Konsep Keadilan Sosial dalam Amos 6:1

advertisement
BAB IV
KONSEP KEADILAN SOSIAL AMOS 6:1-7
DALAM PERSPEKTIF TEORI KEADILAN
4.1. Pendahuluan
Setelah mencoba memaparkan mengenai konsep-konsep keadilan dari beberapa tokoh,
dan menganalisa konsep keadilan sosial dari Amos 6:1-7, maka pembahasan dalam bab berikut,
saya akan melihat keduanya dalam suatu perbandingan, untuk
melihat persamaan dan
perbedaannya dengan teori-teori keadilan yang telah disampaikan dalam bab sebelumnya yakni;
Robert Nozick, John Stuart Mill, John Rawls, Kai Nielsen, dan Karen Lebacqz.
Pembahasan dalam bab keempat ini, mencakup dua poin yakni dengan memulainya dari
konsep keadilan sosial dalam Amos 6:1-7, lalu melihat konsep keadilan sosial Amos 6:1-7 dalam
perspektif teori-teori keadilan.
4.2. Konsep Keadilan Sosial Amos 6:1-7
Amos merupakan seorang Nabi yang menyuarakan dengan keras mengenai keadilan
sosial. Ia berasal dari Tekoa dan diutus oleh Yahweh untuk bernubuat di Israel Utara pada masa
pemerintahan Raja Yerobeam II pertengahan abad ke-8 SZB. Ia merupakan salah satu dari sekian
banyaknya nabi yang menyuarakan keadilan dalam zamannya. Salah satu bentuk suara kenabian
yang disampaikan ialah melawan ketenteraman yang palsu dalam umat Israel, sebagai persoalan
ketidakadilan sosial.
Amos dalam membangun konsep keadilan sosialnya, tidak terlepas dari konteks
kehidupan masyarakat Israel (Utara) sebagai tempat di mana ia bernubuat yakni dalam konteks
116
masyarakat agraris, di mana lebih menggantungkan hidup kepada hasil pertanian dan dapat
menjadi pengaruh bagi kehidupan sehari-harinya baik ekonomi, keagamaan, dan sebagainya.
Konteks masyarakat agraris menurut struktur kelasnya Lenski, kekuasaan tertinggi dipegang oleh
raja dengan sistem kerajaan yang bersifat hierarki. Dengan demikian, walaupun mereka
merupakan bagian yang paling kecil dalam populasi masyarakat, tetapi mereka dapat menguasai
hampir keseluruhan dari kekayaan dalam masyarakat. 1 Dalam konteks pada masyarakat seperti
demikian, bukanlah sebuah persoalan jika raja memperoleh kekayaan yang semakin besar dan
rakyat yang miskin terus hidup dalam kondisi yang demikian, itu sesuatu wajar dan sah. Bahkan
segala aspek kehidupan dipengaruhi dan dipegang oleh raja yang dianggap sebagai wakil Allah
dalam kehidupan masyarakat, segala sesuatu dilakukan berdasarkan pada ketetapan dan
persetujuan dari raja dan selalu dianggap baik bagi masyarakatnya.2
Dengan sistem pemerintahan yang dipegang dan dikuasai oleh raja dan para bangsawan
dalam konteks Israel, dilihat oleh Amos sebagai suatu masalah srtuktur kekuasaan yang tidak
adil. Bagaimana bisa, mereka yang bekerja tetapi tidak merasakan dan menikmati hasil pekerjaan
tersebut, tetapi diberikan kepada raja dan para bangsawan. Amos melihat bahwa kekuasaan yang
dimiliki oleh para pemegang kuasa rupanya tidak digunakan untuk kepentingan bersama,
melainkan hanya untuk kepentingan penguasa semata. Inilah yang menjadi kritikan dari Amos,
“celakah mereka yang merasa tenteram” dari hasil dari pekerjaan orang lain. Kalimat ini dengan
ditujukan kepada para kaum elit yang memiliki segala sesuatu baik itu kuasa maupun kekayaan,
hidup dengan damai dan tanpa adanya gangguan.3
1
Gerhard E. Lenski, Power and Privilege: A Theory of Social Stratification (Capel Hill and London: The
University of North Carolina Press, 1984), 248.
