II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Perdaga nga n Bebas Perdagangan bebas atau liberalisasi perdagangan merupaka n konsep ekonomi yang merujuk kepada sistem perdagangan barang dan jasa antar negara tanpa adanya intervensi pemerintah dalam bentuk tariff dan hambatan perdagangan lainya, seperti kuota, subs udi, dan pajak (Krugman dan Obstfeld, 2000; Husted dan Melvin, 2004). Menurut pendapat sebagian pakar ekonomi, kebijakan perdagagan bebas dengan menghapuskan berbagai intervensi dan hambatan perdagangan diyakini dapat memperluas akses pasar yang diperlukan untuk mengembangkan ekspor (Wibowo, 2009). Perdagangan bebas, disamping akan meningkatkan impor negara yang membuka pasarnya melalui penghapusan tarif, juga akan meningkatan ekspor, sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selama periode 1999-2009 perdagangan telah menjadi mesin penggerak utama pertumbuhan ekonomi dunia sebagaimana dapat dilihat pada gambar 5 da n 6. Selama periode tersebut total perdagangan dunia meningkat hampir tiga kali lipat dari US$ 12 trilyun pada tahun 1999 menjadi sekitar US$ 33 trilyun pada tahun 2009. Selama periode yang sama PDB dunia meningkat dari US$ 31 trilyun pada tahun 1999 menjadi US$ 58 trilyun pada tahun 2009. Hardo no et al (2004) mengemukakan bahwa perdagangan bebas, minimum akan memberikan lima keuntungan yaitu: (1) akases pasar akan lebih luas karena liberalisasi perdagangan cende rung menciptaka n pusat-pusat produksi baru yang menjadi lokasi berbagai kegiatan industri yang saling terkait dan saling 31 menunjang, sehingga dapat diperoleh efisiensi; (2) iklim usaha lebih kompetitif, sehingga mendorong pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya; (3) mendorong terjadinya alih teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi sebagaa akibat dari adanya arus perdangangan dan investasi yang lebih bebas; (4) signal harga yang dihasilkan lebih “benar”, sehingga dapat meningkatkan efisiensi investasi; dan (5) kesejahteraan kosumen baik ditingkat individu maupun perusahaan akan meningkat. Kesejahteraan individu meningkat karena tersedia beragam jenis barang dengan harga relaif lebih murah sehingga daya beli (purchasing power) bertambah, sementara dipihak lain perusahaan memperoleh keuntungan dari ke muda han akses untuk mendapat sumber bahan baku, ko mpo nen, dan jasa yang lebih kompetitif (Wibowo, 2009). USD Triliun 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 1999 2000 2001 2002 Negara maju 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Negara Emerging dan Berkembang Sumber: IMF, 2010 Gambar 5. Perkembangan Produk Domestik Bruto Dunia Tahun 1999-2009 32 35 30 Total Perdagangan Triliun US$ 25 20 15 Ekspor 10 5 0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber: WTO, 2010. Gambar 6. Perkembangan Ekspor dan Total Perdagangan Dunia Tahun 19992009 Kebijakan perdagangan bebas pertama kali diprakarsai oleh negara-negara Eropa dan Amerika setelah berakhirnya Perang Dunia II. Sistem perdagangan bebas multilateral pada awal pembentukannya disebut dengan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yaitu suatu perjanjian internasional mengenai tarif dan perdagangan. Selama tiga dekade sejak kesepakatan GATT (1950-1980) sistem multilateral telah mendominasi kebijakan perdagangan internasional (Krueger,1999; Krugman dan Obstfeld, 2000). Namun sejak akhir 1980-an, kebijakan perdagangan bebas mulai bergeser dari sistem multiteral ke sistem regional melalui pembentukan Regional Trade Agreements (RTAs), baik dalam bentuk kesepakatan pemberian konsesi tarif (Prefential Tariff Arranggements), perdagangan bebas regional (Regional Free Trade ) maupun pe nyatuan sistem pabean (Costums Union) (Wibowo, 2009). Berkembang dan meluasnya berbagai kesepakatan RTAs yang dimulai sejak awal tahun 1990-an dipicu oleh lamba nnya penyelesaian sistem perdagangan multilateral dalam kerangka WTO, sehingga fenomena munculnya berbagai 33 bentuk RTAs menimbulkan banyak perdebatan diantara ahli ekonomi mengenai relevansi RTAs dan masa depan sistem multilateral di bawah kerangka GATT/WTO. Terkait de ngan isu tersebut, terdapat dua kubu yang pro da n ko ntra atas meluasnya fenomena RTAs tersebut. Kubu yang pro terhadap kebijakan perdagangan bebas regional (Bergsten, 1997; Baldwin,1997; Ethier,1998; dan Lawrence,1999) mengemukakan bahwa RTAs adalah langka h maju menuju perdagangan bebas multilateral dan akan memperkuat eksistensi WTO serta sistem perda gangan internasional. Sementara itu, Michalak dan Gibb (1997), juga mengemukakan pendapat yang hampir sama bahwa regionalisasi perdagangan merupaka n salah satu strategi awal bagi sebuah negara sebelum melibatkan diri dalam proses perdagangan multiteral. Disamping itu, secara politis RTAs akan lebih mudah dikelola oleh sebuah pe merintah diba ndingka n de ngan sistem multilateral yang komplek dan berlarut larut (Desker, 2004). Dengan RTAs diharapkan negara-negara di suatu kawasan dapat mengintegrasikan ekonomi mereka kedalam sebuah sistem eko nomi yang lebih terbuka de ngan melakukan perdagangan intra-kawasan (Wibowo, 2009). Sementara itu kelompok yang kontra terhadap kebijakan perdagangan bebas regional (Bhagwati,1995; Krueger,1995; da n Panagariya,1999) berpendapat bahwa RTAs justru akan menghambat proses liberalisasi perdagangan multilateral karena akan memberikan keleluasaan akses pasar bagi negara anggota RTAs, tetapi di sisi lainnya memproteksi pasar bagi negara-ne gara di luar angota RTAs. Bhagwati (1995) mengeluarkan istilah yang sampai sekarang seringkali diingat oleh berbagai pihak yang memahami kebijakan perdagangan sebagai efek “spaghetti bowl”, yaitu keracunan atau kesulitan dalam menentukan asal usul 34 barang (rules of origin) yang berhak memperoleh konsesi tarif sesuai kesepakatan Preferential Trade Area (PTA). Pembentuka n Preferential Trade Area antara sebuah eko nomi besar de ngan ekonomi negara-negara berkembang seperti NAFTA, bertentangan de ngan sistem perdagangan bebas multilateral, sebab perbedaan tingkat ekonomi dan standar tenaga kerja diantara mereka akan menciptakan perdagangan yang tidak seimbang (Bhagwati da n Panagariya, 1996). Oleh karena itu, PTA akan lebih sesuai dengan sistem perdagangan global apabila dibentuk diantara sesama negara berkembang yang memiliki tingkat pembangunan ekonomi relatif sama dan telah memiliki hubungan pe rda gangan secara tradisional, seperti MERCOSUR, COMESA, AFTA, yaitu sebuah blok perdagangan regional yang dibentuk diantara negaranegara Amerika Selatan, negara-negara Afrika bagian Selatan dan negara- negara anggota ASEAN. Jika PTA dilakuka n antara ne gara maju de ngan negra berkembang, maka cakupan produk maupun subtansi kerjasama diantara keduanya harus memasuka n aspek ke rjasama eko nomi yang lebih luas di luar perdagangan termasuk kerjasama dalam bentuk Capacity Bulding dan Technical Assistance dari negara maju ke negara berke mbang yang sepka t membe ntuk PTA tersebut. Sementara itu, sistem perdagangan bebas multilateral dimulai sejak adanya kesepakatan GATT yang dibentuk pada tahun 1948. Selanjutnya, setelah berakhirnya Putaran Uruguay tahun 1994, GATT diagantika n dengan WTO (World Trade Organization), yang dibentuk pada tahun 1995. Indonesia sebagai anggota GATT, selanjutnya meratifikasi pembentukan WTO melalui UndangUndang Nomor 7 Tahun 1994, sehingga Indo nesia sebagai negara anggota dan 35 sekaligus bagian dari pendiri WTO memiliki kewajiban untuk memenuhi semua perjanjian yang disepakati dalam WTO. Prinsip prinsip perdagangan multilateral yang dianut dalam GATT/WTO (WTO, 2010) adalah: 1. Trade without discrimination, yang berarti bahwa perdagangan dilakukan tanpa diskriminasi, sehingga semua negara anggota WTO berhak atas perlakuan yang sama atau Most-favoured Nation (MFN). 