Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan

advertisement
Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007
Topik
8
Pengaruh Pengolahan terhadap
Nilai Gizi Pangan
NS Palupi, FR Zakaria dan E Prangdimurti
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah menyelesaikan topik 8 ini, mahasiswa mampu menjelaskan,
menghubungkan dan menganalisis faktor-faktor dalam pengolahan pangan
yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan. Dengan demikian mahasiswa
dapat menentukan suatu metode atau cara pengolahan bahan pangan
untuk menghasilkan produk yang bukan saja menarik dan enak rasanya,
awet, tetapi juga tinggi nilai gizinya dan aman untuk dikonsumsi.
Pendahuluan
Pada prinsipnya pengolahan pangan dilakukan dengan tujuan: (1) untuk
pengawetan, pengemasan dan penyimpanan produk pangan (misalnya
pengalengan); (2) untuk mengubah menjadi produk yang diinginkan (misalnya
pemanggangan); serta (3) untuk mempersiapkan bahan pangan agar siap
dihidangkan. Semua bahan mentah merupakan komoditas yang mudah rusak,
sejak dipanen, bahan pangan mentah, baik tanaman maupun hewan akan
mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi biokimiawi. Kecepatan
kerusakan sangat bervariasi, dapat terjadi secara cepat hingga relatif lambat.
Satu faktor utama kerusakan bahan pangan adalah kandungan air aktif secara
biologis dalam jaringan. Bahan mentah dengan kandungan air aktif secara
biologis yang tinggi dapat mengalami kerusakan dalam beberapa hari saja,
misalnya sayur-sayuran dan daging-dagingan. Sementara itu, biji-bijian kering
yang hanya mengandung air struktural dapat disimpan hingga satu tahun pada
kondisi yang benar.
Penanganan, penyimpanan dan pengawetan bahan pangan sering
menyebabkan terjadinya perubahan nilai gizinya, yang sebagain besar tidak
diinginkan. Zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan akan rusak pada
sebagaian besar proses pengolahan karena sensitif terhadap pH, oksigen, sinar
dan panas atau kombinasi diantaranya. Zat gizi mikro terutama tembaga dan zat
besi serta enzim kemungkinan sebagai katalis dalam proses tersebut.
Selain proses pengolahan yang tidak diinginkan karena banyak merusak
zat-zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan, proses pengolahan dapat
bersifat menguntungkan terhadap beberapa komponen zat gizi yang terkandung
dalam bahan pangan tersebut, yaitu perubahan kadar kandungan zat gizi,
peningkatan daya cerna dan ketersediaan zat-zat gizi serta penurunan berbagai
senyawa antinutrisi yang terkandung di dalamnya. Proses pemanasan bahan
pangan dapat meningkatkan ketersediaan zat gizi yang terkandung di dalamnya,
misalnya pemanasan kacang-kacangan (kedelai) mentah dapat meningkatkan
daya cerna dan ketersediaan protein yang terkandung di dalamnya. Selain itu
Topik 8. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan
1
Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007
proses fermentasi kedelai dalam proses pembuatan tempe misalnya, juga dapat
menyebabkan terjadinya denaturasi protein yang akan meningkatkan daya cerna
protein tersebut. Solain yang terdapat dalam kentang dikenal sebagai senyawa
neurotoksin yang akan aman apabila dikonsumsi dalam jumlah yang kecil.
Senyawa ini akan banyak yang rusak setelah diolah. Avidin dalam telur
merupakan senyawa yang dapat mengikat biotin, namun avidin akan rusak oleh
adanya pemanasan dalam proses pengolahan. Pada umumnya pemanasan
akan meningkatkan daya cerna bahan pangan sehingga meningkatkan
keguanaan zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya. Namun demikian,
pemanasan yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan nilai sensoris dan
nilai gizi produk pangan olahan. Untuk itu, maka kunci utama dalam proses
pengolahan bahan pangan, baik di tingat rumah tangga maupun di industri
adalah melakukan optimisasi proses pengolahan untuk menghasilkan produk
olahan yang secara sensoris menarik dan tinggi nilai gizinya.
Dari uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa sangat banyak pengaruh
berbagai pengolahan terhadap komponen zat gizi dalam bahan pangan, mulai
dari saat penanganan, penyimpanan maupun pengawetan. Dalam mata kuliah ini
akan dibahas pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi bahan pangan sebagai
berikut: (1) Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi protein; (2) Pengaruh
pengolahan terhadap nilai gizi Karbohidrat; (3) Pengaruh pengolahan terhadap
nilai gizi lemak; (4) Pengaruh pengolahanan terhadap nilai gizi vitamin; serta (5)
Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi mineral.
1. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi protein
Pengolahan bahan pangan berprotein yang tidak dikontrol dengan baik
dapat menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizinya.
Secara umum
pengolahan bahan pangan berprotein dapat dilakukan secara fiisik, kimia atau
biologis. Secara fisik biasanya dilakukan dengan penghancuran atau
pemanasan, secara kimia dengan penggunaan pelarut organik, pengoksidasi,
alkali, asam atau belerang dioksida; dan secara biologis dengan hidrolisa
enzimatis atau fermentasi.
