MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 5 September 1963 Nomor : 1115/P/3292/M/1963 Kepada Yth. Lampiran : - - I. Kepala Pengadilan Negeri Perihal II. Ketua Pengadilan Tinggi : Gagasan menganggap Burgelijk Wetboek tidak Seluruh Indonesia sebagai Undang-undang SURAT EDARAN Nomor : 3 Tahun 1963 Sejak semula pada umumnya sudah dirasakan sebagai suatu keganjiran, bahwa di Indonesia, meskipun telah merupakan suatu Negara merdeka, masih saja berlaku banyak undang-undang yang sifat dan tujuannya sedikit banyak tidak dapat dilepaskan dari jalan pikiran kaum penjajah, yang dalam tindakannya pertama-tama dan mungkin juga dalam keseluruhannya, hanya mengejar pemenuhan kepentingan-kepentingan Negara Belanda dan orang-orang Belanda. Maka hanya dengan rasa terpaksa peraturan-peraturan undangundang yang berasal dari zaman penjajahan Belanda itu, dilaksanakan oleh para yang berwajib. Dalam keadaan yang ini, dapat mengerti, bahwa sering dicari jalan, terutama secara suatu penafsiran yang istimewah, untuk menghindarkan, bahwa masyarakat dirugikan. Mengingat kejahatan, bahwa Burgelijk Wetboek oleh penjajah Belanda dengan sengaja disusun sebagai tiruan belaka dari Burgelijk Wetboek di Negeri Belanda dan lagi untuk pertama-tama diperlakukan bagi orang-orang belanda yang ada di Indonesia, maka timbul pertanyaan, apakah dalam suasan Indonesia merdeka yang melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda itu, masih pada tempatnya untuk memandang Burgelijk Wetboek ini sejajar dengan suatu undang-undang yang secara resmi berlaku di Indonesia. Dengan lain perkataan: apakah Burgelijk Wetboek yang bersifat kolonial ini, masih pantas harus secara resmi dicabut dulu untuk menghentikan berlakunya di Indonesia sebagai undang-undang. Berhubung dengan ini timbul satu gagasan yang menganggap Burgelijk Wetboek tidak sebagai suatu undang-undang, melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tak tertulis. Gagasan baru ini diajukan oleh Menteri Kehakiman, SAHARDJO. SH. Pada suatu sidang Badan Perancang dari Lembaga Pembinaan hukum Nasional pada bulan Mei 1962. Gagasan ini sangat menarik hati, oleh karena dengan demikian para penguasa, terutama para Hakim, lebih leluasa untuk menyampaikan beberapa pasal dari Burgelijk Wetboek yang tidak sesuai dengan zaman kemerdekaan Indonesia. Gagasan ini Ketua Mahkamah Agung dalam bulan Oktober 1962 ditawarkan kepada khalayak ramai dalam seksi hukum dari Kongres majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia atau M.I P I. Dan disitu mendapat persetujuan bulat dari para peserta. Kemudian terdengar banyak sekali suara-suara dari para sarjana Hukum di Indonesia, yang menyetujui juga gagasan ini. Sebagai konssekwensi dari gagasan ini, maka Mahkamah Agung menganggap tidak berlaku lagi antara lain pasal-pasal berikut dari Burgelijk Wetboek : 1. pasal-pasal 108 dan 110 B. W. tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka pengadilan tanpa izin ztzu bantuan dari suami. 2. Pasal 128 ayat (3) B. W. mengenai pengakuan anak, yang lahir diluar perkawinan, oleh seorang perempuan Indonesia asli. Dengan demikian, pengakuan anak tidak lagi berakibat terputusnya perhubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga juga tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan diantara semua warga negara Indonesia. 3. Pasal 1682 B. W. yang mengharuskan dilakukannya satu penghibahan dengan akta notaris. 4. Pasal 1579 B.W. yang menentukan, bahwa dalam hal sewa menyewa barang si pemilik barang tidak dapat menghentikan persewaan dengan mengatakan, bahwa ia memakai ssendiri barangnya, kecuali apabila pada waktu membentuk persetujuan sewa menyewa ini dijanjikan diperbolehkan. 5. Pasal 1238 B. W. yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta di muka Hakim, apabila gugatan ini didahului dengan suatu penagihan tertulis. Mahkamah Agung sudah pernah memutuskan, diantara du orang Tionghoa, bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat dapat di anggap sebagai penagiha, oleh karena si tergugat masih dapat menghindarkan terkabulnya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan. 6. Pasal 1460 B. W. tentang resiko seorang pembeli barang, pasal mana menentukan, bahwa suatu barang tertentu, yang sudah dujanjikan dijual, sejak saat itu adalah tanggungan si pembeli, meskipun penyerahan barang itu belum dilakukan. Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari tiap-tiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertanggungan jawab atau resiko atas musnahnya barang yang sudah dijanjikan dijual ttapi belu diserahkan, harus dibayar antara kedua belah pihak, dan kalau ya, sampai dimana. 7. Pasal 1630 x ayat 1 dan ayat (1) B. W. yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropa disatu pihak dan bukan Eropa dilain pihak mengenai perjanjian perburuhan. Jakarta, 4 Agustus 1963 MAHKAMAH AGUNG, Ketua, ttd. (Mr. R. WIRJONO PRODJODIKORO)