2. Free trade, yang berarti penghapusan dan penurunan hambatan perdagangan ba ik tarif maupun non dilakukan secara bertahap melalui proses negosiasi. 3. Predictable through binding and transparency, artinya suatu negara (negara anggota) tidak boleh memberlakukan hambatan perdagangan baik tarif maupun non-tarif secara sepihak. Prinsip ini juga mengandung makna bahwa tingkat tarif dan komitmen untuk membuka pasar domestik bersifat mengikat (binding) dan untuk diketahui (notification) oleh semua anggota WTO. 4. Fair competion trade, artinya persaingan pe rda gangan harus dilakukan secara sehat. 5. Encouranging development and economic reform, yang berarti bahwa sistem perda gangan dibawah aturan WTO harus memberikan fleksibilitas kepada kelompok negara berkembang untuk melaksanakan kesepakatan WTO. Disamping itu, prinsip ini juga memberikan perlakuan kepada kelompok negara berkembang agar diberi bantuan teknis dan konsesi perdagangan tertentu guna mendukung pembagunan ekonomi nasionalnya. Sampai saat ini perundingan perdagangan multilateral telah dilakukan sebanyak sepuluh (10) kali putaran, dimulai tahun 1947 di Geneva hingga putaran 36 terakhir yang dikenal dengan putarn Doha atau Doha Development Agenda/DDA (2001-sekarang) seperti terlihat pada tabel 12. Pada awalnya perundingan GATT yang diikuti oleh bebe rapa negara anggota yang terutama dari kelompok negara industri maju, .hanya membahas penurunan tarif perdagangan barang. Namun dalam perkembangan selanjutnya topik perundingan GATT diperluas hingga mencakup hampir semua aspek perdagangan, seperti tarif, tekstil, produk pertanian, sumberdaya alam, perlind ungan hak intelektual, investasi, jasa, dan lain- lain (Wibowo, 2009). Perkembangan perundingan dan ruang lingkup yang dibahas dalam GATT disajika n pada tabel 12. Putaran Doha atau DDA adalah merupakan putaran perundingan perdagangan bebas multilateral yang paling lama dalam sejarah WTO yaitu sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Disamping putaran Doha, Putaran Uruguay ada lah juga putaran perundinga n yang terbesar dalam catatan sejarah GATT, selain memakan waktu yang lama yaitu lebih dari tujuh tahun (1986-1994), tetapi juga membahas hampir semua aspek liberalisasi perdagangan internasional yang dimaksudkan untuk mencegah meningkatnya proteksionisme di negara-negara maju. Hasil yang paling menonjol dari putaran Uruguay antara lain adalah disepakatinya perjanjian perdagangan di sektor jasa (the General Agreement of Trade in Services/GATS), perjanjian mengenai hak properti intelektual terkait dengan perdagangan (Trade-related Intelectual Property Rights/TRIPS), perjanjian di sektor investasi (Trade-related Investement Mesures/TRIMSs) dan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) (Wibowo, 2009). Putaran Uruguay juga telah berhasil menurunkan tingkat tarif produk manufaktur di negara-negara indutri secara sugnifikan dari 6.3 persen menjadi 3.9 persen atau 37 penurunan sekitar 40 persen. Sedangka n di negara- negara industri sedang berkembang, tarif manufaktur diturunkan dari rata-rata 15.3 persen menjadi 12.3 persen atau penurunan sebesar 30 persen (OECD,1998). Selanjutnya berdasarkan hasil studi yang dilakuka n oleh OECD (1998), menyimpulkan bahwa liberalisasi perdagangan barang berdasarka n hasil Putaran Uruguay akan meningkatkan GDP dunia sebesar US$ 94 Milyar setiap tahunya (dihitung pada tahun 1992), dan apabila ditambah dengan hasil liberalisasi di sektor investasi, maka kenaikan GDP dunia tersebut mencapai US$ 214 Milyar per tahun atau sekitar 1 persen dari total output dunia pada 1992. Kesimpulan lainnya dari hasil studi yang dilakukan oleh OECD tersebut juga menytakan ba hwa manfaat liberalisasi perdagangan akan dinikmati oleh negara-negara berkembang. Di sektor pertanian, Uruguay Round Agreement on Agriculture (URAA) telah disepakati oleh negara-negara GATT/WTO. Berdasarkan URAA, hambatan non-tarif dalam perdagangan produk pertanian digantikan dengan tarif yang meningkat (bound tariffs), dan disepakati untuk memperluas akses pasar dengan mengurangi subsidi domestik dan subsidi eskpor (Wibowo, 2009). Menurut Malian (2004) ada 3 kesepakatan penting di sektor pertanian yang dihasilkan da lam putaran Uruguay, yaitu: 1. Penurunan tarif di ne gara-negara berkembang sebesar 24 persen selama 10 tahun. Sementara itu, penurunan tarif di negara-negara maju rata-rata sebesar 36 persen dan minimum 15 persen untuk setiap jenis tarif selama 6 tahun. 2. Subs idi do mestik yang ada di negara- negara maju diturunka n sebesar 20 persen tanpa batas waktu, dan bagi negara berkembang subsidi domestik di turunkan sebesar 13.3 persen selama 10 tahun. Selanjutnya, subsidi domestik 38 dibawah 5 persen yang ada di negara- negara maju da n 10 pe rsen di ne garanegara berkembang dari total nilai produk pertanian diperbolehkan. 3. Subsidi ekspor di negara-negara maju yang mencakup 24 persen dari jumlah komoditi ekspor yang disubsidi harus diturunkan sebesar 36 persen. Sedangkan untuk negara-negara berkembang yang mencakup 16 persen dari jumlah komoditi ekspor yang disubsidi harus diturunkan sebesar 20 persen selama 10 tahun. Meskipun kesepakatan dalam sektor pertanian tersebut telah dicapai melalui Putran Uruguay, pada kenyataannya masih banyak negara maju yang memproteksi sektor pertaniannya secara berlebihan. Menurut Duncan et al, (1999) beberapa fakta empirirs menunjukkan bahwa proteksi terhadap komoditi pertanian di negara-negara maju cukup besar yaitu di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang berkisar antara 116-463 persen. Pada tahun 1998, ketiga negara tersebut memberikan subsidi ekspor kepada produk pertaniannya masing- masing sebesar US$101.5 Milyar (Amerika Serikat), US$ 142.2 milyar (Uni Eropa), dan US$ 56.8 milyar (Jepang). Selanjutnya OECD (1998) juga mencatat bahwa negaranegara anggota OECD harus menanggung rata-rata sekitar 35 persen dari nilai total produksi sektor pertaniannya untuk memproteksi pasar komoditi pertanian tersebut. Tingginya proteksi sektor pertanian di negara-negara maju sangat merugikan produsen di negara berkembang karena tertutupnya akses pasar untuk ekspor dan penurunan harga komoditi pertanian (Wibowo, 2009). Malian (2004) juga mencatat beberapa kelemahan dalam perjanjian sektor pertanian di WTO, yaitu : (1) akses pasar ke negara maju relatif sulit karena sejak awal mereka telah memiliki ”initial tariff rate” yang jauh lebih tinggi; (2) de ngan kekuatan kapital 39 yang dimiliki, ne gara-negara maju telah menyediakan subsidi ekspor dan subsidi