1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Terpenjara dalam Pelestarian Wacana Anti-Komunis Peristiwa tragedi G 30 S adalah sebuah realitas dari sejarah bangsa Indonesia yang masih menjadi subyek interpretasi yang kontroversial dan penuh dengan misteri. Berbagai versi muncul berkaitan dengan siapakah dalang di balik peristiwa G 30 S?1 Siapakah aktor kunci di balik misteri tragedi G 30 S? Namun demikian, versi resmi “Orde Baru” yang telah memvonis PKI sebagai dalang satu-satunya di balik G 30 S, masih terus membelenggu memori kolektif sebagian masyarakat bangsa ini. Implikasinya, bangsa ini terus “terpenjara” dalam ingatan sejarah masa silam yang kelam dan terus menerus hidup dalam sebuah relasi yang “sakit” (abnormal). Kini ideologi Komunis telah dilarang hidup di Indonesia,2 tokoh-tokoh elit PKI telah dihukum mati atau dihukum seumur hidup,3 dan ratusan ribu orang yang dituduh sebagai pengikut PKI juga telah dipenjarakan selama puluhan tahun. Tapol laki-laki sebagian besar dibuang di pulau Buru, sedangkan para tapol wanita ditahan di 1 Admadji Sumarkidjo, Mendung Di Atas Istana Merdeka (Jakarta: Mitra Hardhasuma), hlm 15-22, menjelaskan ada enam versi pelaku G 30 S yaitu: (1). Pelaku G-30-S adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Versi ini adalah versi resmi yang dipegang oleh pemerintah RI. Ada dua buku resmi yang dianggap sebagai patokan yaitu tulisan Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh, The Coup Attempt of the September 30 Movement in Indonesia, 1968, (2.) G-30-S adalah persoalan internal TNI AD. Masalah G-30-S adalah persoalan TNI AD yang dilakukan oleh sekelompok perwira TNI yang tidak puas dengan pimpinan-pimpinannya. (3) Versi Presiden Soekarno sebagai dalang Pemberontakan. Versi ini muncul dari gerakan mahasiswa yang tidak puas dengan langkah pemegang Surat Perintah Sebelas Maret yaitu Jendral Soeharto yang tidak menangkap Presiden Soekarno (4) Versi yang menyatakan Soeharto sebagai dalangnya. Versi ini muncul semenjak adanya Cornell Paper. Ada dua asumsi yang mendasari versi ini. Pertama, adanya pertemuan Kolonel (inf) A. Latief dengan Mayjen Soeharto di RSPAD. Kedua, mengapa Mayjen Soeharto tidak ikut diculik bersama para jendral yang lain. (5). Versi yang menyatakan bahwa G-30-S digerakkan oleh kekuatan dinas intelejen luar negeri antara lain, CIA, Inggris dan China. (6.) Versi G-30-S terjadi karena kombinasi dari berbagai kepentingan dan pihak, baik itu PKI, negara-negara Barat maupun TNI-AD. Dalam suasana perang dingin dua negara adidaya yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet, sudah barang tentu punya kepentingan dengan Indonesia, karena secara geo-strategi amat vital bagi mereka. 2 Sejak diberlakukannya Tap MPRS No. 25/Tahun 1966, ideologi komunis/marxis/leninisme dilarang hidup di Indonesia. 3 Buletin Tapol No. 80, April 1987, menyatakan ada 426 orang yang dikategorikan ke dalam kelompok A (mereka yang terlibat dalam gerakan 30 September) diadili, sebagian dihukum mati dan sisanya dipenjarakan seumur hidup. 2 Plantungan.4 Namun demikian, stigmatisasi sosial sebagian masyarakat terhadap eksPKI dan keturunannya masih terus hidup, bahkan setelah Orde Baru runtuh dan diganti dengan Era Reformasi.5 Hal itu berarti bahwa bukan hanya regim militer Soeharto yang berhasil melanggengkan discourse anti-komunis, tetapi juga berbagai kelompok lain berkepentingan untuk melestarikan discourse tersebut. Sebagai contoh, pada akhir bulan September 2005, beberapa organisasi Islam seperti FPI (Front Pembela Islam), GPI (Gabungan Pemuda Islam), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), PPI (Persatuan Pelajar Islam) masuk ke dalam kantor kehakiman dengan berteriak-teriak, “PKI musuh Islam” dan membawa sepanduk yang bertuliskan “Crush the PKI”. Eka Jaya, koordinator FPI Jakarta, mengatakan, kehadiran mereka di kantor pengadilan bertujuan menuntut agar pengadilan tidak mengabulkan tuntutan rehabilitasi dan kompensasi dari eks-anggota PKI.6 Meskipun komunis/marxisme telah “diharamkan” hidup di Indonesia, namun jiwa komunisto phobia ternyata masih melekat dalam memori beberapa kelompok masyarakat di Indonesia. Reaksi penolakan paling keras untuk bertoleransi terhadap 4 Plantungan adalah desa terpencil di lereng utara pegunungan Dieng dan pegunungan Perahu di wilayah Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Menurut peta kuno yang dibuat abad 18, Plantoengan tercatat sebagai gezondheidsetablissement atau, ‘tempat kesehatan’. Sejarah Plantungan mulai ditulis saat di Hindia Belanda berkembang penyakit kusta, ‘hantu’ menakutkan bagi setiap orang baik pribumi maupun Eropa sehingga penguasa mengambil alih pola penanganan penyakit ini. Tujuannya, mengasingkan secara paksa para penderita kusta. Mereka dimasukan ke dalam koloni-koloni terpencil yang dinamakan leprozie. Untuk wilayah Jawa pemerintah kolonial menetapkan Plantungan sebagai tempat kesehatan, karena tempatnya sepi dan sulit dijangkau. Zaman berganti, tapi otak dan pemikiran kolonial tetap hidup. Melalui Kopkamtib orang-orang yang dituduh komunis ditangkap, ditahan semena-mena tanpa proses pengadilan. Mereka digolong-golongkan berdasar abjad. Sekitar 1500-an perempuan yang sebagian besar berumur belasan tahun direbut kebebasannya atas persangkaan yang tidak jelas. Hari-hari getir selama 15 tahun mereka lalui di bawah pengawasan tentara. Memang, sejarah selalu berulang, bukan dalam kejadian tetapi dalam cara kerja pikiran. Plantungan adalah sebuah memorabilia dari kedunguan berfikir sebuah regim pasca kolonial yang bekerja dengan tindakan sadar menggunakan pola-pola kolonial. Lihat, Buletin Ruas, Edisi XX, Tahun III, 2006, hlm. 6-7 5 Harus diakui bahwa ada perubahan perlakuan pemerintah terhadap Tapol PKI pada masa Reformasi di antaranya, pada masa pemerintahannya, BJ Habibie membebaskan 10 tahanan politik terkemuka G 30 S dan juga menghentikan ritual pemutaran film G 30 S. Sementara semasa pemerintahannya, Gus Dur juga telah membuat berbagai kebijakan di antaranya: menyampaikan permintaan maaf pada korban G 30 S, membubarkan Bakorstanas, menghentikan praktek Litsus, penyaringan ideologis ketika menyeleksi calon pegawai negeri, menganjurkan pencabutan TAP MPRS 25/1966. Namun usulan Gus Dur mencabut Tap MPRS 25/1966 tersebut justru mendapatkan kontroversi yang berujung dilengserkannya ia dari jabatan Presiden. 