analisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar petani

advertisement
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PETANI
(NTP}
TESIS
Diaj ukan unt uk memenuhi sebagian persyaratan dalam menye!esa!ka n
studi pada Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Universitas Indonesia
Oleh:
AKH MAD HELM!
NPM 66052200 39
MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
PROG ~M PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2006
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PETANI
(NTP)
TESIS
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam menyelesaikan
studi pada Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Universitas Indonesia
Oleh:
AKHMAD HELMI
NPM 6605220039
MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2006
LEMBAR PENGESAHAN
Nama
: Akhmad Helmi
Tempatjtanggal lahir
: Pemalang, 29 April 1973
NPM
: 6605220039
Judul Tesis
: Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Nilai Tukar Petani (NTP)
Depok,
Oktober 2006
Menyetujui
Pembimbing
(Dr. Widyono Soetjipto)
Mengetahui :
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Ketua,
STATEMENT OF AUTHORSHIP
"Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa tesis
terfampir adalah mumi hasil pekerjaan saya sendiri.
pekerjaan
orang
lain
yang
saya
gunakan
tanpa
Tidak ada
menyebutkan
sumbemya.
Materi ini tidak/belum pemah disajikan/digunakan sebagai bahan tesis
pada mata ajaran lain kecuali saya menyatakan dengan jelas bahwa
saya menyatakan menggunakannya.
Saya
memahami
bahwa tesis
ini dapat diperbanyak dan
atau
dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme"
Nama
: Akhmad Helmi
NPM
: 6605220039
Judul Tesis
: Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Nilai Tukar Petani (NTP).
Dosen Pembimbing
: Dr. Widyono Soetjipto
Depok,
Oktober 2006
.::.---(Akhmad Helmi)
ABSTRAK
AKHMAD HELMI. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruihi
Nilai Tukar Petani (NTP). Pembimbing : WIDYONO SOETJIPTO.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kebijakan fiskal
dan kebijakan moneter pemerintah serta kebijakan lainnya di sektor
pertanian terhadap perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP). Analisis
dilakukan terhadap NTP agregat maupun terhadap NTP kelompok
komoditas tanaman bahan makanan (TBM) dan komoditas tanaman
perkebunan rakyat (TPR). Data yang digunakan adalah data runtun
waktu tahunan sejak 1976 sampai dengan 2004, kemudian dianalisa
dengan menggunakan tahun dasar 1987 = 100.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa : 1) Selama periode, 29
tahun pengamatan tersebut terlihat bahwa NTP lebih sering berada
dibawah level 100, yaitu sebanyak 16 observasi, yang menandakan
bahwa kesejahteraan petani lebih sering menurun dan stagnan
dibandingkan mengalami peningkatan. 2) Rata-rata NTP tanaman
bahan makanan lebih baik dari pada rata-rata NTP tanaman
perkebunan rakyat, yaitu masing-masing 108,9 dan 84,9. NTP
komoditas padi, sebagai komoditas makanan pokok yang sangat
penting, memiliki rata-rata hanya sedikit di atas 100, yaitu 101,8. 3)
Jika dibandingkan antara sebelum terjadi krisis ekonomi dengan
setelah krisis ekonomi, terlihat bahwa dimasa krisis kesejahteraan
petani relatif lebih baik. 4). Nilai tukar petani baik secara agregat
maupun per kelompok komoditas (NTP TNM< NTP TPR, NTP Padi)
nyata dipengaruhi oleh nilai tukar barter sektor pertanian, harga
eceran tertinggi pupuk urea, laju inflasi, dan anggaran pemerintah
untuk pembangunan jaringan irigasi. Variabel nilai tukar rupiah hanya
memberikan pengaruh yang nyata pada nilai tukar petani tanaman
perkebunan dan padi. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian
memang membutuhkan peran pemerintah, yaitu berupa subsidi input
dan kebijakan harga out put untuk memberikan insentif bagi petani
untuk terus berproduksi dan berdiversifikasi. Hal ini dijelaskan dengan
meyakinkan oleh respon nilai tukar petani terhadap setiap kebijakan
yang ditetapkan pemerintah.
Hasil estimasi regresi untuk anggaran pembangunan jaringan
irigasi berperan signifikan dalam meningkatkan Nilai Tukar Petani, oleh
karenanya kebijakan anggaran untuk pembangunan, pemeliharaan
dan perbaikannya harus disediakan secara berkesinambungan.
Pelimpahan wewenang kebijakan tersebut kepada pemerintah daerah
diharapkan alokasi anggaran pembangunan untuk jaringan irigasi
masih tetap berjalan. Disamping itu regresi juga menunjukkan bahwa
kebijakan harga juga berpengaruh penting, sehingga kebijakan harga
harus memberikan insentif bagi petani untuk terus berproduksi.
Variabel lain yang berpengaruh nyata terhadap pergerakan NTP adalah
inflasi dan nilai tukar tapi keduanya di luar kontrol pemerintah
sehingga yang bisa dilakukan adalah dengan menciptakan fundamental
ekonomi yang kuat.
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT, atas segala
limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan penulisan tesis pada waktunya sebagai syarat
kelulusan memperoleh gelar Magister Ekonomi pada Program Studi
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Kemudian kami mengucapkan terima kasih yang setulusnya
kepada :
1.
Bapak Dr. Widyono Soetjipto selaku pembimbing tesis kami,
yang juga adalah Wakil Ketua LPEM FE-UI, yang telah
menyediakan
waktu
sibuknya
untuk
memeberikan
bimbingan bagi perbaikan penulisan tesis kami.
2.
Ibu Hera Susanti, SE, MSc., yang juga adalah Sekretaris
Program MPKP FE-UI, selaku Ketua Tim Penguji Sidang
Tesis dan Komprehensif kami.
3.
Bapak Ir. Riyanto, Msi, selaku anggota Tim Pengujl Sidang
Tesis dan Komprehensif kami.
4.
Para Dosen di Program Studi MPKP FE-UI yang telah
membantu penulis dalam memperluas wawasan ilmu yang
akan bergua bagi kami di kemudian hari.
5.
Bapak Dr. Ir. Dedy 5. Priatna MSc., selaku Kepala Pusat
Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Perencana BAPPENAS
yang telah memberikan kesempatan penulis memperoleh
Beasiswa Pendidikan 52.
6.
Bupati
Pemalang,
Bapak
Machroes,
SH.,
yang
telah
meberikan ijin belajar kami dan bantuan biaya demi
lancarnya studi kami.
7.
Rekan-rekan mahasiswa MPKP FE-U I angkatan XIV yang
kompak dan saling memberikan pacu semangat, fastabiqul
khoirot menyelesaikan studi tepat waktu.
ii
8.
Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu,
yang
telah
membantu
kelancaran
penulis
selama
berlangsungnya masa studi.
Semoga kebaikan mereka semua mendapatkan balasan yang
lebih baik
Tak lupa pula kami mengucapkan beribu terima kasih untuk
orang tua kami Drs. Ma'un Mas'ud, SH; lbu Masamah dan lbu
Masruroh serta mertua kami Bapak Budiono dan lbu Suyudlningrum
serta saudara-saudara semua atas semua dukungan dan doa restunya.
Jazaakumullohu khoiron katsir.
Jakarta, Oktober 2006
lll
DAFTARISI
Halaman
JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
PERSEMBAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR lSI
iv
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
I.
II.
ii
vii
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah ............................................................................. 6
1. 3
Tujuan Penelitian ............................................................................... 7
1.4
Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 7
1.5
Manfaat Penelitian ............................................................................ 8
1.6
Kerangka Pemikiran ......................................................................... 9
1. 7
Sistematika Penulisan ...................................................................... 10
TINJAUAN LITERATUR ............................................................................ 11
2.1.
Sektor Pertanian dalam Pemangunan Ekonomi Indonesia .... 11
2.2.
Indikator Kesejahteraan Petani ................................ ........ 17
2.2.1.
Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian ................................ 18
2.2.2.
Nilai Tukar Petani (NTP) ................................ ............... 19
2.3.
Perilaku Nilai Tukar Barter Pertanian dan Nilai Tukar Petani ... 24
2.3.1.
Elastisitas Produk Pertanian yang inelastis ...................... 24
2.3.2.
Perbedaan Perubahan Teknologi Pertanian dan Industri .... 27
2.3.3.
Perbedaan Struktur Pasar Produk Pertanian dan Industri .. 28
2.4.
Kebijakan Pemerintah dalam Pembangunan Pertanian ........ 29
2.4.1.
Kebijakan Makroekonomi ... ... . . . . . . . .. ..... .... . . . . .. . ... . . . . . . . ... . 32
2.4.2.
Kebijakan Harga Produk Pertanian ................................ 34
2.5.
Keterkaitan sektor Pertanian dengan Sektor Industri .......... 36
IV
2.6.
Ill.
METODOLOGI ................ ................ ................ ................ ...... 43
Identifikasi Variabel Kebijakan Yang Mempengaruhi NTP ..... 43
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
IV.
Beberapa Temuan Empiris tentang Nilai Tukar Barter
Pertanian dan Nilai Tukar Petani ................ ................ ...... 38
Model-model Penduga dan Hipotesis .....•..•.....•. .....•.......... 48
Data dan Sumber Data •............... ................ ................ . 52
Prosedur Analisis •............... ..........•..... ................ .......... 52
Pengujian Hipotesis I Model •...•.•.••...... •.....••........ ........... 56
ANALISIS .................................................................................................... 57
Analisis Deskriptif Pergerakan NTP .................................... 57
4.2. Pergerakan NTP dan Pengaruh Kejadian Krisis
Ekonomi .................................................................................... 62
4.1.
4.3. Variebel yang Berpengaruh terhadap NTP Agregat ....... 64
4.4. Variabel yang Berpengaruh terhadap NTP Tanaman
Bahan Makanan ...................................................................... 67
4.5. Variabel yang Berpengaruh terhadap NTP Tanaman
Perkebunan Rakyat ................................................................ 70
4.6. Varia bel yang Berpengaruh terhadap NTP Padi .............. 72
V.
KESIMPUL AN DAN IMPLIKAS I KEBDAKAN ................ ........... 76
[)~flr~Ft F-lJ!ilr~~
.........•.•••.. ...•..•..•...... ...•.•.•........ ....•............ ..
:7~
LAM PI RAN ••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••• 82
v
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
4
1
Perkembangan Nilai Tukar Petanl di 8 Propinsi 1987 - 2004 . . . . . .
2
Struktur Ekonomi Indonesia 1969- 2003 atas dasar Harga
Konstan Tahun 1987 (%) ..................................................... 15
3
Bobot Propinsi dalam Nilai Tukar Petani Indonesia . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . 20
4
Pergerakan NTP, NTP-TBM, NTP-TPR dan NTP-Padi ................... 58
5
Rasio (Perbandingan) Pendapatan Dispodabel per Kapita pada
Golongan Rumah Tangga Pertanian 1975- 2004 ..................... 59
6
Perbandingan Produktivitas Padi dan NTP Padi
Tahun 1998 - 2004 . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 60
Vl
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
1
Perkembangan Harga Dasar Gabah Kering Giling . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
2
Diagram Pembentukan Nilai Tukar Petani oleh Badan Pusat
Statistik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3
Pembentukan dan Pergerakan Nilai Tukar Pertanian atas
dasar keseimbangan Tertutup dua sektor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25
4
Pengaruh Elastisitas Kurva Permintaan .. . .. . .. . .. . .. . . . . .. . . . . . .. .. . .. . 26
5
Kebijakan Harga Dasar dan Harga Tertinggi . . . . . . . .. . .. .. .. . . . . . .. . .. 35
6
Pergerakan NTP 1976- 2004 .............................................. 59
7
Pergerakan NTP TBM, TPR dan Padi . . . .. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . .. .. . 61
22
Vll
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sektor
Pertanian
memiliki
peran
yang
penting
dalam
pembangunan ekonomi, terletak dalam hal-hal sebagai berikut :
penopang
pertumbuhan
ekonomi
dan
penyedia
lapangan
kerja
nasional ; penyedia kebutuhan pangan masyarakat ; penghasil devisa
;
pendorong
pertumbuhan
sektor
industri
;
dan
pengentasan
kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan
(Syafa'at, 2003)
Kontribusi sektor pertanian dalam PDB secara nasional dari
tahun ke tahun mengalami penurunan, sebesar 53,9°/o pada tahun
1960 menjadi hanya 15,9°/o pada tahun 2003. Perannya dalam PDB
banyak tergantikan oleh sektor industri pengolahan yang pada tahun
2003 proporsinya 28,8°/o. Secara
total sektor non pertanian
pada
tahun 2003 menjadi 84,1 °/o. Hal ini menurut Mubyarto (1989),
menandakan perubahan struktur perekonomian nasional yang menuju
keseimbangan antara sektor industri (non pertanian) dan sektor
pertanian, sesuai dengan teori ekonomi pembangunan. Ada beberapa
alasan mengapa hal ini bisa terjadi, yaitu terjadinya pergeseran
permintaan terhadap barang dan jasa ; peningkatan spesialisasi
produksi
dan
perubahan
dalam
keuntungan
komparatif
untuk
pertanian
dalam
memproduksi barang dan jasa.
Pada
umumnya
penurunan
sektor
perekonomian diterima sebagai fenomena yang normal (Simatupang
dan Isdijoso, 1992). Penjelasan tersebut secara teoritis maupun
empiris umumnya disebabkan oleh penuruan nilai tukar barter sektor
pertanian terhadap sektor non pertanian, yang disebabkan oleh tiga
faktor, yaitu efek hukum Engel, efek kemajuan teknologi sektor
pertanian yang menguntungkan sektor non pertanian ( efek bias
perubahan teknologi) dan pertumbuhan kapital yang menguntungkan
sektor non pertanian (Sipayung, 2000).
Perubahan kontribusi sektor pertanian dalam PDB tersebut
seharusnya diikuti oleh perubahan yang seimbang dalam penyerapan
tenaga kerja. Tetapi temyata hal tersebut sulit terwujud dalam kasus
Indonesia. Dalam periode yang sama, penyerapan tenaga kerja sektor
pertanian hanya turun dari 67% menjadi 44°/o. Sementara sektor non
pertanian yang kontribusinya tumbuh lebih cepat, perannya dalam
menyerap tenaga kerja hanya naik dari sekitar 33°/o menjadi 55°/o. Hal
ini menggambarkan bahwa perubahan struktur ekonomi Indonesia
selama periode tersebut berjalan secara tidak seimbang. Berarti pula
bahwa rata-rata pendaptan tenaga kerja sektor pertanian lebih rendah
dibandingkan dengan tenaga kerja di sektor non pertanian.
Hal ini berarti sektor pertanian menanggung beban yang
berlebihan dalam menyerap tenaga kerja. Akibatnya pengangguran
tersembunyi cukup besar di sektor pertanian. Penurunan peran dalam
PDB serta penurunan tenaga kerja sektor pertanian yang tidak
seimbang
mengakibatkan
produktivitas
tenaga
kerja
di
sektor
pertanian rendah (Simatupang dan Mardianto, 1996). Tingginya angka
pengangguran
menyebabkan
tersembunyi
produktivitasnya
dan
penduduk miskin
di
yang
sektor pertanian
rendah
meningkat.
Dengan kata lain kesejahteraan petani tidak mengalami peningkatan.
Tingginya angka kemiskinan (baik angka absolut maupun persentase)
di pedesaan dibandingkan dengan di perkotaan menjadi satu tanda
bahwa memang masih banyak penduduk yang menggantungkan
hidupnya di sektor pertanian.
Masih banyaknya penduduk pedesaan yang menggantungkan
hidupnya dari sektor pertanian juga berarti bahwa sektor pertanian
menyediakan
pasar
yang
sangat
besar
untuk
produk
industri
manufaktur. Dan jumlah itu masih terus akan bertumbuh. Sektor
pertanian merupakan salah satu sektor yang paling efektif untuk
mengentaskan kemiskinan di wilayah pedesaan melalui peningkatan
kesejahteraan (pendapatan) mereka yang bekerja di sektor pertanian.
2
Hal ini penting mengingat besamya rumah tangga pertanian di
Indonesia, yang berdasarkan sensus pertanian 2003 adalah 47°/o dari
seluruh rumah tangga dan di dalamnya termasuk petani gurem yang
menguasai lahan rata-rata di bawah 1 hektar.
Peningkatan pendapatan petani pedesaan sebagai akibat surplus
hasil
pertanian
akan
memperbaiki
kesejahteraan
masyarakat
pedesaan. Dengan itu para petani mulai dapat meningkatkan konsumsi
bahan makanan yang bergizi tinggi dalam bentuk biji-bijian, telur,
susu, dan buah-buahan. Maka dengan semakin meningkatnya surplus
hasil pertanian berdampak pada peningkatan standar kehidupan
masyarakat petani {pedesaan) {Rangrajan, 1982 dalam Syafa'at,
2003).
Untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani tersebut BPS
membuat laporan bulanan Nilai Tukar Petani {NTP), sebagai salah satu
pendekatan pengukuran tingkat kesejahteraan petani. NTP merupakan
salah satu pengukur kemampuan nilai tukar barang-barang produk
pertanian yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang
dikonsumsi oleh rumah tangga petani dan biaya yang dipergunakan
untuk membeli sarana produksi pertanian. Data NTP hanya mengukur
tingkat
kesejahteraan
dari
waktu
ke
waktu,
tapi
tidak
dapat
dibandingkan antar propinsi atau daerah. Sektor yang dicakup dalam
perhitungan NTP meliputi sektor Tanaman Bahan Makanan {padi,
jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian) dan Sektor Tanaman
Perkebunan Rakyat {tebu rakyat, kopi, lada, tembakau, karet, kelapa,
teh, cengkeh, panili, sayuran, buah-buahan dan bunga-bungaan)
Data
BPS menunjukkan bahwa selama periode 1987 - 2004,
NTP di empat belas propinsi di Indonesia mengalami perkembangan
yang cukup berfluktuasi, terutama periode 1997 - 2004.
secara
umum, angka NTP di 14 Propinsi sampai pada tahun 1993 berkisar
pada angka 100, yang berarti tingkat kesejahteraan relatif atau daya
beli
petani selama periode tersebut tidak mengalami peningkatan
berarti. Sementara itu di 3 propinsi pulau jawa sejak 1994 cenderung
mengalami penurunan dan naik kembali pada 2002 hingga 2004.
3
Pergeseran paradigma agrikultur (budaya bertani) kepada
paradlgma agribisnis (bisnis pertanian) sejak tahun 2001, yaitu sejak
Departemen Pertanian membuat kerangka konsep pembangunan
pertanian yang baru, belum dapat meningkatkan kesejahteraan petani
secara luas. Bahkan pada beberapa kasus penerapan konsep agribisnis
telah merugikan petani maupun sektor pertanian secara umum. Kasus
Tabel J. Perkembllnpn Nllal Tululr Pet:llnl dl 8 Proplnsl J987- 2004
....--Tllhun
1987
1989
Jateng
107,5
106,3 '
Jatlm
Sumbar
103,7
111,3
100,0
103,9
104,6
1995
104,7
105,5
106,4
1997
1999
2001
104,2
104,1
91,5
112,1
101,9
Lam-
Jabar
109,0
106,1
~
Kalsel
Sulsel
NTB
100
100
100,0
102,1
110,0
103,5
99,3
108,1
112,7
106,5
115,9
124,0
133,9
134,7
102,6
112,1
109,0
89,3
112,0
117,1
85,7
73,6
104,5
117,8
87,2
78,9
102,8
118,7
85,8
pung
...
100
100,9
115,3
89,1
112,8
121,6
75,9
97,6
95,3
81,4
114,5
86,4
2002
113,3
125,3
110,7
88,6
2003
124,1
132,6
121,2
91,1
2004
154,3
149,4
151,0
95,4
79,9
76,2
...
'
I
'
t
..-I
T"
I
Sumber: BPS. "'Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka".
tata niaga cengkeh oleh BPPC di zaman orde baru dan tidak kelarnya
masalah perberasan hingga saat ini bisa menjadi contoh. Padahal
perubahan konsep agrikultur menjadi agribisnis berarti segala usaha
produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan
sekedar memenuhi kebutuhan sendiri termasuk petani gurem atau
subsisten sekalipun (Mubyarto, 2003).
Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan produksi ke
orientasi peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa
dilandasi
pada
orientasi
kesejahteraan
petani.
Peningkatan
pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan struktural pemerintah di
dalam pembuatan aturan hukum, persaingan, distribusi, produksi,
subsidi dan konsumsi yang melindungi petani tidak akan mampu
mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik.
Kisah
suram yang massal tentang nasib petani lebih banyak terjadi dari pada
4
sebuah cerita kesuksesan.
Ketika Bulog gagal menstabilisasi harga
beras di musim panen raya adalah contoh yang hampir selalu
berulang, tanpa penyelesaian. Jika kebijakan pemerintah berorientasi
terhadap kemandirian pangan dalam negeri, apa halangan untuk
mensubsidi petani beras dalam bentuk pembelian produksi mereka?
Dalam melihat kesejahteraan
petani dengan ukuran
NTP,
penting juga untuk melihat nilai tukar barter sektor pertanian terhadap
non pertanian, karena nilai tukar barter sektor pertanian juga
merupakan proksi pengukur tingkat kesejahteraan petani (Sajogyo,
2003). Nilai tukar barter sektor pertanian dengan sektor industri
didefinisikan sebagai rasio antara harga produk pertanian dengan
produk industri (Reksasudharma, 1989). Tidak sebagaimana NTP, data
BPS menunjukkan bahwa nilai tukar barter sektor pertanian cenderung
menunjukkan garis menurun. Arah perubahan nilai tukar barter sektor
pertanian
sangat
ditentukan
oleh
perbedaan
laju
pertumbuhan
teknologi, elastisitas permintaan terhadap pendapatan untuk kedua
sektor serta laju pertumbuhan penduduk (Simatupang, 1992).
Sehubungan dengan itu perkembangan nilai tukar barter sektor
pertanian tersebut mendapatkan perhatian yang khusus dari para
pengambil kebijakan maupun para peneliti. Bagaimana kebijakan
publik melihat masalah ini dan membuat formula kebijakan yang dapat
mengangkat kesejahteraan petani, kelompok masyarakat yang masih
mayoritas di negeri ini. Harus dihindari suatu anggapan bahwa
pertanian hanya berperan sebatas penyedia tenaga kerja dan bahan
pangan
yang
murah
bagi
sector
industri
sebagaimana
teori
pembangunan dua sector Lewis (Booth, 1990). Jika pendekatan itu
yang selalu digunakan dalam membuat kebijakan pertanian maka
kesejahteraan petani yang diidamkan sebagai salah satu wujud
keberhasilan pembangunan pertanian akan sulit terwujud.
Informasi empiris tentang NTP maupun nilal tukar barter sektor
pertanian sangat diperlukan untuk memahami peran sektor pertanian
dalam perekonomian maupun dalam membuat kebijakan pertanian
yang berorientasi kesejahteraan petani.
5
1.2. Rumusan Masalah
Setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah haruslah dapat
dilihat dampaknya bagi masyarakat, sesuai dengan asas akuntabilitas.
Sehingga
suatu
kebijakan
haruslah
selalu
dievaluasi
untuk
mendapatkan rumusan yang lebih tepat sasaran bagi kebijakan
berikutnya.
Pertumbuhan ekonomi secara umum belum dapat menjelaskan
tentang peran setiap sektor dalam pertumbuhan serta manfaat
pertumbuhan
tersebut
bagi
tiap
lapisan
masyarakat.
Apakah
pertumbuhan ekonomi secara umum maupun pertumbuhan sektor
pertanian sendiri telah dapat dirasakan manfaatnya oleh para petani,
berupa peningkatan pendapatan mereka serta kemudahan berusaha di
sektor
pertanian.
Sementara
itu
disamping
perannya
dalam
pertumbuhan ekonomi yang selalu menurun, produktivitas sektor
pertanian
juga
rendah.
Tercermin
dari
perannya
dalam
PDB
dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat di dalamnya.
Dalam periode tahun 1982 - 2002 sektor pertanian hanya
tumbuh rata-rata 2,85 per tahun. Sementara sektor non pertanian
tumbuh rata-rata 5,7°/o pertahun. Hal ini berarti sektor non pertanian
tumbuh dua kali lebih cepat dari pada pertumbuhan sektor pertanian.
Namun pertumbuhan yang lebih cepat itu tidak diikuti dengan
kemampuan penyerapan tenaga kerja yang seimbang.