domestik yang tinggi untuk menorong ekspor dari surplus produksi komoditi pertanian yang dimiliki; dan (3) dalam perjanjian WTO tidak terdapat fleksibilitas yang memadai bagi negara- negara be rke mbang untuk melakukan penyesuaian tarif yang sejalan dengan perkembangan permasalahan dan lingkungan setrategis perda gangan ko mod iti di negara-negara tersebut. Sejak dibentuknya WTO tahun 1995 dan dihasilkannnya Putaran Doha, di bulan Nopember 2001, WTO memulai babak perundingan baru yang disebut dengan Doha Development Agenda (DDA). Cakupan agenda yang dirundingkan lebih luas dan lebih sulit dalam mencapai keepka tan diantara gap yang terjadi antara negara maju dan negara berkembang. Agenda yang dirundingkan mencakup: perdagangan produk pertanian, produk non pertanian, investasi, jasa, isu lingkungan, dan hak atas kekayaan intelektual (HAKI), penyelesaian sengketa, dan peraturan WTO. Menurut Wibowo (2009), perundingan di sektor pertanian mencakup tiga isu penting yaitu: (1) perluasan akses pasar melalui penurunan tarif; (2) penurunan subsidi ekspor dan kredit ekspor sehingga tercipta persaingan ekspor yang kompetitif; dan (3) penghapusan/penurunan subsidi domestik kepada petani di negara-negara maju untuk menghilangkan distorsi pasar. Berdasarkan program kerja Doha atau juga sering disebut dengan ”Paket Juli” perundingan ketiga pilar sektor pertanian tersebut dilakukan atas dasar (Wibowo, 2009): 1. Subsidi domestik di negara-negara maju khusunya Eropa dan Amerika Serikat harus dipotong sebesar 20 persen dari total subsidi domestiknya pada tahun pertama implementasi perjanjian di sektor pertanian, dan membatasi subsidinya sebesar 5 persen dari total produksi pertanian untuk kategori blue box. 40 2. Semua subsidi ekspor akan dihapuska n da n dilakuka n secara pa ralel dengan penghapusan elemen subsidi program yaitu: kredit ekspor, garansi kredit ekspor atau program asuransi. 3. Untuk akses pasar, dilakukan penurunan tarif dengan menggunaka n formula bertingkat (tiered formula) terhadap tarif terikat (bound tariff). Dengan fomula tersebut, maka akan memangkas tarif untuk beberapa produk yang bound tariff nya masih tinggi seperti seperti komoditi beras dan gula di Indonesia. Paket Juli 2004 juga memberikan pengecualian perubahan pada beberapa jenis produk (Wibowo, 2009), yaitu: (1) produk khusus (special products) bagi negara berkembang dapat menentukan jumlah produk khusus berdasarkan kriteria: ketahanan pa ngan (food security); (2) ketahanan kehidupan masyarakat pedesaan (livelihood security) dan pembangunan masyarakat pedesaan (rural development). Namun demikian, produk yang masuk dalam kategori produk khusus (special product) oleh suatu ne gara (negara berke mba ng), ne gara tersebut tetap harus menyediakan dalam jumlah presentase tarif tertentu atas produk pertaniannya untuk membuka akses pasar impornya atau mengikuti ketentuan Tariff Rate Quotas (TRQs). Dengan demikian, Indonesia misalnya, tetap terkena ketentuan untuk membuka pasar impor atas produk seperti gula dan beras melalui penerapan sistem kuota tarif. Di lain pihak, negara–negara maju juga diberikan fleksibilitas untuk memasukan produk pertanian tertentu ke dalam kategori produk sensitif (sensitive product), sehingga mereka masih memiliki peluang untuk memproteksi komoditi pertaniannya dari ancaman masuknya komoditi pertanian yang sama dari negara berkembang. 41 Menur ut Achterbo sch et.al (2004), perundingan DDA diperkirakan hanya memberikan dampak relatif kecil terhadap GDP Indonesia, karena sektor pertanian di Indo nesia suda h cukup liberal, dimana tarif impor komoditi pertanian telah diturunkan menjadi 0 – 5 persen, kecuali komoditi beras dan gula pasir, dan subsidi input pertanian telah dicabut sejak tahun 1998. Oleh sebab itu, dengan mengacu pada kerangka teori perdagangan internasional, maka kebijakan proteksi terhadap beras dan gula hanya akan berakibat pada penurunan kesejahteraaan terutama bagi konsumen yang notabene sebagian besar adalah petani padi atau tebu itu sendiri. Kebijakan pembatasan impor yang akan menyebabkan kenaikan harga di pasar domestik harus dihindari, karena selain tidak efektif untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani juga akan menambah beban masyarakat miskin (Wibowo, 2009). Oleh sebab itu, pilihan terbaik bagi Indonesia adalah tetap melanjutkan upaya liberalisasi perdagangan, termasuk di sektor pertanian, dan mengikuti perundingan DAA untuk memperjuangkan agar segala bentuk subsidi pertanian di negara maju dapat dihapuskan (Erwidodo dan Ratnawati, 2004). Pada tahun 2006, ketua Committee on Agriculture-Special Session (CoASS) mengeluarkan draft text modalits perundingan Bidang Pertanian yang ditujukan untuk mencapai hasil yang seimbang. Selanjutnya pada bulan Juli 2008, pembahasan draft text ketua Revisi- ke-3 pada Putaran Tingkat menteri (PTM) di Geneva tidak mencapai kesepakatan mengenai full modalities di bidang isu utama mod alitas pe rundingan pe rtanian da n non pertanian. Salah satu isu yang ba nyak diperdebatkan dan ditentang negara maju khususnya Amerika Serikat adalah Special Safeguard Mechanism (SSM) di bidang pertanian. 42 Tabe l 12. P utaran Perundingan General Agreement on Tariff and Trade Tahun 1947 Tempat/ Nama Perunding an Geneva Topik Nasional 1949 Annecy, Perancis Tarif 13 1951 Torquay, Inggris Tarif 38 1956 Geneva Tarif 26 1960-1961 Geneva/Dillon Round Tarif 26 1964-1967 Geneva/Kennedy Tarif Tarif dan anti du mping Juml ah Negara Peserta 23 62 Round 1973-1979 Geneva/Tokyo Round Tarif, non-tarif dan kerangka perjanjian 102 1986-1994 Geneva/Uruguay Round Tarif, non-tarif, jasa, hak cipta intelektual, penyelesaian sengketa, tekstil, pertanian, pembentukan WTO, d ll. 123 1995-2000 Doha-Qatar/Doha Round Menghasilkan Doha Develop ment Agenda (DDAWTO) yang mencakup isu : (Agirulture), non-pertanian (Non Agricuture Market Acces-NAMA), services, TRIPs, Rules, Trade and Environment, dan Trade Facilitation. 123 2001-sekarang DDA-WTO Round Isu yang dibahas mencakup: pertanian (Agirulture), nonpertanian (Non Agricuture Market Acces-NAMA), services, TRIPs, Rules, Trade and Environment, dan Trade Facilitation 153 Sumber: WTO, 2011 Sampai akhir tahun 2009 putaran DDA-WTO tidak mencapai kesepakatan yang disebabka n oleh ada nya pe rtentangan yang cukup be sar diantara negara maju dan negara berkembang terutama di bidang akses pasar bidang pertanian. Setelah mengalami kegagalan, maka negara anggota melakukan berbagai pertemuan dan konsultasi informal yang bertujuan untuk menguatkan kembali komitmen untuk menyelesaikan perundingan. Pada berbagai pertemuan yang dilakuka n diteka nka n pentingnya segera menyelesaikan Putaran Doha sebagai putaran yang dapat 43 menciptakan sistem perdagangan yang adil dan seimbang bagi sektor pertanian dengan meningkatkan peluang akses pasar produk pertanian, pengurangan subsidi domestik serta penghapusan subsidi ekspor (Kementerian Perdagangan, 2010). 