6 J. Soedjati Djiwandono, “Forty Years Since the Day that Changed” The Jakarta Post, Friday, September 30, 2005, hlm. 3. 3 komunis dan komunisme terutama muncul dari kelompok Islam. Karena itu, dalam pembahasan tentang penolakan gagasan “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk Korban 1965,” penulis lebih memfokuskan pada reaksi keras dari sebagian kelompok Islam. 1. 2. Latar Belakang Masalah Masyarakat dibentuk oleh relasi dan interaksi di antara manusia yang satu dan lainnya. Masyarakat adalah suatu produk dari manusia, sebaliknya manusia juga merupakan produk dari masyarakat. Ada proses dialektik dalam pembentukan masyarakat maupun manusia. Sebagaimana dijelaskan oleh pakar sosiologi Peter L Berger, Masyarakat adalah suatu fenomena dialektik dalam pengertian bahwa masyarakat adalah suatu produk manusia, lain tidak, yang akan selalu memberi tindak balik kepada produsernya. Masyarakat tidak mempunyai bentuk lain, kecuali bentuk yang telah diberikan kepadanya oleh aktivitas dan kesadaran manusia. Realitas sosial tidak terpisah dari manusia, sehingga dapat dipastikan bahwa manusia adalah suatu produk masyarakat. Setiap biografi individu adalah suatu episode di dalam sejarah masyarakat yang sudah ada sebelumnya serta akan terus berlanjut sesudahnya. Masyarakat sudah ada sebelum individu dilahirkan dan masih akan ada sesudah mati. Lebih dari itu, di dalam masyarakatlah, dan sebagai hasil dari proses sosial, individu menjadi sebuah pribadi, ia memperoleh dan berpegang pada suatu identitas, dan ia melaksanakan berbagai proyek yang menjadi bagian kehidupannya. Manusia tidak bisa eksis terpisah dari masyarakat. Kedua pernyataan itu, bahwa masyarakat adalah produk manusia dan manusia produk masyarakat, tidaklah berlawanan. Sebaliknya keduanya menggambarkan sifat dialektik inheren dari fenomena masyarakat... Proses dialektik fundamental dari masyarakat terdiri dari tiga momentum yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Melalui eksternalisasi, maka masyarakat merupakan produk manusia. Melalui obyektivasi, maka masyarakat menjadi sui generis, unik. Melalui internalisasi, maka manusia merupakan produk masyarakat.7 Dengan demikian, sebuah masyarakat dapat diciptakan oleh aktivitas dan kesadaran manusia, demikian sebaliknya masyarakat juga dapat memberikan pengaruh bagi terbentuknya manusia sebagai sebuah individu. Sehingga manusia merupakan produk masyarakat. Pembentukan itu terjadi melalui proses internalisasi nilai-nilai. Pemikiran yang berjiwa komunisto phobia tentu tidak tumbuh dengan sendirinya, melainkan melalui proses penyemaian dan penaburan benih-benih oleh 7 Peter L. Berger, Langit Suci, Agama Sebagai Realitas Sosial (Jakarta: LP3S, 1991), hlm. 3-4. 4 rezim ORBA yang berkuasa selama 32 tahun dan kelompok-kelompok anti-komunis. Beberapa tindakan politis yang dilakukan ORBA dan kelompok anti-komunis mengindikasikan upaya pembentukan masyarakat yang anti-komunis. Beberapa kebijakan politis tersebut di antaranya: Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang diadakan bagi anak-anak sekolah dan juga pegawai sipil maupun militer adalah salah satu alat indoktrinasi dari generasi ke generasi. Melalui penataran P4 proses internalisasi terjadi dan selanjutnya nilai-nilai anti-komunis terpelihara dalam masyarakat. Menurut Berger, proses internalisasi nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat akan membentuk suatu tradisi yang menjamin kelestarian masyarakat itu sendiri.8 Jiwa komunisto phobia yang ditabur oleh penguasa ORBA dan kelompok-kelompok anti-komunis, telah terinternalisasi dalam diri sebagian masyarakat Indonesia. Proses internalisasi itu semakin efektif manakala diteruskan dengan dibangunnya proses legitimasi. Proses legitimasi adalah penting untuk menjamin keberlangsungan sebuah tatanan sosial. Proses legitimasi adalah “pengetahuan yang diobyektivasi secara sosial yang bertindak untuk menjelaskan dan membenarkan tatanan sosial.”9 Legitimasi-legitimasi tatanan sosial dapat berupa sejarah dan aturan-aturan hukum yang diciptakan, bahkan agamapun dapat menjadi alat legitimasi yang ampuh untuk melestarikan nilai-nilai sebuah tatanan sosial. “Agama secara historis merupakan instrumentalis yang tersebar dan efektif.”10 Melalui legitimasi religius tatanan-tatanan yang dibuat oleh manusia diberi status ontologis yang absah.11 Dalam peradaban Asia Timur legitimasi-legitimasi mitologis ditransformasi menjadi kategori-kategori filosofis dan teologis. Legitimasi religius ini menjadikan realitas manusia sebagai bagian dari realitas ilahi yang universal dan keramat. Berger menjelaskan, 8 Ibid, hlm. 20. Ibid, hlm. 36. 10 Ibid, hlm. 40. 11 Salah satu legitimasi religius dari kelompok Islam yang menjadi landasan pembenaran pembantaian terhadap PKI adalah pemahaman bahwa komunis adalah ateis dan ateis adalah kafir sehingga dihalalkan darahnya. Perjuangan melawan komunis adalah perjuangan “muslim” melawan “kafir”. 