BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Kuasa nalar terbentuk (al-„aql al-mukawwan) menentukan cara memahami, menafsirkan teks keagamaan, bahkan dalam membentuk cara pandang (world view) umat Islam. Nalar ini diyakini sebagai kebenaran „mutlak‟ dan mempunyai otoritas yang kuat, yakni kewenangan dalam arti menentukan sebuah proses penalaran dan pengambilan keputusan (judgment). Kritik-kritik yang dilakukan, baik kritik nalar maupun bahkan kritik teks, sengaja diabaikan begitu saja, lantaran dianggap mengganggu keberagamaan bahkan keyakinan teologis yang telah mapan selama ini. Di saat dominasi nalar terbentuk terasa sangat kuat mendominasi, teks-teks keagamaan sebagai hasil bentukannya, kini telah mempunyai kuasanya sendiri (Harb, 1995:7). Teks dengan kuasanya mendominasi nalar, sehingga nalar kritis ikut menghilang dalam peradaban Islam. Nalar terbentuk (al-„aql al-mukawwan) adalah “sistem aturan atau kaidah yang diterima dan dibakukan dalam era tertentu dan memperoleh nilai mutlak dalam era tersebut”. Nalar terbentuk mempunyai aturan-aturan dan hukum berpikir yang ditentukan dan dipaksakan secara tidak sadar dan dijadikan pegangan dalam beragumentasi (istidlal) (al-Jabiri, 1991: 15). Dalam proses penalaran, prinsip-prinsip dasar atau kaidah telah ditetapkan sebagai kerangka rujukan konseptualisasi nalar. Nalar terbentuk juga memberi kemungkinan untuk memproduksi pengetahuan yang bersifat tetap atau stagnan, lantaran relasi diri- 1 2 pembaca dengan objek-terbaca (penafsir dengan teks) tidak bersentuhan dengan dimensi sosial-budaya, baik dari sisi teks itu terbentuk ataupun dalam konteks kekinian. Implikasi hubungan demikian menghasilkan pengetahuan yang bersifat normatif dan statis sehingga nyaris tidak ada temuan yang baru sama sekali. Menurut pengamatan Jabiri, bukanlah objek-terbaca (teks) yang menjadi persolaan, tetapi justru diri-pembaca lah yang terbelenggu nalarnya, tentu saja pandangan Jabiri ini berbeda dengan Ali Harb sebagaimana penulis kemukakan di atas. Keterbelengguan ini membatasi cara pandang individu atau kelompok terhadap alam, manusia dan masyarakat bahkan pula tentang Tuhan. Pembatasan cara pandang tersebut telah ditentukan dan dipaksakan oleh prinsip-prinsip dan aturan yang telah baku dan terjadi dalam kondisi tidak sadar. Istilah lainnya, nalar berada dalam posisi „tidak sadar‟ akan penentuan dan pemaksaan yang dilakukan oleh prinsip-prinsip dan aturan tersebut. Inilah yang oleh Jabiri disebut dengan „ketidaksadaran kognitif‟. Rumitnya lagi, dalam kondisi tak sadar dan terbelenggu, nalar terbentuk itu hingga kini merasa aman di posisi sistem pengetahuan atau episteme masing-masing (Jabiri, 2003: 67-68). Pengaruh keterbelengguan nalar ini mengakibatkan hilangnya nalar berpikir kritis, bebas, berimaginasi dan bahkan berspekulasi. Mazhab Frankfurt menamai kondisi demikian dengan istilah rasio instrumental atau akal subjektif. Fungsi kritik nalar dalam konteks ini bermanfaat untuk membongkar episteme-episteme yang „menentukan‟ pada fase-fase perkembangan pemikiran Islam. Arkoun menunjukkan bahwa upaya hermeneutis untuk menafsirkan Qur'an 3 selalu tidak pernah dilepaskan dari „kekuasaan‟ episteme-episteme itu. Setiap episteme mempunyai lokasinya yang spesifik dalam sejarah, karenanya tidak pernah dapat universal. Oleh karena episteme merupakan struktur yang membentuk rasio, maka yang terakhir inipun bersifat historis pula, atau bisa disebut bersorak konstruktivis. Maka pada tahapan berikutnya, interpretasiinterpretasi yang lahir darinya juga berwatak historis. Fungsi kritik, salah satunya, tidak lain adalah untuk menunjukkan historisitas dari sebuah penafsiran (Abdallah, 1994: 44). Arkoun dalam hubungan ini misalnya menyinggung konsep logosentrisme Jacques Derrida, suatu konsep tentang hadirnya sebuah subjek yang sadar penuh dan berkuasa dalam menentukan makna. Jika dikaitkan dengan sebuah teks, maka logosentrisme berarti hadirnya otoritas tunggal yang berwenang untuk menentukan secara tepat makna dari teks tersebut. Pembentukan makna di luar otoritas tersebut dianggap tidak sah. Konsep logosentrisme dalam tradisi pemikiran Islam dikaitkan Arkoun dengan gejala pembentukan ortodoksi, yakni sebuah wewenang (authority) yang mempunyai hak penuh atas teks dan penafsirannya sekaligus. Kelahiran suatu ortodoksi tidak dapat dilepaskan dari determinasi-determinasi historis serta kepentingan-kepentingan politis. Dalam sejarah Islam, Arkoun menunjukkan tiga ortodoksi besar: Sunni, Syi'ah dan Khawarij. masing-masing ortodoksi ini mempunyai klaim kesahihannya (kevalidannya) sendiri (Arkoun, 1994: 158). Fungsi kritik nalar berikutnya adalah untuk membongkar ranah-ranah „terlarang‟ yang tidak boleh dan tidak mungkin dipikirkan dalam sejarah 4 pemikiran Islam. Sebab, setiap ortodoksi yang logosentrik selalu menciptakan mekanisme perlindungan untuk menghindari ancaman dari episteme-episteme alternatif di luar dirinya. Mekanisme perlindungan itu diciptakan dengan cara membangun "tabu-tabu". Logosentrisme juga melahirkan semacam pola oposisi biner antara yang reasonable dan unreasonable, di mana elemen-elemen yang unreasonable itu disingkirkan, sementara yang dilindungi dan dipertahankan adalah elemen-elemen yang dianggap masuk akal semata. Sementara kritik historis diarahkan untuk membongkar bahwa klaim kesahihan yang diajukan oleh ortodoksi itu tidak bersifat universal dan mutlak. Karena episteme yang melandasi basis kesahihan dari ortodoksi tersebut mempunyai korelasi secara spesifik dengan konteks sosio historis tertentu (Abdallah, 1994: 44). Episteme tersebut juga mempunyai batas dan ukuran waktu tertentu, yakni episteme abad klasik, abad pertengahan dan abad modern (Meuleman, 1996: 