daerah
melalui Keputusan
Menteri Dalam Negeri ?.
2. Bagaimana akibat hukum terhadap Peraturan Daerah APBD yang dibatalkan
melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri?
17
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu kajian akademik yang
diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap berbagai bahasan
mengenai mekanisme pembatalan suatu produk Peraturan Perundang-undangan
sesuai dengan kedudukan hukumnya dalam hierarki atau tata urutan peraturan
perundang-undangan di Indonesia, yang dalam pembahasan
terfokus pada
pembatalan suatu peraturan daerah APBD melalui Keputusan Menteri Dalam
Negeri.
Pemahaman
mengenai
mekanisme
pembatalan
suatu
peraturan
perundang-undangan harus dipahami sebagai suatu mekanisme yang di dalamnya
juga termasuk mekanisme pengujian terhadap Peraturan Perundang-undangan itu
sendiri. Dengan demikian, dalam kajian mekanisme pembatalan terhadap suatu
peraturan daerah juga harus dipahami sebagai suatu kajian mengenai mekanisme
pengujian peraturan daerah itu sendiri. Melalui kajian ini, diharapkan pada masa
mendatang akan terwujud suatu pemahaman mengenai mekanisme pembatalan
suatu peraturan daerah yang merupakan salah satu jenis peraturan perundangundangan di Indonesia yang tepat dan sesuai dengan proses dan prosedur yang
ada, baik yang diatur secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 maupun dalam peraturan perundang-undangan
lainnya yang terkait dengan topik kajian, sehingga dapat mewujudkan paradigma
berpikir tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dalam
kerangka atau konsep negara hukum (rechsstaat).
18
Oleh Karena itu dalam memahami mekanisme pembatalan suatu peraturan
dalam hal ini adalah peraturan daerah, maka penelitian hukumnya diperlukan juga
dengan melihat hakekat suatu sitem hukum, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Morris L. Cohen dan Kent C.Olson 8, yang menegaskan bahwa “Effective legal
research requires more than knowledge of the nature of the legal system”.
1.3.2. Tujuan Khusus
Selain tujuan umum sebagaimana tersebut di atas, tujuan khusus dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui bagaimana keabsahan suatu pembatalan peraturan
daerah APBD ditingkat Provinsi melalui
Keputusan Menteri Dalam
Negeri.
2) Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum terhadap peraturan daerah
APBD yang dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri.
1.4. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini, akan dilakukan suatu analisis yang mendalam
terhadap pokok permasalahan yang telah dirumuskan dengan memperhatikan latar
belakang sebagaimana dipaparkan pada bagian sebelumnya untuk menemukan
suatu pemecahan yang terkait dengan pokok permasalahan, yaitu tindakan
Menteri Dalam Negeri yang mengeluarkan keputusan pembatalan terhadap
berbagai peraturan daerah, dikhususkan pada peraturan daerah APBD di tingkat
8
p. 5.
Morris L.Cohen and Kent C.Olson, 2000, Legal Research, St, Paul, Minn, West Group,
19
Provinsi, yang dalam hal ini dikaji dengan tolok ukur mekanisme pembatalan
peraturan daerah sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan. Telaah yang akan dilakukan terkait dengan pokok kajian tentunya
akan disesuaikan dengan berbagai aspek dan faktor yang mendasarinya.
Selanjutnya, temuan mengenai mekanisme pembatalan peraturan daerah
tersebut akan ditindaklanjuti dengan melakukan analisis mengenai kewenangan
pihak-pihak yang untuk melakukan pembatalan terhadap peraturan daerah. Aspek
kewenangan ini tentunya ditinjau dari perspektif konstitusi, sehingga akan
menghasilkan suatu kajian terhadap suatu kewenangan untuk membatalkan
peraturan daerah yang lahir secara konstitusional.
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian mengenai pembatalan peraturan daerah melalui keputusan
Menteri Dalam Negeri akan ditekankan pada keabsahan kewenangan yang
dimiliki oleh suatu lembaga dalam mengeluarkan suatu peraturan, dengan
menekankan pada beberapa aspek, termasuk di dalamnya kedudukan hukum
peraturan daerah, baik bentuk, isi, materi, muatan, maupun pihak yang berwenang
membentuk dan membatalkan, selanjutnya akan menghasilkan keabsahan dari
suatu pembentukan peraturan perundang-undangan. Sehingga menimbulkan
akibat hukum yang bermuara pada pengujian dari peraturan daerah tersebut.
Secara teoritis, hal ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
perkembangan teori maupun asas-asas dalam ilmu hukum. Selain itu, penelitian
20
ini diharapkan juga dapat memberikan kontribusi teoritis mengenai keabsahan
suatu pembentukan peraturan perundang-undangan dan akibat hukumnya.
1.4.2. Manfaat Praktis
Adanya identifikasi mengenai keabsahan suatu peraturan perundangundangan dan akibat hukumnya, diharapkan dapat memberikan suatu manfaat
dalam melakukan pengujian terhadap peraturan daerah. Setelah melakukan
analisis terhadap keabsahan peraturan daerah dan akibat hukumnya, selanjutnya
menimbulkan suatu proses pengujiannya, maka diharapkan agar terdapat
kejelasan mengenai bagaimana suatu cara atau mekanisme yang tepat dalam
pembatalan suatu peraturan daerah, dan hal ini adalah tergantung pada hasil
analisis yang akan dilakukan, yang akan menemukan secara akademis derajat atau
kedudukan peraturan daerah dalam arti bagaimana peraturan daerah itu dapat
dibatalkan.
1.5. Originalitas Penelitian
Kajian terkait peraturan daerah ini sebelumnya telah dikemukakan oleh
Bagus Arya Wisnu Wardhana9
dengan judul tesis “Perda Tata Ruang Kota
Semarang dan implementasinya (studi analisis konsistensi dan harmonisasinya
dengan UU Lingkungan Hidup) , dengan kajian sebagai berikut:
Rumusan Masalah yang disajikan adalah:
a. Bagaimanakah analisis konsistensi dan harmonisasi perda tata ruang
kota Semarang dikaitkan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup?
9
Bagus Arya Wisnu Wardhana, 2008, Perda Tata Ruang Kota Semarang dan
Implementasinya (Studi Analisis Konsistensi dan Harmonisasinya dengan Undang-Undang
Lingkungan Hidup), Tesis, Program Magister Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro.
21
b. Bagaimana implementasi perda tata ruang kota Semarang bila
dikaitkan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup?
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi perda tentang tata
ruang kota Semarang dikaitkan dengan Undang-Undang Lingkungan
Hidup?
Kesimpulan penelitian yang dihasilkan adalah:
a. Pengaturan permukiman, penataan ruang tersebut tercantum dalam
peraturan daerah RTRW sehingga sudah terdapat konsistensi dan
harmonisasi antara peraturan daerah RTRW dengan UULH;
b. Implementasi kebijakan penataan ruang bila dikaitkan dengan UndangUndang Lingkungan Hidup telah mengalami pergeseran yang sangat
signifikan, karena sebagian kebijakan pengembangan ruang kota
Semarang tidak sesuai dengan fungsi peruntukan lahan;
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Peraturan Daerah
Tata Ruang Kota Semarang bila dikaitkan dengan Undang-Undang
Lingkungan Hidup tidak dapat terlepas dari pertimbanganpertimbangan sosiologis antara lain faktor perkembangan penduduk,
faktor ekonomi yang menjadi faktor utama, factor estetika, serta faktor
filosofis. Belum lagi ditambah dengan faktor-faktor lainnya seperti
pelanggaran yang dilakukan pihak-pihak swasta, kebijakan pimpinan
yang menyalahi peraturan perundang-undangan, dan belum adanya
tindakan yang konkrit dari pemerintah.
Di dalam kajian tersebut di atas menelaah perda tata ruang kota dengan
melihat pelaksanaannya yang kemudian dihubungkan dengan melihat harmonisasi
perda RTRW dengan UULH, berbeda dengan kajian tersebut dalam kajian yang
saya telaah pada tesis ini adalah terkait peraturan daerah APBD, yang kemudian
menjadi rumusan masalahnya adalah “bagaimana keabsahan pembatalan peraturan
daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri” selanjutnya rumusan masalah
keduanya adalah “bagaimana akibat hukum terhadap peraturan daerah APBD
yang dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri”. Kemudian dalam
kesimpulan tesis saya, bahwa pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan
Menteri Dalam Negeri adalah tidak sah sedangkan akibat hukumnya adalah dapat
dibatalkan atau batal demi hukum, berdasarkan pada asas-asas serta aturan-aturan
yang melandaskan kajian yang saya telaah.
Oleh karena itu jelas terlihat
22
perbedaan substansi dari isi tesis antara saya dengan Bagus Arya Wisnu
Wardhana.
Terdapat juga kajian terkait dengan peraturan daerah yang dilakukan oleh
Bima Fathurrahman10, dengan judul “Proses pembentukan peraturan daerah
berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 (studi di kota Bima)”, dan kajian sebagai
berikut:
Rumusan Masalah yang disajikan adalah:
a. Apakah pembentukan peraturan daerah di Kota Bima sudah
mencerminkan asas teknik pembentukan peraturan perundangundangan sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang No. 10
Tahun 2004?
b. Apakah asas materi muatan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun
2004 sudah tercermin dalam pembentukan peraturan daerah Kota
Bima?
Kesimpulan penelitian yang dihasilkan adalah:
a. Pembentukan peraturan daerah di Kota Bima masih menunjukkan
adanya kekurangan dari segi kejelasan bahasa dan ketentuan pasal,
serta adanya kesalahan dalam penentuan orang pribadi dan atau badan
sebagai obyek peraturan tersebut.
b. Masih adanya kalimat atau kata-kata yang multi interpretasi, sehingga
mengaburkan makna dan sasaran dari peraturan daerah tersebut.
Di dalam isi tesis tersebut di atas menelaah terhadap pembentukan
peraturan daerah di kota Bima dengan melihat apakah perda tersebut telah
memenuhi asas-asas tekhnik maupun materi peraturan perundang-undangan,
sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan dalam tesis yang saya
10
Fathurrahman, 2009, Proses Pembentukan Perda berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004
(studi di kota Bima), Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana
Universitas Mataram.
23
telaah adalah dengan rumusan masalah “bagaimana keabsahan pembatalan
peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri” dan “bagaimana
akibat hukum terhadap Peaturan Daerah APBD yang dibatalkan melalui
Keputusan Menteri Dalam Negeri” dengan kesimpulannya bahwa Peraturan
Daerah APBD yang dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri adalah
tidak sah dan akibat hukum peraturan daerah tersebut adalah batal demi hukum
atau dapat dibatalkan. Hal tersebut tetap berpedoman pada asas-asas teknik dan
materi serta aturan-aturan yang melandasinya. Aturan yang dipergunakan untuk
melihat asas-asas dan teknik pembentukan peraturan perundang-undangan dengan
berdasar pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu jelas
terlihat substansi tesis antara saya dan Bima Fathurrahman adalah berbeda.
Selanjutnya, penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Agus Budi
Setiyono11, dengan judul “Pembentukan Peraturan Hukum Daerah Yang
Demokratis Oleh Pemerintah Daerah”. Kemudian
mengetengahkan kajian
sebagai berikut:
Rumusan Masalah yang disajikan adalah:
a. Bagaimanakah penerapan asas-asas perundang-undangan yang
demokratis dalam pembentukan peraturan hukum daerah oleh
pemerintah daerah?
b. Bagaimanakah implementasi asas demokratis pada pembentukan
peraturan daerah?
Kesimpulan penelitian yang dihasilkan adalah:
11
Agus Budi Setiyono, 2008, Pembentukan Peraturan Hukum Daerah yang Demokratis
Oleh Pemerintah Daerah, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro,
24
a. Eksistensi peraturan hukum daerah dalam pembentukannya oleh
pemerintah daerah telah sesuai dengan asas-asas perundang-undangan
yang baik, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
b. Asas demokrasi telah diterapkan dalam pembentukan peraturan hokum
daerah oleh Kepala Daerah yang terdapat pada: usulan rancangan
peraturan daerah berasal dari Pemerintah Daerah maupun DPRD; proses
pembuatan peraturan perundang-undangan secara terencana, terpadu dan
sistematis.
Kajian pada tesis yang ditulis Agus Budi Setiyono adalah bagaimana suatu
pembentukan peraturan hukum daerah dengan menerapkan asas-asas perundangundangan yang demokratis oleh pemerintah daerah serta implementasinya,
berbeda halnya dengan tesis kajian saya terkait mekanisme pembatalan peraturan
daerah anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), dengan rumusan masalah
“bagaimana keabsahan pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan Menteri
Dalam Negeri” dan “bagaimana akibat hukum terhadap peraturan daerah
anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang dibatalkan melalui Keputusan
Menteri Dalam Negeri dengan kesimpulan bahwa peraturan daerah yang
dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri adalah tidak sah dan akibat
hukum yang dihasilkan peraturan daerah tersebut dapat dibatalkan atau batal
demi hukum. Dengan berdasar pada asas-asas dan aturan yang melandasinya.
Dengan demikian maka secara jelas bahwa substansi dari tesis saya dan Agus
Budi Setiyono adalah berbeda.
25
1.6. Landasan Teoritis
1.6.1. Teori Negara Hukum
Secara konstitusional, penegasan mengenai eksistensi Negara Republik
Indonesia sebagai negara hukum telah
dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Penegasan ini
menandakan bahwa setiap aktivitas pemerintahan termasuk dibidang penyusunan
APBD, yang dituangkan dalam suatu perangkat peraturan perundang-undangan
serta mekanisme pembatalan peraturan daerah tentang APBD harus memiliki
dasar-dasar pengaturan hukum.
Jika dikaitkan dengan eksistensi pemerintahan daerah, dalam kaitan negara
hukum inilah diperlukan berbagai perangkat peraturan daerah dan peraturanperaturan lainnya yang dalam hal ini dapat ditetapkan oleh pemerintah daerah
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan12.
Kembali kepada konsep negara hukum, dalam hal ini terdapat dua unsur
utama yang membentuknya, yaitu negara dan hukum. Dengan demikan, untuk
melakukan kajian terhadap negara hukum sebagai suatu frase kata, maka langkah
tepat yang harus diambil adalah dengan melakukan telaah terhadap unsur-unsur
pembentuk frase kata negara hukum tersebut.
12
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 ayat (6)
menegaskan bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
26
Kajian terhadap konsep negara akan diawali dengan pendapat Bellefroid
dalam N.H.T. Siahaan13 bahwa:“Negara adalah suatu masyarakat hukum, yang
secara kekal menempati suatu daerah tertentu dan yang diperlengkapi dengan
kekuasaan tertinggi untuk mengurus kepentingan umum”. Selanjutnya pada
penegasan Kelsen, yang menganggap negara sebagai komunita hukum bukan
sebagai sesuatu yang terpisah dari tata hukumnya, sesuatu selain korporasi yang
berbeda dari tata pembentuknya (anggaran dasarnya) 14.”
Dengan demikian, dari penegasan Kelsen ini, eksistensi suatu negara
tidak akan terlepas dari eksistensi hukum atau tata hukumnya. Lebih lanjut lagi,
melalui penegasan ini akan dapat dipahami bahwa Kelsen menganggap negara
sebagai organisasi hukum yang bersifat teratur dan terstruktur, yang akan selalu
dilekati dengan suatu tata hukum, serta akan selalu mengedepankan hukum
sebagai tata bentuk maupun tata pemerintahannya.
Eksistensi negara juga didefinisikan oleh
penegasan terhadap
Nasroen, yang memberi
eksistensi negara, dengan menegaskan bahwa negara
merupakan suatu bentuk pergaulan hidup, yang mempunyai anggota tertentu,
yang disebut sebagai rakyat dari negara itu dan yang mempunyai daerah,
pemerintahan dan tujuan tertentu pula15.
13
Bellefroid dalam N.H.T. Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta,
hal. 92
14
Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Normatif Sebagai ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih Bahasa, Somardi, Bee Media Indonesia
Jakarta, hal. 226.
15
M. Nasroen, 1986, Asal Mula Negara, Cetakan Kedua, Aksara Baru Jakarta, hal. 97.
27
Ditinjau dari perspektif esensi suatu negara, aspek ketaatan merupakan
suatu unsure utama dari eksistensi suatu Negara.
Sebagaimana yang dikutip
dalam C.F. Strong16, yang menegaskan bahwa “ The Essence of a state, then as
distint from all others forms of association, is the obedience of its members to the
law”.
Dari pendapat tersebut, sekali lagi Strong menegaskan bahwa esensi dari
suatu negara, yang menjadikan faktor pembeda dari negara lainnya adalah bentukbentuk asosiasi lainnya, tergantung atau terletak pada ketaatan hukum anggotanya
atau masyarakat dari suatu negara tersebut.
Selanjutnya dari penegasan Nasroen dapat di pahami bahwa negara
sebagai suatu entitas yang teratur dan terstruktur. Berbeda dengan Kelsen, dalam
memberikan definisi tentang negara Nasroen tidak memberikan penekanan
terhadap eksistensi hukum. Namun demikian, adanya perspektif pemerintah dan
tujuan tertentu yang disampaikan terkait dengan definisi negara, kiranya tidak
berlebihan apabila disimpulkan bahwa Nasroen juga memperhatikan aspek hukum
sebagai unsur yang terkait erat dengan eksistensi negara, karena pada hakekatnya
suatu tata pemerintahan dan tujuan yang telah ditetapkan merupakan suatu
hukum, yang tentunya telah ditetapkan sebelumnya.
Kata kedua dari frase kata negara hukum adalah kata hukum, yang dengan
demikian kajian selanjutnya adalah merupakan upaya untuk menemukan rumusan
atau definisi dari kata hukum itu sendiri. Dalam penelitian ini, beberapa definisi
16
Strong, C.F, 1966, Modern Political Constitutions, The Engglish Languange Book
Society and Sidgwick and Jakcson Limited, London, p. 6
28
dari para ahli hukum akan dipergunakan sebagai landasan teori, sehingga secara
komprehensif akan dipergunakan sebagai titik tolak untuk merumuskan definisi
dari negara hukum itu sendiri.Sampai dengan saat ini, telah terdapat banyak sekali
ahli hukum yang menegaskan definisi tentang hukum.
Definisi yang
dikemukakan oleh para ahli hukum tersebut seringkali berbeda di antara ahli
hukum yang satu dengan ahli hukum yang lainnya.
Perbedaan tersebut di atas pada hakekatnya disebabkan karena pada
hakekatnya eksistensi hukum itu sendiri terkait dengan berbagai faktor yang
melingkupinya, serta adanya berbagai sudut pandang dari masing-masing ahli
hukum yang mencoba untuk merumuskan definisi tentang hukum itu sendiri. Di
sisi lain, adanya berbagai pendapat mengenai definisi hukum telah memberikan
bukti nyata bahwa pada hakekatnya definisi hukum mempunyai sifat yang terbuka
terhadap berbagai faktor pengaruh, di mana faktior pengaruh itu sendiri pada
hakekatnya mengikuti perkembangan kehidupan manusia. Keterbukaan definisi
hukum terhadap berbagai faktor dan sudut pandang ini selaras dengan penegasan
Ali17, yang menegaskan bahwa hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu
yang abstrak, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud konkrit. Olehnya
pertanyaan tentang apakah hukum, senantiasa merupakan pertanyaan yang
jawabannya tidak mungkin satu. Dengan kata lain perkataan, persepsi orang
tentang hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka
memandangnya. Penegasan Ali tersebut akan memberikan suatu pemahaman
17
Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum Cetakan Pertama,
Jakarta, selanjutnya disebut Achmad Ali I, hal. 21-22.
Chandra Pratama,
29
bahwa definisi hukum bersifat sangat terbuka terhadap berbagai faktor pengaruh,
dan seringkali berbeda tergantung dari sudut pandangnya.
Definisi mengenai hukum juga dikemukakan oleh Morris L. Cohen dan
Kent C. Olson18, yang menyebutkan bahwa “The law consist of those recorded
rules that society will enforce and the procedures that can implement them”.
Adanya sifat definisi hukum yang sangat terbuka terhadap berbagai faktor
pengaruh akan menyebabkan berbagai kesulitan dalam merumuskan definisi
hukum secara tunggal dan pasti. Dengan kata lain, bukanlah merupakan suatu hal
yang mudah untuk memberikan suatu definisi yang tepat terhadap suatu konsep
hukum, sebagaimana disampaikan oleh K.N. Llewellyn (1893-1962)19 yang
menyebutkan bahwa “The difficulty in framing any concept of “law” is that there
are so many things to be included, and the things to be included are so
unbelievably different from each other.
Perhaps it is possible to get them all
under one verbal roof. But I do not see what you have accomplished if you do.”
Namun demikian, dalam kajian ini upaya untuk menemukan rumusan atau
definisi hukum akan dikaitkan dengan topik kajian yaitu pembatalan peraturan
daerah APBD tingkat provinsi melalui keputusan Menteri Dalam Negeri. Dengan
demikian, faktor pengaruh dan sudut pandang yang dijadikan titik tolak kajian
tentunya adalah faktor-faktor yang terkait dengan entitas aturan atau peraturan,
serta entitas pemerintahan sebagai kata kunci yang akan dipergunakan dalam
18
Morris L. Cohen and Kent C.Olson, 2000, Legal Research, West Group, St. Paul,
Minn, p. 2.
19
K.N. Llewellyn. t.t, Law and the ”Behavior Analysis”, In: Golding, M.P. Columbia
University. editor. The Nature Of Law, New York: Random House, p. 227.
30
kajian selanjutnya.
Harus diakui, sebagian besar manusia akan selalu
mengkaitkan hukum dengan suatu peraturan.
Kewenangan negara dalam menetapkan hukum pada hakekatnya
merupakan suatu kewenangan yang menjadi prasyarat dalam menetapkan suatu
hukum, dan akan selalu dibutuhkan secara mutlak agar suatu hukum ditaati.
Namun demikian, kewenangan dalam menetapkan suatu hukum tidak lantas
menjadikan suatu hukum memiliki ketergantungan, karena pada hakekatnya
hukum akan selalu memiliki sifat kemandirian dalam artian tidak akan dapat
dipengaruhi oleh siapapun juga pada saat hukum tersebut telah ditetapkan dan
disepakati.
Kemandirian merupakan suatu atribut hukum yang bersifat hakiki atau
melekat sejak saat hukum ditetapkan, sesuai dengan penegasan Pospisil yang
menyebutnya sebagai attribute of authority20. Hukum akan selalu dipergunakan
oleh negara sebagai alat untuk mencapai tujuan negara yang telah diciptakan dan
disepakati sebelumnya. Hukum sekaligus juga dapat berperan sebagai suatu alat
rekayasa sosial kemasyarakatan (law as a tool of social engineering) yang
diselaraskan dengan tujuan dan cita-cita negara.
Negara hukum sebagaimana diungkapkan oleh ahli-ahli hukum Eropa
Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Fredrich Julius Stahl
memakai istilah Rechsstaat, sedangkan ahli Anglo Saxon seperti A.V. Dicey
20
Achmad Ali, 1999, Pengadilan Dan Masyarakat, Cetakan Pertama, Lembaga
Penerbitan Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, selanjutnya disebut Achmad Ali 2, hal. 157.
31
memakai istilah Rule of Law
21
. Selanjutnya oleh Stahl disebut empat unsur
Rechtsstaat dalam arti klasik, yaitu:
a. Hak-hak manusia
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di
negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut Trias Politika)
c. Pemerintah berdasarkan Peraturan-peraturan (wetmatigheid van
bestuur)
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Sedangkan unsur-unsur Rule of Law dalam arti klasik, seperti yang di
kemukakan oleh A.V. Dicey dalam Introduction to the law Constitution
mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya
kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti
bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.
b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the
law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa, maupun untuk pejabat.
c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh
undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.
Selanjutnya Ridwan yang mengambil inti sari dari pendapat Ten Berge
dalam W. Riawan Tjandra, menguraikan prinsip-prinsip yang harus terpenuhi
dalam negara hukum22, yaitu:
1. Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga negara (oleh Pemerintah)
harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan
peraturan umum yang merupakan peraturan umum. Undang-undang secara
umum harus memberikan jaminan (terhadap warga negara) dari tindakan
21
Miriam Budiardjo, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi Cetakan keempat,
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 113.
22
W. Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 12-13
32
2.
3.
4.
5.
(pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan
yang tidak benar. Pelaksanaan wewenang oleh organ pemerintahan harus
dikembalikan dasarnya pada undang-undang tertulis, yakni undangundang formal.
Perlindungan hak asasi;
Pemerintah terikat pada hukum;
Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum. Hukum
harus dapat ditegakkan, ketika hukum tersebut dilanggar. Pemerintah
harus menjamin bahwa di tengah masyarakat terdapat instrument yuridis
penegakan hukum. Pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar
hukum melalui sistem peradilan negara. Memaksakan hukum publik
secara prinsip merupakan tugas pemerintah.
Pengawasan oleh hakim yang merdeka. Superioritas hukum yang dapat
ditampilkan, jika aturan-aturan hukum hanya dilaksanakan organ
pemerintahan. Oleh karena itu dalam setiap negara hukum diperlukan
pengawasan oleh hakim yang merdeka.
Terkait dengan kajian ini, maka didalam unsur Rechsstaat, terlihat dalam
poin ketiga, yakni Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatighed van
bestuur), sedangkan di dalam unsur Rule of law, kaitannya terlihat dalam poin
pertama, yakni Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the Law). Dari dua
poin tersebut yang terbagi antara unsur Rectsstaat dengan Rule of Law, terlihat
secara jelas bahwa suatu negara hukum tentunya memiliki kepastian hukum atau
memiliki asas legalitas, karena asas ini merupakan konsekuensi logis daripada
negara hukum sehingga setiap perbuatan atau tindakan aparatur pemerintah
haruslah selalu didasarkan pada aturan-aturan hukum.
Begitupun halnya dengan suatu produk hukum
kepastian hukum yang jelas, juga
pembatalannya.
tentunya memiliki
mekanisme pembentukan maupun
Terkait dengan hal tersebut dalam kajian ini yang akan
diketengahkan adalah produk hukum peraturan daerah APBD ditingkat provinsi,
33
yang telah jelas diatur dalam suatu Peraturan Perundang-undangan yakni UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, namun di sisi lain juga di atur
dalam PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Dalam hal
mekanisme pembatalan peraturan daerah APBD, ternyata terdapat perbedaab di
antara kedua produk peraturan Perundang-Undangan tersebut, adanya perbedaan
pengaturan mekanisme pembatalan itu pada hakikatnya merupakan suatu
pertentangan norma yang dapat menimbulkan persoalan dalam perspektif Negara
Hukum.