9 5 Bagian agama yang secara historis penting dalam proses legitimasi menjadi jelas kalau disadari adanya kemampuan unik agama untuk ‘menempatkan’ fenomena fenomena manusia di dalam suatu konteks acuan kosmik. Semua legitimasi bertindak memelihara realitas yaitu realitas yang didefinisikan sebagai kolektivitas manusia tertentu. Legitimasi religius menghubungkan realitas yang didefinisikan secara manusia dengan realitas purna yang universal dan keramat.12 Melalui legitimasi religius, konsepsi hubungan antara masyarakat dan kosmos diyakini sebagai hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos. Dengan demikian, legitimasi religius menghubungkan realitas yang didefinisikan secara manusiawi dengan realitas purna yang universal dan keramat. Konstruksi-konstruksi aktivitas manusia yang secara inheren rawan dan bersifat sementara mendapat semacam kemantapan dan ketetapan purna. Dengan kata lain, nomos-nomos yang dibangun secara manusiawi diberi status kosmik.13 Legitimasi religius menjadikan realitas manusiawi menjadi bagian dari realitas ilahi yang dianggap universal dan sakral. Legitimasi religius menjadi suatu alat / landasan pembenaran yang ampuh dan efektif. Untuk menciptakan masyarakat anti-komunis, penguasa ORBA dan kelompokkelompok anti-komunis, berusaha menginternalisasikan jiwa anti-komunis melalui berbagai cara, diantaranya melalui legitimasi “ideologis dan teologis.”14 Legitimasi teologis semakin memberikan pembenaran bagi masyarakat untuk melawan komunis dan komunisme. Beberapa upaya yang dilakukan oleh penguasa ORBA dan kelompok anti-komunis untuk membentuk masyarakat yang memiliki jiwa anti komunis di antaranya melalui: 1. 2. 1. Penulisan Narasi “Buku Putih” 12 Ibid, hlm. 43. Ibid, hlm. 44. 14 Legitimasi ideologis dan teologis yang diangkat oleh Orba dan kelompok anti-komunis adalah bahwa komunis bertentangan dengan ideologi Pancasila, dimana sila pertamanya adalah “Ketuhanan yang MahaEsa”, sedangkan komunis dikatakan sebagai ateis dan kafir. Legitimasi tersebut menjadi landasan pembenaran bagi tindakan kekerasan terhadap komunis, bahkan kemenangan atas komunis secara ideologis dianggap sebagai pahlawan bangsa yang berhasil mempertahankan ideologi Pancasila. Sedangkan secara teologis/religius adalah kemenangan kebenaran atas kemungkaran atau orang beriman atas kekafiran. 13 6 Dibangunnya narasi “Buku Putih” tentang G 30 S/PKI 1965, bukan mustahil bertujuan untuk menginternalisasi dan mengindoktrinasi setiap warga negara Indonesia bahwa PKI-lah dalang satu-satunya dari G 30 S, dan bahwa sejak berdirinya PKI memang selalu mencoba melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah. Dalam bab pertama “Buku Putih” menyatakan sebagai berikut, Dilihat dari seluruh latar belakang sejarahnya, aksi G 30 S PKI (Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia) dapat dibagi dalam tiga fase: pertama, aksi subversif untuk melakukan infiltrasi ke dalam organisasi lain dan melemahkan kesetiaan rakyat pada pemerintah, yang terjadi mulai dari tahun 1954 higga 1965; kedua, upaya kudeta untuk menjatuhkan pemerintah pada bulan Juli hingga Oktober 1965; dan akhirnya, pemberontakan bersenjata menentang pemerintah Indonesia yang sah, yang berlangsung dari tahun 1966 hingga 1968. Aksi pembasmian G30S/PKI dilaksanakan melalui cara-cara: pertama, secara fisik, yaitu dengan menghancurkan para pemimpinnya, struktur partai, dan organisasi-organisasi bersenjatanya; kedua, secara konstitusional, yaitu dengan menyatakan Komunisme, Marxisme/Leninisme sebagai ajaran terlarang, dan ketiga, secara ideologis, yaitu dengan menyelenggarakan pertemuan raya nasional tentang Kewaspadaan Nasional.15 Narasi seperti itu, menurut Budiawan bertujuan untuk meyakinkan rakyat, bahwa PKI-lah dalang pembunuhan terhadap enam perwira tinggi pada tanggal 30 September 1965. Selanjutnya untuk menjustifikasi klaim semacam itu, “Buku Putih” menarasikan “sejarah PKI” sejak berdirinya 1920-an sampai antiklimaksnya 1960-an. Buku putih itu berupaya menunjukkan bahwa sejak awal berdirinya PKI selalu ingin memberontak, bahkan setelah upaya kudeta yang gagal 1965, PKI digambarkan melancarkan pemberontakan bersenjata 1966-1968.16 1. 2. 2. Propaganda Paham Komunis sebagai Ateis Propaganda Orba dan kelompok anti-komunis bahwa komunis adalah ateis, musuh agama dan bertentangan dengan Pancasila, sengaja diangkat untuk menempatkan komunis dan agama saling berhadap-hadapan secara diametris. Hal ini nampak jelas 15 Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya ( Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994), hlm. 4-5. 16 Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi PascaSoeharto (Jakarta: Elsam, 2004), hlm. 22. 7 dalam pandangan Nugroho Notosusanto dalam buku Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia, Siapakah gerangan musuh-musuh PKI itu? Berdasarkan ideologi yang nyata, maka golongan-golongan agama dianggap lawan PKI yang utama. Namun PKI memandang Angkatan Darat sebagai musuhnya yang terpenting, bukan hanya karena Angkatan Darat merupakan ancaman fisik bagi partai, akan tetapi juga disebabkan alasan-alasan ideologi. Pendapat yang hidup dalam Angkatan Darat menganggap komunisme sebagai bertentangan dengan ideologi negara yaitu Pancasila. Komunisme melambangkan pertentangan kelas dan penumbangan setiap tata hidup yang non-komunis. Pancasila melambangkan kegotongroyongan serta toleransi. Dan salah satu dari lima sila Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan komunisme melambangkan ateisme17 Pemahaman semacam ini juga menempel lekat dalam pandangan beberapa kelompok masyarakat, secara khusus sebagian kelompok Islam yang sangat keras menentang gagasan “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi eks-PKI.” Semisal ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI, mengusulkan akan mencabut TAP MPRS/25/1966, reaksi dari tokoh berbagai kelompok Islam membadai, isu protes dan penolakan seringkali berlandaskan pada pemahaman komunis sebagai haram dan bertentangan dengan sila pertama Pancasila. Sebagai contoh argumen DDI (Dewan Dakwah Islamiyah) Indonesia, menyatakan bahwa hukumnya