Sementara
itu
di
tengah
pertumbuhan
ekonomi
dan
pertumbuhan sektor pertanian yang terus berlangsung, kesejahteraan
petani sebagai produsen produk pertanian mengalami fluktuasi. Hal
tersebut dicerminkan dari fluktuasi Nilai Tukar Petani {NTP} sebagai
indikator kesejahteraan petani. Fluktuasi tersebut diduga disebabkan
oleh faktor perubahan kondisi makroekonomi, fluktuasi harga akibat
siklus panen raya
dan paceklik maupun akibat fluktuasi harga
komoditi pertanian dunia. Oleh karena itu menjadi penting untuk
mengkaji pengaruh berbagai kondisi tersebut terhadap kesejahteraan
petani. Dengan menggunakan
Nilai Tukar Petani (NTP} sebagai
6
indikator kesejahteraan petani, analisis terhadap berbagai kondisi
tersebut dilakukan.
Mengingat intervensi pemerintah di sektor pertanian sangat
diperlukan, maka berbagai kebijakan ekonomi pemerlntah perlu dikaji
pengaruhnya
bagi
produktivitas
pertanian.
Kajian
tidak
hanya
dilakukan pada skala makro, berupa laju pertumbuhan dan perannya
dalam pembentukan Produk Domestik Bruto, tetapi lebih jauh lagi
hingga pada tingkat pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan
petani dan kesejahteraan keluarganya. Berbagai kebijakan pemerintah
baik moneter maupun fiskal penting untuk diperhatikan pengaruhnya
bagi perkembangan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Mengingat NTP disusun dari indek harga komoditas tanaman
pangan dan tanaman perkebunan, maka analisis juga perlu dilakukan
terhadap berbagai kebijakan yang mempengaruhi masing-masing
kelompok komoditas tersebut. Analisis terhadap komoditas-komoditas
penting dari tiap kelompok komoditas dapat dilakukan jika tersedia
data yang mendukung untuk analisis yang lebih rinci.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kebijakan fiskal
dan kebijakan moneter pemerintah serta kebijakan lainnya di sektor
pertanian terhadap perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP). Analisis
akan dllakukan terhadap NTP agregat maupun terhadap NTP kelompok
komoditas tanaman bahan makanan (TBM) dan komoditas tanaman
perkebunan rakyat (TPR).
1.4. Hipotesis
Hipotesis
penelitian
ini
adalah
bahwa
kebijakan
ekonomi
pemerintah yang berpengaruh terhadap perkembangan Nilai Tukar
Petani (NTP) adalah nilai tukar rupiah, laju inflasi, kebijakan harga
input
dan
output
sektor
pertanian
dan
kebijakan
anggaran
7
pembangunan sektor pertanian serta rasio pertumbuhan ekonomi
sektor pertanian terhadap sektor non pertanian (nilai tukar sektor
pertanian terhadap sektor non pertanian).
1.5. Ruang Lingkup Penelltian
Ruang lingkup penelitian ini adalah mengkaji Nilai Tukar Petani
(NTP) sebagai salah satu indikator kesejahteraan petani di Indonesia.
Periode observasi dilakukan terhadap data tahun 1976- 2004.
Pembahasan akan dipusatkan pada pengaruh kebijakan fiskal
dan moneter pemerintah serta kebijakan lain di sektor pertanian
terhadap pergerakan nilai tukar petani baik secara agregat maupun
kelompok komoditas. Dengan pembahasan itu diharapkan dapat dilihat
pengaruh kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap
peningkatan kesejahteraan petani.
1.6. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini, walaupun mungkin belum dapat secara
langsung digeneralisir diharapkan dapat bermanfaat bagi para peneliti
lainnya dalam menganalisis Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai indikator
kesejahteraan petani. Harapan yang lebih tinggi adalah hasil penelitian
ini dapat dijadikan acuan dalam pengambilan kebijakan pertanian.
Bahwa kebijakan ekonomi secara umum akan berpengaruh terhadap
sektor pertanian, sehingga setiap kebijakan makroekonomi, baik fiskal
maupun moneter tidak bias (menganaktirikan) sektor pertanian.
8
1.7. Kerangka Pemikiran
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEJAHTERAAN PETANI
INDONESIA DENGAN INDIKATOR NILAI TUKAR PETANI (NTP)
FAKTA
Latar
Belakang
HARAPAN
Pertumbuhan sektor pertanian lebih
rendah dari pertumbuhan ekonomi
Peran
Sektor
pertanian
dalam
perekonomian menurun
Penurunan peran sektor pertanian
kurang diimbangi perpindahan Tenaga
kerja ke sektor lainnya.
Ada kebijakan di masa lalau yang
tidak ramah terbadap sektor pertanian
Kesejahteraan petani yang diukur
dengan indek Nilai Tukar Petani
(NTP) secara umum cenderung
Penurunan Peran sektor pertanian
dalam perekonomian nasional tidak
menimbulkan kerugian bagi sektor
pertanian dan para petani
Oleh karena itu perlu kebijakan
ekonomi pemerintah secara umum
(fiskal
dan
moneter)
maupun
kebijakan sektor pertanian secara
khusus agar produktivitas tetap tinggi
dan terjamin kesejahteraan bagi petani
berfluktuasi.
Menganalisis berbagai kebijakan ekonomi pemerintah yang
mempengaruhi perkembangan sektor pertanian dan
kesejahteraan petani
Tujuan
AnaUsis
Menganalisis pengaruh kebijakan fiskal dan moneter
pemerintah dan faktor lainnya terhadap perkembangan Nilai
Tokar Petani (NTP).
Regresi sederhana
Data Sekunder
l
Hasil Penelitian dan
Pembahasan
_ _ __,.,
1111,
Kesims::' dan
9
1.8. Sistematika Penulisan
L.aporan penelitian ini disusun dalam 5 bab, yaitu :
BAB I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, hipotesis,
ruang lingkup
dan sistematika penulisan.
BAB
II.
Kajian
pembangunan
Literatur,
ekonomi,
Berisi
kajian
perkembangan
literatur
tentang
sektor pertanian
dan
kesejahteraan petani serta peran pemerintah dalam pembangunan
pertanian.
BAB III Metodologi Penelitian, Menguraikan metodologi yang
digunakan pada penelitian ini yang terdiri dari identifikasi variabel
yang mempengaruhi NTP, desain penelitian, data dan sumber data,
serta analisa data.
BAB IV Analisis, Menguraikan hasil penelitian dan pembahasannya.
BAB V Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan.
10
II. nNJAUAN UTERATUR
2.1.
Sektor
Pertanian
dalam
Pembangunan
Ekonomi
Indonesia.
Sektor Pertanian di Indonesia didefinisikan dengan arti yang
luas,
sebagaimana
yang
didefinisikan
oleh
Mubyarto
(1987).
Menurutnya pertanian dalam arti luas adalah mencakup : Pertanian
rakyat atau disebut pertanian dalam arti sempit ; Perkebunan
(perkebunan rakyat dan perkebunan besar) ; Kehutanan ; Petemakan,
dan ; Perikanan (perikanan darat maupun perikanan laut). Dalam
pendataan statistik, terutama untuk penghitungan Produk Domestik
Bruto, Badan Pusat Statistik menggabungkan semua itu dalam satu
item yang menyatu.
Dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan, saat ini ada tiga
departemen yang menangani sektor-sektor di atas, yaitu Departemen
Pertanian untuk menangani kebijakan
pembangunan sub sektor
pertanian dan sub sektor perkebunan. Departemen Kehutanan untuk
menangani kebijakan pembangunan sub sektor perkebunan dan
Departemen Kelautan dan Perikanan untuk menangani kebijakan
pembangunan sub sektor perikanan.
Tulisan ini akan lebih menekankan pembahasan mengenai
pertanian dalam arti sempit dan perkebunan. Kedua sub sektor
tersebut memiliki suatu ukuran kesejahteraan tersendiri, yaitu Nilai
Tukar Sektor Pertanian dan Nilai Tukar Petani (NTP), yang diukur
secara bulanan oleh BPS, yang akan menjadi subyek utama tulisan ini.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, pertanian dalam arti
sempit (pertanian rakyat) diartikan sebagai usaha pertanian keluarga
untuk memproduksi bahan makanan utama seperti beras, palawija
(jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian) serta tanaman-tanaman
hortikultura seperti buah-buahan dan sayuran.
Dalam pertanian
rakyat, hampir tidak ada usaha tani yang memproduksi hanya satu
macam hasil saja. Dalam satu tahun petani dapat memutuskan untuk
menanam tanaman
(perdagangan).
bahan
makanan
atau tanaman
perkebunan
Keputusan petani untuk menanam bahan makanan
terutama didasarkan pada kebutuhan makan untuk seluruh keluarga
petani,
sedangkan
keputusannya
untuk
menanam
tanaman
perdagangan didasarkan pada iklim, ketersediaan modal, tujuan
penggunaan hasil penjualan tanaman dan harapan akan harga
(Mubyarto, 1987). Namun demikian, perkembangan jaman telah
sedikit merubah cara produksi subsisten oleh petani seperti dijelaskan
di atas menjadi berorientasi pendapatan untuk mencukupi berbagai
kebutuhan rumah tangga.
Karena balk tanaman bahan makanan
maupun tanaman perdagangan ditanam oleh petani tidak saja untuk
kebutuhan keluarga tetapi juga untuk tujuan mendapatkan hasil lebih
untuk mencukupi kebutuhan selain makanan.
Tanaman-tanaman perdagangan rakyat dikenal dengan nama
hasil-hasil perkebunan rakyat, yang meliputi tembakau, teh, tebu
rakyat, kopi, lada, karet, kelapa, cengkeh, buah-buahan, sayuran serta
bunga-bungaan. Dengan sejarahnya yang panjang, tanaman-tanaman
perkebunan itu memiliki posisi lebih penting di luar Pulau Jawa.
Sebagaimana
pembangunan
ekonomi
di
banyak
negara,
Pembangunan ekonomi Indonesia dimulai dengan membangun sektor
pertanian.
Sektor pertanian
sebagai
prioritas utama
di
awal
pembangunan ekonomi di Indonesia secara formal disebutkan dalam
Garis-garis
Besar
Haluan
Negara
(GBHN)
setiap
Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Repelita I sampai dengan III
(1969
-
1984)
pemerintah
menetapkan
pembangunan
sektor
pertanian sebagai titik berat pembangunan ekonomi nasional yang
didukung oleh pembangunan sektor industri.
Setelah tercapai
swasembada beras tahun 1984, strategi pembangunan ekonomi yang
dijalankan pemerintah adalah merubah titik berat dari sektor pertanian
ke sektor industri, yaitu pembangunan sektor industri yang didukung
oleh sektor pertanian. Hal ini tercermin secara formal dalam GBHN
Pelita IV dan V (1985 - 1995). Propenas 1999-2004 dan RPJM 2002 2007, sebagai pengganti GBHN juga menempatkan industri sebagai
12
penggerak utama perekonomian, dengan tujuan terjadi transformasi
struktur ekonomi menjadi negara industri.
Khusus kebijakan di bidang pangan sejak zaman kemerdekaan,
terlihat
kebijakan
pemerintah
sudah
mulai
berat
ke
arah
penyeragaman makan pokok masyarakat Indonesia, yaitu beras. Hal
ini ditandai dengan dibentuknya Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP)
dengan tugas membeli padi, baik lokal maupun impor (Amrullah,
2005). Sementara itu tidak dibentuk lembaga sejenis untuk komoditi
pangan lain yang menjadi makanan pokok sebagian masyarakat
Indonesia lainnya, seperti jagung, sagu dan umbi-umbian. Kemudian
sejak 1964 dibentuk Badan Pelaksana Urusan Pangan (BPUP) yang
diberi
tugas
lebih
luas,
yaitu
pengadaa/pembelian,
penjualan,
pengangkutan, pergudangan/ penyimpanan, dan penyaluran beras.
Sejak Orde Baru pun kebijakan penyeragaman pangan beras semakin
menguat, dimana peran stabilisasi dan pembentukan stok pangan oleh
BULOG (yang dibentuk sejak 1967), lebih kepada komoditas beras.
Berlanjut pada era Reformasi kebijakan pangan pokok beras telah
mengkristal,
sehingga
kebijakan
untuk
pangan
bersubsidi
pun
diterapkan pada beras untuk semua wilayah Indonesia, tanpa melihat
bahan pangan lokal khas daerah.
Dalam menerapkan harga pangan pokok beras, Indonesia lebih
menerapkan harga pangan murah (Arifin, 2004), mengingat sebagian
besar
masyarakat
Indonesia
masih
mengalokasikan
bagian
pendapatannya untuk kebutuhan pangan cukup besar {Amrullah,
2005). Kebijakan ini memang lebih condong kepada masyarakat
konsumen,
akan
tetapi
bagi
petani
sebagai
produsen
tidak
menguntungkan.
Indrawati dalam Amrullah (2005) melaporkan bahwa pentingnya
beras sebagai · komoditas pangan pokok bagi penduduk Indonesia
dengan populasi nomor 4 dunia membuatnya sangat berpengaruh baik
secara
mikro
(produsen
-
konsumen)
maupun
secara
makro
(penyebab inflasi). Oleh karenanya sejak 1 November 1970, untuk
menstabilisasi harga beras ditetapkan kebijakan Harga Dasar Gabah
13
(HOG). Perkembangan HOG disajikan dalam Gambar 1. Terlihat bahwa
dalam harga berlaku terjadi kenaikan terus menerus penetapan HOG,
bahkan melonjak tajam sejak tahun 1999. namun dalam harga
konstan kenaikannya tidak berarti, bahkan terjadi penurunan kembali
setelah meningkat pada tahun 2000.
Gamber 1. Perkembangan Harga DeAr Gabah Kering GRing
Tahun
Selama tiga Repelita Pertama, serangkaian pengembangan
teknologi dan kelembagaan dilakukan untuk pengembangan sektor
pertanian dengan sasaran pokok peningkatan produksi, khsusunya
beras untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Sementara
itu, pengembangan industri pada kurun waktu tersebut diprioritaskan
pada pengembangan industri-industri yang menghasilkan barangbarang kebutuhan domestik yang maslh diimpor (substitusi impor).
Pada
gilirannya
pengembangan
sektor
industri
tersebut
berangsur menggantikan peran sektor pertanian dalam perekonomian
Indonesia.
Walaupun
penurunan
sektor pertanian
juga
dlikuti
oleh penurunan kesejahteraan petani pedesaan, namun hal inl
14
dianggap sebagai sebuah gejala normal pembangunan ekonomi yang
beroirentasi pada pertumbuhan pendapatan (GOP) (Mubyarto, 2003).
Apa yang disebut perubahan struktur ekonomi ini akan mempengaruhi
alokasi sumber daya dalam pelaksanaan pembangunan selanjutnya.
Indikator makroekonomi untuk menggambarkan perubahan
struktur ekonomi dapat dlgunakan mulai dari indikator sederhana
sampai pada indikator yang kompleks, tergantung pada tujuan
analisis.
Secara
makroekonomi
indikator
sederhana
menggambarkan perubahan struktur ekonomi
yang
Indonesia adalah
pangsa sektor-sektor ekonomi dalam pembentukan PDB, penyerapan
tenaga kerja dan ekspor - impor. Yang sering dilihat adalah sektor
pertanian dan sektor non pertanian.
Tebel 2 berikut memperlihatkan perkembangan pangsa sektor
pertanian yang menurun dalam struktur ekonomi Indonesia sejak 1976
- 2003.
Tabel 2. Struktur Ekonomi Indonesia 1976- 2003 atas dasar
Harga Konstan Tahun 1993 {o/o)
Selctor
1976
1984
1993
2003
31,11
22,72
18,45
15,92
9,49
14,59
22,33
28,84
Lainnya
59,40
62,69
59,22
55,24
lumlah
100
100
100
100
Pertanian
Industri Pengolahan
Sumber : Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka, BPS 2005.
Pangsa sektor pertanian telah mengalami penurunan yang
sangat cepat dalam periode tersebut, dari 31,11°/o pada tahun 1976
menjadi hanya 15,92°/o pada tahun 2003. Sementara sektor Industri
pengolahan mengalami peningkatan dari 9,49°/o pada tahun 1976
menjadi 28,84°/o pada tahun 2003.
Ketertinggalan tersebut karena kecepatan pertumbuhan sektor
pertanian lebih lambat dari pada pertumbuhan sektor Industri dan
Jasa.
Selama periode tersebut sektor pertanian hanya mampu
15
bertumbuh rata-rata 2,9% pertahun,
sementara sektor industri
pengolahan dapat tumbuh rata-rata di atas 9% per tahun.
Berbeda
dengan
pola
perubahan
pangsa
sektor
dalam
pembentukan PDB, dalam penyerapan tenaga kerja sektor pertanian
tetap dominan selama periode 1969 -2003, meskipun mengalami
penurunan.
Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian hanya turun
dari sekitar 67°/o pada tahun 1969 menjadi sekitar 44°/o pada tahun
2003. Sementara, walaupun sektor industri dan jasa tumbuh dua kali
lebih cepat dari pertumbuhan sektor pertanian, tetapi penyerapan
tenaga kerjanya hanya naik sedikit, kurang dari dua kali lipat.
Bila dibandingkan pola penyerapan tenaga kerja dengan pola
perubahan pangsa sektor dalam PDB, maka terjadi ketimpangan
perubahan struktural. Sektor pertanian yang perannya dalam PDB
turun sangat cepat menjadi sekitar 15°/o pada tahun 2003 masih
menyerap 44°/o tenaga kerja. Sementara sektor non pertanian yang
perannya mencapai 85°/o hanya menyerap 56°/o tenaga kerja. Dengan
ini terlihat para pekerja di sektor pertanian hanya menikmati sedikit
dari produksi nasional (PDB). Kondisi ini menyarankan perlunya
percepatan perubahan struktur penyerapan tenaga kerja mengikuti
perubahan struktur PDB melalui peningkatan penerapan teknologi di
sektor pertanian (Syafa'at, 2003).
Rendahnya alokasi investasi pemerintah, pada sektor pertanian
mencerminkan bahwa perhatian pada pembangunan sektor pertanian
selama kurun waktu tersebut kecil.
Hal ini diikuti pula dengan
rendahnya investasi swasta, sehingga dugaan bahwa sektor pertanian
mengalami under investment (Tambunan, 1992) dibenarkan oleh
realitas tersebut.
Ini menunjukkan investasi di sektor pertanian
mengandalkan investasi dari para petani sendiri atau pembiayaan dari
lembaga keuangan non formal (Sipayung, 2000) dan tidak tergantung
pada
pemerintah
maupun
sumber pembiayaan
lembaga
formal
lainnya.
Perkembangan terakhir dengan berkembangnya organisasiorganisasi perdagangan dunia telah menekan sektor pertanian dan
16
otomatis para petani di negara berkembang seperti Indonesia.
Perjanjian perdagangan intemasional yang leblh banyak dikuasai
negara kaya yang memproteksi petani mereka, telah mengakibatkan
rendahnya tarif masuk komoditi pertanian (Mubyarto, 2003). Berbagai
bentuk proteksi terhadap produk pertanian oleh negara menjadi
sesuatu yang dilarang melalui serangkaian program yang dirancang
oleh negara donor. Akibatnya produk pertanian impor membanjiri
pasar domestik yang memaksa petani menjual hasil pertaniannya
dengan harga murah. Kesejahteraan petani pun terancam tetap
rendah jika kondisi ini terus berlangsung.
2.2.
Indikator Kesejahteraan Petani
Muara dari semua kegiatan pembangunan adalah kesejahteraan
masyarakat, baik sebagai konsumen maupun produsen.
Dalam hal
pembangunan sektor pertanian, maka yang perlu diperhatikan adalah
bagaimana peningkatan produktivitas pertanian serta tercapainya
surplus produksi dapat memberikan kesejahteraan bagi petani, baik
sebagai produsen maupun sebagai konsumen. Mengingat surplus
produksi adalah sesuatu yang sangat mendasar di mana petani
memproduksi lebih dari yang dibutuhkan untuk dikonsumsi sendiri,
sehingga kelebihannya dapat digunakan untuk mendapatkan barangbarang konsumsi non makanan (Lipsey, 1989).
Berbagai kebijakan di sektor pertanian dikatakan efektif jika
"kesejahteraan" petani semakin meningkat, yang dapat ditandai
dengan semakin menurunnya angka kemisklnan di pedesaan, sebagai
daerah dengan basis ekonomi pertanian. Oleh karena itu perlu ada
indikator untuk mengukurnya yang dapat dilihat dari waktu ke waktu.
Paling tidak ada dua indikator yang sangat erat kaitanya dengan sektor
pertanian, yang dapat diterapkan, yaitu Nilai Tukar Barter Sektor
Pertanian dan Nilai Tukar Petani.
Yang pertama membandingkan
antara nilai produksi pertanian dibandingkan dengan nilai produksi
sektor non pertanian. Sedangkan yang kedua adalah suatu indeks
17
yang memperhitungkan petani sebagai produsen pertanian maupun
petani sebagai konsumen produk pertanian dan non pertanian.
2.2.1.
Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian
Konsep nilai tukar barter mengacu pada harga relatif suatu
komoditas pertanian tertentu terhadap barang/produk non pertanian.
Nilai tukar barter (NTB) didefinisikan sebagai rasio antara harga
produk pertanian terhadap harga produk non pertanian (Rachmat,
2000). Jadi NTB merupakan analisa sistem keseimbangan pasar di
sektor pertanian maupun non pertanian (Simatupang, 1992).
Secara matematik NTB dirumuskan sebagai berikut :
NTB=Px/Py;
Dimana:
NTB = Nilai tukar barter pertanian
Px
= Harga komoditas pertanian
Py
= Harga komoditas non pertanian
Peningkatan NTB berarti semakin kuat daya tukar komoditas
pertanian terhadap barang yang dipertukarkan. Kelemahan indikator
ini
adalah
ketidakmampuannya
untuk
menjelaskan
pengaruh
perubahan produktivitas (teknologi) yang terjadi, baik pada komoditas
pertanian maupun non pertanian.
Hasil penelitian Simatupang (1992), menyimpulkan bahwa
perbaikan nilai tukar barter pertanian terjadi bila laju pertumbuhan
penduduk semakin besar, perbaikan teknologi sektor non pertanian
semakin tinggi dan lebih tinggi dari perbaikan teknologi sektor
pertanian. Sedangkan nilai tukar barter pertanian akan menurun jika
terjadi peningkatan produksi akibat perbaikan teknologi, penigkatan
produksi per kapita dan laju pertumbuhan penduduk yang menurun.
Sipayung (2000) merumuskan NTB adalah rasio indeks harga
deflator Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian terhadap
indeks harga deflator PDB sektor non pertanian. Dimana nilainya
18
dipengaruhi oleh elastisitas permintaan produk pertanian terhadap
pendapatan, rasio kemajuan teknologi sektor pertanian terhadap
sektor non pertanian dan perkembangan nilai tukar rupiah di pasar
intemasional.
Nilai Tukar Petani (NTP}
2.2.2.
Nilai tukar petani (NTP) merupakan salah satu indlkator relatif
tingkat kesejahteraan petani yang dihitung dari perbandingan indeks
harga yang diterima
petani terhadap indeks harga yang dibayar
petani. BPS membatasi "petani" untuk mengukur NTP, hanya petani
untuk komoditas tanaman bahan makanan (padi, palawija, sayuran
dan buah-buahan) dan tanaman perkebunan rakyat.
Dengan
konsumen
NTP,
sekaligus.
petani
diposisikan
ia
Karenanya
sebagai
produsen
dan
tukar
dari
mengukur daya
komoditas pertanian yang dihasilkan petani terhadap produk yang
petani
dibeli
untuk
keperluan
sarana
produksi
usaha
taninya
maupun untuk konsumsi rumah tangga. Petani didefinisikan sebagai
individu yang berusaha di bidang usaha tani ladang, mencakup usaha
tani komoditas tanaman bahan makanan dan tanaman perkebunan
BPS mengambil "petani' tersebut dalam unit propinsi,
rakyat.
sehingga menggambarkan petani suatu propinsi.
Nilai Tukar Petani (NTP) mulai dibuat oleh BPS dengan tahun
dasar 1983 untuk 4 propinsi di Pulau Jawa, yaitu Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur dan DI Yogyakarta untuk pengukuran NTP sejak
tahun 1976.
Selanjutnya dikembangkan untuk 10 propinsi lainnya
yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan,
Lampung, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawewsi
Utara dan Sulawesi Selatan dengan menggunakan tahun dasar 1987.
Sejak
Tahun
1999,
dengan
menggunakan
tahun
dasar
1993
dikembangkan lagi untuk 9 propinsi lainnya, yaitu Riau, Jambi,
Bengkulu,
Nusa Tenggara Timur,
Kalimantan
Barat,
Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
19
Pengukuran tidak dilakukan di Maluku, DKI Jakarta dan Irian Jaya.
Gam bar 1. di atas menjelaskan diagram proses pembentukan NTP.