120-121). Berbeda dengan Arkoun, Jabiri mengukur batas-batas episteme berdasar pada syuruth al-sihah al-ma‟rifah (syarat-syarat keabsahan pengetahuan). Batas episteme yang disebut “syarat-syarat keabsahan” ini sejajar dengan proyek kritik rasio murni Kant yang menyaratkan adanya kategori-kategori dalam proses pengambilan putusan (judgment) (Kant, 1990: 13), sementara dalam hal yang terkait dengan kondisi nalar yang terbelenggu dan merasa nyaman dalam kondisi tersebut, kritik nalar Jabiri dapat dinilai terdapat kemiripan proyek antropologi strukturalnya Levi-Strauss, sebab konsep akal menurut Levi-Strauss identik dengan struktur-struktur ketidaksadaran beserta syarat-syarat kemungkinan aktivitas manusia (Ahimsyah, 2001: 66-67) 5 Syarat-syarat keabsahan dalam nalar Arab-Islam oleh Jabiri dikaitkan dengan suatu era historis tertentu (dalam kebudayaan tertentu), yang di dalamnya terdapat struktur bawah sadar, struktur itu sendiri memuat faktor-faktor permanen dan berubah. Dalam pandangan Jabiri nalar dan kebudayaan adalah satu struktur yang tidak bisa dipisahkan, sebagaimana definisi kebudayaan menurut E. Herriot bahwa “sesuatu yang tetap utuh ketika segala yang lainnya telah sama sekali terlupakan”. Hal ini berarti dalam setiap kebudayaan mengandung struktur kognitif yang permanen dan yang berubah. Nyatanya, „yang berubah‟ dalam kebudayaan Islam-Arab justru beralih menjadi sesuatu yang permanen dan tersisa hingga sekarang ini (Jabiri, 1991: 38). Nalar inilah yang menjadi kerja kritik nalar Jabiri. Analisa kritik nalar Jabiri sampai pada sebuah thesis statement, bahwa terjadi konflik epistemologis, yakni konflik syarat-syarat pengetahuan sekaligus konflik ideologis yang mengitari proses pembentukan nalar Arab-Islam. Kritik nalar Jabiri bergerak pada tiga ranah: Pertama, kritik nalar epistemologis; kedua, kritik nalar politik; ketiga, kritik nalar etika. Kritik nalar epistemologis disebut juga nalar „spekulatif‟, kritik nalar ini mengambil bentuk proses pembentukan pengetahuan, praktik kuasa yang memproduksi pengetahuan hingga sistem pengetahuan yang mendasarinya. Jabiri berhasil mampu membongkar arkeologi dan genealogi dari ketiga sistem pengetahuan, yakni bayani, irfani, hingga burhani (masyriq). Berikutnya, Jabiri menghadirkan model pengetahuan yang selama ini tersingkir, tak dikatakan dalam peradaban Islam akibat berbagai faktor (baik faktor epistemologis maupun ideologis), yakni sistem pengetahuan bayani-burhani (maghrib) yang kental dengan tradisi demonstratif, 6 eksperimental dan empiris sekaligus. Kekuatan Jabiri dalam proses pelacakan nalar Arab-Islam dapat dilihat misalnya kemampuannya memunculkan prinsip mendasar dalam suatu episteme, misalnya prinsip muqarabah (kedekatan) dalam episteme bayani memengaruhi cara pandang similiaritas dan kedekatan (Jabiri, 1993: 243). Pembicaraan tentang sosialisme, misalnya, maka dicarilah sosialisme yang islami, psikologi islami, dan seterusnya. Kritik nalar politik, yang dikenal dalam kategori nalar praktis, menekankan sebuah praksis. Fokus kritik ini diarahkan pada cara-cara berkuasa dan menguasai, lebih jauh Jabiri menjelaskan menyangkut keterkaitan munculnya disiplin siyasah syar'iyyah atau fiqih siyasah dengan strategi militeristik kekuasaan khalifah untuk menundukkan masyarakat. Pertimbangan menundukkan masyarakat dengan kekuatan fisik seperti dulu dinilai tidak lagi efektif. Kelompok-kelompok intelektual ini tidak akan mudah ditundukkan melalui pedang dan tombak. Strategi lain yang dianggap mampu melampaui fisik dan mengenai lokus mental serta pikiran masyarakat di masa itu. Peradaban Islam di era kejayaan juga berkorelasi dengan masa penundukan mental dan pikiran umat Islam ke bawah kekuasaan militeristik Abbasiyah. Hal ini berarti ketika memindahkan arena perang ke dunia politik dan juga ke wilayah kebudayaan dan pemikiran, Ibn Muqaffa merancang suatu teknik dan body of knowledge yang memproyeksikan skema militer tersebut ke dalam social body. Teknik dan body of knowledge itu dikenal dengan sebutan "siyasah an-nafs" dan "siyasah al-madinah", kontrol dan disiplin diri serta kontrol terhadap masyarakat publik (Jabiri, 1995: 343). 7 Kritik nalar etika, Jabiri menemukan bahwa etika Islam terbentuk oleh pengaruh dari luar yang sifatnya ideologis. Nalar etika yang memengaruhi masyarakat Islam adalah etika Persia. Etika Persia digunakan oleh penguasa waktu itu sebab dianggapnya mempunyai nilai relevan dalam menjalankan roda pemerintahan. Perlu diketahui bahwa dalam etika Persia mengajarkan doktrin ketaatan terhadap kekaisaran. Menurut Jabiri, al-Mawardi dan Ibn Muqoffa‟ adalah pemikir yang mengasimilasikan etika Persia dengan etika Islam (Jabiri, 2001: 171). Di samping itu terdapat etika Yunani yang ikut memengaruhi etika Islam yang sering disebut al-Jabiri dengan al-akhlaq al-sa‟adah (konsep kebahagiaan). Pengaruh etika Yunani ini mempunyai tiga kecenderungan; Pertama, kecenderungan medis, yakni kebahagiaan jasmani terletak pada kesehatan jasmani, sedangkan kebahagiaan jiwa terletak pada jiwa dan etika (Jabiri, 2001: 291). Beberapa filsuf yang fokus pada kecenderungan medis ini di antaranya adalah al-Kindi, al-Razi, Tsabit bin Qatar, Ibn Haitsam dan Ibn Hazm. Kedua, kecenderungan filosofis. Plato dan Aristoteles menjadi rujukan primer dalam etika filosofis ini. Misalnya saja konsep kebahagiaan dapat dicapai oleh manusia yang mempunyai pandangan rasional mengenai alam ini. Individu yang berkualitas akan membawa kepada kebahagiaan manusia di atas norma-norma yang mereka sepakati. Ketiga, kecenderungan eklektis, yakni kecenderungan nalar etis yang mengambil worldview Galinus, Plato dan Aristoteles (Jabiri, 2001: 421). Dominasi nalar terbentuk yang membelenggu