Diantara cara pengolahan tersebut, yang paling banyak dilakukan adalah
proses pengolahan menggunakan pemanasan seperti sterilisasi, pemasakan dan
pengeringan. Sementara itu kita ketahui bahwa protein merupakan senyawa
reaktif yang tersusun dari beberapa asam amino yang mempunyai gugus reaktif
yang dapat berikatan dengan komponen lain, misalnya gula pereduksi, polifenol,
lemak dan produk oksidasinya serta bahan tambahan kimia lainnya seperti
alkali, belerang dioksida atau hidrogen peroksida.
Perlakuan dengan alkali dapat menyebabkan terjadinya rasemisasi asam
amino, perubahan bentuk L menjadi bentuk D. Selain itu juga dapat terjadi reaksi
antara asam amino yang satu dengan yang lain, misalnya terbentuknya
lisiolalanin dari lisin dan alanin. Hal tersebut dapat menyebabkan menurunnya
nilai gizi protein akibat terjadinya penurunan daya cerna protein dan ketersediaan
atau availabilitas asam-asam amino esensial. Selain itu reaksi antara protein
dengan gula pereduksi yang dikenal dengan reaksi Maillard, juga merupakan
penyebab utama terjadinya kerusakan protein selama pengolahan dan
penyimpanan.
Topik 8. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan
2
Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007
a. Reaksi Maillard
Reaksi Maiilard terjadi antara gugus aldehid dari gula pereduksi dengan
gugus amina dari asam amino terutama epsilon-amino-lisin dan alfa-amino asam
amino N-terminal. Raksi ini banyak terjadi pada pembakaran roti, pembuatan
breakfast cereal, pemanasan daging terutama apabila kontak dengan bahan
nabati, serta pengolahan susu bubuk. Yang terakhir merupakan hal yang paling
penting karena susu bubuk banyak digunakan untuk bayi dan anak-anak, dimana
ketersediaan asam-asam aminonya sangat penting artinya untuk pertumbuhan.
Selain itu di dalam susu bubuk juga mengandung gula pereduksi, sehingga
mudah bereaksi dengan asam-asam amino yangterkandung di dalam susu
tersebut.
Pada umumnya reaksi Maillar terjadi dalam dua tahapan, yairu tahap reaksi
awal (Gambar 8.1) dan reaksi lanjutan (Gambar 8.2). Padatahap awal terjadi
kondensasi antara gugus karbonil dari gula pereduksi dengan gugus amino
bebas dari asam amino dalam rangkaian protein. Produk hasil kondensasi
selanjutnya akan berubah menjadi basa Schiff karena kehilangan molekul air
(H2O) dan akhirnya tersiklisasi oleh Amadori rearangement membentuksenyawa
1-amino-1-deoksi-2-ketosa (Gambar 8.1). Senyawa deoksi-ketosil atau senyawa
Amadori yang terbentuk merupakan bentuk utama lisin yang terikat pada bahan
pangan setelah terjadinya reaksi Maillard awal. Pada tahap ini secara visual
bahan pangan masih berwarna seperti aslinya, belum berubah menjadi berwarna
coklat, namun demikian lisin dalam protein bahan pangan tersebut sudah tidak
tersedia lagi secara biologis (bioavailabilitasnya menurun).
H
|
(HCOH)4
|
HCOH
|
HC=O
|
+
|
NH2
|
Prot
- H2O
H
H
|
|
(HCOH)4
(HCOH)4
|
Amadori
|
HCOH rearrangement
C=O
|
|
CH
HCH
|
|
N
NH
|
|
Prot
Prot
Schift Base
Deoksi-ketosil
(senyawa Amadori)
Glukosa + lisin
(lisin terikat pada protein)
Gambar 8.1. Reaksi antara gugus aldehid glukosa dengan gugus amino lisin
yang terikat pada protein (reaksi Maillard awal).
Reaksi Maillard lanjutan dapatterjadi melalui tiga jalur (pathways), dua
diantaranya dimulai dari produk Amadori (senyawa deoksi-ketosil) dan yang
ketiga berasal dari degradasi Strecker. Reaksi tersebut berakhir dengan
pembentukan pigmen berwarna coklet yang disebut malanoidin (Gambar 8.2).
Topik 8. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan
3
Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007
Gula Pereduksi
+
Asam amino
Senyawa deoksi-ketosil
CH3
|
C=O
|
C=O
|
CHOH
Pemecahan
Karbonil,
dikarbonil
rantai
pendek
Metil
dikarbamil
intermediet
HC=O

C=O

CH2

CHOH

Dehidrasi

5-hidroksi
metil-2furaldehid
3-Deoksi
heksason
intermediet
Degradasi
Strecker
+
Dikarbonil
Strecker aldehid
+
Senyawa
amino
Pembentukan Melanoidin;
Polimerisasi senyawa-senyawa intermediet; produksi N-heterosiklis
Gambar 8.2. Reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino pada protein
(reaksi Maillard lanjutan).