Indeks NTP nasional adalah merupakan indeks komposit dari 14
propinsi yang telah diukur NTP -nya, dengan dilakukan pembobotan
tiap propinsi sesuai dengan jumlah rumah tangga taninya. Adapun
bobot tiap propinsi adalah sebagai tercantum dalam Tabel 3. Propinsi
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki bobot yang paling
besar dalam pembuatan NTP nasional mengingat kepadatan populasi
dan jumlah rumah tangga tani yang dimiliki paling besar. Sementara
Propinsi DI Yogyakarta memiliki bobot terkecil.
Tabel 3. Bobot Proplnsl dalam Nllal Tukar Petanl Indonesia
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
PROPINSI
PENIIIBANG
2.94
6.24
3.12
5.14
5.50
21.35
19.10
0.96
21.69
1.74
2.98
2.03
1.90
5.32
100
NAD
SUMUT
SUM BAR
SUMSEL
LAMPUNG
JABAR
JATENG
JOGYA
JAllM
BAU
NTB
KALSEL
SULUT
SULSEL
Jumlah
Sumber: BPS, 2006
2.2.2.1.
Indeks Harga yang diterima Petani (IT)
Indeks harga yang diterima petani (IT), yang menunjukkan
fluktuasi
harga
komoditas
pertanian
yang
dihasilkan
petani,
merupakan harga tertimbang dari setiap komoditas pertanian yang
diproduksi. Penimbang yang digunakan adalah nilai produksi yang
dijual petani rata-rata dari setiap komoditas.
Harga yang diterima petani dirumuskan oleh Rachmat (2000) sebagal
berikut :
HT -- ""
~ a.I
PT .
I
I
20
Dimana:
HT = harga yang diterima petani
PTi
=
harga kelompok komoditas ke - i (i
sayuran
dan
buah-buahan
=
serta
palawija, padi,
hasil
tanaman
perkebunan rakyat)
a, = Pembobot dari kelompok komoditas ke -
i
Karena NTP dinyatakan dalam angka indeks, maka demikian
juga dengan harga yang diterima petani, sehingga:
~
~
pin
Pi(n -1)
Q
p
t(n-1)
;o
IT,=
X 1000/o
Dimana:
ITn
= Indeks harga yang diterima petanl bulan ke-n
P,n
= Harga komoditas i pada bulan ke n
Ptcn-1> = Harga komoditas i pada bulan ke (n-1)
P10
= Harga komoditas i pada tahun dasar
Q10
= Kuantitas komoditas i pada tahun dasar
m
= banyaknya komoditas.
21
G~r:lbar
1.
Ojagr~:-n
?cr:t~cn":uk<!n
hA..~~,; V,A.~G ~ .7E~ : ~·/"t.o. ?=:7A~I
l'.:ui --t-~
J;;a ~';lai
.,~dm
. . ... ;!U
.- -1
I
·-··· -·- --
l)m.U
p;L~nwH;~
Nilai : ·.Jka::- Potani Oioh Badan Pusat Statis1ik
(~'T)
l-:..C..RGA YANG 013AYAR PETANi {HE!)
~
:~ I
:\bk:lnan
T:ma:umt
Kunsumsl
!3~l:t:Ul
jJ......,:~_;.,~~ '" .~11----
I
l'rumut.ua
.l"aug:m
\1.~ .
--
i.'it.a.ar:;
:.1 ft :l;,l1:·~
.. ~.dl ~
>
Bm1J1·•m
}..c.
~~liT ~ ~Tn' ~
L
-> .,.q·.J;;ct.uu
·u~:.!!...!._
!O:) :r..c.:..J.·,
I
ri
I
N ... ,
:..:dotll(IC•:t
:' v;r.o~ ;t;u
-----
-
- --·-=-1
J~.~~~r~~:·~:~~
Sumber: Rachmat (2000)
N'H•
N'J.'
l
J Au~kaDrs
_L rl ~'•••..·
.
. I
r---:
b:cauLA:t
•
S:U"atlU ,
l'ruduks•
i=
---
~...-~P.B~~{~·
1
rer.olkliAsn
.......dn
,
Pr
'
1"-·-.
l'AkaWl
-
Harga yang diterlma petani selain merupakan pendapatan juga
ditujukan untuk menurunkan tingkat kemiskinan swecara menyeluruh
di pedesaan. Bagi mereka penerimaan yang rendah mempersulit
untuk keluar dari lingkaran kemisklnan. Penerimaan yang rendah
juga dislnsentif
bagi petani untuk selalu berusaha menlngkatkan
produksi,
dengan
balk
teknologl
baru
maupun
peningkatan
keterampilan.
2.2.2.2.
Indeks Harga yang Dibayar Petani (IB)
Harga yang dibayar petani merupakan harga tertimbang dari
harga/biaya konsumsi makanan, konsumsi non makanan dan biaya
produksi
dan
penambahan
barang
modal
dari
barang
yang
dikonsumsi petani. Komoditas yang dihasilkan sendirl tidak termasuk
dalam perhitungan harga yang dibayar petani. Harga yang digunakan
adalah harga eceran barang/jasa di pasar pedesaan. Harga yang
dibayar petani dlrumuskan oleh Rachmat (2000) sebagai berikut :
- ~
HB -£..J
b.PB..
I
It
Dimana:
HB
= harga yang dibayar petani
PBi
=
=
harga kelompok komodltas ke - i (i
makanan,
pakaian, aneka barang, faktor produksl, non faktor
produksi dan penambahan barang modal)
b,
= Pembobot dari kelompok komodltas ke -
i
Sedangkan indeks harga yang diterima petanl menjadi :
~
IB, =
£.;
pin
p
Q
Pi (n _ l) i(n-t) ;o
X 1000/o
23
Dimana:
IBn
= Indeks harga yang dlbayar petanl bulan ke - n
Indeks yang dlterlma dan yang dlbayar petani di atas adalah
indeks L.aspayers yang dlmodlfikasi oleh BPS. Dlllhat darl rumus di
atas, lndeks tersebut merupakan nllai tertlmbang terhadap kualltas
pada tahun dasar. Pergerakan lndeks akan dltentukan oleh penentuan
tahun dasar, karena perbedaan penggunaan tahun dasar akan dapat
menghasllkan
keragaan
perkembangan
lndeks
yang
berbeda
(Rachmat, 2000).
Maka Nllai Tukar petanl adalah raslo antara IT dan IB sebagal berlkut:
NTP
2.3.
= (IT/ IB) x 100%
Perilaku Nilai Tukar Barter Pertanian dan Nilai Tukar
Petani.
Tanpa adanya intervensl kebljakan yang melindungl sektor
pertanian, nllai tukar barter pertanlan dan nllai tukar petani akan
cenderung mengalami penurunan.
Sebagaiman penurunan peran
sektor pertanian dalam pembentukan produksi nasional, penurunan
nllai tukar pertanlan juga memlllkl argumentasi teorltis sebagal
berikut : 1) elastisitas pendapatan produk pertanlan berslfat lnelastls
(Hukum Engel), 2) perubahan teknologl dengan laju yang berbeda
yang menguntungkan produk manufaktur, dan 3) perbedaan dalam
struktur pasar dimana
struktur pasar produk pertanlan
yang
cenderung kompetltlf, sementara struktur pasar produk manufaktur
cenderung kurang kompetltlf dan
bahkan mengarah ke pasar
monopolistik (Mubyarto, 1995; Rachmat, 2000).
2.3.1.
Elastisitas Produk Pertanian yang inelastis
Dengan sifat permintaan produk pertanian yang lnelastls
(persentase pertambahan jumlah yang dlminta leblh kecll darl pada
24
persentase pertambahan pendapatan) terhadap pendapatan berartl
pada kondisi pendapatan per kapita yang meningkat, maka laju
permintaan akan produk pertanian akan menurun. Karena ltu produk
pertanian secara umum termasuk barang inferior.
Secara grafls fenomena pembentukan dan pergerakan nilai
tukar pertanian dapat dljelaskan dengan model keseimbangan dua
sektor, seperti digambarkan oleh Anderson (1987) dalam Gambar 2
(Rachmat, 2000).
Gambar 3. Pembentukan dan Pergerakan Nilai Tukar Pertanian atas
dasar keseimbangan Tertutup dua sektor
Pcrton•l :_--
II
I
i
---- ---
A
..
II
10
Pl
I'U
Non Portani.on
Diasumsikan suatu model perekonomian dua sektor (pertanian
dan lndustri) yang tertutup. Kurva AA adalah kurva Kemungkinan
produksi (KKP), dan kurva 10 adalah Kurva Indifferen (KI) pada
kondisi awal.
Keselmbangan terjadl pada titlk
Eo
dlmana kurva KKP
bersinggungan dengan KI. Nilai Tukar Barter (NTB) yang merupakan
rasio harga antara sektor pertanian dan sektor lndustri dicerminkan
oleh garis singgung kurva KKP dengan KI yang melalui titik Eo yaitu
garis P0 Po.
Misalkan perekonomian mengalami pertumbuhan (misalkan
akibat perubahan teknologl), sehingga KKP bergeser proporsional ke
25
CC.
Pertumbuhan ini menyebabkan peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang tercermln dari pergeseran Kl dari lolo ke 1111 dan
titik keseimbangan berpindah pada E1 . Karena permintaan untuk
produk
pertanlan
berslfat
tidak
elastis
terhadap
pendapatan,
sementara permlntaan produk non pertanlan lebih elastis, sesuai
dengan hukum Engel, maka titlk keseimbangan baru E1 akan berada
dl sebelah kanan bawah dari titik Eo. Pada pertumbuhan netral
tersebut, maka garis harga baru adalah P1P1 akan lebih tegak dari
garis harga P0 P0 • Pada kondisi ini maka Nilai Tukar Pertanian {NTB} =
Po/P1 mengalami penurunan.
Di sisl lain, elastlsitas permintaan produk pertanian terhadap
harga juga lnelastis, dimana jumlah yang dlmlnta konsumen hanya
berubah dengan persentase perubahan yang lebih kecil darl pada
perubahan harga (Gambar 4). Sehingga ketlka terjadl penurunan
harga yang tajam, peningkatan penjualan produk pertanian tidak
setajam kenaikan harganya. Pada saat seperti ini pendapatan petani
mengalaml penurunan.
\
pO
so
EO
-------------.
-......
Sl
pO
-------------t-1
pl
so
EO
Sl
I
--- -----.------1
pl
El
El
\"
\
\
0
D
D
0
qO ql
Kuantitas
(i)
qO
ql
Kuantitas
(il)
Gambar 4. Pengaruh Elastisitas Kurva Permintaan.
26
Kedua gambar dl atas menunjukkan adanya pergeseran yang sama
dalam kurva penawaran SO ke 51. Keselmbangan awal terjadi pada
harga pO dan kuantitas qO dan keseimbangan baru terjadi pada p1
dan ql. Pada {I) pengaruh pergeseran kurva penawaran darl SO ke 51
adalah penurunan harga yang tajam dan kenaikan kuantltas yang
relatif kecil.
Pada {il) pengaruh pergeseran yang sama kurva
penawaran dari SO ke 51 adalah penurunan harga yang sedikit dan
kuantitas yang besar. Untuk Produk pertanlan yang secara umum
bersifat inelastis dijelaskan dengan Gambar 3 {i).
2.3.2.
Pen~bahan
Perbedaan
Industri
Teknologi
Pertanian
dan
Perubahan teknologi yang dimaksud merupakan inovasi yang
akan
meningkatkan
efisiensi
produksi
melalul
peningkatan
produktivitas dan atau penurunan biaya produksi. Dengan demikian
perubahan teknologi secara langsung akan merubah fungsi produksl
dan
secara
tidak
langsung
mempengaruhi
penggunaan
faktor
produksi dan harga, yang berarti pula akan mempengaruhi nilal tukar
pertanian maupun nilai tukar petani.
Teknologi, yang senantlasa berubah adalah syarat mutlak
adanya
pembangunan
pertanlan
{Mubyarto,
1995).
Sehingga
kesejahteraan petanl pun secara tidak langsung terpengaruh oleh
kemajuan teknologi yang dapat meningkatkan produktlvitas tanah,
modal maupun tenaga kerja. Namun demikian pada tingkat tertentu
dimana penignkatan produksi akibat kemajuan teknologi justru tidak
memberikan peningkatan kesejahteraan petani, jika tidak dibarengi
dengan kebijakan yang tepat.
Dari sisi individu petani,
meingkatkan nllai tukar petani.
peningkatan
produktivitas akan
Namun secara agregat peningkatan
produktivitas yang dibarengi dengan peningkatan produksi akan
27
cenderung menurunkan harga, yang hal inl berarti akan menurunkan
nllai tukar. Penggunaan teknologi pertanlan juga dapat berartl
ketergantungan sektor pertanian terhadap sektor non pertanian
(lndustri) yang juga dapat dipastikan akan menurunkan nllai tukar
pertanlan.
Perbedaan Struktur Pasar Procluk Pertanian dan
Industri
2.3.3.
Penyebab lain yang membedakan pergerakan nllai tukar
pertanian
adalah
struktur pasar.
Pasar komoditas pertanlan
umumnya bersalng sempurna (Hayami and Ruttan, 1985), dimana
harga ditentukan oleh pasar , yaltu penawaran dan permintaan.
Bahkan seringkall pasar produk pertanian bersifat monopsonistik. Hal
itu terjadi karena produsen produk pertanian banyak jumlahnya dan
pada umumnya brskala kecil.
Adalah sifat yang khas darl hasll-hasil pertanian bahwa variasl
dan goncangan harga selalu terjadi pada saat panen raya dan
paceklik (Mubyarto, 1995). Ketlka panen raya seharusnya petani
mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pengembalian yang
tinggi,
namun
nyatanya tidak
demlmian
karena
akan
terjadl
penurunan harga. Fluktuasi harga pertanian ini adalah kejadian
umum yang tldak saja terjadi dl Indonesia, tetapl juga di negara lain,
sepertl Amerika yang pada tahun 1980-an memasok dua per tiga
kebutuhan beras dan kedelal dalam perdagangan dunia, sehlngga
menlmbulkan ketidakpastlan pada penghasllan usaha tani. Dan juga
ada kecenderungan jangka panjang bahwa penghasllan dari usaha
tani terus merosot dibawah penghasllan di kota, walaupun terjadi
peningkatan produktivitas dan pergeseran tenaga kerja (Upsey,
1989).
28
Sementara untuk pasar produk industri cenderung bukan
persaingan sempuma, dimana sampai batas tertentu produsen
memiliki kekuatan untuk menentukan harga dan produksl. Seringkali
pasar produk
industri
bersifat monopolistik,
dengan
produsen
berskala besar dan sedikit jumlahnya. Produk industrl juga tldak
tergantung musim dan perubahan harga tidak terjadi secara drastis
sebagaimana produk pertanian. Kegoncangan harga bisa terjadl
hanya karena, 1) peran sektor pertanian yang masih pentlng dan, 2)
berhubungan erat dengan kenyataan tersebut, pemerintah dan sektor
di luar pertanlan belum mampu menyumbang stabilisasl harga hasil
pertanian.
Dengan kondisl seperti di atas, menyebabkan harga relatif
produk pertanian cenderung
menurun,
maka jelas nilai tukar
pertanian dan petani akan cenderung menurun pula.
Hal itu
ditambah lagi dengan sifat produksi pertanian yang musiman dan
cepat rusak (perishable) tanpa ada treatmen atasnya.
Karena struktur pasar pertanian yang demikian, produsen
sangat tidak memiliki kekuatan menentukan harga, maka peran
kebijakan pemerintah dalam penentuan harga sangat diperlukan.
Yang biasa dilakukan adalah penentuan harga dasar. Walaupun
terjadi distorsi karena harga menjadi diatas harga keseimbangan, hal
lni dilakukan untuk kepentingan keuntugan bagi petani sebagai
produsen (Lipsey, 1989).
2.4.
Kebijakan Pemerintah dalam Pembangunan Pertanian
Sebagaimana diketahul di setiap perekonomian di dunia tldak
terlepas dari campur tangan
pemerlntah dalam
rangka
untuk
tercapainya efisiensi sumber daya ekonomi di berbagai sektor. Dalam
sektor pertanian kebijakan pemerlntah adalah dalam rangka untuk
memajukan
pertanian,
penlngkatan
produktivitas,
produksi
dan
29
efisiensi produksi sehingga akibatnya kesejahteraan petani menlngkat
lebih tlnggi dan kesejahteraannya leblh sempuma (Mubyarto, 1995).
Untuk kasus Indonesia, campur tangan pemerintah sangat
kuat dalam pemasaran produk pertanian (Simatupang,
1992).
Sebagaimana dinyatakan oleh T.W.Schult dalam Bale and Lutz (1981)
bahwa " .......... agricultureal production depends not so much on
technical consideration, but in large measure - on what governments
do to agriculture". (produksi pertanian tidak sangat tergantung pada
kemajuan teknik budidaya, tapi lebih kepada apa yang dilakukan
pemerintah atas sektor pertanian)
Setiap kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan
ekonomi,
balk
sektoral
maupun
akan
keseluruhan
secara
mempengaruhi pergerakan nilai tukar pertanian dan nilal tukar
petani. Dalam Propenas 1999 menempatkan
industri
perekonomian
dan
non
2004, arah kebljakan nasional
migas
menjadikan
sebagai
penggerak
perekonomian
utama
bertransformasi
menjadi ekonomi berbasis industri, sementara sektor pertanian
sebagai basis pengembangnya.
Dengan arah kebijakan ini tentu
peran sektor pertanian akan terus menurun, karena sektor industri
dan jasa diharapkan terus meningkat.
Kebijakan pembangunan lebih diarahkan untuk mendukung
strategi
pengembangan
industri
yang
berspektrum
luas
dan
berteknologi tinggi namun kurang terkait dengan sektor pertanian
dan sumber daya domestik (Saragih, 1995). Dijelaskan, terdapat dua
lndikator berkaltan dengan hal tersebut, yaitu :
1) kebijakan makroekonomi yang kurang mendukung, dan
2) pengelolaan pembangunan agribisnis yang tersekat-sekat
dilakukan oleh banyak departemen tanpa terkoordinasi.
Kebijakan
makroekonomi
yang
kurang
mendukung
pengembangan pertanian dapat dlevaluasl dari penetapan kebijakan
antara lain : a) dalam rangka menlngkatkan impor bahan baku,
30
bahan penolong dan tenaga ahli industri, nilai tukar rupiah ditetapkan
lebih tinggi dari seharusnya (over valued). Kebijakan ini telah
menghambat ekspor komoditas pertanian, yang pada gilirannya
menurunkan nilai tukar pertanian, yang ditunjukkan oleh semakin
menurunnya nilai rasio antara harga produk pertanian terhadap harga
produk industrl ; b) harga komoditas pertanian khususnya pangan
ditetapkan relatif murah dengan sasaran meningkatkan daya saing
produk manufaktur. Kenyataan tersebut telah menurunkan nilai tukar
pertanian dan nilai tukar petani, dan c) untuk menutupi defisit
anggaran dan neraca pembayaran agar berimbang ditetapkan suku
bunga tinggi untuk meraih arus modal masuk. Kebijakan-kebijakan
tersebut tidak memberikan insentif bagi petani dalam melakukan
produksi dan tidak mendorong pengembangan agroindustri dengan
orientasi ekspor.
Chenery dalam Yudhoyono
(2004)
menyimpulkan
bahwa
strategi pembangunan ekonomi yang dilandaskan pada prioritas
pertanian dan ketenagakerjaan paling tidak memerlukan tiga unsur
pelengkap dasar, yaitu :
1. Percepatan
pertumbuhan
output
melalui
serangkaian
penyesuaian teknologi, institusi, dan insentif harga, yang
khusus dirancang untuk meningkatkan produktivitas para
petani kecil ,
2. Peningkatan permintaan domestik terhadap output pertanian
yang didasarkan pada strategi pembangunan perkotaan yang
berorientasi pada upaya pembinaan tenaga ketenagakerjaan,
dan
3. Diversifikasi kegitan pembangunan pedesaan yang bersifat
padat karya pada sektor non pertanian, yang secara langsung
dan tidak langsung akan menunjang dan ditunjang oleh
masyarakat pertanian.
31
Untuk
penlngkatan
itulah
kesejahteraan
sebagai
petani
produsen pertanian sangat penting artinya. Setiap perkembangan
industri manufaktur membutuhkan pasar domestik untuk penyerapan
produknya, dimana sebagian besar pasar tersebut adalah sebagai
tenaga kerja di sektor pertanian. Karena itu penguatan daya beli
petani, melalui peningkatan daya beli produksi pertaniannya terhadap
produk industri sangat penting untuk dilakukan. Peran pemerintah
dalam hal ini sangat penting melalui berbagai kebijakan. Sipayung
(2000) menemukan bahwa alokasi investasi pemerintah pada sektor
pertanian dan non pertanian sangat menentukan pertumbuhan sektor
pertanian ke depan dalam rangka penguatan daya beli petani.
Kebijakan Makroekonomi
2.4.1.
Edward Schuh (1974) melihat pengaruh kebijakan nilai tukar
(kurs) terhadap sektor pertanian Amerika Serikat, setelah mengamati
bahwa selama kurun sebelumnya kebijakan ekonomi pertanian
Amerika
Serikat
terkesan
lebih
menutup
dirl
dari
pengaruh
perdagangan dunia. Kemudian Schuh (1976) melihat kebijakan
makroekonomi yang lebih luas pengaruhnya pada sektor pertanian.
Menurutnya
interaksi antara kebljakan
makroekonomi terhadap
sektor pertanian adalah melalui pengaruhnya pada inflasi, nilai tukar
rill, suku bunga rlil dan insentif ekspor-impor pertanian.
McFall Lamn (1980) membangun persamaan ekonometrika
simultan untuk melihat pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap
sektor pertanian.
(inflasi)
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa harga
merupakan
media
dimana
kebijkan
makroekonomi
berpengaruh terhadap sektor pertanian. Sementara Cavallo and
Mundlak (1982) juga membangun model ekonometrika dengan
persamaan
simultan
keterkaitan
perekonomian makro di Argentina.
antara
pertanlan
dengan
Hasil simulasi menunjukkan
32
bahwa jika kebijakan makroekonomi diarahkan untuk memanfaatkan
keunggulan komparatlf pada ekspor produk pertanian, Argentina akan
dapat menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Kebijkaan
liberalisasi perdagangan jika disertai dengan pengelolaan kurs yang
tepat dapat meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian dan non
pertanian.
Rausser
et.al
(1986)
dengan
menggunakan
model
ekonometrika persamaan simultan untuk menganalisa keterkaitan
kebijakan makroekonomi dengan sektor pertanian di Amerika Serikat.
Diketahui bahwa variabel ekspor merupakan media dimana kebijakan
makroekonomi berpengaruh terhadap sektor pertanian.
Beberapa
temuan
keterkaitan
kebljakan
ekonoml
makro
dengan sektor pertanian di Indonesia antara lain adalah Timer (1984)
yang menganallsis keterkaitan kebijakan makroekonomi terhadap
sektor pangan di Indonesia. Didapatkan bahwa nilai tukar mata uang
rupiah merupakan variabel yang sangat penting sebagai media
berpengaruhnya kebijakan makroekonomi terhadap sektor pangan.
Dengan membangun model ekonomi makro dan keterkaitannya
dengan sektor pertanian Indonesia, Isdijoso (1992) dalam Tesisnya
menemukan
bahwa
variabel
kebijakan
makroekonomi
yang
berpengaruh terhadap sektor pertanian adalah kredit, konsumsl
pemerintah, ekspor, impor dan inflasi.
Simatupang dan Mardianto (1996) menganalisis pengaruh
kebijakan
moneter
dan
kurs
terhadap
transformasi
struktur
perekonomian Indonesia. Dengan menggunakan persamaan tunggal
model ekonometrika disimpulkan bahwa kredit dan nilai tukar barter
pertanian merupakan media transmisi pengaruh kebijakan moneter
terhadap sektor pertanian. Juga disimpulkan bahwa peningkatan
jumlah
uang
beredar
dan
devaluasi
mata
uang
rupiah
menguntungkan sektor pertanian.
33
Hasil-hasil temuan studi di atas menunjukkan bahwa kebijakan
makroekonomi sangat mempengaruhi sektor pertanian. Upaya-upaya
apapun yang dilakukan pada sektor pertanian termasuk subsidi, bila
kebijakan makroekonomi yang ditempuh merugikan sektor pertanian,
maka tidak akan banyak gunanya {Sipayung, 2000 ; Arifin, 2004)).
2.4. 2.
