Isu-isu Kontem Isu-isu Kontemporer Politik Cina (III) a (III)

advertisement
Isu-isu Kontemporer Politik Cina (III)
1. LINGKUNGAN HIDUP
Salah satu isu yang menjadi masalah domestik kontemporer di Cina adalah
lingkungan hidup. Ini terkait dengan adanya proses industrialisasi yang akhirnya
menimbulkan polusi dan kerusakan lingkungan yang cukup serius.
Pengelolaan lingkungan hidup telah menjadi perhatian pemerintah Cina
dalam jangka waktu yang cukup lama. Bahkan pada masa pemerintahan yang
terdahulu, kejayaan dinasti sangat ditentukan pada kemampuannya untuk
menguasai sumber air yang mendukung pertanian. Dalam konteks ini, kelaparan,
banjir, gempa bumi dan bencana alam lainnya dianggap sebagai kegagalan politik.
Pada era yang selanjutnya, isu bencana alam digunakan partai komunis untuk
menarik simpati masyarakat, seperti di tahun 1976 ketika terjadi gempa bumi
Tangshan di Heibei yang menelan korban 240.000 jiwa.
Sebelum era reformasi, serangkaian bencana alam yang terjadi telah
menggagalkan panen sebagian besar masyarakat Cina yang berprofesi sebagai
petani. Hal ini mendorong pemerintah untuk melakukan modernisasi di bidang
pertanian. Meski demikian, modernisasi pada era Mao dijalankan secara
serampangan, sehingga alih-alih memperbaiki kerusakan akibat bencana alam
modernisasi bahkan menghadirkan bencana yang lebih hebat. Periode Lompatan
Jauh ke Depan (1958-1960), misalnya, menyaksikan penebangan hutan secara
besar-besaran serta penggunaan pestisida dan irigasi yang asal-asalan. Tujuan
utama Lompatan untuk meningkatkan produktivitas pertanian tidak berhasil,
digantikan oleh kerusakan yang hebat pada lingkungan.
Titik awal perhatian pemerintah Gina terhadap isu lingkungan terjadi ketika
Cina menjadi anggota PBB di tahun 1971. Di badan dunia itu isu lingkungan
ditempatkan sebagai salah satu isu penting. Di tahun 1972 Cina menghadiri
Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Swedia, untuk kemudian disusul oleh
pembentukan National Environment Agency pada tahun 1973 sebagai yang
menjadi langkah awal konkret Cina memperhatikan isu lingkungan. Meski upaya
memperbaiki kerusakan lingkungan yang telah terjadi dijalankan secara bertahap,
tetapi tetap saja Cina menghadapi ancaman perusakan lingkungan pada masa-
Universitas Gadjah Mada
masa awal reformasi. Di masa ini, kekhawatiran akan terjadinya kelaparan karena
populasi yang cukup besar telah menyebabkan perusakan lingkungan kembali
terjadi. Ini dikarenakan sumber daya Cina yang sangat terbatas dikhawatirkan tidak
dapat mencukupi kebutuhan penduduk yang ada. Ditambah lagi migrasi besarbesaran orang Han ke wilayah Tibet dan Xinjiang menyebabkan adanya eksploitasi
yang tak terkendali atas sumber daya alam di kedua wilayah tersebut.
Jumlah penduduk Cina sebesar 22 persen dan total penduduk dunia, tetapi
sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya sangat terbatas.
Sebagai misal, hanya tujuh persen dan wilayah Cina yang baik untuk ditanami.
Sumber minyak dan gas yang dimiliki Cina juga tidak mampu mencukupi
kebutuhan dalam negerinya. Oleh karena itu, tidaklah heran bila ancaman atas
kerusakan lingkungan ini semakin nyata seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk, tingkat urbanisasi, dan industrialisasi. Dampak yang nyata yaitu adanya
polusi yang terus meningkat di kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai, Wuhan,
Hong Kong, dan Chongqing. Kota-kota ini menghadapi masalah polusi udara dan
air yang serius. Penyebab utama polusi udara adalah digunakannya batubara
sebagai bahan bakar rumah tangga dan banyaknya asap kendaraan. Bahkan
hujan asam juga terjadi di Cina bagian Selatan. Dan tahun ke tahun selalu terjadi
penambahan kepemilikan mobil pribadi, sehingga diperkirakan pada tahun 2015
nanti Cina akan menjadi negara dengan tingkat emisi CO, terbesar di dunia.