Suatu penelitian menggunakan hewan percobaan (tikus) menunjukkan
bahwa produk reaksi Maillardbaik tahap awal maupun tahap lanjutan tidak dapat
dimanfaatkanoleh tubuh. Semakin lanjut reaksi Maillard berlangsung, akan
semakin banyak produk reaksi yangditemukan dalam feses tikus. Keadaan
tersebut menunjukkan bahwa protein yangtelah mengalami reaksi Maillar daya
cernanya akan menurun, sehingga dikeluarkan melalui feses. Selain itu, produk
yang dapat diserap ususpun tidak dapat digunakan oleh tubuh karena dalam urin
hewan percobaan tersebut terdeteksi adanya produk reaksi Maillard (Tabel 8.1).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penurunan nilai gizi protein akibat
reaksi Maillard terjadi sebagai berikut: (1) lisin dan sistin mengalami kerusakan
sebagai akibat bereaksi dengan senyawa karbonil atau dikarbonil dan aldehid,
padahal lisin merupakan salah satu asam amino esensial; (2) penurunan
ketersediaan semua asam-asam amino, termasuk leusin yang biasanya paling
stabil, sebagai akibat terbentuknya ikatan silang (cross linkage) antar asam-asam
amino melalui produk reaksi Maillard; dan (3) penurunan daya cerna karena
terhambatnya penetrasi enzim ke dalam substrat protein atau karena tertutupnya
sisi protein yang dapat diserang enzim karena terjadinya ikatan silang tersebut.
Topik 8. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan
4
Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007
Tabel 8.1. Ekskresi produk reaksi Maillard tahap awal dan lanjutan dalam urin
dan feses tikus percobaan
Produk reaksi Maillard
Persentase terhadap jumlah yang dikonsumsi
Urin
Feses
Epsilon-deoksifruktosil-lisin
bebas
64
14
Epsilon-deoksifruktosil-lisin
terikat pada protein
11
6
Premelanoidin
27
64
Malanoidin
4
87
Sumber: Hurrell (1984)
b. Reaksi dengan senyawa polifenol
Selain reaksi Maillard kerusakan protein (asam amino) lain yang dapat
terjadi adalah karena terjadinya reaksi dengan senyawa polifenol yang berasal
dari tanaman seperti fenolat, flavonoiddan tanin. Senyawa polifenol tersebut akan
mudah teroksidasi dengan adanya oksigen dalam suasana alkali atau
terdapatnya enzim polifenolase, membentuk senyawa radikal orto-kuinon.
Senyawa orto-kuinon tersebut sangat reaktif dan apabila bereaksi dengan
protein dapat membentuk senyawa kompleks yang melibatkan asam amino lisin
sehingga ketersediaannya akan menurun. Selain itu senyawa kompleks proteinpolifenol tersebut sulit ditembus oleh enzim protease sehingga daya cerna
proteinnya juga rendah, sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa
nilai gizi protein tersebut juga akan turun. Pembentukan kompleks antara protein
dan senyawa polifenol dapat dilihat pada Gambar 8.3.
c. Pembentukan lisinoalanin
Pada umumnya pengolahan protein dengan alkali dillakukan untuk
memperbaiki sifat fungsional protein. Ada dua hal yang perlu mendapat
perhatian yaitu pembentukan lisinolalanin dan rasemisasi asam amino, yang
keduanya dapat berakibat pada penurunan nilai gizi protein tersebut.
Lisinolalanin adalah senyawa N-epsilon-(DL-2-amino-karboksi-etil)-L-lisin
yang disingkat dengan LAL. Senyawa tersebut terdiri dari residu lisin yang gugus
epsilon-aminonya terikat pada gugus metil dari residu alanin. Terdapat dua
mekanisme pembentukan lisinolalanin yang diketahui, yaitu melalui reaksi betaeliminasi dan reaksi substitusi (Gambar 8.4a dan b).
Pembentukan lisinoalananin akan menurunkan daya cerna protein karena
terbentuknya ikatan silang (cross linkage). Selain itu lisinolalanin juga bersifat
toksik apabila termakan, yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan ginjal
(nephrocytomegaly), namun mekanismenya belum diketahui dengan jelas.
Banyak penelitian telah dilakukan untuk mempelajari parameter fisik dan kimia
yang mempengaruhi pembentukan lisinolalanin. Tujuan utamanya adalah untuk
mengurangi atau menghilangkan LAL dari protein yang diberi perlakuan
menggunakan alkali. Dilaporkan bahwa LAL dapat terbentuk pada pH 9,
Topik 8. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan
5
Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007
pembentukannya akan dipercepat pada pH antara 11-12 dan pada kondisi suhu
tinggi.
