BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan Perdaga nga n Bebas
Perdagangan bebas atau liberalisasi perdagangan merupaka n konsep
ekonomi yang merujuk kepada sistem perdagangan barang dan jasa antar negara
tanpa adanya intervensi pemerintah dalam bentuk tariff dan hambatan
perdagangan lainya, seperti kuota, subs udi, dan pajak (Krugman dan Obstfeld,
2000; Husted dan Melvin, 2004). Menurut pendapat sebagian pakar ekonomi,
kebijakan perdagagan bebas dengan menghapuskan berbagai intervensi dan
hambatan perdagangan diyakini dapat memperluas akses pasar yang diperlukan
untuk mengembangkan ekspor (Wibowo, 2009). Perdagangan bebas, disamping
akan meningkatkan impor negara yang membuka pasarnya melalui penghapusan
tarif, juga akan meningkatan ekspor, sehingga akan mendorong pertumbuhan
ekonomi dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selama periode
1999-2009 perdagangan telah menjadi mesin penggerak utama pertumbuhan
ekonomi dunia sebagaimana dapat dilihat pada gambar 5 da n 6. Selama periode
tersebut total perdagangan dunia meningkat hampir tiga kali lipat dari US$ 12
trilyun pada tahun 1999 menjadi sekitar US$ 33 trilyun pada tahun 2009. Selama
periode yang sama PDB dunia meningkat dari US$ 31 trilyun pada tahun 1999
menjadi US$ 58 trilyun pada tahun 2009.
Hardo no et al (2004) mengemukakan bahwa perdagangan bebas, minimum
akan memberikan lima keuntungan yaitu: (1) akases pasar akan lebih luas karena
liberalisasi perdagangan cende rung menciptaka n pusat-pusat produksi baru yang
menjadi lokasi berbagai kegiatan industri yang saling terkait dan saling
31
menunjang, sehingga dapat diperoleh efisiensi; (2) iklim usaha lebih kompetitif,
sehingga mendorong pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi
dalam penggunaan sumberdaya; (3) mendorong terjadinya alih teknologi untuk
meningkatkan produktivitas dan efisiensi sebagaa akibat dari adanya arus
perdangangan dan investasi yang lebih bebas; (4) signal harga yang dihasilkan
lebih “benar”, sehingga dapat meningkatkan efisiensi investasi; dan (5)
kesejahteraan kosumen baik ditingkat individu maupun perusahaan akan
meningkat. Kesejahteraan individu meningkat karena tersedia beragam jenis
barang dengan harga relaif lebih murah sehingga daya beli (purchasing power)
bertambah, sementara dipihak lain perusahaan memperoleh keuntungan dari
ke muda han akses untuk mendapat sumber bahan baku, ko mpo nen, dan jasa yang
lebih kompetitif (Wibowo, 2009).
USD Triliun
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
1999
2000
2001
2002
Negara maju
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Negara Emerging dan Berkembang
Sumber: IMF, 2010
Gambar 5. Perkembangan Produk Domestik Bruto Dunia Tahun 1999-2009
32
35
30
Total Perdagangan
Triliun US$
25
20
15
Ekspor
10
5
0
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: WTO, 2010.
Gambar 6. Perkembangan Ekspor dan Total Perdagangan Dunia Tahun 19992009
Kebijakan perdagangan bebas pertama kali diprakarsai oleh negara-negara
Eropa dan Amerika setelah berakhirnya Perang Dunia II. Sistem perdagangan
bebas multilateral pada awal pembentukannya disebut dengan GATT (General
Agreement on Tariffs and Trade) yaitu suatu perjanjian internasional mengenai
tarif dan perdagangan. Selama tiga dekade sejak kesepakatan GATT (1950-1980)
sistem multilateral telah mendominasi kebijakan perdagangan internasional
(Krueger,1999; Krugman dan Obstfeld, 2000). Namun sejak akhir 1980-an,
kebijakan perdagangan bebas mulai bergeser dari sistem multiteral ke sistem
regional melalui pembentukan Regional Trade Agreements (RTAs), baik dalam
bentuk kesepakatan pemberian konsesi tarif (Prefential Tariff Arranggements),
perdagangan bebas regional (Regional Free Trade ) maupun pe nyatuan sistem
pabean (Costums Union) (Wibowo, 2009).
Berkembang dan meluasnya berbagai kesepakatan RTAs yang dimulai sejak
awal tahun 1990-an dipicu oleh lamba nnya penyelesaian sistem perdagangan
multilateral dalam kerangka WTO, sehingga fenomena munculnya berbagai
33
bentuk RTAs menimbulkan banyak perdebatan diantara ahli ekonomi mengenai
relevansi RTAs dan masa depan sistem multilateral di bawah kerangka
GATT/WTO. Terkait de ngan isu tersebut, terdapat dua kubu yang pro da n ko ntra
atas meluasnya fenomena RTAs tersebut. Kubu yang pro terhadap kebijakan
perdagangan bebas regional (Bergsten, 1997; Baldwin,1997; Ethier,1998; dan
Lawrence,1999) mengemukakan bahwa RTAs adalah langka h maju menuju
perdagangan bebas multilateral dan akan memperkuat eksistensi WTO serta
sistem perda gangan internasional. Sementara itu, Michalak dan Gibb (1997), juga
mengemukakan pendapat yang hampir sama bahwa regionalisasi perdagangan
merupaka n salah satu strategi awal bagi sebuah negara sebelum melibatkan diri
dalam proses perdagangan multiteral. Disamping itu, secara politis RTAs akan
lebih mudah dikelola oleh sebuah pe merintah diba ndingka n de ngan sistem
multilateral yang komplek dan berlarut larut (Desker, 2004). Dengan RTAs
diharapkan negara-negara di suatu kawasan dapat mengintegrasikan ekonomi
mereka kedalam sebuah sistem eko nomi yang lebih terbuka de ngan melakukan
perdagangan intra-kawasan (Wibowo, 2009).
Sementara itu kelompok yang kontra terhadap kebijakan perdagangan bebas
regional (Bhagwati,1995; Krueger,1995; da n Panagariya,1999) berpendapat
bahwa RTAs justru akan menghambat proses liberalisasi perdagangan multilateral
karena akan memberikan keleluasaan akses pasar bagi negara anggota RTAs,
tetapi di sisi lainnya memproteksi pasar bagi negara-ne gara di luar angota RTAs.
Bhagwati (1995) mengeluarkan istilah yang sampai sekarang seringkali diingat
oleh berbagai pihak yang memahami kebijakan perdagangan sebagai efek
“spaghetti bowl”, yaitu keracunan atau kesulitan dalam menentukan asal usul
34
barang (rules of origin) yang berhak memperoleh konsesi tarif sesuai kesepakatan
Preferential Trade Area (PTA).
Pembentuka n Preferential Trade Area antara sebuah eko nomi besar de ngan
ekonomi negara-negara berkembang seperti NAFTA, bertentangan de ngan sistem
perdagangan bebas multilateral, sebab perbedaan tingkat ekonomi dan standar
tenaga kerja diantara mereka akan menciptakan perdagangan yang tidak seimbang
(Bhagwati da n Panagariya, 1996). Oleh karena itu, PTA akan lebih sesuai dengan
sistem perdagangan global apabila dibentuk diantara sesama negara berkembang
yang memiliki tingkat pembangunan ekonomi relatif sama dan telah memiliki
hubungan pe rda gangan secara tradisional, seperti MERCOSUR, COMESA,
AFTA, yaitu sebuah blok perdagangan regional yang dibentuk diantara negaranegara Amerika Selatan, negara-negara Afrika bagian Selatan dan negara- negara
anggota ASEAN. Jika PTA dilakuka n antara ne gara maju de ngan negra
berkembang, maka cakupan produk maupun subtansi kerjasama diantara
keduanya harus memasuka n aspek ke rjasama eko nomi yang lebih luas di luar
perdagangan termasuk kerjasama dalam bentuk Capacity Bulding dan Technical
Assistance dari negara maju ke negara berke mbang yang sepka t membe ntuk PTA
tersebut.