nalar Islam tidak hanya terjadi di wilayah Islam Arab semata, akan tetapi juga berpengaruh secara massif pada nalar Islam di Indonesia, baik pada nalar epistemik, nalar politik hingga nalar etis. 8 Pada abad 17 sampai 18 M. muncul cakrawala baru dalam penalaran dan pemahaman Islam di Nusantara. Cakrawala pemikiran Islam tersebut dapat ditelaah melalui karya-karya ulama Nusantara pada abad itu. Pemikiran yang paling menonjol dan mendominasi pentas pemikiran Islam, di antaranya adalah; Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abd Ra‟uf as-Sinkali, dan Yusuf alMakasari. Cakrawala pemikiran tersebut tidak memiliki pemahaman keagamaan yang homogen dan monolitik, tetapi justru menggambarkan corak pemahaman keagamaan yang berbeda satu sama lain. Nuruddin al-Raniri dan Hamzah Fansuri merupakan dua model ulama khas yang berusaha menancapkan paham keagamaan tertentu demi terciptanya nalar dan pemahaman keagamaan yang hegemonik. Para sejarawan mencatat bahwa perseteruan keduanya tidak hanya terhenti pada taraf wacana, tetapi lebih dari itu. Al-Raniri, yang dalam konteks perseteruan ini berkolaborasi dengan Sultan Iskandar II, melengkapi percekcokan tersebut dengan cara memfatwakan sesat aliran panteisme yang dianut Hamzah Fansuri, alSumatrani beserta murid-muridnya. Puncak dari itu semua adalah pembakaran buku-buku karya Hamzah Fansuri dan al-Sumatrani, sementara pengikutnya yang setia dikejar dan dibunuh termasuk saudara kandung sultan sendiri. Tasawuf falsafi yang digerakkan oleh Hamzah Fansuri dan al-Sumatrani menjadi model tasawuf yang tertindas di Nusantara saat itu. Berdasarkan proses sejarah di atas dapat dipahami bahwa nalar ortodoksi Islam, yang lebih mengedepankan pemaknaan agama dengan penekanan pada aspek syariat yang kuat mulai terlihat mendominasi. Kolaborasi al-Raniri dengan kekuasaan semakin memperkuat posisi tawar-menawar nalar ortodoksi yang 9 dibawa al-Raniri dan pengikut-pengikutnya. Berikutnya, dalam rekaman historis, tercatat bahwa setelah Sultan Iskandar II wafat nalar ortodoksi ini menurun cukup drastis, namun demikian, nalar ortodoksi, paling tidak, telah meninggalkan jejak yang cukup signifikan bagi perkembangan nalar Islam Nusantara pada periodeperiode selanjutnya. Pada periode abad ke-18 pula, al-Palimbani merupakan ulama yang paling bertanggungjawab terhadap penyebaran pemahaman yang menyatukan nalar bayani dan irfani sebagaimana Al-Ghazali telah merumuskannya. Kepakaran alPalimabani mengenai pemikiran Al-Ghazali, khususnya menyangkut soal tasawuf dan syari‟at, dibuktikannya dengan penulisan karya yang berjudul Fadha‟il alIhya‟ li al-Ghazali (Azra, 2013 : 355). Menurutnya, para pemikir lain semisal alRaniri, al-Sinkili, dan al-Maqassari memang sama-sama merujuk pada al-Ghazali sebagai basis epistemiknya, akan tetapi pemikiran al-Palimbanilah yang paling mendekati gagasan al-Ghazali mengenai hal di atas. Karya-karya al-Palimbani yang selalu dikaitkan dengan tulisan-tulisan al-Ghazali adalah Hidayat al-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin dan Sayr al-Salikin ila Ibadah Robb al-„Alamin. (Azra, 2013 : 355-356). Pembasisan episteme bayani, yang telah terbentuk, misalnya dilakukan melalui pendekatan kesenian, contoh dalam tembang Lir-Ilir. Pada bagian tembang tersebut dijelaskan: “…lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro…” (meskipun licin, teruslah memanjat untuk mencuci pakaianmu), artinya, meskipun banyak rintangan, teruslah menyebarkan syari‟at untuk mencuci ragamu dengan aturan-aturannya. Sistem pengetahuan bayani jelas 10 mendapatkan pembasisannya melalui tembang tersebut. Pembasisan episteme bayani ini sebagaimana dilakukan oleh para fuqaha‟ (ahli hukum Islam). Bukan hanya itu, nalar harmonisasi bayani dengan irfani juga ditancapkan oleh kalangan ini. Kenyataan ini tergambar dalam sebuah ajaran dalam Suluk Wujil karya Sunan Bonang, „Dipun weruh ing urip sejatine, lir kurungan raraga sedaya, becik den weruhi manuke. Rusak yen sira tan weruh…yen sira yun weruh becikana kan sirara, awisma ing enggon punang sepi”. Artinya, „hendaknya kalian tahu arti hidup sejati, ibarat sangkar, hendaknya burung yang ada di dalam sangkar diketahui. Rusak jika tidak tahu…jika kamu ingin tahu perbaikilah ragamu, tunggulah di tempat sepi‟. Sunan Bonang hendak menegaskan bahwa arti hidup sejati adalah keseimbangan antara perbaikan raga melalui pengamalan syari„at dengan penyucian jiwa melalui meditasi dan kontemplasi di tempat yang sunyi („uzlah) (Baso, 2012: 105). Harmonisasi episteme bayani dan „irfani ini jelas dipengaruhi oleh tasawuf-sunni al-Ghazali, seorang pemikir yang mencetuskan formula tasawuf Sunni, buah pemikiran yang menyintesiskan kedua sistem pengetahuan tersebut. Para penyebar agama menulis buku-buku Islam Indonesia dari yang paling sederhana hingga pada level yang tinggi, yakni dari tingkat bayani (syari‟at) hingga irfani (tasawuf), sebagaimana jelas tergambar dari teks-teks suluk Sunan Bonang, dan teks-teks lainnya yang diadopsi dari ajaran-ajaran para Wali Songo. Teks-teks al-Ghazali dan segenap model atau corak berpikirnya muncul menjadi penentu dalam segenap perbincangan mengenai keagamaan (Baso, 2012: 108). 