Kebijakan Harga Produk Pertanian
Kebljakan harga atas produk pertanian, dilakukan pemerintah
melalui berbagai jalan. Antara lain adalah pajak ekspor sebagai
sumber pendapatan negara dan alat untuk menjaga harga yang
rendah di dalam negeri ; dukungan harga yang stabil di negara maju
untuk menjamin pendapatan petani dan menjual surplus produksi ke
negara sedang berkembang; serta untuk faktor produksi diberikan
subsidl
atau
pajak
{Bale
and
Lutz,
1981).
Mubyarto
{1995)
menyatakan bahwa kebijakan harga di banyak negara biasanya
digabung dengan kebijakan pendapatan (price and income policy).
Hal ini berarti pemerintah melakukan stabilisasi harga dan menjaga
agar pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi dari muslm ke
musim. Selanjutnya dijelaskan bahwa kebijakan harga pertanian
bertujuan untuk : 1) stablllsasi harga, terutama pada tlngkat petanl;
2) menlngkatkan pendapatan petani melalui perbalkan nilai tukar
{term of trade) balk sektor maupun pendapatan pertanlan ; 3)
memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi.
Kebijakan lainnya dalam ·pengaturan harga produk pertanian
oleh pemerintah adalah harga dasar (floor price) dan harga tertinggi
(ceiling price).
Harga dasar diperlukan untuk menjaga agar harga
pasar pada saat panen raya tidak turun, sedangkan harga tertinggi
ditetapkan agar di masa paceklik {kurangnya stok) harga tidak naik
terlalu tinggi.
Harga dasar ditetapkan berdasarkan perhitungan
besarnya input produksl. Begitu
juga harga tertlnggi merupakan
34
kisaran harga berdasarkan besamya masukan yang diberikan petani
dalam proses produksi komoditas tersebut {Daniel, 2004). Kebijakan
ini harus dibarengi dengan kebijakan penyediaan stok maupun
pembelian kelebihan produksi dari petanl, sehingga harga dasar
maupun harga tertinggi dapat efektif berlaku.
Gambar. 5. Kebijakan Harga Daur dan Harga Tertinggi
Harga
1. .
...:
c;
Harga
I
HargaDasar
Pl
I
I
PO
-------~---:
PO
-----------.,
I
I
I
Hargaatap
Pl
'
I
I
I
1 ... .
I
I
nl
I
:
ql
qO
q2
q2
n
I
qO ql
Kuantitas
Kuantltas
(I)
(II)
Gambar 5. di atas mengllustraslkan mekanlsme kebljakan
harga untuk produk pertanlan dengan kurva penawaran yang
inelastis. Pada gambar {i) harga dasar {Pl) lebih tinggi darl harga
keselmbangan {PO), sehingga jumlah yang dltawarkan akan meleblhi
jumlah yang diminta sebesar qlq2. Kelebihan penawaran tersebut
yang harus dikelola pemerintah sehingga kebijakan harga dasar akan
efektif berlaku untuk menjamin pendapatan produsen. Sedangkan
pada gambar '{il) harga tertinggl {atap) ditetapkan leblh rendah dari
pada harga keseimbangan {PO) untuk melindungi konsumen dari
harga yang terlalu tinggi, sehlngga karena harga yang rendah jumlah
permintaan melebihi jumlah yang ditawarkan sebesar q2ql.
Dalam realita, sering terjadi bahwa campur tangan pemerintah
dalam pasar produk pertanian cenderung merugikan petanl sebagal
produsen. Untuk melaksanakan kebljkan pangan murah maka harga
35
di tingkat petani ditekan agar harga di tingkat konsumen rendah
(Bale and
Lutz,
1981
;
1992).
Simatupang,
Hal
lni dapat
mengakibatkan rendahnya insentif bagi petani untuk berproduksi .
Upaya untuk merubah harga produk pertanlan ini dllakukan untuk
berbagai tujuan, misalnya untuk mengendalikan inflasi, menekan
upah tenaga kerja dan mendorong perkembangan industri. Stabilisasi
harga juga dimaksudkan untuk mencegah turunnya daya bell
konsumen kota untuk kepentingan stabilitas sosial politik (Amang,
1999). Campur tangan pemerintah yang bias kepada konsumen ini
cenderung memperburuk nilai tukar sektor pertanian.
2.5.
Keterkaitan Sektor Pertanian dengan sektor industri
(non Pertanian)
Keterkaitan
sektor
pertanian
dengan
sektor
industri
manufaktur, dimana produk pertanian menjadi input sektor industri,
dan sektor industri yang memanfaatkan
produk pertanian diduga
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perubahan nilai tukar
pertanian dan nilai tukar petani.
Kebijakan yang tidak mensinergikan sektor pertanian dan
industri manufaktur, berdampak pada tldak berkembangnya sektor
pertanian dan semakin tingginya ketergantungan bahan baku impor
untuk industri yang sebenarnya dapat dipenuhi dari produk lokal.
Masih banyak hasil pertanlan yang hanya diekspor dalam bentuk raw
material, seperti sawit (CPO), rotan, rempah-rempah, dan lain-lain.
Hal ini ditambah lagi dengan kebijakan pangan yang kurang ramah
terhadap produk pertanian lokal. Sebagai
contoh adalah kebijakan
yang terkait dengan bahan pangan gandum, telah dlkembangkan
industri terlgu yang 100°/o tergantung pada impor gandum (Basri,
2006). Adanya pilihan lain terhadap sumber pangan tentu akan
berpengaruh pada konsumsi produk pangan lokal, karena hal ini
36
terkait dengna elastisltas permintaan sllang (Upsey, 1995). Pada
gilirannya nilai tukar pertanian di dalam negerl akan menurun.
Kebijakan pembangunan ekonomi yang bias terhadap sektor
non pertanian dan mengorbankan sektor pertanian berkaitan dengan
pandangan umum pembangunan ekonomi khususnya pada awal
pembangunan
dengan
cara
memeras
sektor
pertanian
untuk
memblayai pembangunan sektor non pertanian, melalui investible
surplusnya (Tambunan, 2006), yang dikenal dengan pembangunan
yang memeras ganda sektor pertanlan (double development squeeze)
sebagaimana dikemukakan Lewis dan Nurkse (Sipayung, 2000).
Bentuk-bentuk kebijakan yang tidak menguntungkan sektor pertanian
ltu dimaksudkan untuk mempermurah upah tenaga kerja dan bahan
baku di sektor industri, sehingga dapat mempercepat pengembangan
sektor industri.
Setiap sektor dalam perekonomian adalah suatu sistem yang
terintegrasl dalam suatu kebijakan, Karena adanya keterkaitan
diantara
sektor-sektor
tersebut
dalam
mempengaruhi
kinerja
ekonomi nasional. Begitu juga antara sektor pertanian dengna sektor
industri. Rangrajan (1982) menjelaskan ada 5 mekanisme keterkaitan
ekonomi antara sektor pertanlan dan non pertanian. Pertama, sektor
pertanian menghasilkan bahan baku bagi sektor non pertanian.
Produksi sektor pertanian berupa bahan pangan dan non pangan
merupakan input utama dari sektor non pertanian sepertl industri
pengolahan hasil pertanlan, perdagangan dan restoran. Kedua, sektor
non pertanian menghasilkan input yang diperlukan oleh sektor
pertanian seperti pupuk, pestisida, mesln pertanian, dan berbagai
jenis jasa. Ketiga, sektor pertanian (rumah tangga pertanlan)
merupakan pasar bagl output akhir sektor non pertanian. Bahan
pangan olahan, sandang dan papan serta berbagai jenls jasa yang
dihasilkan sektor non pertanian dlmanfaatkan oleh rumah tangga
pertanian. Keempat, keterkaitan melalui tabungan pemerintah dan
37
investasi publik. Peningkatan output sektor pertanian akan secara
langsung meningkatkan penerlmaan pajak tak langsung pemerintah
yang selanjutnya digunakan untuk membiayai investasi publik.
Peningkatan investasi publik ini akan meningkatkan permintaan
barang-barang modal yang dihasilkan sektor non pertanian. Kelima,
keterkaitan melalui perilaku investasi swasta.
Harga komoditas
pertanian yang relatif rendah dan stabil, akan merangsang invesatl
swasta pada sektor non pertanian.
Sipayung (2000) menyebutkan studl yang dilakukan Bank
Dunia tentang keterkaitan pertumbuhan sektor pertanian dengan non
pertanian (pertumbuhan ekonomi) menunjukkan bahwa dari 23
negara dimana pangsa sektor pertaniannya dalam PDB lebih dari 20%
dan laju pertumbuhan PDB lebih dari 5°/o, 17 negara diataranya
mengalami pertumbuhan sektor pertanian leblh dari 3 °/o per tahun.
Sedangkan 11 negara yang mengalami pertumbuhan PDB di bawah
3°/o, tingkat pertumbuhan sektor pertanian hanya 15 atau kurang.
Indonesia
termasuk
negara
dimana
keterkaitan
sektor
pertanian dan non pertanian lemah. Dengan menggunakan Tabel 10
tahun 1980, Sumartono (1985) mengungkapkan bahwa koefisien
keterkaitan langsung ke depan sektor pertanian hanya 0.34°/o.
ini
menunjukkan
bahwa
sektor
non
pertanian
belum
Hal
banyak
menggunakan output sektor pertanian dalam proses produksinya.
Sebaliknya sektor pertanian juga belum banyak menggunakan output
sektor non pertanian.
2.6.
Beberapa Temuan Empiris tentang Nilai Tukar Barter
Pertanian dan Nilai Tukar Petani
Pertama-tama Simatupang (1992) melakukan kajian teoritis
tentang nilai tukar barter (TOT) sektor pertanlan. Dengan membagi
sektor perekonomian menjadi dua sektor, yaitu sektor pertanlan dan
38
non pertanian, nilai tukar barter sektor pertanian didefinisikan
sebagai rasio antara harga produk pertanian dengan harga produk
industri dan dirumuskan :
TOT = harga oroduk sektor pertanian
Harga produk sektor industri
Nilai tukar barter sektor pertanian akan mengalami penurunan
menurut waktu jika laju perubahan nilai tukar barter tersebut lebih
kecil dari nol. Dalam analisisnya disimpulkan bahwa dengan skenario
perekonomian yang terus tumbuh dan produksi per kapita sektor
pertanian lebih lambat dari sektor non pertanlan, nilai tukar barter
sektor pertanian akan cenderung menurun dan sulit untuk dicegah di
masa datang. Hal tersebut karena berbagai faktor, antara lain :
1.
Pertumbuhan
penduduk
cenderung
menurun
yang
dapat
memperlambat laju peningkatan permintaan pangan.
2.
Seiring
dengan
upaya
yang
pembangunan
mendorong
pertumbuhan pendapatan per kapita, maka elastisitas pendapatan
terhadap pangan akan semakin
kecil,
sedangkan elastisitas
pendapatan terhadap produk non pertanlan akan semakin besar.
3.
Upaya
pembangunan
yang
sangat
gencar
untuk
memacu
peningkatan produksi pertanian meningkat.
Kesimpulan-kesimpulan tersebut di atas bisa saja menyimpang dari
kenyataan empiris yang ada karena sebab campur tangan pemerintah
dan kondlsi pasar yang asimetris.
Dalam penelitian berikutnya Simatupang dan Isdijoso (1992)
melihat pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap Nilai Tukar Sektor
pertanian secara empiris, dengan data tahun 1965 - 1990. Dengan
menggunakan regresi linier sederhana, nilai tukar barter sektor
pertanian sebagai independent variable, laju pertumbuhan sektor
pertanian dan sektor non pertanian sebagai dependent variable.
Analisis menghasilkan bahwa nilai tukar barter
sektor pertanian
39
berhubungan positif dengan laju pertumbuhan produksi sektor non
pertantan dan berhubungan negatif dengan laju pertumbuhan sektor
pertanian sendiri. Model yang didapatkan adalah :
TOTP = 1.3352 - 0.0376(GSP) + 0.0007(GSNP) - 0.0078dT
Selanjutnya
dijelaskan
bahwa
dengan
koefisien
laju
pertumbuhan yang kecil (GSNP) dan tidak nyata secara statistik
merupakan indikasi bahwa kaitan antara sektor pertanian dengan
sektor lndustri (non pertanian) sangat rendah. Dengan kata lain
sektor agro-industri belum berkembang dengan baik. Jika agroindustri
berkembang,
akan
meningkatkan
permintaan
produk
pertanian, karena terjadi perbaikan mutu dan diversifikasi produk.
Sipayung
(2000)
menganalisls
pengaruh
kebijakan
makroekonomi terhadap sektor pertanian. Variabel-variabel yang
ditelitl meliputi kebljkaan fiskal dan pembelanjaan pemerlntah,
kebljakan nilai tukar dan perdagangan intemasional, kebijakan suku
bunga, perilaku inflasi, neraca transaksi berjalan, nilai tukar barter
pertanian, perilaku investasi swasta, perilaku pangsa alokasi investasi
antar sektor, produksl sektor pertanlan dan non pertanian dan
penyerapan tenaga kerja. Beberapa hasil penelitiannya kami sebut
disini.
Peda penelitian tentang perilaku inflasl, yang dicerminkan dari
keragaman indeks harga konsumen
dijelaskan
dihasilkan bahwa inflasi dapat
dengan balk oleh keragaman variabel kurs
rupiah,
pengeluaran investasi pemerintah dan upah balk secara lndlvidu
maupun secara keseluruhan model.
Depresiasi (apreslasl) kurs
rupiah akan meningkatkan (menurunkan) indeks harga konsumen di
Indonesia.
Hal
ini
berkaitan
memperngaruhi ekspor-impor.
dengan
peranan
kurs
dalam
Impor Indonesia terdiri dart barang-
barang konsumsi, bahan baku dan barang-barang modal.
Oleh
karena itu blla rupiah terdepresiasi berarti akan meningkatkan harga
40
barang impor, sehingga secara langsung (barang konsumsi) dan tidak
langsung (barang modal, bahan baku) akan meningkatkan indeks
harga konsumen.
Selain
itu pengaruh kurs rupiah terhadap indeks harga
konsumen juga bersumber dari barang ekspor.
Depreslasi rupiah
akan mendorong ekspor sehingga harga barang-barang ekspor
Indonesia di dalam negeri mengalami kenaikan.
Karena barng-
barang ekspor sebagian juga merupakan barang konsumsl dalam
negeri, kenaikan harga tersebut juga mendorong kenaikan lndeks
harga konsumen (inflasi)
Selanjutnya untuk perilaku nilai tukar barter sektor pertanian,
dltemukan bahwa ia dipengaruhi oleh pangsa pengeluaran untuk
konsumsi, kemajuan teknologi pertanian relatif terhadap kemajuan
teknologi sektor non pertanian dan distorsi nilai tukar rupiah. Setiap
penlngkatan pangsa pengeluaran untuk konsumsi akan meningkatkan
nilai tukar barter sektor pertanian sebesar 0.0044. Sementara setiap
peningkatan teknologi sektor pertanian justru akan menurunkan nilal
tukar barter sektor pertanian sebesar 0.074.
Rachmat (2000) dalam analisisnya tentang Nllai Tukar Petanl
(NTP), salah satu analisisnya adalah melihat faktor waktu dalam
perubahan-perubahan NTP di setiap propinsi, dengan model :
Yt = Yo + a1 T + a2 D + a3 OK + U
dengan menjadikan tahun antara sebelum dan sesudah krisis sebagai
variabel dummy (D dan OK). Penelitian ini melihat pengaruh krisis
pada pergerakan NTP dan dltemukan bahwa krisis memperburuk NTP
di Propinsi NAD, Sumatra Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Sementara krisls justru memperbaiki
NTP di Sumatra Selatan, DIY, Bali, NTB, Kallmatan Selatan dan
Sulawesi Selatan.
Penelltian juga mellhat arah pergerakan Indeks harga yang
diterlma petani (IT) dan Indeks harga yang dlbayar petanl (IB)
41
dengan data tahun 1987 - 1998. dengan model regresi sederhana
ditemukan bahwa rata-rata pergerakan IT per observasi adalah
18.30, sementara rata-rata pergerakan IB per observasi 16.04.
Analisa terhadap IT setiap komoditas adalah bahwa perubahan
setiap kenaikan harga Rp 1000 /kw padi akan meningkatkan NTP
sebesar 0.364, palawija 0.07, sayuran 0.046, buah-buahan 0.044
sementara untuk tanaman perkebunan rakyat 0.064.
NTP dengan penyusun IB berhubungan secara negatif, karena
produk konsumsi pangan berbobot paling besar dalam penyusun IB
dibandingkan dengan produk non makanan, maka perannya dalam
pembentukan NTP lebih besar. Untuk rataan elastisitas IB didapatkan
nilai -0.2256°/o, yang berarti bahwa setiap peningkatan 1 o/o IB akan
menurunkan NTP sebesar 0.2256%.
Ditemukan juga dampak simultan harga-harga pembentuk
NTP. Bahwa secara rataan setiap peningkatan harga pembentuk NTP
akan menurunkan NTP sebesar 0.079°/o. Sementara untuk kejadian
inflasi
(perubahan
harga-harga
umum)
menurunkan NTP sebesar 0.074%.
sebesar
10%
Faktor peningkatan harga padi
lebih berpengaruh daripada pencabutan subsidi pupuk.
dari
penelitian
tersebut
akan
disimpulkan
bahwa
Kemudian
NTP
dapat
menggambarkan kekuatan daya tukar ( daya bell/purchasing power)
dari komoditas pertanian terhadap komoditas industri.
Penelitian sejenis yang lebih lama tentang NTP kebanyakan
masih terpusat pada pola pergerakannya sejalan dengan waktu.
Sementara yang mengamati pengaruh kebijakan makroekonomi
maupun kebijakan perdagangan sektor pertanian belum penulis
temukan. Oleh karena itu penulis mencoba mencari hubungan antara
kebijakan pemerintah
tersebut dengan perllaku nllai tukar petani
sejalan dengan perkembangan waktu.
42
BAB Ill. METODOLOGI
Analisis terhadap NTP akan dilakukan balk secara deskriptif,
maupun dengan bantuan pemodelan ekonometrika. Analisis deskriptif
dilakukan untuk melihat fluktuasi (pergerakan) NTP Agregat dari waktu
ke waktu dihubungkan dengan berbagai faktor dan kebijakan ekonomi
pemerintah secara umum maupun sektor pertanian.
Kemudian analisis dengan pemodelan ekonometrika dilakukan
untuk memperhatikan, pertama pola pergerakan (trend) NTP Agregat
dari tahun ke tahun, Kedua, pengaruh krisis ekonomi terhadap NTP
agregat, ketiga
berbagai faktor dan kebijakan yang mempengaruhi
NTP agregat, NTP Tanaman Bahan Makanan (TBM), NTP Tanaman
Perkebunan Rakyat (TPR) dan NTP PAdi. Analisis ini didasarkan pada
Diagram pembentukan NTP seperti disebutkan di Bab II (Gambar 1).
3.1.Identifikasi Variabel Yang Mempengaruhi NTP.
Sesuai dengan tujuan studi ini yang akan melihat berbagai
kebijakan makroekonomi yang telah ditempuh pemerintah terhadap
perkembangan
variabel
kesejahteraan
diidentifikasi
petani
mempengaruhi
Indonesia,
maka
kesejahteraan
beberapa
petani,
yang
dinyatakan dalam indikator Nilai Tukar Petani (NTP). Karena analisis
akan lebih terbatas pada variabel kebijakan ekonomi pemerintah,
maka pengambilan varia bel terbatas pada indikator makroekonomi.
Mengingat NTP adalah rasio indeks harga yang diterima petani
(IT) dengan indeks harga yang dibayar petani (IB), maka identifikasi
variabel yang mempengaruhi NTP adalah juga identifikasi terhadap
variabel-variabel
yang
mempengaruhi
pergerakan
IT
maupun
pergerakan lB.
Analisis juga akan dilakukan lebih rinci terhadap pergerakan NTP
komoditas tanaman bahan pangan {TBM) maupun tanaman
perkebunan Rakyat {TPR).
Khusus untuk TBM akan dilanjutkan
kepada analisis NTP Padi, yaitu komoditas yang memiliki bobot
terbesar dalam pembentukan NTP (rata-rata 40°/o) dan merupakan
komoditas pangan yang utama di Indonesia.
Adapun variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap
pergerakan NTP, sebagaimana disebutkan dalam Hipotesis awal di Bab
I adalah sebagai berikut :
3.1.1. Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian (TOT)
Konsep nilai tukar barter mengacu pada harga relatif suatu
komoditas pertanian tertentu terhadap barang/produk non pertanian.
Nilai tukar barter (NTB) didefinisikan sebagai rasio antara harga
produk pertanian terhadap harga produk non pertanian (Rachmat,
2000). Peningkatan NTB berarti semakin kuat daya tukar komoditas
pertanian terhadap barang yang dipertukarkan.
Sipayung (2000)
merumuskan NTB adalah rasio indeks harga deflator Produk Domestik
Bruto (PDB) sektor pertanian terhadap indeks harga deflator PDB
sektor non pertanian. Indeks harga deflator PDB adalah rasio antara
PDB harga nominal dengan PDB pada harga konstan. Dengan demikian
TOT menggambarkan nllai tukar ( daya beli) sektor pertanlan secara
makro. Sedangkan NTP menggambarkan daya beli petani secara
mikro.
Perbaikan
nilai
tukar
barter
pertanian
terjadi
bila
laju
pertumbuhan penduduk semakin besar, perbaikan teknologi sektor non
pertanian semakin tinggi dan lebih tinggi dari perbaikan teknologi
sektor pertanian.
Sedangkan
nilai tukar barter pertanian
akan
menurun jika terjadi peningkatan produksi akibat perbaikan teknologi,
penigkatan produksi per kapita dan laju pertumbuhan penduduk yang
menurun.
Merujuk pada hasil penelitian terdahulu oleh Simatupang (1992)
bahwa laju Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Sektor non Pertanian
berpengaruh terhadap Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian (Term of
Trade= TOT). Laju Pertumbuhan sektor pertanian berpengaruh negatif
dan laju pertumbuhan sektor non pertanian berpengaruh positif.
Secara teoritis telah dibuktikan bahwa nilai tukar barter sektor
44
pertanian akan menurun apabila sektor produksi pertanian dan non
pertanian meningkat dengan laju yang sama.
3.1.2. Kebijakan Pemerintah yang mempengaruhi input dan
harga produksi pertanian.
3.1.2.1.
Anggaran Pembangunan Untuk Sektor Pertanian
Kebijakan Anggaran untuk sektor pertanian adalah total
anggaran untuk sektor pertanian, baik yang berupa proyek, subsidi
maupun untuk pembangunan jaringan irigasi (pengairan). Dalam
penelitian ini variabel
anggaran yang akan dipakai adalah anggaran
untuk pembangunan jaringan irigasi dan subsidi pupuk.
Kedua
anggaran tersebut disajikan secara total, mengingat untuk subsidi
pupuk tidak dianggarkan lagi sejak APBN Tahun Anggaran 1998/1999.
Dengan memperhatikan Diagram pembentukan NTP, maka
anggaran tersebut di atas akan memberikan pengaruh positif pada IT
maupun IB. Anggaran untuk pembangunan jaringan irigasi akan
mempermudah petani dalam memperoleh sarana pengairan, sehingga
memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi pertanian. Oleh
karenanya berpengaruh langsung terhadap IT. Sementara anggaran
subsidi pupuk akan memberikan pengaruh terhadap pengurangan
harga input produksi yang harus dibeli oleh petani. Oleh karenanya
akan berpengaruh langsung pada IT maupun pada IB.
Dengan demikian anggaran pertanian memberikan pengaruh
positif terhadap input produksi berupa perbaikan teknologi, dan
pengurangan biaya input.
Dengan kerangka pemikiran tersebut, diharapkan bahwa jumlah
anggaran pembangunan untuk sektor pertanian berpengaruh positif
terhadap NTP sebagai indikator kesejahteraan petani.
3.1.2.2.
Kebijakan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Urea
Pupuk adalah salah satu input penting dalam usaha pertanian
yang harus dipenuhi kebutuhannya untuk menjamin produksi yang
baik. Harga yang dibayar petani untuk mendapatkan pupuk bersama
45
dengan harga input lainnya mempengaruhi pendapatan yang akan
diperoleh petani dari penjualan produksi usaha taninya. Kenaikan 1
penurunan harga pupuk akan berpengaruh baik pada Indek harga
yang diterima petani (IT) maupun pada harga yang dibayar petani
(IB). Oalam analisis ini, harga pupuk yang akan digunakan sebagai
variabel untuk pendekatan adalah harga pupuk urea.
3.1.2.3.
Kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG)
Oalam rangka stabilisasi harga gabah (beras) pemerintah sejak
tahun
1970 mengeluarkan
kebijakan
harga dasar gabah
untuk
pembelian di tingkat petani. Menurut Amang (1999), kebijakan harga
dasar yang telah dilakukan pemerintah, disamping untuk stabilisasi
harga, harga dasar juga ditujukan untuk stabillsasi harga pangan
terkait dengan tingkat upah yang harus diberikan oleh industri kepada
para buruh. Penetapan harga yang tidak terlalu tinggi untuk komoditi
beras, memberikan insentif bagi perusahaan untuk efisiensi karena
upah tenaga kerja menjadi murah. Alasan lainnya adalah menjaga
daya beli konsumen kota terhadap pangan untuk kestabilan sosial
politik. Alasan-alasan tersebut lebih berpihak kepada konsumen dan
sektor non pertanian dari pada kepada sektor pertanian dan petani.
Oleh
karena
meningkatkan
itu
bagi
setiap
petani
pendapatannya.
Variabel
peningkatan
HOG
ini
HOG
akan
khusus
akan
dimasukkan dalam model NTP Padi.
3.1.3. Nilai Tukar Rupiah
Nilai tukar mata uang Rupiah terhadap mata uang asing
merupakan salah satu indikator daya saing perekonomian Indonesia
relatif terhadap negara lain. Oepresiasi Rupiah, yaitu penurunan nllai
Rupiah terhadap mata uang asing (menjadi lebih murah),
mencerminkan penurunan blaya produksi barang Indonesia relatif
terhadap negara lain. Sehingga daya saing barang-barang produksi
Indonesia di pasar intemasional meningkat. Sebaliknya jika Rupiah
terapresiasi. Apresiasi, peningkatan nilai Rupiah terhadap mata uang
46
asing, mencerminkan kenaikan biaya produksi (inflasi) di dalam negeri
sehingga
daya
menurunkan
saing
produk
Indonesia
di
pasar
intemasional. Perubahan nilai tukar sangat besar pengaruhnya bagi
perekonomian Indonesia, mengingat tingginya komponen impor bahan
baku untuk industri Indonesia serta tingkat keterbukaan ekonominya
yang tinggi. Nilai tukar mata uang asing yang digunakan adalah dollar
Amerika (US $).
Schuh (1976) melihat kebijakan makroekonomi yang lebih luas
pengaruhnya pada sektor pertanian. Menurutnya interaksi antara
kebijakan makroekonomi terhadap sektor pertanian adalah melalui
pengaruhnya pada inflasi, nilai tukar riil, suku bunga riil dan insentif
ekspor-impor pertanian.
Timer (1984),
dengan
menganalisis
keterkaitan
kebijakan
makroekonomi terhadap sektor pangan di Indonesia, mendapatkan
bahwa nilai tukar mata uang rupiah merupakan variabel yang sangat
penting sebagai media berpengaruhnya kebijakan makroekonomi
terhadap sektor pangan. Juga Simatupang dan Mardianto (1996)
menemukan bahwa devaluasi mata uang rupiah menguntungkan
sektor pertanian di Indonesia.
Nilai tukar akan berpengaruh pada indeks harga yang diterima
petani {IT), yaitu harga-harga dari produksi usaha taninya,
maupun
indeks harga yang dibayar petani (IB), yaitu harga-harga kebutuhan
hidup maupun biaya produksinya (Gambar 1.). Sehingga nilai tukar
secara otomatis mempengaruhi NTP.
Bersamaan dengan pergerakan nilai tukar rupiah, ekspor dan
impor produk pertanian akan memberikan pengaruh pada pergerakan
NTP. Sebagaimana tinjauan literatur terdahulu, bahwa jika nilai tukar
rupiah terdepresiasi akan memberikan keuntungan bagi ekspor produk
pertanian dari Indonesia (positif bagi IT, negatif bagi IB), dan
sebaliknya jika nilai tukar rupiah terapresiasi (negatif bagi IT, positif
bagi IB). Melalui mekenisme tersebut, nilai tukar rupiah dan eksporimpor akan memberikan pengaruh kepada NTP.
Namun demikian pengaruh ekspor impor terhadap pergerakan
NTP tidak mesti sama dengan pengaruhnya terhadap sektor pertanian
47
secara keseluruhan. Karena peningkatan ekspor akibat meningkatnya
daya saing produk pertanian karena depresiasi rupiah (Arifin, 2004),
keuntungannya tidak selalu dinikmati oleh para petani, sehingga yang
terjadi justru petani harus membeli produk pertanian maupun non
pertanian dengan harga tinggi karena meningkatnya harga komoditi
eskpor.
Dengan
demikian
pengaruh
peningkatan
ekspor
impor
terhadap NTP adalah netral, dapat bersifat negatif maupun positif.
3.1.4. Inflasi
Isdijoso (1992) dalam Tesisnya menemukan bahwa variabel
kebijakan makroekonomi yang berpengaruh terhadap sektor pertanian
adalah kredit, konsumsi pemerintah, ekspor, impor dan inflasi.
Inflasi akan mempengaruhi Nilai Tukar petani melalui dua jalan,
yaitu pada IT maupun pada lB. Pada IT maupun IB pengaruh inflasi
adalah positif, yang berarti bahwa inflasi akan meningkatkan IT
maupun IB, karena inflasi akan meningkatkan penerimaan petani
akibat peningkatan harga produksi dan juga akan meningkatkan harga
kebutuhan yang harus dibeli petani. Sementara pengaruh inflasi pada
NTP adalah netral. Akan
positif, yaitu meningkatkan NTP jika
pengaruh inflasi pada IT lebih besar dari pada pengaruh inflasi pada
lB. Akan negatif, jika pengaruh inflasi pada IT lebih kecil dari pada
pengaruhinflasi pada lB.
Untuk kepentingan analisis, pengukuran inflasi digunakan lndek
Harga Konsumen (IHK) dengan tahun dasar sesuai dengan tahun
dasar yang digunakan untuk IT dan IB (1987 = 100).
3.2. Model-Model Penduga dan Hipotesis
3.2.1.Model Perkembangan (Trend) NTP
NTP adalah bentuk indek dengan menggunakan tahun dasar
1987 (1987 = 100). Dengan asumsi bahwa pertumbuhan nilai tukar
petani
berhubungan
perkembangan
erat
dengan
NTP dapat dilakukan
pendugaan
waktu,
maka
dengan
pendekatan
trend.
48
Dengan menggunakan persamaan linier yang dikembangkan oleh
persamaan
(2000),
Rachmat
model
dugaan
perkembangan
NTP
sepanjang waktu analasls, diformulasikan sebagai berikut
Yt
= Yo +
a1D
+ a2T + a3DT + lit
dalam analisis kali ini, persamaan ditulis menjadi :
NTPt
= ao + a1D + a2TAHUN +
a3DTAHUN
+lit
dimana:
NTPt
= NTP pada tahun ke t
ao
= intersep
a1
= koefisien dugaan regresi ; i = 1,2,3
D
= Variabel dummy untuk dampak krisis
; t = 1,2,3, ....... n
DTAHUN= Interaksi antara Variabel dummy dengan Variabel
tahun untuk perbedaan slope sebelum dan sesudah krisis.
D = 1, untuk waktu sebelum tahun 1998 (1976- 1997)
D
= 0 , untuk waktu sejak tahun 1998 - 2004
TAHUN= angka tahun
Ut
= galat
Hipotesis Statistik untuk model
Ho : a1
=a2 =a3
= 0
H1 : minimal ada satu a 1
*0
; i = 1 , 2 , 3.
Diharapkan H1 dapat diambil, yang berarti bahwa minimal satu dari
varia bel bebas di atas berpengaruh nyata terhadap trend NTP.
Hipotesa untuk tanda setiap koefisien variabel sebagai berikut :
1. Hipotesis tanda koefisien D (a 1 )
Ho : a1 = 0 ;
H1 : a1
*0
2. Hipotesis tanda koefisien TAHUN (a 2
Ho : a2 = 0 ;
)
H1 : a2 =1: 0
3. Hipotesis tanda koefisien DTAHUN (a 3 )
Ho : a3 = 0 ;
H 1 : a3 =1: 0
Notasi hipotesis di atas dapat dibaca bahwa diharapkan Variabel
dummy (D) antara tahun sebelum dan sesudah krisis dan Tahun (T)
49
berpengaruh positif terhadap pergerakan NTP, sedangkan variabel
lnteraksi antara variabel D dan T {DT) berpengaruh negatif.
Hasil pendugaan model di atas akan dibedakan menjadi dua
persamaan, yaitu persamaan sebelum dan sesudah terjadinya krisis
ekonomi.
Persamaan sebelum terjadi krisis ekonomi adalah :
NTPt = {ao + a1)
+ (a2 + 83) TAHUN
Persamaan setelah krisis ekonomi adalah :
NTPt = ao +
82 TAHUN
3.2.2. Model Variabel-variabel yang Mempengaruhi NTP
Dengan asumsi bahwa variabel-variabel yang telah diidentifikasi
di atas berpengaruh terhadap harga hasil produksi pertanian dan juga
harga kebutuhan yang dibeli petani, baik untuk konsumsi maupun
untuk sarana produksi, maka dapat dibangun model perilaku NTP
sebagai berikut :
NTP.
=
a. + a,TOT. + a HPU. + a,APAIR. + a.Nf. + aJNFi. + D, + u.
2
dimana:
NT!>,_ = nilai tukar petani pada tahun t,
To!; = nilai tukar barter sektor pertanian pada tahun t,
H~
= harga eceran tertinggi pupuk urea pada tahun t,
INF(
= Inflasi pada tahun t,
"
= Kurs rupiah terhadap dollar amerika rata-rata tahun t,
"
APA/Rn = Realisasi APBN untuk irigasi pada tahun t,
NTn
D
= Variabel dummy untuk membedakan pengaruh antara
sebelum dan setelah krisis ekonomi.
D = 1 untuk sebelum 1998
D
i
= 0 untuk 1998- 2004
= pada NTP agregat, NTP TBM dan NTP TPR.
Khusus untuk nilai tukar petani padi {NTP Padi), dengan tambahan
variabel harga dasar gabah, digunakan model sebagai berikut :
50
NTPP.
=a.+ a,TOT, + a HPU, + a,HDG, + a.APAIR, + a}vf. + aJNFi, + D, +, u,
2
Oimana:
Nfpp = Nilai tukar petani padi pada tahun t,
I
A
HDG, = Harga dasar gabah kering giling KUD pada tahun t.
Hipotesis Statistik (untuk kedua model di atas)
Ho : a1
=az =a3 ....... a. = 0
H1 : minimal ada satu a. :1= 0
; i = 1 , 2 , 3, ....... 6.
Diharapkan H1 dapat diambil, yang berarti bahwa diharapkan minimal
ada satu variabel bebas dalam model di atas berpengaruh terhadap
variabel terikat (NTP}.
Hipotesa untuk tanda setiap koefisien variabel sebagai berikut :
1. Hipotesis tanda koefisien TOT (a 1)
Ho : a1 = 0 ;
H1 : a1 < 0
2. Hipotesis tanda koefisien HPU (az)
Ho : az = 0 ;
H1 : az < 0
3. Hipotesis tanda koefisien APAIR (a 3)
Ho : a3 = 0 ;
H1 : a3 > 0
4. Hipotesis tanda koefisien NT (a4)
Ho:a4=0;
H1:a4>0
5. Hipotesis tanda koefisien INFL (as)
Ho : as = 0 ;
H1 : as > 0
6. Hipotesis tanda koefisien HOG (a6)
Ho:a6=0;
H1:a6>0
Notasi hipotesis di atas dapat dibaca bahwa diharapkan Variabel
Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian (TOT) dan variabel Harga pupuk
(HPU)
berpengaruh
negatlf terhadap
NTP.
Sedangkan
Variabel
Anggaran untuk pembangunan jaringan irigasi (APAIR), Nilai tukar
rupiah (NT}, lnflasi (INFL} dan Harga dasar gabah (HOG) berpengaruh
positif terhadap NTP.
51
3.3
Data dan Sumber Data
Analisis akan menggunakan data deret waktu (Time series) NTP
nasional 1976 -2004, serta data pendukung lain yang disajikan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS),
dan lembaga lain yang berkompeten
dalam mengeluarkan data. Data dinyatakan dalam harga konstan 1987
(1987 = 100). sesual dengan salah satu harga konstan yang dipakai
untuk penentuan NTP oleh BPS.
3.4
Prosedur Analisis
Sesuai dengan cakupan dan tujuan penelitian, maka analisis
pengaruh kebijakan pemerintah terhadap Nilai Tukar Petani dilakukan
dengan model analisis regresi linier berganda dengan persamaan
tunggal. Metode penaksir yang digunakan adalah metode kuadrat
terkecil biasa (OLS , ordinary least squares). Hubungan NTP dengan
variabe-variabel kebijakan bersifat deterministik, dengan demikian
analisis dampak perubahan variabel terhadap NTP menjadi bersifat
deterministik.
Analisis regresi merupakan suatu metode yang digunakan untuk
menganalisis hubungan antar variabel.
Hubungan tersebut dapat
diekspresikan dalam bentuk persamaan yang menghubungkan variabel
terikat Y dengan satu atau lebih varabel bebas X1, X2, .. .. Xi
(Nachrowi dan Usman, 2005). Analisis dimaksudkan untuk menaksir
dan atau meramalkan nilai rata-rata hitung atau rata-rata (populasi)
variabel tak bebas, dipandang dari segi nilai yang diketahui dari
variabel bebas (Gujarati, 2005).
Model yang digunakan untuk analisis penelitian ini adalah model
regresi linier berganda, karena variabel tak bebas yang akan ditaksir
lebih dari satu. Dalam menggunakan model regresi linier berganda ini
ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi sehingga kesimpulan yang
diambil
tidak
menyesatkan
atau
BLUE
(Best
linear
Unbiased
Estimator) (Gujarati, 2004), yaitu :
1.
u, adalah variabel random ;
52
2. Nilai rata-rata bersyarat dari dari gangguan populasi u1,
tergantung pada nilai tertentu variabel bebas (X) adalah nol ;
3. Varians u1 adalah konstan atau homoskedastis ;
4. Tidak ada autokorelasi dalam u, ;
5. Tidak ada korelasi antara u, dengan variabel penjelas.
6. Variabel penjelas diukur tanpa kesalahan. Artinya besaran u,
semata-mata hanya menampung pengaruh dari variabel
yang tidak dimasukkan dalam model.
7. Tidak ada gejala multikolinearitas diantara variabel-variabel
bebas (X);
8. Hubungan
dispesifikasikan
dengan
benar,
yaitu
semua
variabel penting telah dimasukkan dalam model dengan
bentuk matematika yang tepat.
Dalam
proses analisis data, ditekankan untuk memeriksa
adanya permasalahan yang dapat mengganggu model regresi, yaitu
multikolinieritas,
heteroskedastisitas dan autokorelasi.
Ketiga hal
tersebut dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari persamaan
yang dibentuk.
3.4.1
Multikolinieritas
Multikolinieritas adalah masalah adanya korelasi antara variabel-
variabel bebas dalam persamaan regresi linier berganda, sehingga
interpretasi terhadap hubungan antara variabel bebas dan variabel
terikat menjadi tidak benar (Nachrowi, 2005). Koefisien regresi tidak
dapat ditaksir jlka terjadl multikolinieritas sempurna, namun dapat
dicari jika yang terjadi adalah multikolinieritas tidak sempurna, tapi
menimbulkan akibat-akibat :
a. Taksiran OLS memiliki varians yang besar.
b. Interval
kepercayaan
Iebar,
karena
varians
yang
besar
menimbulkan standar error besar.
c. Uji-t (t-rasio) tidak signifikan.
d. Koefisien determinasi (R2 ) tinggi, tapi tidak banyak variabel
yang signifikan dari uji-t.
53
e. Tanda koefisien bisa tidak sesuai dengan substansi sehingga
bisa menyesatkan interpretasi.
Masalah multikolinieritas tidak dapat diatasi dengan suatu cara
yang spesifik, namun beberapa dapat dilakukan :
1. Melihat informasi sejenis yang ada, baik dari teori ekonomi
maupun
penelitian
empiris
sebelumnya
dimana
masalah
multikolinieritas temyata kurang serius.
2. Tidak mengikutsertakan salah satu variabel yang kolinier,
namun bisa terjadi bias spesifikasi.
3. Transformasi variabel, yaitu dengan menjadikan pemedaan
yang berurutan dari variabel sepanjang waktu. Perlakuan ini
menimbulkan
beberapa
kelemahan,
yaitu
kehilangan
satu
obeservasi dan kemungkinan terjadinya serial korelasi.
4. Mencari data tambahan. Dengan data tambahan kolinieritas
dapat berkurang.
5. Cara-cara
lain,
misalnya
transformasi
eksponensial
dan
sebagainya.
Dalam
analisis
ini
untuk
mendeteksi
adanya
masalah
multikolinieritas dilakukan dengan melihat korelasi parsial antara
variabel.
Penghitungan
nilai
korelasi
dilakukan
dengan
bantuan
software Eviews 3 dan hasilnya disajikan dalam bentuk matriks. Jika
banyak variabel yang berkorelasi dengan nilai lebih dari 0,8 , diduga
model ada masalah multikolinieritas.
3.4.2
Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi agar taksiran parameter model bersifat BLUE
adalah semua gangguan (ui) yang muncul mempunyai varians yang
sama (homoskedastisitas), var (ui) =
cross
sectional
terjadi
a2.
Ada kecenderungan data
heteroskedastisitas,
karena
pengamatan
dilakukan pada individu yang berbeda pada saat yang sama. Adanya
Heteroskedastisitas terlihat dari Koefisien variabel bebas tak bias dan
linier tetapi tidak lagi mempunyai variansi minimum.
54
Terhadap OLS heteroskedastisitas berakibat varians lebih besar
dari taksiran; uji hipotesis ( t dan F) menjadi kurang akurat, karena
sangat mungkin signifikansi statistik dari parameter terlalu dibesarbesarkan;
standard error taksiran lebih besar sehingga interval
kepercayaan menjadi sangat besar; dampak akhimya kesimpulan yang
diambil dari persamaan dapat menyesatkan.
Dalam
analisis
ini
untuk
mendeteksi
adanya
masalah
heteroskedastisitas dilakukan dengan Heteroskedastisitas LM Test
cross term, menu yang disediakan sofware Eviews 3. Adanya masalah
ini dapat diatasi, salah satunya dengan transformasi data dalam
bentuk
logaritma.
Prinsipnya
bahwa
transformasi
dalam
bentuk
logaritma akan membuat perbedaan nilai akan lebih kecil, sehingga
diharapkan data yang heteroskedastis dapat menjadi homoskedastis.
Autokorelasi
3.4.3
Asumsi berikutnya agar penaksiran model regresi tinier BLUE
adalah
tidak
adanya
korelasi
variabel-variabel
bebas,
pada
pengamatan berbeda waktu atau individu. Tidak ada korelasi antara u,
dan u1 {E (u,,u1) = 0, i:#:j}. Umumnya kasus autokorelasi terjadi pada
data deret waktu. Dampak adanya autokorelasi, taksiran OLS tidak lagi
BLUE, namun tetap tidak bias dan tetap konsisten. Karena itu interval
kepercayaan menjadi Iebar dan uji signifikan kurang kuat.
Uji
untuk
Durbin-Watson
mendeteksi
adanya
autokorelasi
merupakan cara yang paling populer.
N
A
A
d = ~ ( u' - u ,_.)
N
LU
t:o::l
p =
2
A
i
=
2 (1 - p)
I
Lu - u
u
2
2
1-1
'
P = koefisien autokorelasi. -1
s
p
s
1, sehingga : 0
s
p
s
4
- pada saat p = 0, d = 2, artinya tidak ada korelasi
- pada saat p
- pada saat p
= 1, d = 0, artinya ada korelasi positif
= -1, d = 4, artinya ada korelasi negatif
55
Dengan pengamatan kasar dapat dilihat bahwa jika d dekat
dengan nilai 2, maka p akan dekat dengan nol, jadi tldak ada
autokorelasi.
Analisis regresi dilakukan dengan bantuan software komputer
Eviews-3. Untuk kemudian hasilnya dilakukan interpretasi, pengujian
hipotesis dan penguijan model yang didapatkan.
Pengujian Hipotesis 1 Model
3.5
Untuk menguji model yang didapatkan dilakukan uji model
secara parsial (uji t), uji model secara keseluruhan (uji F), melihat
kebaikan model (goodness of fit) R2 dan menguji kesesesuaiannya
dengan asumsi-asumsi penting OLS.
Untuk menguji masing-masing variabel secara parsial dilakukan
uji t, yaitu membandingkan t-statistik dengan t-tabel pada taraf
keyakinan 95°/o. Jika t-statistik
s
t-tabel maka Ho diterima, tapi jika
sebaliknya, maka tolak Ho dan terima H1 •
Uji Fisher (F) dilakukan untuk melihat tingkat keyakinan model
yang diuji secara keseluruhan. Jika F-statistik
terima
Ho,
yaitu
model
secara
s
keseluruhan
dari F-tabel maka
tidak
signifikan
menjelaskan masalah yang diteliti. Jika sebaliknya, maka terima H1
yang berarti model secara signifikan menjelaskan masalah yang
diteliti.
Untuk mengetahui seberapa baik (goodness of fit) model dapat
menjelaskan perilaku variabel terikat digunakan koefisien determinasi
(R2 ). Koefisien determinasi merupakan ukuran persentase total variasi
dalam Y yang dijelaskan oleh model regresi/variabel bebas secara
bersama.
Tidak kalah pentingnya dalam pengujian model adalah melihat
kesesuaian tanda setiap koefisien (positif atau negatif). Apakah tanda
yang diperoleh dari hasil regresi telah sesual dengan harapan
sebagaimana teori yang menjadi landasan. Oleh karena itu setiap
persamaan yang diuji akan dilihat tanda dari setiap koefisien
yang
dihasilkan melalui metode regresi.
56
BAB IV. ANAUSIS
Sesuai dengan metodologi yang digunakan, dalam analisis ini
secara deskriptif akan disajikan perkembangan nilai tukar petani
maupun komponen penyusunnya. Kemudian diikuti dengan analisa
terhadap semua persamaan yang telah dibangun, berdasarkan hasil
regresi yang telah dilakukan.
Untuk hasil analisis regresi telah dilakukan uji terhadap asumsiasumsi estimator yang
BLUE, terutama
atas asumsi
ketiadaan
multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas. Dengan tetap
memperhatikan keterbatasan model akan adanya kemungkinan tidak
terpenuhinya asumsi-asumsi tersebut, model persamaan NTP TPR
terbentuk dengan satu perbedaan variabel bebas. Terutama jika
ditemukan kemungkinan adanya multikolinearitas, beberapa variabel
yang berkolinear dikeluarkan dari model sebagaimana disarankan
Gujarati (2004) dan Nachrowi (2005). Hasil analisis regresi disajikan
dalam bentuk persamaan disertai dengan nilai t-statistik dalam tanda
"(}" disertai tingkat keyakinan, nilai F-statistik dan nilai R-squared (R2 ).
4.1. Analisis Deskriptlf Pergerakan NTP
Dalam melakukan analisis deskriptif, NTP pada suatu tahun
tertentu (NTPt) dibandingkan dengan NTP pada tahun dasar {NTP0 ).
Jika NTPt
> NTP0
maka berarti kesejahteraan petani mengalami
peningkatan dibandingkan dengan tahun dasar. Jika NTPt
< NTP0
maka berarti terjadi penurunan kesejahteraan petani dibandingkan
dengan keadaan pada tahun dasar.
Selama periode 1976 -2004, dengan tahun dasar 1987 rata-rata
NTP nasional adalah 100,6 dan secara umum mengalami peningkatan
dari 92,88 menjadi 125,15 (Tabel 4). Terlihat bahwa peningkatan NTP
tersebut lebih banyak peran dari peningkatan NTP tanaman bahan
makanan dari 99,88 menjadi 137,45. Karena setelah mengalami
peningkatan pada tahun 1983 sampai 1986, NTP Tanaman perkebunan
bahkan mengalami penurunan menjadi 75,20 pada tahun 2004.
Peningkatan NTP tanaman pangan temyata tidak mendapat dukungan
dari NTP padi, karena NTP padi sering mengalami penurunan
Selama 29 tahun pengamatan terlihat bahwa NTP lebih sering
berada dibawah level 100, yaitu sebanyak 16 observasi (tahun);
sedikit berada diatas/hampir sama di level 100 sebanyak 4 observasi
dan sisanya 9 observasi di atas level 100. Hal ini menandakan bahwa
kesejahteraan petani, yang diukur dengan NTP, lebih sering menu run
dan stagnan dibandingkan mengalami peningkatan (Gambar 2).