OH
OH
O
[O]
R
R
OH
OH
NH-LIS
Asam
polifenolat
O
NH-LIS
+ n kuinon
pH netral/
alkali
Oksigen;
enzim/alkali
+
O
Orto-kuinon
OH
+ NH2-LIS
(kuinon)
R
NH2
|
LIS
O
R
R
NH-LIS
LIS-NH
Lisin terikat
protein
OH
alkali
OH
R
NH-LIS
N-LIS
R
OH
+ [o]; Kuinon
KOMPLEKS
LISIN DAN
POLIMER
KUINON
O
Kuinonimin
+ NH2-LIS
N-LIS
R
N-LIS
O
N-LIS
N-LIS
+ NH2-LIS
R
N-LIS
R
[Kuinon]
KOMPLEKS LISIN DAN
POLIMER KUINON
Ikatan silang kuinonimin
Gambar 8.3. Reaksi pembentukan senyawa kompleks antara protein dan
senyawa polifenol.
NH2
Sistein
Serin
Alkali
CH2
- H2S
- H2O
C
NH3 COOH
Residu
dehidro-alanin
+
(CH2)4
CH
NH3 COOH
L-Lisin
CH
CH
(CH2)4
+
(CH2)4
NH
NH
CH2
CH2
CH
NH3 COOH
LL-LAL
Topik 8. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan
COOH NH3
COOH NH3
HC
NH3 COOH
LD-LAL
6
Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007
Gambar 8.4a. Mekanisme pembentukan lisinolalanin melalui reaksi betaeliminasi.
O
NH2
Fosfat
CH2
+
CH
NH3 COOH
COOH NH3
CH
(CH2)4
(CH2)4
CH
NH
NH3 COOH
CH2
Residu
Serin fosfat
L-Lisin
CH
NH3 COOH
LL-LAL
Gambar 8.4b. Mekanisme
substitusi.
pembentukan
lisinolalanin
melalui
reaksi
Struktur protein merupakan kriteria penting yang dapat mempengaruhi
pembentukan LAL. Jumlah LAL yang terbentuk tergantung pada konsentrasi lisin
dan residu sistein serta serin dalam protein, serta jarak antara lisin ke residu
sistin atau serin dalam rantai protein. Protein yang residu lisin dan sistin atau
serinnya berdekatan atau hanya dibatasi oleh satu atau dua residu lainnya akan
dapat segera membentu LAL.
d. Rasemisasi asam amino
Selain terbentuknya lisinoalanin, terjadinya rasemisasi asam amino
merupakan fenomena lain yang terjadi pada saat protein diperlakukan dalam
larutan alkali dan dapat mempengaruhi nilai gizi protein. Rasemisasi juga dapat
terjadi dalam suasana asam atau proses penyangraian (roasting), terutama
apabila terdapat lipidatau gula pereduksi.
Pada kejadian ini, asam amino bentuk L akan berubah menjadi bentuk D
yang tidak dapat digunakan oleh tubuh. Demikian pila ikatan peptida L-D, D-L
atau D-D dari protein juga tidak dapatdiserang oleh enzim proteolitik, sehingga
daya cerna protein menurun. Asam-asam amino D-lisin, D-teronin, D-triptofan,
D-leusin, D-isoleusin dan D-valin sama sekali tidak dapat digunakanoleh tubuh.
Sedangkan D-fenilalanin dapat menggantikan L-fenilalanin dan D-metionin dapat
digunakan sama baiknya dengan L-metionin oleh tubuh.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, akan terjadi rasemisasi asam amino
dalam larutan alkali yang berakibat terjadinya penurunan nilai biologis beberapa
asam mino tersebut. Arginin, sistin, treonin dan sistein sebagian akan rusak,
sementara itu glutamin dan asparagin akan dideaminasi dalam larutan alkali.
Dalam larutan asam, triptofan sedikit lebih mudah rusak, sistein sebagian
dikonversi menjadi sitin, serin dan treonin sebagian akan rusak. Fenilalanin dan
treonin sebagain akan rusak oleh sinar ultra violet. Semua asam amino dalam
bahan pangan, terutama lisin, treonin dan metionin bersifatsensitif terhadap
pemanasan kering dan radiasi. Oleh karena itu, dalam proses pembakaran dan
Topik 8. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan
7
Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007
pemanggang serealia, kacang-kacangan dan campuran bahan pangan lain, akan
terjadi penurunan nilai biologis protein secara signifikan.
e. Interaksi antara protein dan lipid teroksidasi
Penurunan nilai gizi protein juga dapat disebabkan karena terjadinya
interaski antara protein dengan lipid teroksidasi, yang seringkali tidak
diperhatikan dalam proses pengolahan pangan.
Oksidasi lipid yang
mengandungasam lemak tidak jenuh berlangsung melalui tiga tahap: (1)
pembentukan produk primer seperti lipid hidroperoksida; (2) degradasi
hidroperoksida melalui radikal bebas dan membentuk produk-produk sekunder
seperti aldehid, hidrokarbon dan lain-lain; serta (3) polimerisasi produk primerdan
sekunder membentuk produk akhir yang stabil. Produk-produk yang terbentuk
tersebut dapat bereaksi dengan protein, terutama dengan asam amino lisin,
membentuk protein modifikasi yang sulit dicerna oleh enzim proteolitik.