2.2. Perubahan Iklim dan Perkiraa n Perubahan Suhu di Indonesia Sejak tahun 2001, berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa suhu global terus menghangat mendekati permukaan bumi (IPCC 2007a). Menurut laporan IPCC (2007) suhu rata-rata global setiap tahunnya sejak 2001 hingga 2005 adalah diantara 10 tahun terhangat sejak dimulainya pencatatan suhu global. Rata-rata suhu global merata terhadap permukaan tanah da n lautan dengan kenaikan sebesar 0.76°C ± 0.19°C antara 50 tahun pengamatan (1850-1899) dan periode lima tahun 2001-2005, dengan trend kenaikan suhu sebesar 0.74°C ± 0.18°C selama lebih dari 100 tahun (1906-2005). Selain itu, rata-rata kenaikan suhu selama lebih dari 50 tahun terakhir juga meningkat dua kali lipat terhadap 100 tahun terakhir yaitu dari rata-rata 0.07°C ± 0.02°C menjadi 0.13°C ± 0.03°C per satu dekade. Suhu rata-rata global sebenarnya tidak meningkat secara perlahan sejak tahun 1990 sebagaimana diharapkan jika hal tersebut hanya dipengaruhi oleh kekuatan dari meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca. Meningkatnya suhu di dekat permukaan juga terjadi dalam beberapa dekade selama pertengahan abad ke-21, yang diikuti oleh suatu periode (lebih dari tiga dekade) ketika suhu global menunjukkan tidak terjadi trend kenaikan yang signifikan. Namun sejak tahun 1970-an permukaan tanah bumi lebih hangat dibandingkan permukaan lautan baik di belahan bumi selatan maupun belahan bumi utara. 44 Sejak tahun 1880 sampai dengan tahun 2007 terjadi peningkatan rata-rata temperatur global (tren meningkat) dan tahun 1998 (Elnino terjadi) merupakan tahun terpanas selama periode pengamatan 1880-2007 (Marpaung Sartono, et al., 2008). Untuk wilayah Indonesia, dari data pengamatan sudah terdeteksi adanya peningkatan temperatur permukaan yang signifikan terutama daerah perkotaan seperti: Jakarta, Cilacap, Medan, dan Surabaya. Suhu Jakarta misalnya tercatat telah mengalami peningkatan sebesar 1.4°C pada bulan Juli (bulan kering) dan 1.04°C pada bulan Januari (bulan basah) selama 100 tahun pengamatan (Marpaung Sartono, et al., 2008). Untuk melihat proyeksi temperatur permukaan pada masa yang akan datang di Indonesia, Marpaung Sartono, et al. (2008) menggunakan data model iklim MICROC3.2 Hires (Model for Interdisciplinary Research on Climate Change High Resolution, Japan) skenario A1B dengan lokasi kajian 28 kota. Model iklim tersebut merupakan model iklim global dengan resolusi 1.1° x 1.1° dan merupakan salah satu mode l iklim dari 23 model iklim global yang digunakan IPCC dalam skenario perubahan iklim. Hasil analisis menunjukkan bahwa proyeksi temperatur permukaan untuk 28 lokasi kajian di indonesia dari tahun 2009 sampai dengan 2050 pada umumnya menunjukkan peningkatan temperatur untuk semua lokasi kajian. Hasil studi Marpaung Sartono, et al. (2008) tersebut lebih lanjut mengemukakan bahwa meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi berdampak pada naiknya permukaan air laut. Permukaan laut naik akibat es di kutub mencair dan mengembangnya volume air laut akibat pemanasan yang terjadi. Dampaknya 45 diperkirakan akan menaikkan muka laut sebe sar 1.1 meter pada tahun 2100 dan akan mengakibatkan tenggelamnya 115 pulau di Indonesia. 2.3 Perubahan Iklim Global dan Produktivitas Pertanian Deressa dan Hassan (2009) melakukan studi menggunakan model Ricardian untuk menangkap adaptasi yang dilakukan petani terhadap keberagaman faktor lingkungan untuk menganalisa dampak perubahan iklim terhadap tanaman pertanian pangan di Ethiopia. Pendekatan Ricardian mengestimasi pentingnya iklim dan variabel lainnya terhadap kapitalisasi nilai lahan pertanian. Penerimaan neto per hektar diregress terhadap variabel iklim dan variabel bebas lainnya. Variabel iklim yang digunakan meliputi temperatur linier dan kuadratik serta curah hujan untuk empat musim: dingin, panas, semi, dan gugur. Selain itu, variabel bebas lainnya yang digunakan meliputi atribut rumah tangga dan tipe tanah. Variabel rumah tangga dalam model yaitu kepemilikan hewan ternak (livestock), tingkat pendidikan kepala rumah tangga, jarak terhadap pasar input, dan ukuran rumah tangga. Tipe tanah yang dimasukkan dalam model adalah nitosols da n lithosols. Hasil regresi mengindikasikan bahwa mayoritas variabel iklim, rumah tangga, dan tanah memiliki dampak signifikan terhadap penerimaan neto per hektar. Koefisien temperatur musim semi dan musim panas menunjukkan tanda negatif, sedangkan temperatur musim dingin dan gugur memiliki koefisien positif. Koefisien curah hujan musim dingin dan musim gugur bertanda negatif sedangkan curah hujan musim semi dan musim panas bertanda pos itif. Analisis juga dilakukan untuk melihat dampak perubahan temperatur dan curah hujan pada pertanian di Ethiopia. Hasil analisis Deressa dan Hassan (2009) menunjukkan bahwa peningkatan temperatur selama musim dingin dan musim 46 panas secara signifikan mengurangi penerimaan neto per hektar, masing- masing sebesar US$ 997.85 dan US$ 1 277.28. Peningkatan temperatur selama musim semi dan musim gugur akan meningkatkan penerimaan neto per hektar sebesar US$ 375.83 dan US$ 1 887.69. Peningkatan temperatur tahunan mengurangi penerimaan neto per hektar sebesar US$ 21.61 meskipun pada tingkat yang tidak signifikan. Peningkatan curah hujan tahunan secara marginal mengurangi penerimaan neto per hektar sebesar US$ 322.75. Prediksi menggunakan model iklim Special Report on Emition Scenario (SRES) juga dilakukan pada studi Deressa dan Hassan (2009) untuk melihat dampak perubahan iklim terhadap penerimaan neto per hektar petani Ethiopia pada tahun 2050 dan 2100. Hasil analisis mengindikasikan bahwa perubahan iklim mengurangi penerimaan neto per hektar pada tahun 2050 dan 2100 dengan pengurangan terbesar terjadi pada tahun 2100 untuk semua skenario. Sementara itu, Surmaini. et al. (2008) yang meneliti mengenai dampak perubahan iklim terhadap produksi padi di tiga daerah dengan ketinggian berbeda yaitu daerah dataran tinggi di Jawa Barat, daerah dataran sedang di Jawa Timur dan dataran rendah di Jawa Tengah menemukan bahwa di dataran rendah kenaikan suhu sampai 20 C dapat menurunkan produktivitas padi hampir 40 persen, sementara di dataran sedang dan tinggi sekitar 20 persen. Hasil penelitian tersebut juga menemukan bahwa penurunan produksi pada tahun 2050 tertinggi terjadi di Kabupa ten Bandung yaitu sekitar 65 000 ton pada musim hujan dan 50 000 ton pada musim kemarau dan terendah di Kabupaten Semarang yaitu sekitar 40 000 ton pada musim hujan dan 30 000 ton pada musim kemarau. 