2
Franz Magnis-Suseno, Kuasa & Moral (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), 52.
3
Eka Darmaputera, Mencari Allah: Pemahaman Kitab Amos tentang Mencintai Keadilan dan Kebenaran
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 81.
117
Ketidakadilan yang dilakukan oleh para pemimpin atau penguasa dengan hidup berfoyafoya dalam segalah kemakmuran mereka, dengan cara merampas hak hidup atau hak asasi orang
lain, merupakan inti dari Amos A, jadi bukan semata-mata karena perlakuan yang sewenang
terhadap mereka yang lemah, tetapi yang dikecam di situ adalah karena para pemimpin atau
penguasa mengambil hak tanah atau hak hidup dari sesamanya, karena tidak mampu membayar
hutang kepada penguasa. Para petani kesulitan dalam melunasi hutang tersebut, dikarenakan
bunga yang diberikan terlalu besar, harus memenuhi berbagai kebutuhan hidup, membayar pajak,
sewa tanah, belum lagi ditambah dengan hasil pertanian yang gagal panen. Belum lagi dengan
perampasan hak tanah oleh penguasa, untuk diberikan kepada para pemimpin-pemimpin di
bawahnya semakin menambah segala penderitaan para petani, sehingga Amos begitu keras
mengecam segalah perbuatan para penguasa di Israel. Mereka hidup dengan aman, tenteram, dan
sejahtera dari hasil kerja keras para petani, tetapi mereka masih merampas hak hidup para petani,
dan menambah penderitaan para petani.
Kecaman keras oleh Amos A dalam melihat persoalan ketidakadilan sosial yang ada
dalam konteks kehidupan Israel dianggap sebagai pelanggaran akan perjanjian Allah yakni
perampasan hak tanah atau hak asasi dari para petani demi kepentingan dari para penguasa,
bahkan dengan merampas hak hidup dari para petani, pada akhirnya para petani terpaksa hidup
hanya bergantung selamanya dan selalu diperbudak pada penguasa. Oleh karena itu, tidak salah
jika Amos sangat keras mengecam kehidupan mereka sebagai ketenteraman yang penuh dengan
kepalsuan semata yakni, hilangnya penghargaan akan hak hidup dan hak milik orang lain, tidak
ada lagi solidaritas hidup bersama, lunturnya nilai keseimbangan hak dan kewajiban sebagai
umat Allah, penindasan dan korupsi yang membuat mereka memperbudak sesama di sekitarnya,
ibadah yang palsu juga menjadi perhatian dari Amos, dimana mereka kelihatannya rajin
118
beribadah tetapi di lain pihak ada kesenjangan sosial di tengah-tengah masyarakat dan
sebagainya.
Hal-hal seperti demikian, dilihat Amos bukanlah cara yang tepat dalam mencapai
ketenteraman yang sesungguhnya tetapi justru akan menimbulkan ketidakadilan sosial dalam
masyarakat. Sehingga Amos mengecamnya sebagai rasa tenteram yang palsu. Dari ketenteraman
yang palsu atau bentuk ketidakadilan sosial yang membuat mereka dibenci dan pada akhirnya
dihukum oleh Allah, ditambah lagi dengan seruan pertobatan dari Amos, tidak mereka
dengarkan, sehingga dalam ay.7 dikatakan bahwa, pada akhirnya mereka akan pergi ke
pembuangan sebagai kepala barisan dan berakhirlah segala ketenteraman yang mereka yang
alami.4 Pembuangan Israel pada akhirnya terbukti, dengan kejatuhan bangsa Israel ke dalam
kekuasaan bangsa Asyur pada tahun 722 SZB.
Jadi, konsep keadilan sosial menurut Amos 6:1-7, sesungguhnya menekankan pada
penghargaan akan hak asasi dari setiap orang, sikap solidaritas terhadap sesama sebagai ciptaan
Tuhan, karena dengan mempedulikan dan menghargai orang lain sebagai sesama ciptaan yang
sama, maka ketidakadilan yang sudah sebutkan di atas, dapat dihindari dari kehidupan bersama.