Sementara itu, sistem perdagangan bebas multilateral dimulai sejak adanya
kesepakatan GATT yang dibentuk pada tahun 1948. Selanjutnya, setelah
berakhirnya Putaran Uruguay tahun 1994, GATT diagantika n dengan WTO
(World Trade Organization), yang dibentuk pada tahun 1995. Indonesia sebagai
anggota GATT, selanjutnya meratifikasi pembentukan WTO melalui UndangUndang Nomor 7 Tahun 1994, sehingga Indo nesia sebagai negara anggota dan
35
sekaligus bagian dari pendiri WTO memiliki kewajiban untuk memenuhi semua
perjanjian yang disepakati dalam WTO.
Prinsip prinsip perdagangan multilateral yang dianut dalam GATT/WTO
(WTO, 2010) adalah:
1. Trade without discrimination, yang berarti bahwa perdagangan dilakukan
tanpa diskriminasi, sehingga semua negara anggota WTO berhak atas
perlakuan yang sama atau Most-favoured Nation (MFN).
2. Free trade, yang berarti penghapusan dan penurunan hambatan perdagangan
ba ik tarif maupun non dilakukan secara bertahap melalui proses negosiasi.
3. Predictable through binding and transparency, artinya suatu negara (negara
anggota) tidak boleh memberlakukan hambatan perdagangan baik tarif
maupun non-tarif secara sepihak. Prinsip ini juga mengandung makna bahwa
tingkat tarif dan komitmen untuk membuka pasar domestik bersifat mengikat
(binding) dan untuk diketahui (notification) oleh semua anggota WTO.
4. Fair competion trade, artinya persaingan pe rda gangan harus dilakukan secara
sehat.
5. Encouranging development and economic reform, yang berarti bahwa sistem
perda gangan dibawah aturan WTO harus memberikan fleksibilitas kepada
kelompok negara berkembang untuk melaksanakan kesepakatan WTO.
Disamping itu, prinsip ini juga memberikan perlakuan kepada kelompok
negara berkembang agar diberi bantuan teknis dan konsesi perdagangan
tertentu guna mendukung pembagunan ekonomi nasionalnya.
Sampai saat ini perundingan perdagangan multilateral telah dilakukan
sebanyak sepuluh (10) kali putaran, dimulai tahun 1947 di Geneva hingga putaran
36
terakhir yang dikenal dengan putarn Doha atau Doha Development Agenda/DDA
(2001-sekarang) seperti terlihat pada tabel 12. Pada awalnya perundingan GATT
yang diikuti oleh bebe rapa negara anggota yang terutama dari kelompok negara
industri maju, .hanya membahas penurunan tarif perdagangan barang. Namun
dalam perkembangan selanjutnya topik perundingan GATT diperluas hingga
mencakup hampir semua aspek perdagangan, seperti tarif, tekstil, produk
pertanian, sumberdaya alam, perlind ungan hak intelektual, investasi, jasa, dan
lain- lain (Wibowo, 2009). Perkembangan perundingan dan ruang lingkup yang
dibahas dalam GATT disajika n pada tabel 12. Putaran Doha atau DDA adalah
merupakan putaran perundingan perdagangan bebas multilateral yang paling lama
dalam sejarah WTO yaitu sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Disamping putaran
Doha, Putaran Uruguay ada lah juga putaran perundinga n yang terbesar dalam
catatan sejarah GATT, selain memakan waktu yang lama yaitu lebih dari tujuh
tahun (1986-1994), tetapi juga membahas hampir semua aspek liberalisasi
perdagangan internasional yang dimaksudkan untuk mencegah meningkatnya
proteksionisme di negara-negara maju.
Hasil yang paling menonjol dari putaran Uruguay antara lain adalah
disepakatinya perjanjian perdagangan di sektor jasa (the General Agreement of
Trade in Services/GATS), perjanjian mengenai hak properti intelektual terkait
dengan perdagangan
(Trade-related
Intelectual
Property
Rights/TRIPS),
perjanjian di sektor investasi (Trade-related Investement Mesures/TRIMSs) dan
pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) (Wibowo, 2009). Putaran
Uruguay juga telah berhasil menurunkan tingkat tarif produk manufaktur di
negara-negara indutri secara sugnifikan dari 6.3 persen menjadi 3.9 persen atau
37
penurunan sekitar 40 persen. Sedangka n di negara- negara industri sedang
berkembang, tarif manufaktur diturunkan dari rata-rata 15.3 persen menjadi 12.3
persen atau penurunan sebesar 30 persen (OECD,1998). Selanjutnya berdasarkan
hasil studi yang dilakuka n oleh OECD (1998), menyimpulkan bahwa liberalisasi
perdagangan barang berdasarka n hasil Putaran Uruguay akan meningkatkan GDP
dunia sebesar US$ 94 Milyar setiap tahunya (dihitung pada tahun 1992), dan
apabila ditambah dengan hasil liberalisasi di sektor investasi, maka kenaikan GDP
dunia tersebut mencapai US$ 214 Milyar per tahun atau sekitar 1 persen dari total
output dunia pada 1992. Kesimpulan lainnya dari hasil studi yang dilakukan oleh
OECD tersebut juga menytakan ba hwa manfaat liberalisasi perdagangan akan
dinikmati oleh negara-negara berkembang.
Di sektor pertanian, Uruguay Round Agreement on Agriculture (URAA)
telah disepakati oleh negara-negara GATT/WTO. Berdasarkan URAA, hambatan
non-tarif dalam perdagangan produk pertanian digantikan dengan tarif yang
meningkat (bound tariffs), dan disepakati untuk memperluas akses pasar dengan
mengurangi subsidi domestik dan subsidi eskpor (Wibowo, 2009). Menurut
Malian (2004) ada 3 kesepakatan penting di sektor pertanian yang dihasilkan
da lam putaran Uruguay, yaitu:
1. Penurunan tarif di ne gara-negara berkembang sebesar 24 persen selama 10
tahun. Sementara itu, penurunan tarif di negara-negara maju rata-rata sebesar
36 persen dan minimum 15 persen untuk setiap jenis tarif selama 6 tahun.
2. Subs idi do mestik yang ada di negara- negara maju diturunka n sebesar 20
persen tanpa batas waktu, dan bagi negara berkembang subsidi domestik di
turunkan sebesar 13.3 persen selama 10 tahun. Selanjutnya, subsidi domestik
38
dibawah 5 persen yang ada di negara- negara maju da n 10 pe rsen di ne garanegara berkembang dari total nilai produk pertanian diperbolehkan.
3. Subsidi ekspor di negara-negara maju yang mencakup 24 persen dari jumlah
komoditi ekspor yang disubsidi harus diturunkan sebesar 36 persen.
Sedangkan untuk negara-negara berkembang yang mencakup 16 persen dari
jumlah komoditi ekspor yang disubsidi harus diturunkan sebesar 20 persen
selama 10 tahun.
Meskipun kesepakatan dalam sektor pertanian tersebut telah dicapai melalui
Putran Uruguay, pada kenyataannya masih banyak
negara maju yang
memproteksi sektor pertaniannya secara berlebihan. Menurut Duncan et al, (1999)
beberapa fakta empirirs menunjukkan bahwa proteksi terhadap komoditi pertanian
di negara-negara maju cukup besar yaitu di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan
Jepang berkisar antara 116-463 persen. Pada tahun 1998, ketiga negara tersebut
memberikan subsidi ekspor kepada produk pertaniannya masing- masing sebesar
US$101.5 Milyar (Amerika Serikat), US$ 142.2 milyar (Uni Eropa), dan US$
56.8 milyar (Jepang). Selanjutnya OECD (1998) juga mencatat bahwa negaranegara anggota OECD harus menanggung rata-rata sekitar 35 persen dari nilai
total produksi sektor pertaniannya untuk memproteksi pasar komoditi pertanian
tersebut. Tingginya proteksi sektor pertanian di negara-negara maju sangat
merugikan produsen di negara berkembang karena tertutupnya akses pasar untuk
ekspor dan penurunan harga komoditi pertanian (Wibowo, 2009). Malian (2004)
juga mencatat beberapa kelemahan dalam perjanjian sektor pertanian di WTO,
yaitu : (1) akses pasar ke negara maju relatif sulit karena sejak awal mereka telah
memiliki ”initial tariff rate” yang jauh lebih tinggi; (2) de ngan kekuatan kapital
39
yang dimiliki, ne gara-negara maju telah menyediakan subsidi ekspor dan subsidi
domestik yang tinggi untuk menorong ekspor dari surplus produksi komoditi
pertanian yang dimiliki; dan (3) dalam perjanjian WTO tidak terdapat fleksibilitas
yang memadai bagi negara- negara be rke mbang untuk melakukan penyesuaian
tarif yang sejalan dengan perkembangan permasalahan dan lingkungan setrategis
perda gangan ko mod iti di negara-negara tersebut.