Disamping itu, asam amino triptofan dan asam amino lain yang mengandung
sulfur juga dapat rusak teroksidasi oleh adanya radikal bebas dan
hidroperoksida.
2. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi karbohidrat
Ditinjau dari nilai gizinya, karbohidrat dalam bahan pangan dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) karbohidrat yang dapat dicerna, yaitu
monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa dsb); disakarida (sukrosa, maltosa,
laktosa) serta pati; dan (2) karbohidrat yang tidak dapat dicerna, seperti
oligosakarida penyebab flatulensi (stakiosa, rafinosa dan verbaskosa) serta serat
pangan (dietary fiber) yang terdiri dari selulosa, pektin, hemiselulosa, gum dan
lignin.
Pengaruh pemanggangan terhadap karbohidrat umumnya terkait dengan
terjadinya hidrolisis. Sebagai contoh, pemanggangan akan menyebabkan
gelatinisasi pati yang akan meningkatkan nilai cernanya. Sebaliknya, peranan
karbohidrat sederhana dan kompleks dalam reaksi Maillard dapat menurunkan
ketersediaan karbohidrat dalam produk-produk hasil pemanggangan.
Proses ekstrusi HTST (high temperature, short time) diketahui dapat
mempengaruhi struktur fisik granula pati metah, membuatnya kurang kristalin,
lebih larut air dan mudah terhidrolisis oleh enzim. Proses tersebut dikenal
dengan istilah pemasakan atau gelatinisasi. Karena kondisi kelembaban rendah
pada ektruder, gelatinisasi secara tradisional yang melibatkan perobekan
(swelling) dan hidrasi granula pati tidak terjadi.
Suatu penelitian telah dilakukan untuk mengukur hidrolisis tepung dan pati
gandum secara in vitro menggunakan alfa-amilase saliva dan secara in vivo
dengan mengukur tingkat glukosa plasma dan insulin tikus percobaan. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa proses ekstrusi membuat pati lebih peka
terhadap alfa-amilase bila dibandingkan dengan perebusan. Kondisi ekstrusi
yang ekstrim meningkatkan kadar gula dan insulin dalam plasma lebih epat
dibandingkan dengan proses perebusan.
Melalui penellitian lain dilaporkan bahwa beberapa hasil hidrolisis pati
dihasilkan selama proses ekstrusi. Adanya mono- dan oligosakarida, seperti
glukosa, fruktosa, melibiosa, maltosa dan maltriosa membuktikan bahwa
polisakarida didegradasi selama proses ekstrusi untuk menghasilkan produk
Topik 8. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan
8
Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007
yang lebih mudah dicerna. Selain itu juga diteliti pengaruh ekstrusi terhadap
fraksi amilosa dan amilopektin tepung gandum dan singkong.
Hasilnya
menunjukkan bahwa rantai makromolekul terpecah menjadi dua molekul
tersebut, amiloda dan amilopektin, yang diindikasikan dari viskositas, permeasi
gel-kromatografi dan berat molekul rata-ratanya. Perubahan terhadap daya
cernanyatidak secara spesifik diukur, tetapi diduga kedua fraksi pati tersebut
menjadi lebih mudah dicerna.
Selama proses ektrusi juga terjadi pembentukan senyawa kompleks antara
amilosa dengan lipida. Pati singkong diekstrusi menggunakan ekstruder twinscrew dengan jumlah dan jenis asam lemak yang bervariasi (C2 hingga C18),
monogliserida, emulsifier (calcium stearyl lactylate) dan lemak murni.
Kelembaban awal ingredien 22% dan suhu ekstrusi bervariasi antara 200-225oC.
Sampel diekstrusi dengan 2% asam lemak C12 atau yang lebih panjang lagi,
monogliserida dan emulsifier, terbentuk senyawa kompleks antara fraksi amilosa
pati dengan bahan-bahan tersebut. Kelarutan dalam air senyawa kompleks pati
tersebut menurun seiring dengan meningkatnya panjang rantai asam lemak yang
dikompleknya. Senyawa kompleks fraksi amilosa tersebut resisten terhadap
amilolisis oleh enzim alfa-amilase, sehingga menurunkan daya cerna pati yang
banyak mengandung amilosa secara in vitro.
Fraksi larut etanol 80% pati kentang yang diekstrusi dengan twin-screw
ekstruder menunjukkan peningkatan oligosakarida dengan berat molekul di
bawah 2000 seiring dengan meningkatkan temperatur proses. Hal ini
menunjukkan bahwa teknologi ektrusi berpotensi untuk diaplikasikan dalam
industri makanan bayi mengingat anak-anak kemungkinan defisiensi enzimenzim yang memecah rantai cabang yang terdapat dalam pati.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa serat pangan terdiri dari
selulosa, hemiselulosa, lignin, pektin, beberapa jenis gum dan getah. Berbagai
uji telah diterapkan untuk mengukur serat pangan, termasuk metode penentuan
kadar serat kasar secara klasik yang hasilnya biasanya lebih rendah
dibandingkan penentuan serat pangan secara enzimatis. Istilah serat kasar
berbeda dengan serat pangan. Serat kasar (crude fiber) merupakan bagian dari
bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang
digunakan untuk menentukan serat kasar seperti 1.25% H2SO4 dan 1.25%
NaOH. Sedangkan serat pangan adalah bagian dari bahan pangan yangtidak
dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Oleh karena itu nilai kadar serat
kasar biasanya lebih rendah dari serat pangan karena asam sulfat dan natrium
hidroksida mempenuyai kemampuan yang lebih besaar dalam menghidrolisis
komponen bahan pangan dibandingkan dengan enzim-enzim pencernaan.