47 Banyak studi memperkirakan bahwa iklim bumi akan meningkat antara 1.5 sampai dengan 5.0°C untuk abad berikutnya (Manabe dan Wetherald, 1987; Wilson dan Mitchell, 1987; Hansen, et a., 1988; dan Schlesinger dan Zhao, 1989 da lam Roy Darwin et al., 1995). Dari hasil studi yang dilakuka n tersebut menyatakan bahwa hal yang terpenting dari pemanasan ini kemungkinan akan terjadi meskipun usaha globa l dilakukan untuk mengurangi emisi karbon yang menimbulkan efek gas rumah kaca. Oleh karena itu, lebih lanjut hasil studi tersebut menyatankan bahwa estimasi dampak ekonomi dan ekologi dari pemanasan global da n peruba han yang terka it de ngan po la-po la curah hujan diperlukan bagi pengambil keputusan untuk menentukan seberapa besar upa ya yang perlu dilakuka n untuk mengendalikan emisi dan bagaimana cara terbaik untuk mengadaptasi peruba han iklim yang tidak mungkin terhindarkan. Menurut Darwin et al. (1995), konsekue nsi pertanian dari peruba han iklim tersebut ada dua hal. Pertama, perubahan iklim kemungkinan akan mempengaruhi produktivitas tanaman pangan dan ternak. Kedua, adanya respon ekonomi kemungkinan aka n meruba h distribusi da n intensitas pertanian. Oleh kerana itu menurut Darwin et.al (1995), hal ini berarti bahwa untuk beberapa wilayah, (1) produktivitas jangka panjang dan daya saing pertanian kemungkinan berada dalam risiko, (2) komunitas pertanian dapat terganggu, dan (3) konflik antara dampak lingkungan pada pertanian terhadap lahan dan sumber daya air dapat terus berlanjut. Sementara itu, untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian, Australian Bureau on Agriculture Resource Economics/ABARE (2008) menyusun suatu model yang menghubungkan antara 48 emisi karbon, perubahan iklim dan dampaknya terhadap produktivitas di sektor prtanian. Secara skematis model tersebut disajikan pada gambar 7. Emissions Carbon cycle ECONOMY Productivity Atmosphere Concentration Clymate System Damage Function Temperature Sumber: ABARE, 2008 Keterangan: = Menunjukkan sub model = Variabel yang berhubungan dengan model Gambar 7. Struktur Dasar da ri Globa l Irrigated Area Map Projects Model yang dibangun oleh ABARE sebagaimana digambarka n diatas mencakup suatu fasilitas yang memproyeksikan po la emisi gas rumah kaca yang bersamaan dengan aktivitas ekonomi. Pola emisi dari skenario ekonomi awal menjadi bahan penyusunan dua sub model iklim yaitu sub model Carbon-cycle yang memproyeksikan akumulasi gas rumah kaca di atmos fer da n sub model Climate-system yang memproyeksikan perkembangan iklim global berdasarkan konsentrasi atmosfer tersebut. Bagian terakhir adalah suatu sistem Damage Function menterjemahkan perubahan iklim yang diproyeksikan ke dalam perubahan variabel yang relevan terhadap pembangunan ekonomi misalnya produktivitas pertanian. Sebagaimana diilustrasikan pada gambar tersebut output dari Damage Function menjadi umpan balik terhadap sub model Economy dan proses tersebut berulang sampai kepuasan secara konvergen tercapai. 49 2.4 Produksi dan Perdaga nga n Komoditi Pertanian di Pasar Global Berdasarkan studi yang dilakukan oleh organisasi PBB untuk Pangan dan Pertanian (FAO), kecenderungan perdagangan pangan internasional tahun 20152030 menunjukkan bhawa negara berkembang akan berubah dari pengekspor komoditi pangan menjadi negara pengimpor komoditi pangan. Akibatnya devisa negara-negara kurang berke mbang dan negara berkembang akan tersedot dalam jumlah besar hanya untuk impor pangan mencapai 4-5 persen dari produk domestik bruto (Gatra, 24- 30 Januari 2008). Masalah pangan global diperkirakan akan semakin rumit akibat adanya dua kepentingan yang saling berebut untuk mendapatkan pasokan pangan yaitu di satu sisi terjadinya penurunan produksi pangan akibat perubahan iklim global, sementara di sisi lainnya adalah adanya konversi bahan pangan ke energi karena dipicu oleh semakin tingginya harga bahan bakar fosil atau minya bumi. Kelangkaan pangan juga dipicu oleh meningkatnya permintaan akibat adanya kepanikan negara berpenduduk besar untuk membeli stok pangan dunia karena kekhawatiran stok pangan domestik tidak mencukupi permintaan dalam negeri (Sawit, 2008). Berdasarkan data FAO (2010), produksi gandum Amerika Serikat (AS), Australia, Kanada dan Rusia menurun dari 622 juta ton tahun 2005 menjadi 593 juta ton pada tahun 2007 yang me micu ke naikan harga dari US$ 4.52 per bushel pada 2006 menjadi US$ 9.93 per bushel tahun 2007. Fenomena persaingan kebutuhan pangan antara manusia, ternak dan energi akan terus berlanjut di masa yang akan datang (Kompas, 2008). 50 Sementara itu, Sawit (2008) mengemukakan bahwa kelangkaan pangan di Indonesia juga di perparah oleh faktor internal antara lain adanya konversi lahan pertanian yang terus meningkat dari 110 ribu ha tahun 2002 menjadi 145 ribu ha pada tahun 2006. Hal ini dipicu oleh menurunnya produktivitas sektor pertanian yang pada tahun 1997 sebesar Rp 1.7 juta sedangkan sektor industri mencapai Rp 9.5 juta (1 : 5,58) sedangkan kondisi pada tahun 2005 adalah sebesar Rp 6,1 juta untuk sektor pertanian dan Rp 41.1 juta untuk sektor industri (1:6.73). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian menjadi semakin tidak menarik. Pada awal Juni 2008, di markas besar WTO ada sekitar 237 orang yang berasal dari 55 negara mewakili NGO terkemuka, seperti Action Aid, Oxfam; Sarikat Perdagangan (Trade Union); Organisasi Petani dan Organisasi Kemasyarakatan menyampaikan berbagai pernyataan dan keprihatinan (Sawit, 2008). Mereka menyuarakan kekhawatiranya karena perang dagang ini ternyata belum mengarah ke penyelesaian masalah krisis pangan global, tetapi masih saja terperangkap untuk terus memperdalam liberalisasi perdagangan (Sawit, 2008). Mereka juga prihatin atas harga pangan yang terus bergejolak, meningkatnya ketergantungan impor pangan negara berkembang, dan semakin menguatkan peran Multinational Corporations (MNCs) da lam pasar agribisnis pangan dan pertanian (TWN, 2008b). Berdasarkan data WTO (2005) di tingkat global, peran produk pertanian dibandingkan dengan total barang (merchandise) yang diperdagangkan adalah relatif kecil. Barang yang dominan adalah produk manufaktur dan bahan bakar minyak/hasil tambang. Pada 2004 misalnya, produk pertanian mengambil peran hampir 9 persen. Namun apabila dilihat dalam produk pertanian global itu sendiri, 51 pangan mengambil peran yang dominan yaitu sekitar 80 persen belum termasuk produk perikanan (WTO, 2005). Walaupun peran pangan atau produk pertanian adalah kecil, namun perannya besar buat negara berkembang. Itu tidak hanya menyangkut ekspor untuk memperoleh devisa yang sangat diperlukan untuk pembangunan, tetapi juga keterlibatan banyak petani peternak kecil serta miskin dan menggantungkan hidup dari sektor itu (Sawit, 2008). Sawit (2008), lebih lanjut mengemukakan bahwa sebagian besar penduduk di negara berkembang mengantungkan harapan pada subsektor itu agar dapat mendorong pembangunan desa, mengatasi kemiskinan dan kelaparan, serta sebagai filter terhadap urbanisasi. Penelitian di tingkat globa l dan dalam negeri menyimpulkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian dan pangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengurangan penduduk miskin dan untuk mengatasi kerawanan pangan (food insecurity) (Sawit, 2008). Data FAO (2010) juga menunjukkan bahwa konsentrasi produksi pangan dan perdagangan pangan berada di negara maju, buka n di negara berkembang. Hasil penelitian Sawit (2007a) memperlihatkan bahwa dalam dua dasa warsa terakhir, terungkap bahwa trend produksi pangan semakin mengerucut ke sejumlah kecil negara maju yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Selandia Baru dan Kanada. Hasil studi tersebut lebih lanjut menunjukka n bahwa Amerika Serikat menghasilkan pangan terutama jagung, minyak kedelai, gandum, daging unggas, beras, kedelai, buah dan sayur, daging sapi, susu bubuk skim, dan keju. Uni Eropa memproduksi buah dan sayur, jagung, gula, gandum, daging sapi, daging unggas, susu bubuk