Sejak dibentuknya WTO tahun 1995 dan dihasilkannnya Putaran Doha, di
bulan Nopember 2001, WTO memulai babak perundingan baru yang disebut
dengan Doha Development Agenda (DDA). Cakupan agenda yang dirundingkan
lebih luas dan lebih sulit dalam mencapai keepka tan diantara gap yang terjadi
antara negara maju dan negara berkembang. Agenda yang dirundingkan
mencakup: perdagangan produk pertanian, produk non pertanian, investasi, jasa,
isu lingkungan, dan hak atas kekayaan intelektual (HAKI), penyelesaian sengketa,
dan peraturan WTO. Menurut Wibowo (2009), perundingan di sektor pertanian
mencakup tiga isu penting yaitu: (1) perluasan akses pasar melalui penurunan
tarif; (2) penurunan subsidi ekspor dan kredit ekspor sehingga tercipta persaingan
ekspor yang kompetitif; dan (3) penghapusan/penurunan subsidi domestik kepada
petani di negara-negara maju untuk menghilangkan distorsi pasar. Berdasarkan
program kerja Doha atau juga sering disebut dengan ”Paket Juli” perundingan
ketiga pilar sektor pertanian tersebut dilakukan atas dasar (Wibowo, 2009):
1. Subsidi domestik di negara-negara maju khusunya Eropa dan Amerika Serikat
harus dipotong sebesar 20 persen dari total subsidi domestiknya pada tahun
pertama implementasi perjanjian di sektor pertanian, dan membatasi subsidinya
sebesar 5 persen dari total produksi pertanian untuk kategori blue box.
40
2. Semua subsidi ekspor akan dihapuska n da n dilakuka n secara pa ralel dengan
penghapusan elemen subsidi program yaitu: kredit ekspor, garansi kredit
ekspor atau program asuransi.
3. Untuk akses pasar, dilakukan penurunan tarif dengan menggunaka n formula
bertingkat (tiered formula) terhadap tarif terikat (bound tariff). Dengan fomula
tersebut, maka akan memangkas tarif untuk beberapa produk yang bound tariff
nya masih tinggi seperti seperti komoditi beras dan gula di Indonesia.
Paket Juli 2004 juga memberikan pengecualian perubahan pada beberapa
jenis produk (Wibowo, 2009), yaitu: (1) produk khusus (special products) bagi
negara berkembang dapat menentukan jumlah produk khusus berdasarkan kriteria:
ketahanan pa ngan (food security); (2) ketahanan kehidupan masyarakat pedesaan
(livelihood security) dan pembangunan masyarakat pedesaan (rural development).
Namun demikian, produk yang masuk dalam kategori produk khusus (special
product) oleh suatu ne gara (negara berke mba ng), ne gara tersebut tetap harus
menyediakan dalam jumlah presentase tarif tertentu atas produk pertaniannya
untuk membuka akses pasar impornya atau mengikuti ketentuan Tariff Rate
Quotas (TRQs). Dengan demikian, Indonesia misalnya, tetap terkena ketentuan
untuk membuka pasar impor atas produk seperti gula dan beras melalui penerapan
sistem kuota tarif. Di lain pihak, negara–negara maju juga diberikan fleksibilitas
untuk memasukan produk pertanian tertentu ke dalam kategori produk sensitif
(sensitive product), sehingga mereka masih memiliki peluang untuk memproteksi
komoditi pertaniannya dari ancaman masuknya komoditi pertanian yang sama dari
negara berkembang.
41
Menur ut Achterbo sch et.al (2004), perundingan DDA diperkirakan hanya
memberikan dampak relatif kecil terhadap GDP Indonesia, karena sektor
pertanian di Indo nesia suda h cukup liberal, dimana tarif impor komoditi pertanian
telah diturunkan menjadi 0 – 5 persen, kecuali komoditi beras dan gula pasir, dan
subsidi input pertanian telah dicabut sejak tahun 1998. Oleh sebab itu, dengan
mengacu pada kerangka teori perdagangan internasional, maka kebijakan proteksi
terhadap beras dan gula hanya akan berakibat pada penurunan kesejahteraaan
terutama bagi konsumen yang notabene sebagian besar adalah petani padi atau
tebu itu sendiri. Kebijakan pembatasan impor yang akan menyebabkan kenaikan
harga di pasar domestik harus dihindari, karena selain tidak efektif untuk
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani juga akan menambah beban
masyarakat miskin (Wibowo, 2009). Oleh sebab itu, pilihan terbaik bagi
Indonesia adalah tetap melanjutkan upaya liberalisasi perdagangan, termasuk di
sektor pertanian, dan mengikuti perundingan DAA untuk memperjuangkan agar
segala bentuk subsidi pertanian di negara maju dapat dihapuskan (Erwidodo dan
Ratnawati, 2004).
Pada tahun 2006, ketua Committee on Agriculture-Special Session (CoASS) mengeluarkan draft text modalits perundingan Bidang Pertanian yang
ditujukan untuk mencapai hasil yang seimbang. Selanjutnya pada bulan Juli 2008,
pembahasan draft text ketua Revisi- ke-3 pada Putaran Tingkat menteri (PTM) di
Geneva tidak mencapai kesepakatan mengenai full modalities di bidang isu utama
mod alitas pe rundingan pe rtanian da n non pertanian. Salah satu isu yang ba nyak
diperdebatkan dan ditentang negara maju khususnya Amerika Serikat adalah
Special Safeguard Mechanism (SSM) di bidang pertanian.
42
Tabe l 12. P utaran Perundingan General Agreement on Tariff and Trade
Tahun
1947
Tempat/ Nama
Perunding an
Geneva
Topik Nasional
1949
Annecy, Perancis
Tarif
13
1951
Torquay, Inggris
Tarif
38
1956
Geneva
Tarif
26
1960-1961
Geneva/Dillon Round
Tarif
26
1964-1967
Geneva/Kennedy
Tarif
Tarif dan anti du mping
Juml ah Negara
Peserta
23
62
Round
1973-1979
Geneva/Tokyo Round
Tarif, non-tarif dan kerangka
perjanjian
102
1986-1994
Geneva/Uruguay
Round
Tarif, non-tarif, jasa, hak cipta
intelektual, penyelesaian
sengketa, tekstil, pertanian,
pembentukan WTO, d ll.
123
1995-2000
Doha-Qatar/Doha
Round
Menghasilkan
Doha
Develop ment Agenda (DDAWTO) yang mencakup isu :
(Agirulture),
non-pertanian
(Non
Agricuture
Market
Acces-NAMA),
services,
TRIPs, Rules, Trade and
Environment,
dan
Trade
Facilitation.
123
2001-sekarang
DDA-WTO Round
Isu yang dibahas mencakup:
pertanian (Agirulture), nonpertanian (Non Agricuture
Market
Acces-NAMA),
services, TRIPs, Rules, Trade
and Environment, dan Trade
Facilitation
153
Sumber: WTO, 2011
Sampai akhir tahun 2009 putaran DDA-WTO tidak mencapai kesepakatan
yang disebabka n oleh ada nya pe rtentangan yang cukup be sar diantara negara maju
dan negara berkembang terutama di bidang akses pasar bidang pertanian. Setelah
mengalami kegagalan, maka negara anggota melakukan berbagai pertemuan dan
konsultasi informal yang bertujuan untuk menguatkan kembali komitmen untuk
menyelesaikan perundingan. Pada berbagai pertemuan yang dilakuka n diteka nka n
pentingnya segera menyelesaikan Putaran Doha sebagai putaran yang dapat
43
menciptakan sistem perdagangan yang adil dan seimbang bagi sektor pertanian
dengan meningkatkan peluang akses pasar produk pertanian, pengurangan subsidi
domestik serta penghapusan subsidi ekspor (Kementerian Perdagangan, 2010).