haram bagi muslim menjadi pengikut komunisme, mereka yang mengikuti ideologi itu dianggap kafir. Jika Gus Dur berkeinginan mencabut TAP MPRS tersebut, ia harus terlebih dahulu mencabut sila pertama Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa” karena cukup jelas bahwa komunis ateis tidak mengakui sila pertama Pancasila.18 Jadi bukan hal yang mengejutkan jika sampai saat ini beberapa kelompok Islam yang anti-komunis ketika berdemontrasi, seringkali memakai slogan, “PKI sebagai musuh Islam, Crush PKI.” Meskipun perjuangan utama marxisme adalah perlawanan terhadap kapitalisme, bukan agama. Bahkan di era awalnya, pimpinan-pimpinan PKI adalah seorang muslim yang sangat taat. Dua basis utama PKI pada masa-masa awal 17 Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh, Tragedi Nasional Percobaan KUP G 30S/PKI di Indonesia (Jakarta: Intermasa, 1989), hlm. 2. 18 Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca Soeharto, hlm. 65. 8 adalah Banten dan Sumatera Barat, dimana tradisi Islam lebih puritan dibanding Jawa. Pimpinan-pimpinan yang muslim ini, tidak hanya simpati pada komunisme, mereka berusaha “mengagamakan” komunisme (mengislamkan komunisme).19 Banyak pemimpin komunis Indonesia pada masa-masa awal, seperti Tan Malaka berpendapat bahwa Islam bisa dipakai untuk tujuan revolusioner. Sementara yang lainnya, seperti Haji Misbach di Surakarta dan Haji Achmad Khatib di Banten bahkan menegaskan tidak ada ketidaksesuaian yang mendasar antara Islam dan Komunisme.20 Dalam perjuangan mereka melawan Kolonialisme yang dianggap juga sebagai Kapitalisme, baik Islam maupun Komunis sama-sama berjuang bagi pergerakan rakyat. Beberapa pimpinan PKI yang berlatar-belakang Muslim yang taat bahkan menggunakan ayat-ayat Quran bagi propaganda melawan kolonialisme dan kapitalisme. Dengan itu PKI mengalami perkembangan yang cukup pesat, karena ia bisa menerima tradisi Islam di Indonesia. Memang pada saat itu ada beberapa kelompok Islam yang menjadi oposisi terhadap PKI seperti Muhamadiyah, Persyarikatan Ulama, Persatuan Islam dsb. Pertentangan dengan Muhamadiyah bersifat “politis”dan “religius”. MuslimPKI menganjurkan aksi langsung untuk mengenyahkan regim kolonial Belanda, Muhamadiyah meskipun tidak kurang anti-kolonialnya, tidak mau melibatkan diri di dalam aksi serupa. Pokok pertentangan antara muslim Muhamadiyah dan muslim Komunis (yang mendukung dan didukung PKI), terutama pada perihal menjadi muslim sejati. Misbach berpendapat bahwa Islam “sejati” hanyalah Islam yang bergerak menentang dan melawan kapitalisme dan kolonialisme, sementara Muhamadiyah menganggap tak seorangpun muslim sejati yang bisa menerima komunisme. Alasan mendasar bagi kalangan muslim anti-Komunis adalah adanya keyakinan bahwa pada prinsipnya komunisme berlawanan dengan Islam.21 Legitimasi religius semacam ini 19 Ibid, hlm. 87. Ibid, hlm. 89. 21 Mitsuo Nakamura, The Crescent Arises over the Banyan Tree; A Study of Muhamadiyah Movement in a Central Java Town (Yogyakarta: Gajah Mada University Press), hlm. 68. 20 9 menjadi landasan yang semakin kokoh dan efektif untuk melawan komunis dan komunisme. Propaganda-propaganda komunis sebagai ateis, bertentangan dengan Pancasila, dan bersifat pemberontak, telah menutup pemahaman yang lebih obyektif dan jujur pada PKI. Sejarah mencatat bahwa tidak semua pengikut Partai Komunis sebagai ateis. 1. 2. 3. Penulisan Sejarah Ala Penguasa ORBA Sebuah regim dapat membangun legitimasinya melalui penulisan sejarah. Itulah sebabnya pengendalian sejarah oleh regim adalah salah satu tindakan yang dianggap penting untuk membangun legitimasi regim yang berkuasa. Di Indonesia pada era Orde -Baru, peran militer, khususnya Angkatan Darat sangat menonjol. Mereka menjadi “dapur” untuk mengolah dan mencetak sejarah resmi yang kemudian dijadikan bahan utama pengajaran sejarah di sekolah-sekolah. Sejarah resmi merupakan sejarah institusi negara. Demikian juga sejarah yang berkaitan dengan peristiwa G 30 S /PKI, dengan tekanan pada PKI sebagai dalang utamanya, adalah merupakan versi sepihak dari regim Orde Baru. Versi tersebut yang ditanamkan kepada masyarakat sejak seseorang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Versi yang secara resmi dan umum tersebut, dipaparkan secara ringkas dan jelas oleh Baskara sebagai berikut, Pada tanggal 30 September 1965, melalui Pasukan Cakrabirawa, PKI telah melancarkan kudeta dengan jalan membunuh tokoh-tokoh tertinggi militer Indonesia di Jakarta. Begitu kejamnya orang-orang PKI itu, sehingga enam orang Jendral plus seorang Kapten telah menjadi korban (Dalam salah satu operasi penangkapan, seorang Jendral berhasil lolos dari upaya itu, tetapi putrinya tewas secara mengenaskan ditangan PKI). Kekejaman PKI berlanjut di Lubang Buaya, dengan jalan menyayat-nyayat tubuh para Jendral. Sekelompok perempuan yang tergabung dalam organisasi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) bahkan memotong alat-alat vital para Jendral itu, sambil menari-nari di tengah orgi yang disebut “pesta harum bunga”. Mata sebagian korban juga dicungkil dengan alat khusus. Menurut versi resmi ini, karena PKI dipandang sebagai satu-satunya “dalang” dari peristiwa keji tersebut, maka “sudah selayaknya” bahwa ratusan ribu anggota PKI di manapun mereka berada, dikejar dan dibunuh secara beramai-ramai. Pantas pula peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 itu disebut sebagai “G 30 S/PKI” dengan tekanan pada “PKI”-nya, karena PKI merupakan pelaku utama. Juga tepat kalau istilah yang dipakai adalah istilah “Gestapu” (Gerakan September Tigapuluh). PKI juga layak ditumpas karena sebelumnya mereka telah dua kali “memberontak” (tahun 10 1926/27 dan 1948), dan ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi komunis yang ateis. Masih menurut versi di atas, siapapun yang