1.6.2. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Kajian mengenai pembatalan peraturan daerah APBD ditingkat provinsi
melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri pada hakekatnya memiliki keterkaitan
yang sangat erat dengan konsep atau teori pembentukan peraturan perundangundangan. Dalam hal ini, Yuliandri23 menegaskan bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan
hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan
metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang
berwenang membuat peraturan perundang-undangan.
Di sisi lain, konsep pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan
cara dan metode yang pasti, baku, dan memiliki standar yang mengikat, pada
hakekatnya juga harus diikuti pula dengan mekanisme pembatalan atau
23
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik:
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.
2.
34
pencabutan yang memiliki cara dan
metode yang pasti, baku, dan memiliki
standar yang mengikat pula. Pemahaman mengenai cara, metode dan standar
yang baku dalam hal ini harus diartikan dengan suatu mekanisme yang dilandasi
dengan ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Konsep pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam perspektif
kajian pembatalan peraturan daerah APBD ditingkat provinsi melalui keputusan
Menteri Dalam Negeri juga merupakan suatu upaya pembangunan atau
pembinaan hukum di Negara Indonesia. Pembinaan hukum bahkan harus diawali
dengan adanya suatu kajian mengenai konsep pembentukan Peraturan Perundangundangan, hal ini ditegaskan oleh Satjipto Rahardjo24, yang menegaskan bahwa:
”Apabila kita ingin berbicara mengenai pembinaan hukum dalam arti yang
lengkap, masalah pembuatan hukum pun termasuk di dalamnya. Tentulah
tidak dapat diharapkan berbicara tentang pembinaan hukum secara
bersungguh-sungguh, apabila hanya mempersoalkan tentang bagaimana
meningkatkan efisisensi suatu peraturan yang ada serta meningkatkan
efisiensi kerja dari lembaga-lembaga hukum. Pada suatu ketika, usaha
untuk meningkatkan efisiensi hukum juga dimulai dari pembuatan
peraturannya sendiri. Dengan demikian, akan dijumpai wilayah-wilayah
tempat kaitan antara pembangunan, perubahan, dan pembinaan hukum
tersebut bertemu”.
Dapat dikatakan, bahwa pembentukan Peraturan Perundang-undangan
merupakan manifestasi konkret dari tekad untuk mewujudkan negara hukum.
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga merupakan suatu titik tolak
dari arah pembangunan hukum, dan merupakan upaya untuk mewujudkan suatu
negara hukum, di mana dalam hal ini Usfunan menegaskan bahwa asas legalitas
24
Satjipto Rahardjo, 2009, Membangun Dan Merombak Hukum Indonesia,
Publishing, Yogyakarta, hal. 16.
Genta
35
dalam konsep rechsstaat, mensyaratkan bahwa segala tindakan pemerintah harus
berdasarkan hukum25.
Suatu bentuk keberlakuan Peraturan Perundang-undangan dalam hal ini
adalah kaidah hukum, memiliki bentuk keberlakuan yuridik, sebagaimana
pendapat Arief Sidharta26, keberlakuan yuridik dimaksudkan bahwa suatu kaidah
hukum dibentuk sesuai aturan-aturan hukum prosedur yang berlaku oleh badan
yang berwenang dan bahwa ia juga lebih dri itu dalam aspek lain secara
substansial tidak bertetangan dengan kaidah hukum lainnya (kaidah yang lebih
tinggi).
Oleh karena itu, aspek pembentukan Peraturan Perundang-undangan
merupakan suatu aspek yang harus diperhatikan, serta dalam pelaksanaannya
harus memperhatikan asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang baik, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Republik
Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, yang selanjutnya telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdiri dari:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
Asas kejelasan tujuan;
Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
Asas dapat dilaksanakan;
Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan;
Asas kejelasan rumusan dan
25
Johanes Usfunan, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik
Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan Demokratis, (Orasi Ilmiah pada Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Udayana Tanggal 1 Mei 2004), selanjutnya disebut Johanes Usfunan I, hal. 2.
26
Arief Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum dan Filsafat Hukum, Refika aditama, Bandung, hal. 47.
36
g) Asas keterbukaan.
Selain asas dan metode dalam pembentukan peraturan perundangundangan menurut Kant dalam LG Saraswati dkk,
27
adalah prinsip kebebasan,
prinsip kesetaraan dan prinsip otonomi. Selanjutnya diuraikan bahwa prinsip
kebebasan adalah pemerintah disini adalah yang memikirkan kebahagiaan
rakyatnya, untuk prinsip kesetaraan, bahwa setiap anggota masyarakat berhak
untuk menolak hukum-hukum yang tidak disepakati dan prinsip otonomi sebagai
anggota masyarakat ataupun sebagai legislator, harus bebas dan setara dalam
menyepakati hukum.
Pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakekatnya telah
melalui suatu pertimbangan tertentu, dan merupakan suatu kegiatan pemerintah.
Menurut Usfunan28, beranjak dari macam-macam kegiatan pemerintahan kiranya
dapat dipahami bahwa, konsekuensinya yakni diperlukan adanya pengaturan.
Pendapat tersebut senada dengan pendapat Jimmly Asshidiqie29, yang
menyebutkan bahwa kegiatan legislasi dan pembentukan peraturan perundangundangan merupakan salah satu kegiatan-kegiatan kenegaraan dan pemerintahan
yang tercakup dalam bidang hukum tata negara dan tata usaha negara atau
administrasi negara.
27
Kant dalam LG Saraswati, dkk, 2006, Hak Asasi Manusia, filsafat –UI Press, Jakarta,
hal. 83-84
28
Johanes Yusfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Djambatan,
Jakarta, selanjutnya disebut Johanes Usfunan II, hal. 17.
29
Jimmly Asshidiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan
Kedua, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 45.
37
Suatu
kegiatan
pembentukan
peraturan
perundang-undangan
juga
merupakan suatu kegiatan awal yang bertujuan untuk membentuk atau membawa
suatu perubahan.
Hal ini disebabkan karena pada hakekatnya suatu undang-
undang akan mampu membawa suatu perubahan, sebagaimana ditegaskan oleh
Seidman dan kawan-kawan30, yang memberikan penegasan sebagai berikut:
“Dalam sebuah undang-undang yang diharapkan mampu membawa
perubahan, maka rincian rancangan akan memiliki arti penting tersendiri.
Undang-undang itu hanya akan efektif berguna bila mampu mendorong
timbulnya perilaku yang diharapkan. Apabila undang-undang tersebut
menyerahkan pilihan untuk berperilaku terhadap kebijaksanaan si pelaku
sendiri maka perilaku tersebut mustahil akan sesuai dengan apa yang
dimaksudkan oleh pembuat rancangan”.
Penegasan Seidman tersebut di atas sekaligus juga memberikan pemahaman,
bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan senantiasa akan
disertai dengan suatu maksud untuk mengarahkan atau membawa perubahan
dalam kehidupan masyarakat untuk membentuk suatu tatanan kehidupan yang
sesuai dengan cita-cita bangsa dan negara.
Berbagai pendapat para ahli hukum tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan di atas merupakan suatu penegasan akan arti pentingnya
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itulah, asas-asas
sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana
yang telah diganti dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
30
Ann Seidman dkk, 2000, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Untuk Perubahan
Sosial Yang Demokratis: Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang, hal. 7.
38
Perundang-undangan harus benar-benar ditaati dan dijadikan pedoman. Secara
konkret, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik ini
seringkali diletakkan pada berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia.
Terkait dengan hal ini, Indrati S31 menyebutkan bahwa dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini (sejak era
reformasi) terdapat kecenderungan untuk meletakkan asas-asas hukum atau asasasas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut di dalam salah satu
pasal-pasal awal, atau dalam Bab Ketentuan Umum.
1.6.3.
Perjenjangan Norma Peraturan Perundang-undangan
Dalam hal perjenjangan norma, kajian ini mempergunakan Teori
Stufenbau dari Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan
sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang di mana norma hukum yang lebih
tinggi dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegang pada
norma hukum yang paling mendasar.
Hans Nawiasky dalam Maria Farida Indrati32 menyebutkan bahwa normanorma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang.
Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.
Teori stufenbau dari Hans Kelsen, yang mengajarkan tentang berlakunya
hukum jika sesuai dengan kaidah yang lebih tinggi, yang juga sesuai dengan asas
31
Maria Farida Indriati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan, (Bukiu 1: Jenis, Fungsi dan
Materi Muatan), Penerbit Yogyakarta, hal. 264.
32
Ibid, hal. 44.
39
lex superiori derogate legi inferiori, dengan demikian suatu norma hukum pada
hakekatnya tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang secara hierarkis
berada di atasnya.
Terkait dengan bahasan yang dikaji, yakni pembatalan peraturan daerah
melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, telah ditegaskan sebelumnya bahwa
dalam hal ini telah terjadi suatu terjadi konflik norma, karena didalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, telah jelas diatur mengenai pembatalan peraturan
derah, namun dalam aplikasinya terlihat adanya konflik dari norma tersebut,
dimana pembatalan peraturan daerah tersebut melalui Keputusan Menteri Dalam
Negeri.
1.6.4. Konsep Otonomi Daerah
Konsepsi pemerintahan daerah bukanlah dalam artian sebuah lembaga,
melainkan menunjuk pada tempat proses penyelenggaraan urusan atau tugas
negara, yakni di daerah sebagai perpanjangan penyelenggaraan pemerintahan oleh
Pemerintah Pusat33
Dalam hal pemerintahan daerah yang menjadi fokus perhatian adalah asas
otonomi dan pelaksanaan desentralisasi dalam hubungan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, sebagaimana yang ditulis oleh Yamin, 34bahwa:
“Susunan tata negara yang demokratis membutuhkan pemecahan kekuasaan
pemerintahan pada bagian pusat sendiri dan pula membutuhkan pembagian
33
34
I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Pustaka Sutra, Denpasar, hal. 37
Yamin dalam Mahfud, 2009, Politik Hukum, PT. Rja Grafindo Persada, hal. 92
40
kekuasaan itu antara pusat dan daerah. Asas demokrasi dan desentralisasi tenaga
pemerintahan ini berlawanan dengan asas hendak mengumpulkan segala-galanya
pada pusat pemerintahan.”
Terkait konsep otonomi dalam konteks organisasi pemerintahan daerah
melahirkan berbagai macam pengertian, walaupun dalam substansinya mengarah
pada pengertian yang sama. Pengertian-pengertian yang berkembang sesuai
dengan tuntutan kebutuhan yang dapat disebutkan antara lain oleh pakar dalam
ilmu pemerintahan dirumuskan sebagai pengaturan sendiri yang ditujukan untuk
keperluan wilayah atau bagian negara atau kelompok yang memerintah sendiri.35
Sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia pada hakekatnya
memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih
menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan
dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Surianingrat36 menegaskan bahwa dalam tata pemerintahan di daerah
otonomi diartikan sebagai mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri.
Rumusan yang sama pula diberikan oleh Pot dalam Marzuki37, agak berbeda
dalam rumusan yang dikemukakan oleh Koesoemahatmadja38 yang menyebutkan
bahwa otonomi daerah mengandung arti “membuat perundang-undangan sendiri”
35
Bayu surianingrat, 1987, Mengenai Ilmu Pemerintahan, Aksara Baru, Jakarta. 1987,
hal. 6.
36
Ibid, hal.7.
Laica Marzuki, 1987, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Makasar
tanpa tahun, hal. 2.
38
Koesoemahatmadja, 1979, Pengantar Kearah Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia,
Binacipta, Bandung, , hal. 14.
37
41
(selfwetgeving) yang dalam perkembangannya juga mencukupi “zelfbestur”
(pemerintah sendiri).
Pengertian terakhir inilah yang memberi kesan bahwa konsep otonomi
dapat saja dipergunakan dalam berbagai konteks, namun yang memberikan arahan
atas kebutuhan pemakaiannya adalah konteks dimana konteks itu diletakkan. Jika
hal itu diletakkan dalam konteks daerah, maka yang dimaksudkan dengan
“selfwetgeving”, adalah membuat peraturan-peraturan daerah39 dan apa yang
dimaksudkan dengan pemerintahan sendiri dapat diartikan sebagai rumah tangga
sendiri.
Pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas, memberikan petunjuk
atas substansi otonomi daerah sebagai peraturan atas rumah tangga sendiri, rumah
tangga itu diletakkan adalah jelas pada daerah atau bagian wilayah suatu
organisasi negara.
Sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang
Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, konsep
otonomi daerah dalam konteks pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
39
Laica Marzuki, op cit., hal. 5.
42
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka (3), yang dimaksud dengan
Pemerintah Daerah adalah gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selanjutnya, dalam Pasal
40 juga disebutkan bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah
dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Lebih jauh lagi, ketentuan mengenai penyelenggaraan penerintahan daerah
juga diatur dalam Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi daerah
dan tugas pembantuan.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Sedangkan tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah
dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta
dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Dengan demikian, daerah otonom akan diartikan sebagai kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
43
Tugas dan wewenang serta kewajiban kepala daerah dan wakil daerah
diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Pasal 25, yaitu terdiri dari:
1) Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan
yang ditetapkan bersama DPRD;
2) Mengajukan rancangan peraturan daerah;
3) Menetapkan peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan DPRD;
4) Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan daerah tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah kepada DPRD untuk dibahas dan
ditetapkan bersama;
5) Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
6) Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan
7) Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Di antara tugas dan wewenang serta kewajiban kepala daerah dan wakil
kepala daerah tersebut di atas, terdapat beberapa tugas yang terkait erat dengan
kajian mengenai pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam
Negeri, serta konsep perancangan peraturan perundang-undangan, yaitu:
1) mengajukan rancangan peraturan daerah;
2) menetapkan peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
3) menyusun dan mengajukan rancangan peraturan daerah tentang APBD kepada
DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama. Berbagai tugas terkait dengan
perancangan dan penetapan peraturan daerah inilah yang kemudian menjadi
suatu fakor relevan yang mendukung dan mempertajam kajian yang akan
dilakukan.
44
Eksistensi pemerintahan daerah dan peraturan daerah juga mencerminkan
suatu tatanan hukum nasional, yang menurut pendapat Sidharta sebagaimana
dikutip oleh Syaukani dan A. Ahsin Thohari40 harus mengandung ciri-ciri sebagai
berikut:
1) Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara;
2) Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan
keyakinan keagamaan;
3) Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;
4) Bersifat nasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas
kewajaran (redelijkheid), rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai;
5) Aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan
kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;
6) Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.
Terkait dengan eksistensi peraturan daerah, pada hakekatnya eksistensi
peraturan daerah merupakan salah satu ciri tatanan hukum nasional, yang berjalan
seiring dengan berbagai produk peraturan perundang-undangan yang dikenal
dalam struktur atau hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan
tatanan hukum yang baik, maka diharapkan akan terbentuk suatu hukum nasional
sebagaimana dihasilkan dalam seminar tentang hukum nasional di Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia, yang merekomendasikan bahwa hukum
nasional yang sedang dibangun haruslah41:
1) Berlandaskan Pancasila (filosofis) dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (konstitusional);
40
Syaukani, Imam & A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum,
Rajagrafindo Persada Jakarta, hal. 70-71.
41
PT.
Rekomendasi ini sebagaimana dikutip dari Syaukani, Imam & A. Ahsin Thohari, 2004,
Dasar-Dasar Politik Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 71.
45
2) Berfungsi mengayomi, menciptakan ketertuban sosial, mendukung
pelaksanaan pembangunan, dan mengamankan hasil-hasil pembangunan.
1.6.5. Teori Kewenangan
Wewenang pemerintahan menurut sifatnya selalu terikat kepada suatu
masa waktu tertentu, tidak berlaku untuk selama-lamanya. Selain itu baik
pemberian wewenang, maupun sifat serta luasnya wewenang pemerintahan serta
pelaksanaannya dari suatu wewenang selalu tunduk pada batas-batas yang
diadakan oleh hukum. Mengenai pemberian wewenang maupun pencabutannya,
terdapat batasan-batasan hukum yang tertulis maupun tidak tertulis. Demikian
juga mengenai pelaksanaan suatu wewenang pemerintahan, ia selalu tunduk pada
batasan-batasan hukum tertulis maupun yang tidak tertulis, dalam hal ini asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
Terkait dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, secara tegas
Indroharto42 menyebutkan sebagai berikut:
“asas-asas umum pemerintahan yang baik, mencanangkan, bahwa tanpa
adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundangundangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah itu tidak
akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah
keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya. Ini berarti, bahwa setiap
wewenang pemerintahan untuk melakukan kebijaksanaan dan tindakan
hukum Tata Usaha Negara, baik mengenai bentuk dari tindakan-tindakan
hukum serta isi hubungan hukum yang diciptakan olehnya harus ada dasar
atau sumbernya pada (diberikan oleh) suatu ketentuan peraturan perundangundangan (hukum tertulis)”.
42
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Buku 1 Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, hal. 83.
46
Sebagaimana pula yang diatur di dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada Pasal 1
ayat (2), telah ditegaskan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, adalah
Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang kemudian dijelaskan lebih
lanjut oleh Indroharto43, bahwa, yang dimaksudkan dengan ketentuan tersebut
adalah:
1. dalam kata “berdasarkan” pada rumusan itu yang dimaksudkan adalah,
bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh para
Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara itu harus ada dasarnya dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut sajalah yang
memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang
mereka laksanakan;
2. Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan, bahwa wewenang Badan
atau Jabatan Tata Usaha Negara untuk melaksanakan suatu bidang urusan
pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh
suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Kedua makna tersebut pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan
dari berlakunya ide (cita) negara hukum dalam negara kita.
Dalam suatu pelaksanaan pemerintahan esensi keteraturan dalam
administrasi akan tampak pada hubungan pemerintahan yang berlangsung secara
fungsional yang diciptakan oleh para subjek administrasi sebagai pemerintah
dengan para subjek yang diatur sebagai pihak yang diperintah44
43
Ibid, hal. 81.
Faried Ali, 2004, Filsafat Administrasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.3
44
47
Berdasarkan asas legalitas, yang pada hakekatnya merupakan pilar utama
dalam negara hukum, tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari
peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang pemerintah adalah
peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan, tentu saja melahirkan
adanya suatu keputusan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, permasalahan
akan timbul dalam suatu keputusan yang dilahirkan, adalah mengenai tidak
sahnya suatu keputusan yang dibuat.
Kewenangan yang berdasar pada peraturan perundang-undangan dapat
juga disebut dengan kewenangan konstitusionalisme yang secara sederhana
didefinisikan sebagai, sejumlah ketentuan hukum yang tersusun secara sistematis
untuk menata dan mengatur struktur dan fungsi-fungsi lembaga-lembaga negara
termasuk dalam ihwal kewenangan45.
Di dalam hukum administrasi, syarat keputusan agar sah, apabila
keputusan tersebut memenuhi syarat materiil dan formil.46 Adapun syarat Materiil
meliputi:
1). Aparat pembuat keputusan harus memiliki kewenangan. Sumber
kewenangan bisa karena atribusi, delegasi dan mandat.
Ketidakwenangan dalam membuat keputusan dikarenakan: ratione
materi; ratione loci dan ratione temporis;
2). Dalam kehendak tidak boleh mengalami kondisi kekurangan yuridis
yang disebabkan karena dwang; dwaling; dan bedrog;
3). Isi dan tujuan dari pembuatan keputusan harus sama dengan isi dan
tujuan dari peraturan dasarnya.
45
Jazim Hamidi dan Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka
Publisher, hal. 11
46
http://edipranoto.blogspot.com/2010/11/12syarat-keputusan.html?zx=7
48
Sedangkan syarat formil terkait dengan formalitas atau prosedur yang
harus ditempuh untuk pembuatan keputusan tersebut yang meliputi:
1). keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan dasarnya;
2). Prosedur dan syarat sebelum keputusan dibuat,
3). Apa yang harus dilaksanakan ketika keputusan di buat. Kalau kedua
syarat terus dipenuhi, maka keputusan tersebut akan menjadi
keputusan yang sah, walau ada gugatan tidak akan menimbulkan
masalah.
Menurut Philipus M. Hadjon47, keabsahan tindakan pemerintah pada
hakekatnya ditentukan oleh 3 (tiga) unsur utama, yaitu wewenang, prosedur dan
substansi, dengan menggunakan parameter peraturan perundang-undangan dan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Perihal 3 (tiga) unsur utama, keabsahan tindakan pemerintah sebagaimana
yang dikemukakan di atas, maka dijabarkan lebih lanjut:
1. Wewenang,
Dalam hal ini pihak yang mengambil atau melakukan suatu tindakan
haruslah pihak yang memiliki kewenangan baik atributif maupun delegatif.
2. Prosedur,
Keabsahan tindakan pemerintah harus memenuhi prosedur sebagaimana
ditetapkan dalam tata cara atau prosedur tindakan pemerintah yang telah
ditetapkan sebelumnya.
3. Substansi,
Substansi tindakan pemerintah pada hakekatnya tidak boleh bertentangan
dengan segala bentuk peraturan perundangan, konsepsi Hak Asasi
Manusia, maupun norma-norma yang ada dan hidup di masyarakat.
Ketiga unsur utama keabsahan tindakan pemerintah dapat diukur dengan
tolok ukur berupa peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum
47
Philipus M. Hadjon, Beleidsvrijheid dan Tanggung Jawab Pejabat Pemerintah.
www.appsi-online.com, 03/02/2011.
49
pemerintahan yang baik. Dengan demikian setiap unsur dari tindakan pemerintah
di satu sisi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan di
sisi lain harus memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).
Apabila pada salah satu unsur keabsahan tindakan pemerintah terbukti
bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan, maka keabsahan suatu
tindakan pemerintah tidak akan terpenuhi, demikian juga apabila tindakan
pemerintah tidak memenuhi atau bertentangan dengan AAUPB, maka keabsahan
tindakan tersebut juga tidak akan terpenuhi.48
Terkait dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB),
menurut Philipus M. Hadjon dalam Ridwan HR49 bahwa:
“AAUPB haruslah dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis, yang
senantiasa harus ditaati o9leh pemerintah, yang meskipun arti yang tepat dari
AAUPB bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti.
Dapat dikatakan, bahwa AAUPB adalah asas-asas hukum tidak tertulis, dari mana
untuk keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan”.
Bahasan mengenai keabsahan itu sendiri setara jika berbicara mengenai
keberadaan hukum, sebagaimana pendapat Sudikno Mertokusumo50 bahwa
hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sahlah yang menciptakan
hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada
dasarnya bukanlah hukum, jadi hukum bersumber pada kekuasaan yang sah.
48
Ibid, 03/02/2011.
Ridwan HR 2011, Hukum Administrasi Negara (edisi revisi), PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hal. 237.
50
Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 25
49
50
Selanjutnya kembali perihal
kewenangan yang dimiliki, maka dapat
disebut bahwa pada hakekatnya diskresi merupakan suatu kewenangan yang
bersifat bebas, sehingga kewenangan ini memberikan suatu kebebasan untuk
melakukan suatu tindakan diskresi terkait erat dengan suatu tindakan yang dapat
dilakukan oleh pemerintah.
Dengan demikian, dalam melakukan diskresi pada hakekatnya terdapat
beberapa pilihan tindakan yang dapat diambil, dimana dalam menentukan pilihan
ini terdapat berbagai faktor penentu, yaitu:
1. adanya suatu keadaan tertentu;
2. suatu tindakan yang seharusnya di ambil;
3. suatu tindakan yang sepatutnya di ambil;
4. adanya pertimbangan “demi kepentingan umum”.
Diskresi pada hakekatnya harus dilakukan pada kondisi-kondisi tertentu,
misalnya dalam hal terjadi suatu bencana atau dalam hal terjadi suatu keadaan
darurat51. Menurut Indroharto52, pada umumnya disebut adanya dua cara pokok
dari mana para Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara itu memperoleh wewenang
pemerintahan, yaitu dengan jalan atribusi dan delegasi.
Pada Atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh
suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau
diciptakan suatu wewenang pemerintahan baru. Dapat diberi uraian bahwa
ketentuan hukum
51
yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan
Ibid, 03/02/2011
Indroharto, op.cit., hal. 91.
52
yang
51
disengketakan itu mungkin menyebut dengan jelas Badan atau Pejabat Tata Usaha
negara (TUN) yang diberi wewenang pemerintah, jadi dasar wewenang tersebut
dinamakan bersifat atributif53.
Sedangkan pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang
telah ada oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh
suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau jabatan Tata
Usaha Negara lainnya. Dengan demikian, suatu delegasi selalu di dahului oleh
adanya atribusi wewenang, adalah sangat penting untuk mengetahui apakah suatu
Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara itu pada waktu mengeluarkan suatu
keputusan yang berisi suatu pendelegasian wewenang berdasarkan suatu
wewenang pemerintah atributif yang sah atau tidak.
Pada atribusi wewenang, terjadi pemberian suatu wewenang oleh suatu
ketentuan perundang-undangan, sedangkan pada delegasi wewenang, terjadi
pelimpahan atau pemindahan suatu wewenang yang telah ada, sebagaimana yang
telah di paparkan sebelumnya. Sedangkan pada mandat menurut Indroharto54,
adalah sebaliknya pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang
baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara
yang satu kepada yang lain. Dalam hal mandat maka di situ tidak terjadi
perubahan apa-apa mengenai distribusi wewenang yang telah ada, yang ada hanya
suatu hubungan intern, umpamanya antara Menteri dengan Dirjen atau Irjennya,
di mana Menteri (mandans) menugaskan Dirjen atau Sekjennya (mandataris)
53
A. Siti Soetami, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika Aditama,
Bandung, hal. 4.
54
Ibid, hal. 92.
52
untuk atas nama Menteri melakukan suatu tindakan hukum dan mengambil serta
mengeluarkan keputusan-keputusan Tata Usaha Negara tertentu. Jadi pada
mandat, wewenang pemerintahan tersebut dilakukan oleh mandataris atas nama
dan tanggung jawab mandans.
1.7.Metode Penelitian
1.7.1. Jenis Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian normatif, di mana
hal ini disebabkan karena karakter ilmu hukum itu sendiri. Menurut Philipus M.
Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, ilmu hukum memiliki karakter yang khas. Ciri
khas ilmu hukum adalah sifatnya yang normatif55.
1.7.2. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian Hukum Normatif pada umumnya mengenal 5 (lima)
jenis pendekatan yakni56:
1.
2.
3.
4.
5.