2.2. Perubahan Iklim dan Perkiraa n Perubahan Suhu di Indonesia
Sejak tahun 2001, berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan
menunjukkan bahwa suhu global terus menghangat mendekati permukaan bumi
(IPCC 2007a). Menurut laporan IPCC (2007) suhu rata-rata global setiap
tahunnya sejak 2001 hingga 2005 adalah diantara 10 tahun terhangat sejak
dimulainya pencatatan suhu global. Rata-rata suhu global merata terhadap
permukaan tanah da n lautan dengan kenaikan sebesar 0.76°C ± 0.19°C antara 50
tahun pengamatan (1850-1899) dan periode lima tahun 2001-2005, dengan trend
kenaikan suhu sebesar 0.74°C ± 0.18°C selama lebih dari 100 tahun (1906-2005).
Selain itu, rata-rata kenaikan suhu selama lebih dari 50 tahun terakhir juga
meningkat dua kali lipat terhadap 100 tahun terakhir yaitu dari rata-rata 0.07°C ±
0.02°C menjadi 0.13°C ± 0.03°C per satu dekade.
Suhu rata-rata global sebenarnya tidak meningkat secara perlahan sejak
tahun 1990 sebagaimana diharapkan jika hal tersebut hanya dipengaruhi oleh
kekuatan dari meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca. Meningkatnya suhu di
dekat permukaan juga terjadi dalam beberapa dekade selama pertengahan abad
ke-21, yang diikuti oleh suatu periode (lebih dari tiga dekade) ketika suhu global
menunjukkan tidak terjadi trend kenaikan yang signifikan. Namun sejak tahun
1970-an permukaan tanah bumi lebih hangat dibandingkan permukaan lautan baik
di belahan bumi selatan maupun belahan bumi utara.
44
Sejak tahun 1880 sampai dengan tahun 2007 terjadi peningkatan rata-rata
temperatur global (tren meningkat) dan tahun 1998 (Elnino terjadi) merupakan
tahun terpanas selama periode pengamatan 1880-2007 (Marpaung Sartono, et al.,
2008). Untuk wilayah Indonesia, dari data pengamatan sudah terdeteksi adanya
peningkatan temperatur permukaan yang signifikan terutama daerah perkotaan
seperti: Jakarta, Cilacap, Medan, dan Surabaya. Suhu Jakarta misalnya tercatat
telah mengalami peningkatan sebesar 1.4°C pada bulan Juli (bulan kering) dan
1.04°C pada bulan Januari (bulan basah) selama 100 tahun pengamatan
(Marpaung Sartono, et al., 2008).
Untuk melihat proyeksi temperatur permukaan pada masa yang akan datang
di Indonesia, Marpaung Sartono, et al. (2008) menggunakan data model iklim
MICROC3.2 Hires (Model for Interdisciplinary Research on Climate Change
High Resolution, Japan) skenario A1B dengan lokasi kajian 28 kota. Model iklim
tersebut merupakan model iklim global dengan resolusi 1.1° x 1.1° dan
merupakan salah satu mode l iklim dari 23 model iklim global yang digunakan
IPCC dalam skenario perubahan iklim. Hasil analisis menunjukkan bahwa
proyeksi temperatur permukaan untuk 28 lokasi kajian di indonesia dari tahun
2009 sampai dengan 2050 pada umumnya menunjukkan peningkatan temperatur
untuk semua lokasi kajian.
Hasil studi Marpaung Sartono, et al. (2008) tersebut lebih lanjut
mengemukakan bahwa meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi berdampak
pada naiknya permukaan air laut. Permukaan laut naik akibat es di kutub mencair
dan mengembangnya volume air laut akibat pemanasan yang terjadi. Dampaknya
45
diperkirakan akan menaikkan muka laut sebe sar 1.1 meter pada tahun 2100 dan
akan mengakibatkan tenggelamnya 115 pulau di Indonesia.
2.3
Perubahan Iklim Global dan Produktivitas Pertanian
Deressa dan Hassan (2009) melakukan studi menggunakan model Ricardian
untuk menangkap adaptasi yang dilakukan petani terhadap keberagaman faktor
lingkungan untuk menganalisa dampak perubahan iklim terhadap tanaman
pertanian pangan di Ethiopia. Pendekatan Ricardian mengestimasi pentingnya
iklim dan variabel lainnya terhadap kapitalisasi nilai lahan pertanian. Penerimaan
neto per hektar diregress terhadap variabel iklim dan variabel bebas lainnya.
Variabel iklim yang digunakan meliputi temperatur linier dan kuadratik serta
curah hujan untuk empat musim: dingin, panas, semi, dan gugur. Selain itu,
variabel bebas lainnya yang digunakan meliputi atribut rumah tangga dan tipe
tanah. Variabel rumah tangga dalam model yaitu kepemilikan hewan ternak
(livestock), tingkat pendidikan kepala rumah tangga, jarak terhadap pasar input,
dan ukuran rumah tangga. Tipe tanah yang dimasukkan dalam model adalah
nitosols da n lithosols. Hasil regresi mengindikasikan bahwa mayoritas variabel
iklim, rumah tangga, dan tanah memiliki dampak signifikan terhadap penerimaan
neto per hektar. Koefisien temperatur musim semi dan musim panas menunjukkan
tanda negatif, sedangkan temperatur musim dingin dan gugur memiliki koefisien
positif. Koefisien curah hujan musim dingin dan musim gugur bertanda negatif
sedangkan curah hujan musim semi dan musim panas bertanda pos itif.
Analisis juga dilakukan untuk melihat dampak perubahan temperatur dan
curah hujan pada pertanian di Ethiopia. Hasil analisis Deressa dan Hassan (2009)
menunjukkan bahwa peningkatan temperatur selama musim dingin dan musim
46
panas secara signifikan mengurangi penerimaan neto per hektar, masing- masing
sebesar US$ 997.85 dan US$ 1 277.28. Peningkatan temperatur selama musim
semi dan musim gugur akan meningkatkan penerimaan neto per hektar sebesar
US$ 375.83 dan US$ 1 887.69. Peningkatan temperatur tahunan mengurangi
penerimaan neto per hektar sebesar US$ 21.61 meskipun pada tingkat yang tidak
signifikan. Peningkatan curah hujan tahunan secara marginal mengurangi
penerimaan neto per hektar sebesar US$ 322.75.
Prediksi menggunakan model iklim Special Report on Emition Scenario
(SRES) juga dilakukan pada studi Deressa dan Hassan (2009) untuk melihat
dampak perubahan iklim terhadap penerimaan neto per hektar petani Ethiopia
pada tahun 2050 dan 2100. Hasil analisis mengindikasikan bahwa perubahan
iklim mengurangi penerimaan neto per hektar pada tahun 2050 dan 2100 dengan
pengurangan terbesar terjadi pada tahun 2100 untuk semua skenario.
Sementara itu, Surmaini. et al. (2008) yang meneliti mengenai dampak
perubahan iklim terhadap produksi padi di tiga daerah dengan ketinggian berbeda
yaitu daerah dataran tinggi di Jawa Barat, daerah dataran sedang di Jawa Timur
dan dataran rendah di Jawa Tengah menemukan bahwa di dataran rendah
kenaikan suhu sampai 20 C dapat menurunkan produktivitas padi hampir 40
persen, sementara di dataran sedang dan tinggi sekitar 20 persen. Hasil penelitian
tersebut juga menemukan bahwa penurunan produksi pada tahun 2050 tertinggi
terjadi di Kabupa ten Bandung yaitu sekitar 65 000 ton pada musim hujan dan 50
000 ton pada musim kemarau dan terendah di Kabupaten Semarang yaitu sekitar
40 000 ton pada musim hujan dan 30 000 ton pada musim kemarau.
47
Banyak studi memperkirakan bahwa iklim bumi akan meningkat antara 1.5
sampai dengan 5.0°C untuk abad berikutnya (Manabe dan Wetherald, 1987;
Wilson dan Mitchell, 1987; Hansen, et a., 1988; dan Schlesinger dan Zhao, 1989
da lam Roy Darwin et al., 1995). Dari hasil studi yang dilakuka n tersebut
menyatakan bahwa hal yang terpenting dari pemanasan ini kemungkinan akan
terjadi meskipun usaha globa l dilakukan untuk mengurangi emisi karbon yang
menimbulkan efek gas rumah kaca. Oleh karena itu, lebih lanjut hasil studi
tersebut menyatankan bahwa estimasi dampak ekonomi dan ekologi dari
pemanasan global da n peruba han yang terka it de ngan po la-po la curah hujan
diperlukan bagi pengambil keputusan untuk menentukan seberapa besar upa ya
yang perlu dilakuka n untuk mengendalikan emisi dan bagaimana cara terbaik
untuk mengadaptasi peruba han iklim yang tidak mungkin terhindarkan.