11 Nalar terbentuk yang pembasisannya dilakukan melalui tradisi lokal dan sekaligus mendapatkan dukungan dari otoritas kesultanan Demak ini menemukan „musuh‟ ideologisnya dalam pemikiran kawula-Gusti Syekh Siti Jenar. Pernyataan Siti Jenar: “Ya ingsun ini Allah. Ingsun iki jatinging Pangeran Mulya. Syekh Lemah Abang iku wajahing Pangeran Jati” (Ya Aku inilah Allah. Aku ini Hakekat yang Maha Mulia. Syekh Lemah Abang wajah Tuhan Sejati) ini jelas sangat menganggu otoritas kelompok fuqoha‟ yang didukung kerajaan Demak, hingga akhirnya Syekh Siti Jenar mendapatkan ganjaran hukuman mati. „Kemenangan‟ nalar jatuh di tangan kelompok fuqoha‟ melalui konsepsi harmonisasi episteme bayani-irfani. Nalar terbentuk inilah yang kemudian menjadi acuan atau kerangka konseptual umat Islam Jawa (Indonesia) dalam memandang realitas hingga sekarang. Inilah gambaran singkat dan umum mengenai pengaruh nalar terbentuk Arab Islam ke dalam Nalar Indonesia (Islam) yang kemungkinan besar, dalam asumsi penulis, belum ada pelampauan atas nalar tersebut. Islam Arab dan Islam Indonesia memang berbeda dalam ruang dan waktu, akan tetapi nalar terbentuk, al-aql al-mukawwan, telah terlanjur tersebar masuk ke Indonesia dalam bentuk yang berbeda, artinya terjadi proses modifikasi bentuk. Sejarah proses pembentukan nalar Islam Indonesia diwarnai konflik epistemologis yang cukup panjang, yakni antara sistem pengetahuan bayani dengan irfani. Epistemologi bayani/teks misalnya, yang didukung oleh representasi kelompok fuqaha> (ahli hukum), merupakan Islam meanstream yang mendapat restu dari 12 penguasa kerajaaan Demak, sementara epistemologi „irfani/mistik yang diwakili Syekh Siti Jenar terpinggirkan dan bahkan dibungkam. Berdasarkan uraian di atas, baik menyangkut nalar epistemologis, nalar politik maupun nalar etika telah „terinstitusi‟ dan menjadi turast yang terbentuk. Oleh karena itu, diperlukan kritik dekonstruktif atas problem tradisi atau turast. Kritik ini mengarahkan pembaca untuk membebaskan diri dari nalar terbentuk dengan cara „memutuskan diri‟ darinya. Untuk mengejar objektivitas, subjek harus memisahkan diri dari objek hingga memungkinkan subjek menemukan dinamikanya kembali dalam rangka membangun objek dengan perspektif baru. Langkah berikutnya adalah memisahkan objek dari subjek agar objek memperoleh independensi, personalitas, identitas serta historisitasnya (Jabiri, 2003: 37-39). Menurut Jabiri kritik dekonstruktif tidaklah cukup tanpa adanya kritik rekonstruktif. Dekonstruksi di atas bukan berarti menghindarkan atau menghancurkan tradisi, tetapi justru untuk mengkaitkannya kembali kepada pembaca dalam bentuk yang baru, serta dalam pola hubungan yang baru, sehingga tradisi dapat menjadi semasa dengan kehidupan pembaca (Jabiri, 2003: 40). Mengadopsi apa yang layak dalam tradisi untuk dikembangkan demi kepentingan masa kini dan masa depan adalah menguasai dan memaknai ulang secara kritisrasional atas nalar secara keseluruhan, mulai dari nalar epistemologis, nalar politik hingga nalar etika. Model pembaharuan internal (at-tajdid min ad-dakhil) ini diarahkan untuk sebuah transformasi pemikiran ataupun transformasi sosial (Baso, 2006: 170) 13 Menurut Jabiri kritik atas turast (tradisi) tidak diarahkan semata-mata pada produk-produk pemikiran seperti persoalan ketuhanan, wahyu, aliran-aliran kalam dan sebagainya yang semua itu terbentuk dalam teks. Baginya, kritik tradisi yang paling utama harus diarahkan pada masalah yang paling mendasar, yakni “kritik epistemologis” atau “kritik nalar.” Istilah “nalar” di sini sengaja dibedakan dari “pemikiran”, sehingga Jabiri menyebut proyek kritik tradisinya dengan Naqd al„Aql (Kritik Nalar) bukan Naqd al-Fikr (Kritik Pemikiran). Dalam berbagai karya yang ditulisnya, Jabiri berusaha mencurahkan segenap kemampuannya untuk melakukan kritik tradisi atau turast dengan menggunakan pendekatan—apa yang olehnya disebut sebagai—“pembacaan kontemporer” atas tradisi, hanya saja upaya kritik tradisi yang dilakukan al-Jabiri tidak sama dengan Hasan Hanafi yang kental dengan nuansa teologi (Hanafi, 1991: 9-15), ataupun Abu Zayd yang banyak diwarnai oleh kepentingan untuk merumuskan metode hermeneutika al-Quran (Zayd, 1992: 117-118). Konsep naqd al-„aql yang digunakan Jabiri tidak sama dengan konsep “kritik akal”-nya Immanuel Kant sebab konsep “kritik akal” yang dilakukan oleh Kant lebih diarahkan kepada akal atau rasio yang ada dalam setiap diri manusia beserta segenap kemampuan-kemampuannya (Abdallah, 1994: 43-44). Sementara dalam pengertian Jabiri, naqd al-„aql lebih diarahkan pada cara berpikir kolektif suatu masyarakat yang aturan dan prinsipnya ditentukan secara sosial (konstruktivis). Istilah naqd al-„aql yang dipakai oleh al-Jabiri, menurut penulis, lebih tepat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kritik nalar” dari pada “kritik 14 akal”, meskipun kata nalar dan akal dalam KBBI sama-sama berupa kata benda, akan tetapi kata nalar yang mengandung arti jangkauan berpikir lebih tepat dipakai sebab dalam jangkauan berpikir mengandung proses logis atau penalaran di dalamnya. Berkaitan dengan kata akal dijelaskan pula bahwa kata tersebut diartikan sebagai daya pikir, potensi, kemampuan berpikir untuk memahami segala sesuatu, dan istilah akal lebih dilekatkan pada sifat manusia yang melekat sekaligus menjadi pembeda dengan makhuk lain (binatang). Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis menggunakan istilah nalar (kritik nalar) dari pada akal (kritik akal) dalam penulisan disertasi ini. 2. Rumusan Masalah 1. Apakah sesungguhnya kritik nalar beserta cara kerjanya menurut Jabiri? 2. Mengapa bangunan bayani, irfani dan burhani terjadi dan keterkaitanketerputusan nalar? 3. Bagaimana kritik nalar Jabiri dilihat dalam perspektif epistemologi Michel Foucault? 4. Apakah kontribusi metodologi kritik nalar terhadap mode of thought Islam, khususnya nalar Indonesia-Islam? 