telah berhasil “menyelamatkan” negara dan bangsa ini dari kaum komunis dengan jalan memimpin operasi pembantaian dan pemenjaraan massal atas mereka, “berhak” menjadi pemimpin tertinggi Republik Indonesia. Tanpa kepemimpinannya (dan orang-orang dekatnya) negeri ini akan terus menerus berada di bawah rongrongan kaum komunis yang kejam.22 Selanjutnya, terlepas dari orang setuju atau tidak setuju dengan PKI, atau apakah sebenarnya PKI bersalah atau tidak, faktanya adalah bahwa hanya kisah-kisah resmi versi militer yang memojokkan PKI yang waktu itu boleh beredar. Bahkan ketika anggota TNI AD yang ditugaskan sebagai wartawan kantor berita Antara meliput kekejaman terhadap PKI, ia malah “di-PKI-kan” dan dijebloskan ke penjara selama bertahun-tahun. Slogan yang beredar di masyarakat adalah “membunuh atau dibunuh.” Akibatnya, rakyat mudah disulut untuk melakukan tindakan massal dalam rangka menghabisi para anggota PKI atau yang diduga PKI, persis slogan militer dalam perang. Pembunuhan massalpun terjadi, dan bagaikan perang Baratayudha bangsa Indonesia “mandi darah” saudara sendiri. Pembunuhan itu diikuti pula dengan pemenjaraan massal di Jawa maupun di luar Jawa, dan kebanyakan tanpa didahului proses pengadilan. Selanjutnya, ingatan akan apa yang terjadi pada tahun 1965, terus-menerus diproduksi dan direproduksi, supaya terinternalisasi secara mendalam dalam ingatan rakyat Indonesia.23 Dengan penulisan sejarah dari versi resmi tersebut penguasa ORBA membangun legitimasinya yaitu sebagai penyelamat bangsa dari kekejaman PKI, sehingga berhak menjadi pemimpin tertinggi Republik Indonesia ini. 1. 2. 4. Politisasi Budaya Kekerasan Melawan PKI Selama kurun waktu regim Orde Baru berkuasa, nampaknya dengan sengaja dibangun budaya (baca: nilai-nilai) kekerasan dalam masyarakat dengan menciptakan wacana “adu domba” antara komunis dan anti komunis. Penciptaan wacana semacam 22 Baskara T. Wardaya. SJ, Makalah Untuk Seminar “Rekonsiliasi dan Rekonstruksi Tragedi 1965-1966 di Pusdep Universitas Sanata Darma, 22 Oktober 2005, hlm. 2. 23 Ibid, hlm. 8. 11 ini membawa bangsa Indonesia pada lingkaran kebencian dan kekerasan, karena rakyat senantiasa diperhadapkan dengan politik kekerasan untuk saling berhadapan secara diametris, secara khusus kelompok “agama” dan “komunis”. Penanaman budaya kekerasan tersebut telah mampu melumatkan budaya rukun yang sebenarnya telah menjadi bagian dari budaya bangsa, sebagaimana ungkapan yang populer “rukun agawe santosa, crah agawe bubrah.” Meskipun sebenarnya eksistensi PKI telah dibabat baik secara politis, ideologis, maupun organisatoris, namun PKI seringkali masih dijadikan kambing hitam dari berbagai kekerasan yang terjadi di Bumi Pertiwi. 1. 2. 5. Ritual Pemutaran film G 30 S Setiap tahun sejak tahun 1988 diadakan semacam “ritual” pemutaran film G 30 S/PKI di TVRI. Film tersebut merupakan visualisasi kekejaman yang dilakukan oleh PKI. Tujuan penayangannya kepada seluruh rakyat Indonesia, baik lewat TV maupun di gedung-gedung bioskop adalah untuk menumbuhkan ingatan terhadap kekejaman yang dilakukan PKI. Pembuatan dan pemutaran film yang berjudul Pengkhianatan G 30 S/ PKI, karya Arifin C. Noor pada tahun 1980-an hingga 1990-an merupakan contoh dari produksi dan re-produksi ingatan terhadap peristiwa 1965. Dalam film yang berat sebelah dan bernada propaganda itu, divisualisasikan kekejaman yang terjadi dinihari 1 Oktober 1965, yang menurut film tersebut jelas-jelas dilakukan oleh PKI.24 Akankah bangsa ini “terpenjara” dan “terpaku” sampai karatan dalam kenangan pahit sejarah masa silam yang kelam? Tidak adakah kerinduan dari bangsa ini, yang mengklaim sebagai negara yang beragama, untuk saling memaafkan? Akankah kita terus hidup dalam lingkaran kebencian dan dendam, dengan mereka yang dituduh sebagai PKI atau eks-PKI? Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut munculah gagasan tentang pentingnya “Rekonsiliasi Nasional”. Di Indonesia keputusan membentuk KKR (Komisi Kebenaran 24 Ibid, hlm. 9 12 dan Rekonsiliasi) telah diundangkan, dan saat ini sedang menggodok/menyeleksi orangorang yang akan duduk dalam komisi tersebut. Namun prosesnya sangat lambat dan hampir dapat dipastikan akan kehilangan momen. Hal itu mengindikasikan bahwa sampai saat ini belum ada political will dari pemerintah untuk menyelesaikan sejarah kelam masa silam yang penuh penindasan dan pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Melihat realitas kasus kasus kekerasan yang selalu menjadi misteri, dari kasus pembantaian terhadap PKI pasca G 30 S /1965, kasus 27 Juli 1997, kasus Mei 1998 dan banyak kasus lainnya, nampaknya kita tak bisa berharap banyak dari KKR ini. Selama belum ada political will yang sungguh-sungguh dari pemerintah, petinggi negara dan elit politik, hampir pasti kita akan kehilangan momen. Rekonsiliasi nasional seluruh elemen bangsa termasuk di dalamnya dengan eksPKI, ternyata belum bisa direalisasikan. Hal itu disebabkan masih kuatnya kekuatan kelompok masyarakat yang anti-komunis. Masih kuatnya kelompok masyarakat yang anti-komunis, tidak lepas dari masih bercokolnya wacana anti komunis yang dibangun oleh ORBA. Narasi sejarah versi ORBA yang mengekspose kekejaman dan kejahatan PKI terus mendominasi memori kolektif masyarakat Indonesia. Karena itu, untuk membangun “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk Korban 1965,” perlu upaya untuk mematahkan pewarisan ingatan tentang kekejaman PKI.25 Gagasan “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk Korban 1965,” tidak mudah dilakukan. Hali itu disebabkan oleh masih kuatnya kelompok masyarakat Indonesia yang berjiwa komunisto phobia. Jiwa komunisto phobia tersebut terus menerus diproduksi dan direproduksi bukan saja oleh penguasa ORBA, tetapi juga kelompok masyarakat yang anti-komunis. Kegagalan untuk merealisasikan rekonsiliasi nasional 25 Wacana anti-komunis selalu menggambarkan komunis sebagai representasi dari segala sesuatu yang jahat, kejam, dan selalu ingin memberontak. Pewarisan ingatan semacam ini akan terus menerus memproduksi dan mereproduksi masyarakat yang berjiwa komunisto phobia. Pewarisan ingatan semacam ini harus dipatahkan sehingga jalan menuju rekonsiliasi dapat dibuka. Untuk memahami lebih dalam upaya mematahkan warisan ingatan wacana anti-komunis, baca tulisan Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Wacana Anti Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca Soeharto (Jakarta: Elsam, 2006). 