Pendekatan undang-undang (statute approach)
Pendekatan kasus (case approach)
Pendekatan historis (historical approach)
Pendekatan komparatif (comparative approach)
Pendekatan konseptual (conceptual approach)
Pendekatan penelitian yang akan dipergunakan adalah pendekatan
penelitian yang dikenal dalam metode penelitian normatif, yaitu pendekatan
55
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2008, Argumentasi Hukum, Cetakan
ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 1.
56
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cetakan keenam, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, hal. 93.
53
Undang-Undangan, pendekatan historis, dan pendekatan konseptual. Pendekatanpendekatan tersebut
dipergunakan dalam penelitian ini, mengingat adanya
karakteristik ilmu hukum sebagai ilmu sui generis, yang berarti ilmu hukum
merupakan ilmu jenis tersendiri57.
1.7.3. Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder58. Bahan hukum primer terdiri atas asas dan kaidah hukum, di mana asas
dan
kaidah
hukum
tersebut
dapat
berupa
peraturan
dasar,
konvensi
ketatanegaraan, peraturan perundang-undangan, hukum yang tidak tertulis,
putusan pengadilan, serta keputusan tata usaha negara.
Bahan hukum sekunder
dalam hal ini terdiri atas buku-buku hukum atau yang relevan dengan topik kajian,
jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat
dalam media massa, kamus dan ensiklopedi hukum , serta sumber bahan hukum
yang berasal dari internet.
1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Terhadap bahan-bahan hukum yang diperlukan dan akan digunakan dalam
penelitian ini, akan lebih ditekankan pada berbagai norma dan kaidah yang terkait
dengan menggunakan metode dan teknik pengumpulan sistem kartu (card
system), yang selanjutnya akan di analisis dengan dukungan berbagai asas, konsep
dan teori yang relevan dengan topik kajian yang diketengahkan.
57
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, op.cit.,, hal. 2.
Anonim, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Tesis Program Studi
Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 11.
58
54
1.7.5. Analisis Bahan Hukum
Hasil analisis data akan disajikan tidak saja secara informal dalam bentuk
naratif, namun juga akan disajikan formal dalam bentuk bagan, grafik dan lainlain, sehingga mampu menampilkan suatu pertimbangan-alas hukum (legal
reasoning)
yang
diperlukan,
sesuai
pendapat
Abraham
Amos59,
yang
menyebutkan bahwa secara prinsipil, untuk menuangkan pertimbangan – alas
hukum (legal reasoning) diperlukan sistematika konstruksi berpikir sesuai dengan
fungsi peraturan dan standarisasi cara kerja hukum yang berlaku atau yang sering
dipraktekkan oleh badan-badan institusi peradilan sesuai predikat dan hierarki
hukum.
59
Abraham Amos, 2008. Legal Opinion, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hal. 22-23.
55
BAB II
TINJAUAN UMUM PERATURAN DAERAH
2.1. Tinjauan Historis Pengaturan Peraturan Daerah
Terkait historisasi pengaturan peraturan daerah, telaah pada sejarah
dimana mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya, mengenai
apa yang berlaku, untuk, maksud dan tujuan yang akhirnya menentukan dalil-dalil
atau hukum-hukum perkembangan kemasyarakatan60
Aspek historis dari tinjauan umum terhadap eksistensi peraturan daerah di
Indonesia akan dimulai dengan kajian mengenai pemerintahan daerah, karena
pembentukan peraturan daerah tidak terlepas dari kewenangan pemerintah daerah,
serta berbagai persoalan mengenai pemerintahan daerah dan yang berkaitan
dengan desentralisasi. Pengaturan mengenai pemerintahan daerah, telah dilakukan
sejak tahun 1903 sampai dengan sekarang, dengan berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan. Secara historis, pengaturan dimaksud dapat diketahui dari
berbagai produk peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah
seperti dibawah ini 61, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
60
Decentralisatie wet Tahun 1903;
BestuurS.H.ervorming Tahun 1922;
Undang-Undang No. 1 Tahun 1945;
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan di Daerah;
Undang-Undang No. 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerahdaerah Indonesia Timur;
John Gilissen dan Frits Gorle, 2007, Sejarah Hukum, PT Refika Aditama, hal. 11
Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca
Reformasi, Jakarta PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, hal. 395-396
61
56
f. Undang-Undang No. 1
Tahun 1957 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah;
g. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah;
h. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960;
i. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah;
j. Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
di Daerah;
k. Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa;
l. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
beserta berbagai peraturan pelaksanaannya yang ditetapkan pada tahun
1999 dan tahun 2000;
m. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah beserta peraturan-peraturan
pelaksanaannya;
n. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya sampai sekarang.
Pilihan kebijakan yang terkandung dalam berbagai peraturan tersebut
adalah
kebijakan
desentralisasi
pemerintahan
daerah.
Penyelenggaraan
desentralisasi dalam sejarah Indonesia telah berlangsung jauh sebelum
Decentralisatie Wet ditetapkan pada tanggal 23 Juli 190362. Awalnya
desentralisasi diatur dalam Regering Reglement yang disingkat RR63 yang
ditetapkan pada tahun 1854. RR ini kemudian diganti dengan Wet op de
Staatsinrichting van Nederlands-Indie yang biasa disebut Indische Staatsregeling
(IS) Tahun 1925.
Setelah kemerdekaan, desentralisasi sebagai prinsip penyelenggaraan
negara tercantum dalam berbagai ketentuan dasar, yaitu pada Pasal 18 UndangUndang Dasar 1945, Pasal 42 sampai dengan Pasal 67 Undang-Undang Dasar
62
Menurut G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, dalam
Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca reformasi,PT
Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, hal.396.
63
Ibid, hal.397
57
Republik Indonseia Serikat Tahun 1949, dan Pasal 131 serta Pasal 132 UndangUndang Dasar Sementara Tahun 1950. Penjabarannya dituangkan dalam berbagai
ketentuan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah beserta peraturanperaturan pelaksanaannya sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar. Dalam
penjabarannya itu diatur tentang pembagian wilayah nasional menjadi wilayahwilayah provinsi, kabupaten/kota atau wilayah yang lebih rendah.
Wilayah-wilayah negara yang dibagi itu diberi otonomi untuk mengatur
dan melaksanakan sendiri rumah tangga pemerintahan masing-masing. Karena itu,
setiap wilayah memiliki pemerintahan sendiri yang secara hierarkis disebut daerah
provinsi yang disebut sebagai Daerah Tingkat 1 dan daerah kabupaten/kota yang
disebut Daerah Tingkat II. Susunan hierarkis tersbut pada umumnya dimaksudkan
oleh pemerintah pusat sebagai bentuk kewenangan yang lebih tinggi dan/atau
lebih luas wilayah yang lebih tinggi atas wilayah yang lebih rendah, sekaligus
sebagai bentuk kontrol kepala daerah yang lebih tinggi terhadap kepala daerah
yang lebih rendah.
Setelah kemerdekaan, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas,
kebijakan desentralisasi pemerintahan daerah pertama kali diatur dengan UndangUndang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai
Kedudukan Komite Nasional Daerah, dengan kata lain undang-undang pertama
yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia merdeka adalah mengenai kebijakan
desentralisasi pemerintahan daerah, akan tetapi materi yang diatur dalam undangundang terlalu sederhana sehingga dalam pelaksanaannya timbul banyak
kesulitan, karena itu pada tahun 1948 diterbitkan Undang-Undang Republik
58
Indonesia No. 22 Tahun 1948 tentang Peraturan Tentang Penetapan AturanAturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Dari Daerah-Daerah Yang Berhak
Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Pasal 1 ayat (1) UndangUndang Republik Indonesia No. 22 tahun 1948 tersebut menegaskan bahwa
daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu: provinsi,
kabupaten (kota besar) dan desa (kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Setiap wilayah tersebut
otonom atau dalam istilah Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun
1948 disebut swatantra (menyelenggarakan pemerintah sendiri) dan masingmasing disebut Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III (Dati
III) sama dengan desa (kota kecil) nagari, marga dan lain-lain dalam UndangUndang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1948.
Selanjutnya setelah Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun
1948 tentang Pemerintahan di Daerah dicabut dan selanjutnya diganti dengan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah. Undang-Undang tersebut merupakan hasil kerja DPR hasil
Pemilu Tahun 1955. Namun menurut Soetardjo64 Undang-Undang ini, di satu
pihak menganjurkan Negara Kesatuan, tetapi dipihak lain juga menganjurkan
Negara Federasi.
Setelah berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 dengan Dekrit
Presiden Tanggal 5 Juli 1959, sistem demokrasi berubah dengan jargon demokrasi
64
Soetardjo Kartohadikoesoemo, dalam Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum
Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, hal. 403
59
terpimpin. Dampak langsungnya terhadap otonomi daerah adalah diberlakukannya
Penpres (penetapan presiden) No. 6 Tahun 1959 dan Penpres (Penetapan
Presiden) No. 5 Tahun 1960. Penetapan Presiden (Penpres) ini sebenarnya
bermaksud memulihkan dan bahkan memperkokoh kewibawaan Kepala Daerah
(KDH) sebagai alat pemerintah pusat dengan diberi kedudukan dan fungsi
rangkap sebagai alat dekonsentrasi (gubernur, bupati, atau walikota) dan sekaligus
desentralisasi (KDH).
Tinjauan historis peraturan daerah, apabila dilihat dari pengaturan
peraturan Perundang-Undangan maka selanjutnya adanya Undang-Undang
Republik Indonesia No. 18 tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah
menggantikan posisi Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1957
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah serta melanjutkan ide Penpres No. 6
Tahun 1959. Bahkan ketentuan didalam Penpres No. 6 Tahun 1959 dan Penpres
No. 5 Tahun 1960, seluruhnya diadopsi ke dalam Undang-Undang Repubik
Indonesia No. 18 Tahun 1965 ini, yang mengacu kepada konsep demokrasi
terpimpin dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang
ini membagi wilayah negara dalam tingkatan daerah-daerah otonom (Pasal 2 ayat
(1) yang terdiri atas provinsi atau kotapraja sebagai dati I, kabupaten atau
kotamadya sebagai Dati II dan kecamatan atau kotapraja sebagai Dati III.
Selanjutnya adanya Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menggantikan posisi UndangUndang Republik Indonesia No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah. Prinsip penting yang dianut dalam Undang-Undang No.
60
5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah adalah otonomi
daerah. Dalam Undang-Undang ini dengan jelas ditentukan bahwa: “tujuan
pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan
pembangunan dan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan
pembinaan dan kestabilan politik dan kesatuan bangsa”.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah ini prinsipnya sama dengan Penetapan Presiden (Penpres) No. 6 Tahun
1959 yaitu kestabilan pemerintahan ditingkat lokal dengan cara menempatkan
Kepala Daerah (KDH) sebagai penguasa tunggal di daerah.
Selanjutnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
menggantikan posisi UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
di Daerah. UU No. 22 Tahun 1999 dibentuk sebagai jawaban terhadap krisis
pada tahun 1998 yang menyebabkan integritas wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Undang-Undang ini melakukan perubahan mendasar dalam pola
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Desentralisasi dikonstruksikan dengan
otonomi seluas-luasnya. Hubungan provinsi dan kabupaten ditentukan tidak lagi
bersifat hierarkis, seperti dalam Undang-Undang sebelumnya. Menurut UU No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bahwa gubernur/kepala daerah
provinsi tidak mengontrol bupati/walikota yang dicirikan oleh tidak ada lagi peran
gubernur dalam proses pemilihan bupati/walikota.
61
Selanjutnya adalah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang menggantikan posisi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Banyak perubahan yang sangat penting yang terdapat di dalam UU No. 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, jika dibandingkan dengan UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan aerah, diantaranya adalah soal hubungan antara pusat,
daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Pengaturan mengenai pembagian wilayah materi UU. No 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah pada dasarnya adalah sama dengan UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Akan tetapi, hubungan antara
pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota pengaturannya tidak lagi sama
dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Menurut UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, gubernur
dan bupati/walikota tidak memiliki hubungan hierarkis satu dengan yang lain,
sedangkan menurut versi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebaliknya. Meskipun UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak
seperti UU No 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah,
tetapi sifat hierarkis dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah
provinsi dan daerah kabupaten/kota dihidupkan kembali sebagaimana mestinya.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terdapat pula
perubahan penting yang sangat mendasar, yaitu ketentuan Pasal 24 ayat (5) yang
mengatur bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung
oleh rakyat daerah yang bersangkutan. Selanjutnya dalam Pasal 109 UU No. 32
62
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
gubernur dinyatakan berwenang
mengajukan pengusulan pasangan calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan
wakil walikota diusulkan oleh DPRD kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam
waktu tiga hari, kepada Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan
pengangkatan.
Selain pemilihan dan pelantikan juga soal pemberhentian kepala daerah,
terjadi juga perbedaan antara UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD dapat mengusulkan
pemberhentian kepala daerah, sedangkan menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah pemberhentian kepala daerah dilakukan melalui prosedur
impeachment ke Mahkamah Agung. Mekanisme yang ditempuh adalah melalui
proses peradilan di Mahkamah Konstitusi sebelum diajukan pemberhentiannya
dalam forum Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dari latar belakang adanya pengaturan mengenai Pemerintahan daerah,
yang
termasuk
didalamnya
mengenai
pemilihan,
pengangkatan
serta
permberhentian seorang kepala daerah, dalam hal ini adalah merupakan unsur
penyelenggara pemerintah daerah, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3)
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki tugas dalam
menetapkan peraturan daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 136 ayat (1)
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga mengenai rancangan
peraturan daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
atau gubernur atau bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah provinsi,
63
kabupaten atau kota sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26 UU No. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang selanjutnya
telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara tidak langsung
juga mengatur peraturan daerah yang menjadi suatu dasar pijakan dalam
mengambil kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh pejabat daerah,
sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai
manifestasi dari upaya tinjauan historis mengenai peraturan daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah pada seluruh daerah otonom,
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dengan berpegang pada pilar hukum sebagai mana yang tercantum
dalam Pasal 1 ayat (3), bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Oleh
sebab
itu
dalam
penyelenggaraan
otonomi
daerah,
pemerintah
daerah
melandaskan seluruh kebijakan dan tindakannya pada suatu dasar hukum sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Untuk
mendukung
penyelenggaraan
otonomi
daerah
diperlukan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara
proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pemanfaatan, sumber daya
nasional yang berkeadilan, serta pembagian keuangan pemerintah pusat dan
daerah. Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan
64
keuangan pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi
dan tugas pembantuan (medebewind)
Pengelolaan keuangan daerah merupakan bagian integral dan totalitas
manajemen penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena itu pemerintah
daerah perlu membuat pengaturan hukum pengelolaan kekuangan daerah, yang
dituangkan di dalam Peraturan Daerah.
Selanjutnya pula yang diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, diantaranya menentukan tugas dan kewenangan kepala
daerah, lebih jelas bahwa kepala daerah disini adalah sesuai dengan Pasal 18 (4)
UU No. 32 Tahun 2004, “Gubernur, bupati dan walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”,
dapat diartikan bahwa gubernur sebagai kepala pemerintah daerah provinsi
sedangkan bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
kabupaten dan kota.
Oleh karena itu kata pemerintah dapat disebut hanya menunjuk pada
institusi pelaksana atau eksekutif saja yaitu dalam rangka melaksanakan peraturan
perundang-undangan pusat dan daerah yang berisi kebijakan kenegaraan di daerah
dan kebijakan pemerintahan daerah itu sendiri. Fungsi pelaksana atau eksekutif itu
sebenarnya secara historis memang terkait dengan fungsi untuk melaksanakan
peraturan yang berisi aturan normatif, baik dalam bentuk general rules ataupun
yang berbentuk policy-rules (beleid-regels).
65
General-rules itu sendiri dapat berupa peraturan yang ditetapkan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan tingkat pusat, dan dapat pula ditetapkan
dalam bentuk peraturan daerah ataupun peraturan lainnya sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945, yang menentukan
bahwa,”Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Dalam
rangka melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan itu sebagaimana
yang isi dari Pasal 18 ayat (2) UU NRI Tahun 1945, pemerintah daerah
dinyatakan berhak menetapkan: (i) peraturan daerah; dan (ii) peraturan-peraturan
lain.
Yang dimaksud dengan peraturan daerah tentulah peraturan daerah
provinsi, yaitu peraturan yang ditetapkan yang dibentuk oleh DPRD bersamasama dengan dengan gubernur selaku kepala pemerintah daerah provinsi,
sedangkan yang dimaksud dengan peraturan lainnya adalah peraturan yang
tingkatannya lebih rendah dan merupakan pelaksanaan dari peraturan daerah
provinsi tersebut, yaitu peraturan gubernur dalam rangka melaksanakan peraturan
daerah provinsi itu atau peraturan daerah kabupaten dan/atau daerah kota.
2.2. Unsur Pembentuk Peraturan Daerah
Secara
konstitusional,
eksistensi
Peraturan
daerah,
sebelum
diberlakukannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. diatur secara tegas dalam Pasal 7 ayat (1) yang selanjutnya
66
telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, yang menempatkan peraturan daerah pada urutan kelima
dalam jenis dan hierarkis Peraturan Perundang-Undangan.
Kemudian dalam
ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yang kemudian telah diganti dalam UU No. 12 Tahun 2011
tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan.
“Peraturan
daerah
sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah provinsi bersama dengan Gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah kabupaten/kota bersama Bupati/Walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan
desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama
lainnya.
Selanjutnya pengertian Peraturan Daerah sebagaimana yang tertuang di
dalam Pasal 1 ayat (10) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah,
bahwa: Peraturan Daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah
provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota. Dari pengertian Peraturan
Daerah tersebut, maka dapat dipahami bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam
suatu peraturan daerah adalah:
1. adanya suatu peraturan;
2. ditingkat provinsi;
3. ditingkat kabupaten/kota.
67
Pemahaman adanya suatu peraturan berarti dapat dilihat dari kata dasarnya
yaitu aturan, sesuatu ketentuan berdasarkan suatu kewenangan yang dimiliki, dan
kewenangan tersebut telah memiliki dasar atau legitimasi, sehingga aturan yang
dibuat adalah suatu aturan yang sah dan mengikat bagi seluruhnya dalam arti baik
orang, kondisi ataupun tempat dimana aturan tersebut diberlakukan. Jika melihat
pemahaman mengenai aturan, di buat oleh pihak yang berwenang, dan tempat
aturan diberlakukan, maka dalam unsur pengertian peraturan daerah ditingkat
provinsi, kabupaten dan/atau kota telah tercakup didalamnya, namun lebih jelas
dapat dilihat ditingkat provinsi maupun kabupaten dan/atau kota siapa yang
mengepalai.
Untuk tingkat Provinsi dikepalai oleh kepala daerah yaitu yang disebut
Gubernur sedangkan ditingkat kabupaten dan/atau kota dikepalai oleh kepala
daerah yaitu yang disebut Bupati atau walikota. Di dalam kamus Bahasa
Indonesia, pengertian dari peraturan adalah: ketentuan yang harus dijalankan dan
dipatuhi, kaidah yang dibuat untuk mengatur, petunjuk yang dipakai untuk menata
sesuatu dengan aturan65.
Selain ketiga unsur yang dapat ditarik berdasarkan pengertian dari
Peraturan Daerah tersebut, maka setelah memahaminya akan terlihat bagaimana
suatu aturan dalam hal ini adalah peraturan daerah tersebut dibuat oleh siapa,
sebagaimana yang telah disinggung diatas. Didalam Pasal 136 ayat (1) UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menegaskan bahwa Perda ditetapkan
oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Oleh karena itu
65
Tim Penyusun Tanti Yuniar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Agung Mulia.
68
suatu peraturan daerah memiliki campur tangan dari DPRD, karena peraturan
daerah dapat ditetapkan jika ada persetujuan bersama dengan DPRD.
Jika dilihat dari sistem pemerintahan yang dianut di Negara Indonesia,
yaitu sistem pemerintahan presidensiil, yaitu jabatan Presiden tercakup dua
kepemimpinan sekaligus yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan,
maka dapat diterapkan pada daerah provinsi, kabupaten dan/atau kota yang
dikepalai oleh seorang kepala daerah yang disebut gubernur, bupati dan/atau
walikota.
Masing-masing kepala daerah juga disebut sebagai kepala pemerintahan
daerah, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945,
yaitu “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Juga di dalam
Pasal 1 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu
“pemerintah daerah adalah gubernur, bupati dan/atau walikota dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah”. Oleh karena itu
dapat dikatakan jabatan gubernur, bupati dan/atau walikota adalah sebagai kepala
daerah dan kepala pemerintahan atau dapat disebut sebagai termasuk di dalam
lembaga eksekutif atau pemerintahan seperti halnya Presiden, namun terbatas di
tingkat provinsi, kabupaten dan/atau kota
Perumusan suatu peraturan dalam hal ini adalah peraturan daerah,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Malinowski dalam Chand66 bahwa “The
66
Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, p.117
69
true problem is not to study how human life submits to rules – it simply does not;
the real problem is how the rules become adapted to life.”
Namun dalam suatu perumusan peraturan daerah tidak hanya dengan
melihat aturan dan pemberlakuannya saja, namun juga kewenangan dari pihak
yang merumuskannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam peraturan daerah tidak hanya melihat perumusannya namun juga
mekanisme pembatalannya, maka jika dikaitkan dengan unsur kewenangannya
dapat
dilihat
suatu
peraturan
daerah
tersebut
mengenai
keabsahannya
sebagaimana kajian yang akan ditelaah.
Terkait dengan keabsahan suatu keputusan tidak terlepas dari dasar
kewenangan yang dimiliki oleh suatu jabatan sebagaimana yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Kemampuan untuk menimbulkan akibat-akibat
hukum juga berarti berwenang untuk berbuat sesuatu, namun hak untuk berbuat
demikian itu juga dalam batas-batas (dibatasi) oleh yang ditetapkan hukum positif,
atau dapat diartikan bahwa setiap pelaksanaan wewenang pemerintahan itu tunduk
kepada hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Suatu kewenangan tentu saja melibatkan asas legalitas (asas wetmatigheid
van het bestuur), mengingat negara Indonesia adalah Negara Hukum. Menurut
Indroharto67 bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat
67
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Jakarta, hal. 83
70
pemerintah itu tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau
mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.
Hal tersebut di atas berarti, bahwa setiap wewenang pemerintahan untuk
melakukan kebijaksanaan dan tindakan hukum tata usaha negara, baik mengenai
bentuk dari tindakan-tindakan hukum demikian itu serta isi hubungan hukum yang
diciptakan olehnya harus ada dasar atau sumbernya (diberikan oleh) suatu
ketentuan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis). Asas legalitas
pemerintahan juga menunjang berlakunya kepastian hukum, sebab tindakan
hukum pemerintahan itu hanya dimungkinkan kalau ada pengaturannya dalam
undang-undang.
Jika menelaah keabsahan suatu keputusan, tidak terlepas dari kewenangan
sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, oleh karena itu penting adanya
jika sebelumnya menelaah mengenai sumber kewenangan atau lahirnya suatu
kewenangan. Pada umumnya disebut adanya dua cara pokok dari mana para
Badan atau jabatan tata usaha Negara itu memperoleh wewenang pemerintahan,
yaitu dengan jalan atribusi dan delegasi.
Menurut Indroharto68, Pada atribusi terjadi pemberian wewenang
pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundangundangan. Legislator yang kompoten untuk memberikan atribusi wewenang
pemerintahan itu dibedakan antara:
68
Ibid, hal. 91
71
a. yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita ditingkat
pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitutie (Konstituante) dan
DPR bersama-sama Pemerintah sebagai yang melahirkan suatu
undang-undang, dan ditingkat daerah adalah DPRD dan Pemda yang
melahirkan Pemda; dan
b. yang bertindak sebagai delegated legislator; seperti Presiden yang
berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu
Peraturan Pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang
pemerintahan kepada Badan atau Jabatan TUN tertentu.
Sedangkan pada delegasi menurut Indroharto69 terjadi pelimpahan suatu
wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh
suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN
lainnya.
Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi
wewenang. Adalah sangat penting untuk mengetahui apakah suatu Badan atau
Jabatan TUN itu pada waktu mengeluarkan suatu keputusan TUN yang sah pula.
69
Indroharto, op.cit., hal. 91
72
BAB III
KEABSAHAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH TENTANG
ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA DAERAH DI TINGKAT
PROVINSI MELALUI KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI
3.1. Hakikat keabsahan Pembatalan Peraturan Daerah Tentang APBD di
Tingkat Provinsi Melalui keputusan Menteri Dalam Negeri.
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu, identifikasi
terhadap keabsahan suatu pembatalan peraturan daerah tentang APBD di tingkat
provinsi melalui keputusan menteri dalam negeri merupakan faktor kunci dalam
menentukan akibat hukum terhadap suatu peraturan daerah tentang APBD di
tingkat provinsi yang dibatalkan
melalui keputusan menteri dalam negeri.
Mengidentifikasi suatu keabsahan pembatalan peraturan daerah sebagai suatu
bentuk peraturan perundang-undangan sangat diperlukan mengingat adanya
ketentuan yang mengatur mekanisme suatu pembatalan peraturan daerah, yang
mana ketentuan tersebut juga merupakan ketentuan sebagaimana juga yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Keabsahan suatu pembatalan peraturan daerah tentang APBD di tingkat
provinsi melalui keputusan menteri dalam negeri, dapat dilihat dari ketentuan
yang mengatur mekanisme pembatalan peraturan daerah itu sendiri, yaitu pada
Pasal 145 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang
intinya menegaskan bahwa keputusan pembatalan peraturan daerah ditetapkan
dengan Peraturan Presiden (PP). Namun dalam kenyataan keputusan pembatalan
peraturan daerah tersebut dilakukan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri,
73
sebagaimana yang di atur dalam PP No 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Negara pada Pasal 47 ayat (6), yang intinya menegaskan pembatalan
peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri. Maka hal ini dapat
lebih dikaji lagi dengan melihat kewenangan berdasarkan sistem pemerintahan
yang kita anut di Indonesia, yaitu sistem presidensil
Dalam penjelasan UUD NRI Tahun 1945 tentang Sistem Pemerintahan
Negara antara lain dikatakan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasar atas
hukum (rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Dari
penjelasan tersebut dan juga secara tegas ditentukan dalam batang tubuh UUD
NRI Tahun 1945, untuk mewujudkan tujuan negara harus dilakukan melalui atau
mempergunakan antara lain asas demokrasi dan asas negara hukum. Dengan kata
lain UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi dalam
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia harus menjadi acuan dan pegangan bagi
penyelenggara negara dalam menentukan kebijakan-kebijakan kenegaraan dan
pemerintahan. Kebijakan politik, ekonomi dan sosial budaya harus mengacu pada
ketentuan hukum dasar atau ketentuan hukum tertinggi dalam UUD NRI Tahun
1945. Setiap kebijakan yang yang dituangkan dalam bentuk undang-undang di
bidang politik, ekonomi dan kebudayaan tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan UUD NRI Tahun 1945. Oleh sebab itu teori tentang negara hukum tidak
dapat terpisahkan dari teori tentang demokrasi.