Menurut Darwin et al. (1995), konsekue nsi pertanian dari peruba han iklim
tersebut ada dua hal. Pertama, perubahan iklim kemungkinan akan mempengaruhi
produktivitas tanaman pangan dan ternak. Kedua, adanya respon ekonomi
kemungkinan aka n meruba h distribusi da n intensitas pertanian. Oleh kerana itu
menurut Darwin et.al (1995), hal ini berarti bahwa untuk beberapa wilayah, (1)
produktivitas jangka panjang dan daya saing pertanian kemungkinan berada dalam
risiko, (2) komunitas pertanian dapat terganggu, dan (3) konflik antara dampak
lingkungan pada pertanian terhadap lahan dan sumber daya air dapat terus
berlanjut.
Sementara itu, untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap
produktivitas
pertanian,
Australian
Bureau
on
Agriculture
Resource
Economics/ABARE (2008) menyusun suatu model yang menghubungkan antara
48
emisi karbon, perubahan iklim dan dampaknya terhadap produktivitas di sektor
prtanian. Secara skematis model tersebut disajikan pada gambar 7.
Emissions
Carbon cycle
ECONOMY
Productivity
Atmosphere
Concentration
Clymate System
Damage Function
Temperature
Sumber: ABARE, 2008
Keterangan:
= Menunjukkan sub model
= Variabel yang berhubungan dengan model
Gambar 7. Struktur Dasar da ri Globa l Irrigated Area Map Projects
Model yang dibangun oleh ABARE sebagaimana digambarka n diatas
mencakup suatu fasilitas yang memproyeksikan po la emisi gas rumah kaca yang
bersamaan dengan aktivitas ekonomi. Pola emisi dari skenario ekonomi awal
menjadi bahan penyusunan dua sub model iklim yaitu sub model Carbon-cycle
yang memproyeksikan akumulasi gas rumah kaca di atmos fer da n sub model
Climate-system yang memproyeksikan perkembangan iklim global berdasarkan
konsentrasi atmosfer tersebut. Bagian terakhir adalah suatu sistem Damage
Function menterjemahkan perubahan iklim yang diproyeksikan ke dalam
perubahan variabel yang relevan
terhadap pembangunan ekonomi misalnya
produktivitas pertanian. Sebagaimana diilustrasikan pada gambar tersebut output
dari Damage Function menjadi umpan balik terhadap sub model Economy dan
proses tersebut berulang sampai kepuasan secara konvergen tercapai.
49
2.4
Produksi dan Perdaga nga n Komoditi Pertanian di Pasar Global
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh organisasi PBB untuk Pangan dan
Pertanian (FAO), kecenderungan perdagangan pangan internasional tahun 20152030 menunjukkan bhawa negara berkembang akan berubah dari pengekspor
komoditi pangan menjadi negara pengimpor komoditi pangan. Akibatnya devisa
negara-negara kurang berke mbang dan negara berkembang akan tersedot
dalam jumlah besar hanya untuk impor pangan mencapai 4-5 persen dari
produk domestik bruto (Gatra, 24- 30 Januari 2008).
Masalah pangan global diperkirakan akan semakin rumit akibat adanya dua
kepentingan yang saling berebut untuk mendapatkan pasokan pangan yaitu di satu
sisi terjadinya penurunan produksi pangan akibat perubahan iklim global,
sementara di sisi lainnya adalah adanya konversi bahan pangan ke energi
karena dipicu oleh semakin tingginya harga bahan bakar fosil atau minya
bumi. Kelangkaan pangan juga dipicu oleh meningkatnya permintaan akibat
adanya kepanikan negara berpenduduk besar untuk membeli stok pangan dunia
karena kekhawatiran stok pangan domestik tidak mencukupi permintaan dalam
negeri (Sawit, 2008).
Berdasarkan data FAO (2010), produksi gandum Amerika Serikat (AS),
Australia, Kanada dan Rusia menurun dari 622 juta ton tahun 2005 menjadi
593 juta ton pada tahun 2007 yang me micu ke naikan harga dari US$ 4.52 per
bushel pada 2006 menjadi US$ 9.93 per bushel tahun 2007. Fenomena persaingan
kebutuhan pangan antara manusia, ternak dan energi akan terus berlanjut di masa
yang akan datang (Kompas, 2008).
50
Sementara itu, Sawit (2008) mengemukakan bahwa kelangkaan pangan di
Indonesia juga di perparah oleh faktor internal antara lain adanya konversi lahan
pertanian yang terus meningkat dari 110 ribu ha tahun 2002 menjadi 145 ribu ha
pada tahun 2006. Hal ini dipicu oleh menurunnya produktivitas sektor pertanian
yang pada tahun 1997 sebesar Rp 1.7 juta sedangkan sektor industri mencapai
Rp 9.5 juta (1 : 5,58) sedangkan kondisi pada tahun 2005 adalah sebesar Rp 6,1
juta untuk sektor pertanian dan Rp 41.1 juta untuk sektor industri (1:6.73). Hal
ini menunjukkan bahwa sektor pertanian menjadi semakin tidak menarik.
Pada awal Juni 2008, di markas besar WTO ada sekitar 237 orang yang
berasal dari 55 negara mewakili NGO terkemuka, seperti Action Aid, Oxfam;
Sarikat Perdagangan (Trade Union); Organisasi Petani dan Organisasi
Kemasyarakatan menyampaikan berbagai pernyataan dan keprihatinan (Sawit,
2008). Mereka menyuarakan kekhawatiranya karena perang dagang ini ternyata
belum mengarah ke penyelesaian masalah krisis pangan global, tetapi masih saja
terperangkap untuk terus memperdalam liberalisasi perdagangan (Sawit, 2008).
Mereka juga prihatin atas harga pangan yang terus bergejolak, meningkatnya
ketergantungan impor pangan negara berkembang, dan semakin menguatkan
peran Multinational Corporations (MNCs) da lam pasar agribisnis pangan dan
pertanian (TWN, 2008b).
Berdasarkan data WTO (2005) di tingkat global, peran produk pertanian
dibandingkan dengan total barang (merchandise) yang diperdagangkan adalah
relatif kecil. Barang yang dominan adalah produk manufaktur dan bahan bakar
minyak/hasil tambang. Pada 2004 misalnya, produk pertanian mengambil peran
hampir 9 persen. Namun apabila dilihat dalam produk pertanian global itu sendiri,
51
pangan mengambil peran yang dominan yaitu sekitar 80 persen belum termasuk
produk perikanan (WTO, 2005).
Walaupun peran pangan atau produk pertanian adalah kecil, namun
perannya besar buat negara berkembang. Itu tidak hanya menyangkut ekspor
untuk memperoleh devisa yang sangat diperlukan untuk pembangunan, tetapi juga
keterlibatan banyak petani peternak kecil serta miskin dan menggantungkan hidup
dari sektor itu (Sawit, 2008). Sawit (2008), lebih lanjut mengemukakan bahwa
sebagian besar penduduk di negara berkembang mengantungkan harapan pada
subsektor itu agar dapat mendorong pembangunan desa, mengatasi kemiskinan
dan kelaparan, serta sebagai filter terhadap urbanisasi. Penelitian di tingkat globa l
dan dalam negeri menyimpulkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian dan
pangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengurangan penduduk
miskin dan untuk mengatasi kerawanan pangan (food insecurity) (Sawit, 2008).
Data FAO (2010) juga menunjukkan bahwa konsentrasi produksi pangan
dan perdagangan pangan berada di negara maju, buka n di negara berkembang.
Hasil penelitian Sawit (2007a) memperlihatkan bahwa dalam dua dasa warsa
terakhir, terungkap bahwa trend produksi pangan semakin mengerucut ke
sejumlah kecil negara maju yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Selandia
Baru dan Kanada. Hasil studi tersebut lebih lanjut menunjukka n bahwa Amerika
Serikat menghasilkan pangan terutama jagung, minyak kedelai, gandum, daging
unggas, beras, kedelai, buah dan sayur, daging sapi, susu bubuk skim, dan keju.