13 termasuk di dalamnya dengan eks-PKI pasca regim Soeharto, tidak lepas dari masih berkanjangnya pemahaman bahwa komunis adalah ateis, representasi dari semua hal yang jahat dan kejam. Agar gagasan rekonsiliasi nasional dari semua elemen bangsa tidak berhenti hanya sebagai gagasan, maka rekonsiliasi harus didorong dari grass-root yaitu dari “orang perorang” dan dari “kelompok-perkelompok”, sebagaimana yang dilakukan Syarikat (masyarakat santri untuk advokasi rakyat) Indonesia. Syarikat Indonesia yang dipelopori oleh intelektual muda NU menggagas rekonsiliasi di tingkat akar rumput antara warga NU dan eks-PKI dan juga rehabilitasi korban 1965. Gagasan “Rekonsililiasi dan Rehabilitasi untuk Korban 1965” yang dilakukan oleh Syarikat Indonesia ini adalah sebuah upaya untuk mendorong rekonsiliasi nasional semua elemen bangsa. Rekonsiliasi akar rumput, demikian Syarikat Indonesia menyebutnya, adalah sebuah gerakan untuk memutuskan lingkaran dendam dan membangun relasi yang lebih baik di antara kelompok kelompok yang pernah bertikai, secara khusus warga NU dan eks-PKI. Gagasan dan upaya rekonsiliasi akar rumput antara warga NU dan Eks-PKI inilah yang akan menjadi kajian tesis ini. Kajian tesis ini lebih spesifik lagi di fokuskan pada praxis dan pemikiran teologis Syarikat Indonesia berkenaan dengan gerakan “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk Korban 1965”. Tesis ini juga akan mengkaji bagaimana praxis dan pemikiran teologis tersebut dilihat dari perspektif teologis Kristen. Secara khusus penulis memakai pendekatan Schreiter dalam buku “Rekonsiliasi, Membangun Tatanan Masyarakat Baru”, dan buku “Pelayanan Rekonsiliasi, Spiritualitas dan Strategi”, serta politik pengampunan Shriver dalam buku, “An Ethics For Enemies, Forgiveness in Politics.” Dalam buku, “Rekonsiliasi, Membangun Tatanan Masyarakat Baru,” Schreiter menekankan bahwa rekonsiliasi yang ditawarkan teologi Kristen dalam mengatasi perseteruan bukanlah prakarsa dan karya manusia, melainkan sesuatu yang berasal dari Allah, prakarsa Allah. Allah sendiri yang mendamaikan manusia dengan diri-Nya, dan 14 itu terjadi melalui Kristus. Karena itu, pertanyaannya bukan bagaimana saya sebagai korban dapat mengampuni si pelaku, tetapi bagaimana saya menemukan rahmat Allah yang timbul dalam kehidupanku sendiri, dan kasih itu menuntun kemana?26 Dalam karya rekonsiliasi-Nya, Allah yang menawarkan rekonsiliasi adalah Allah yang juga terlibat dalam perseteruan yang mendalam, sehingga menjadikan Allah murka. Hal ini sesuai dengan teks yang mengatakan, “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa. Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darahNya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah” (Roma 5:8-9). Dosa menyebabkan kemarahan di pihak Allah, “Allah murka”. Tetapi Allah yang murka itu, berkenan datang kepada manusia untuk menawarkan rekonsiliasi dengan diri-Nya. Implikasi dari pemahaman ini dijelaskan oleh Schreiter sebagai berikut, Implikasi penting dari pemahaman Allahlah yang berinisiatif, rekonsiliasi adalah sesuatu yang kita temukan, bukan kita hasilkan. Nah ini membalikkan satu unsur dalam rekonsiliasi yang umumnya kita harapkan. Kita berharap agar penjahat bertobat dan mencari pengampunan, supaya mereka yang menciptakan teror dan kejahatan dalam masyarakat menyadari kesalahan mereka serta bertobat dan membaharui diri.27 Dalam pemahaman Kristen tentang rekonsiliasi hal itu justru terbalik, pengalaman pengampunan dan rahmat Allah mendorong dan memberi daya kekuatan pada si korban untuk mengampuni pelaku kekerasan. Pengalaman rekonsiliasi individual berdampak pada konsekwensi sosial. Sedangkan dalam buku, “Rekonsiliasi, Spiritualitas dan Strategi,” Schreiter menjelaskan bahwa rekonsiliasi bukanlah sesuatu yang abstrak melainkan sesuatu yang harus diwujud-nyatakan. Karena itu, untuk mengejawantahkan rekonsiliasi diperlukan strategi-strategi yang tepat. Sehingga perspektif teologis Kristen bukan sesuatu yang utopis belaka, tetapi dapat diejawantahkan kedalam praxis. 26 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi, Membangun Tatanan Masyarakat Baru (NTT: Nusa Indah, 200), hlm. 47. 27 Ibid, hlm. 48-49. 15 Sedangkan Shriver mengangkat wacana tentang pengampunan sebagai jalan penyelesaian dalam persoalan kekerasan politik masa lalu yang berkembang menjadi sebuah lingkaran dendam. Untuk mematahkan lingkaran dendam, Shriver mengangkat wacana pengampunan dalam politik sebagai sebuah solusi. Ungkapan umum yang sering dipakai untuk “mengampuni” adalah to forgive is to forget. Berbeda dengan ungkapan umum tersebut, Shriver sebaliknya menekankan untuk “mengingat” dan “mengampuni”, “remember and forgive”. Mengingat dimaknai sebagai upaya untuk mengungkapkan kebenaran akan realitas yang pernah terjadi (kekerasan dan kekejaman masa lalu serta derita para korban). Pembongkaran atas tindak kekerasan masa lalu bukan sebagai upaya untuk menumbuhkan balas dendam, tetapi sebagai sebuah “monumen” agar kejahatan kemanusiaan yang pernah terjadi tidak akan terulang lagi. Sedangkan pengampunan adalah sebagai wujud dari rekonsiliasi untuk mematahkan lingkaran dendam dan kekerasan.28 1. 