Terkait dengan keabsahan suatu pembatalan peraturan daerah APBD
melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri maka yang menjadi fokus adalah
Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut. Kewenangan Menteri Dalam Negeri
74
tersebut berkaitan dengan sistem pemerintahan yang di anut di negara Indonesia,
dalam hal ini adalah penyelenggaraan pemerintahan eksekutif dalam hubungannya
dengan fungsi legislatif.
Terkait dengan keabsahan pembatalan suatu peraturan daerah, maka
alangkah baiknya melihat bagaimana pembentukan peraturan daerah tersebut
sebagai suatu produk peraturan perundang-undangan, sebagaimana yang diatur
dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa peraturan
daerah adalah produk bersama antara DPRD dengan Pemerintah Daerah yang
dipimpin oleh gubernur untuk provinsi dan/atau bupati/walikota untuk
kabupaten/kota. Jika dilihat di tingkat pusat, baik presiden, DPR dan DPD yang
berperan dalam proses pembentukan suatu undang-undang, maka di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota DPRD dan kepala daerah masing-masing daerah juga
sama-sama dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum atau pemilihan kepala
daerah secara langsung. Oleh karena itu, jelas sangat berbeda antara produk
peraturan yang dihasilkan oleh lembaga legislatif bersama-sama dengan lembaga
eksekutif yang sama-sama dipilih oleh rakyat, dengan peraturan yang semata-mata
disusun dan ditetapkan secara sepihak oleh pihak eksekutif atau pemerintah, oleh
karena itu ada pembedaan antara produk legislatif (legislative acts) dengan produk
eksekutif (executive acts).
Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian terdahulu, identifikasi terhadap
kedudukan hukum peraturan daerah merupakan faktor kunci untuk menelaah
mekanisme pembatalan perda oleh pihak yang lebih berwenang. Identifikasi
kedudukan hukum peraturan daerah itu sendiri sangat diperlukan mengingat
75
adanya ketentuan terhadap masing-masing bentuk peraturan perundang-undangan
yang dikenal dalam hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia.
Kedudukan hukum suatu peraturan perundang-undangan akan menentukan
lembaga yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan suatu mekanisme baik
pembentukan, maupun pembatalan suatu peraturan perundang-undangan, serta
untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang
dimaksud. Dalam hal pengujian telah diatur secara tegas dalam batang tubuh
UUD NRI Tahun 1945, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, di
mana dalam hal pengujian tersebut kewenangan yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1. Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk menguji Peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap UndangUndang.
2. Mahkamah Konstiusi memiliki kewenangan untuk menguji UndangUndang terhadap Undang-Undang Dasar.
3.2.Analisis Peraturan Daerah
3.2.1. Analisis Kedudukan Hukum Peraturan Daerah
Identifikasi terhadap kedudukan hukum perda akan dilakukan melalui
analisis atau kajian terhadap eksistensi perda secara obyektif. Dengan demikian,
analisis tersebut akan dilakukan terhadap berbagai unsur obyektif perda, yang
76
akan terbagi menjadi analisis terhadap bentuk perda, analisis terhadap proses
pembentukan perda, analisis terhadap pihak yang memegang kekuasaan
membentuk perda dan analisis terhadap materi atau substansi perda itu sendiri,
selanjutnya analisis terhadap berbagai unsur atau elemen obyektif perda dimaksud
akan dijabarkan pada bagian selanjutnya.
Untuk melihat kedudukan hukum peraturan daerah secara hierarki
Peraturan Perundang-Undangan, sebagai dasar hukumnya terdapat didalam UU
No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
selanjutnya telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan pada Pasal 7, yang menempatkan peraturan daerah
kedalam urutan ke enam.
Dengan melihat kedudukan hukum peraturan daerah didalam hierarki
Peraturan Perundang-undangan, maka peraturan daerah diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan,
sebagaimana yang diatur secara tegas didalam Pasal 8 (2) UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
3.2.2. Analisis Terhadap Bentuk Perda
Secara konstitusinal, istilah “Peraturan Daerah” sebagai suatu frase kata
yang utuh tidak terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, namun demikian, istilah “Peraturan Daerah” disebut juga di dalam
UUD NRI Tahun 1945 pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 18
77
ayat (6), yang menyebutkan, “Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan”.
Ketentuan lain mengenai eksisitensi perda terdapat didalam UndangUndang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yang kemudian telah diganti dengan UU No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dimulai pada Pasal 1
(7) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
menjelaskan bahwa: “Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dengan persetujuan
bersama kepala daerah. Di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan lebih spesifik menyebutkan kepala daerah dalam
hal ini untuk peraturan daerah provinsi adalah gubernur dan peraturan daerah
kabupaten/kota adalah bupati/walikota. Selanjutnya Pasal 7 baik UU No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maupun UU
No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sama
menegaskan bahwa peraturan daerah termasuk didalam jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-Undangan, meskipun dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan urutan peraturan
daerah provinsi selanjutnya peraturan daerah kabupaten/kota. Dalam bagian ketiga
mengenai persiapan pembentukan peraturan daerah, yang termuat dalam Pasal 26,
27, 28, 29, 30, 31 UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
78
Perundang-Undangan , juga di dalam Bab VII mengenai pembahasan dan
pengesahan rancangan peraturan daerah pada Pasal 40, 41, 42 dan 43.
Selanjutnya mengenai peraturan daerah, juga diatur dalam UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 1 (10), Pasal 24 paragraf
kedua,mengenai tugas dan wewenag kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
termasuk didalamnya mengajukan rancangan perda dan menetapkan perda yang
telah mendapat persetujuan DPRD, selanjutnya pada Pasal 136 sampai dengan
Pasal 148.
3.2.3. Analisis Terhadap Proses Pembentukan Perda
Proses pembentukan perda secara konstitusional diatur dalam UUD NRI
Tahun 1945, pada Pasal 18 ayat (6) yang menegaskan bahwa “Pemerintahan
daerah
berhak
menetapkan
perda
dan
peraturan-peraturan
lain
untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Selanjutnya di dalam Pasal 1 ayat
(7) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
selanjutnya telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, ditegaskan bahwa “Peraturan daerah adalah
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah”. Juga di dalam Pasal 136 ayat
(1) dan (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang
menegaskan bahwa peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah
mendapat persetujuan bersama DPRD dan peraturan daerah dibentuk dalam
79
rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas
pembantuan.
Secara spesifik, tata cara penyusunan rancangan peraturan daerah
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 10
Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang
kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Di dalam Pasal 40 UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan sebagai berikut:
(1) Pembahasan rancangan Peraturan Daerah di Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan akyat Daerah bersama
Gubernur atau Bupati/Walikota.
(2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui tingkat-tingkat pembicaraan.
(3) Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang legislasi
dan rapat paripurna.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata carapembahasan Rancangan
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Selanjutnya pengaturan tentang perencanaan penyusunan rancangan perda
atau tata cara penyusunannya di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, telah diatur secara jelas dalam
Pasal 32 sampai dengan Pasal 38, sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab
sebelumnya, dan di dalam Pasal 40 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, menjelaskan bahwa, “ketentuan mengenai
perencanaan penyusunan perda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 32
80
sampai dengan Pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan
penyusunan perda Kabupaten/Kota”.
Peraturan daerah baik ditingkat provinsi dan kabupaten/kota, jika dilihat
dari sudut pembentukannya dapat diidentikkan dengan undang-undang di tingkat
pusat, namun perda bersifat lokal. Menurut ketentuan UU No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diganti
dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan,
kedudukan hierarki perda berada dibawah tingkatan Peraturan
Presiden, namun bagaimana dengan kedudukan peraturan menteri, sebagaimana
yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, yang menyebutkan bahwa Presiden
dibantu oleh menteri-menteri negara. Hubungan hierarki menurut Pasal 7 UU No.
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
kemudian diganti dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan , perda berada dibawah peraturan presiden, namun UU No.
10 Tahun 2004 yang selanjutnya diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
juga
mengakui
keberadaan
Peraturan Menteri, namun tidak ditentukan secara jelas.
Jika dipandang dari latar belakang perumusannya, penghapusan peraturan
menteri dari hierarki peraturan perundang-undangan dalam UU No. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian
diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan
perundang-undangan disebabkan oleh dorongan untuk meningkatkan kedudukan
perda. Kajian pembatalan perda melalui keputusan menteri dalam negeri, tentu
81
saja berbeda jika mengartikan antara peraturan dengan keputusan menteri itu
sendiri, sedangkan keputusan menteri didalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diganti dengan UU
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan , baik
secara eksplisit dan implisit tidak termuat, namun keputusan menteri tersebut
dapat dilihat dengan mengkaji kedudukan menteri dalam suatu sistem
pemerintahan di Indonesia.
Negara Indonesia dengan sistem pemerintahan presidensil merupakan
sistem pemerintahan yang terpusat pada jabatan presiden sebagai kepala
pemerintahan
sekaligus sebagai kepala negara. Presiden Republik Indonesia
menurut Pasal 4 ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945 memegang kekuasaan
pemerintahan negara menurut UUD, inilah yang disebut sebagai prinsip
“constitutional government”.
Rumusan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu:
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan negara
menurut undang-undang dasar”.Selanjutnya dalam ayat (2), yaitu: “Dalam
melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden”. Juga
dalam Pasal 17 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan bahwa, “Presiden
dibantu oleh menteri-menteri negara”, dan dalam ayat (2), menegaskan, “Menterimenteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”, berdasarkan hal tersebut,
maka para menteri negara tunduk dan bertanggung jawab kepada presiden sebagai
satu kesatuan institusi.
82
Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, pada bab V Pasal 17 terkait
kementerian negara, menyebutkan:
(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(3) Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
(4) Pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian negara diatur
dalam undang-undang.
Walaupun demikian, menteri-menteri dalam melaksanakan tugasnya tetap
bergantung adanya pendelegasian kewenangan, jadi tidak serta merta memiliki
kekuasaan, namun tetap adanya penyeraha kewenangan dari Presiden kepada
menteri-menterinya. Selanjutnya kajian berikut adalah terkait pada sistem
pemerintahan di negara Indonesia.
Dalam sistem pemerintahan presidensil juga terdapat beberapa prinsip
pokok yang bersifat universal70 yaitu;
1). Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan
eksekutif dan legislatif;
2) Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden
tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja;
3). Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya,
kepala negara adalah sekaligus merupakan kepala pemerintahan;
4). Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai
bawahan yang bertanggung jawab kepadanya;
5). Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan
demikian pula sebaliknya;
70
Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Cetakan kedua,
PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jaakarta, hal. 316.
83
6). Presiden tidak dapat membubarkan ataupun memaksa parlemen;
7). Jika dalam sistem palementer berlaku prinsip supremasi parlemen,
maka dalam sistem presidensil berlaku prinsip supremasi konstitusi.
Karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada
konstitusi;
8). Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat;
9). Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem
parlementer yang terpusat pada parlemen.
Selain sistem pemerintahan presidensil yang bersifat universal, ada juga
sistem pemerintahan yang bersifat murni71:
a). Presiden memegang kekuasaan pemerintahan eksekutif tunggal;
b). Dalam kedudukan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara
itu terkandung pula status kepala negara (head of state), sehingga
kedudukan kepala negara (head of state) dan kepala pemerintahan
eksekutif menyatu secara tidak terpisahkan dalam jabatan presiden;
c). Presiden tidak diangkat atau dipilih oleh lembaga perwakilan rakyat;
d) Presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat,
sehingga tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen karena alasan politik;
e). Presiden memangku jabatannya selama kurun waktu yang tetap (fixed
term), misalnya di Amerika Serikat ditentukan untuk waktu empat
tahun, di Indonesia lima tahun dan sesudahnya hanya dapat dipilih lagi
untuk satu periode berikutnya;
f). Presiden hanya dapat diberhentikan dari jabatannya melalui prosedur
yang diknal dengan “impeachment” karena alasan pelamnggaran
hukum sebagaimana ditentukan dalam UUD.
Sistem pemerintahan tentu saja dipengaruhi oleh bentuk negara Indonesia
itu sendiri, bangsa Indonesia bertekad untuk mendirikan suatu Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang kemudian dituangkan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1)
71
Ibid, hal. 335
84
yang menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang
berbentuk republik. Namun demikian, perjalanan sejarah kenegaraan Republik
Indonesia sejak kemerdekaannya diwarnai dengan adanya beberapa perubahan
bentuk negara yang juga diikuti dengan perubahan konstitusi. Adanya perubahan
konstitusi tersebut lebih jauh lagi ternyata juga menimbulkan perubahan terhadap
bentuk peraturan perundang-undangan.
Bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia pernah menjadi Negara
Republik Indonesia Serikat. Bentuk Negara Republik Indonesia Serikat ini
ditandai dengan diberlakukannya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS)
yang dinyatakan mulai berlaku sejak tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan
17 Agustus 1950. Konstitusi RIS ini berlaku untuk seluruh wilayah Republik
Indonesia Serikat yang terdiri atas daerah-daerah bagian, di mana Negara
Republik Indonesia menjadi salah satu bagian dari Negara Republik Indonesia
serikat. Pada masa berlakunya Konstitusi RIS, ketentuan mengenai peraturan
perundang-undangan diatur dalam Bagian 2 mengenai peraturan Perundangundanmgan yang terdiri dari 17 (tujuh belas) pasal.
Fase perubahan bentuk negara terus berlanjut, yang juga membawa
perubahan terhadap konstitusi yang diberlakukan. Pada tanggal 17 Agustus 1950,
Konstitusi RIS diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara, melalui
pengesahan Undang-Undang Republik Serikat No. 7 Tahun 1950 tentang
Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi UndangUndang Dasar Sementara Republik Indonesia,
yang kemudian diberlakukan
sebagai Undang-Undang Dasar Sementara atau Konstitusi Sementara Negara
85
Kesatuan Republik Indonesia yang pada saat ini telah berubah kembali menjadi
negara dengan bentuk kesatuan, sehingga kembali disebut dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Penegasan mengenai diberlakukannya Undang-Undang Dasar Sementara
ini terdapat pada Pasal 1 Undang-Undang Republik Serikat No. 7 Tahun 1950
yang menyebutkan bahwa “Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat
diubah menjadi Undang-Undang Sementara Republik Indonesia”, selanjutnya,
dalam Pasal II ditegaskan bahwa “Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia ini mulai berlaku pada hari tanggal 17 Agustus 1950”.
Dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950.
Ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan diatur pada Pasal 1 Bagian II
tentang perundang-undangan yang terdiri dari 12 (dua belas) pasal, yaitu dari
Pasal 89 sampai dengan Pasal 100. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Republik
Indonesia mengeluarkan dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
tentang Kembali kepada UUD 1945 melalui Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 150 Tahun 1959, Lembaran Negara Tahun 1959 No. 75. Dengan
demikian,
ketentuan
mengenai
peraturan
perundang-undangan
kembali
berdasarkan pada ketentuan yang digariskan dalam UUD 1945.
Dalam ketiga bentuk konstitusi di atas (UUD 1945, Konstitusi RIS dan
UUDS 1950), sebutan peraturan yang dikenal adalah undang-undang, peraturan
pemerintah pengganti undang-undang dan peraturan pemerintah. Di samping itu,
guna memenuhi kebutuhan untuk mengadakan peraturan-peraturan yang lebih
86
operasional, ketiga bentuk peraturan itu saja dianggap kirang memadai. Karena
itu, berdasarkan Surat Presiden Republik Indonesia yang ditujukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Nomor: 22/62/HK/1959 tanggal 20 Agustus 1959,
ditetapkanlah beberapa bentuk peraturan yang lain, yaitu: 72
1. Penetapan Presiden atau biasa disingkat Penpres untuk melaksanakan
Dekrit presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959
tentang kembali kepada Undang-undang Dasar 1945;
2. Peraturan Presiden yang terdiri atas:
a. Peraturan Presiden yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Pasal 4
ayat (1) UUD 1945;
b. Peraturan Presiden yang dimaksudkan untuk melaksanakan Penetapan
Presiden;
3. Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan untuk melaksanakan Peraturan
Presiden yang berbeda dari pengertian peraturan pemerintah yang
dimaksud oleh Pasal 5 ayat (2) UUD 1945;
4. Keputusan Presiden yang dimaksudkan untuk melakukan atau meresmikan
pengangkatan-pengangkatan dalam jabatan;
5. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri yang dibuat oleh kementeriankementerian negara atau departemen-departemen pemerintahan untuk
mengatur segala sesuatu yang diperlukan dibidangnya masing-masing
serta untuk meresmikan pengangkatan-pengangkatan jabatan di
lingkungan tanggung jawabnya masing-masing.
Dari aspek hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan, bentuk
peraturan perundang-undangan berdasarkan Surat Presiden Republik Indonesia
yang ditujukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Nomor: 226/HK/1959 tanggal
20 Agustus 1959, telah menimbulkan kerancuan, sehingga ditetapkanlah
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor: XX/MPRS/1966
tenang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Yang Tidak Sesuai Dengan UUD
72
Jimly Asshiddiqie,op.cit., hal.212-213
87
1945, dimana menurut ketetapan MPRS tersebut tata urutan peraturan perundangundangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penggantu Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Keputusan Presiden;
6. Peraturan-Peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi
Menteri dan lain-lain.
Pada Tahun 2000 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor: III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Lahirnya
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 dengan maksud untuk menertibkan sumber
tertib hukum yang selama masa orde baru dianggap tidak sempurna. Dalam
pertimbangannya dinyatakan bahwa dari pengalaman sejarah bangsa dan dalam
menghadapi masa depan yang penuh tantanagan, maka bangsa Indonesia telah
sampai pada kesimpulan bahwa dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara,
supremasi hukum harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan hukum,
perlu mempertegas sumber hukum yang merupakan pedoman bagi penyusunan
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Selanjutnya dinyatakan pula
bahwa dalam rangka memantapkan perwujudan otonomi daerah perlu
88
menempatkan peraturan daerah dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
Bahwa sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan
perundang-undangan
Permusyawaratan
Republik
Rakyat
Indonesia
Sementara
berdasarkan
(MPRS)
Ketetapan
Nomor
Majelis
XX/MPRS/1966,
menimbulkan kekacauan pengertian, sehingga tidak dapat lagi dijadikan landasan
penyusunan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, dalam Pasal 1 TAP MPR No. III/MPR/2000 itu
ditentukan bahwa (1) sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk
penyusunan peraturan perundang-undangan; (2) sumber hukum terdiri atas
sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis; (3) sumber hukum dasar
nasional adalah (i) Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan UUD
1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam permusyawaratan /perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan (ii) batang tubuh Undang-Undang Dasar
1945. Tata urutan peraturan perundang-undangan, menurut Pasal 2 Ketetapan
MPR ini merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata
urutan peraturan perundang-undangan RI adalah:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
Undang-Undang Dasar 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
Peraturan Pemerintah;
Keputusan Presiden;
Peraturan Daerah.
89
Peraturan Daerah yang ditempatkan dalam urutan ketujuh peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia di bawah Keputusan Presiden. Dalam
Pasal 3 ayat (7) dinyatakan bahwa Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk
melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari
daerah yang bersangkutan. Peraturan Daerah tersebut mencakup (a) Peraturan
Daerah Provinsi yang dibuat oleh DPRD Provinsi bersama dengan gubernur; (b)
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota
bersama bupati/walikota; dan (c) Peraturan Desa atau yang setingkat, sedangkan
tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat itu diatur oleh pembuatan
peraturan desa atau yang setingkat itu diatur oleh Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Namun ketentuan yang diatur dalam
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/2000 ini tetap
mengandung banyak kelemahan yang sangat serius,oleh sebab itu koreksi dan
penyempurnaan dilakuka dengan diundangkannya Undang-Undang No. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan UU ini dimaksudkan sebagai upaya
untuk memenuhi terwujud apabila didikung oleh cara dan metode yang pasti, baku
dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan
perundang-undangan. Selain itu, pembentukan undang-undang ini dimaksudkan
untuk lebih meningkatkan koordinasi8 dan kelancaran proses pembentukan
peraturan perundang-undangan, sehingga negara Republik Indonesia sebagai
negara yang berdasar hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan
peraturan perundang-undangan.
90
Pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya diganti dengan
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
ditegaskan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah
sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah.
Di dalam Pasal 7 (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menegaskan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan , Peraturan Daerah yang dimaksud
di atas meliputi: (a) Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan
rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; (b) Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten kota
bersama bupati/walikota; (c) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh
91
badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama
lainnya. Sedangkan Pasal 7 (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa, “kekuatan hukum peraturan
perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dibandingkan dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat Sementara
Nomor: XIX/MPRS/1966 maupun Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Nomor: III/MPR/2000, terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam
penetapan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang selanjutnya diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Perbedaan tersebut adalah semakin sedikitnya jenis Peraturan Perundangundangan yang dimaksudkan dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia. Pada ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.
XIX/MPRS/1966, terdapat 6 (enam) jenis peraturan perundang-undangan yang
menduduki hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia,
yaitu undang-undang dasar, ketetapan majelis permusyawaratan rakyat, undangundang, peraturan pemerintah, keputusan Presiden dan peraturan pelaksanaan
lainnya (peraturan menteri, instruksi menteri, dan lain-lain)
Jenis peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan dalam hirarki atau
tata
urutan
peraturan
perundang-undangan
pada
Ketetapan
Majelis
92
Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/2000 dari sisi jumlah tidak berbeda dengan
jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XIX/MPRS/1966, yaitu
sebanyak 6 (enam) jenis. Namun demikian, Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Nomor: III/MPR/2000 tidak memasukkan peraturan pelaksanaan lainnya
(peraturan menteri, instruksi menteri dan lain-lain) dalam hirarki atau tata urutan
peraturan perundang-undangan. Sebagai gantinya, peraturan daerah dimasukkan
ke dalam urutan terakhir hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Dengan demikian, jenis peraturan perundang-undangan yang masuk ke
dalam atau tata urutan perundang-undangan di Indonesia berdasarkan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat No.
III/MPR/2000 adalah undang-undang
dasar, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/2000 adalah
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan preseiden
dan peraturan daerah.
Di sisi lain, jenis peraturan perundang-undangan yang masuk dalam
hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang selanjutnya diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan perundang-undangan adalah sebanyak 5 (lima) jenis,
yaitu Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan Peraturan Daerah. Dengan demikian, eksistensi Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan keputusan Presiden tidak dikenal lagi dalam hirarki
atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Namun di dalam UU
93
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat termasuk kedalam urutan kedua di
dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Perbedaan dalam
menetapkan jenis Peraturan Perundang-undangan yang dimasukkan ke dalam
hirarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan tersebut tidak terlepas dari
adanya reformasi yang berlangsung di Indonesia yang kemudian diikuti dengan
beberapa kali perubahan atau amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945,
di mana perubahan pertama disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999, perubahan
kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Perubahan ketiga disahkan pada
tanggal 10 November 2001 dan perubahan keempat disahkan pada tanggal 10
Agustus 2002.
Dari aspek eksistensi peraturan daerah apabila dikaitkan dengan keempat
perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar 1945, pada hakekatnya
menunjukkan bahwa pengaturan hukum Pemerintahan Daerah yang terdapat
dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengalami perkembangan yang dinamis, yang
semula di jabarkan melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang PokokPokok Pemerintahan daerah. Sebelum amandemen pengaturan hukum tentang
pemerintahann daerah yang secara otomatis melahirkan peraturan daerah yang
merupakan produk hukum pemerintah daerah. Diatur dalam Pasal 18, 18A dan
18B (terjadi pada amandemen kedua), dan selanjutnya tidak berubah lagi.
Pelaksanaan yuridis otonomi daerah dalam UUD 1945 yang semula
dijabarkan
melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 terkesan tidak
merefleksikan realitas politik, ekonomik, sosiologis, geografis, demografis dan
94
historis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Undang-Undang No. 5
Tahun 1974 cenderung menyeragamkan berbagai keaneka-ragamanan daerah
yang mengenal pemerintahan lokal maupun adatnya sendiri. Kenyataan normatif
tersebut secara hukum memang tampak mengabaikan ketentuan UUD 1945
mengenai pemerintahan daerah dan otonomi daerah yang mengakui keberadaan
pemerintahan daerah dari masyarakat adat yang otonom.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut UU No. 5 Tahun 1974
dipandang sangat sentralistis dan mengganggu kemandirian daerah dalam
mengatur otonominya, oleh sebab itu penyelenggaraan pemerintahan daerah
berjalan kurang sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Kondisi praktis yang muncul
secara fenomenal adalah ekspresi ketidakpuasan daerah terhadap pusat,
selanjutnya keberadaan UU No. 5 Tahun 1974 ditinjau kembali oleh pemerintah
atas masukan dari publik untuk disesuaikan dengan piranti substansi UUD 1945
sebalum diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda 1999) maupun Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2004).
Dalam kurun waktu pelaksanaan otonomi daerah
pasca reformasi,
pemerintahan daerah ditengarai banyak melakukan penyimpangan dan kesalahan
persepsi mengenai otonomi daerah. Implementasi UU Pemda kebanyakan hanya
mengedepankan orientasi keuangan dengan menciptakan peraturan daerah yang
menekankan kepentingan ekonomi daripada kepentingan pelayanan publik.
Berbagai kasus pembatalan peraturan daerah yang dilakukan oleh pemerintah
pusat akhirnya muncul sebagai suatu kenyataan yang mesti diterima oleh
95
Pemerintah Daerah, dan beberapa peraturan daerah yang dibatalkan bersentuhan
dengan masalah pengelolaan keuangan daerah.Kenyataan tersebut merupakan
suatu realitas faktual dari kecenderungan yang justru tidak sesuai dengan
semangat dan filosofi otonomi daerah berdasarkan UU Pemda untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Identifikasi terhadap kedudukan hukum perda akan dilakukan melalui
analisis atau kajian terhadap eksistensi perda itu sendiri secara obyektif. Dengan
demikian, analisis tersebut akan dilakukan
terhadap berbagai unsur obyektif
perda, yang akan terbagi menjadi analisis terhadap bentuk perda, analisis terhadap
proses pembentukan perda, analisis terhadap pihak yang memegang kekuasaan
membentuk perda dan analisis terhadap pihak yang memegang kekuasaan untuk
membatalkan perda. Analisis terhadap berbagai unsure atau elemen obyektif perda
dimaksud akan dijabarkan lebih lanjut.