Serealia dan kulit sekamnya dianggap merupakan sumber serat yang baik.
Oleh karena bahan tersebut banyak mengalami proses pengolahan terutama
ekstrusi, maka diperkirakan terdapat pengaruh pengolahan terhadap kandungan
seratnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa proses
ekstrusi hanya sedikit mempengaruhi kandungan serat dalam bahan pangan
yang diuji.
3. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi lemak
Pada umumnya setelah proses pengolahan bahan pangan, akan terjadi
kerusakan lemak yang terkandung di dalamnya. Tingkat kerusakannya sangat
bervariasi tergantung suhu yang digunakan serta lamanya waktu proses
Topik 8. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan
9
Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007
pengolahan. Makin tinggi suhu yang digunakan, maka kerusakan lemak akan
semakin intens. Asam lemak esensial terisomerisasi ketika dipanaskan dalam
larutan alkali dan sensitif terhadap sinar, suhu dan oksigen. Proses oksidasi
lemak dapat menyebabkan inaktivasi fungsi biologisnya dan bahkan dapat
bersifat toksik. Suatu penelitian telah membuktikan bahwa produk volatil hasil
oksidasi asam lemak babi bersifat toksik terhadap tikus percobaan.
Pada proses pemanggangan yang ekstrim, asam linoleat dan kemungkinan
juga asam lemak yang lain akan dikonversi menjadi hidroperoksida yang tidak
stabil oleh adanya aktivitas enzim lipoksigenase. Perubahan tersebut akan
berpengaruh pada nilai gizi lemak dan vitamin (oksidasi vitamin larut-lemak)
produk.
4. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi vitamin
Stabilitas vitamin dibawah berbagai kondisi pengolahan relatif bervariasi.
Vitamin A akan stabil dalam kondisi ruang hampa udara, namun akan cepat
rusak ketika dipanaskan dengan adanya oksigen, terutama pada suhu yang
tinggi.
Vitamin tersebut akan rusak seluruhnya apabila dioksidasi dan
didehidrogenasi. Vitamin ini juga akan lebih sensitif terhadap sinar ultra violet
dibandingkan dengan sinar pada panjang gelombang yang lain.
Asam askorbat sedikit stabil dalam larutan asam dan terdekomposisi oleh
adanya cahaya. Proses dekomposisi sangat diakselerasi oleh adanya alkali,
oksigen, tembaga dan zat besi.
Sebesar 50% biotin akan hilang pada saatdirebus selama 6 jam dalam
laritan 30% HCl atau 17 jam dalam KOH 1N, yang sebelumnya relatif stabil
dalam udara dan oksigen atau ketika diekspospada sinar ultra violet.
Asam lemak esensial terisomerisasi ketika dipanaskan dalam larutan
alkalidan sangat sensitif terhadap sinar, suhu dan oksigen. Apabila dioksidasi,
akan menjadi inaktif secara biologis dan kemungkinan bersifat toksik.
Stabilitas vitamin D dipengaruhi oleh pelarut pada saat vitamin tersebut
dilarutkan, namun akan sdtabil apabila dalam bentuk kristal disimpan dalam botol
gelas tidak tembus pandang. Pada umumnya vitamin D stabil terhadap panas,
asam dan oksigen. Vitamin ini akan rusak secara perlahan-lahan apabila
suasana sedikit alkali, terutama dengan adanya udara dan cahaya.
Kelompok asam folat stabil dalam perebusan pada pH 8 selama 30 menit,
namun akan banyak hilang apabila diautoklaf dalam larutan asam dan alkali.
Destruksi asam folat diakselerasi oleh adanya oksigen dan cahaya.
Vitamin K bersifat stabil terhadap panas dan senyawa pereduksi, namun
sangatlabil terhadap alkohol, senyawa pengoksidasi, asam kuat dan cahaya.
Niasinamid akan terhidrolisis sebagian dalam asam dan alkali.namun masih
mempunyai nilai biologis yang sama. Pada umumnya niasin stabil terhadap
udara, cahaya, panas, asam dan alkali.
Asam pantotenat paling stabil pada pH 5.5-7, secara cepat akan
terhidrolisis dalam asam kuat dan kondisi alkali dan akan labil dalam pemanasan
kering, lartutan asam dan alkali panas.