Alasan kenapa saya berani mengatakan hal yang demikian, karena menurut saya, walaupun
dalam konteks masyarakat feodal, penindasan dan kekerasan yang terjadi merupakan sesuatu
yang sah dan wajar, tetapi sebaiknya hak untuk hidup dari para petani, sebaiknya tidak diambil
demi kepentingan penguasa, hak hidup yang dimaksudkan adalah hak kepemilikan akan tanah,
yang merupakan pemberian dari Allah ketika mereka dibebaskan dari perbudakan di Mesir dan
masuk ke tanah perjanjian dengan Allah yakni tanah Kanaan. Mengambil hak tanah orang lain
sama halnya dengan melanggar perjanjian dengan Allah.
4
Ibid., 84.
119
Bila memperhatikan dengan baik dalam konteks kehidupan Israel, kaum elit rupanya
lebih mengutamakan kepentingan-kepentingan mereka dibandingkan demi kepentingan bersama
semua umat, akibatnya mereka yang kaya semakin kaya, dan mereka yang miskin akan semakin
miskin. Hal ini dikarenakan berbagai tindakan yang tidak adil melalui pemutarbalikan kebenaran
oleh mereka yang kaya, salah contohnya adalah mereka menjual orang miskin hanya karena
hutang yang sangat kecil yang digambarkan Amos “Sepasang kasut”. Tidak lagi melihat
sesamanya sebagai manusia yang sama dengan mereka, melainkan sebagai sesuatu yang dapat
menghasilkan uang bagi mereka.
Dalam stratifikasi sosial dari Lenski, begitu jelas diperlihatkan bahwa kaum penguasa,
walaupun dengan jumlah yang paling kecil dari populasi masyarakat, namun mereka memiliki
sampai 90% kekayaan dalam masyarakat. Artinya bahwa penguasa yang mengatur dan
mengontrol segalah kehidupan dan kekayaan dalam masyarakat. Para petani yang hanya hidup
bermodalkan tanah sebagai kekayaan merekapun diambil oleh para penguasa untuk segala
kepentingan hidup mereka. Bila dilihat dalam konteks keadilan sosial Amos, ini merupakan
suatu perbuatan yang sangat kecam dan jahat, karena mereka telah merampas hak hidup orang
lain. Perampasan hak hidup oleh para penguasa merupakan poin yang paling dikecam oleh
Amos, ia melihat bahwa dengan sistem tersebut, akan merusak hubungan antar sesama manusia
(kaum penguasa versus para petani), hilangnya penghargaan akan sesama, yang sudah dianggap
hanya sebagai budak
4.2. Konsep Keadilan Sosial Amos 6:1-7 Dalam Perspektif Teori Keadilan
Persoalan mengenai keadilan dalam suatu komunitas tidak akan pernah berakhir selama
di dalam masyarakat, kita belum mampu melihat orang lain sebagai sesama ciptaan Tuhan yang
120
patut dan seharusnya dihormati dan dihargai, kepentingan-kepentingan individu memang perlu
tetapi, baiklah kita juga mampu melihat dan memperhatikan kepentingan sesama di sekitar yang
lebih membutuhkan. Menurut Notohamidjojo5, keadilan sosial merupakan tahap awal dalam
menunaikan kewajiban kita untuk mengasihi sesama di sekitar kita. Artinya bahwa hal mengasihi
akan sesama sebagai ciptaan yang sama baru akan terjadi jika kita mampu berlaku adil dengan
sesama misalnya memberikan padanya apa yang menjadi haknya dan memperlakukan semua
sama tanpa ada diskriminasi.
Keadilan sosial memang sudah merupakan suatu persoalan yang kompleks, karena
langsung menyentuh pada kehidupan bersama dalam suatu komunitas, tidak hanya mencakup
nilai-nilai sosial tetapi juga mencakup nilai-nilai hukum, ekonomi, etika, teologi, dan sebagainya.
Nama-nama seperti; John Stuart Mill, John Rawls, Robert Nozick, Kai Nielsen, dan Karen
Lebacqz merupakan para tokoh yang tidak asing di telinga, ketika kita membahas mengenai
keadilan.