Ditinjau dari perspektif bahasa, secara eksplisit istilah “Peraturan Daerah”
sebagai suatu frase kata yang utuh tidak terdapat dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun demikian istilah “peraturan
daerah” dikenal secara implisit di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dengan adanya penegasan terkait dengan pemerintahan
daerah dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Secara konstitusional, pasal-pasal dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan secara implisit
tentang “peraturan daerah” dalam kajian mengenai pemerintahan daerah adalah
sebagai berikut:
96
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Pasal 18 (1) menegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas derah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang”.
Pasal 18 (2) menegaskan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi,
daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Pasal 18 (3) menegaskan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi,
daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”.
Pasal 18 (4) menegaskan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten
dan kota dipilih secara demokratis”.
Pasal 18 (5) menegaskan bahwa “Pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”.
Pasal 18 (6) menegaskan bahwa “Pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.
Pasal 18 (7) menegaskan bahwa “Susunan dan tata cara
penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”.
Pasal 18A (1) menegaskan bahwa “Hubungan wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan
kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah”.
Pasal 18A (2) menegaskan bahwa “Hubungan keuangan, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat
dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan
selaras berdasarkan undang-undang”.
Pasal 18B (1) menegaskan bahwa “Negara mengakui dan meghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
Ketentuan lain mengenai eksistensi peraturan daerah terdapat dalam
Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan , terdapat dalam Pasal
1 angka 7 UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-
97
undangan menegaskan bahwa “Peraturan daerah adalah peraturan perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan
persetujuan bersama kepala daerah. Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (1),
menempatkan peraturan daerah pada urutan kelima dalam jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya diatur pula di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 1 angka 10 menegaskan
bahwa “Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah
provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota. Selanjutnya pada Pasal 136
ayat (1) menegaskan bahwa Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat
persetujuan bersama DPRD.
Terkait dengan eksistensi perda tersebut, maka dari pengertian-pengertian
di atas maka dapat dijelaskan bahwa peraturan daerah (PERDA) adalah peraturan
perundang-undangan yang di tetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat
persetujuan bersama DPRD. Eksistensi yang berarti penetapan perda yang telah
sah dan mengalami suatu proses, maka yang dimaksud adalah suatu penetapan
perda bukan pembentukannya. Penetapan suatu perda juga dilarang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi sebagaimana yang diatur pula dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan, sebagaimana yang
diatur di dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,
98
secara keseluruhan juga menyebutkan bahwa pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain, dalam hal ini adalah
juga termasuk peraturan kepala daerah. Oleh sebab itu pemerintahan daerah selain
produk hukumnya adalah perda juga termasuk di dalamnya adalah peraturan
kepala daerah.
Pembentukan dan penetapan peraturan kepala daerah diatur di dalam UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana terlihat adanya
perbedaan antara perda dan peraturan kepala daerah. Terlihat bahwa kedudukan
peraturan kepala daerah dibawah dari peraturan daerah, sebagaimana yang diatur
dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, menempatkan perda pada urutan ke lima dalam hierarki peraturan
perundang-undangan dan tidak menempatkan peraturan kepala daerah dalam
hierarki peraturan perundang-undangan. Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah juga mengatur bahwa peraturan kepala daerah dan atau
keputusan kepala daerah dalam hal pelaksanaannya tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum, perda dan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Terkait dengan kajian mengenai pembatalan suatu peraturan daerah, dalam
hal ini adalah peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(PERDA APBD), maka eksistensi perda tersebut secara tegas telah diakui dan
pelaksanaannya tidak terlepas dari sistem pemerintahan daerah yang merupakan
satu kesatuan dari negara republik Indonesia. Pembentukan peraturan daerah
tentang APBD sebagai bentuk pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah
99
sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
maupun UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah beserta peraturan pelaksanaan lainnya.
Hal ini berarti bahwa penyusunan perda APBD tetaplah berada dalam kerangka
hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah yang saat ini berdasarkan UU
Pemerintahan Daerah yang berlandaskan prinsip-prinsip otonomi daerah.
Eksistensi perda dapat juga terlihat dari proses pembentukan perda itu
sendiri. Pembentukan peraturan daerah merupakan bagian penting untuk
melakukan pembentukan hukum di daeerah, merupakan esensi dari “legal
formulation” yang harus diagendakan oleh pemerintah daerah,termasuk
didalamnya pembentukan perda tentang APBD dalam menata keuangan
daerahnya.
Peraturan daerah yang dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum
untuk mengelola keuangan daerah yang dituangkan dalam bentuk APBD harus
dipahami sebagai bagian konsepsi pembentukan hukum. Dengan demikian
keberadaan hukum menjadi sesuatu yang sangat substansial secara teoritik dan
paradigmatik bagi jalinan pengelolaan keuangan daerah dalam seluruh segmen
penyelenggaraan pemerintahan negara. Pada prinsipnya dapat dikatakan bahwa
melalui sarana perangkat hukum, pengelolaan keuangan daerah diharapkan
memiliki dan menjamin terbangunnya suatu kondisi bermuatan ketertiban,
kepastian dan keadilan. Maka peraturan daerah tentang APBD harus diterima
sebagai instrument untuk menjamin pengelolaan keuangan daerah yang member
ketertiban, kepastian dan keadilan tersebut.
100
Istilah keuangan daerah yang bersumber dari istilah keuangan negara,
dimana pendapat dari Adrian Sutedi73mengemukakan bahwa, keuangan negara
dalam arti luas meliputi APBN, APBD, Keuangan negara pada Perjan, Perum,
PN-PN dan sebagainya, sedangkan definisi keuangan negara dalam arti sempit,
hanya meliputi setiap badan hukum
yang berwenang mengelola dan
mempertanggungjawabkannya. APBN, APBD,BUMN dan BUMD lebih tepat
menggunakan istilah Keuangan Publik.
Secara yuridis diberikan pengaturan bahwa pembentukan peraturan daerah
mengenai APBD harus memperhatikan asas-asas umum pembentukan peraturan
perundang-undangan. Asas pembentukan peraturan daerah tentang APBD berarti
tetap terikat pada perangkat hukum nasional mengenai asas pembentukan
peraturan perundang-undangan nasional berdasarkan Undang-Undang No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Pearaturan Perundang-undangan (UU No. 10
Tahun 2004). Pada Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 yang selanjutnya telah diganti
dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan mengatur asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
meliputi;
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
73
Kejelasan tujuan;
Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
Dapat dilaksanakan;
Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
Kejelasan umum;
Keterbukaan.
Adrian Sutedi, 2010, Hukum Keuangan Negara, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal. 10
101
Secara konstitusional dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa
“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal ini menandakan bahwa setiap
aktivitas pemerintahan termasuk di bidang penyusunan perda tentang APBD harus
memiliki dasar-dasar pengaturan hukum. APBD yang efektif dan efisien jelas
membutuhkan pengaturan hukum yang dituangkan dalam perangkat peraturan
perundang-undangan (legal aspect) agar memiliki landasan filosofis, yuridis dan
sosiologis.
Dalam teori pembentukan peraturan perundang-undangan diketahui bahwa
dimensi pengaturan hukum mengenai Peraturan Daerah tentang APBD merupakan
komponen hukum public. Maka dalam kepustakaan hukum pemerintahan
(administrasi) maupun hukum ketatanegaraan, masalah peraturan perundangundangan lazimnya masuk dalam bidang “hukum publik”. Seperti yang telah
dipahami bahwa hukum publik mengatur hubungan antara penguasa dan
masyarakat. Oleh karena itu pengaturan hukumnya memadukan antara kepeutusan
pemerintahan (negara) dan kepentingan kemasyarakatan (warga negara), maka
pembentukan hukum yang berpa Peraturan Daerah tentang APBD menjadi
memiliki landasan hukum dan menjamin terciptanya ketertiban dan tata kelola
keuangan yang tertuang dalam perda APBD.
Pengaturan hukum APBD menjadi “basic needs” yang tidak dapat
dielakkan sebagai piranti yang akan memberikan kepastian dan ketertiban hukum
mengenai penggunaan anggaran publik bagi kepentingan penyelenggaraan
pemerintahan daerah.Ujung dari setiap pengelolaan keuangan daerah pada
prakteknya adalah peraturan daerah tentang APBD. Pembentukan peraturan
102
daerah tentang APBD merupakan bagian penting dari konsep pengelolaan
keuangan daerah yang terdapat dalam peraturan daerah tentang APBD secara
teknis yuridis terikat pada hierarki peraturan perundang-undangan national
(national legislation) sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
Dalam hal pembentukan peraturan daerah, selain secara yuridis, juga
kedudukan masyarakat mempengaruhi pembentukan peraturan daerah tergambar
dalam konsep partisipasi masyarakat (public participation), memang masyarakat
harus diberi peluang besar untuk terlibat dalam pembentukan peraturan daerah
karena hukum dibuat oleh masyarakat, dalam arti dalam pembentukan perda tetap
mendengarkan aspirasi dari masyarakat.
Terkait dengan kajian pembatalan perda, tersebut, sebagaimana telah di
paparkan pada penjelasan sebelumnya, bahwa pembentukan perda selain secara
yuridis dengan tetap memperhatikan aspirasi masyarakan dengan tetap memakai
asas pembentukan hukum sebagaimana yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004
tentang
pembentukan
peraturan
perundang-undangan,
maka
dalam
hal
mekanisme pambatalan perda APBD selain diatur didalam UU No. 32 Tahun
2004 diatur juga didalam PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah, hanya saja terjadi ketimpangan aatau terjadi pengaturan yang berbeda,
sehingga dari analisis pembentukan peraturan daerah ini akan lebih memberi arah
dari tulisan yang mengangkat kajian tentang mekanisme pembatalan perda APBD
ini.
103
3.2.4. Analisis Terhadap Pihak Yang Berwenang Membuat Perda dan
Membatalkan Perda.
Terkait dengan kajian analisis terhadap pihak yang berwenang dalam
membentuk dan membatalkan perda. Maka sebelumnya menelusuri kewenangan
pengelolaan keuangan daerah dengan melihat sumber dari sejarahnya. Secara
historis dapat ditelusuru bahwa kewenangan pengelolaan keuangan daerah tetap
bermuara pada kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI
dengan segala kekuasaannya (state’s outhorities) lahir sejak dikumandangkannya
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tertanggal 17 Agustus 1945 sebagai produk
revolusioner, kedudukan hukum naskah Proklamasi Kemerdekaan RI merupakan
sumber hukum materiil dan sumber hukum formil.
Kedudukan hukum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia menjadi sangat
penting artinya bagi perkembangan ketatanegaraan. Selanjutnya UUD 1945 yang
di sahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 secara yuridis-ketatanegaraan menjadi
landasan awal tata hukum baru, yang di sebut tata hukum Indonesia dan tata
hukum tersebut berlaku bagi suatu masyarakat tertentu dan ditetapkan atas daya
penguasa NKRI. UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam
perjalanannya mengalami dinamika keberlakuan hukum sehubungan dengan
perkembangan politik ketatanegaraan Indonesia.
Bangsa Indonesia bertekad untuk mendirikan suatu Negara kesatuan
Republik Indonesia, yang kemudian dituangkan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1)
yang menegaskan bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan berbentuk
104
republik. Namun demikian, perjalanan sejarah kenegaraan Republik Indonesia
sejak kemerdekaannya diwarnai dengan adanya beberapa perubahan bentuk
negara yang juga diikuti dengan perubahan konstitusi. Adanya perubahan
konstitusi tersebut lebih jauh lagi ternyata juga menimbulkan perubahan terhadap
bentuk perundang-undangan.
Anggaran pendapatan Belanja Daerah yang disingkat APBD merupakan
bagian esesnsial dari perbicangan tentang pengelolaan keuangan negara. Hal ini
disadari karena APBD adalah kristalisasi dari suatu langkah pendayagunaan
keuangan daerah yang dilakukan secara terencana dan teratur sesuai dengan
kebutuhan publik. Pembentukan peraturan daerah APBD sebagai bentuk
pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini berarti bahwa
penyusunan APBD tetaplah berada dalam kerangka hukum penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang saat ini berdasarkan UU Pemerintahan Daerah yang
berlandaskan prinsip-prinsip otonomi daerah.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU
Pemda) telah memberikan pengaturan mengenai Penyelenggaraan Pemerintahan
dalam Bab IV. Menurut Pasal 19 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
daerah menyebutkan bahwa penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dengan
dibantu oleh satu orang wakil Presiden, dan oleh menteri negara, selanjutnya pada
ayat berikutnya menyebutkan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah dalah
pemerintah daerah dan DPRD. Selanjutnya di dalam Pasal 20 UU No. 32 Tahun
105
2004
tentang
Pemerintahan
Daerah
memberikan
asas-asas
umumk
penyelenggaraan pemerintahan adalah:
(1). Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum
Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas:
a. asas kepastian hukum;
b. asas tertib penyelenggara negara;
c. asas kepentingan umum;
d. asas keterbukaan;
e. asas proporsionalitas;
f. asas profesionalitas;
g. asas akuntabilitas;
h. asas efisiensi; dan
i. asas efektifitas.
(2) Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas
desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan
peraturan perundang-undnagan.
(3). Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah
menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Ketentuan tersebut merupakan dasar yang menjadi pedoman dalam
pengembangan Pemerintahan Daerah termasuk dalam pengelolaan keuangan
daerah yang dirumuskan melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dalam
suatu
peraturan
daerah.
Mengenai
organ
pemerintahan
daerah
dalam
penyelenggaraan otonomi daerah termasuk dalam kerangka pengelolaan keuangan
daerah telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah yang diterapkan tidak terjadi begitu saja
namun tetap bertumpu pada pengaturan hukum mengenai otonomi daerah yang
terdapat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD). Otonomi daerah dalam
konteks UUD 1945 mengalami pasang surut pengaturan dari Undang-Undang No.
106
5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (UU No. 5 Tahun
1974), Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU
Pemda 1999) maupun Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (UU Pemda 2004) yang terus mengalami perkembangan.
Dengan demikian pengkajian yang diformatkan pada peraturan daerah
tentang APBD jelas memiliki hubungan yang jelas dalam memberikan penjabaran
sampai pada takaran “ideal” pemerintahan Daerah NKRI. Pemerintahan daerah
yang dibutuhkan tentu saja Pemerintahan Daerah yang memberi peluang
keterbukaan yntuk melibatkan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan
daerah tentang APBD. Dengan keterlibatan publik dalam penyelenggaraan
Pemerintahan daerah termasuk dalam pengelolaan keuangan daerah adalah
indikasi demokratis otonomi daerah yang sejalan dengan UUD 1945.
Dalam penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan prinsip desentralisasi
dibentuklah organ Pemerintahan daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1, UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa Pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
107
Selanjutnya di dalam Pasal 19 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah
adalah pemerintah daerah dan DPRD. Ini berarti bahwa Pemerintah Daerah dan
DPRD secara yuridis merupakan organ pemerintahan daerah yang utama. Lebih
jelas lagi di dalam Pasal 24 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
menegaskan bahwa:
(1) Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut
kepala daerah.
(2) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi
disebut Gubernur, untu kabupaten disebut Bupati, dan untuk kota
disebut walikota.
(3) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh satu
orang wakil kepala daerah.
(4) Wakil kepala daerah sebagaiman dimaksud pada ayat (3) untuk
provinsi disebut wakil Gubernur untuk kabupaten disebut wakil bupati
dan untuk kota disebut wakil walikota.
(5) Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat di daerah yang bersangkutan.
Ketentuan tersebut memberikan pengaturan bahwa Kepala daerah yang
berupa Gubernur dan Bupati/walikota adalah organ pemerintahan daerah.
Mengenai DPRD telah diatur lebih lanjut dalam Pasal 40 UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa DPRD merupakan
lembaga
perwakilan
rakyat
daerah
dan
berkedudukan
sebagai
unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
Sebagaimana yang ditegaskan didalam Pasal 1 (7) UU No. 10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan perundang-udangan yang selanjutnya telah
diganti dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-
108
undangan, bahwa peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama
kepala daerah, selanjutnya didalam Pasal 1 (10) UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, juga mengaskan bahwa peraturan daerah selanjutnya
disebut perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah
kabupaten/kota. Selanjutnya lebih jauh lagi dalam hal penetapan perda diatur
dalam Pasal 136 (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
menegaskan bahwa perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat
persetujuan bersama DPRD.
Dengan
demikian
jelaslah
bahwa
secara
organisatoris
organ
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menyangkut pembuatan perda juga
termasuk perda APBD adalah kepala daerah dan DPRD. Kepala Daerah Provinsi
disebut Gubernur dan Kepala Daerah kabupaten dinamakan Bupati serta Kepala
Daerah Kota diistilahkan dengan sebutan Walikota. Kepala daerah dalam
menjalankan pemerintahan daerah dibantu secara kelembagaan oleh perangkat
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah merupakan
elemen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah pada kerangka
otonomi daerah. Dinamika hubungan kelembagaan di antara institusi politik dan
administratif DPRD dan Kepala Daerah sangat cepat dan penuh tarik ulur,
khususnya di bidang keuangan daerah. Secara politik telah terjadi pergeseran
kekuasaan pembentukan peraturan daerah dari Kepala daerah kepada DPRD.
Namun demikian DPRD selalu mengalami perkembangan yang sangat drastic
109
secara politik selalu bersentuhan dengan kelemahan administrative pemerintahan
yang menempatkan DPRD seolah-olah berada di bawah Departemen Dalam
Negeri.
Kepala Daerah dan DPRD (Provinsi) tersebut dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di bidang otonomi daeeah. Pembuatan kebijakan di bidang keuangan
daerah yang dirumuskan dalam peraturan daerah tentang APBD menjadi salah
satu fungsi pemerintahan yang harus dijalankan oleh organ pemerintahan daerah
termaksud yang terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD (Provinsi/Kabupaten/Kota)
dengan sejarahnya masing-masing.
Di
dalam
pelaksanaan
otonomi
daerah
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan daerah, dengan produk hukum dari pemerintah daerah, maka yang
menjadi tolak ukur pemerintahan daerah dalam menyusun Peraturan Daerah
tentang APBD harus mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, dengan
adanya peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem
NKRI secara efisien dan efektif.
Selanjutnya organ atau unsur yang berwenang atas pembatalan suatu
peraturan daerah tersebut diatur pula didalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah pada Pasal 145 adalah sebagai berikut:
110
(1) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari
setelah ditetapkan.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
(3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh)
hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan
pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah
mencabut Perda dimaksud.
(5) Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan
pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan
yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala
daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
(6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan
sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut
menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai
kekuatan hukum.
(7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk
membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda
dimaksud dinyatakan berlaku.
Namun berbeda dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (PP No. 58 Tahun 2005) pada
Pasal 47 (6), yang menyebutkan bahwa:
“Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan DPRD, dan
gubernur tetap menetapkan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan
rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD menjadi peraturan
daerah dan peraturan gubernur. Menteri Dalam Negeri membatalkan
peraturan daerah dan peraturan gubernur dimaksud sekaligus menyatakan
berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.”
Tetapi sebelum mengkaji lebih jauh isi pasal dari PP No. 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, maka sebelumnya dapat melihat aturan
111
sebelumnya yang menyebutkan bahwa evaluasi peraturan daerah dilakukan oleh
Menteri Dalam Negeri. Sebagaimana yang diatur dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah bahwa perihal pengawasan yang dilaksanakan oleh
pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya
terahadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Dalam hal pengawasan
terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, pemerintah
melakukan dua cara sebagai berikut74:
1. Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (raperda) yaitu
terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah,
retribusi daerah, APBD dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala
daerah terlebih dahulu di evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk
raperda provinsi dan oleh gubernur terhadap raperda kabupaten/kota.
Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal tersebut dapat
mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.
2. Pengawasan terhadap semua peraturan daerah yang tersebut di atas,
yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri
Dalam Negeri untuk provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/kota
untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap peraturan daerah yang
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih
tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku
Terkait dengan hal tersebut di atas, maka lebih dulu kajiannya dimulai
dengan sistem pemerintahan yang di anut di negara Indonesia, pemahaman
mengenai sistem pemerintahan di negara Indonjesia memberikan perluasan
pengertian terhadap suatu peraturan daerah yang dibatalkan melalui keputusan
menteri dalam negeri, dengan melihat kedudukan menteri-menteri dalam
penyelenggaraan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Sistem
74
HAW. Widjaja, 2005, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, Jakarta, PT
RajaGrafindo Persada, hal. 147-148.
112
pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad penyelenggaraan
pemerintahan eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif.
Sistem pemerintahan yang dikenal didunia secara garis besar dapat
dibedakan dalam tiga macam, yaitu sistem pemerintahan presidensil (presidential
system), sitem pemerintahan parlementer (parliamentary system) dan
sistem
campuran (mixed system atau hybrid system). Dalam sistem pemerintahan
presidensil juga terdapat beberapa prinsip pokok yang bersifat universal, yaitu75:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang
kekuasaan eksekutif dan legislatif;
Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif
presiden tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil
presiden saja;
Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau
sebaliknya, kepala negara adalah sekaligusnmerupakan kepala
pemerintahan;
Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau
sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya;
Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan
demikian pula sebaliknya;
Presiden tidak dapat membubarkan ataupun memaksa
parlemen;
Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi
parlemen, maka dalam sistem presidensil berlaku prinsip
supremasi konstitusi. Karena itu, pemerintahan eksekutif
bertanggung jawab kepada Konstitusi;
Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang
berdaulat;
Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem
parlementer yang terpusat pada parlemen.
Kesembilan prinsip sistem presidensil yang diuraikan tersebut di atas, juga
berlaku dalam sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia. Karena itu, sistem
75
Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca reformasi,
PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta Barat, hal. 316
113
pemerintahan yang dianut dalam UUD 1945 dapat dikatakan merupakan sistem
presidensil. Bahkan, apabila dibandingkan dengan sistem presidensil yang telah
dianut oleh UUD 1945 sejak sebelum diadakan perubahan, maka sistem
pemerintahan presidensil yang sekarang dapat dikatakan sebagai sistem
pemerintahan presidensil yang lebih murni sifatnya. Presiden Republik Indonesia
adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dengan tugas dan
wewenangnya masing-masing menurut Undang-Undang Dasar.
Kajian mengenai sistem pemerintahan juga dapat terlihat jika bermula
pada asas Negara Hukum sebagaimana yang dianut di negara Indonesia dengan
berdasar pada Undang-Undang Dasar 1945, untuk melihat perwujudan dari asas
Negara Hukum itu sendiri maka menurut Sri Soemantri bahwa76 unsur-unsur
terpenting negara hukum ada empat, yaitu:
1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
3. Adanya pembagian kekuasaab dalam negara;
4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke
controle).
Selanjutnya dipaparkan lebih jelas oleh Sri Soemantri77 mengenai hal tersebut di
atas dengan penjelasan sebagai berikut:
Ad.1. Seperti ditentukan dalam UUD 1945, dalam mencapai tujuan negara
yang dirumuskan dalam paragrap 4 Pembukaan UUD 1945, telah dibentuk
alat-alat perlengkapan negara, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Pertimbangan Agung,
76
Sri Soemantri, 1992 , Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, cetakan pertama,
Penerbit Alumni, Bandung, hal. 29
77
Ibid, hal 30-32
114
Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sesuai dengan
kedudukannya MPR diberi tugas dan wewenang yang sangat penting, di
antaranya menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar
Haluan Negara. Walaupun MPR merupakan alat perlengkapan negara
yang penting, karena badan itulah yang menetapkan garis-garis besar
kebijaksanaan umum dalam negara, akan tetapi yang mempunyai peranan
penting dalam pemerintahan adalah Presiden. Dalam menjalankan tugastugasnya Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden dan menterimenteri negara. Oleh karena itu Penjelasan Umum UUD 1945 antara lain
mengatakan:
a. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di
bawah majelis;
b. Kekuasaan Kepala Negara (Presiden) tidak tak terbatas.
Walaupun kekuasaan presiden itu sangat besr (sebagai kepala
negara, sebagai pemerintah dan sebagai mandataris MPR) akan tetapi
dalam menjalankan tugas dan kewajibannya harus selalu berpijak pada
Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan yang lain.
Dengan perkataan lain, presiden menjalankan tugas dan kewajibannya
sesuai dengan yang ditentukan dalam peraturan. Hal ini berlaku juga
terhadap para pembantu presiden, seperti antara lain aparat administrasi.
Ad. 2. Seperti diketahui, dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya
jaminan terhadap hak-hak asasi warga negara. Hal ini kita temukan juga
dalam Undang-Undang dasar 1945. Dengan dicantumkannya hak-hak
asasi manusia/ warga negara dalam undang-undang dasar mengandung
arti bahwa pihak penguasa harus menghormati warga negaranya dan
penduduk negara.
Ad.3. Sejak munculnya teori Trias Politica, sekarang ini tidak ada lagi
negara yang memusatkan kekuasaannya pada satu tangan atau satu badan.
Ini berarti bahwa kekuasaan dalam negara harus dibagi-bagikan kepada
masing-masing alat perlengkapan negara atau kepada masing-masing
aparat administrasi. Dengan perkataan lain, dalam negara harus ada
pembagian kekuasaan (machtsverdeling).
Ad.4. Telah dikemukakan bahwa pemerintah atau pemegang kekuasaan
eksekutif mempunyai wewenang yang tidak kecil. Hal ini dapat
dimengerti, Karena setelah beralihnya negara hukum dalam arti formal
menjadi negara kesejahteraan, pemerintah mempunyai wewenang dan
peranan yang sangat besar dalam mensejahterakan rakyatnya. Oleh karena
itu ada kemungkinan pemerintah menyalahgunakan wewenang atau
melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak berdasarkan hukum. Untuk
keperluan ini harus ada hakim yang tidak memihak, yang dapat mengadili
115
tindakan-tindakan pemerintah atau aparat-aparatnya. Di Indonesia hal itu
ditempuh melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
Kemudian tentang pengertian pemerintahan konstitusional, dapat dikutip
dari pendapat K.C. Wheare78, yang menegaskan bahwa “Constitutional
government according to the terms of constitution. It means government
according to rule as apposed to arbitrary government; it means government
limited by the terms of a constitution, not government limited only by desires and
capacities of those who exercise power”
Istilah pemerintah berasal dari kata dasar “perintah” yang berarti
menyuruh melakukan sesuatu, dari kata tersebut dapat disebut bahwa
“pemerintah” adalah kekuasaan memerintah suatu negara seperti kepala
pemerintahan dan kabinet merupakan suatu pemerintah79
Pengertian pemerintah memiliki dua macam pengertian, pertama dalam
arti luas, yang meliputi cabang kekuasaan dalam negara, yang terbentuk dalam
alat-alat perlengkapan negara (lembaga-lembaga) dan kedua, dalam arti sempit,
yang hanya mengenai satu cabang kekuasaan saja. Kalau seperti di Indonesia,
cabang-cabang kekuasaan dalam negara itu terdiri atas Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan
Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA).