Uni Eropa memproduksi buah dan sayur, jagung, gula, gandum, daging sapi,
daging unggas, susu bubuk skim, mentega, dan keju. Selandia Baru menghasilkan
daging sapi, susu bubuk skim, mentega dan keju. Australia manghasilkan jagung,
52
gula, gandum, daging sapi, susu bubuk skim, mentega dan keju. Kanada
memproduksi mentega, daging sapi, buah dan sayur, minyak kedelai, gandum dan
jagung.
Sawit (2008) menemukan bahwa AS mensubsidi paling tinggi terhadap 4
dari 20 komoditi pangan/nonpangan penting yaitu: beras, jagung, kedelai, dan
gandum. Subsidi itu cenderung meningkat dari periode sebelum ke periode setelah
Perjanjian Pertanian disepakati akhir 2004, itu sesuai dengan UU Usahatani (Farm
Bill) (Sawit, 2008). IATP (Institute for Agruculture ond Trade Policy) (2007)
menyebutkan bahwa hal tersebut telah menyebabkan tingkat dumping kedelai
meningkat dari rata-rata 2 persen/tahun pre-1996 Farm Bill menjadi 11.8 persen
post-1996 Farm Bill. Hal yang sama untuk beras, dari 13.5 persen menjadi 19.2
persen; jagung dari 6.8 persen menjadi 19.2 persen. Hal ini berarti bahwa semakin
rendah harga pangan tersebut di pasar dunia, berarti semakin tinggi tingkat subsidi
yang diberikan ke petani mereka, atau sebaliknya kalau harga pangan tinggi.
Sawit (2008) mengemukakan bahwa implikasi dari kebijakan negara
produsen pangan di atas, atau perubahan kebijakan pangan negara maju, akan
besar pengaruhnya terhadap negara berkembang, termasuk Indo nesia. Setidaktidaknya melalui 3 cara, yaitu: (1) pada saat subsidi besar- besaran itu dilakukan,
harga pangan di pasar dunia menjadi rendah. Harga pangan rendah itu bukanlah
gambaran efisiensi. Persaingan menjadi tidak fair. Itu telah berpengaruh negatif
buat petani di negara berkembang, baik petani di negara impor netto, maupun
petani di negara ekspor netto, sehingga sama-sama sulit bersaing secara fair; (2)
pada saat kebijakan pangan mereka berubah, misalnya pengalihan ke subsidi biofuel seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir, maka itu akan berdampak negatif
53
buat ko nsumen di negara berkembang impor netto pangan, seperti Indonesia.
Harga pangan menjadi mahal dan inflasi akan meningkat; dan (3) bila terjadi
serangan hama dan penyakit, serta bencana alam, maka dampaknya adalah
meluas, ke seluruh dunia dan global. Negara impor netto tentu akan kesulitan
dalam akses pangan dan keterbatasan devisa.
Sawit (2008) lebih lanjut mengemukakan bahwa konsentrasi perdagangan
juga terlihat dari peran Multinational Corporations (MNCs), yang menguasai
industri
hulu (seperti industri benih/pupuk/pestisida) dan hilir
(seperti
pengolahan/pengepakan/standarisasi). Oleh karena itu, mereka semakin perkasa
dan bertambah kuat, sehingga dapat mengatur suplai dan harga produk pangan,
sesuai dengan kepentingannya.
Braun (2008a) dari hasil penelitian International Food Policy Research
Institute (IFPRI) memperkiraka n 6.5 milyar konsumen global dilayani oleh
berbagai pemasok (suplier), tersebar ke Afrika, Asia, Amerika, dan benua lainnya.
Pasar swalayan telah dilayani oleh para pedagang dan industri pengolahan.
Industri ini juga disuplai oleh sektor usahatani. Sedangkan sektor usahatani juga
menerima input dari industri pupuk, industri kimia, industri benih, dan industri
input lainnya (Braun, 2008a ). Dalam sistem itu, mereka telah menjadi
konglomerat baru sebagian kongklomerat lama, yang kekuatan (power) dan
pengaruh (leverage)-nya secara global, termasuk ke Indonesia semakin
meningkat. Berdasarkan hasil studi tersebut, diketahui bahwa antara tahun 2004
dan 2006 dilaporkan bahwa: (1) 10 penjual pangan retail menguasai lebih dari 40
persen, (2) tingkat penjualan dari 10 pengolah pangan dan industri input tumbuh
masing-masing sebesar 13 persen dan 10 persen.
54
Sawit (2008) mengemukakan bahwa di Indonesia konsumen akan
berhadapan dengan pengecer pangan global yang telah merambah ke berbagai
kota lain di Jawa dan Luar Jawa seperti Carrefour. Namun demikian, belum ada
hasil penelitian secra menyeluruh mengenai dampak berkembangnya pengecer
global tersebut terhadap keberadaan pasar traditional di Indonesia. Di Bangkok
dalam sebuah koran disebutkan bahwa sepertiga jumlah retail lokal telah menutup
usahanya dalam beberapa tahun terakhir, karena tidak mampu bersaing dengan
retail raksasa seperti Wal- Mart (Sawit, 2008).
Reardon dan Gulati (2008) dari IFPRI melaporkan ba hwa revolusi
supermarket bermata dua. Satu sisi dapat mempermurah harga pangan buat
konsumen dan menciptakan peluang buat petani dan pengolah pangan. Namun
disisi lain, dapat pula mengancam pengecer kecil, petani, dan pengolah pangan
yang tidak mampu menghadapi pesaing baru, sebagian diantaranya raksasa,
mereka akan sulit memenuhi sejumlah persyaratan pasar swalayan. Berdasarkan
Reardon dan Gulati (2008) dikemukakan bahwa supermarket di negara
berkembang Afrika, Asia dan Amerika Latin berkembang dalam 4 gelombang,
yang pertumbuhannya lebih pesat daripada pertumbuhan Produk Domestik Bruto
(PDB) di negara berkembang itu sendiri.
2.5
Peranan Sektor Pertanian Terhadap Produk Domestik Bruto Nasional
Indonesia
Sektor pertanian memegang peran strategis dalam perekonomian nasional
dan daerah, bahkan dalam era reformasi dan otonomi daerah ini diharapkan untuk
berperan di garis depan dalam mengatasi krisis ekonomi (Siregar, 2008). Sektor
pertanian mempunyai peran strategis sehingga sektor ini patut menjadi sektor
55
andalan dan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi, yang dapat digambarkan;
(1) penyedia bahan pangan, (2) penyedia lapangan kerja, (3) penyedia bahan baku
bagi industri, (4) sumber devisa, dan (4) penjaga kelestarian lingkungan
(konservasi lahan, mencegah banjir, dll) (Siregar, 2008).
Terkait dengan kontribusi pertanian pada ekonomi nasional, meskipun
kontribusinya terhadap PDB cenderung menurun, tetapi pertanian tetap
memberikan peran yang signifikan. Pada tahun 1961 pertanian di Indonesia masih
menyumbang 51.8 persen PDB, namun berdasarkan atas dasar harga berlaku pada
triwulan II-2008 sektor pertanian memberi kontribusi 14.7 persen, dan menempati
peringkat kedua setelah sektor industri pengolahan (27.3 persen). Ditinjau dari
jumlah tenaga kerja yang diserap, pada tahun 1995 sektor pertanian menyerap 44
persen dari seluruh angkatan kerja di Indonesia. Pada tahun 2006 yang bekerja di
sektor pertanian meningkat menjadi 44.3 persen (BPS, 2008), namun pada tahun
2009 turun menjadi 41.2 persen (BPS, 2009).
Pentingnya peran sektor pertanian menjadika n perhatian utama pe merintah
ke depan pada revitalisasi pertanian dalam arti luas atau dikenal sebagai
Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanaan (RPPK) (Siregar, 2008). Dalam
perspektif pergerakan pertanian, revitalisasi tersebut dimaksudka n untuk
membangkitkan kesadaran memposisikan kembali peranan penting sektor
pertanian secara proporsional dan kontekstual melalui penggalian kembali
vitalitas; pemberdayaan kemampuan; dan peningkatan kinerja pertanian dengan
tidak mengabaikan sinerginya dengan sektor lain (Siregar, 2008).