Kepentingan diri sendiri oleh para penguasa serta perampasan hak hidup para petani oleh
penguasa, yang dikecam oleh Amos A, sebagai suatu bentuk ketidakadilan sosial dalam konteks
kehidupan bersama umat Israel. Kehidupan bersama yang hendak ditekankan oleh Amos dalam
nubuatnya adalah menghargai dan menghormati hak hidup semua orang tanpa terkecuali, baik itu
kalangan atas, menengah, maupun kalangan bawah sekalipun. Kepentingan individu dalam
konteks Amos 6:1-7, tidak terlalu mendapatkan perhatian yang begitu besar, tetapi justru
kepentingan bersama berdasarkan pada ketetapan janji Allah yang diutamakan.
5
Notohamidjojo, Kreativitas yang Bertanggungjawab (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2011),
640.
121
Berbicara mengenai kebutuhan bersama, John Stuart Mill dalam membangun konsep
keadilannya, mengusung sebuah tema besar yakni utilirarianisme, yang dikembangkan dari
Bentham dengan prinsip utamanya adalah “the greatest happiness for the greatest number”.
Konsep keadilan yang dibangun oleh Mill, bahwa keadilan utilitarianisme tidak mengejar akan
kepentingan pribadi semata akan tetapi kepentingan bersama sebagai warga masyarakat. Artinya
setiap individu dalam masyarakat harus memiliki kesempatan yang sama untuk mampu
mengakses sumber-sumber penghidupan untuk mencapai kebahagiaannya. Keadilan berdasarkan
pada utilitarian tidak mengijinkan orang mengejar kebahagiaan individualnya dengan nafsu
egoisme karena kebahagiaan individual setiap orang dipenuhi dalam relasinya dengan utilitas
bersama dalam masyarakat (social utility) sehingga terciptanya kehidupan bersama dalam
masyarakat yang adil.6
Sedangkan John Rawls, lebih kepada mereka yang disebutnya the last advantage atau
mereka yang paling kurang beruntung dalam masyarakat. Artinya bahwa disebut keadilan
apabila mampu memberikan manfaat terhadap kelompok yang paling sedikit atau mereka yang
paling kurang beruntung. Tidak diperbolehkan adanya pendistribusian kebebasan atau
kesejahteraan mereka dengan kesejahteraan orang lain. Maksudnya bahwa, kesejahteraan orang
lain jangan dikorbankan, seperti yang dibangun oleh Mill, yang tidak begitu mempedulikan
kesejahteraan dari individu-individu, asalkan dapat mendatangkan kebahagiaan bagi sebagian
besar orang. Sedangkan bagi Rawls, kebebasan yang setaralah yang harus diutamakan, jika
pendistribusian tidak setara, maka distribusi yang tidak setara diperbolehkan asalkan itu
6
Kebahagiaan individual bukanlah hal yang utama dalam konsep keadilan Mill. Lanjutnya semua umat
manusia seharusnya saling membantu untuk dapat membedakan mana yang baik dan buruk, dan mampu
meningkatkan martabat manusia bukan merendahkan. Dengan artian bahwa, kepentingan individu hanya akan
mendatangkan kesejahteraan bagi dirinya sendiri, sehingga tidak begitu menjadi perhatian dari Mill. Menurutnya
yang utama adalah bagaimana dapat mendatangkan kebaikan dan kepentingan yang lebih besar bagi seluruh
masyarakat. John Stuart Mill, On Liberty: Perihal Kebebasan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), 146, 157158.
122
memihak pada mereka yang kurang beruntung dan mampu merubah kondisi mereka lebih baik
dari sebelumnya.7 Hal ini juga yang menjadi penekanan dari Magnis-Suseno, bahwa tuntutan
utama dalam menciptakan keadilan sosial dalam suatu komunitas masyarakat adalah
keberpihakan kepada mereka yang paling lemah.8
Jadi menurut hemat saya, konsep keadilan yang dibangun J.S. Mill, Rawls, sebenarnya
menekanakan pada sistem pendistribusian yang setara, menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh
masyarakat, namun yang menjadi pembeda adalah Rawls lebih menekankan pada kesejahteraan
bagi mereka yang lemah dan kurang beruntung dalam masyarakat. Sedangkan Mill, memang
memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya, tetapi kurang melihat pada kebebasan dari setiap
individu. Hal ini yang ditekankan oleh Notohamidjojo, dalam buku Kreativitas yang
Bertanggungjwab, bahwa pendistribusian yang adil adalah ketika kita mampu memberikan
kepada masing-masing individu apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Misalnya sistem
distribusi kesetaran yang digunakan oleh Rawls, sebagai langkah untuk dapat menghadirkan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakatnya, walaupun terkhususnya bagi mereka yang kurang
beruntung.