Sementara itu, penyebab utama polusi air adalah adanya limbah industri, limbah
kota dan pemakaian pupuk organik. Sebagai akibatnya, 40 persen dan sungaisungai di Cina rata-rata tidak memenuhi standar air bersih. Untuk mengatasi
permasalahan air ini pemerintah juga membangun bendungan, yaitu Three Gorges
Dam, dengan tujuan untuk mencegah banjir di sepanjang sungai Yangtze dan
sebagai sumber air untuk Cina bagian utara. Tetapi pembangunan Three Gorges
Dam menuai banyak protes, tidak saja karena pembangunan ini merusak artefakartefak sejarah yang penting, membuat banyak penduduk hams direlokasi, tetapi
juga karena dugaan terjadinya korupsi berskala besar dalam proyek ini. Di
samping polusi udara dan air, ancaman lain yang muncul adalah menurunnya
vegetasi dan tanah untuk pencegah erosi sebagai akibat dari perdagangan kayu
besar-besaran, pembangunan rumah penduduk, industrialisasi, dan pertanian di
lereng gunung. Masih dalam konteks perbaikan lingkungan, sebagai pihak yang
ikut menandatangani Protokol Montreal di tahun 1991 pemerintah Cina menyetujui
Universitas Gadjah Mada
pengurangan secara bertahap produksi substansi-substansi kimia yang dapat
menyebabkan lubangnya lapisan ozon mulai tahun 2010.
Meskipun partai dan pemerintah telah menunjukkan perhatiannya pada isu
lingkungan ini — setidaknya di dataran wacana, tetapi lain halnya dengan
kebanyakan masyarakat Cina. Mereka cenderung mengutamakan usaha untuk
meningkatkan standar hidup mereka karena adanya himpitan kemiskinan,
walaupun itu hares ditempuh dengan mengorbankan lingkungan. Hambatan lain
juga muncul ketika kelompok-kelompok kepentingan berbasiskan isu lingkungan
kadang tidak mendapatkan dukungan pemerintah. Di sisi lain, masih ada
sekelompok elit dan masyarakat Cina yang percaya bahwa upaya memelihara
lingkungan dalam konteks Pembangunan yang Berkelanjutan' adalah sesuatu yang
tidak adil: negara-negara besar seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang
melakukan pembangunan besar-besaran tetapi menerima dampak polusi yang
paling sedikit, sementara pada saat yang sama mereka mendesak negara-negara
berkembang (termasuk Cina) memperbaiki kerusakan lingkungan global yang
sejatinya disebabkan oleh tindakan mereka.
2. POPULASI
Meskipun pada awalnya populasi tidak dianggap sebagai salah satu isu yang
penting, jumlah penduduk Cina yang sangat besar telah disadari oleh pemerintah
Cina sebagai suatu ancaman bagi kondisi domestiknya. Tingginya tingkat populasi
adalah salah satu ciri khas Cina. Pada tahun 1953 pemerintah Cina melakukan
sensus penduduk, meskipun sistem yang digunakan masih dibawah standar
negara-negara Barat. Dengan menggunakan sistem yang berintikan household
registration, diperoleh keterangan bahwa jumlah penduduk Cina pada waktu itu
sebesar 582,6 juta jiwa.
Tingginya angka hasil sensus ini didukung oleh tingkat pertumbuhan
penduduk yang tinggi akibat adanya keinginan untuk memiliki anak laki-laki.
Keinginan ini dilandasi oleh pandangan tradisional Cina bahwa anak laki-laki
memiliki derajat yang lebih tinggi daripada anak perempuan; anak laki-laki
diharapkan akan mengangkat martabat keluarga. Di samping itu, masalah lain yang
ditunjukkan oleh sensus 1953 ini adalah penyebaran penduduk yang tidak merata.
Masyarakat lebih banyak terkonsentrasi di bagian timur yang memiliki iklim lebih
ramah dan fasilitas komunikasi yang mudah. Dan sini dapat dilihat bahwa
sesungguhnya ada ketimpangan pembangunan di Cina. Oleh karena itu,
Universitas Gadjah Mada
pemerintah berusaha mendorong adanya migrasi penduduk ke bagian barat dan
utara Cina.