3. Keaslian Penelitian Berdasarkan survey yang penulis lakukan, karya Happy Susanto yang berjudul Demokrasi dalam Islam: Studi Perbandingan Pemikiran Muhammad Abid Al-Jabiri dan Abdol Karim Soroush merupakan karya tesis yang membahas mengenai Demokrasi dalam pemikiran Al-Jabiri yang dikomparasikan dengan Abdol Karim Sorous. Sesuai dengan judul besar dari tesis tersebut maka jelas 15 bahwa karya tersebut mengulas pemikiran Al-Jabiri tentang demokrasi. Karya AlJabiri yang membahas tentang demokrasi dituangkannya dalam buku AlDimuqratiyah wa Huquq al-Insan. Karya tesis Ahmad Bahrur Rozi, berjudul Prinsip Etika Islam: Studi Filsafat Moral Muhammad Abid Al-Jabiri secara khusus juga membahas mengenai filsafat moral, yang sebetulnya disandarkan pada karya Al-Jabiri yang berjudul Naqd al-„Aql al-„Arabi: al-„Aql al-Akhlaqi al„Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nudhum al-Qiyam fi as-Tsaqafah al„Arabiyyah. Meskipun ada beberapa karya skripsi yang membaas mengenai kritik nalar, akan tetapi disertasi ini merupakan upaya penulis untuk merekonstruksi kritik nalar sebagai bangunan epistemologi baru yang lahir dari tradisi filsafat Islam yang didialogkan dengan tradisi filsafat Barat, khususnya Epistemologi Michel Foucault. Artinya, penulis belum menemukan karya yang membahas Kritik Nalar Al-Jabiri yang dilihat bahkan didialogkan dengan tradisi filsafat Barat. Inilah salah satu keaslian dari penelitian ini. Untuk karya-karya yang Foucault, disertasi Muhammad Hamid Anwar misalnya yang berjudul Wacana Pendidikan Jasmani di Indonesia dalam Perspektif Arkeo-Genealogi Michel Foucault: Implikasinya dalam Konteks Kekinian memang meletakkan Arkeologi-Genealogi Michel Foucault sebagai landasan teoritik dalam melihat wacana pendidikan jasmani. Sebagai sebuah metode tentu saja bersifat netral, tetapi penulis menilai penerapan metode tersebut sangat berbeda dalam disertasi ini. Disertasi ini jelas mempraktikan Epistemologi Michel Foucault tidak hanya sebagai landasan teoritik tetapi juga dalam kerangka 16 dialogis, terutama menyangkut konsep-konsep inti dalam pemikiran Foucault, seperti episteme, diskontinuitas, dan seterusnya yang pada akhirnya melahirkan pembacaan yang berbeda dan baru dari disertasi ini. 4. Manfaat Penelitian Berdasarkan berbagai problem akademik dan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini sangat diharapkan akan bermanfaat bagi kalangan akademisi filsafat khususnya dan khalayak yang mempunyai minat dan fokus pada wacana epistemologi filsafat Islam serta semua akademisi pada umumnya. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari disertasi ini: 1. Bagi pengembangan ilmu dan filsafat, khususnya dalam bidang filsafat sebagai pengetahuan kritis. Penelitian ini diharapkan menjadi diskursus baru dalam hal apakah sesungguhnya kritik nalar beserta cara kerjanya dan kritik nalar dalam perspektif power/knowledge atau epistemologi Michel Foucault. Kritik nalar memberikan model kritik yang mempertanyakan dan membongkar episteme dominan, mempertanyakan norma dan fungsi-fungsinya, serta pengambilan jarak guna terbongkarnya motif-motif dan kepentingan ideologis (kuasa) yang terselubung dan bahkan sengaja disembunyikan. 2. Diskursus kritik nalar dalam bingkai analisis kuasa-pengetahuan ini diharapkan akan melahirkan pemikiran-pemikiran yang memperlihatkan kesejarahan dalam sistem pengetahuan, kekuasaan yang disembunyikan, norma yang dianggap lepas dari sejarah dan bersifat universal. Lebih dari itu secara praksis, kerangka teoritik ini dapat digunakan untuk melihat 17 realitas ke-Indonesiaan, khususnya Islam di Indonesia, baik secara arkeologis maupun genealogis. 3. Bagi pembangunan nasional, khususnya pembangunan masyarakat Islam di Indonesia, penelitian ini penting bagi upaya proses penyadaran dari keterbelengguan nalar yang ironisnya tanpa sadar menikmatinya. Polapola berpikir yang cenderung tekstualis, rigid atau tidak lentur dan terjadi pengulangan tanpa ada kebaharuan hingga kini cukup menyeruak ke permukaan. Oleh karena itulah, diperlukan pergeseran paradigma yang menekankan pada corak berpikir yang tidak hanya kritik dekonstruktif tetapi sekaligus kritik rekonstruktif. 4. Bagi penelitian berikutnya, disertasi ini dapat dijadikan kerangka acuan untuk mengembangkan diskursus filosofis kritik nalar Jabiri, utamanya dalam bingkai epistemologi Michel Foucault. Penelitian berikutnya dapat menjadikan disertasi ini ikut berperan dalam memberi kontribusi metodologi kritik nalar dengan objek material yang berupa kearifankearifan nusantara, istilah Jabiri al-maurust al-qadim. B. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban-jawaban kualitatif terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tersimpul dalam rumusan masalah: 1. Menjelaskan secara utuh hakikat kritik nalar Jabiri, sebuah kritik nalar yang fokus terkait dengan proses pembentukan dan bangunan epistemologis, cara kerja nalar dalam memproduksi pengetahuan dan praktik kuasa dalam kritik nalar, sekaligus menggambarkan pengaruhnya 18 terhadap cara berpikir dan bertindak, cara manafsirkan teks keagamaan serta kuasa yang mendorong munculnya pengetahuan. 2. Mampu menguraikan bangunan nalar dari proses pembentukan hingga asumsi epistemologis yang mendasarinya, bahkan lebih dari itu, mengungkapkan keterkaitan atau bahkan keterputusan nalar satu dengan lainnya perlu diuraikan agar mampu menarik benang merah dan penilaian yang dapat dipertanggungawabkan secara ilmiah dan rasional. 3. Mampu menemukan suatu „gagasan‟ baru dalam kritik nalar Jabiri yang dilihat dari perspektif epistemologi Michel Foucault, terutama terkait dengan penelusuran arkeologis-genealogis dalam kritik nalar, serta praktik kuasa-pengetahuan (power/knowledge) dalam kritik nalar Jabiri. 