Tabel4. Pergerakan NTP, NTP-TBM, NTP-TPR dan NTP-Padl
TAHUN
NTP-TBM
NTP
NTP-TPR
99.88
99.88
92.8801
108.05
100.66
94.7437
110.98
100.87
98.6606
104.51
105.40
101.4135
97.71
105.84
101.12
91.53
101.97
99.99
87.81
108.69
106.96
101.40
124.86
112.72
108.47
101.26
96.85
112.43
101.17
96.32
115.41
104.05
98.79
106.29
107.28
100.00
94.34
111.24
102.86
85.04
106.35
99.81
80.67
107.28
100.59
71.94
107.74
99.79
66.37
102.99
95.58
58.63
97.90
90.72
57.89
101.64
95.94
60.67
110.98
100.10
56.33
110.34
98.57
52.13
112.57
100.43
41.79
106.95
97.36
76.94
106.29
99.75
85.20
104.01
96.54
90.92
111.33
100.79
92.36
125.96
104.44
70.79
136.41
108.71
75.20
137.45
125.15
84.9
108.9
100.61
Rata-rata
Indonesia.
d1
Petam
Sumber : BPS. Statistik N1la1 Tukar
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
0
0
0
0
0
NTP-PADI
99.88
97.88
96.77
101.83
100.69
95.49
94.84
91.92
97.72
92.22
98.08
101.95
112.61
108.66
110.06
109.43
106.03
91.59
103.07
109.33
103.03
111.11
106.47
114.91
106.37
99.56
102.33
93.27
95.79
101.82
0
58
Gambar 3. Pergerakan NTP 1976-2004
130 _,-----12sr:-----------------------------------~
120 I
115r,--------------------------------~~
110 - - r - - - - - - - - - F \ - - - - - - - - - - - -----~-------f-105r1------~~--------------------~~
100~--~~~--~-=~~~---.~~~~----
95
90
asr---------------------------------- 80
<0
~ ~ ~ ~ m m ~ m ~ ~
51
Tahun
Data pergerakan NTP ( agregat) di atas ada kesesuaian dengan
perkembangan data Rasio Pendapatan Disposabel per kapita menurut
golongan rumah tangga petani pada semua kelompok penguasaan
lahan, baik petani gurem maupun pengusaha pertanian {Tabel 5).
Kesesuaian terutama pada golongan rumah tangga petani dengan
penguasaan lahan sampai dengan 1 ha. Hampir selalu, ketika rasio
pendapatan disposabel tersebut mengalami peningkatan (penurunan),
maka begitu juga NTP mengalami peningkatan (penurunan).
Tabel 5. Rasio (Perbandingan) Pendapatan Disposabel per Kapita pada
Golongan Rumah Tangga Pertanian, 1975 - 2004
Golongan Rumah
tangga
Rumah
tangga
petani
gurem (kuasai lahan <0.5
ha)
Rumah tangga pengusaha
pertanian (kuasai Ia han
0.5- 1 ha)
Rumah tangga pengusaha
pertanian dengan penguasaan lahan > 1 ha
Pendapatan Disposabel per Kaplta per tahun
1975
1980
1985
1990
1995
1998
2004
1.08
1.31
1.00
1.31
1.58
1.65
1.76
1.44
1.51
1.49
1.60
2.02
2.12
2.34
2.11
1.95
2.42
2.49
2.97
3.15
3.21
Sumber: BPS, Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia.
59
Sementara itu jika melihat NTP kelompok komoditas, terlihat
bahwa rata-rata NTP tanaman bahan makanan lebih baik dari pada
rata-rata NTP tanaman perkebunan rakyat, yaitu masing-masing 108,9
84,9.
dan
Petani
tanaman
mengalami
perkebunan
peningkatan
kesejahteraan hanya dalam 6 tahun observasi selebihnya selalu berada
jauh di bawah level 100. NTP komoditas padi, sebagai komoditas
makanan pokok yang sangat penting, memiliki rata-rata hanya sedikit
di atas 100, yaitu 101,8 (Gambar 3).
Petani tanaman bahan makanan relatif dapat menikmati harga
yang lebih baik dengan kebijakan harga dasar dan harga tertinggi,
sehingga
pendapatannya
terjamin.
relatif
dilihat
Oapat
ketika
pemerintah menetapkan harga dasar pembelian padi dari petani (HOG)
dari Rp 1.000,- di tahun 1998 menjadi Rp 1.400,- di tahun 1999. Pada
saat itu NTP padi naik dari 106,47 di tahun 1998 menjadi 114,91 di
tahun
1999. Namun kenaikan NTP itu terhenti dan mengalami
penurunan, ketika peningkatan HOG oleh pemerintah tidak dapat
mengimbangi peningkatan harga barang konsumsi maupun sarana
produksi. Penurunan juga dibarengi pola subsidi pupuk yang diberikan
kepada industri gas untuk memberikan subsidi input produsen pupuk.
Seringnya terjadi kelangkaan pupuk juga dapat menjadi penyebabnya.
Penurunan
NTP
pada
periode
2000
ini
tidak
sejalan
dengan
produktivitas padi per ha yang terus mengalami peningkatan {Tabel 6).
Tabel 6. Perbandingan Produktivitas Padi dan NTP Padi
Tahun 1998 - 2004
Tahun
Luas Panen
(ha)
Produksi
(000 ton)
Produktivitas
(ton/ha)
NTP Padi
1998
11.731
49.237
4,19
106,47
1999
11.963
50.866
4,25
114,91
2000
11.794
51.899
4,40
106,37
2001
11.500
50.461
4,39
99,56
2002
11.521
51.490
4,47
102,33
2003
11.489
52.137
4,54
93,27
2004
11.923
54.088
4,54
95,79
Sumber : BPS. (diolah)
60
Kebijakan harga dasar gabah yang mulai ditetapkan pada tahun
1970 memang merugikan petani terlihat dari NTP-nya yang selalu
rendah sejak 1976 sampai dengan 1987. Hal itu terjadi karena
kebijakan harga dasar gabah didasari untuk kepentingan di sektor non
pertanian. Harga dasar gabah dimaksudkan untuk tiga hal (Amang,
1999), yaitu : 1) menstabllkan harga beras, 2) stabilisasi harga
pangan akan mendukung sektor industri, berupa tingkat upah yang
murah, sehingga produksi yang dilakukan perusahaan lebih eflsien, 3)
jika harga pangan tinggi konsumen kota akan menurun daya belinya,
yang hal ini dapat berdampak pada stabilitas sosial politik.
Dilihat dari elastisitas permintaan terhadap harganya, bahan
makanan juga lebih inelastis daripada tanaman perkebunan yang
bukan merupakan bahan pangan pokok. Sehingga perubahan harga
hanya sedikit berpengaruh pada perubahan permintaan. Sebagai
penghasll
produk
pertanian
komoditas
ekspor,
petani tanaman
perkebunan umumnya menjual hasilnya dalam keadaan mentah (raw
material)
ditambah
dengan
fasilitas
infrastruktur
yang
buruk
(khususnya di luar Pulau Jawa), yang membuatnya menerima harga
rendah. Akibatnya petani cenderung
m~mperoleh
pendapatan yang
rendah pula, sehingga kesejahteraannya tidak meningkat.
GMDir 7. Pergerakan NTP TBM, TPR dan Padl
150.00
135.00
120.00
105.00
~ 90.00
z
75.00
60.00
45.00
30.00
--
I
--------------··-------------- -- ·-----------·----···------------------------------- --- j
-
1976
1980
1984
1988
1992
1996
2000
NTPTPR
2004
Tahun
61
nngkat kesejahteraan petani perkebunan rakyat terus membaik
beberapa tahun sejak digalakkannya kebijakan ekspor non migas,
bersamaan dengan panurunan tajam ekspor migas. Tapi Kemudian
mulai menurun sejak tahun 1986 dengan diberlakukannya tata niaga
beberapa komoditi hasil perkebunan seperti cengkeh dan jeruk (Ikhsan,
2001). Kesejahteraan petani perkebunan rakyat terus menurun yang
digambarkan oleh penurunan NTP sejak 1986 sampai puncaknya pada
tahun 1998 (Gambar 4). Kejadian krisis ekonomi terlihat memberikan
manfaat peningkatan kesejahteraan bagi petani perkebunan rakyat.
Depresiasi kurs rupiah memberikan keuntungan bagi komoditas ekspor
pertanian yang berdampak pada peningkatan pendapatan petani.
Karenanya terlihat NTP TPR terus mengalami peningkatan sejak 1999.
4.2. Pergerakan
Ekonomi
NTP
dan
Pengaruh
Kejadian
Krisis
Kejadian krisis ekonomi sejak pertengahan 1997, yang ditandai
dengan merosotnya nilai tukar rupiah, telah membawa dampak
peningkatan harga-harga barang secara tajam, baik harga hasil
pertanian maupun hasil industri manufaktur. Hal tersebut tentu
mempengaruhi nilai tukar petani.
Jika dibandingkan antara sebelum terjadi krisis ekonomi dengan
setelah krisis ekonomi, terlihat ada pola pergerakan NTP yang berbeda.
Fluktuasi masih terjadi, tetapi memiliki pola yang berbeda, dimana
sejak 1998 sampai 2004 terjadi pergerakan naik NTP yang cukup
berarti. Lonjakan NTP yang cukup tajam ini adalah dominan peran dari
sektor tanaman bahan makanan yang setelah krisis ekonomi ada
kecenderungan terus meningkat. Sementara peran NTP-TPR kecil,
bahkan stagnan karena setelah terjadi krisis ekonomi pergerakannya
belum lagi menyentuh level 100 walapun ada kecenderungan terjadi
peningkatan sejak tahun
mengalami
penurunan
1999. NTP padi demikian juga justru
setelah
terjadi
krisis
ekonomi.
Hal
ini
menunjukkan bahwa peningkatan harga padi di masa krisis tidak dapat
mengimbangi peningkatan harga-harga secara umum baik umtuk
62
produk
konsumsi
maupun
untuk
sarana
produksi
walaupun
produktivitas per hekatamya mengalami peningkatan {Tabel 6).
Oleh
karena
itu
hasil
pendugaan
regresi
pengaruh
krisis
ekonomi terhadap pola pergerakan NTP juga menghasilkan kesimpulan
yang sama. Dengan menggunakan variabel boneka (dummy) untuk
membedakan
pergerakan
sebelum
dan
setelah
krisis
ekonomi,
didapatkan hasil persamaan :
NTP = -7699.06 + 7937.16*D + 3.89*TAHUN- 3.97*DTAHUN
(-4.1367)**
(4.1996)**
F-statistik= 8,0245**
*
(4,1929)**
(-4,2021)**
R2 = 0,49
= Signifikan pada tingkat kepercayaan 95%
** = Signifikan pada tingkat kepercayaan 99%
Secara
parsial
setiap
varabel
dapat
menerangkan
pola
pergerakan NTP pada selang keyakinan 99°/o, baik untuk konstanta
dan TAHUN, dummy (D) krisis ekonomi maupun perbedaan slope
antara sebelum dan sesudah krisis (OK). Demikian
juga semua
variabel bebas secara bersama dapat menjelaskan pergerakan NTP
pada selang keyakinan 99°/o. Koetisien determinasi (R2
)
menunjukkan
bahwa model dapat menerangkan pergerakan NTP antara sebelum dan
sesudah krisis ekonomi sebesar 49°/o.
Dari hasil dugaan regresi di atas didapatkan dua persamaan
dengan slope yang berbeda, antara sebelum dan setelah kejadian
krisis ekonomi, yaitu :
1. Persamaan sebelum krisis ekonomi :
NTPt = 238.10- 0.08 TAHUN
2. Persamaan setelah krisis ekonomi :
NTPt = -7699.06 + 3.89*TAHUN
Regresi ini menunjukkan bahwa pergerakan NTP dalam periode
sebelum terjadi krisis ekonomi cenderung mengalami penurunan. Dari
koetisien TAHUN dapat dibaca bahwa pada satu tahun berikutnya NTP
akan menurun sebesar 0.08. Sedangkan setelah kejadian krisis NTP
63
cenderung mengalami peningkatan. Dari koefisen TAHUN dapat dibaca
bahwa pada satu tahun berikutnya NTP dapat meningkat sebesar 3.89.
Hal ini menandakan rata-rata petani Indonesia di masa 8 tahun
setelah krisis memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Harga
yang
diterima
petani
dari
hasil
produksinya
relatif lebih
baik.
Argumentasi ini juga dapat dibuktikan dari rata-rata NTP sebelum
krisis lebih rendah dari pada rata-rata NTP setelah krisis, yang masingmasing 99,31 dan 104,67.
Kejadian krisis sangat berpengaruh sekali meningkatkan harga
tanaman perkebunan maupun tanaman bahan makanan, sehingga
pendapatan petani dapat mengimbangi kanaikan barang-barang non
pertanian. Khusus untuk tanaman perkebunan kejadian krisis yang
antara lain terjadinya depresiasi nilai rupiah memberikan keuntungna
tersendiri. Karena umunya tanaman perkebunan andalah komoditas
ekspor (seperti kakao, kopi, cenkeh, rotan, dll), sehingga kurs yang
rendah justru meningkatkan daya saing ekspor. Dengan demikian
pendapatan petani mengalami peningkatan. Karena itu pada Gambar 4
terlihat NTP tanaman perkebunan rakyat (TPR) terus mengalami
kenaikan sejak tahun 1999.
4.3. Variebel yang Berpengaruh terhadap NTP Agregat
Hasil regresi untuk menduga varibel-variabel yang berpengaruh
terhadap Nilai Tukar Petani secara umum (agregat) adalah sebagai
berikut :
NTPt = 124.4516 - 23.0399 TOTt- 0.0675 HPU t +
(9,8350)***
( -2,5545)**
2.312 APAIRt
(3,4217)***
+ 5.1446 NTt- 0.2148 INFLt + 0.1583 D
F-Statistik = 5,3067**
*
( -1,8889)*
(1,0818)
(-2,2948)**
(0.0287)
R2 = 0.59
= signifikan pada tingkat kepercayaan 90%
**= Signiflkan pada tingkat kepercayaan 95%
***= Slgnlflkan pada tlngkat kepercayaan 99%
64
Model
di
atas
menunjukkan
variabel
bahwa
bebas
HPU
berpengaruh terhadap pergerakan NTP dengan tingkat kepercayaan
90°/o, varibel TOT dan INFL berpengaruh dengan tingkat kepercayaan
APAIR
variabel
Sedangkan
95°/o.
tingkat
pada
berpengaruh
keprcayaan 99°/o. Sementara variabel NT dan Dummy pembeda tahun
sebelum dan sesudah krisis ekonomi tidak memberikan pengaruh
nyata.
secara
Model
keseluruhan
secara
dapat
menjelaskan
pergerakan NTP sebesar 59°/o, pada tingkat kepercayaan 99°/o. Tanda
koefisien
setiap
variabel
yang
dihasilkan
dengan
sesuai
yang
diharapkan (hipotesis), yaitu negatif untuk TOT, negatif untuk HPU,
positif untuk APAIR, positif untuk NT dan positif atau negatif untuk
I NFL.
Variabel
TOT
(term
of
trade),
yaitu
variabel
yang
menggambarkan nilai tukar barter sektor pertanian, yang dihitung dari
deflator PDB sektor pertanian terhadap deflator PDB sektor non
pertanian. Nilai koefisien menandakan bahwa setiap peningkatan TOT
sebesar 0,1 akan menurunkan NTP sebesar 2.3 poin. Peningkatan
angka TOT menunjukkan penurunan nilai tukar sektor pertanian
terhadap sektor non pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tukar
sektor pertanian menurun maka demikian juga dengan kesejahteraan
petani.
Hasil tersebut juga, bahwa indek harga yang diterima dari hasil
produksi pertanian akan melemah jika produksi terus meningkat. Pada
kasus
sektor
pertanian,
produktivitas akan
jika
meningkat,
teknologi
budidaya
diaplikasikan
namun sejalan dengan
itu akan
menurunkan harga dan daya belinya terhadap produk non pertanian.
Hal ini juga berkaitan dengan pengaruh elastisitas pendapatan dengan
konsumsi produk pertanian, dimana semakin tinggi peningkatan
pendapatan akan menurunkan pangsa pendapatan yang digunakan
untuk konsumsi. Oleh karena itu setiap peningkatan pertumbuhan
sektor pertanian akan menurunkan indek harga yang diterima petani
dan sebaliknya semakin meningkat pertumbuhan di sektor non
65
pertanian justru akan dapat meningkatkan indek harga yang diterima
petani. Yang selanjutnya akan berpengaruh pada nilai tukar petani.
HPU, harga pupuk urea untuk mewakili perkembangan harga
pupuk yang mempengaruhi biaya input produksi pertanian, setiap
kenaikannya sebesar Rp 1,- /kg akan menurunkan NTP sebesar 0,068.
Jika dicermati, NTP (kesejahteraan) petani sangat sensitif terhadap
perubahan harga pupuk. Kenaikan harga pupuk dapat mempengaruhi
petani dalam penggunaan jumlah pupuk sesuai dengan rekomendasi.
Hal ini dapat mengakibatkan penurunan produksi yang selanjutnya
dapat menurunkan pendapatannya.
Kemudian
pembangunan
variabel
Janngan
APAIR,
irigasi
anggaran
secara
pemerintah
signifikan
untuk
menjelaskan
pergerakan nilai tukar petani. Setiap penambahan anggaran untuk
jaringan irigasi sebesar 1 trilyun rupiah dapat meningkatkan NTP
sebesar 2,31. Hal ini dimengerti karena pembangunan jaringan irigasi
merupakan salah satu bentuk subsidi input yang diberikan pemerintah
kepada petani. Adanya subsidi input sudah tentu akan mengurangi
biaya produksi sehingga akan berpengaruh pada margin yang diterima
petani
dari
hasil
penjualan
produksinya,
dan
petani
dapat
meningkatkan pendapatannya.
Sementara secara statistik nilai tukar rupiah terhadap dollar
tidak signifikan mempengaruhi NTP. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
walaupun pergerakan nilai tukar rupiah
dapat berpengaruh terhadap
ekspor produk pertanian, terutama hasil perkebunan, tetapi bagi
pertanian secara keseluruhan tidak memberikan pengaruh berarti. Dan
lagi pelemahan nilai tukar rupiah yang menguntungkan bagi ekspor
produk pertanian bukan merupakan suatu indikator penting bagi
kemajuan pertanian dalam negeri (peningkatan daya saing). Hal
tersebut semata-mata "rejeki durian runtuh" (wind fall),
akibat
melemahnya rupiah, yang karenanya akan kembali melemah jika nllai
tukar kembali menguat. Tidak signifikannya variabel nilai tukar juga
mengindikasikan bahwa barang-barang yang dikonsumsi oleh petani
tidak sensitif terhadap perubahan nilai tukar. Hal ini mengingat pangsa
66
pengeluaran untuk konsumsi pangan oleh penduduk pedesaan (petani)
dari pendapatannya masih besar, yaitu 66,56°/o (Susenas 2002).
Kejadian inflasi berhubungan negatif dengan nilai tukar petani.
Jika dicermati pengaruh inflasi pada harga yang dibayar petani untuk
konsumsi, saranan produksi dan barang modal lebih besar dari pada
pada harga yang diterima petani dari hasil produksinya, sehingga
secara
kumulatif
pengaruh
insflasi
menjadi
negatif
terhadap
kesejahteraan petani. Setiap peningkatan inflasi sebesar 1°/o akan
menurunkan nilai tukar petani sebesar 0,21. Inflasi, perubahan hargaharga yang terjadi di perkotaan memberikan pengaruh juga terhadap
kejadian inflasi barang-barang produksi di tingkat pedesaan (IT) .
Tetapi karena pengarunya terhadap harga yang dibayar petani (IB)
lebih tinggi maka, pengaruh inflasi menjadi negatif. Indek harga yang
dibayarkan petani untuk kebutuhan konsumsi, barang modal dan
sarana produksi mencerminkan tingkat perubahan harga-harga di
tingkat pedesaan. Maka jika inflasi yang terjadi sangat tinggi, daya beli
petani akan sangat tertekan.
Penguatan indeks harga yang diterima petani (IT) menjadi
sangat penting dalam
rangka terus meningkatkan surplus produsen
pertanian yang berarti meningkatkan daya beli petani. Dalam proses
transformasi struktur ekonomi dari dominan produk primer ke produk
industri manufaktur, penguatan daya beli petani sangat penting
sehingga
dapat
menyerap
produk
manufaktur dan
mendukung
pergeseran tenaga kerja sektor pertanlan ke sektor industri.
Sementara itu perbedaan waktu antara sebelum dan sesudah
krisis (variabel dummy), secara statistik tldak menunjukkan perbedaan
rata-rata yang nyata pada NTP agregat. Hal ini diduga bisa terjadi
karena pengamatan untuk waktu setelah krisis yang masih terbatas.
4.4. Variabel yang Berpengaruh terhadap NTP Tanaman
Bahan Makanan (NTPM)
Hasil regresi untuk menduga varibel yang berpengaruh terhadap
Nilai tukar petani tanaman bahan makanan adalah sebagai berikut :
67
NTPMt = 106.0679 - 31.8766 TOTt - 0.0694 HPU t
(-1,5927)*
(5,8930)*** (-2,6686)**
+ 9.1266
NTt
(1,0126)*
4.7628APAIRt - 0.2152 INFLt + 12.0163 D
(-2,8711)**
(6,3367)***
(1,4933)
R2 = 0.80
F-Statistik = 12,5929***
* = Signifikan pada tingkat kepercayaan 85%
**= Signiflkan pada tingkat kepercayaan 95%
**= Signifikan pada tingkat kepercayaan 99%
Sejalan dengan model untuk NTP agregat, model di atas
menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas TOT, HPU, NT, INFL dan
APAIR berpengaruh nyata terhadap pergerakan NTP tanaman bahan
makanan (TBM). Sedangkan varibel D (dummy antara tahun sebelum
krisis ekonomi dan setelahnya) tidak berpengaruh nyata. Model secara
keseluruhan dapat menjelaskan pergerakan NTP TBM sebesar 80°/o,
pada tingkat kepercayaan 99°/o. Seperti juga model NTP agregat,
tanda setiap koefisien variabel yang dihasilkan sesuai dengan yang
diharapkan (hipotesis), yaitu negatif untuk TOT, negatif untuk HPU,
positif untuk APAIR, positif untuk NT dan positif atau negatif untuk
I NFL.
Dibandingkan pengaruhnya terhadap NTP agregat, pengaruh
variabel TOT terhadap NTP tanaman bahan makanan lebih besar,
terlihat
dari
nilai
dibandingkan 23,04.
koefisiennya
yang
lebih
besar,
yaitu
31,87
Hal ini dapat diterangkan dari komposisi
tanaman bahan makan dalam penyusunan NTP agregat yang dominan,
yaitu 88,5°/o (Lihat Lampiran 4). Sehingga penurunan nilai tukar sektor
pertanian terhadap sektor non pertanian (TOT) berpengaruh lebih
besar terhadap NTP tanaman bahan makanan. Elastisitas pendapatan
terhadap
produk
makanan
sangat
sangat
sensitif
terhadap
peningkatan pendapatan, dlmana pangsa pendapatan untuk konsumsi
pangan akan menurun sejalan dengan peningkatan pendapatan.
Pengaruh variabel HPU dan INFL terhadap NTP tanaman bahan
makanan dapat dikatakan sama pengaruhnya terhadap NTP agregat.
Hal ini juga dapat diterangkan dari komposisi tanaman bahan makan
68
dalam penyusunan NTP agregat yang dominan. Sehingga pengaruh
keduanya terhadap NTP agregat dan NTP tanaman bahan makanan
hampir sama.
Variabel APAIR lebih sensitif berpengaruh pada perubahan NTP
tanamman bahan makanan dari pada NTP agregat, yang ditunjukkan
dari nilai koefisiennya sebesar 4,76. Berarti setiap peningkatan 1
trilyun rupiah anggaran pembangunan untuk jaringan irigasi akan
meningkatkan NTP tanaman bahan makanan sebesar 4,76 point.
Respon
NTP tanaman
makanan
bahan
yang
tinggi
terhadap
perubahan anggaran jaringan irigasi berhubungan dengan karakteristik
tanaman bahan makanan (padi, palawija, sayur dan buah-buahan)
yang lebih banyak membutuhkan suplai air untuk dapat tumbuh
dengan baik. Jika jaringan irigasi baru dibangun, atau pemeliharaan
selalu dilakukan maka petani akan mudah mendapatkan air untuk
menjamin
produktivitas
usahanya.
Jika
produktivitas
terjaga
pendaptan petani pun terjamin, sehingga NTP (kesejahteraan ) akan
meningkat. Pembangunan ataun pun pemeliharaan jaringan irigasi
membutuhkan modal yang cukup besar dan dimanfaatkan oleh banyak
orang,
sehingga
pemerintah
harus
turun
tangan
untuk
dapat
membangunnya, sebagaimana infrastruktur jalan raya.