Vitamin B12 (kobalamin) murni bersifat stabil terhadap pemanasan dalam
larutan netral. Vitamin ini akan rusak ketika dipanaskan dalam larutan alkali atau
Topik 8. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan
10
Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007
asam dalam bentuk kasar, misalnya dalam bahan pangan. Kolin sangat alkalis
dan sedikit tidak stabil dalam latutan yang mengandung oksigen.
Kelompok vitamin B6 meliputi piridoksin, piridoksal dan piridoksamin.
Piridoksin bersifatstabil terhadap pemanasan, alkali kuat atau asam, tetapi
sensitif terhadap sinar, terutama sinat ultra violet, ketika berada dalam larutan
alkali. Piridoksal dan piridoksamin secara cepat akan rusak ketika diekspos di
udara, panas dan sinar. Ketiganya sensitif terhadap sinar ultra violet ketika
berada di dalam larutan netral atau alkali. Piridoksamin dalam bahan pangan
bersifatsensitif terhadap pengolahan.
Riboflavin sangat sensitif terhadap sinar dan kecepatan destruksinya akan
meningkat seiring dengan meningkatnya Ph dan temperatur. Oleh karena itu,
riboflavin dalam susu akan hilang secara cepat (50% dalam 2 jam) ketika
terekspos dengan sinar matahari dan akan menghasilkan senyawa derivatif
(lumiflavin) yang juga akan merusak asam askorbat dalam susu. Vitamin ini akan
stabil terhadap panas dalam bentuk kering atau dalam larutan asam.
Tiamin tampak tidak akan terdestruksi ketika direbus dalam kondisi asam
untuk beberapa jam, namun akan terjadi kehilangan hingga 100% apabila
direbus dalam kondisi pH 9 selam 20 menit. Senyawa ini tidak stabil di uadara,
terutama pada nilai pH lebih tinggi dan akan rusak selama proses autoklaf,
sulfitasi dan dalam larutan alkali.
Tokoferol bersifat stabil pada proses perebusan asam tanpa adanya
oksigen dan juga akan stabil terhadap sinat tampak (visible light). Vitamin ini
bersifat tidak stabil pada suhu kamar dengan adanya oksigen, alkali, garam feri
dan ketika terekspos pada sinar ultra violet. Diduga kehilangan tokoferol terjadi
ketika terjadi oksidasi lemak dalam proses penggorengan terendam (deep-fat
frying). Hal ini terutama disebabkan karena terjadi destruksi tokoferol oleh
derivat asam lemak yang secara kimia aktif, yang terbentuk selama pemanasan
dan oksidasi.
5. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi mineral
Pada umumnya garam-garam mineral tidak terpengaruh secara sigifikan
dengan perlakuan kimia dan fisik selama pengolahan. Dengan adanya oksigen,
beberapa mineral kemungkinan teroksidasi menjadi mineral bervalensi lebih
tinggi, namun tidak mempengaruhi nilai gizinya.
Meskipun beberapa komponen pangan rusak dalam proses pemanggangan
bahan pangan, proses tersebut tidak mempengaruhi kandungan mineral dalam
bahan pangan. Sebaliknya, perlakuan panas akan sangat mempengaruhi
absorpsi atau penggunaan beberapa mineral, terutama melalui pemecahan
ikatan, yang membuat mineral-mineral tersebut kurang dapat diabsorpsi
meskipun dibutuhkan secara fisiologis. Fitat, fiber, protein dan mineral diduga
merupakan komponen utama sebagai penyusun kompleks tersebut.
Beberapa mineral seperti zat besi, kemungkinan akan teroksidasi
(tereduksi) selama proses pemanggangan dan akan mempengaruhi absorpsi dan
nilai biologisnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua senyawa besi yang
digunakan dalam pengolahan krakers soda mempunyai nilai biologis yang
berbeda jauh (Tabel 8.2). Hasil tersebut diukur menggunakan teknik hemoglobin
depletion-repletion (pengosongan-pengisian hemoglobin). Selain itu, zat besi
Topik 8. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan
11
Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007
dalam krakers yang dibuat dengan soda, tanpa soda dan ditambahkan pada
tahap akhir mempunyai nilai biologis yang sama.
Tabel 8.2. Nilai biologis zat besi dalam krakers soda.
Sumber zatbesi
Fero sulfat
Zat besi tereduksi
Krakers
Soda
Roti
Krakers
Roti
Krakers
Tdk di
+
Di + stlh
pemangga
ngan
Fe di +
stlh
pemang
gangan
Kadar
hemoglobin
(mg/mg zat
besi yang
dikosnsumsi
206
 26
214 
28
99 
26
94  15
90  18
96  9
86  24
Nilai Biologis
zatbesi relatif
100
104
48
46
44
47
42
Sumber: Ranhotra et al (1973) di dalam Karmas dan Harris (1988).