Jika dikaitkan dengan konsep keadilan sosial yang ada dalam Amos, khususnya Amos
6:1-7, di mana sikap yang ditekankan adalah penghargaan akan hak asasi dari masing-masing
individu, solidaritas hidup terhadap bersama. Bertolak dari sistem yang ada, bahwa yang
7
Keadilan sebagai kesetaraan menjadi bagian yang berbeda dari konsep utilitarian. Dalam prinsip keadilan
yang dibangun oleh Rawls lebih mengutamakan hak bukan manfaat. Bagi Rawls, keadilan bukan dengan
mengorbankan sesamanya untuk kepentingan pihak yang lebih besar tetapi sebagai insan otonom, rasional, dan
moral, manusia dapat membangun suatu kerjasama yang adil dengan sesamanya dengan bertujuan agar setiap
anggotamasyarakat dapat memenuhi kebutuhannya secara baik dan saling memberik manfaat, dibandingkan dengan
bekerja secara individu. Karen Lebacqz, Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Pemikiran J.S. Mill, J. Rawls, R.
Nozick, R. Niebuhr, J.P. Miranda (Bandung: Nusa Media, 2014), 61-62; bnd. Thobias Messakh, Konsep Keadilan
dalam Pancasila (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2007), 56-57.
8
Franz Magnis-Suseno, Kuasa & Moral., 47.
123
memegang kekuasaan dalam masyarakat adalah para pemimpin, namun kesenangan pribadi tidak
boleh menjadi hal yang utama dalam kehidupan masyarakat di Israel, tidak boleh ada yang
merasa aman, damai, sejahtera secara individu, dengan merampas hak milik dari mereka yang
lemah. Tetapi bagaimana memperhatikan sesama mereka yang kurang beruntung dalam
masyarakat (mereka yang miskin dan lemah), bukan sebaliknya mereka diperbudak dan diperalat
untuk memenuhi kepentingan dari mereka yang kaya dan kuat dalam masyarakat.
Solidaritas bersama dalam bangsa Israel, yang coba diangkat oleh Amos adalah
pengahargaan kepada orang lain sebagai sesama ciptaan Tuhan yang patut diperlakukan dengan
adil, tidak diperbolehkan merampas hak hidup dengan menindas atau memperbudak orang lain
demi kepentingan individualnya, karena pada awalnya merekapun adalah bangsa yang ditindas
dan diperbudak, tetapi karena kasih Allah, mereka akhirnya dibebaskan dari tanah perbudakan di
Mesir, haruslah dipakai sebagai titik tolak dalam membangun kehidupan bersama mereka.
Korupsi dan suap yang dipraktekan oleh para penguasa,yang dikecam oleh Amos, juga
merupakan salah satu akibat dari kepentingan individual dari para pemimpin, mereka
membelokkan hukum-hukum di pengadilan demi mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya
dan memperalat sesama demi kesenangan pribadinya. Ini pula yang dikecam oleh John Suart
Mill dalam membangun konsep keadilannya, bahwa tidak boleh ada orang lain yang dikorbankan
demi kebahagiaannya individual semata, tetapi seharusnya memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi semua anggotanya, terkhususnya kepada mereka yang paling kurang beruntung
dalam masyarakat seperti yang ditekankan oleh Rawls. Dalam sistem distribusi, ia menegaskan
bahwa tidak diperbolehkan seseorang memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan
sesamanya, tetapi harusnya bekerja sama dan saling memberi manfaaat.
124
Dari penjelasan yang ada, menurut saya, bahwa apa yang disampaikan oleh Amos dalam
konteks Israel adalah bagaimana menghargai hak asasi dari masing-masing individu sebagai
ciptaan Tuhan, yang seharusnya diperlakukan dengan adil, baik, dalam kehidupan bersama.