4. Merumuskan kontribusi metodologi kritik nalar bagi proses pembentukan dan bangunan nalar Islam di Indonesia serta pengaruhnya terhadap mode of thought secara lebih khusus. C. Tinjauan Pustaka Menurut tinjuan penulis, bebarapa karya tulis ataupun penelitian yang membahas mengenai pemikiran Jabiri tidaklah terlalu banyak, di antara karya dan penelitian tersebut adalah: Pertama, buku bunga rampai yang diedit oleh John Cooper, et. al (2000) berjudul Islam and Modernity: Muslim Intelectual Respond, berisi satu bagian khusus yang ditulis oleh Abdou Filali-Ansari mengulas mengenai apakah rasionalitas modern dapat membentuk religiusitas baru perspektif al-Jabiri. Tulisan ini disandarkan pada karya Jabiri yang berjudul Democracy and Human 19 Right (1994) dan Religion, State, and the Implementation of Religious Law (1996). Karya ini secara lebih khusus menekankan pembahasan mengenai demokrasi dan konsep syura‟ sebagai obyek material atau obyek kajian, sementara pendekatan (obyek formal) yang digunakan adalah filsafat politik. Kedua, karya Ahmad Baso (2000) yang menerjemahkan dan mengumpulkan artikel-artikel Jabiri dalam sebuah buku Post-Tradisionalisme Islam memberikan pengantar dengan judul Posmodernisme sebagai Kritik Islam: Kontribusi Metodologis “Kritik Nalar” Muhammad Abed Al-Jabiri. Ahmad Baso dalam karya ini mengekplorasi model kritik nalar Jabiri, khususnya terkait dengan nilai kontribusi metodologis macam apa yang ditawarkan Jabiri ketika membaca persoalan-persoalan tradisi masa lalu seperti tradisi Islam. Hal ini dapat dikatakan tradisi menjadi concern dalam karya tersebut, sementara pembahasan filsafat pengetahuan (epistemologi) tidak banyak memperoleh porsi pembahasan. Ketiga, tulisan Amin Abdullah (2006) berupa artikel dalam sebuah Jurnal al-Jami‟ah yang berjudul Al-Ta‟wil al-Ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci. Tulisan ini secara terbatas tetapi komprehensif mengulas mengenai tiga sistem pengetahuan (bayani, irfani, burhani). Amin Abdullah menjelaskan sumber (origin), cara memperoleh pengetahuan, validitas hingga ilmu-ilmu yang muncul ilmu dari corak epistemologi bayani, irfani dan burhani (Amin Abdullah, 2006: 386). Hal ini menunjukkan bahwa obyek formal yang digunakan dalam tulisan ini adalah filsafat ilmu. Keempat, penelitian Nirwan Syafrin (2010); Disertasi yang berjudul A Critique of Reason in Contemporary Arab Philosophical Discourse with Special 20 Reference to Muhammad „Abid Jabiri. Disertasi ini membahas trend filsafat Islam kontemporer, terutama yang terkait dengan kritik epistemologis. Tiga bangunan sistem pengetahuan (bayani, irfani, burhani) juga menjadi pembahasan sentral dalam disertasi ini. Karya ini cukup tajam mengkritik Jabiri yang mengagungkan rasionalisme Ibn Rusyd yang disejajarkan dengan akal pencerahan (positivisme), padahal rasio pencerahan telah mendapat kritik tajam dari pemikir post-modernis. Berdasarkan tinjauan obyek formal dan material pada berbagai penelitian dan pembahasan berupa buku tersebut, maka penelitian tentang Kritik Nalar M. Abid al-Jabiri dalam Perspektif Epistemologi Michel Foucault: Kontribusi Metodologi bagi Bangunan Nalar Indonesia-Islam ini baru dilakukan. Pada penelitian ini karya-karya Jabiri diteliti dan dibahas berdasarkan perspektif analisa epistemologi kritis, khususnya power/knowledge Michel Foucault sekaligus ditelusuri proses pembentukan pengetahuan, bangunan nalar Arab-Islam hingga kontribusi metodologis bagi bangunan nalar Islam di Indonesia. Tinjauan dan pembahasan ini dilakukan dari perspektif epistemologis dan tentu saja tidak mengabaikan dimensi ideologis (kuasa). Upaya untuk memenuhi pembahasan berdasarkan analisa praktik kuasa-pengetahuan dalam kritik nalar, maka penelitian terhadap karya Jabiri dilakukan pada aspek koherensi internal teks/karya, yakni karya-karya Jabiri yang terkait dengan kritik nalar/‟aql. Karya-karya monumental Jabiri memang secara umum konsisten membahas mengenai kritik nalar, namun penulis juga menelaah karya Jabiri yang terkait dengan pembahasan turast (tradisi), serta karya-karya Jabiri yang membahas mengenai metodologi dan sikap terhadap kekinian (modernitas). 21 D. Landasan Teori Landasan teori pertama penelitian disertasi ini bertolak dari gagasan Foucault tentang arkeologi-genealogi pengetahuan. Foucault bertolak menelusuri episteme, yang mempunyai arti “dasar, arsip, prinsip, atau tonggak penentu arah‟. Prinsip dasar ini dinilai pada konteks sejarah, khususnya sejarah pemikiran, sangat menentukan dalam membangun struktur diskursif. Foucault menggunakan term episteme guna menunjukkan suatu pengandaian, prinsip, syarat-syarat kemungkinan dan pendekatan tertentu yang membentuk suatu sistem diam-diam telah menentukan pemikiran, cara pandang, pengamatan dan pembicaraan mereka (Bertens, 1983: 314-315). Episteme itu mempunyai struktur maka dalam hal ini Foucault menyamakan episteme dengan sistem pemikiran dan menjadi landasan epistemologi setiap zaman yang memengaruhi corak ilmu pengetahuan yang dibangun diatasnya. Setiap zaman mempunyai episteme yang berbeda-beda, secara konseptual sebuah episteme baru mampu menyubtitusi episteme lama serta bagaimana episteme baru tersebut menyirkulasikan dirinya sedemikian rupa menggeser episteme lama hingga sebuah zaman kemudian mempunyai nada dasar keteraturan pemikiran yang lain sama sekali bila dibandingkan zaman sebelumnya (Suyono, 2002: 152). Usaha untuk mengeksplisitkan atau “menggali” episteme yang menentukan arah suatu periode tertentu inilah yang disebut arkeologi pengetahuan. Sasaran arkeologi pengetahuan adalah kerangka pemikiran khas suatu zaman dan struktur pemikiran yang mampu memberi makna pada dunia. Arkeologi menyaratkan sejarah, Foucault berupaya mengurai kekusutan pola sejarah tradisional mengenai 22 apa yang secara tradisional dipandang sebagai tidak dapat diubah. Proses kerjanya melalui arsip-arsip sejarah dari berbagai masyarakat untuk menjelaskan pembentukan wacana dan peristiwa yang telah menghasilkan bidang-bidang pengetahuan dan