Rangkuman
1. Penanganan, penyimpanan dan pengawetan bahan pangan sering
menyebabkan terjadinya perubahan nilai gizinya, yang sebagain besar tidak
diinginkan. Zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan akan rusak pada
sebagaian besar proses pengolahan karena sensitif terhadap pH, oksigen,
sinar dan panas atau kombinasi diantaranya. Zat gizi mikro terutama
tembaga dan zat besi serta enzim kemungkinan sebagai katalis dalam
proses tersebut.
2. Selain proses pengolahan yang tidak diinginkan karena banyak merusak
zat-zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan, proses pengolahan dapat
bersifat menguntungkan terhadap beberapa komponen zat gizi yang
terkandung dalam bahan pangan tersebut, yaitu perubahan kadar
kandungan zat gizi, peningkatan daya cerna dan ketersediaan zat-zat gizi
serta penurunan berbagai senyawa antinutrisi yang terkandung di dalamnya.
3. Cara pengolahan yang paling banyak dilakukan adalah menggunakan
pemanasan seperti sterilisasi, pemasakan dan pengeringan. Sementara itu
protein merupakan senyawa reaktif yang dapat berikatan dengan komponen
lain, misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak dan produk oksidasinya serta
bahan tambahan kimia lainnya seperti alkali, belerang dioksida atau
hidrogen peroksida. Perlakuan dengan alkali dapat menyebabkan terjadinya
rasemisasi asam amino, perubahan bentuk L menjadi bentuk D. Selain itu
juga dapat terjadi reaksi antara asam amino lisin dan alanin membentuk
lisiolalanin. Selain itu reaksi antara protein dengan gula pereduksi yang
dikenal dengan reaksi Maillard, juga merupakan penyebab utama terjadinya
kerusakan protein selama pengolahan dan penyimpanan. Rekasi-reaksi
yang terjadi selama pengolahan bahan pangan pangan dapat menyebabkan
Topik 8. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan
12
Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007
menurunnya nilai gizi protein akibat terjadinya penurunan daya cerna protein
dan ketersediaan atau availabilitas asam-asam amino esensial.
4. Ditinjau dari nilai gizinya, karbohidrat dalam bahan pangan dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) karbohidrat yang dapat dicerna, yaitu
monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa dsb); disakarida (sukrosa,
maltosa, laktosa) serta pati; dan (2) karbohidrat yang tidak dapat dicerna,
seperti oligosakarida penyebab flatulensi (stakiosa, rafinosa dan
verbaskosa) serta serat pangan (dietary fiber) yang terdiri dari selulosa,
pektin, hemiselulosa, gum dan lignin. Beberapa cara pengolahan dapat
menurunkan atau meningkatkan nilai gizi karbohidrat.
5. Pada umumnya setelah proses pengolahan bahan pangan, akan terjadi
kerusakan lemak yang terkandung di dalamnya. Tingkat kerusakannya
sangat bervariasi tergantung suhu yang digunakan serta lamanya waktu
proses pengolahan. Makin tinggi suhu yang digunakan, maka kerusakan
lemak akan semakin intens.
6. Stabilitas vitamin dibawah berbagai kondisi pengolahan relatif bervariasi.
Vitamin A akan stabil dalam kondisi ruang hampa udara, namun akan cepat
rusak ketika dipanaskan dengan adanya oksigen, terutama pada suhu yang
tinggi. Vitamin tersebut akan rusak seluruhnya apabila dioksidasi dan
didehidrogenasi. Vitamin ini juga akan lebih sensitif terhadap sinar ultra
violet dibandingkan dengan sinar pada panjang gelombang yang lain.
7. Pada umumnya garam-garam mineral tidak terpengaruh secara sigifikan
dengan perlakuan kimia dan fisik selama pengolahan. Dengan adanya
oksigen, beberapa mineral teroksidasi menjadi mineral bervalensi lebih
tinggi, namun tidak mempengaruhi nilai gizinya. Meskipun beberapa
komponen pangan rusak dalam proses pemanggangan bahan pangan,
proses tersebut tidak mempengaruhi kandungan mineral dalam bahan
pangan. Sebaliknya, perlakuan panas akan sangat mempengaruhi absorpsi
atau penggunaan beberapa mineral, terutama melalui pemecahan ikatan,
yang membuat mineral-mineral tersebut kurang dapat diabsorpsi oleh usus.
Daftar Pustaka
Harris RS and Karmas E. 1988. Nutritional Evaluation of Food Processing. Third
Edition, AVI Publ, Westport
Helferich W, Winter CK. 2001.Food Toxicology.CRC Press,Boca Raton
Hodgson E and Levi PE. 2000. Modern Toxicology. McGraw Hill, Singapore (2nd
ed)
Langseth L. 1996. Oxidants,Antioxidants, and Disease Prevention. ILSI Europe,
Brussels
Muchtadi, D. 1989. Aspek Biokimia dan Gizi dalam Keamanan Pangan. Pusat
Antar UniversitasPangan dan Gizi. IPB.
Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar UniversitasPangan
dan Gizi. IPB.
Omaye S. 2004. Food and Nutritional Toxicology. CRC Press, Boca Raton, USA
Topik 8. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan
13
Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007
Topik 8. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan
14
Download