Diperlakukan dengan adil di sini yang saya maksudkan adalah tidak melakukan segala
kecurangan demi mengambil dan merampas hak milik para petani (Am. 2:6-8). Seperti halnya
Kai Nielsen, dalam menerapkan konsep keadilannya, menekankan bagaimana adanya moralitas
cinta akan sesama. Menurutnya, dengan adanya moralitas cinta akan sesama tersebut makatidak
akan ada kelas-kelas dalam warga masyarakat. Orang tanpa rasa cinta kepada sesamanya, sulit
untuk menerima dan menjalankan konsep keadilan ekualitas. Karena masyarakat yang adil
adalah menghargai dan menghormati akan orang lain sebagai sesama ciptaan Tuhan yang sama
derajatnya, meniadakan monopoli kekuasaan, kepentingan individual, perampasan hak, maupun
pemerasan dan penindasan akan sesama.
Kepentingan individual rupanya menjadi hal yang tidak begitu menjadi perhatian oleh
Amos dalam menyuarakan suara kenabiannya, ia lebih memilih untuk mementingkan
kepentingan bersama umat Israel dalam kehidupan bersama. Dengan demikian saya
berkesimpulan bahwa konsep keadilan yang dibangun oleh Nozick tidak sama dengan konsep
keadilan sosial dalam Amos 6:1-7. Sama halnya dengan konsep keadilan John Stuart Mill, yang
menekankan pada kebahagiaan bagi kelompok terbesar dalam masyarakat, lalu menjadi
pertanyaannya sekarang adalah dimanakah kelompok terkecil, apakah mereka diabaikan atau
dilupakan. Sebab dalam Amos, keadilan yang dimaksudkan adalah melihat semua orang itu
sebagai bagian dari umat Allah, dibebaskan dari perbudakan di Mesir, sehingga patut
diperlakukan dengan adil dan setara, tanpa ada keberpihakan kepada yang lain.
125
Berbeda dengan John Rawls, yang menjadikan kebebasan dan kesetaraan demi
kepentingan individu maupun kelompok (kepentingan bersama), walaupun ia lebih menekankan
kepada kelompok yang paling kurang beruntung atau kelompok kecil dalam masyarakat.
Menurut saya akan menjadi lengkap jika mampu menggabungkan antara pandangan dari John
Stuart Mill dan John Rawls, lalu membandingkannya dengan konsep keadilan sosial dalam
Amos 6:1-7. Atau seperti yang ditawarkan oleh Kai Nielsen, yang pada dasarnya melihat pada
konsep ekualitas atau keadilan egalitarianisme. Dalam konsep ekualitas Nielsen, masing-masing
individu mampu mengakses sumber-sumber penghidupan secara ekual: 1. setiap orang
mempunyai hak kebebasan dasar dan peluang partisipasi (ekonomi dan politik) yang ekual
dengan sesamanya; 2. beban dan hasil masyarakat ditanggung dan dinikmati secara ekual
menurut kemampuan dan kondisi personal setiap anggota masyarakat. 3. Dasar moralitas dari
konsep keadilan yang berdasarkan nilai ekualitas adalah cinta kepada sesama atau cinta
kemanusiaan. Implikasinya adalah bahwa orang yang tidak memiliki cinta kepada kemanusiaan,
tidak mungkin mau menerima dan mampu melaksanakan keadilan ekualitas.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa kesetaraan merupakan nilai yang penting dan
utama dari konsep keadilan Sosialis. Selagi masih ada penindasan, dominasi, dan eksploitasi
terhadap sesama maka selama itu juga masyarakat belum dapat dikatakan sebagai suatu
masyarakat yang adil, karena lebih mengutamakan kepentingan individu semata dan cenderung
mengabaikan solidaritas yang telah dibangun dalam kehidupan bersama. Namun, jika
penekanannya hanya semata pada kesetaraan, maka hal ini tidak dapat disamakan dengan konsep
keadilan sosial Amos 6:1-7, yang berangkat dari konteks masyarakat feodal, dimana pengakuan
akan kekuasaan raja sebagai yang tertinggi merupakan sesuatu yang wajar dan sah.