skim, mentega, dan keju. Selandia Baru menghasilkan daging sapi, susu bubuk skim, mentega dan keju. Australia manghasilkan jagung, 52 gula, gandum, daging sapi, susu bubuk skim, mentega dan keju. Kanada memproduksi mentega, daging sapi, buah dan sayur, minyak kedelai, gandum dan jagung. Sawit (2008) menemukan bahwa AS mensubsidi paling tinggi terhadap 4 dari 20 komoditi pangan/nonpangan penting yaitu: beras, jagung, kedelai, dan gandum. Subsidi itu cenderung meningkat dari periode sebelum ke periode setelah Perjanjian Pertanian disepakati akhir 2004, itu sesuai dengan UU Usahatani (Farm Bill) (Sawit, 2008). IATP (Institute for Agruculture ond Trade Policy) (2007) menyebutkan bahwa hal tersebut telah menyebabkan tingkat dumping kedelai meningkat dari rata-rata 2 persen/tahun pre-1996 Farm Bill menjadi 11.8 persen post-1996 Farm Bill. Hal yang sama untuk beras, dari 13.5 persen menjadi 19.2 persen; jagung dari 6.8 persen menjadi 19.2 persen. Hal ini berarti bahwa semakin rendah harga pangan tersebut di pasar dunia, berarti semakin tinggi tingkat subsidi yang diberikan ke petani mereka, atau sebaliknya kalau harga pangan tinggi. Sawit (2008) mengemukakan bahwa implikasi dari kebijakan negara produsen pangan di atas, atau perubahan kebijakan pangan negara maju, akan besar pengaruhnya terhadap negara berkembang, termasuk Indo nesia. Setidaktidaknya melalui 3 cara, yaitu: (1) pada saat subsidi besar- besaran itu dilakukan, harga pangan di pasar dunia menjadi rendah. Harga pangan rendah itu bukanlah gambaran efisiensi. Persaingan menjadi tidak fair. Itu telah berpengaruh negatif buat petani di negara berkembang, baik petani di negara impor netto, maupun petani di negara ekspor netto, sehingga sama-sama sulit bersaing secara fair; (2) pada saat kebijakan pangan mereka berubah, misalnya pengalihan ke subsidi biofuel seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir, maka itu akan berdampak negatif 53 buat ko nsumen di negara berkembang impor netto pangan, seperti Indonesia. Harga pangan menjadi mahal dan inflasi akan meningkat; dan (3) bila terjadi serangan hama dan penyakit, serta bencana alam, maka dampaknya adalah meluas, ke seluruh dunia dan global. Negara impor netto tentu akan kesulitan dalam akses pangan dan keterbatasan devisa. Sawit (2008) lebih lanjut mengemukakan bahwa konsentrasi perdagangan juga terlihat dari peran Multinational Corporations (MNCs), yang menguasai industri hulu (seperti industri benih/pupuk/pestisida) dan hilir (seperti pengolahan/pengepakan/standarisasi). Oleh karena itu, mereka semakin perkasa dan bertambah kuat, sehingga dapat mengatur suplai dan harga produk pangan, sesuai dengan kepentingannya. Braun (2008a) dari hasil penelitian International Food Policy Research Institute (IFPRI) memperkiraka n 6.5 milyar konsumen global dilayani oleh berbagai pemasok (suplier), tersebar ke Afrika, Asia, Amerika, dan benua lainnya. Pasar swalayan telah dilayani oleh para pedagang dan industri pengolahan. Industri ini juga disuplai oleh sektor usahatani. Sedangkan sektor usahatani juga menerima input dari industri pupuk, industri kimia, industri benih, dan industri input lainnya (Braun, 2008a ). Dalam sistem itu, mereka telah menjadi konglomerat baru sebagian kongklomerat lama, yang kekuatan (power) dan pengaruh (leverage)-nya secara global, termasuk ke Indonesia semakin meningkat. Berdasarkan hasil studi tersebut, diketahui bahwa antara tahun 2004 dan 2006 dilaporkan bahwa: (1) 10 penjual pangan retail menguasai lebih dari 40 persen, (2) tingkat penjualan dari 10 pengolah pangan dan industri input tumbuh masing-masing sebesar 13 persen dan 10 persen. 54 Sawit (2008) mengemukakan bahwa di Indonesia konsumen akan berhadapan dengan pengecer pangan global yang telah merambah ke berbagai kota lain di Jawa dan Luar Jawa seperti Carrefour. Namun demikian, belum ada hasil penelitian secra menyeluruh mengenai dampak berkembangnya pengecer global tersebut terhadap keberadaan pasar traditional di Indonesia. Di Bangkok dalam sebuah koran disebutkan bahwa sepertiga jumlah retail lokal telah menutup usahanya dalam beberapa tahun terakhir, karena tidak mampu bersaing dengan retail raksasa seperti Wal- Mart (Sawit, 2008). Reardon dan Gulati (2008) dari IFPRI melaporkan ba hwa revolusi supermarket bermata dua. Satu sisi dapat mempermurah harga pangan buat konsumen dan menciptakan peluang buat petani dan pengolah pangan. Namun disisi lain, dapat pula mengancam pengecer kecil, petani, dan pengolah pangan yang tidak mampu menghadapi pesaing baru, sebagian diantaranya raksasa, mereka akan sulit memenuhi sejumlah persyaratan pasar swalayan. Berdasarkan Reardon dan Gulati (2008) dikemukakan bahwa supermarket di negara berkembang Afrika, Asia dan Amerika Latin berkembang dalam 4 gelombang, yang pertumbuhannya lebih pesat daripada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) di negara berkembang itu sendiri. 2.5 Peranan Sektor Pertanian Terhadap Produk Domestik Bruto Nasional Indonesia Sektor pertanian memegang peran strategis dalam perekonomian nasional dan daerah, bahkan dalam era reformasi dan otonomi daerah ini diharapkan untuk berperan di garis depan dalam mengatasi krisis ekonomi (Siregar, 2008). Sektor pertanian mempunyai peran strategis sehingga sektor ini patut menjadi sektor 55 andalan dan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi, yang dapat digambarkan; (1) penyedia bahan pangan, (2) penyedia lapangan kerja, (3) penyedia bahan baku bagi industri, (4) sumber devisa, dan (4) penjaga kelestarian lingkungan (konservasi lahan, mencegah banjir, dll) (Siregar, 2008). Terkait dengan kontribusi pertanian pada ekonomi nasional, meskipun kontribusinya terhadap PDB cenderung menurun, tetapi pertanian tetap memberikan peran yang signifikan. Pada tahun 1961 pertanian di Indonesia masih menyumbang 51.8 persen PDB, namun berdasarkan atas dasar harga berlaku pada triwulan II-2008 sektor pertanian memberi kontribusi 14.7 persen, dan menempati peringkat kedua setelah sektor industri pengolahan (27.3 persen). Ditinjau dari jumlah tenaga kerja yang diserap, pada tahun 1995 sektor pertanian menyerap 44 persen dari seluruh angkatan kerja di Indonesia. Pada tahun 2006 yang bekerja di sektor pertanian meningkat menjadi 44.3 persen (BPS, 2008), namun pada tahun 2009 turun menjadi 41.2 persen (BPS, 2009). Pentingnya peran sektor pertanian menjadika n perhatian utama pe merintah ke depan pada revitalisasi pertanian dalam arti luas atau dikenal sebagai Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanaan (RPPK) (Siregar, 2008). Dalam perspektif pergerakan pertanian, revitalisasi tersebut dimaksudka n untuk membangkitkan kesadaran memposisikan kembali peranan penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual melalui penggalian kembali vitalitas; pemberdayaan kemampuan; dan peningkatan kinerja pertanian dengan tidak mengabaikan sinerginya dengan sektor lain (Siregar, 2008). Siregar (2008) lebih lanjut mengemukakan bahwa revitalisasi pertanian belum banyak mengubah orientasi kebijakan pertanian di daerah. Misalnya di 56 Jawa Timur, seperti yang dilaporkan Mazhida (2006), total anggaran untuk sektor