Maka pemerintah dalam arti luas meliputi keenam alat-alat perlengkapan negara
78
Wheare, K.C, Modern Constitutions, Oxford University Press, New York, London, P.
79
Sudono Ayueb, 2008, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah, Laksbang Meditama,
137
hal. 19.
116
(lembaga negara) itu. Kalau demikian, pemerintah dalam arti sempit, dengan
merujuk pada Pasal 4 jo Pasal 17 UUD 1945, hanya terdiri dari Presiden yang
dalam menjalankan tugas kewajibannya dibantu oleh seorang Wakil Presiden dan
Menteri-Menteri Negara.
Sistem pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 yang
disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, juga menganut sistem
campuran. Pada pokoknya, sistem yang dianut adalah sistem presidensil, tetapi
Presiden ditentukan tunduk dan bertanggung jawab kepada lembaga MPR yang
terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan-utusan
golongan fungsional80
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia di masa lalu, praktik mengenai
sistem pemerintahan presidensil yang bersifat campuran ini juga dilaksanakan
secara tidak
konsisten. Mislnya, dalam waktu tidak sampai tiga bulan sejak
disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang menganut sistem presidensil itu
sudah dilaksanakan menyimpang, yaitu dengan dibentuknya Kabinet Parlementer
Pertama dibawah Perdana Menteri Sutan Syahrir pada tanggal 14 November
194581. Padahal, UUD 1945 yang baru disahkan jelas tidak menganut sistem
pemerintahan parlementer ini terus menerus dipraktikkan sampai periode
berlakunya UUD RIS Tahun 1949 dan UUDS Tahun 1950. Bahkan, setelah Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang kembali memberlakukan UUD 1945 sebagai konstitusi
80
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen yang berbunyi, “MPR
terdiri atas angota-anggota DPR, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.”
81
Penjelasan UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam lampiran Dekrit Presiden 5 Juli
1959.
117
Republik Indonesia, sistem pemerintahan yang dipraktikkan juga adalah sistem
cabinet parlementer.
Dapat dikatakan bahwa UUD 1945 itu baru dipakai sebagai referensi
ketatanegaraan dalam praktik yang nyata pada masa orde baru. Jargon yang biasa
dipakai oleh pemerintah orde baru adalah “pelaksaan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen”. Dengan jargon tersebut akhirnya presiden pun berkembang menjadi
diktator yang tidak pernah berganti selama 32 tahun.
Di masa orde baru, sistem pemerintahan presidensil yang diatur dalam
UUD 1945 juga diterapkan penuh dengan memusatkan tanggung jawab kekuasaan
pemerintahan negara di tangan presiden, dengan kuatnya kedudukan presiden,
maka meskipun MPR diakui sebaga lembaga tertinggi negara, tempat presiden
diharuskan tunduk dan bertanggung jawab, tetapi dalam kenyataan praktik,
kedudukannya
justru
tergantung
kepada
presiden.
Adanya
unsure
pertanggungjawaban presiden kepada MPR itu justru memperlihatkan cirri
parlementer dalam sistem pemerintahan presidensil yang dianut oleh UUD 1945.
Karena itulah, secara normatif sebenarnya, sistem yang dianut oleh UUD 1945 itu
bukanlah murni sistem presidensil, tetapib hanya quasi presidensil.
Sifat quasi atau sistem presidensil yang tidak murni itulah yang diubah
ketika UUD 1945 diubah pada tahun 1999 sampai tahun 2002. Yaitu dengan
mengubah kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara,
melainkan lembaga negara yang sederajat dengan presiden. Di samping itu,
ditentukan pula bahwa presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat
118
melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Karena itu, dapat dikatakan
bahwa dalam perubahan pertama sampai perubahan keempat UUD 1945,
tergambar adanya semangat untuk mengadakan purifikasi atau pemurnian sistem
pemerintahan presidensil Indonesia dari sistem sebelumnya yang dianggap tidak
murni presidensil.
Jika sistem pemerintahan yang dianut dalam republik itu adalah sistem
presidensil, maka seperti uraian terdahulu, presiden berfungsi sebagai kepala
negara (head of statet) sekaligus sebagai kepala pemerintahan (head of
government). Presiden Republik Indonesia menurut Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
negara menurut undang-undang dasar. Inilah yang disebut sebagai prinsip
“constitutional government”, rumusan ini adalah rumusan asli BPUPKI yang
tidak mengalami perubahan.
Dengan demikian, prinsip constitutional government sebagai salah satu
cirri penting negara hukum, telah dirumuskan oleh the founding fathers sejak
sebelum kemerdekaan. Selanjutnya dalam ayat (2), “Dalam melakukan
kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”. Dari ayat (2)
tersebut diketahui bahwa pertama wakil preside nada satu orang, yang artinya,
wakil presiden itu tidak boleh lebih dari satu orang. Kedua, wakil presiden itu
sendiri mempunyai kedudukan sebagai pembantu presiden dalam melakukan
kewajibannya menurut UUD 1945. Lebih lanjut lagi dalam penyelenggaraan
pemerintahan termasuk pula menteri, sebagaimana yang diatur dalam bab V
tentang Kementerian Negara, yaitu pada Pasal 17 adalah:
119
(1)
(2)
(3)
(4)
Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara
diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan pasal tersebut maka dapat dimaksudkan bahwa para menteri
negara tunduk dan bertanggung jawab kepada presiden sebagai satu kesatuan
institusi. Prinsip yang bersifat umum adalah administrasi pemerintahn pusat pada
umumnya ditempatkan di bawah kewenangan menteri atau diorganisasikan
sebagai kementerian atau departemen. Meneteri dan kementerian negara
dibedakan. Menteri adalah jabatan politik, sedangkan kementerian negara diisi
oleh pegawai negeri sipil dengan jabatan-jabatan yang diisi melalui pengangkatan
dan pemberhentian secara administratif.
Dalam penjelasan UUD 1945 yang sekarang hanya berlaku sebagai
dokumen historis, tercantum uraian bahwa jabatan menteri itu merupakan jabatan
yang sangat penting. Menteri adalah pejabat tinggi yang secara nyata bertindk
sebagai pemimpin pemerintahan sehari-hari dalam bidangnya masing-masing.
Karena itu, tidak semua orang dapat bekerja sebagai menteri jika tidak
melengkapi diri dengan sifat-sifat kepemimpinan dan kemampuan-kemampuan
yang dibutuhkan untuk itu.
Jabatan menteri dalam sistem pemerintahan presidensil juga harus
dipahami berbeda dari jabatan menteri dalam sistem pemerintahan parlementer
yang murni bersifat politik. Dalam sistem pemerintahan presidensil, yang murni
120
bersifat politik adalah presiden dan wakil presiden, sedangkan jabatan menterinya
di samping bersifat politik juga bersifay teknis. Oleh karena itu, menteri dalam
sistem presidensil membutuhkan kualifikasi teknis. Apalagi, menteri yang akan
diserahi tugas tugas memimpin suatu departemen pemerintahan republic dengan
penduduk besar dan komleksitas persoalan pembangunan yang demikian rumit
seperti Indonesia, tentulah diperlukan kualifikasi politis dan teknis yang benarbenar memenuhi syarat kapabilitas (kualifikasi teknis) dan syarat akseptabilitas
(kualifikasi politik) yang sangat tinggi.
Tentang istilah menteri negara, terdapat kebiasaan untuk mengartikan
seolah menteri negara itu adalah menteri yang tidak memimpin departemen.
Umpamanya, Menteri Negara Urusan badan Usaha Milik Negara disebut dengan
singkatan Meneg BUMN, sedangkan menteri yang dipimpin departemen, seperti
Menteri Perhubungan disingkat dengan istilah Menhub, Menteri Pendidikan
Nasional dengan istilah Mendiknas dan sebagainya. Namun, dalam rumusan
ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan bahkan dalam judul bab V UUD 1945 jelas
dipakai istilah menteri negara dan kementerian negara untuk pengertian yang
bersifat umum dan berlaku untuk semua menteri. Hanya saja ada yang memimpin
departemen atau biasa diistilahkan dengan menteri dengan portofolio, dan ada
menteri yang tanpa portofolio.
Pembedaan keduanya sangat penting karena berkaitan dengan jangkauan
luas dan wewenangnya sebagai pejabat publik pembantu presiden. Menteri
dengan portofolio departemen memiliki aparatur pemerintahan pendukung yang
menjangkau sampai ke lapisan pemerintahan di daerah melalui aparatur
121
dekonsentrasi di tingkat provinsi dan/atau bahkan sampai ke tingkat
kabupaten/kota. Sedangkan menteri tanpa portofolio departemen tidak memiliki
jaringan aparatur sampai ke daerah-daerah. Menteri yang tergolong tidak memiliki
aparatur di daerah-daerah ini umpamanya adalah Menteri Sekretaris Negara,
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Menteri Riset dan Teknologi,
dan lain sebagainya. Sedangkan menteri-menteri yang memimpin departemen,
umpamanya adalah Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Agama, Menteri
Perindustrian, Menteri Kesehatan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan
lain sebagainya.
Di samping itu, dalam praktik, dikenal pula adanya Menteri Koordinator
dan Menteri Muda. Jabatan menteri muda pernah diadakan baik di zaman era
pemerintahan presiden Soekarno maupu di zaman pemerintahan Presiden
Soeharto. Pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid juga pernah
diadakan Kementerian Negara urusan Otonomi Daerah yang pada hakikatnya juga
merupakan bentuk lain dari Menteri Muda seperti di zaman sebelumnya, yaitu
menteri yang terkait erat tugasnya dan membutuhkan koordinasi dengan Menteri
Dalam Negeri. Akan tetapi, istilah yang dipakai pada waktu itu adalah menteri
negara yang seolah mandiri dan terlepas sama sekali dari tugas Menteri dalam
negeri. Sementara itu, jabatan menteri koordinator dari dulu sampai sekarang
selalu diadakan.
Jabatan menteri koordinator ini sesuai dengan kebutuhan
biasanya dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu menteri koordinator bidang
politik, hukum, dan keamanan, menteri koordinator bidang ekonomi dan
keuangan, dan menteri koordinator bidang kesejahteraan rakyat.
122
Setelah perubahan UUD 1945, istilah kementerian negara dan menteri
negara merujuk kepada pengertian yang bersifat umum, yaitu bahwa semua
menteri adalah termasuk ke dalam pengertian menteri negara menurut UUD 1945.
Dalam praktik, kita mengenal adanya tiga macam menteri negara, yaitu (i) menteri
koordinator; (ii) menteri pemimpin departemen; dan (iii) menteri tanpa portofolio.
Ketiga macam menteri ini dapat ditambah dengan yang keempat (iv) yaitu menteri
muda yang pernah ada di masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden
Soeharto. Dari keempat macam menteri itu, yang memiliki daya jangkau birokrasi
sampai ke daerah-daerah adalah menteri dengan portofolio departemen,
sedangkan yang lain tidak.
Menurut beberapa sarjana, seperti misalnya Awaludin Jamin
82
. Menteri
tanpa portofolio tidak dapat mengatur public, melainkan hanya menjalankan
tugas-tugas eksekutif murni, yaitu membantu presiden dalam melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undngan yanga ada. Artinya, menteri tanpa
portofolio itu karena tidak memilki aparatur birokrasi yang dapat mendukung
pelaksanaan tugas untuk mengimplementasikan pengaturan yang dibuatnya, maka
menteri tersebut tidak boleh diberi kewenangan (regeling).
Selain kewenangan-kewenangan yang melekat dalam sifat kekuasaan
eksekutif, pemerintahan negara memiliki kewenangan-kewenangan konstitusional
yang terkait dengan fungsi legislative atau regulative dan bahkan fungsi yudikatif
(yudisial). Dalam praktik, ke dalam kekuasaan pemerintahan negara yang
82
Awaludin Jamin dalam Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara
Indonesia, PT Bhuana Ilmu Polupler Kelompok Gramedia, Jakarta, hal. 371.
123
dipegang oleh kepala negara dan/atau kepala pemerintahan selalu ditambahkan
adanya kekuasaan untuk mengatur, baik karena delegasi kewenangan yang
mengalir dari kewenangan lembaga legislatif berdasarkan undang-undang ataupun
karena dimungkinkn secara langsung oleh undang-undang dasar. Dalam hal ini,
presiden Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undamg Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) jo Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian
diganti dengan UU No. 12 Tahun 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan
Perundang-undangan memiliki kewenangan untuk (i) mengesahkan rancangan
undang-undang (RUU) menjadi undang-undang (UU), (ii) menetapkan Peraturan
Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undangn (Perpu), (iii) Peraturan
Pemerintah, dan (iv) Peraturan Presiden.
Kewenangan presiden untuk mengesahkan rancangan undang-undang
menjadi undang-undang adalah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUD
1945 yang menentukan, bahwa, “Presiden mengesahkan rancangan undangundang
yang telah
disetujui
bersama
untuk
menjadi
undang-undang”.
Kewenangan presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undangundang (Perpu) didasarkan atas ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang
menentukan bahwa, “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”
Kewenangan presiden untuk menetapkan peraturan Pemerintah di dasarkan atas
ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan, “Presiden menetapkan
peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.”
124
Sedangkan Peraturan Presiden didasarkan atas ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf d
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang kemudian telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan..
Di samping itu, semua pejabat pelaksana undang-undang sepanjang tegas
diberi kewenangan untuk mengatur atau kewenangan regulatif/ legislatif oleh
undang-undang (delegation of rule-making power by statute) , dapat pula
mengeluarkan produk-produk peraturan tersendiri yang bersifat spesifik, khusus,
ataupun yang hanya berlaku secara internal. Syaratnya adalah bahwa kewenangan
semacam itu harus dengan tegas dinyatakan dalam undang-undang yang
bersangkutan kepada pejabat atau lembaga negara yang bersangkutan. Inilah yang
biasa dinamakan dengan “delegation of rule making power”.
Terkadang, kewenangan yang diperoleh dari pendelegasian tersebut
(delegated power for legislation or rule making) memberikan lagi kewenangan
untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang didelegasikan itu kepada instansi atau
pejabat yang diberi delegasi. Misalnya undang-undang memberi delegasi
kewenangan pengaturan presiden. Atas dasar itu, presiden menetapkan suatu
Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah. Akan tetapi, Peraturan Pemerintah
atau Peraturan Presiden tersebut memberikan lagi delegasi kewenangan
pengaturan atau kewenangan regulasi kepada Menteri yang diberi delegasi
kewenangan. Proses pemberian kewenagan tingkat kedua ini biasa disebut juga
125
dengan “sub delegasi” atau “sub-delegation of rule making power”83 berdasarkan
kewenangan sub delegasi itulah, maka dikenal pula adanya bentuk-bentuk
peraturan, seperti peraturan menteri dan sebagainya yang juga bersifat mengatur
dan mengikat juga untuk umum.
Oleh karena itu, sebagaimana uraian di atas maka tentunya yang diteliti
apakah dalam hal pembatalan peraturan daerah yang dibatalkan oleh Menteri
Dalam Negeri melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut telah sesuai
dengan adanya pendelegasian wewenang dari Presiden selaku pemegang
wewenang atribusi, namun kenyataannya setelah penulis melakukan penelitian
secara normatif dari aturan kewenangan yang timbul, menunjukkan tidak adanya
dasar kewenangan bagi menteri Dalam Negeri untuk dapat membatalkan suatu
peraturan daerah, walaupun didalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menyebutkan kewenangan dari Menteri, namun
terbatas hanya dalam hal evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah untuk
rancangan peraturan daerah provinsi dan evaluasi oleh Gubernur untuk rancangan
peraturan daerah kabupaten/kota, yang difokuskan terhadap rancangan peraturan
daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR.
Selanjutnya hal tersebut dilakukan untuk memperoleh klarifikasi. Hal tersebut
adalah merupakan bentuk kontrol pemerintah pusat kepada daerah.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dilihat bahwa mekanisme
pembatalannya mesti berdasar pada peraturan yang mengaturnya dalam hal ini
83
341.
Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, hal.
126
adalah yang diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Oleh karena itu terjadi konflik
antara UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerinrahan daerah dengan PP No. 58
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dengan berdasar pada asas
lex superiori derogate legi inferiori karena yang satu diperintahkan oleh UndangUndang dan yang lainnya diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah, dengan
melihat hierarki peraturan perundang-undangan maka UU No. 32 Tahun 2004
lebih tinggi kedudukannya, oleh sebab itu tetap merunut kepada UU tersebut.
Dalam hal ini mekanisme pembatalan dilakukan melalui peraturan Presiden. Oleh
karena itu maka dapat terjawab pokok permasalahan yang kedua, bahwa suatu
perda yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri adalah tidak sah.
127
BAB IV
AKIBAT HUKUM TERHADAP PERATURAN DAERAH
TENTANG APBD YANG DIBATALKAN MELALUI KEPUTUSAN
MENTERI DALAM NEGERI
4.1.
Pengujian Peraturan Daerah
4.1.1. Perspektif Bentuk, Proses Pembentukan, dan Pihak Yang Memiliki
Kewenangan Pembentukan
Pada bagian terdahulu telah dilakukan analisis sebagai upaya identifikasi
kedudukan hukum Peraturan Daerah, dari analisis tersebut, ditemukan suatu tata
urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang dikaitkan dengan
kewenangan lembaga yang memegang kekuasaan untuk menguji suatu produk
Peraturan Perundang-undangan. Hasil uraian pada bab sebelumnya dengan
mengkaji sistem pemerintahan di Indonesia, sehingga terlihat beberapa
kekuasaan baik eksekutif, legislatif maupun yudisial, yang selanjutnya secara
otomatis melihat sumber-sumber kewenangan yang dimiliki, untuk mengkaji
pokok permasalahan yang kedua dalam penelitian ini secara normatif dengan
tetap berdasar pada peraturan perundang-undangan serta asas-asas dalam ilmu
hukum itu sendiri.
Selanjutnya untuk mengkaji lebih jauh mengenai akibat hukum dari
peraturan daerah tentang APBD
yang telah dibatalkan melalui Keputusan
Menteri Dalam Negeri, secara terkait akan berawal dari lembaga yang memiliki
kewenangan untuk menguji suatu produk peraturan perundang-undangan dalam
128
hal ini adalah peraturan daerah. Yang dimaksud dengan lembaga yang memiliki
kewenangan
menguji suatu produk peraturan perundang-undangan adalah
berbagai lembaga yang disebut secara tegas dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Dari ketiga lembaga ini, apabila dikaitkan dengan kewenangan untuk
menguji suatu produk peraturan perundang-undangan itu sendiri, akan
menghasilkan suatu garis besar urutan berbagai Peraturan Perundang-undangan
dalam hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
Adapun hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan dimaksud
adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang;
3. Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang, yang terdiri
dari :
a. Peraturan Pemerintah;
b. Peraturan Presiden;
c. Peraturan Daerah.
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945
merupakan produk Peraturan Perundang-undangan yang menempati kedudukan
hukum tertinggi dalam hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia. Lembaga yang berwenang untuk mengubah dan menetapkan Undang-
129
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah Majelis
Permusyawaratan Rakyat, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 ayat (1) yang menegaskan bahwa “Majelis
Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang
Dasar.
Undang-Undang merupakan produk Peraturan Perundang-undangan yang
menempati kedudukan hukum kedua dalam hierarki atau tata urutan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia, setelah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk
menguji undang-undang adalah Mahkamah Konstitusi, berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 C ayat (1), yang
menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undng
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa wewenang lembaga negara
yang
kewenangannya
diberikan
oleh
Undang-Undang
Dasar,
memutus
pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum”.
Tempat ketiga kedudukan hukum dalam hierarki atau tata urutan Peraturan
Perundang-undangan di Indonsia ditempati oleh berbagai Peraturan Perundangundangan di bawah Undang-Undang adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan Peraturan Daerah. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk
menguji berbagai produk Peraturan Perundang-undangan di bawah UndangUndang ini adalah Mahkamah Agung,berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
130
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 A ayat (1) yang menegaskan bahwa
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji Peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”.
Penegasan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 A ayat (1) dan Pasal 24 C tersebut di atas dengan
jelas telah menyebutkan beberapa produk Peraturan Perundang-undangan beserta
lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji, maka hanya 3 (tiga) tingkat
kedudukan hukum
Peraturan Perundang-undangan
yang dimiliki secara
konstitusional, yaitu sebagai berikut:
1. Tingkat kedudukan hukum bagi produk Peraturan Perundang-undangan yang
berbentuk Undang-Undang Dasar;
2. Tingkat kedudukan hukum bagi produk Peraturan Perundang-Undangan yang
berbentuk Undang-Undang;
3. Tingkat kedudukan hukum bagi berbagai bentuk produk Peraturan Perundangundangan di bawah Undang-Undang;
Dari 3 (tiga) tingkat kedudukan hukum tersebut di atas, perlu dilakukan
identifikasi tempat yang tepat bagi masing-masing produk Peraturan Perundangundangan. Analisis ini perlu dilakukan untuk mengetahui peringkat dari ketiga
jenis produk Peraturan Perundang-undangan yang dikaitkan dengan kewenangan
suatu lembaga untuk menguji produk Peraturan Perundang-undangan dimaksud.
Analisis untuk mengetahui tempat masing-masing Produk Peraturan Perundang-
131
undangan dilakukan secara konstitusional dengan cara melakukan analisis
tingkatan suatu produk Peraturan Perundang-undangan melalui penegasanpenegasan yang ada dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Analisis terkait dengan kewenangan untuk menguji ini
menghasilkan tingkatan-tingkatan sebagai berikut:
1. Tingkatan pertama kedudukan hukum atau tingkatan tertinggi diduduki oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini
disebabkan karena selain secara umum suatu Undang-Undang Dasar
merupakan suatu dokumen hukum yang tertinggi di mana semua tatanan
hukum bersandar kepadanya, serta berisi berbagai pengakuan keyakinan dan
ideologi bangsa dan negara, sebagaimana diungkapkan oleh Wheare84, yang
menegaskan bahwa “ Constitutions as primarily and almost exclusively a legal
document in which, therefore, there is a place for rules of law but for
practically manifesto, a confession of faith, a statement of ideals, a charter of
the land”.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 1
ayat (2) telah menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Kedaulatan pada hakekatnya
merupakan suatu kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara dan untuk
melaksanakan ternyata disandarkan pada suatu Undang-Undang Dasar, bukan
pada Undang-Undang atau bahkan pada setiap atau suatu Produk Peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Hal ini menunjukkan bahwa
84
Wheare, KC, 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press, Oxford, hal. 32
132
pada hakekatnya undang-undang dasar menempati kedudukan yang tertinggi
dalam hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
Terkait dengan hal ini, dalam tanggapannya terhadap Rancangan
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Indriati85 menegaskan bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan Konstitusi Negara Republik Indonesia.
Konstitusi bukan merupakan suatu Peraturan Perundang-undangan, tetapi
dialah sumber dan pedoman bagi pembentukan Peraturan Perundangundangan”.
Di
sisi
lain,
Asshiddiqie
dan
Safa’at86
menegaskan
bahwa
“Dipreuposisikan sebagai norma dasar, konstitusi adalah level paling tinggi
dalam hukum nasional. Konstitusi dalam arti formal adalah suatu dokumen
nyata sebagai seperangkat norma hukum yang mungkin diubah hanya menurut
ketentuan khusus yang dimaksudkan agar perubahan norma sulit dilakukan”.
Dari pernyataan tersebut akan dapat dipahami, bahwa apabila terdapat
Undang-Undang yang ternyata bertentangan dengan konstitusi, maka UndangUndang itu akan dikalahkan atau dikesampingkan atau dengan kata lain batal
demi hukum. Di sisi lain Syueb
85
87
menegaskan bahwa sebagai hukum dasar,
Maria F. Indrati, 2004, Tanggapan Maria F. Indrati terhadap Rancangan UndangUndang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-udangan, Pusat Studi Ilmu
Hukum dan Kebijakan Indonesia, Angka 6, www.parlemen.net Available at:
http://www.parlemen.net/site/idetails.php?guid=2adc2735b3b3db3ib7,1/10/2011
86
Jimmly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans kelsen Tentang Hukum,
Penerbit Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal. 11
87
Sudono Syueb, 2008, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah: Sejak Kemerdekaan
Sampai Era Reformasi, Cetakan Pertama, Laksbang Meditama, Surabaya, hal. 24
133
maka Undang-Undang Dasar perlu diberi sifat luhur dan kekal, sifat yang
luhur dari Undang-Undang Dasar berarti bahwa Undang-Undang Dasar diberi
sifat sebagai bentuk peraturan tertinggi kalau dibandingkan dengan bentuk
peraturan dan ketetapan lainnya.
Terkait dengan hal ini, penegasan tentang kedudukan hukum UndangUndang Dasar Negara Republik Injdonesia Tahun 1945 juga terdapat dalam
Undang-Undang
Republik
Indonesia
No.
10
Tahun
2004
tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian telah diganti
dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, pada Pasal 3 ayat (1) yang menegaskan bahwa “Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam
Peraturan Perundang-undangan”. Dengan demikian, kedudukan hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
produk Peraturan Perundang-undangan yang menempati tempat tertinggi
dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan semakin dipertegas lagi.
Bukti selanjutnya yang mengukuhkan eksistensi Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai Produk Peraturan
Perundang-undangan yang menempati tingkat pertama dari hierarki atau tata
urutan Perundang-undangan adalah adanya penegasan dalam Pasal 24 c ayat
(1), yang menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa wewenang lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
134
pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
Kata-kata yang perlu digaris bawahi adalah “Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar” dimana dalam hal ini kata-kata tersebut memberikan
bahwa Undang-Undang diuji atau diperhadapkan dengan sesuatu yang lebih
tinggi tingkatannya, dan itu adalah Undang-Undang dasar, Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa arti dari kata-kata “Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar” menimbulkan arti bahwa memiliki kedudukan hukum yang
lebih rendah dari pada Undang-Undang Dasar, dan demikian pula sebaliknya,
suatu Undang-Undang Dasar memiliki kedudukan yang lebih tinggi
dibandingkan Undang-Undang.
Undang-Undang Dasar menjadi suatu tolok ukur dalam menguji suatu
Undang-Undang.