126
Sedangkan yang ditawarkan oleh Notohamidjojo, bahwa kebebasan seharusnya menjadi
bagian yang terpenting dalam kehidupan bersama, dimana setiap orang berhak untuk
diperlakukan setara dengan orang lain tanpa ada terkecuali, bahkan dalam distribusipun harus
demikian, setiap orang diberikan hak sesuai dengan kemampuannya. Bukan dengan sistem “pilih
kasih”. Dan dalam pendistribusian tersebut, harus dilindungi oleh hukum yang berlaku sehingga
jika ada kecurangan maka akan mendapatkan gancaran dan hukuman yang setimpal.
Bila dikaitkan dengan konteks dalam Amos 6:1-7, hukum sepertinya belum bisa menjadi
pelindung yang baik bagi warganya. Karena para pemimpin hukum masih mementingkan
kepentingan pribadinya, sehingga dengan mudah diberi dan menerima suap dari para kaum elit.
Sehingga hukum dapat diatur sesuai dengan keinginan mereka. Inilah yang dikecam oleh Amos
sebagai “pemerintahan kekerasan” (ay.3).
Menurut saya, konsep keadilan dari Karen Lebacqz, yang menekankan pada peran
pembebasan, yakni menegakan keadilan dengan cara membebaskan warga masyarakat dari
penindasan dan ketidakadilan. Ada hal menarik dari konsep keadilan Lebacqz, yakni mendekati
konsep keadilannya dari pengalaman-pengalaman mereka yang mengalami ketidakadilan
tersebut, karena bagi saya, langkah yang digunakan Lebacqz merupakan suatu langkah yang
sangat baik dan cocok dalam membangun suatu konsep keadilan karena suara dan pengalaman
mereka mengenai ketidakadilan dan keadilan bersumber dari pengalaman yang nyata, bukan
hanya sekedar konstruksi akal-budi belaka. Bagaimana jika hal ini dilihat dalam konsep keadilan
sosial Amos 6:1-7, menurut saya ada hal yang sama di situ yakni, melihat dari konteks sejarah
politik bangsa Israel, yang awalnya bergabung dengan Yehuda menjadi satu kerajaan besar tapi
pada akhirnya memisahkan diri dan membentuk satu kerajaan sendiri yakni Israel (Utara) karena
merasa diperlakukan dengan tidak adil oleh sistem kekuasaan dinasti Daud yang menjadikan
127
Yerusalem dan Sion sebagai sentral pemeritahan dan ibadah. Bukan hanya sekedar itu saja, tetapi
umat Israel juga diperlakukan dengan tidak adil oleh pemerintahan Salomo yang dianggap
sebagai Firaunnya bangsa Israel, yang menegakan sistem kerja paksa serta memungut pajak yang
besar dari masyarakat, mengakibatkan penderitaan yang teramat besar bagi bangsa Israel, mereka
harus rela menjual segalah yang dimiliki bahkan diri mereka demi memenuhi kebutuhan hidup
dan membyar pajak tersebut.
Menurut saya, seharusnya ini menjadi pengalaman yang baik bagi mereka untuk
membangun satu kehidupan bersama yang damai, adil, dan tenteram seperti yang diharapkan
sebelumnya ketika memisahkan diri dari Yehuda, yakni mendatangkan kesejahteraan dan
kemakmuran bagi seluruh umat bukan sebaliknya mereka yang kuat justru menjadi penjajahpenjajah dan penindas yang baru dalam masyarakat, sehingga memperbudak mereka yang lemah
dan miskin dalam masyarakat.
4.4. KESIMPULAN
Seruan dan protes para nabi terhadap berbagai bentuk tindakan ketidakadilan sosial pada
zaman Perjanjian Lama bukanlah hal yang baru di telinga kita. Mereka secara keras, dan tegas
mengecam berbagai tindakan yang penuh dengan ketidakadilan dan penindasan, diskriminasi,
perampasan hak hidup orang lain, penyuapan terhadap hakim-hakim di pengadilan, monopoli
tanah, perbudakan terhadap kaum yang lemah dalam masyarakat, semua bentuk ketidakadilan
sosial ini bukan dilakukan oleh bangsa luar tetapi dilakukan oleh mereka yang tidak lain adalah
sesama sebangsa mereka.