pertanian secara umum masih relatif kecil, yaitu sekitar 0.54 persen dari total APBD. Secara nominal, rata-rata alokasi anggaran untuk Dinas Pertanian hanya Rp 2,05 miliar. Pemerintah daerah seharusnya sadar bahwa sebagian besar penduduknya berada di sektor pertanian dan di perdesaan dengan tingkat kesejahteraan rendah, sehingga menurut Siregar (2008) sangat ironis kalau proses pengembangan otonomi daerah tidak meningkatkan kemampuan sektor pertanian dengan dukungan alokasi anggaran yang memadai. Pada dasarnya sektor pertanian dapat dijadikan sebagai basis pembangunan perekonomian di daerah karena memiliki keterkaitan dengan sektor lain, baik yang berbentuk kaitan “ke depan” (forward linkages) maupun kaitan “ke belakang” (backward linkages) (Siregar 2008). Keterkaitan langsung ke depan dapat ditunjukkan dengan banyaknya output sektor pertanian yang dipakai oleh sektorsektor lain sebagai input, sementara keterkaitan langsung ke belakang ditunjukkan dengan banyaknya input yang berasal dari produksi berbagai sektor, yang dipakai oleh sektor pertanian dalam suatu proses produksi (Siregar 2008). Besarnya keterkaitan sektor pertanian dengan sektor lain di daerah sangat tergantung pada komponen-komponen faktor kunci, seperti sumberdaya manusia, penelitian dan pengembangan, pasar, akses kepada modal, infrastruktur dan bahan baku/sarana prasarana produksi, serta iklim usaha (Siregar, 2008). Dengan semakin kuatnya keterkaitan sektor pertanian dengan sektor lain, maka posisi sektor pertanian menjadi sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah (Siregar, 2008). 57 Menurut Siregar (2008), umumnya pengembangan sektor pertanian di daerah ditujuka n antara lain: untuk peningkatan kemampuan daerah dalam penyediaan pasokan atau cadangan pangan dan hasil- hasil pertanian lainnya; peningkatan daya beli dan akses masyarakat terhadap pangan serta peningkatan pendapatan terutama dari kelompok rumah tangga tani. Keberhasilan pembangunan tersebut diharapka n akan mempengaruhi jumlah permintaan akhir, yang kemudian akan membawa pada perubahan terhadap keseluruhan perekonomin daerah (Siregar, 2008). 2.6 Tinjauan Studi Te rdahulu Zhai et al. (2009) menganalisis mengenai dampak potensial perubahan iklim global jangka panjang terhadap produksi sektor pertanian dan perdagangan RRC menggunakan model Computable General Equillibrium (CGE). Hasil penelitian dengan menggunakan sekenario baseline menunjukkan bahwa perubahan iklim akan mengakibatkan penurunan PDB sebesar 1.3 persen dan mengakibatkan welfare loss equivalent sebesar 1.1 persen pada tahun 2080 untuk RRC. Pada tataran global, dampak perubahan iklim diproyeksikan menurunka n PDB riil dunia sebesar 1.4 persen dan mengakibatkan penurunan welfare sebesar 1.3 persen. Pada tahun 2080, Zhai et al. (2009) memprediksikan bahwa produksi tanaman pangan global turun sebesar 7.4 persen dika renaka n negara- negara berkembang mengalami dampak perubahan iklim yang lebih parah dibandingkan dengan negara-negara maju. Seba gai ko nsekuensi dari meningka tnya biaya input, sektor hilir tanaman pangan seperti livestock dan makanan olahan juga mengalami penurunan produksi global, masing- masing sebesar 5.9 persen dan 4.6 p ersen. 58 Meskipun kerugian produktivitas tanaman pangan RRC akibat perubahan iklim cukup besar yaitu 7.2 persen, namun penurunan produksi tanaman pangan relatif kecil. Output tanaman pangan RRC kecuali gandum, mengalami penurunan antara 0.2 hingga 0.5 persen pada tahun 2080. Sementara itu, output gandum mengalami peningkatan sebesar 4.2 persen relatif terhadap baseline. Dikarenakan penuruna n produktivitas RRC akibat perubahan iklim masa datang yang lebih rendah daripada rata-rata dunia, maka harga tanaman pangan di tingkat produsen akan turun dibandingkan harga tanaman pangan dunia, sehingga menyebabkan peningkatan ekspor dan penurunan impor di sektor tanaman pangan RRC. Dalam hal ini, ekpor beras RRC diproyeksikan meningkat 46.8 persen, gandum meningkat 126.7 persen, biji-bijian lainnya meningkat 63.7 persen, dan tanaman pangan lainnya meningkat 110.4 persen. Sementara itu, impor beras RRC diproyeksikan mengalami penurunan 43.1 persen, gandum menurun 17.6 persen, biji-bijian lainnya menurun 14.9 persen, dan tanaman pangan lainnya menurun 30.1 persen. Secara umum disimpulkan bahwa, sektor makanan olahan RRC diprediksikan mengalami kerugian yang paling besar dari perubahan produktivitas sektor pertanian akibat perubahan iklim global, sedangkan beberapa sektor tanaman pangan (seperti gandum) di RRC mengalami perkembangan positif karena peningkatan permintaan dari wilayah lain di dunia. Darwin et al. (1995) melakukan evaluasi dampak perubahan iklim global terhadap pertanian dunia dengan suatu model yang menghubungkan antara kondisi iklim terhadap kondisi tanah, sumber daya air, produksi, perdagangan, dan konsumsi 13 komoditi di seluruh dunia. Skenario perubahan iklim yang digunakan didasarkan pada model meteorologi pada Goddard Institute for Space 59 Studies, Geophisical Fuid Dynamic Laboratory, United Kingdom Meteorological Office da n Oregon State University dengan rentang peruba han temperatur global rata-rata 2.8-5.2°C dan perubahan curah hujan sebesar 7.8-15.0 persen. Hasil penelitannya menyimpulkan beberapa temuan sebagai berikut: Pertama, perubahan temperatur dan pola curah hujan untuk 100 tahun ke depan tidak mengancam produksi makanan di dunia secara keseluruhan. Meskipun produksi dunia untuk tanaman bukan biji-bijian cenderung menurun (0.2-1.3 persen), namun produksi gandum cenderung meningkat (0.5-3.3 persen) demikian juga produksi livestock (0.7-0.9 persen). Produksi dunia untuk kelompok makanan olahan juga mengalami peningkatan sebesar 0.2-0.4 persen. Kedua, adaptasi petani merupakan mekanisme utama untuk menjaga agar produksi makanan dunia tetap meningkat di tengah prediksi perubahan iklim global. Dengan pemilihan kombinasi input dan output yang paling menguntungkan atas lahan pertanian yang tersedia, petani dapat memperoleh keuntungan sebesar 79 hingga 88 persen atas 19-30 persen pengurangan suplai sereal dunia secara langsung akibat perubahan iklim. Dengan menyesuaikan terhadap pasar domestik dan perdagangan internasional (lahan pertanian diasumsikan tetap) akan mengurangi 97 persen dampak negatif perubahan iklim. Petani juga dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim dengan meningka tka n luas lahan pertanian (7.1-14.8 persen) yang akan meningkatkan produksi sereal dunia sebesar 0.2-1.2 persen. Ketiga, biaya dan manfaat atas perubahan iklim global tidak berdampak secara merata di seluruh dunia. Semakin hangatnya temperatur di daerah kutub dan pegunungan akan meningkatkan kualitas tanah yang sesuai untuk pertanian 60 dan kehutannan, sebaliknya semakin tinggi temperatur di daerah tropis akan mengurangi kelembaban tanah sehingga menurunkan produktivitas pertanian dan kehutanan. Selain itu, PDB di wilayah dengan garis lintang yang tinggi (misalkan Kanada) cenderung akan meningkat akibat perubahan iklim, sedangkan PDB di daerah tropis cenderung menurun. Keempat, perubahan iklim cenderung mempengaruhi seluruh struktur pertanian dan makanan olahan di Amerika