Siregar (2008) lebih lanjut mengemukakan bahwa revitalisasi pertanian
belum banyak mengubah orientasi kebijakan pertanian di daerah. Misalnya di
56
Jawa Timur, seperti yang dilaporkan Mazhida (2006), total anggaran untuk sektor
pertanian secara umum masih relatif kecil, yaitu sekitar 0.54 persen dari total
APBD. Secara nominal, rata-rata alokasi anggaran untuk Dinas Pertanian hanya
Rp 2,05 miliar. Pemerintah daerah seharusnya sadar bahwa sebagian besar
penduduknya berada di sektor pertanian dan di perdesaan dengan tingkat
kesejahteraan rendah, sehingga menurut Siregar (2008) sangat ironis kalau proses
pengembangan otonomi daerah tidak meningkatkan kemampuan sektor pertanian
dengan dukungan alokasi anggaran yang memadai.
Pada dasarnya sektor pertanian dapat dijadikan sebagai basis pembangunan
perekonomian di daerah karena memiliki keterkaitan dengan sektor lain, baik
yang berbentuk kaitan “ke depan” (forward linkages) maupun kaitan “ke
belakang” (backward linkages) (Siregar 2008). Keterkaitan langsung ke depan
dapat ditunjukkan dengan banyaknya output sektor pertanian yang dipakai oleh
sektorsektor lain sebagai input, sementara keterkaitan langsung ke belakang
ditunjukkan dengan banyaknya input yang berasal dari produksi berbagai sektor,
yang dipakai oleh sektor pertanian dalam suatu proses produksi (Siregar 2008).
Besarnya keterkaitan sektor pertanian dengan sektor lain di daerah sangat
tergantung pada komponen-komponen faktor kunci, seperti sumberdaya manusia,
penelitian dan pengembangan, pasar, akses kepada modal, infrastruktur dan bahan
baku/sarana prasarana produksi, serta iklim usaha (Siregar, 2008). Dengan
semakin kuatnya keterkaitan sektor pertanian dengan sektor lain, maka posisi
sektor pertanian menjadi sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi
suatu daerah (Siregar, 2008).
57
Menurut Siregar (2008), umumnya pengembangan sektor pertanian di
daerah ditujuka n antara lain: untuk peningkatan kemampuan daerah dalam
penyediaan pasokan atau cadangan pangan dan hasil- hasil pertanian lainnya;
peningkatan daya beli dan akses masyarakat terhadap pangan serta peningkatan
pendapatan
terutama dari kelompok
rumah
tangga
tani.
Keberhasilan
pembangunan tersebut diharapka n akan mempengaruhi jumlah permintaan akhir,
yang kemudian akan membawa pada perubahan terhadap keseluruhan
perekonomin daerah (Siregar, 2008).
2.6
Tinjauan Studi Te rdahulu
Zhai et al. (2009) menganalisis mengenai dampak potensial perubahan iklim
global jangka panjang terhadap produksi sektor pertanian dan perdagangan RRC
menggunakan model Computable General Equillibrium (CGE). Hasil penelitian
dengan menggunakan sekenario baseline menunjukkan bahwa perubahan iklim
akan mengakibatkan penurunan PDB sebesar 1.3 persen dan mengakibatkan
welfare loss equivalent sebesar 1.1 persen pada tahun 2080 untuk RRC. Pada
tataran global, dampak perubahan iklim diproyeksikan menurunka n PDB riil
dunia sebesar 1.4 persen dan mengakibatkan penurunan welfare sebesar 1.3
persen.
Pada tahun 2080, Zhai et al. (2009) memprediksikan bahwa produksi
tanaman pangan global turun sebesar 7.4 persen dika renaka n negara- negara
berkembang mengalami dampak perubahan iklim yang lebih parah dibandingkan
dengan negara-negara maju. Seba gai ko nsekuensi dari meningka tnya biaya input,
sektor hilir tanaman pangan seperti livestock dan makanan olahan juga mengalami
penurunan produksi global, masing- masing sebesar 5.9 persen dan 4.6 p ersen.
58
Meskipun kerugian produktivitas tanaman pangan RRC akibat perubahan
iklim cukup besar yaitu 7.2 persen, namun penurunan produksi tanaman pangan
relatif kecil. Output tanaman pangan RRC kecuali gandum, mengalami penurunan
antara 0.2 hingga 0.5 persen pada tahun 2080. Sementara itu, output gandum
mengalami peningkatan sebesar 4.2 persen relatif terhadap baseline. Dikarenakan
penuruna n produktivitas RRC akibat perubahan iklim masa datang yang lebih
rendah daripada rata-rata dunia, maka harga tanaman pangan di tingkat produsen
akan turun dibandingkan harga tanaman pangan dunia, sehingga menyebabkan
peningkatan ekspor dan penurunan impor di sektor tanaman pangan RRC. Dalam
hal ini, ekpor beras RRC diproyeksikan meningkat 46.8 persen, gandum
meningkat 126.7 persen, biji-bijian lainnya meningkat 63.7 persen, dan tanaman
pangan lainnya meningkat 110.4 persen. Sementara itu, impor beras RRC
diproyeksikan mengalami penurunan 43.1 persen, gandum menurun 17.6 persen,
biji-bijian lainnya menurun 14.9 persen, dan tanaman pangan lainnya menurun
30.1 persen. Secara umum disimpulkan bahwa, sektor makanan olahan RRC
diprediksikan mengalami kerugian yang paling besar dari perubahan produktivitas
sektor pertanian akibat perubahan iklim global, sedangkan beberapa sektor
tanaman pangan (seperti gandum) di RRC mengalami perkembangan positif
karena peningkatan permintaan dari wilayah lain di dunia.
Darwin et al. (1995) melakukan evaluasi dampak perubahan iklim global
terhadap pertanian dunia dengan suatu model yang menghubungkan antara
kondisi iklim terhadap kondisi tanah, sumber daya air, produksi, perdagangan, dan
konsumsi 13 komoditi di seluruh dunia. Skenario perubahan iklim yang
digunakan didasarkan pada model meteorologi pada Goddard Institute for Space
59
Studies, Geophisical Fuid Dynamic Laboratory, United Kingdom Meteorological
Office da n Oregon State University dengan rentang peruba han temperatur global
rata-rata 2.8-5.2°C dan perubahan curah hujan sebesar 7.8-15.0 persen.
Hasil penelitannya menyimpulkan beberapa temuan sebagai berikut:
Pertama, perubahan temperatur dan pola curah hujan untuk 100 tahun ke depan
tidak mengancam produksi makanan di dunia secara keseluruhan. Meskipun
produksi dunia untuk tanaman bukan biji-bijian cenderung menurun (0.2-1.3
persen), namun produksi gandum cenderung meningkat (0.5-3.3 persen) demikian
juga produksi livestock (0.7-0.9 persen). Produksi dunia untuk kelompok makanan
olahan juga mengalami peningkatan sebesar 0.2-0.4 persen.
Kedua, adaptasi petani merupakan mekanisme utama untuk menjaga agar
produksi makanan dunia tetap meningkat di tengah prediksi perubahan iklim
global.
Dengan pemilihan kombinasi
input
dan output
yang
paling
menguntungkan atas lahan pertanian yang tersedia, petani dapat memperoleh
keuntungan sebesar 79 hingga 88 persen atas 19-30 persen pengurangan suplai
sereal dunia secara langsung akibat perubahan iklim. Dengan menyesuaikan
terhadap pasar domestik dan perdagangan internasional (lahan pertanian
diasumsikan tetap) akan mengurangi 97 persen dampak negatif perubahan iklim.
Petani juga dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim dengan meningka tka n luas
lahan pertanian (7.1-14.8 persen) yang akan meningkatkan produksi sereal dunia
sebesar 0.2-1.2 persen.
Ketiga, biaya dan manfaat atas perubahan iklim global tidak berdampak
secara merata di seluruh dunia. Semakin hangatnya temperatur di daerah kutub
dan pegunungan akan meningkatkan kualitas tanah yang sesuai untuk pertanian
60
dan kehutannan, sebaliknya semakin tinggi temperatur di daerah tropis akan
mengurangi kelembaban tanah sehingga menurunkan produktivitas pertanian dan
kehutanan. Selain itu, PDB di wilayah dengan garis lintang yang tinggi (misalkan
Kanada) cenderung akan meningkat akibat perubahan iklim, sedangkan PDB di
daerah tropis cenderung menurun.
Keempat, perubahan iklim cenderung mempengaruhi seluruh struktur
pertanian dan makanan olahan di Amerika Serikat. Tanah yang cocok digunakan
untuk pertanian dan kehutanan cenderung meningkat, namun kelembaban tanah
berkurang yang berpotensi mengurangi produksi pertanian di Corn Belt dan
Southeast. Petani akan beradaptasi dengan meningkatkan produksi gandum dan
mengurangi produksi biji-bijian lainnya, terutama jagung. Sebagai hasil dari
berkurangnya bahan makanan, produksi livestock juga mengalami pe nurunan.