Hal
ini
berarti
menimbulkan
suatu
konsekuensi
konstitusional yang mengharuskan suatu Undang-Undang tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Ketentuan tentang dijadikannya
Undang-Undang Dasar sebagai tolok ukur sehingga Undang-Undang tidak
boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dipertegas lagi dalam
Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dalam
pasal-pasal berikut:
a. Pasal 57 ayat (1) menegaskan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi yang
amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal dan atau
bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal
dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat”.
135
b. Pasal 57 ayat (2) menegaskan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi yang
amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang
dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat”.
Penjabaran pada pasal-pasal tersebut di atas akan semakin memperkuat
kedudukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai tolok ukur atau acuan bagi pembentukan Undang-Undang, dengan
kata lain telah menempatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia
Tahun
1945
baik
sebagian,
seluruhnya,
ataupun
proses
pembentukannya, tidak akan memiliki kekuatan hukum yang mengikat lagi.
2. Tingkatan kedua kedudukan hukum dalam tata urutan Peraturan Perundangundangan setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 di duduki oleh Undang-Undang. Hal ini juga didasarkan pada penegasan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 c
ayat (1), yang menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi” berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa wewenang lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum”
136
Sekali lagi, kata-kata “Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar” telah menimbulkan pemahaman bahwa suatu Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai produk Peraturan Perundangundangan yang memiliki kedudukan hukum tertinggi dalam tata urutan
Peraturan Perundang-undangan. Analisis terhadap pasal-pasal dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menunjukkan
bahwa selain Undang-Undang tidak ada lagi produk Peraturan Perundangundangan yang harus diperhadapkan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini menunjukkan bahwa secara
konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, undang-undang menempati tingkatan kedua setelah UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam tata urutan
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
Eksistensi Undang-Undang yang menempati tingkatan kedua dalam
tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia pada hakekatnya
merupakan
suatu
implikasi
dari
lembaga
yang
berwenang
untuk
membentuknya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 20 ayat (1)
memiliki
kekuasaan
membentuk
Undang-Undang.
Eksistensi
Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif yang pada hakekatnya memiliki
kekuasaan membentuk Undang-Undang inilah, yang kemudian semakin
memperkokoh kedudukan hukum Undang-Undang pada tingkatan kedua
137
dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia setelah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Tingkatan ketiga kedudukan hukum dalam tata urutan Peraturan Perundangundangan di Indonesia pada hakekatnya terkait dengan kewenangan untuk
mengujinya ditempati oleh berbagai Peraturan Perundang-undangan dibawah
Undang-Undang yang ada di Indonesia. Hal ini berdasarkan penegasan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 A
ayat (1) yang menegaskan bahwa,
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”
Dalam pasal tersebut di atas terdapat kata-kata “menguji Peraturan
Perundang-undangan terhadap Undang-Undang”, di mana apabila dikaitkan
dengan eksistensi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 tingkatan pertama dan Undang-Undang yang menempati tingkatan kedua
dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, akan
menimbulkan pemahaman bahwa di bawah Undang-Undang terdapat
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, akan menimbulkan pemahaman
bahwa di bawah Undang-Undang terdapat Peraturan Perundang-undangan
laiinya. Dengan kata lain, setelah Undang-Undang terdapat berbagai Peraturan
Perundang-undangan lainnya yang menempati tingkatan ketiga dalam tata
urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
138
Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang” adalah
segala peraturan selain Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 dan Undang-Undang yang dikenal dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Secara konstitusional, berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Peraturan Perundangundangan di bawah Undang-Undang” yang disebut secara tegas adalah
Peraturan Pemerintah berdasarkan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 22 ayat (1).
Eksistensi Peraturan Pemerintah dalam hal ini terkait dengan eksistensi
presiden
sebagai
kepala
pemerintahan
yang
memegang
kekuasaan
pemerintahan berdasarkan Pasal 4 ayat (1). Namun demikian, dalam
melaksanakan kekuasaan pemerintahan, selain Peraturan Pemerintah juga
diperlukan berbagai peraturan lainnya, terutama terkait dengan upaya untuk
memberdayakan berbagai daerah otonom. Terkait dengan hal ini, berdasarkan
Pasal 18 ayat (6) dikenal adanya suatu peraturan daerah.
Produk Peraturan Perundang-undangan pada hakekatnya diperlukan
secara mutlak. Oleh karena itu perlu diadakan berbagai Peraturan Perundangundangan sebagain instrument dalam menjalankan roda-roda pemerintahan
serta kehidupan berbangsa dan bernegara, di mana berdasarkan UndangUndang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang selain peraturan
pemerintah (PP) adalah peraturan presiden (Perpres) dan peraturan daerah
(Perda) terkait dengan eksistensi pemerintahan daerah, yang oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diberikan keleluasaan
139
untuk menyelenggarakan otonomi daerah, sebagaimana diungkapkan oleh
Widjaja88 yang menegaskan bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah.
Terkait dengan eksistensi pemerintahan daerah pada dasarnya tengah
diupayakan suatu penguatan daerah melalui penajaman desentralisasi, di mana
menurut Mardiasmo89, secara teoritis desentralisasi ini diharapkan akan
menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu:
a. Mendorong peningkatan, partisipasi, prakarsa dan kreatifitas
masyarakat dalam pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan
memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masingmasing daerah.
b. Memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran
pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang paling
rendah yang memilki informasi yang paling lengkap.
Selanjutnya khusus bagi Peraturan Perundang-undangan di bawah
Undang-Undang, yang terdiri dari peraturan pemerintah (PP), peraturan
presiden (Perpres) dan peraturan daerah (Perda), berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang kemudian telah diganti dengan UU No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada Pasal 7 ayat
(1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang88
HAW Widjaja, 2007, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia Dalam Rangka
Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta, hal. 36.
89
Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Manajemen keuangan daerah, Penerbit Andi,
Yogyakarta, hal. 6
140
undangan
akan dapat dipahami bahwa untuk masing-masing Peraturan
Perundang-undangan dimaksud memilki urutan sebagai berikut:
1. Peraturan Pemerintah;
2. Peraturan Presiden;
3. Peraturan Daerah.
Sedangkan di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan memberi urutan atas perda itu sendiri dengan berurut mulai
dari Perda Provinsi selanjutnya Perda Kabupaten/Kota.
Dari berbagai paparan tersebut di atas, akan dapat dipahami bahwa uruturutan Peraturan Perundang-undangan dalam hierarki atau tata urutan perundangundangan di Indonesia secara konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang;
3. Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dimana sesuai
tingkatannya masing-masing terdiri dari:
a. Peraturan Pemerintah
b. Peraturan Presiden
c. Peraturan Daerah
Selanjutnya kembali pada penelitian terhadap pembatalan peraturan
daerah itu sendiri, sebagaimana yang telah teruraikan pada bagian terdahulu
141
juga dilakukan analisis terhadap eksistensi peraturan daerah melalui berbagai
unsur atau elemen obyektif peraturan daerah itu sendiri, yaitu bentuknya,
proses pembentukannya, pihak yang memiliki kewenangan pembentukannya,
serta isi, materi atau substansi peraturan daerah.
Dari hasil analisis terhadap berbagai unsur atau elemen obyektif
peraturan daerah dimaksud, diketahui bahwa apabila ditinjau dari bentuk,
proses pembentukan, serta pihak yang memiliki kewenangan pembentukannya
maka peraturan daerah merupakan suatu Peraturan Perundang-undangan yang
termasuk dalam hierarki atau tata uutan Peraturan perundang-undangan yang
secara tegas menunjukkan walaupun peraturan daerah adalah produk hukum
pemerintahan daerah namun tetap termasuk didalam hierarki Peraturan
Perundangan, hal tersebut membuktikan bahwa
adanya penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, dengan tetap berpegang pada asas otonomi dan tugas
pembantuan.
Penyelenggaraan pemerintahan didaerah juga melibatkan para aparatur
pemerintah daerah, baik kepala daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat
daerah, selaku penyelenggara pemerintahan daerah, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, yaitu sebagai berikut:
“Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945”
142
Selanjutnya dalam ayat berikutnya menyebutkan: “Pemerintah daerah
adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah”.Dan lebih tegas lagi diatur dalam Bab IV
tentang Penyelenggaraan Pemerintahan pada Pasal 19 ayat (2) bahwa:
“Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD”.
Tugas dari penyelenggara pemerintah daerah atau dapat disebut lembaga
eksekutif di tingkat daerah yaitu kepala daerah dan DPRD, adalah menetapkan
peraturan daerah, atau lebih jelas lagi di atur dalam Pasal 136 (1) UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu “ Perda ditetapkan oleh
kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”. Walaupun
ditingkat pusat bahwa DPR adalah merupakan suatu lembaga legislatif, namun
di tingkat daerah DPRD merupakan suatu lembaga eksekutif atau
penyelenggara pemerintahan.
Konsep otonomi daerah membawa serta implikasi praktis terdapatnya
pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Otonomi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
menjadi tuntutatn sejarah yang telah dilaksanakan secara yuridis dengan
pembagian wilayah NKRI sebagai suatu entitas hukum yang terus perlu
dikembangkan.
Konsep hukum otonomi daerah dengan segala urusan pemerintahan
daerah dijalankan oleh penyelenggara pemerintah daerah terutama oleh
143
Kepala daerah. Pemerintahan daerah menjadi memiliki dimensi hukum yang
terbagi secara berjenjang dalam kerangka otonomi daerah. Pasal 3 UndangUndang No.. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan
bahwa:
(1) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
adalah:
a. Pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah
provinsi dan DPRD provinsi;
b. Pemerintah daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah
daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.
(2) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
kepala daerah dan perangkat daerah.
Urusan keuangan daerah yang dirumuskan melalui APBD yang
dijalankan oleh Kepala Daerah tentu tidak lepas dari urusan pemerintahan
yang diserahkan oleh pemerintah berdasarkan perangkat hukum. Pembagian
urusan pemerintahan sebagai implementasi otonomi daerah diatur dalam Pasal
10 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai berikut:
(1) Pemerintahan daerah menyeloenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah;
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi
dan tugas pembantuan;
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Politik luar negeri;
b. Pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. Moneter dan fiskal nasional; dan
f. Agama.
144
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), pemerintah menyelenggarakan sendiri atau
dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat
pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan
kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.
(5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di
luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat 93),
pemerintah dapat:
(a) Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
(b) Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur
selakuy wakil pemerintah; atau
(c) Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah
dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Ketentuan tersebut menandaskan bahwa penyelenggaraan otonomi
daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan Kepala Daerah tetap sebatas
pada urusan pemerintahan yang diberikan kepada Kepala Daerah. Kepala
Daerah hanya bertindak sesuai dengan kewenangan yang memang diberikan
oleh Peraturan Perundang-undangan,
termasuk dibidang pengelolaan
keuangan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Secara lebih rinci
Pasal 11 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan
batas tentang kriteria implementasi urusan pemerintahan, yaitu:
(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bagi berdasarkan kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan
keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
(2) Penyelenggara urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan pelaksanaan, hubungan kewenangan antara pemerintah
dengan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar
pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis
sebagai satu sistem pemerintahan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah,
yang diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
145
(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang, bersifat wajib yang
berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara
bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut secara hukum dilakukan
oleh pemerintah daerah dengan disertai kelengkapan pendukung yang regulasi
yuridis sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah:
(1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan
sumber pendanaan , pengalihan sarana dan prasarana, serta
kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.
(2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai
dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.
Pengaturan ini menegaskan bahwa pemerintahan pusat tidak dapat serta
merta memberikan pelimpahan urusan kepada pemerintah daerah untuk
dijalankan oleh Kepala Daerah termasuk dalam pengelolaan keuangan daerah
tanpa ada dukungan administratif dan finansial. Apa yang menjadi tugas dan dan
wewenang kepala daerah secara umum sesuangguhnya tidak boleh lepas dari
koridor yang ditentukan oleh urusan yang digariskan dalam UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tugas dan wewenang Kepala daerah
menjadi sangat ditentukan serta mempengaruhi jalannya penyelenggaraan
otonomi daerah diwilayahnya. .
Dari uraian-uraian di atas telah jelas bahwa eksistensi, bentuk serta pihak
yang berwenang dalam pembentukan peraturan daerah sebagaimana yang telah
dibahas dalam analisa bab sebelumnya telah menjabarkan sangat jelas mengenai
146
perda tersebut, selanjutnya terkait pada pembatalan peraturan daerah, juga telah
dipaparkan pada bab terdahulu dengan merujuk pada suatu sistem pemerintahan,
sehingga menemukan solusi bahwa peraturan daerah yang telah dibatalkan
melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri adalah tidak sah. Selanjutnya seperti
pada judul Bab IV, terkait akibat hukum dari perda yang telah dibatalkan tersebut,
Hasil analisa tersebut juga memberikan suatu pemahaman bahwa
kedudukan hukum peraturan daerah yang termasuk dalam hierarki Peraturan
Perundang-undangan, dimana mekanisme
peraturan daerah, baik penetapan
maupun pembatalannya oleh kepala daerah dan DPRD, merujuk atau sebagaimana
yang diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Selanjutnya pengaturan yang juga mengatur mekanisme peraturan daerah terkait
pembatalannya yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri yang merujuk pada
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,
dari kedua isi peraturan yang termasuk dalam hierarki Peraturan Perundangundangan, baik UU maupun PP terjadi konflik norma, menurut asas lex superior
derogate legi inferiori menurut asas ini, apabila terjadi pertentangan antara
Peraturan Perundang-undangan yang secara hierarkis lebih rendah dengan yang
lebih tinggi, Peraturan Perundang-undangan yang hierarkisnya lebih rendah
disisihkan.
Terkait hal tersebut di atas, maka dari analisa adanya solusi bahwa
mekanisme pembatalan peraturan daerah yang dilakukan melalui Keputusan
Menteri Dalam Negeri sebagaimana yang diatur dalam PP No. 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, adalah tidak sah.
Keabsahan dari
147
pembatalan peraturan daerah yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri setelah
dinyatakan tidak sah, maka akibat hukum dari peraturan daerah yang telah
dibatalkan tersebut akan merujuk dengan menganalisa lembaga yang menguji
peraturan perundang-undangan tersebut.
Sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa lembaga yang memiliki
kewenangan untuk menguji berbagai produk Peraturan Perundang-undangan
dibawah Undang-Undang ini adalah Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 24 A
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 Mekanisme pengujian terhadap peraturan daerah
tidak berbeda dengan mekanisme pengujian Peraturan Perundang-undangan
lainnya dibawah UU, yang secara rinci telah dijabarkan dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana
telah diubah dengan UU Republik Indonesia No. 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung. Mengacu pada Pasal 31 A UU dimaksud akan dapat dipahami
bahwa mekanisme pengujian peraturan daerah dilakukan dengan tata cara sebagai
berikut:
1. Permohonan pengujian diajukan langsung oleh pemohon atau
kuasanya kepada Mahkamah Agung, dan dibuat secara tertulis dalam
Bahasa Indonesia;
2. Permohonan tersebut di atas sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Nama dan alamat pemohon;
b. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan, dan
wajib menguraikan dengan jelas bahwa :
1) Materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian peraturan
perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
2) Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi
ketentuan yang berlaku.
c. Hal-hal yang diminta untuk dihapus.
148
3. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau
permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan
permohonan tidak diterima;
4. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan
beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan;
5. Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada angka
(5), amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
6. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak
bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan
permohonan ditolak.
Berbagai paparan tesebut di atas, memberi pemahaman bahwa suatu
peraturan daerah yang dibatalkan melalui keputusan Menteri Dalam Negeri selain
tidak sah, karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka
menimbulkan akibat hukum terhadap peraturan daerah yang telah dibatalkan
tersebut, oleh karena itu maka diajukan kepada lembaga yang berwenang untuk
menguji produk peraturan perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan
daerah.
Hasil dari pengujian terhadap peraturan daerah tersebut menimbulkan
akibat hukum terhadap peraturan daerah tersebut. Sebelum melihat solusi atau
akibat hukum yang ditimbulkan, maka selanjutnya kajiannya diarahkan kepada
asas-asas Peraturan Perundang-undangan yang baik, asas-asas ini baik dipahami
dalam menyusun suatu Peraturan Perundang-undangan. Sebagaimana pendapat
dari I.C.Van Der Vlies90 dalam bukunya yang berjudul “Het wetbegsrip en
90
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Badan Standardisasi Nasional
(BSN), http://jdih.bsn.go.id, Tanggal 30/September/2011
149
beginselen van behoorlijke regelgeving” membagi asas-asas dalam pembentukan
peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) ke dalam
asas-asas yang formal dan materiil. Asas-asas yang formal meliputi:
1.
2.
3.
4.
5.
Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
Asas organ atau lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkeheids beginsel);
Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
Asas konsensus (het beginsel van consensus).
Adapun asas-asas yang bersifat material meliputi:
1.
2.
3.
4.
5.
Asas tentang terminology dan sistematika yang benar;
Asas tentang dapat dikenali;
Asas perlakuan yang sama dalam hukum;
Asas kepastian hukum;
Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual;
Selanjutnya Hamid S. Atamimi91 berpendapat, bahwa pembentukan
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang patut adalah sebagai berikut:
1. Cita hukum Indonesia, yang tidak lain adalah Pancasila yang berlaku
sebagai “Bintang Pemandu”.
2. Asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan undang-undang
sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum,
dan asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang menempatkan
undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatankegiatan pemerintahan.
3. Asas-Asas lainnya, yaitu asas-asas negara berdasar atas hukum yang
menempatkan undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas
berada dalam keutamaan hukum dan asas-asas pemerintahan berdasar
sistem konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan
batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.
91
Ibid, tanggal 30/September/2011
150
Asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang patut itu meliputi
juga:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Asas tujuan yang jelas;
Asas perlunya pengaturan;
Asas organ.lembaga materi muatan yang tepat;
Asas dapatnya dilaksanakan;
Asas dapatnya dikenali;
Asas perlakuan yang sama dalam hukum;
Asas kepastian hukum;
Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.
Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal dan asas
yang material, maka A Hamid Atamimi cenderung untuk membagi asas-asas
pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang patut tersebut ke dalam:
a. Asas formal dengan perincian:
(1) Asas tujuan yang jelas;
(2) Asas perlunya pengaturan;
(3) Asas organ/lembaga yang tepat;
(4) Asas materi muatan yang tepat;
(5) Asas dapatnya dilaksanakan;
(6) Dan asas yang dapatnya dikenali.
b. Asas-asas material dengan perincian:
1. Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia;
2. Asas sesuai dengan hukum dasar negara;
3. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum
dan;
4. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar sistem
konstitusi.
Asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik juga
dirumuskan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang kemudian telah diganti dengan UU No. 12
151
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan , khususnya
pada Pasal 5 dan Pasal 6 meliputi:
Pasal 5:
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada
asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang, yang meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Kejelasan tujuan;
Kelembagaan atau organ dan materi muatan;
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
Dapat dilaksanakan;
Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
Kejelasan rumusan; dan
Keterbukaan.
Selanjutnya Penjelasan dari Pasal 5 adalah:
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Kejelasan tujuan: adalah bahwa setiap Pembentukan
peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai.
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang
tepat” adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat
oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang
berwenang. Peraturan perundang0undangan tersebut dapat dibatalkan atau
batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak
berwenang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas “kesesuaian antara jenis dan materi muatan”
adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus
benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangannya.
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas “dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan
efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut dalam masyarakat, baik
secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
152
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas “kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah
bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas “kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap
peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan peraturan perundang-undangan. Sistimatika dan pilihan kata
atau terminology, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti,
sehingga tidak menimbulkan berbagai maca interpretasi dalam
pelaksanaannya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan asas “keterbukaan: adalah bahwa dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan,
persiapan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluasluasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 6
(1) Materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas:
a. Pengayoman;
b. Kemanusiaan;
c. Kebangsaan;
d. Kekeluargaan;
e. Kenusantaraan;
f. Bhineka Tunggal Ika;
g. Keadilan;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau;
j. Keseimbangan, Keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peraturan perundangundangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
153
Selanjutnya penjelasan dari Pasal 6 adalah:
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan
perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan
penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga
negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip
Negara Kesatuan Rapublik Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah
untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap materi
muatan
peraturan
perundang-undangan
senantiasa
memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan
perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas bhineka tunggal ika” adalah bahwa materi
muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah dan budaya
khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
154
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan
latar belakang, antara lain agama, suku, ras,golongan, gender atau status
sosial.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat
menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian
hukum.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan”
adalah bahsetiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, keselarasan antara kepentingan
individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:
a. Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukum tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian antara lain,
asas kesepakatan, kebebasan berkontrak dan itikad baik.
Berdasarkan pada pemaparan-pemaparan para pakar hukum serta isi Pasal
5 dan 6 serta penjelasannya pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tersebut, terutama didalam
penjelasan Pasal 5 huruf b yang mengacu pada asas “kelembagaan atau organ
pembentuk yang tepat”. Apabila salah satu dari asas tersebut tidak terpenuhi
155
maka suatu hasil dari peraturan perundang-undangan yang diajukan pada lembaga
yang berwenang untuk menetapkan, mengubah dan/atau menguji peraturan
perundang-undangan tersebut, maka Peraturan Perundang-undangan tersebut
dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Perihal suatu Peraturan Perundang-undangan yang batal demi hukum dan
dapat dibatalkan sebagaiman uraian pada penjelasan Pasal 5 huruf b, terkait
dengan “asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat”, maka jika suatu
Peraturan Perundang-undangan dalam mekanisme pengujiannya tidak memenuhi
asas tersebut, maka batal demi hukum atau dapat dibatalkan jika suatu Peraturan
Perundang-undangan tersebut dibuat oleh lembaga yang tidak berwenang, dengan
adanya suatu upaya hukum, dengan mengacu pada Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam hal lembaga yang berwenang untuk
menguji suatu Peraturan
Perundang-undangan, untuk Undang-Undang Dasar Negara Republik
Tahun
1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan Undang-Undang (UU) lembaga yang
berwenang untuk
menguji suatu Peraturan Perundang-undangan adalah
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 A ayat (1),
sedangkan Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang yaitu
Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden Perpres) dan Peraturan Daerah
(Perda), yang menguji adalah Mahkamah Agung (MA), sebagaimana yang diatur
oleh dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
156
4.1.2.Perspektif Isi, Muatan, atau Materi
Kajian terhadap kedudukan hukum peraturan daerah terkait dengan
bentuk, proses pembentukannya, serta pihak
yang memiliki kewenangan
pembentukannya, telah memberikan suatu jawaban bahwa pengujiann terhadap
Peraturan Daerah harus dilakukan melalui Mahkamah Agung. Selanjutnya terkait
dengan kajian pembatalan peraturan daerah melalui keputusan Menteri Dalam
negeri , maka sebelumnya kajian tersebut ditinjau melalui perspektif isi, materi
atau muatan peraturan daerah dan selanjutnya akan dijabarkan secara lebih rinci.
Isi dari suatu Peraturan Perundang-undangan memegang peranan yang
sangat penting bagi efektifitas keberlakuan produk hukum tersebut. Dengan
demikian, isi atau substansi suatu Peraturan Perundang-undangan harus mampu
bersifat efektif sehingga mencapai tujuan utama sebagai suatu alat perubah atau
alat kontrol sosial, begitupun halnya dengan Peraturan Perundang-undnagan
dalam hal ini adalah peraturan daerah.
Dengan demikian pengaturan hukum dalam pembahasan ini jelas harus
memadukan antara keputusan pemerintah (negara) dan kepentingan masyarakat.
Dengan materi yang seperti ini, maka pembentukan hukum suatu peraturan
perundang-undangan yang berupa peraturan daerah memiliki landasan hukum
dan menjamin terciptanya ketertiban sesuai dengan kajian mengenai peraturan
daerah tentang APBD, maka mewujudkan ketertiban tata kelola keuangan yang
terdapat pada peraturan APBD.
157
Tentunya dalam suatu peraturan daerah tentang APBD tidak diinginkan
satu kondisi penataan keuangan yang bekerja tanpa hukum, sebagaimana
pandangan dari R.C. Allickson dalam Akmal Boedianto
92
, didalam buku R.C.
Alickson yang berjudul “Order Without Law”, bahwa” norma hukum harus
menjadi identitas setiap perilaku secara substantif”. Hal tersebut berlaku juga
dalam pelaksanaan pembentukan peraturan daerah. Dapat disebutkan bahwa
keberadaan hukum menjadi sesuatu yang sangat substansial secara teoritik
terutama dalam pembentukan peraturan daerah tentang APBD, dimana merujuk
pada isi, muatan atau materi dari peraturan daerah tentang APBD tersebut. Hal
tersebut juga sejalan dengan konsep universal tentang ketertiban hukum yang
etis, sebagaimana yang dikutip O. Notohamidjojo dalam Akmal boedianto93.
Pengaturan hukum mengenai APBD secara teoritik memang harus didasarkan
pada suatu pandangan bahwa hukum juga memiliki unsure etis. Unsur etis dalam
hukum memberikan pemahaman bahwa hukum mempunyai sasaran yang hendak
dicapai atau untuk tujuan akhir menuju kepada keadilan, justitia dalam lingkup
“provide justice”. Hal ini merupakan landasan dasar dari pengembangan
pembentukan peraturan daerah mengenai APBD sesuai konsepsi keilmuan
hukum.
Dalam konteks demikianlah jelas dapat dipahami bahwa pembentukan
peraturan daerah tentang APBD baik isi, materi atau muatan, juga suatu proses
92
Akmal Boedianto, 2002, Hukum Pemerintahan Daerah: Pembentukan Perda APBD
Partisipatif, Laksbang Pressindo, Yokyakarta, hal. 26
93
Ibid , hal. 26
158
hukum yang seharusnya berkekuatan normatif, etis dan partisipatif. Suatu bentuk
pengaturan tersebut diharapkan akan mampu memberikan kejelasan norma
hukum dan sikap agar tidak multi-interpretasi.
Selanjutnya terkait pada isi, materi ataupun muatan dari peraturan daerah
tersebut, maka dalam suatu penelitian dengan pendekatan peraturan perundangundangan, yang dilihat bukan hanya bentuk peraturan perundang-undangannya
saja, melainkan juga menelaah materi muatannya, dengan mempelajari dasar
ontologis lahirnya undang-undang, landasan filosofis undang-undang dan ratio
logis dari ketentuan undang-undang, termasuk regulasi dari undang-undang atau
peraturan perundang-undangan tersebut.