Anggaran pembangunan untuk jaringan irigasi sangat signifikan
mempengaruhi indek harga yang diterima petani tanaman bahan
makanan. Ketersediaan jaringan irigasi merupakan satu bentuk subsidi
input yang sangat penting dalam mendukung produktivitas tanaman
bahan
makanan,
seperti
padi
dan
palawija,
sehingga
setiap
peningkatan anggaran akan berpengaruh positif terhadap indek harga
yang diterima petani tanaman pangan.
Perbedaan waktu antara sebelum dan sesudah krisis (variabel
Dummy), secara statistik tidak menunjukkan perbedaan rata-rata yang
nyata pada NTP tanaman bahan makanan. Hal ini diduga bisa terjadi
karena pengamatan untuk waktu setelah krisis yang masih terbatas.
69
4.5. Variabel yang Berpengaruh terhadap NTP Tanaman
Perkebunan Rakyat {NTPK)
Hasil regresi untuk menduga varibel yang berpengaruh terhadap
IT tanaman perkebunan rakyat adalah sebagai berikut :
NTPKt = 230.8977 - 76.8400 TOTt- 0.5884 HPU t
(-3,9798)**
(-2,7503)*
(6,2048)**
+ 43.8705 NTt- 1.5680 INFLt - 34.8008 D
(-4,7698)**
(3,0411)**
F-Statistik
* =
**=
= 5.9659**
R2
(-2,5504)*
= 0.60
Signifikan pada tingkat kepercayaan 950fo
Signlfikan pada tlngkat kepercayaan 99%
Untuk menghindari multikolinearitas yang parah, salah satu
variabel
yang
tidak
penting
secara
statistik,
yaitu
Anggaran
pemerintah untuk jaringan irigasi (APAIR) dikeluarkan dari model. Hal
ini juga menunjukkan bahwa anggaran pertanian untuk jaringan irigasi
tidak sensitif mempengaruhi indek harga yang diterima oleh petani
perkebunan.
Tidak sebagaimana pertanian tanaman pangan yang
cenderung tergantung dengan jaringan irigasi untuk kelangsungan
produksinya, untuk tanaman perkebunan tidak demikian.
Sejalan dengan model untuk NTP agregat, model di atas
menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas TOT, HPU dan INFL
berpengaruh nyata terhadap pergerakan NTP agregat. Sementara
tidak sebagaimana pada model persamaan NTP agregat dan NTP TBM,
variabel NT dan D memberikan pengaruh yang nyata pada tingkat
kepercayaan masing-masing 99°/o dan 95°/o terhadap NTP tanaman
perkebunan
rakyat
(TPR).
Model
menjelaskan pergerakan NTP TPR
secara
keseluruhan
dapat
sebesar 60°/o, pada tingkat
kepercayaan 99°/o. Seperti juga model NTP agregat, tanda setiap
koefisien variabel yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan
(hipotesis), yaitu negatif untuk TOT, negatif untuk HPU, positif untuk
NT dan positif atau negatif untuk INFL.
Dibandingkan pengaruhnya terhadap NTP agregat, pengaruh
variabel TOT terhadap NTP TPR lebih besar, terlihat dari nilai
70
koefisiennya yang lebih besar, yaitu 76,84 dibandingkan 23,04. Hal ini
dapat diterangkan dari komposisi tanaman perkebunan rakyat dalam
penyusunan NTP agregat yang kecil, 11,5o/o (Lihat Lampiran 4).
Sehingga penurunan nilai tukar sektor pertanian terhadap sektor non
pertanian (TOT) berpengaruh lebih besar terhadap NTP TPR. Hasil
tersebut
perkebunan
bahwa
menunjukkan
juga
sangat
rentan
daya
mengalami
beli
petani
penurunan
tanaman
terjadi
jika
penurunan harga produksi akibat berbagai sebab. Produk perkebunan
sebagaimana produk pertanian yang lainnya yang bersifat perishable
(mudah rusak) juga menjadi masalah tersendiri bagi petani yang dapat
menurunkan
harga
jual
akibat
keterlambatan
penjualan
atau
pengawetan.
Pengaruh
variabel
HPU
dan
NT
sangat
besar
terhadap
perubahan NTP TPR. Setiap peningkatan harga pupuk sebesar Rp 1,akan menurunkan NTP TPR sebesar 0,58 point dan setiap penurunan
nilai tukar rupiah akan meningkatkan NTP TPR sebesar 43,87 point.
Sebagai tanaman produk ekspor, harga tanaman perkebunan sangat
dipengaruhi oleh nilai tukar. Depresiasi akan menguntungkan karena
daya saing harga di pasar dunia menguat dan apresiasi akan
sebaliknya. Hal ini dengan asumsi bahwa kualitas tidak menjadi
kendala. Penjelasan tersebut dikuatkan, jika melihat pola pergerakan
NTP TPR pada Gambar 4 di atas, dimana ketika nilai tukar rupiah
mengalami depresiasi NTP TPR mengalami kenaikan. Berarti pada saat
seperti itu daya beli petani perkebunan rakyat membaik.
Variabel INFL berpengaruh besar terhadap NTP TPR, dimana
setiap peningkatan inflasi sebesar 1 °/o NTP TPR akan turun 1,57 poin.
Sumbangan
produk
perkebunan
terhadap
inflasi
yang
kecil
dibandingkan produk tanaman pangan seperti beras, berpengaruh
terhadap rentannya NTP TPR terhadap kenaikan harga secara umum
(inflasi). Peningkatan harga-harga secara umum lebih berpengaruh
terhadap indek harga yang dibayar petani perkebunan rakyat dari
pada terhadap indek harga yang diterima. Dengan demikian daya beli
71
petani perkebunan rakyat terhadap barang-barang non pertanian
sering lebih rendah.
Perbedaan waktu antara sebelum dan sesudah krisis (variabel
Dummy), secara statistik tidak menunjukkan perbedaan rata-rata yang
nyata pada NTP tanaman perkebunan rakyat. Nilai koefisien yang
negatif menunjukkan bahwa pergerakan setelah krisis ekonmi lebih
tinggi dari pada sebelumnya. Hal ini dapat dijelaskan pada saat D = 0
(setelah krisis) maka intersep persamaan adalah 230.8977, sedangkan
pada saat 0=1 (sebelum krisis) intersepnya adalah 230.89 - 34.80 =
196.09. Penjelasan hal ini sejalan dengan penjelasan pengaruh nilai
tukar.
4.6. Variabel yang Berpengaruh terhadap NTP Padi
Hasil regresi untuk menduga varibel yang berpengaruh terhadap
NTP Padi, adalah sebagai berikut :
NTPPt
=
97.3181 - 28.0231 TOTt- 0.2201 HPUt + 0.1960 HDG
(14,3316)***
(-2,3021)*
(-2,4011)*
(2.1215)**
5.0872 APAIRt- 12.7436 NTt + 0.0287 INFLt
{1,8521)*
F-Statistik = 4.246513
*
(-1,9169)*
(1,1879)**
R2 = 0.61
= Signifikan pada tingkat kepercayaan 90%
** = Signifikan pada tingkat kepercayaan 95%
***=
Slgnlflkan pada tlngkat kepercayaan 99%
Model yang digunakan untuk menduga persamaan NTP Padi
ditambah dengan variabel yang khas berpengaruh terhadap harga padi
di tingkat petani, yaitu harga dasar gabah kering giling (HOG) yang
ditetapkan pemerintah untuk menstabilkan harga beras. Harga yang
tidak stabil akan berakibat pada tingkat inflasi, harga yang mahal
untuk konsumen dan pada tingkat tertentu dapat juga merugikan
konsumen.
Model
yang diperoleh di atas menunjukkan bahwa variabel-
variabel bebas TOT, HPU, HOG, NT, INFL dan APAIR berpengaruh
nyata terhadap pergerakan NTP Padi. Untuk variabel D (dummy
72
perbedaan
antara
tahun
sebelum
dan
setelah
krisis
ekonomi)
dikeluarkan dari model karena tidak memberikan pengaruh yang
signifikan dan menimbulkan masalah dalam hasil regresi. Model secara
keseluruhan dapat menjelaskan pergerakan NTP TBM sebesar 61 °/o,
pada tingkat kepercayaan 99°/o. Seperti juga model NTP agregat,
tanda setiap koefisien variabel yang dihasilkan sesuai dengan yang
diharapkan (hipotesis), yaitu negatif untuk TOT, negatif untuk HPU,
positif untuk APAIR, negatif untuk NT, positif untuk HOG dan positif
atau negatif untuk INFL.
Dibandingkan pengaruhnya terhadap NTP agregat, pengaruh
variabel TOT terhadap NTP Padi lebih besar, terlihat dari nilai
koefisiennya yang lebih besar, yaitu 28,02 dibandingkan 22,98.
berarti setiap penurunan nilai tukar barter sektor pertanian akan
NTP
menurunkan
menunjukkan
Padi
bahwa
sebesar
daya
beli
penurunan jika terjadi penurunan
28
poin.
petani
padi
Hasil
tersebut
rentan
juga
mengalami
harga produksi akibat berbagai
sebab, walaupun tidak sebesar penurunan pada NTP TPR.
Variabel HPU, harga pupuk urea untuk mewakili perkembangan
harga pupuk yang mempengaruhi biaya input produksi pertanian,
setiap kenaikannya sebesar Rp 1,- /kg akan menurunkan NTP Padi
sebesar 0,22. NTP (kesejahteraan) petani padi sangat dipengaruhi oleh
perubahan harga pupuk, yang merupakan input produksi penting
dalam usaha tani padi. Kenaikan harga pupuk dapat mempengaruhi
petani dalam penggunaan jumlah pupuk sesuai dengan rekomendasi.
Jika harga pupuk naik dan terjadi kelangkaan, petani terpaksa
mengurangi pemakaian sesuai yang direkomendasikan. Hal ini dapat
berakibatk
pada
penurunan
produksi
yang
selanjutnya
dapat
menurunkan pendapatannya. Akibat lanjutannya bisa lebih buruk, jika
karena
penurunan
produksi
mengakibatkan stok beras nasional
kekurangan. Jika kemudian kebijakan impor beras yang ditempuh
pemerintah, maka petani padi dapat mengalami kerugian, jika harga
beras impor lebih murah dari harga beras dalam negeri dan bahkan
tidak hanya sebagai stok BULOG tetapi juga masuk ke pasar bebas.
73
Nilai koefisien APAIR pada model persamaan NTP Padi 5,09,
lebih besar dibandingkan koefisiennya pada persamaan NTP agregat
maupun NTP TBM. Setiap peningkatan anggaran untuk jaringan irigasi
sebesar 1 trilyun rupiah akan dapat meningkatkan NTP Padi sebesar
5,09 poin. Hasil ini menyarankan suatu sinyal yang kuat bahwa peran
pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk sektor padi sudah
tepat, yaitu berupa pembangunan sarana pengairan yang sangat
dibutuhkan dalam penanaman padi. Adanya jaringan irigasi adalah
untuk menjamin ketersediaan air di waktu musim kemarau dan
mencegah sawah tergenang banjir di musim penghujan. Oengan
begitu akan memberikan sumbangan dalam peningkatan produktivitas.
Sementara itu kebijakan stabilisasi harga yang secara langsung
mempengaruhi harga jual di tingkat petani, yaitu Harga Oasar Gabah
(Harga Pembelian Pemerintah
= HPP) juga
berpengaruh besar. Setiap
peningkatan HOG oleh pemerintah sebesar Rp 1,-/kg akan dapat
meningkatkan NTP Padi sebesar 0,196, atau berarti setiap peningkatan
HOG Rp 100,-/kg akan dapat meningkatkan NTP Padi sebesar 19,6.
Hal ini harus menjadi dasar dalam penentuan kebijakan di sektor padi,
dan pertanian secara umum mengingat harga produk pertanian sangat
rentan terhadap fluktuasi harga akibat siklus panen raya dan paceklik.
Pada saat panen raya padi, sebagaimana produk pertanian
lainnya menerima harga yang terlalu rendah (unde!Value), karena
banyak pasokan. Sementara di masa paceklik, sedikit pasokan maka
harga akan merangkak naik (ove!Value). Untuk kedua kejadian ini
kebijakan
pemerintah
sangat
dibutuhkan
untuk
menjamin
kesejahteraan petani balk sebagai produsen maupun konsumen.
Oalam kasus penerapan kebijakan harga dasar gabah, setiap
peningkatan
kesejahteraan
pemerintah
harga
dasar
petani
mengenai
padi.
gabah
Oengan
perberasan
akan
tingkat
meningkatkan
demikian
harus
setiap
kebijakan
diarahkan
untuk
meningkatkan harga gabah (beras) sehingga daya petani padi menjadi
kuat untuk membeli barang konsumsi, sarana produksl maupun
barang modal. Ini adalah satu bentuk kebijakan pemerintah yang tidak
74
semata-mata berorientasi kepada harga pangan murah, tetapi lebih
untuk menempatkan kepentingan petani sebagai produsen padi secara
layak.
Hal
diharapkan
tersebut
akan
dapat
meningkatkan
kesejahteraan petani dan memberikan insentif lebih untuk berproduksi.
Jika petani mendapat jaminan harga produksi yang baik, dorongan
untuk
berinvestasi
berupa
penerapan
teknologl
anjuran
dan
peningkatan ketrampilan bertani. Di lain pihak kebijakan pangan
murah berarti menyamaratakan daya beli semua konsumen beras.
Karenanya bagi konsumen beras dengan daya beli rendah dapat
digunakan kebijakan lain, semisal beras untuk orang miskin yang
sekarang sedang berlaku.
Untuk
kasus
komoditas
padi
(beras)
depresiasi
rupiah
berpotensi merugikan pendapatan petani padi. Koefisien variabel NT
(nilai tukar rupiah) menunjukkan bahwa setiap terjadi depresiasi
rupiah sebesar Rp 1.000,- per US$ akan dapat menurunkan NTP padi
sebesar 12,74 poin. Arifin (2005) meramalkan bahwa produksi padi di
masa-masa yang akan datang akan berpacu dengan pertumbuhan
penduduk, sehingga mengancam kecukupan produksi dalam negeri
dalam memenuhi permintaan beras yang meningkat. Kondisi ini akan
memaksa pemerintah mengambil kebijakan impor. Pada kondisi inilah
keadaan nilai tukar akan ikut berpengaruh pada harga beras impor.
Jika harga beras impor murah akibat nilai tukar yang lemah, maka
akan mengancam harga beras, yang berarti juga harga gabah di
tingkat petani.
Variabel INFL berpengaruh besar terhadap NTP Padi, dimana
setiap peningkatan inflasi sebesar 1°/o, NTP Padi akan naik 0,028 poin.
Pengaruh positif inflasi terhadap NTP Padi menunjukkan bahwa indek
harga yang diterima petani padi {IT) akibat kejadlan inflasi lebih besar
dari pada pengaruh inflasi pada indek harga yang dibayar petani (IB),
sehingga kejadian inflasi justru meningkatkan NTPnya.
75
V. KESIMPULAN DAN IMPUKASI KEBDAKAN
5.1.
Keslmpulan
Selama perlode observasi 1976 -2004 rata-rata NTP nasional
adalah 100,6. Selama 29 tahun pengamatan tersebut terlihat bahwa
NTP lebih sering berada dibawah level 100, yaitu sebanyak 16
observasi.
Hal ini menandakan bahwa kesejahteraan petani, yang
diukur dengan NTP, lebih sering menu run dan stag nan dibandingkan
mengalami peningkatan.
Rata-rata NTP tanaman bahan makanan lebih balk dari pada
rata-rata NTP tanaman perkebunan rakyat, yaitu masing-masing 108,9
dan
84,9.
Petani
tanaman
perkebunan
mengalami
peningkatan
kesejahteraan hanya dalam 6 tahun observasi (1977, 1978, 1983,
1984, 1985, dan 1986), selebihnya selalu berada jauh di bawah level
100. perbaikan NTP tersebut berkaitan dengan kebijakan pemerintah
mendorong ekspor non migas, setelah berakhimya booming minyak.
NTP komoditas padi, sebagai komoditas makanan pokok yang sangat
penting, memiliki rata-rata hanya sedikit di atas 100, yaitu 101,8.
Jika dibandingkan antara sebelum terjadl krisis ekonomi dengan
setelah krisis ekonomi, terlihat ada pola pergerakan NTP yang berbeda.
Dimana, walaupun sama-sama terjadi fluktuasi tetapi sejak 1998
sampai 2004 terjadi pergerakan naik NTP yang cukup berarti.
Pergerakan NTP dalam periode setelah krisis ekonomi, lebih tinggi
dibandingkan dengan pergerakan sebelum krisis. Di masa
krisls
perkembangan NTP pada tiap tahun berlkutnya akan dapat bertambah
0,08, sedangkan dalam periode setelah krisis, jika NTP tahun
sebelumnya adalah 100, maka pada tahun berikutnya NTP akan
bertambah 3,89 menjadi 103,89. Hal ini menandakan rata-rata petanl
Indonesia
di
masa
8
tahun
setelah
krisis
memiliki
tingkat
kesejahteraan yang lebih baik. Harga yang diterima petani dari hasil
produksinya relatif lebih balk. Argumentasi ini juga dapat dibuktikan
dari rata-rata NTP sebelum dan setelah krisis yang masing-masing
99,31 dan 104,67.
Nilai tukar petani baik secara agregat maupun per kelompok
komoditas nyata dipengaruhi oleh nilai tukar barter sektor pertanlan
terhadap sektor non pertanian secara negatif, harga eceran tertinggi
pupuk urea secara negatif, laju inflasi secara positif, dan anggaran
pemerintah untuk pembangunan jaringan irigasi juga positif. Variabel
nilai tukar rupiah hanya memberikan pengaruh yang nyata pada nilai
tukar petani tanaman perkebunan dan padi. Hal ini mengindikasikan
bahwa sektor pertanian memang membutuhkan peran pemerintah,
yaitu berupa subsidi input dan kebijakan harga out put untuk
memberikan
insentif bagi
petani
untuk terus
berproduksi
dan
berdiversifikasi. Hal ini dijelaskan dengan meyakinkan oleh respon nilai
tukar petani terhadap setiap kebijakan yang ditetapkan pemerintah.
5.2.
lmplikasi Kebijakan
Hasil estimasi regresi untuk anggaran pembangunan jaringan
irigasi berperan signifikan dalam meningkatkan Nilai Tukar Petani, oleh
karenanya kebijakan anggaran untuk pembangunan, pemeliharaan
dan
perbaikannya
harus
disediakan
secara
berkesinambungan.
Pelimpahan wewenang kebijakan tersebut kepada pemerintah daerah
diharapkan alokasi anggaran pembangunan untuk jaringan irigasi
masih tetap berjalan.
Disamping itu regresi juga menunjukkan bahwa kebijakan harga
juga
berpengaruh
penting,
sehingga
kebijakan
harga
harus
memberikan insentif bagi petani untuk terus berproduksi.
Variabel lain yang berpengaruh nyata terhadap pergerakan NTP
adalah inflasi dan nilai tukar tapi keduanya di luar kontrol pemerintah
sehingga yang bisa dilakukan adalah dengan menciptakan fundamental
ekonomi yang kuat.
77
5.3.
Saran Untuk Studl Lanjutan
1. Variabel-variabel dalam model yang dibangun kemungkinan
ada hubungan sebab akibat antara vaiabel, sehingga untuk
lebih memperjelas hubungan model yang dibangun perlu
dibuat model persamaan simultan.
2. Mengingat analisis penelitian ini difokuskan pada kebijakan
ekonomi pemerintah yang mempengaruhi Nilai Tukar Petani
(NTP),
maka
beberapa
analisis
dalam
keterbatasan
penelitian
dengan
belum
ini
masih
ada
dimasukkannya
beberapa variabel seperti produktivitas sektor pertanian.
Dengan adanya dugaan bahwa peningkatan produktivitas
dapat
menurunkan
NTP,
maka
menjadi
relevan
untuk
memasukkan variabel tersebut dalam model.
78
Daftar Pustaka
Amang, Beddu dan Husein Sawit. 1999. Kebljakan Beras dan Pangan
Nasional. IPB Press.
Amrullah, Sabaruddin. 2005. Beras dalam Dinamika Ekonomi Politik.
Jurnal Agroekonomi. Edisi 44/XIV/Januari 2005.
Anderson, K and Y. Hayami. 1986. The Pollical Economy of Agricultural
Protection East Asia in International Perspective. Allen and
UnWin : Sydney.
Arifin, Bustanul. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Penerbit
Buku Kompas. Jakarta.
AI Sanna, Hassan. Pokok pokok Pemikiran Hassan AI Sanna tentang
Reformasi Ekonomi. 2003. PT Syamil Cipta Media. Bandung.
Badan Pusat Statistik. Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka, 2005.
Badan Pusat Statistik. (Berbagai Tahun). Statistik Nilai Tukar Petani di
Indonesia
Badan Pusat Statistik. Nilai Tukar Petani. Leaflet.
Bale, MD. And E. Lutz. 1981. Price Distortion in Agriculture and Their
Effect : An International Comparition. American Journal of
Agricultural Economics. 63 ( 1) : 8 - 22.
Booth, Anne. "Pembangunan Pertanian Indonesia dalam Perspektif
Perbandingan". Prisma. LP3ES. No.2 Tahun XIX,1990.
Chambers, Robert G. and Richard E. Just. 1981. Effects of Exchange
Rate Changes on U.S. Agriculture: A Dynamic Analysis.
American Journal of Agricultural Economics. 63 (1) : 32 - 45.
Daniel, Moehar. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara.
Jakarta.
Departemen Pertanian. (berbagai Tahun). Statistik Pertanian.
Dornbusch, Rudiger, Stanley Fischer and Richard Startz. 2004.
Makroekonomi (Edisi Bahasa Indonesia). PT Media Global
Edukasi. Jakarta.
79
Hadi, Prayogo Utomo. 1983. Studi Kebijakan Nilai Tukar Pertanian.
Forum Penelitian Agroekonomi. Vol. 2 (1). Juli 1983. Pusat
Penelitian Agroekonomi. Balitbang Departemen Pertanian.
Bogor.
Hayami, Y. and U. Ruttan. 1985. Agriculture Development, An
International Perspective. John Hopkins University Press.
Baltimore
Hendranata, Anton. 2004. Analisis Regresi. Bahan Kuliah Ekonometrika
Terapan MPKP FE - UI. Tidak dipublikasikan.
Hutabarat, Budiman dan Herlina Tarigan. 1995. Dinamika Pangsa dan
Nilai Tukar Sektor Pangan dan Keterkaitannya dengan
Hasil
Pengembangan
Presiding
Beras.
Swasembada
Penelitian. Kelembagaan dan Prospek Pengembangan
Beberapa Komoditas Pertanian. PPSEP. Balitbang Pertanian
Departemen Pertanian. Bogor.
Isdijoso, B. 1992. Model Ekonomi Makro dan Keterkaitan Sektor
Pertanian di Indonesia. Tesis Magister Sains. IPB Bogor.
Mubyarto. "Reformasi Agraria : Menuju Pertanian Berkelanjutan".
Jurnal Ekonomi Rakyat Th. I - No. 8 - Oktober 2002.
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta
Mubyarto. 2003. Kata Sambutan dalam "Kelembagaan dan Ekonomi
Rakyat" oleh Cornelius Rintuh dan Miar. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi. Jakarta
Mubyarto dan Awan Santosa, "Pembangungan Pertanian Berkelanjutan
(Kritik terhadap Paradigma Agribisnis)". Jurnal Ekonomi
Rakyat Th. II - No.3 - Mei 2003.
Nachrowi, Jalal N. dan Hardius Usman. 2005. Ekonometrika, Teori dan
Aplikasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Nasution, Anwar. 2000. Kondisi-kondisi dan Prospek Ekonomi Makro
Indonesia. Dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa
Depan Ekonomi Indonesia. Kompas. Jakarta.
Prabowo, Dibyo. 2000. Tantangan yang Masih Dihadapi. Dalam
Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi
Indonesia. Kompas. Jakarta.
Rachmat, Muchyidin. 2000. Analisis Nilai Tukar Petani. Disertasi. IPB
Bogor.
80
Rachmat, Muchyidin, Supriyati, Deri Hidayat dan Jefferson Situmorang.
2000. Perumusan Kebijaksanaan NTP dan Komodltas
Pertanian. PPSEP. Balitbang Departemen Pertanian. Bogor.
Reksasudharma, C. 1989. "Sistem Pengukuran Nilai Tukar Pertanian
Sub Sektor Tanaman Pangan". Jurnal Ekonomi Analisis Ilmiah
FE - UKI. No. 2.
Sajogyo.
"Kebijakan Publik dalam Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan". Jurnal Ekonomi Rakyat Th. II - No. 2 - April
2003.