Keadilan sosial yang dibicarakan oleh Amos adalah, ketika kita menganggap orang lain
sebagai sesama ciptaan Tuhan yang seharusnya diperlakukan dengan adil, tidak ada lagi
128
perampasan hak asasi atau hak hidup dari sesama, hidup jujur (melakukan yang baik dan jauhi
yang jahat), dengan tujuannya adalah dalam kehidupan bersama, adanya sikap solidaritas dengan
orang lain, menghargai hak milik, sehingga penindasan yang berujung pada perbudakan kepada
orang lemah dapat dihindari.
Solidaritas dalam suatu komunitas bersama adalah ketika di dalamnya keadilan dan
kesetaraan dijunjung tinggi dan mampu untuk diterapkan. Kesetaraan dan keadilan bagi semua
umat memang menjadi perhatian utama dari Amos, dengan merombak struktur yang ada dalam
masyarakat Israel yang penuh dengan ketidakadilan sosial dan penindasan kepada mereka yang
lemah dan miskin dalam masyarakat. Dengan merombak struktur kekuasaan yang ada bukan
berarti, untuk melawan mereka yang kaya atau para elit semata, tetapi perjuangan tersebut demi
mereka yang lemah dan tertindas.
Perjuangan untuk melawan mereka yang mengalami ketidakadilan sosial demi suatu
kehidupan yang adil, damai, dan tenteram, bukan tenteram yang hanya kelihatan dari luarnya
saja, tetapi ketenteraman yang sejati, yang mampu diwujudkan dalam kehidupan yang adil
dengan sesama ciptaan Tuhan. Dalam Amos 6:1-7, digambarkan bahwa kondisi Israel pada
waktu itu, hidup dalam kondisi yang makmur dan tenteram. Namun rupanya kemakmuran dan
ketenteraman tersebut, hanya menjadi milik individu-individu dari para penguasa. Ketenteraman
tersebut dilihat oleh nabi Amos, bahwa ketenteraman tersebut rupanya dibangun di atas
penderitaan dan kekerasan terhadap orang miskin dan yang lemah, oleh karena itu penghukuman
dari Allah tidak akan luput dari mereka.
Menurut saya, dari setiap konsep keadilan yang dibangun oleh masing-masing tokoh
tidak pernah terlepas dari konteks di mana ia berada dan menggumuli akan persoalan dalam
129
masyarakat. Sehingga tidak heran jika dalam pemaparannya, terkadang berbeda antara satu
dengan lainnya. Lebacqz, menggambarkannya dengan enam peneliti buta yang meneliti seekor
gajah, dan menghasilkan pandangan berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Sehingga ketika
membandingkannya dengan konsep keadilan sosial yang ada dalam kitab Amos 6:1-7, ada yang
sangat bertentangan tetapi ada juga yang memiliki kemiripan.
Bagi saya, yang utama bukan untuk mencari mana yang benar dan mana yang salah
tetapi, bagaimana kita dapat memahami akan konsep keadilan ini dengan baik, sehingga bukan
untuk mencari kekurangan dari masing-masing teori karena masing-masing teori berbeda
konteksnya. Amos yang berangkat dari kehidupan masyarakat agraris dengan sistem
pemerintahan yang hierarki, tentu akan berbeda dengan para tokoh teori keadilan yang bertolak
dari kehidupan modern, dengan sistem pemerintahan yang demokrasi, dengan menjunjung tinggi
akan kebebasan dan kesetaraan. Namun yang menjadi poin pentingnya adalah mereka samasama berbicara dan mengangkat mengenai persoalan keadilan yang tujuannya adalah
mendatangkan kehidupan bersama yang adil, damai, dan tenteram.
Keadilan akan tercapai bukan hanya sekedar dengan semakin banyaknya teori atau
ideologi semata tetapi bagaimana sikap empati, keberpihakan, kepedulian, serta berani untuk
merasakan apa yang mereka rasakan. Dengan demikian, kita akan mampu memahami keadilan
yang sesungguhnya seperti apa, dan mampu untuk menentukan langkah apa yang tepat untuk
memperjuangkan suara dari mereka yang mengalami ketidakadilan.
130
Download