Untuk memahami dasar ontologis dari suatu peraturan perundangundangan. Hal ini dapat diperoleh dari kementerian negara atau lembaga yang
mengajukan rancangan peraturan perundang-undangan tersebut. Di kementerian
atau lembaga yang mengajukan rancangan peraturan perundang-undangan
tersebut seyogianya masih tersimpan Naskah Akademis yang menyertai
rancangan peraturan perundang-undangan tersebut. Di dalam Naskah akademis
termuat mengapa kementerian atau lembaga itu mengajukan rancangan peraturan
perundang-undangan tersebut. Di situ akan terungkap kebutuhan akan hadirnya
peraturan perundangan tersebut. Selanjutnya di dalam Naskah Akademis akan
dimuat
landasan
diperlukan.
filosofis
mengapa
Peraturan
Perundang-undangan
itu
159
Secara filosofis dimasukkannya Peraturan Perundang-undangan ke dalam
Lembaran Negara berlaku bagi peraturan Perundang-undangan tertentu yang
sudah menjadi norma atau Undang-Undang (UU), yakni peraturan yang telah
memuat secara tegas tentang kewajiban dan larangan yang disertai sanksi hukum
dan ditentukan keharusan penempatannya di dalam Lembaran Negara oleh UU.94
Sedangkan untuk ratio legis berkenaan dengan salah satu ketentuan dari
peraturan perundang-undangan, mengenai alasan mengapa ada ketentuan
tersebut.
Analisis terhadap isi, substansi ataupun materi yang diikuti dengan
paparan mengenai pembentukan hukum peraturan daerah tentang APBD serta
pendekatan-pendekatan perundang-undangan yang dilakuakan dalam melakukan
suatu penelitian, dalam hal ini terkait dengan dasar ontologis, filosofis maupun
ratio logis suatu pembentukan peraturan perundang-undangan, yang sekaligus
mempengaruhi isi, materi serta muatan dari peraturan daerah tentang APBD
tersebut.
Terkait paparan tersebut dengan tetap melihat lembaga yang berwenang
dalam menetapkan, mengubah atau menguji suatu peraturan perundangundangan dalam hal ini adalah peraturan daerah, maka jika dikaitkan dengan
pembatalan peraturan daerah yang dilakukan melalui keputusan Meneteri Dalam
negeri sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya dimana telah
mendapakan suatu solusi bahwa peraturan daerah tersebut adalah tidak sah, serta
akibat hukum dari peraturan daerah yang telah dibatalkan tersebut menyatakan
94
Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum tata Negara, PT. RajaGrafindo Persada, hal. 44
160
bahwa perda tersebut batal demi hukum atau dapat dibatalkan dengan mengacu
pada asas yang diatur dalam Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian telah diganti
dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Sebagaimana di dalam penjelasan Pasal 5 huruf b tersebut yang
menyatakan suatu peraturan perundang-undangan dapat batal demi hukum atau
dapat dibatalkan jika Peraturan Perundang-undangan tersebut di buat oleh
lembaga yang tidak berwenang.
Selanjutnya dalam memahami hal tersebut, maka jika dilihat dari
perspektif peraturan daerah, dari isi, materi maupun muatannya secara filosofis,
dengan melihat mengapa suatu peraturan daerah tentang APBD tersebut
dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, oleh karena itu harus
disesuaikan dengan prinsip a contrario actus dimana menunjukkan bahwa suatu
produk hukum yang dibuat, maka produk hukum itu pula yang membatalkan atau
mencabut.
Hal ini disebabkan karena untuk mengubah suatu Peraturan
Perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan daerah haruslah dengan
peraturan daerah itu pula, sesuai dengan prinsip atau asas a contrario actus, yang
berlaku universal dalam ilmu hukum, yang menegaskan bahwa pembatalan suatu
tindakan hukum harus dilakukan menurut cara dan oleh badan yang sama dalam
pembentukannya95
95
Prinsip a contrario actus ini sering digunakan sebagai dasar pijakan atau dasar
pertimbangan dalam memutus perkara permohonan pengujian di Mahkamah Konstitusi, di
antaranya dalam Putusan Perkara Nomor: 004/SKLN-IV/2006
161
Dalam hal pembentukan peraturan daerah sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga
sebagaimana yang telah dipaparkan pada uraian-uraian sebelumnya, bahwa
peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan
bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagai suatu lembaga
eksekutif atau
lembaga penyelenggara pemerintahan, walaupun DPRD juga
disebut lembaga legislatif sebagaimana lembaga legislatif di tingkat pusat untuk
DPR, namun jika berdasarkan pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah bahwa DPRD adalah termasuk lembaga penyelenggara
pemerintahan atau eksekutif, oleh karenaya berdasarkan prinsip a contrario actus,
maka yang melakukan pembatalan adalah pada produk hukumnya dengan
melihat figur hukumnya dalam hal ini dibatalkan melalui peraturan daerah.
Temuan ini tetap menjadi suatu solusi, walaupun pada bab sebelumnya
bahwa konflik norma yang terjadi tersebut berdasarkan asas lex superior derogat
legi inferiori, jika suatu Peraturan Perundang-undangan yang hierarkinya lebih
rendah dengan Peraturan Perundang-undangan yang hierarkinya lebih tinggi
terjadi konflik, maka Peraturan Perundang-undangan yang hierarkinya lebih
rendah disisihkan. Lebih jelas lagi konflik norma antara PP No. 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang mengatur bahwa pembatalan
peraturan daerah melalui Keputusan Menteri dalam Negeri dengan UndangUndang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana mengatur
pembatalan daerah melalui Peraturan Presiden, maka yang disisihkan adalah PP
No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang mengatur bahwa
162
pembatalan peraturan daerah dilakukan melalui Keputusan Menteri dalam negeri.
Namun untuk adanya suatu temuan berdasarkan prinsip a contrario actus, maka
pembatalan peraturan daerah tersebut dilakukan dengan mempergunakan produk
hukum itu sendiri dengan melihat figur hukumnya, yakni penetapan peraturan
daerah, sebagaimana diketahui berdasar UU No. 32 Tahun 2004
tentang
Pemerintahan Daerah suatu produk hukum dari pemerintah daerah dengan
melihat figur hukumnya adalah peraturan daerah.
4.2. Pembahasan Terkait Keabsahan Pembatalan Peraturan Daerah
Melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Dengan Berdasar Pada Asas
A contrario Actus
Pencanangan otonomi daerah tidak dapat berhasil begitu saja tanpa peran
penting penyelenggara pemerintahannya dalam hal ini adalah Kepala Daerah
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta perangkat daerah dan
masyarakatnya untuk bekerja keras, terampil, dsiplin dan berperilaku dan atau
sesuai dengan nilai, norma dan moral, sebagaimana yang telah diatur secara jelas
didalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Desentralisasi
adalah
penyerahan
wewenang
pemerintahan
oleh
pemerintah pusat kepada daerah otonom. Otonomi daerah adalah kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.
Pendelegasian kewenangan politik, pendelegasian kewenangan urusan daerah,
163
pendelegasian
kewenangan
urusan
daerah,
pendelegasian
kewenangan
pengelolaan kewenangan.
Substansi kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang pertahanan dan keamanan, ,
peradilan, moneter dan fiskal, serta agama dan kewenangan bidang lain,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (3) yang menegaskan bahwa
terdapat beberapa urusan yang tidak dapat diselenggarakan oleh Pemerintah
Daerah, melainkan harus diselenggarakana oleh Pemerintah Pusat.
Adapun
berbagai urusan pemerintahan yang tidak dapat diselenggarakan oleh Pemerintah
Daerah dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Politik luar negeri;
b. Pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. Moneter dan fiskal nasional; dan
f. Agama.
Sebelumnya pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah
ditegaskan bahwa:
a. Kewenangan daerah kabupaten/kota mencakup semua kewenangan yang
dikecualikan Pasal 7 dan yang diatur Pasal 9.
b. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan
daerah kota kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri, dan perdagangan,
penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga
kerja.
164
Perihal keuangan daerah yang termasuk kewenangan pemerintahan daerah
dituangkan dalam suatu bentuk produk hukum dalam hal ini mengenai Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, sebagaimana yang
tercantum didalam Pasal 1 angka (14), menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah
yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
Terkait penetapan peraturan daerah tentang APBD, serta mekanisme
pembatalannya sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberi kewenangan pada
pemerintah dalam hal pembatalan peraturan daerah melalui Peraturan Presiden.
Pada Uraian bab sebelumnya telah mengurai bahwa telah terjadi suatu konflik
norma yang mengatur mekanisme pembatalan peraturan daerah tentang APBD,
dan dengan berdasar pada asas preferensi yakni lex superior derogate inferiori,
maka Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah
yang dipergunakan dalam mekanisme pembatalan peraturan daerah.
Setelah adanya penelusuran-penelusuran terhadap peraturan daerah yang
telah dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, dengan melihat suatu
sistem pemerintahan di Indonesia dimana adanya pendelegasian suatu
kewenangan, namun ternyata dalam peraturan daerah yang telah dibatalkan
tersebut tidak terlihat adanya suatu pendelegasian kewenangan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan atau dapat terjawab bahwa
perda yang telah dibatalkan tersebut adalah tidak sah.
165
Upaya untuk mengkaji keabsahan suatu Peraturan Perundang-undangan
secara tidak langsung akan mengarah pada penggunaan suatu asas dalam ilmu
hukum, yaitu asas legalitas, di mana dalam asas tersebut mencanangkan suatu hal
tertentu, yang menurut pendapat Indroharto96 disebutkan bahwa:
Asas legalitas mencanangkan bahwa, tanpa adanya dasar wewenang yang
diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat
mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga
masyarakatnya, Ini berarti setiap wewenang pemerintahan untuk melakukan
kebijaksanaan dan tindakan hukum Tata Usaha Negara (TUN), baik
mengenai bentuk dari tindakan-tindakan hukum demikian itu serta isi
hubungan hukum yang diciptakan olehnya harus ada dasar atau sumbernya
pada (diberikan oleh) suatu ketentuan peraturan perundang-undangan
(hukum tertulis).
Pelaksanaan asas legalitas tersebut menunjang berlakunya kepastian
hukum, sebab tindakan hukum pemerintahan itu hanya dapat dimungkinkan kalau
ada pengaturannya dalam undang-undang. Selain asas legalitas, maka suatu dasar
wewenang juga di atur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik
Indonesia No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan
urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya
menurut Indroharto97 yang dimaksudkan dengan ketentuan itu adalah:
1. Dalam kata “berdasarkan” pada rumusan itu yang dimaksudkan adalah,
bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh para
Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara (TUN) itu harus ada dasarnya
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; karena hanya
96
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Pustaka Sinar harapan, hal. 83
97
Ibid, hal. 81
166
peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut sajalah yang
memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang
mereka laksanakan;
2. Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan, bahwa wewenang Badan
atau Jabatan Tata Usaha Negara (TUN) untuk melaksanakan suatu bidang
urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan
oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
3. Kedua makna tersebut pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan
dari berlakunya ide (cita) negara hukum dalam negara kita.
Berdasar pada asas legalitas dan maksud dari isi Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, memberikan suatu dasar dari keabsahan suatu peraturan perundangundangan terkait dengan wewenang pembuat peraturan perundang-undangan
tersebut, begitu pula halnya dengan peraturan daerah yang telah dibatalkan
melalui keputusan Menteri dalam negeri, bahwa dasar wewenang yang dimiliki
Menteri Dalam Negeri adalah tidak tepat, karena walaupun diatur dalam PP No.
58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah namun telah diatur dalam
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengenai
mekanisme pembatalan peraturan daerah dilakukan melalui pemerintah melalui
peraturan Presiden. Selain hal tersebut di dalam peraturan daerah yang telah
dibatalkan setelah dilakukan pemeriksaan tidak terdapat adanya pendelegasian
wewenang antara Presiden kepada Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya kembali terkait pada keabsahan tindakan pemerintah dalam
membuat suatu peraturan perundang-undangan, pada hakekatnya menurut
167
Philipus M. Hadjon 98 ada 3 (tiga) unsur utama dalam melihat keabsahan tindakan
pemerintah dalam pembuatan suatu Peraturan Perundang-undangan, yakni:
wewenang, prosedur, substansi sebagaimana telah dipaparkan pada bab
sebelumnya.
Selanjutnya pada peraturan daerah yang telah dibatalkan oleh Menteri
Dalam Negeri tersebut menimbulkan akibat hukum, peraturan daerah tersebut
dapat dibatalkan atau batal demi hukum sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan pada Pasal 5, terkait pada asasnya, sebagaimana yang telah dipaparkan
pada uraian sebelumnya.
Akibat hukum yang diperoleh setelah dilakukan pengujian terhadap
Peraturan Perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan daerah yang telah
dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut dengan diajukan
melalui Mahkamah Agung selaku penguji Peraturan Perundang-undangan
dibawah Undang-Undang (UU), maka dinyatakan peraturan daerah tersebut batal
demi hukum atau dapat dibatalkan.
Apabila dilihat dari perspektif penetapan peraturan daerah, yang
merupakan kewenangan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD), dan mekanisme pembatalan yang dilakukan oleh pemerintah melalui
Peraturan Presiden, berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selanjutnya terjadi konflik dimana
98
Philipus M. Hadjon. Beleidsvrijheid dan Tanggung Jawab
www.appsi-online.com, 1/10/2011.
Pejabat pemerintah.
168
ada peraturan perundang-undangan lainnya yang juga mengatur mekanisme
pembatalan peraturan daerah yaitu Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005
tentang Pengelolan Keuangan Daerah, maka secara filosofis kajian pengaturan
tersebut mesti lebih ditelaah kembali, oleh karena itu walaupun sesuai dengan asas
preferensi yakni lex superior derogae legi inferiori dimana peraturan perundangaundangan yang lebih rendah yakni Peraturan Pemerintah (PP) disisihkan dan
mengedepankan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hierarkinya yani
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Maka apabila
terkait dengan prinsip atau asas a contrario actus, dinyatakan badan yang yang
berwenang melakukan tindakan hukum dalam hal pembentukannya maka badan
yang sama dengan produk hukumnya yang juga membatalkannya.
Perihal dalam suatu persidangan untuk menguji suatu peraturan
perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan daerah dimana pengujiannya
melalui Mahkamah Agung (MA), setelah diputuskan oleh hakim mengenai akibat
hukumnya dan dinyatakan tidak sah, maka pencabutan dari perda tersebut
dilakukan dengan perda , sesuai dengan asas a contrario actus.
169
BAB V
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
5.1.1. Pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam
Negeri adalah tidak sah. Hal tersebut disebabkan karena dengan hasil
penelitian yang telah dilakukan
tersebut
dari hasil telaah yang
bertumpu pada analisa pengkajian dalam pembahasan,
terungkap
bahwa Peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan
pemerintahan daerah, yang memberikan pengaturan hukum terhadap
penyusunan peraturan daerah yang merupakan tugas dan wewenang
kepala daerah dan Dewan Perwakilan rakyat Daerah (DPRD). Di
dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga
mengatur mengenai mekanisme pembatalan peraturan daerah yang
merupakan kajian dalam penelitian ini, mekanisme tersebut mengatur
bahwa
pembatalan
peraturan
daerah
tersebut
dilakukan
oleh
pemerintah melalui peraturan Presiden, sedangkan ada peraturan
perundang-undangan, yakni Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang juga mengatur mekanisme
pembatalan peraturan daerah, dan pengaturan tersebut berbeda dengan
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
menimbulkan konflik norma. Konflik norma tersebut menghasilkan
bahwa UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
dijadikan pedoman dalam mekanisme pembatalan peraturan daerah
170
sebab sesuai dengan azas preferensi, yakni lex superior derogate legi
inferiori, hal tersebut berdasar pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya diganti
dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pemerintahan Daerah yang
berisi juga tata urutan Peraturan Perundang-undangan. UndangUndang tersebut juga mengatur tentang asas-asas yang harus dipenuhi
dalam
pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan,
sehingga
memperoleh hasil atau adanya keabsahan dari suatu peraturan
perundang-undangan. Terkait dengan keabsahan suatu peraturan
perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan daerah, maka
dikaji dengan berpegang pada asas legalitas, dan pendapat para pakar
hukum sebagaimana yang telah dikutip. Dengan melihat dasar
kewenangan yang dimiliki Menteri dalam Negeri untuk membatalkan
peraturan daerah, namun setelah dilakukan telaah terhadap penelitian
ini, tidak adanya pendelegasian wewenang, sehingga peraturan daerah
yang dibatalkan melalui keputusan Meneri Dalam Negeri tidak sah.
5.1.2. Didalam rumusan masalah yang kedua bahwa akibat hukum terhadap
peraturan daerah tentang APBD yang dibatalkan melalui Keputusan
Menteri Dalam Negeri adalah dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Dalam menelaah hal tesebut, maka kajian nya mengarah pada lembaga
yang berwenang menguji suatu Peraturan Perundang-undangan dalam hal
ini adalah Mahkamah Agung (MA) berdasarkan Pasal 24 A ayat (1) yang
menyebutkan Mahkamah Agung (MA) berwenang menguji Peraturan
171
Perundang-undangan dibawah Undang-Undang termasuk peraturan daerah
didalamnya. Pengujian peraturan daerah merupakan suatu pengujian yang
diawali dengan diajukannya permohonan atau uji materi, Dalam hal ini
akan memberikan temuan bahwa akibat hukum peraturan daerah tersebut
adalah batal demi hukum atau dapat dibatalkan berdasarkan asas-asas
hukum yang diatur dalam Undang-Undang No, 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudin telah diganti
dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan , dimana Menteri Dalam Negeri tidak memiliki
kewenangan untuk membatalkan, Secara filosofis, suatu pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, dengan memakai atau berdasar asas a
contrario actus, yang menyebutkan suatu pembatalan tindakan hukum
harus dilakukan menurut cara dan oleh badan yang sama dalam
pembentukannya. Dengan kata lain perda dibatalkan dengan perda.
5.2.
Saran
5.2.1.
Agar dalam suatu pembuatan Peraturan Perundang-yang baik maka
prosedur pembentukan Peraturan Perundang-undangan memiliki suatu
naskah akademik. Sebagaimana yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004
yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan didalam Pasal 5 terkait pada
asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur asas
kelembagaan, agar kalimat yang menegaskan pada “batal demi hukum” dan
172
“dapat dibatalkan” dapat diperinci secara jelas didalam penjelasan Pasal
tersebut, sehingga tidak terjadi suatu ketimpangan dalam menafsirkan isi
Pasal dari suatu UU. Selanjutnya Pembentukan Peraturan Perundangundangan
tersebut
pembentukan
harus
Peraturan
di
susun
berdasarkan
Perundang-undangan
asas-asas
yang
baik
umum
dengan
menuangkan prinsip-prinsip baik pembentukannya maupun mekanisme
pembatalannya, sehingga tidak terjadi pembatalan peraturan daerah yang
dilakukan oleh lembaga yang tidak berwenang, kalaupun ada maka harus
diatur secara jelas adanya pendelegasin kewenangan, sehingga suatu
peraturan daerah dapat diuji keabsahannya.
5.2.1. Dalam hal pencabutan suatu perda seyogianya didasarkan atas asas a
contrario actus yang artinya pejabat yang mencabut adalah juga juga
pejabat yang membentuknya, dalam hal ini perda dicabut dengan perda.
173
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Literatur
Ali, Achmad, 1996, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Pertama, Chandra Pratama,
Jakarta.
_______, 1999, Pengadilan Dan Masyarakat, Cetakan Pertama, Lembaga
Penerbitan Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
_______, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Cetakan Pertama,
PT Yarsif Watampone, Jakarta
Ali, Faried, 1997, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
_______, 2004, Filsafat Administrasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
_______, 2005, Redefinisi Administrasi Dalam Lintasan Pemikiran Filsafat,
Analisis Alternatif Pencegahan Korupsi Dan Malpraktek Administrasi
Serta Penyakit birokrasi, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Hasanuddin Makassar
Amiruddin dan Azikin H Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Amos, Abraham, 2008, Legal Opinion, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimmly, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan
Kedua, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
_______, 2007, Hukum Tata Negara Darurat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
Boedianto, Akmal, 2010, Hukum PemerintahanDaerah, Cetakan Kedua, Penerbit
Laksbang Pressindo, Yogyakarta.
Bruggink, J.J. H, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Cetakan Pertama, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Budiardjo, Miriam, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi Cetakan
Keempat, PT Gramedia Pustaka Utam, Jakarta
174
Basah, Sjahran, 1987, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah
Perkembangan, Cetakan III, Penerbit Alumni Bandung.
Cohen.L Morris and Olson. C. Kent, 2000, Legal Research, ST. Paul, Minn
Dirdjosisworo, Sudjono, 1996, Sosiologi Hukum, Edisi ketiga, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta
Farida Indrati, Maria, 2007, Ilmu Perundang-Undangan 1, Jenis, fungsi, dan
Materi Muatan (Dikembangkan dari Perkuliahan Prof.Dr. hamid S
Attamini, SH), Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
_______, 2007, Ilmu Perundang-Undangan 2, Proses dan Teknik
Pembentukannya (Dikembangkan dari Perkuliahan Prof. Dr.A. Hamid S.
Attamini, SH), Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Golding, M.P. (Columbia University), Editor, tt, The Nature Of Law, Readings In
Legal Philosophy; Random House, New York.
Gilissen, John dan Gorle, Frits, 2007, Sejarah Hukum Suatu Pengantar
(Historische Inleiding tot het Recht), Cetakan Ketiga, PT Refika Aditama,
Bandung
Hadjon, Philipus M, dan Tatiek Sri Djatmiati, 2008, Argumentasi Hukum,
Cetakan ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
_______ dkk, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction To
The Indonesian Administrative Law), Cetakan ketiga, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Services
Hamidi, Jazim dan Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi
Pustaka Publisher, Jakarta.
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, Edisi Revisi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Kelsen, Hans, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Normatif Sebagai ilmu Hukum Deskriptif-Empirik (General Theory of law
and state), Alih Bahasa, Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta.
_______, 2008, Pengantar Teori Hukum (Pure Theory of Law), Pengantar Stanley
L. Poulson, Penerbit Nusa Media, Bandung.
175
Llewellyn, K.N, t.t. Law and the ”Behavior Analysis”, In: Golding, M.P.
Columbia University, editor. The Nature Of Law. New York: Random
House.
Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah,
Yogyakarta, Yogyakarta.
Andi
Mertokusumo, Sudikno, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
Mahfud, MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, Cetakan Pertama, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
_______, 2009, Politik Hukum, Edisi Revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Nasroen, M, 1986, Asal Mula Negara, Cetakan Kedua, Aksara Baru, Jakarta.
Marzuki, Mahmud, Peter, Penelitian Hukum, Cetaka Keenam, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 2009, Membangun Dan Merombak Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta.
Ridwan, HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
Salman, H.R. Otje dan Anthon F. Susanto, 2007, Teori Hukum (Mengingat,
Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), PT. Refika Aditama, Bandung.
Saraswati, LG, dkk, 2006, Hak Asasi Manusia, Filsafat –UI Press, Cetakan
Pertama, Jakarta
Sidharta, Arief, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum,
Teori hukum, dan Filsafat Hukum( judul buku asli, Van Apeldoorns
dengan judul artikel vilf Stellingen over Rechtsfilosofie), , Refika
Aditama, Bandung.
Siahaan, N.H.T., 2009, Hukum Lingkungan, Cetakan Kedua Edisi Revisi,
Pancuran Alam, Jakarta.
Sunggono, Bambang, 1994, Hukum Dan Kebijaksanaan Publik, Cetakan Pertama,
Sinar Grafika, Jakarta.
176
Soetami, Siti, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan
Keenam, Refika Aditama, Bandung.
Syaukani, Imam & A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Sutedi, Adrian, 2010, Hukum Keuangan Negara, Cetakan Pertama, Sinar Grafika,
Jakarta
Salman, otje dan Anthon F. Susanto, 2008, Teori Hukum (Mengingat,
Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), Cetakan Keempat, PT. Refika
Aditama, Bandung.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soemantri, Sri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni:
Bandung
Subekti, R dan R. Tjitrosudibio, 1992, Kamus Hukum, Cetakan Kesebelas. PT.
Pradnya Paramita, Jakarta.
Syueb, Sudono, 2008, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah: Sejak
Kemerdekaan Sampai era Reformasi, Cetakan Pertama, Laksbang
Mediatama, Surabaya
Strong, C,F, 1966, Modern Political Constitution, The English Languange Book
Society and Sidgwick & Jackson Limited London
Tjandra, Riawan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atna Jaya
Yogyakarta, Yogyakarta.
Tjahjadi, S.P. Lili, 1991, Hukum Moral, Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika
Dan Imperatif Kategoris, Kanisius, Jakarta.
Usfunan, Johanes, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat,
Djambatan, Jakarta.
Usfunan, Johanes, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang
Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan Demokratis (Orasi
Ilmiah pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam
Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana
Tanggal 1 Mei 2004), Denpasar.
177
Utama, Arya I Made, 2007, Hukum Lingkungan, Cetakan Pertama,
Pustaka Sutra, Bandung.
Penerbit
Waluyo, Bambang, 1996, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika,
Jakarta.
Wheare, K.C, 1966, Modern Constitution, University Press, Oxford
Widjaja, HAW, 2007, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka
Sosialisasi UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Wibawa,Samodra, 1994, Kebijakan Publik: Proses dan Analisis, Jakarta:
Intermedia, Jakarta
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang
Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Anonim, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Tesis Program Studi
Magister Ilmu Hukum. Program Studi Magister Ilmu Hukum Program
Pasca Sarjana Universitas Udayana. Denpasar.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 130).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73)
178
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986
Nomor 77)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 140).
C. Internet
http://edipranoto.blogspot.com/2010/11/12/Syarat-keputusan.html?zx=7.
Hadjon, Philipus M, Beleidsvrijheid dan Tanggung Jawab Pejabat Pemerintah,
Makalah, www.appsi-online.com, tanggal 03/02/2011.
Sumber
Kementerian Dalam Negeri, http://www.depdagri.go.id,
Keputusan Menteri Dalam Negeri, tanggal 10/02/2011.
Daftar
Farida Indrati, Maria, 2004, Tanggapan Maria F. Indrati terhadap Rancangan
Undang-Undang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Parlemen.net,
Available
at:
http://www.parlemen.net/site/idetails.php?guid=2adc2735b3b3db3lb7
Kalsoem, Sanny, tt, Pembaharuan Tertib Peraturan Perundang-Undangan
Available
from:
http://unsur.ac.id/images/articles/FH.06_PEMBAHARUAN_TERTIB_P
ERATURAN.pdf
Wikipedia Bahasa Indonesia Ensiklopedia Bebas, 2008, Teori Stufenbau,
Available from: http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Stufenbau
Download