Schuh, GE. 1976. The New Macroeconomic of Agriculture. American
Journal of Agricultural Economics. 58 (5) : 802 - 811.
Schwert, G. William. 2003. Eviews Tutorial. University of Rochester.
Simatupang, P. 1992. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter
Sektor Pertanian . Jurnal Agroekonomi. Vol. 11 (1) : 37- SO.
Simatupang, Pantjar dan Brahmantio Isdijoso. 1992. "Pengaruh
Pertumbuhan Ekonomi terhadap
Nilai Tukar Sektor
Pertanian : Landasan Teoritis dan Bukti Empiris". Ekonomi
dan Keuangan Indonesia Vol 40 NO 1.
Pengaruh Kebijakan Makroekonomi
Sipayung, Tungkot. 2000.
terhadap Sektor Pertanian dalam Membangun Ekonomi
Indonesia. Disertasi . IPB Bog or.
Soetrisno, Noer. 2004. Melihat Hari Depan Pertanian Kita. Dalam
Rekonstruksi dan Restrukturisasi Ekonomi Pertanian. Perhepi.
Bogor.
Susanti, Hera. Moh. Ikhsan, Widyanti. 1995. Indikator-indikator
Makroekonomi. Lembaga Penyelidikan
Ekonomi dan
Masyarakat FE - UI. Jakarta.
Syafa'at, Nizwar. Sudi Mardianto dan Pantjar Simatupang. 2003.
Dinamika Indikator Ekonomi Makro Sektor Pertanian dan
Kesejahteraan Petani. Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1 No
1, Maret 2003: 62-73. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian - IPB. Bogor.
Yudhoyono, SB. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai
Upaya Mengatasi Kemisklnan dan Pengangguran: Anal isis
Ekonomi- Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi. IPB Bogor.
Todaro, Michael P. (1999), Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga.
Edisi Keenam : 353-354. Penerbit Erlangga. Jakarta.
81
LAMPIRAN - LAMPIRAN
Lampiran 1. Model- Model Penduga Basil Regresi
1. Model Pola Pergerakan NTP sepanjang tahun (Trend)
Dependent Variable: NTP
Method: Least Squares
Date: 09110/06 Time: 11 :38
Sample: 1976 2004
Included observations: 29
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
OM
OK
TAHUN
7937.164
-3.969787
3.899920
-7699.064
1889.954
0.944713
0.930122
1861.176
4.199660
-4.202108
4.192912
-4.136667
0.0003
0.0003
0.0003
0.0003
c
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.490552
0.429419
4.921744
605.5892
-85.21335
1.152227
Mean dependent var
S.D.dependentvar
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
100.6059
6.515688
6.152645
6.341238
8.024254
0.000651
Probability
Probabii!!X
0.584872
0.546720
Uji Masalah Heteroskedastisitas
White Heteroskedastic~ Test:
0.659167
2.125753
F-statistic
Obs*R-!9uared
Test Equation:
Dependent Variable: RESIDA2
Method: Least Squares
Date: 09/1 0/06 Time: 11 :48
Sample: 1976 2004
Included observations: 29
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
c
-13132.53
15589.02
-7.801630
6.575033
13814.55
14028.16
7.012122
6.903821
-0.950630
1.111266
-1.112592
0.952376
0.3509
0.2770
0.2765
0.3500
OM
DM*DK
TAHUN
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.073302
-0.037902
36.53159
33363.92
-143.3443
1.709569
Mean dependent var
S.D.dependentvar
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
20.88238
35.85835
10.16167
10.35027
0.659167
0.584872
Correltion Matrix untuk melihat adanya masalah multikolinieritas
NTP
OM
OK
TAHUN
NTP
OM
OK
TAHUN
1.000000
-0.358695
-0.359080
0.296484
-0.358695
1.000000
0.999979
-0.741620
-0.359080
0.999979
1.000000
-0.737311
0.296484
-0.741620
-0.737311
1.000000
82
2. Model variabel-variabel yang mempengaruhi NTP Agregat
Dependent Variable: NTP
Method: Least Squares
Date: 09/30/06 Time: 12:48
Sample: 1976 2004
Included observations: 29
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
NT
PAIRN
HPU
TOT2
INFL
c
5.144616
2.312869
-0.067538
-23.03998
-0.214839
0.158396
124.4516
4.755439
0.675931
0.035754
9.019254
0.093619
5.509553
12.65386
1.081838
3.421755
-1.888950
-2.554533
-2.294829
0.028749
9.835073
0.2910
0.0024
0.0722
0.0181
0.0317
0.9773
0.0000
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.591386
0.479946
4.698774
485.7264
-82.01529
1.642327
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
OM
100.6059
6.515688
6.138985
6.469022
5.306759
0.001622
83
Uji Masalah Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test
F-statistic
Obs*R;;!Suared
7.119658
28.69002
Probability
0.130383
0.325365
Probabil~
Test Equation:
Dependent Variable: RESID"2
Method: Least Squares
Date: 09/30/06 Time: 12:52
Sample: 1976 2004
Included observations: 29
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
c
-15082.98
7611.092
632.0370
245.2490
3.179845
-4527.125
-138.1674
-4071.515
2386.515
-101.6223
1.359339
-1072.318
-49.85110
-1131.823
-32.70017
0.035050
-2.656110
-0.096750
20.75134
121.8374
6359.230
293.5914
-8154.267
52.01358
1.599981
-126.7709
17240.51
10119.92
2498.081
253.1288
119.3998
1.814974
1192.195
40.90219
1968.402
1057.868
39.63258
0.962449
539.2050
22.24490
465.9080
15.13432
0.014161
4.034056
0.113567
11.36183
3440.083
1999.338
86.43410
5018.821
83.48104
0.496130
87.34367
10433.68
-1.490424
3.046775
2.496899
2.054016
1.752006
-3.797302
-3.377994
-2.068437
2.255966
-2.564110
1.412376
-1.988702
-2.241013
-2.429284
-2.160663
2.475214
-0.658422
-0.851920
1.826408
0.035417
3.180668
3.396708
-1.624738
0.623059
3.224926
-1.451404
1.652390
0.2746
0.0930
0.1299
0.1763
0.2219
0.0629
0.0776
0.1745
0.1527
0.1244
0.2934
0.1850
0.1543
0.1358
0.1633
0.1317
0.5779
0.4840
0.2093
0.9750
0.0863
0.0768
0.2457
0.5968
0.0842
0.2838
0.2403
NT
NT"2
NT*PAIRN
NT*HPU
NT*TOT2
NT*INFL
NT*DM
PAIRN
PAIRN"2
PAIRN*HPU
PAIRN*TOT2
PAIRN*INFL
PAIRN*DM
HPU
HPU"2
HPU*TOT2
HPU*INFL
HPU*DM
TOT2
TOT2"2
TOT2*1NFL
TOT2*DM
INFL
INFL"2
INFL*DM
OM
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.989311
0.850356
10.34960
214.2285
-70.14555
2.266105
Mean dependent var
S.D.dependentvar
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob( F-statistic)
16.74919
26.75435
6.699693
7.972693
7.119658
0.130383
84
Correlation Matriks untuk melihat adanya masalah multikolinieritas
NTP
NT
NTP
NT
PAIRN
HPU
/NFL
TOT2
DJI
1
~.0277
0.1064
0.4547
0.4723
1
~.1146
~.1220
~.3586
~.0277
0.5905
0.3319
1
0.4723
0.1335
0.2783
0.2905
0.1335
~.5679
~.2152
0.5108
0.2783
0.1495
~.2152
1
~.0699
~.2609
0.1495
~.0699
1
~.2052
~.8131
~.6767
~.2609
~.2052
1
PAIRN
HPU
/NFL
~.1146
TOT2
~.1220
1
0.3319
0.4547
0.2905
0.5108
Dll
~.3586
~.5679
0.5905
0.1064
~.8131
~.6767
85
3. Model Variabel-variabel yang mempengaruhi NTP Tanaman Bahan Makanan
Dependent Variable: NTPM
Method: Least Squares
Date: 09/30/06 Time: 13:30
Sample: 1976 2004
Included observations: 29
Variable
Coefficient
Std. Error
PAIRN
NT
c
4.762899
9.126607
-0.069415
0.067567
-31 .87660
-0.215272
12.01632
106.0679
0.751626 6.336792
5.605539 1.628141
0.043581 -1.592755
0.059652 1.132673
11 .94501 -2.668611
0.102420 -2.101855
8.046798 1.493304
17.99891 5.893017
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.807606
0.743474
5.092093
544.5177
-83.67198
1.944123
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
HPU
HOG
TOT2
INFL
OM
t-Statistic
Prob.
0.0000
0.1184
0.1262
0.2701
0.0144
0.0478
0.1502
0.0000
108.9426
10.05382
6.322206
6.699391
12.59299
0.000003
86
Uji Masalah Heteroskedastisitas
\Nhite Heteroskedasticity Test
F-statistic
Obs*R-squared
1.407252
15.93469
0.261042
0.252675
Probability
Probability
Test Equation:
Dependent Variable: RESIOA2
Method: Least Squares
Date: 09/30/06 Time: 13:31
Sample: 1976 2004
Included observations: 29
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
c
-1387.876
0.829448
0.190742
1470.771
-425.0751
-8.851224
0.025000
10.59154
-0.018607
-772.1840
149.0821
0.208099
-0.002166
165.2707
821.6957
33.81119
3.429276
525.3292
158.1907
6.381399
0.019954
6.479386
0.012908
1310.499
696.8838
6.010234
0.065830
123.7003
-1.689039
0.024532
0.055622
2.799713
-2.687105
-1.387035
1.252920
1.634651
-1.441529
-0.589229
0.213927
0.034624
-0.032908
1.336058
0.1119
0.9808
0.9564
0.0135
0.0169
0.1857
0.2294
0.1229
0.1700
0.5645
0.8335
0.9728
0.9742
0.2014
PAIRN
PAIRN 112
NT
NT112
HPU
HPU112
HOG
HDG112
TOT2
TOT2112
INFL
INFL"2
OM
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.549472
0.159014
39.46275
23359.63
-138.1755
2.376344
Mean dependent var
S.D.dependentvar
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
18.77647
43.03216
10.49486
11.15494
1.407252
0.261042
Correlation Matriks untuk melihat adanya masalah multikolinieritas
NTPM
NT
PAIRN
HPU
TOT2
/NFL
OM
NTPM
NT
PAIRN
HPU
TOT2
INFL
OM
1
0.1077
0.8148
0.2901
0.0567
-0.0882
-0.5367
0.1077
1
0.3319
0.4547
0.5108
0.2905
-0.5679
0.8148
0.3319
1
0.4723
0.2783
0.1335
-0.8131
0.2901
0.4547
0.4723
1
0.1495
-0.2152
-0.6767
0.0567
0.5108
0.2783
0.1495
1
-0.0699
-0.2052
-0.0882
0.2905
0.1335
-0.2152
-0.0699
1
-0.2609
-0.5367
-0.5679
-0.8131
-0.6767
-0.2052
-0.2609
1
87
4. Model Variabel-variabel yang mempengaruhi NTP Tanaman Perkebunan Rakyat
Dependent Variable: NTPK
Method: Least Squares
Date: 09/30/06 Time: 12:59
Sample: 1976 2004
Included observations: 29
Coefficient
Variable
43.87058
NT
-0.588427
HPU
-76.84006
TOT2
-1.568093
INFL
-34.80079
OM
230.8977
c
0.598633
R-squared
0.498291
Adjusted R-squared
14.33283
regression
S.E. of
4108.602
Sum squared resid
-102.7080
Log likelihood
1. 144315
Durbin-Watson stat
Std. Error t-Statistic
14.42591 3.041097
0.147853 -3.979821
27.93780 -2.750397
0.328751 -4.769857
13.64514 -2.550417
37.21264 6.204821
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
Prob.
0.0064
0.0007
0.0123
0.0001
0.0191
0.0000
82.41347
20.23513
8.362157
8.652487
5.965932
0.001559
88
Uii Masalah Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test
4.312338
24.22595
F-statistic
Obs*R-squared
Probability
Probability
0.039108
0.187627
Test Equation:
Dependent Variable: RESIOA2
Method: Least Squares
Date: 09/30/06 Time: 13:03
Sample: 1976 2004
Included observations: 29
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
c
-14273.30
-8840.288
1343.373
1.626021
1742.818
81.90636
2485.814
87.38649
-0.320102
50.56034
1.437806
-66.19468
19587.65
-13036.38
-280.2156
-590.3153
-161.9938
2.495251
98.76815
8335.626
12766.89
5468.102
1749.897
16.02275
5060.655
197.0111
2399.836
91.23967
0.264369
89.10177
0.971113
54.93630
12649.58
7609.808
205.2096
7236.895
226.1775
2.578323
92.66560
7696.968
-1.117993
-1.616701
0.767687
0.101482
0.344386
0.415745
1.035827
0.957769
-1.210816
0.567445
1.480575
-1.204935
1.548483
-1.713102
-1.365509
-0.081570
-0.716224
0.967780
1.065856
1.082975
0.3063
0.1571
0.4718
0.9225
0.7423
0.6921
0.3402
0.3752
0.2715
0.5910
0.1892
0.2736
0.1725
0.1375
0.2211
0.9376
0.5008
0.3705
0.3275
0.3204
NT
NT"2
NT*HPU
NT*TOT2
NT*INFL
NT* OM
HPU
HPU"2
HPU*TOT2
HPU*INFL
HPU*DM
TOT2
TOT2"2
TOT2*1NFL
TOT2*DM
INFL
INFL"2
INFL*DM
OM
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.931767
0.715697
140.1806
117903.6
-146.3462
2.773267
Mean dependent var
S.O.dependentvar
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
158.0232
262.9041
12.79586
13.76363
4.312338
0.039108
Correlation Matriks untuk melihat adanya masalah multikolinieritas
NTPK
NT
HPU
TOT2
/NFL
DM
/NFL
DM
-0.3025
0.2432
0.5108
0.2905
-0.5679
-0.2152
0.5108
1
0.1495
0.1495
1
-0.0699
-0.6767
-0.2052
0.2905
-0.5679
-0.2152
-0.6767
-0.0699
-0.2052
1
-0.2609
-0.2609
1
NTPK
NT
HPU
1
-0.1622
-0.1430
TOT2
-0.3916
-0.1622
1
0.4547
0.4547
-0.1430
-0.3916
-0.3025
0.2432
89
4. Model Variabel-variabel yaag mempeagarahi NTP Padi
Dependent Variable: NTPP
Method: Least Squares
Date: 09/10/06 Time: 00:21
Sample: 1979 2001
Included observations: 23
Variable
Coefficien
t
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PAIRN
NT
INFL
HPU
HOG
TOT2
c
5.087207
-12.74361
0.028750
0.220146
-0.196054
28.02318
97.31814
2.746662 1.852142
6.647858 -1.916949
0.152958 0.187960
0.091687 2.401063
0.092413 -2.121502
11.70221 2.394691
17.55677 5.543055
0.0825
0.0733
0.8533
0.0289
0.0498
0.0292
0.0000
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.614263
0.469612
5.054033
408.6921
-65.72646
2.026392
Mean dependent var
S.D.dependentvar
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
102.9109
6.939710
6.324040
6.669626
4.246513
0.009557
90
Uji Masalah Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test
F-statistic
0.405361
Obs*R-squared
7.526719
Probability
Probability
0.929499
0.820937
Test Equation:
Dependent Variable: RESIQA2
Method: Least Squares
Date: 09/30/06 Time: 13:44
Sample: 1979 2001
Included observations: 23
Variable
Coefficient
-1413.730
c
-32.27021
PAIRN
PAIRNI\2
8.523585
341.4212
NT
NTA2
-122.7383
4.023049
INFL
INFL1\2
-0.063794
-5.419685
HPU
HPUA2
0.018074
8.806413
HOG
HDGI\2
-0.018800
1099.947
TOT2
TOT2A2
-513.9931
Std. Error
844.2085
76.39102
18.18397
532.3392
162.6825
7.505660
0.111911
5.812126
0.019598
8.136928
0.018162
1239.599
665.4950
Prob.
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.327249
-0.480053
36.16458
13078.77
-105.5830
2.647621
t-Statistic
-1.674622
-0.422435
0.468742
0.641360
-0.754466
0.536002
-0.570042
-0.932479
0.922219
1.082277
-1.035133
0.887341
-0.772347
Mean dependent var
S.D.dependentvar
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.1249
0.6816
0.6493
0.5357
0.4680
0.6037
0.5812
0.3731
0.3781
0.3045
0.3250
0.3957
0.4578
17.76922
29.72657
10.31156
10.95336
0.405361
0.929499
Correlation Matriks untuk melihat adanya masalah multikolinieritas
NTPP PAIRN NT
/NFL
NTPP 1.0000 -0.0059 0.4168 0.081043
PAIRN -0.0059 1.0000 0.3319 0.133540
NT 0.4168 0.3319 1.0000 0.290546
INFL 0.0810 0.1335 0.2905 1.000000
HPU 0.2125 0.4723 0.4547 -0.215287
HDG 0.2626 0.6877 0.4786 -0.029517
TOT2 0.5852 0.2783 0.5108 -0.069976
DM -0.0730 -0.8131 -0.5679 -0.260952
HPU
HDG
TOT2
DM
0.212527 0.262653 0.585205 -0.073089
0.472314 0.687797 0.278336 -0.813199
0.454711 0.478634 0.510882 -0.567990
-0.215287 -0.029517 -0.069976 -0.260952
1.000000 0.775178 0.149519 -0.676798
0.775178 1.000000 0.384757 -0.851854
0.149519 0.384757 1.000000 -0.205261
-0.676798 -0.851854 -0.205261 1.000000
91
Lampiran 2. Komponen Penyusun Nilai Tukar Petani (NTP} oleh BPS.
Kelompok
A. Harga yang diterima Petani
1. Padi
2. Palawija
3. Sayuran
4. Buah-buahan
5. Tanaman Perkebunan Rakyat
Sub Kelompok
1. Padi
1. Jagung
2. Ketela Pohon
3. Ketela Rambat
4. Kacang Tanah
5. Kacang Kedele
6. Kacang Hijau
1. Kentang
2. Ketimun
3. Lombok
4. Kubis dll
1. Pisang
2. Pepaya
3. Jeruk
4. mangga, dll
1. Kelapa
2. Kopi
3. Karet
4.Cengkeh,dll
B. Harga yang dibayar Petani
8.1. Konsumsl Rumah Tangga Tanl
1. Konsumsi Makanan
1. Padi-padian dan penggantlnya
2·. Daglng, lkan dan unggas
3. Susu, telur dan mlnyak
4. Sayuran
5. Buah-buahan
6. Kacang-kacangan
7. Makanan lain dan mlnuman
2. Perumahan
1. Biaya Tempat tinggal
2. Bahan Bakar, penerangan
3. Alat rumah tangga
4. lain-lain keperluan
3. Pakaian
1. Pakalan jadi dan alas kaki
2. Barang-barang pribadi
3. Bahan pakaian
4. Aneka Barang dan Jasa
1. Perawatan Kesehatan
2. Pendidlkan
3. Tembakau dan Rokok
4. Lain-lain
8.2. 81aya Produksl dan Penambahan 8arang Modal
1. Non Faktor Produksi
1. Blblt
2. Obat-obatan
3. sewa hewan
2. Faktor Produksi
1. Upah Buruh
2. PaJak dan lain-lain
3. Penambahan Barang Modal
1. Barang Modal
92
Lampiran 3. Konsep dan Definisi dalam Penyusunan NTP oleh BPS.
1. Nilai Tukar Petani, adalah angka perbandingan antara indeks
harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar
petani yang dinyatakan dalam persentase.
Indeks harga yang diterima petani adalah indeks harga yang
menunjukkan perkembangan harga produsen atas hasil produksi
petani. Indeks harga yang dibayar petani adalah indeks harga
yang menunjukkan perkembangan harga biaya faktor produksi,
non faktor produksi, barang-barang modal serta barang/jasa
yang diperlukan untuk kebutuhan rumah tangga petani.
2. Petani yang dimaksud di sini adalah petani tanaman bahan
makanan dan tanaman perkebunan rakyat, baik petani pemilik
maupun petani penggarap (sewa/kontrak/bagi hasil) atas resiko
sendiri dengan tujuan untuk dijual. Orang yang bekerja di
sawah/ladang orang lain dengan mengharapkan upah
atauy
buruh tani bukan termasuk petani.
3. Harga yang diterima petani, adalah rata-rata harga produsen
dari
hasil
produksi
petani
sebelum
dimasukkan
baiaya
transportasl /pengangkutan dan baiya pengepakan ke dalam
harga
penjualannya
atau
disebut
Farm
Gate
(harga
di
sawah/ladang setelah pemetikan). Pengertian harga rata-rata
adalah harga yang bila dikalikan dengan volume penjualan
petani akan mencerminkan uang yang diterima petani tersebut.
Harga tersebut dikumpulkan langsung dari petani produsen.
4. Harga yang dibayar petani, adalah rata-rata harga eceran
barang/jasa yang dikonsumsi atau dibeli petani untuk memebuhi
kebutuhan
rumah tangga
maupun
untuk keperluan
biaya
produksi, non faktor produksi dan penambahan barang modal.
93
Harga barang-barang konsumsi rumah tangga diperoleh dari
pasar di daerah pedesaan.
5. Pasar, adalah tempat dimana terjadi transaksi antara penjual
dengan pembeli atau tempat yang biasanya terdapat penawaran
dan permintaan.
Pada kecamatan yang sudah terpilih sebagai
sampel, pasar yang dicatat haruslah pasar yang cukup mewakili
dengan syarat antara lain : paling besar, banyak pembeli dan
penjual, jenis barang yang diperjualbelikan cukup banyak dan
terjamin kontinyuitasnya serta terletak di daerah rural.
6. Harga eceran pedesaan, adalah rata-rata harga eceran di
pasar setempat untuk tiap jenis barang yang dibeli, tujuan
pembelian barang tersebut adalah untuk dikonsumsi sendiri dan
bukan untuk dijual kepada pihak lain.
Harga rata-rata yang
dipakai adalah modus (yang terbanyak muncul) dari beberapa
pedagang/penjual yang memberikan datanya.
94
Lamplran 4 . Peran Komponen Penyusun IT dan 18 dalam penghltungan
Nilai Tukar Petanl {NTP)
1. Peran Komoditas yang diproduksi/dijual petanl dalam
penyusunan lndeks Harga yang diterima petanl {IT).
Proe insi
NAD
Sumut
Sumbar
Sumsel
Lam~ung
Jabar
Jateng
DIY
Jatim
Bali
NTB
Kalsel
Sulut
Sulsel
Rata-rata Naslonal
Padi
0.235
0.466
0.471
0.328
0.351
0.441
0.447
0.361
0.366
0.277
0.426
0.631
0.299
0.534
0.402
Palawija
0.252
0.093
0.069
0.153
0.361
0.170
0.221
0.463
0.329
0.144
0.231
0.232
0.261
0.206
0.227
Buah
0.077
0.087
0.039
0.172
0.035
0.180
0.132
0.084
0.126
0.368
0.062
0.044
0.205
0.108
0.123
sax ur
0.213
0.137
0.299
0.023
0.033
0.178
0.164
0.022
0.116
0.162
0.263
0.018
0.134
0.044
0.129
TPR
0.223
0.203
0.119
0.381
0.217
0.028
0.033
0.024
0.060
0.046
0.016
0.134
0.025
0.107
0.115
2. Peran Produk yang dibeli Petani dalam Penyusunan lndeks
Harga yang dibayar petani {18).
Propinsi
NAD
Sumut
Sum bar
Sumsel
Lameung
labar
Jateng
DIY
Jatim
Bali
NTB
Kalsel
Sulut
Sulsel
Rata-rata
Nasional
Konsumsi
Makanan
Non
Makanan
0.653
0.202
0.602
0.255
0.653
0.168
0.675
0.230
0.621
0.213
0.470
0.424
0.382
0.480
0.414
0.517
0.398
0.457
0.522
0.194
0.557
0.189
0.648
0.136
0.601
0.239
0.550
0.232
0.553
0.281
Bia~a
Pupuk
0.031
0.036
0.044
0.030
0.046
0.016
0.022
0.014
0.032
0.052
0.057
0.035
0.021
0.054
0.035
Produksi
Modal
Tenaga
Ke!ja
Lain
0.084
0.030
0.091
0.016
0.116
0.019
0.056
0.010
0.099
0.022
0.072
0.017
0.053
0.061
0.040
0.014
0.087
0.026
0.014
0.218
0.190
0.008
0.014
0.166
0.094
0.045
0.118
0.045
0.052
0.079
Sumber: BPS 2005. Statistik Nilai Tukar Petani Indonesia.
95
Download