3. Syarikat Indonesia. Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat (Syarikat) adalah jaringan kerja anakanak muda NU yang menyambut hangat ajakan rekonsiliasi nasional yang bertajuk: “Membangun Indonesia Damai dan Demokratis melalui Rekonsiliasi dan Rehabilitasi Hak-hak Sipil dan Politik.”29 Syarikat Indonesia mengusung gagasan “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk Korban 1965”. Mengapa Syarikat memfokuskan diri pada korban peristiwa pembunuhan tahun 1965. Hal ini karena beberapa pertimbangan sebagai berikut: • • 28 Tragedi 1965 mempunyai skala yang cukup besar dari segi cakupan area, dan jumlah korban; Pembunuhan yang terjadi, disertai stigmatisasi pasca peristiwa yang tidak hanya ditujukan terhadap korban, akan tetapi terhadap keluarganya (extended family); Donald Shriver, “Introduction” An Ethic For Enemies, Forgiveness in Politic ( New York: Oxford University, 1995), hlm. 7. 29 AS Burhan, Taufiqurahman, Syaiful Huda S, “Rekonsiliasi” dalam M. Imam Azis, ed, Mengubur Dendam Menuai Demokrasi, Panduan Resolusi Konflik dan Mediasi (Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2002), hlm. 120. 16 • • • Corak stigmatisasi tersebut tidak semata-mata secara ideologis, tetapi lebih dari itu merembet ke penghilangan hak-hak sipil dan politik secara masif dan berganda (multiple victimization); Tragedi itu melibatkan kelompok-kelompok masyarakat sipil lain sebagai pelaku, yang melibatkan segmen terbesar dari bangsa ini, yakni ummat Islam. Dalam hal ini konflik memperoleh dasar pembenaran teologisnya; Hingga saat ini belum ada langkah-langkah memadai dari kelompokkelompok masyarakat sipil, khususnya Nahdlatul Ulama, untuk mendukung proses rekonsiliasi dan rehabilitasi korban politik 1965 tersebut.30 Untuk mewujudkan gagasan “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk Korban 1965” Syarikat Indonesia dibantu oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) di lingkungan NU yang tersebar di berbagai wilayah di antaranya adalah31 1. Lakspedam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Jakarta. 2. P 3M (Proyek Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) Jakarta 3. Incres (Institute For Culture and Religion Studies) Bandung 4. Fahmina, Cirebon 5. Lakspedam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Cilacap 6. Indipt (Institute of Discourse Practice and Transformation), Kebumen 7. Kolmaster (Koloni Masyarakat Terbuka), Wonosobo 8. LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), Yogyakarta 9. Syarikat (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat), Yogyakarta 10. LKTS (Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial) Boyolali 11. PSPM (Pusat Studi Penguatan Masyarakat), Salatiga 12. Gapura (Gabungan Pemuda Blora), Blora 13. FSAS (Forum Studi Agama dan Sosial), Jepara 14. Alur (Aktivitas Layanan untuk Rakyat), Batang 15. Lepim (Lembaga Pengkajian Islam dan Masyarakat), Kediri 30 31 Ibid, hlm. 121-122. Ibid, hlm. 126-127. 17 16. Lakspedam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia), Blitar 17. Lakspedam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia), Pasuruan. 18. Syarikat (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat), Probolinggo 19. SD Inpress, Jember 20. Lakspedam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia), Banyuwangi. 21. Fresh Pati (Forum Refleksi dan Advokasi), Pati. Langkah-langkah nyata yang sudah dan direncanakan akan dilaksanakan oleh Syarikat Indonesia dalam membangun “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk Korban 1965 adalah: Investigasi, Mediasi, Advokasi, Fora Seminar, Kaji Kebijakan, Kampanye Publik, Lobbi dan Legal Drafting. Langkah-langkah nyata ini akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan tentang Profil Syarikat. 1. 4. Alasan Pemilihan Judul 1. 4. 1. Judul Dalam penulisan tesis ini, penulis mengusulkan untuk memberi judul tesis: “Praxis dan Pemikiran Teologis Syarikat Indonesia Berkenaan dengan Gerakan Rekonsiliasi dan Rehabilitasi Korban 1965” Dalam penulisan tesis ini, penulis akan memfokuskan penelitian pada praxis dan pemikiran teologis Syarikat Indonesia berkenaan dengan “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk Korban 1965”. 1. 4. 2. Alasan Praxis dan pemikiran teologis Syarikat Indonesia berkenaan dengan “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi Korban 1965”, menarik untuk dikaji karena beberapa alasan: 18 • Para tokoh Syarikat Indonesia adalah intelektual muda NU (Nahdlatul Ulama). Sebagaimana diketahui, NU adalah sebuah organisasi Islam yang dulu ikut terlibat dalam aksi pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh sebagai PKI, pada tahun 1965-1966. Hal itu menunjukkan adanya gerakan pembaharuan pada kalangan muda NU yang merindukan pemulihan dan rekonsiliasi antara dua pihak yang pernah bermusuhan. • Telah dipaparkan sebelumnya bahwa ketika Gus Dur menjabat Presiden RI berencana hendak mencabut Tap MPR XXV/1966, dan juga ketika gagasan rekonsiliasi dan rehabilitasi eks-PKI bermunculan, berbagai kelompok Islam menentang dan menolaknya. Tetapi berbeda dengan kelompok Islam yang menentang dan menolak ide tersebut, kaum intelektual muda NU yang tergabung dalam Syarikat Indonesia dan jaringannya justru memprakarsainya. Berdasarkan pada alasan-alasan tersebut, diasumsikan bahwa para intelektual muda NU yang tergabung dalam “Syarikat Indonesia” memiliki pemikiran teologis tertentu yang berbeda dengan kelompok Islam yang menolak pencabutan Tap MPR XXV/1966, dan gagasan“Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk Korban 1965.” Karena itu, penulis akan mengkaji praxis dan pemikiran teologis “Syarikat Indonesia” berkenaan dengan gagasan “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk Korban 1965”. Dalam forum “Pertemuan Regional untuk Rekonsiliasi dan Rehabilitasi Masyarakat Korban Tragedi 1965/1966” yang diadakan oleh Syarikat Indonesia dengan tajuk “Meracik Peradaban Tanpa Kekerasan”, Team Komisi Teologi Rekonsiliasi Perspektif Islam,32 menemukan adanya asumsi teologis yang menjadi pemicu konflik 32 Dalam pertemuan regional untuk rekonsiliasi dan rehabilitasi masyarakat korban tragedi 1965/1966, yang diadakan di Bandung pada tanggal 16 s/d 18 Mei 2003, dibentuk Komisi Teologi Rekonsiliasi Perspektif Islam yang anggotanya di antaranya adalah KH. Shihabuddin (Katib Syuriah PWNU Jabar) dan KH. Husen Mohammad (Syuriah PCNU Cirebon). 