Produksi komoditi makanan olahan secara umum mengalami penurunan.
Kelima, PDB dunia dimungkinkan mengalami penurunan jika perubahan
iklim cukup signifikan atau perluasan lahan pertanian tidak bisa dilakukan.
Berdasarkan skenario perubahan iklim, dampak tahunan neto terhadap PDB dunia
berkisar antara -0.1 hingga 0.1 persen. Output dunia untuk makanan olahan juga
mengalami penurunan 0.002 hingga 0.58 persen. Hasil ini mengindikasikan
bahwa temperatur dan pola hujan yang baru akibat perubahan iklim cenderung
mengurangi rata-rata produktivitas pertanian dengan asumsi lahan pertanian dunia
tidak berubah.
Keenam,
perubahan
penggunaan
tanah
akibat
perubahan
iklim
menyebabkan pergeseran lahan pertanian dan padang rumput permanen, sehingga
akan meningkatkan isu sosial dan lingkungan. Walaupun terdapat peningkatan
61
neto pada lahan pertanian di dunia secara keseluruhan, namun sebesar 4.2-10.5
persen lahan pertanian yang ada diuba h unt uk keperlua n lain di bawah skenario
perubahan iklim. Selain itu, lahan hutan cenderung menur un di bawah perubahan
iklim globa l (3.6-9.1 persen, neto). Hal ini dapat menyebabkan konflik
konsekuensi lingkungan atas lahan pertanian di beberapa wilayah. Di wilayah
tropis, kompetisi dari produksi tanaman pangan dapat memperburuk dampak
langsung perubahan iklim terhadap hutan hujan tropis.
Ketujuh, walaupun suplai air cenderung meningkat di dunia secara
keseluruhan seiring dengan perubahan iklim, kekurangan dapat terjadi di beberapa
wilayah. Berdasarkan simulasi, supplai air dunia meningkat 6.4-12.4 persen. Di
Jepang, perubahan supplai air berkisar antara -9,4 hingga 10,2 persen, namun
harga air di Jepang meningkat lebih dari 75 persen.
Deressa dan Hassan (2009) melakukan studi menggunakan model Ricardian
untuk menangkap adaptasi yang dilakukan petani terhadap keberagaman faktor
lingkungan untuk menganalisa dampak perubahan iklim terhadap tanaman
pertanian pangan di Ethiopia. Pendekatan Ricardian mengestimasi pentingnya
iklim dan variabel lainnya terhadap kapitalisasi nilai lahan pertanian. Penerimaan
neto per hektar diregress terhadap variabel iklim dan variabel bebas lainnya.
Variabel iklim yang digunakan meliputi temperatur linier dan kuadratik serta
curah hujan untuk empat musim: dingin, panas, semi, dan gugur. Selain itu,
variabel bebas lainnya yang digunakan meliputi atribut rumah tangga dan tipe
tanah. Variabel rumah tangga dalam model yaitu kepemilikan hewan ternak
(livestock), tingkat pendidikan kepala rumah tangga, jarak terhadap pasar input,
dan ukuran rumah tangga. Tipe tanah yang dimasukkan dalam model adalah
62
nitosols da n lithosols. Hasil regresi mengindikasikan bahwa mayoritas variabel
iklim, rumah tangga, dan tanah memiliki dampak signifikan terhadap penerimaan
neto per hektar. Koefisien temperatur musim semi dan musim panas menunjukkan
tanda negatif, sedangkan temperatur musim dingin dan gugur memiliki koefisien
positif. Koefisien curah hujan musim dingin dan musim gugur bertanda negatif
sedangkan curah hujan musim semi dan musim panas bertanda pos itif.
Seperti yang diharapkan pula, tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan
kepemilikan hewan ternak berpengaruh positif terhadap penerimaan neto per
hektar. Jarak terhadap lokasi pasar input berdampak negatif dikarenakan petani
mengeluarkan banyak biaya, dari segi uang maupun waktu. Ukuran rumah tangga
juga berpengaruh negatif terhadap penerimaan neto per hektar dikarenakan
banyaknya orang yang menjadi tanggungan dan tidak produktif di wilayah
pedasaan di Ethiopia.
Analisis juga dilakukan untuk melihat dampak perubahan temperatur dan
curah hujan pada pertanian di Ethiopia. Hasil analisis Deressa dan Hassan (2009)
menunjukkan bahwa peningkatan temperatur selama musim dingin dan musim
panas secara signifikan mengurangi penerimaan neto per hektar, masing- masing
sebesar US$ 997.85 dan US$ 1 277.28. Peningkatan temperatur selama musim
semi dan musim gugur akan meningkatkan penerimaan neto per hektar sebesar
US$ 375.83 dan US$ 1 887.69. Peningkatan temperatur tahunan mengurangi
penerimaan neto per hektar sebesar US$ 21.61 meskipun pada tingkat yang tidak
signifikan. Peningkatan curah hujan tahunan secara marginal mengurangi
penerimaan neto per hektar sebesar US$ 322.75.
63
Prediksi menggunakan mode l iklim SRES juga dilakuka n pada studi
Deressa dan Hassan (2009) untuk melihat dampak perubahan iklim terhadap
penerimaan neto per hektar petani Ethiopia pada tahun 2050 dan 2100. Hasil
analisis mengindikasikan bahwa perubahan iklim mengurangi penerimaan neto
per hektar pada tahun 2050 dan 2100 dengan pengurangan terbesar terjadi pada
tahun 2100 untuk semua skenario.
Surmaini. et al. (2008) yang meneliti mengenai dampak perubahan iklim
terhadap produksi padi di tiga daerah dengan ketinggian berbeda yaitu daerah
dataran tinggi di Jawa Barat, daerah dataran sedang di Jawa Timur dan dataran
rendah di Jawa Tengah menemukan bahwa di dataran rendah kenaikan suhu
sampa i 20 C dapat menurunkan produktivitas padi hampir 40 persen, sementara di
dataran sedang dan tinggi sekitar 20 persen.
Hasil penelitian tersebut juga
menemukan bahwa penurunan produksi pada tahun 2050 tertinggi terjadi di
Kabupaten Bandung yaitu sekitar 65 000 ton pada musim hujan dan 50 000 ton
pada musim kemarau dan terendah di Kabupaten Semarang yaitu sekitar 40 000
ton pada musim hujan dan 30 000 ton pada musim kemarau.
2.7. Kebaruan (Novelty)
Penelitian ini didasari oleh adanya 2 isu yang sampai saat ini menjadi
pembahasan skala global yaitu “Isu Perubahan Iklim” da n “Isu Liberalisasi
Perdagangan”. Berdasarka n be rba gai studi yang telah dilakuka n (Zhai et.al, 2009;
Darwin, et.al , 1995; Deressa dan Hasan, 2009; Surmaini et.al, 2008 ), perubahan
iklim berdampak terhadap penurunan produktivitas pertanian.
Sementara itu, terkait liberalisasi perda gangan terdapa t dua kubu yang
berbeda yaitu pro da n ko ntra. Kubu yang pro ((Bergsten,1997; Baldwin,1997;
64
Ethier,1998; dan Lawrence,1999) berpendapat bahwa RTAs merupakan langkah
maju menuju perdagangan bebas multilateral dan akan memperkuat eksistensi
WTO serta sistem perdagangan internasional. Seda ngka n kubu yang ko ntra
(Bhagwati,1995; Krueger,1995; dan Panagariya,1999) berpendapat sebaliknya.
Secara khusus, dari berbagai studi yang dilakukan (Sawit, 2003; Khor, 2000; dan
Elwood, 2002) menunjukkan bahwa liberalisasi sektor pertanian lebih banyak
dinikmati oleh negara maju dibandingkan Negara berkembang.
Kebaruan pe nelitian ini adalah: (1) pe ruba han iklim berdampak negatif dan
lebih dominan mempengaruhi pereko nomian (PDB) semua negara yang diteliti
dibandingkan dampak liberalisasi perdagangan; (2) Negara maju relatif memiliki
ketahanan eko nomi terhadap pe rubahan iklim dan liberalisasi perda ga ngan.
Download