Tetapi, jumlah penduduk yang besar itu dianggap oleh Mao sebagai sebuah
`berkah'. Ia menganggap bahwa jumlah penduduk yang besar adalah suatu aset
yang berharga bagi bangsa yang tengah membangun seperti Cina. Menurut Mao,
kemiskinan terjadi karena penindasan, bukan karena masalah populasi (berbeda
dengan pandangan Malthus, seorang ahli ekonomi dan Inggris, yang mengatakan
bahwa populasi yang besar menimbulkan kemiskinan dan oleh karenanya
kemiskinan bisa diatasi dengan mengandalikan populasi). Di akhir tahun 1950-an
Mao menjalankan kebijakan Lompatan Jauh ke Depan, yang salah satu asumsi
pendukungnya adalah bahwa semakin banyak tenaga manusia, semakin baik untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi. Mao juga melihat bahwa tingkat populasi yang
tinggi ini juga menjadi dukungan bagi pertahanan nasional bangsa, mengingat pada
waktu itu Cina tidak lagi dekat dengan Uni Soviet serta pertentangan antara blok
Barat dan Timur membuat Cina harus waspada akan keamanan nasionalnya yang
tidak didukung oleh teknologi perang yang canggih. Tetapi, Lompatan adalah
program ambisius yang terbukti menuai kegagalan. Pasca dilaksanakannya
Lompatan, tingkat pertumbuhan penduduk justru turun lima puluh persen dan
tingkat kematian naik hampir seratus persen (!) sebagaimana ditunjukkan oleh basil
sensus 1964. Sensus ini menunjukkan penduduk jumlah penduduk Cina saat itu
sebesar 694,5 juta jiwa.
Keterlibatan Cina di PBB dan terbukanya Cina terhadap Barat menjadi titik
awal perhatian Cina terhadap masalah populasi. Pada tahun 1980 pemerintah
mengeluarkan suatu undang-undang perkawinan yang mengatur usia minimum
untuk menikah, yaitu 22 tahun bagi laki-laki (sebelumnya 20 tahun) dan 20 tahun
bagi perempuan (sebelumnya 18 tahun). Pada masa ini populasi bukan lagi
dianggap sebagai aset bangsa, tetapi ancaman bagi kondisi negara bangsa dan
masa depan sosialisme. Oleh karena itu, yang harus dilakukan tidak hanya
mengendalikan populasi, tetapi menguranginya. Untuk itulah, pada tahun 1979
pemerintah mengumumkan berlakunya kebijakan One Child per Family.
Kebijakan One Child per Family adalah suatu aturan yang mengharuskan
setiap keluarga hanya memiliki satu anak saja. Kebijakan ini menjadi suatu aturan
yang sangat ketat di kotakota besar Cina, tetapi di daerah pedesaan
pelaksanaannya lebih longgar. Etnis-etnis minoritas juga bebas dan peraturan ini.
Bagi mereka yang melanggar akan dikenakan sanksi yang keras, baik berupa
Universitas Gadjah Mada
denda maupun hambatan dalam pekerjaannya. Sementara bagi mereka yang
mematuhinya akan diberikan bonus uang, tempat tinggal, fasilitas kesehatan dan
sekolah yang terbaik bagi anak mereka. Kebijakan ini mungkin berhasil dalam
mengurangi tingkat pertumbuhan populasi, tetapi tidak sedikit juga dampak negatif
yang ditimbulkannya, seperti maraknya praktek-praktek aborsi dan sterilisasi
menggunakan teknologi ultrasonografi di kotakota besar Cina (sebuah fenomena
yang disebut oleh media pada tahun 1990-an sebagai Dying Room). Kebijakan ini
juga diduga memicu intensitas perdagangan wanita, mengingat banyaknya tentara
yang merasa kesulitan untuk mencari istri. Di samping itu, banyaknya kritik dari
dunia internasional terhadap Cina karena dianggap melakukan pelanggaran hak
asasi manusia membuat fenomena anak tunggal dalam sebuah keluarga menjadi
kecemasan tersendiri bagi masyarakat Cina.
Universitas Gadjah Mada
Download