19 dan dijadikan sebagai landasan pembenaran untuk menghalalkan pengejaran dan pembunuhan terhadap orang-orang PKI. Adapun isu-isu teologis tersebut meliputi,33 (a) Isu Komunis sebagai Ateis. Isu semacam ini telah mengakibatkan sekelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai penganut paham komunis baik yang tergabung dalam organisasi PKI maupun organisasi lain sebagai kelompok ateis, yang dalam terminologi Islam disebut Kafir dan oleh karenanya menjadi halal darahnya. (b) Isu Pembelaan Agama. Ada fakta sosiologis dalam masyarakat muslim bahwa dengan semangat membela agama maka orang/kelompok yang dianggap akan mengancam eksistensi agama Islam seperti orang kafir dan murtad harus disingkirkan dan kalau perlu dilakukan dengan menggunakan kekerasan. (c) Isu Hak Milik. Ada stigma bahwa orang komunis akan menghilangkan hak milik individual atas harta benda termasuk kepemilikan atas tanah. Sementara kepemilikan harta benda secara individual dalam Islam dipandang sebagai hak yang wajib dilindungi. Sehingga muncul citra bahwa antara komunisme dan Islam tidak mungkin bisa berdampingan secara damai. (d) Isu Pemberontakan (Bughot). Dalam literatur Islam (klasik) ditemukan suatu ketentuan bahwa satu kelompok yang dikategorikan sebagai pemberontak harus diperangi. Sementara itu peristiwa tragedi kemanusiaan 1965-1966 dianggap sebagai tindakan bughot yang dilakukan oleh PKI. Selanjutnya menurut komisi teologi tersebut, “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk Korban Tragedi 1965” hanya dimungkinkan bilamana asumsi-asumsi yang menjadi pemicu konflik dan tindakan kekerasan tersebut diredefinisikan. Redefinisi isu-isu teologis tersebut serta konsep pengajaran tentang Islah (rekonsiliasi) yang berdasarkan semangat ukkhuwah watanniyah akan menjadi materi kajian teologis dalam penulisan tesis ini. 33 Isu Teologis tersebut merupakan hasil perumusan “Komisi Teologi Rekonsiliasi Perspektif Islam” yang dirumuskan dalam Pertemuan Regional untuk Rekonsiliasi dan Rehabilitasi Masyarakat Korban Tragedi 1965/1966, yang diadakan Syarikat Indonesia, di Wisma Kartini, Bandung pada tanggal 16-18 Mei 2003. 20 1. 5. Rumusan Masalah Rumusan permasalahan dalam tesis ini, dirumuskan dengan serangkaian pertanyaan sebagai berikut: * Bagaimanakah praxis dan pemikiran teologis Syarikat Indonesia berkenaan dengan gerakan “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk Korban 1965? * Bagaimanakah praxis dan pemikiran teologis tersebut dibangun, bagaimanakah konsep hermeneutikanya? * Bagaimanakah praxis dan pemikiran teologis tersebut diejawantahkan ke dalam serangkaian aksi/gerakan “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk Korban 1965”? * Bagaimanakah respon teologi Kristen terhadap praxis dan pemikiran teologis Syarikat Indonesia berkenaan dengan gerakan “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk Korban 1965? 1. 6. Tujuan Penelitian. * Mengkaji praxis dan pemikiran teologis Syarikat Indonesia, berkenaan dengan gerakan “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk Korban 1965” * Menggali dan mengkaji bagaimanakah praxis dan pemikiran teologis Syarikat Indonesia tersebut dibangun dan diejawantahkan ke dalam gerakan “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk korban 1965”. * Memberikan respon teologi Kristen terhadap praxis dan pemikiran teologis Syarikat Indonesia berkenaan dengan “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi Korban 1965”. 1. 7. Metode Penelitian Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan metode studi pustaka dan penelitian lapangan melalui wawancara dengan tokoh-tokoh Syarikat Indonesia. Melalui Penelitian partisipasitoris dan studi pustaka, diharapkan penulis dapat melihat dan menggali secara langsung bagaimana praxis dan pemikiran teologis Syarikat Indonesia dibangun dan diejawantahkan dalam serangkaian aksi/gerakan “Rekonsiliasi 21 dan Rehabilitasi untuk korban 1965. Studi pustaka juga bertujuan untuk menggali teksteks yang menjadi rujukan pemikiran teologis Syarikat Indonesia dan bagaimana teksteks itu ditafsirkan. 1. 8. Sistematika Penulisan Bab I, merupakan pendahuluan dari tesis yang berisi, latar belakang masalah, alasan pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian. Bab II, berisi tentang profile Syarikat Indonesia, pembahasan meliputi, latar belakang sosial politik pendirian Syarikat Indonesia, secara khusus juga dibahas dinamika di dalam intern NU dan pengaruh sosok Gus Dur dalam pembentukan pola pikir para aktivis muda NU yang tergabung dalam Syarikat, serta visi dan misi Syarikat Indonesia. Bab III, berisi tentang praxis dan pemikiran teologis Syarikat Indonesia, berkenaan dengan “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk Korban 1965.” Pembahasan bab ini meliputi, gerakan “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk korban 1965” yang dilakukan oleh Syarikat Indonesia dan pemikiran teologis yang menjadi landasan operasional dari gerakan tersebut. Bab IV, membahas dan mendialogkan respon teologi Kristen terhadap praxis dan pemikiran teologis Syarikat Indonesia berkenaan dengan gerakan “Rekonsiliasi dan Rehabilitasi untuk Korban 1965” Bab V, sebuah penutup yang berisi kesimpulan dan sumbang saran.