Serikat. Tanah yang cocok digunakan untuk pertanian dan kehutanan cenderung meningkat, namun kelembaban tanah berkurang yang berpotensi mengurangi produksi pertanian di Corn Belt dan Southeast. Petani akan beradaptasi dengan meningkatkan produksi gandum dan mengurangi produksi biji-bijian lainnya, terutama jagung. Sebagai hasil dari berkurangnya bahan makanan, produksi livestock juga mengalami pe nurunan. Produksi komoditi makanan olahan secara umum mengalami penurunan. Kelima, PDB dunia dimungkinkan mengalami penurunan jika perubahan iklim cukup signifikan atau perluasan lahan pertanian tidak bisa dilakukan. Berdasarkan skenario perubahan iklim, dampak tahunan neto terhadap PDB dunia berkisar antara -0.1 hingga 0.1 persen. Output dunia untuk makanan olahan juga mengalami penurunan 0.002 hingga 0.58 persen. Hasil ini mengindikasikan bahwa temperatur dan pola hujan yang baru akibat perubahan iklim cenderung mengurangi rata-rata produktivitas pertanian dengan asumsi lahan pertanian dunia tidak berubah. Keenam, perubahan penggunaan tanah akibat perubahan iklim menyebabkan pergeseran lahan pertanian dan padang rumput permanen, sehingga akan meningkatkan isu sosial dan lingkungan. Walaupun terdapat peningkatan 61 neto pada lahan pertanian di dunia secara keseluruhan, namun sebesar 4.2-10.5 persen lahan pertanian yang ada diuba h unt uk keperlua n lain di bawah skenario perubahan iklim. Selain itu, lahan hutan cenderung menur un di bawah perubahan iklim globa l (3.6-9.1 persen, neto). Hal ini dapat menyebabkan konflik konsekuensi lingkungan atas lahan pertanian di beberapa wilayah. Di wilayah tropis, kompetisi dari produksi tanaman pangan dapat memperburuk dampak langsung perubahan iklim terhadap hutan hujan tropis. Ketujuh, walaupun suplai air cenderung meningkat di dunia secara keseluruhan seiring dengan perubahan iklim, kekurangan dapat terjadi di beberapa wilayah. Berdasarkan simulasi, supplai air dunia meningkat 6.4-12.4 persen. Di Jepang, perubahan supplai air berkisar antara -9,4 hingga 10,2 persen, namun harga air di Jepang meningkat lebih dari 75 persen. Deressa dan Hassan (2009) melakukan studi menggunakan model Ricardian untuk menangkap adaptasi yang dilakukan petani terhadap keberagaman faktor lingkungan untuk menganalisa dampak perubahan iklim terhadap tanaman pertanian pangan di Ethiopia. Pendekatan Ricardian mengestimasi pentingnya iklim dan variabel lainnya terhadap kapitalisasi nilai lahan pertanian. Penerimaan neto per hektar diregress terhadap variabel iklim dan variabel bebas lainnya. Variabel iklim yang digunakan meliputi temperatur linier dan kuadratik serta curah hujan untuk empat musim: dingin, panas, semi, dan gugur. Selain itu, variabel bebas lainnya yang digunakan meliputi atribut rumah tangga dan tipe tanah. Variabel rumah tangga dalam model yaitu kepemilikan hewan ternak (livestock), tingkat pendidikan kepala rumah tangga, jarak terhadap pasar input, dan ukuran rumah tangga. Tipe tanah yang dimasukkan dalam model adalah 62 nitosols da n lithosols. Hasil regresi mengindikasikan bahwa mayoritas variabel iklim, rumah tangga, dan tanah memiliki dampak signifikan terhadap penerimaan neto per hektar. Koefisien temperatur musim semi dan musim panas menunjukkan tanda negatif, sedangkan temperatur musim dingin dan gugur memiliki koefisien positif. Koefisien curah hujan musim dingin dan musim gugur bertanda negatif sedangkan curah hujan musim semi dan musim panas bertanda pos itif. Seperti yang diharapkan pula, tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan kepemilikan hewan ternak berpengaruh positif terhadap penerimaan neto per hektar. Jarak terhadap lokasi pasar input berdampak negatif dikarenakan petani mengeluarkan banyak biaya, dari segi uang maupun waktu. Ukuran rumah tangga juga berpengaruh negatif terhadap penerimaan neto per hektar dikarenakan banyaknya orang yang menjadi tanggungan dan tidak produktif di wilayah pedasaan di Ethiopia. Analisis juga dilakukan untuk melihat dampak perubahan temperatur dan curah hujan pada pertanian di Ethiopia. Hasil analisis Deressa dan Hassan (2009) menunjukkan bahwa peningkatan temperatur selama musim dingin dan musim panas secara signifikan mengurangi penerimaan neto per hektar, masing- masing sebesar US$ 997.85 dan US$ 1 277.28. Peningkatan temperatur selama musim semi dan musim gugur akan meningkatkan penerimaan neto per hektar sebesar US$ 375.83 dan US$ 1 887.69. Peningkatan temperatur tahunan mengurangi penerimaan neto per hektar sebesar US$ 21.61 meskipun pada tingkat yang tidak signifikan. Peningkatan curah hujan tahunan secara marginal mengurangi penerimaan neto per hektar sebesar US$ 322.75. 63 Prediksi menggunakan mode l iklim SRES juga dilakuka n pada studi Deressa dan Hassan (2009) untuk melihat dampak perubahan iklim terhadap penerimaan neto per hektar petani Ethiopia pada tahun 2050 dan 2100. Hasil analisis mengindikasikan bahwa perubahan iklim mengurangi penerimaan neto per hektar pada tahun 2050 dan 2100 dengan pengurangan terbesar terjadi pada tahun 2100 untuk semua skenario. Surmaini. et al. (2008) yang meneliti mengenai dampak perubahan iklim terhadap produksi padi di tiga daerah dengan ketinggian berbeda yaitu daerah dataran tinggi di Jawa Barat, daerah dataran sedang di Jawa Timur dan dataran rendah di Jawa Tengah menemukan bahwa di dataran rendah kenaikan suhu sampa i 20 C dapat menurunkan produktivitas padi hampir 40 persen, sementara di dataran sedang dan tinggi sekitar 20 persen. Hasil penelitian tersebut juga menemukan bahwa penurunan produksi pada tahun 2050 tertinggi terjadi di Kabupaten Bandung yaitu sekitar 65 000 ton pada musim hujan dan 50 000 ton pada musim kemarau dan terendah di Kabupaten Semarang yaitu sekitar 40 000 ton pada musim hujan dan 30 000 ton pada musim kemarau. 2.7. Kebaruan (Novelty) Penelitian ini didasari oleh adanya 2 isu yang sampai saat ini menjadi pembahasan skala global yaitu “Isu Perubahan Iklim” da n “Isu Liberalisasi Perdagangan”. Berdasarka n be rba gai studi yang telah dilakuka n (Zhai et.al, 2009; Darwin, et.al , 1995; Deressa dan Hasan, 2009; Surmaini et.al, 2008 ), perubahan iklim berdampak terhadap penurunan produktivitas pertanian. Sementara itu, terkait liberalisasi perda gangan terdapa t dua kubu yang berbeda yaitu pro da n ko ntra. Kubu yang pro ((Bergsten,1997; Baldwin,1997; 64 Ethier,1998; dan Lawrence,1999) berpendapat bahwa RTAs merupakan langkah maju menuju perdagangan bebas multilateral dan akan memperkuat eksistensi WTO serta sistem perdagangan internasional. Seda ngka n kubu yang ko ntra (Bhagwati,1995; Krueger,1995; dan Panagariya,1999) berpendapat sebaliknya. Secara khusus, dari berbagai studi yang dilakukan (Sawit, 2003; Khor, 2000; dan Elwood, 2002) menunjukkan bahwa liberalisasi sektor pertanian lebih banyak dinikmati oleh negara maju dibandingkan Negara berkembang. Kebaruan pe nelitian ini adalah: (1) pe ruba han iklim berdampak negatif dan lebih dominan mempengaruhi pereko nomian (PDB) semua negara yang diteliti dibandingkan dampak liberalisasi perdagangan; (2) Negara maju relatif memiliki ketahanan eko nomi terhadap pe rubahan iklim dan liberalisasi perda ga ngan.