pembentukan wacana dari berbagai zaman (Foucault, 1982: 138140). Foucault dalam studi tersebut bermaksud menemukan episteme yang mendasari disiplin ilmu tertentu dan ciri pengetahuan yang menentukan bagi setiap periode, yang oleh Foucault disebut abad. Melalui episteme ini, sebuah obyek dapat dimengerti dan dipahami melalui pernyataan dan pandangan tertentu, suatu objek dapat dipahami dengan pernyataan dan pandangan tertentu, bukan melalui yang lain. Foucault, setelah menemukan episteme di setiap abad, melangkah lebih jauh melihat relasi kuasa-pengetahuan yang terjadi pada abad pertengahan sampai modern yang membakukan pola berpikir rasional empirik (empirico-rational) sebagai basis pengetahuan dan kebenaran. Pandangan ini menghegemoni budaya pengetahuan modern. Usaha Foucault untuk menggali praktik kuasa dan pengetahuan yang saling berkelindan tanpa bisa dipisahkan, yakni kuasa memproduksi pengetahuan, dan pengetahuan melahirkan kuasa inilah yang disebut dengan metode genealogi. Singkat kata, dalam arkeologi yang hendak ditelaah adalah prinsip dasar atau episteme dari setiap abad atau era, sementara dalam genealogi yang ditelaah adalah praktik relasi kuasa-pengetahuan yang tidak bisa dipisahkan. 23 Landasan teori berikutnya yang penulis ambil dari pemikiran Foucault adalah mengenai diskursus. Praktik diskursif merupakan cara menghasilkan pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, serta bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek. Diskursus bukanlah sebuah rangkaian kata atau proposisi dalam teks, akan tetapi Foucault memahaminya sebagai sesuatu yang memproduksi yang lain, yakni berupa sebuah teori, konsep bahkan lebih dimaksudkan sebagai ilmu dan filsafat. Suatu diskursus dapat diidentifikasi lantaran merupakan kumpulan suatu ide, opini, konsep yang sistematis serta berupa pandangan hidup yang terbentuk dalam konteks tertentu dan berakibat memengaruhi cara berpikir dan bertindak suatu kelompok masyarakat tertentu. Praktik diskursif ini tidak hanya membatasi, membingkai dalam suatu diskursus yang menghegemonik, tetapi justru melahirkan pengetahuan. Ciri utama diskursus ialah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam banyak kajiannya mengenai penjara, seksualitas, dan kegilaan, Foucault menunjukkan bahwa konsep seperti gila, tidak gila, sehat, sakit, benar dan salah, bukanlah konsep yang abstrak yang datang dari langit tetapi dibentuk dan dilestarikan oleh wacana-wacana yang berkaitan dengan bidangbidang seperti psikiatri, ilmu kedokteran, serta ilmu pengetahuan pada umumnya. Di ruang publik biasanya terdapat berbagai macam diskursus yang berbeda satu lama lain, namun praktik kuasa memilih, menentukan dan mendukung diskursus 24 tertentu sehingga diskursus tersebut menjadi dominan, sementara diskursusdiskursus lainnya "terpinggirkan" (marginalized) atau "terpendam" (submerged). Konsekuensinya, ada dua implikasi yang dilahirkan dari diskursus dominan tersebut. Pertama, diskursus dominan memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami. Pandangan yang lebih luas menjadi terhalang, karena wacana memberikan pilihan yang tersedia dan siap pakai. Pandangan dibatasi hanya dalam batas-batas struktur diskursif tersebut, tidak dengan yang lain. Kedua, struktur diskursif yang tercipta atas suatu objek tidaklah berarti kebenaran. Batasbatas yang tercipta tersebut bukan hanya membatasi pandangan, tetapi juga menyebabkan wacana lain yang tidak dominan menjadi terpinggirkan. Setiap kekuasaan pada dasarnya berusaha membentuk pengetahuannya sendiri, menciptakan rezim kebenaran sendiri. Kekuasaan selalu datang dengan memproduksi suatu politik kebenaran, melalui mana kekuasaan dengan begitu dimapankan, disusun, dan diwujudkan serta dilestarikan. Oleh karena itulah dalam analisis diskursus yang perlu dilihat adalah bagaimana produksi wacana atas suatu hal diproduksi dan bagaimana reproduksi itu diciptakan. Analisis kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan (power) dalam analisisnya. Setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau apapun, tidak dipandang sebagai suatu alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Kekuasaan tidak mengacu pada satu sistem umum yang didominasi oleh seseorang atau suatu kelompok terhadap yang lain, tetapi menunjuk pada beragamnya hubungan kekuasaan. Kekuasaan bersifat produktif, 25 dalam arti relasi kuasa melahirkan pengetahuan ataupun sebaliknya, kuasa juga melahirkan perlawanan atau risistensi. Kekuasaan bukanlah institusi, bukan pula struktur, bukan kekuatan yg dimiliki, serta bukan dominasi suatu kelas, tetapi nama yg diberikan pada situasi strategis komplek dalam masyarakat. Kekuasaan lahir dari situasi intern keragaman karena adanya perbedaan, pemisahan dan bahkan diskriminasi. Syaratsyarat kemungkinan pemahaman kekuasaan tidak berpusat pada satu titik atau satu sumber otoritas, namun berasal dari adanya perbedaan hubungan. Seperti kekuasaan dalam bingkai laki-laki/perempuan, anak muda/orang dewasa, pemuka agama/umat, pemerintah/rakyat (Haryatmoko, 2003: 218) Strategi kekuasaan melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak mengetahui terumus dalam pengetahuan. Bahasa menjadi alat untuk mengartikulasikan kekuasaan pada saat kekuasaan harus mengambil bentuk pengetahuan, karena ilmu-ilmu terumus dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Kekuasaan-pengetahuan terkonsentrasi di dalam kebenaran pernyataan-pernyataan ilmiah. Oleh karena itu, semua masyarakat berusaha menyalurkan, mengontrol, dan mengatur wacana sesuai dengan tuntutan ilmiah. Wacana semacam ini dianggap mempunyai otoritas. Kekuasaan dan pengetahuan saling terkait: „tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk sekaligus hubungan kekuasaan. Misalnya, definisi psikiatri tentang alienasi mempraktik penanganan orang gila, definisi kedokteran mengenai penyakit, penyakit menular, penyakit keturunan yang 26 menyebabkan isolasi, pengasingan hubungan sosial berubah, konsep tentang kecantikan menghasilkan salon, diet, cara makan, fitness, pakaian, kursus-kursus (Haryatmoko, 2003: 225-230). E. Metode Penelitian 1. Tahap Pengumpulan Data Penelitian ini sepenuhnya bersifat kepustakaan (library research), oleh karena itu langkah pertama yang peneliti lakukan adalah mengumpulkan data primer khususnya data yang berhubungan dengan fokus penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan cara memberi kode setiap subsistem data penelitian. Penelitian ini bersifat kualitatif, setiap tahap pengumpulan data peneliti sekaligus melakukan analisis untuk memahami makna dan menangkap inti yang terkandung dalam kategori data yang terkumpul (Kaelan, 2005: 159). Adapun proses pengumpulan data dilakukan dengan: 1). mencatat data secara quotasi, yaitu mencatat data dari sumber data secara langsung dan secara persis mencatat data pada kartu data secara paraphrase, mencatat dan menangkap keseluruhan inti sari data kemudian mencatat pada kartu data, dengan menggunakan kalimat yang disusun oleh peneliti sendiri 3). mencatat data secara sinoptik, yaitu mencatat data dari sumber data dengan membuat ikhtisar atau summary (Kaelan, 2005: 160161). Bahan kepustakaan yang digunakan dibagi dalam dua klasifikasi, yaitu sumber primer dan sekunder. a. Buku yang dipergunakan sebagai sumber primer yang membahas masalah utama adalah karya Jabiri: Naqd al-„Aql al-„Arabi (1) Takwin al-„Aql al- 27 „Arabi: Naqd al „Aql al „Arabi (2) Bunyah al „Aql al „Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Li Nizam al-Ma‟rifah fi al-Saqafah al-„Arabiyyah; (3) Naqd al-„Aql al-„Arabi: al-„Aql as-Siyasah al-Arabi: Muhaddidah wa Tajalliyatuhu; (4) Naqd al-„Aql al-„Arabi: al-„Aql al-Akhlaqi al-„Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nudhum al-Qiyam fi as-Tsaqafah al„Arabiyyah; Serta karya Michel Foucault: (1) Arkeology of Knowledge & Discourse on Language; (2) Power/Knowledge: Selected Intervew & Other Writings 1972-1977; (3) The Order of Things: An Archaeology of The Human Sciences; (4) The History of Sexuality I & II: An Introduction. b. Sumber sekunder yaitu sumber yang bersifat sebagai pelengkap yang masih berkaitan dengan tema utama, meliputi buku al-Turas wa al-Hadasah; Dirasah wa Munaqasyah; Isykaliyyah al-Fikr al-„Arabi al-Muasir; ArabicIslamic Philoshophy; Post Tradisonalisme Islam; beberapa karya jurnal, artikel, koran, dan website (internet) yang terkait denagan tema penelitian secara langsung. 2. Tahap Analisis Data Tahap analisis data dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut: a. Metode interpretasi, langkah pertama dalam penelitian disertasi ini dilakukan dengan mendiskripsikan dan mengungkap makna esensial yang terkandung dalam obyek penelitian. Untuk data yang berupa data verbal analisis interpretasi dilakukan dengan tahap pertama mengungkap makna semantik, kemudian diungkap makna kedalaman, esensial atau deep structure, (Poespoprodjo, 1987: 1). Makna hakiki dalam kritik nalar ini 28 tentu saja bukan hanya pada level empirik, tetapi juga memahami konteks apa yang melatarbelakangi munculnya gagasan, motif dan bahkan ideologi yang diusung dalam gagasan tersebut. b. Metode analisis digunakan untuk menganalisis secara obyektif dan kritis atas konsep-konsep dan discourse berdasarkan pada arti katanya (Sudarminta, 2002: 103). Analisis ini benar-benar murni didasarkan penalaran semata. Kebenaran analitis dianggap, dicipta, dan ditopang oleh keputusan abriter manusia dengan menggunakan konsep yang merupakan semata-mata implikasi dari konvensi linguistik. Penerapan metode ini dilakukan dengan mengungkap dan menganalisisi kritik nalar Jabiri di satu sisi, sekaligus analisis praktek kuasa dan pengetahuan Foucault di sisi lain. c. Metode historis berupaya mengaitkan sebuah pemikiran dengan historisitas kebudayaan, ideologi, politik, dan sosial. Metode ini juga berupaya melakukan penentuan periodisasi secara historis. (Anton Bakker dan Charris Zubair, 1990: 47). Metode ini digunakan untuk melihat historisitas pemikiran Jabiri, khususnya kritik nalarnya serta model berpikir dan proyekproyek filsafatnya. Di samping itu, metode ini juga digunakan untuk melihat pembentukan nalar Islam Indonesia muncul dalam lingkup sejarah dan pergumulan yang panjang. d. Metode heuristika adalah teori menemukan jalan untuk menangani suatu masalah secara ilmiah. Heuristik bersifat selalu mendahului ilmu. Ilmu sendiri justru harus memerikan, menerangkan, membuktikan dan ini tidak mencakup, secara tersurat, jalan yang dilalui menuju ilmu (heuristik). Maka 29 heuristik biasanya dianggap sebagai medan yang tidak dapat disempadani secara tajam. Medan ini meliputi sejumlah besar faktor nir-ilmiah, tetapi justru menjadi penting demi munculnya pengetahuan atau ilmu pengetahuan (Peursen, 1985: 97). Faktor-faktor yang selama ini dianggap non ilmiah berupa anggapan metafisis, konteks penemuan (contex of discovery), prejudice, dan lain-lain. Penemuan atau kebaharuan penelitian ini diharapkan melahirkan tawaran baru, utamannya di bidang epistemologi dan metodologi. Penulis sangat optimis akan kemunculan kebaharuan dalam penelitian ini, sebab analisis dari pendekatan arkeologis-genealogis Foucault terhadap kritik nalar Jabiri akan mencoba membaca Jabiri dari objek formal yang bercorak tidak hanya „filosofis-rasional‟ akan tetapi juga kondisi atau situasi yang selama ini diabaikan dalam batas-batas rasionalitas modern. Secara umum, langkah-langkah metodis pertama-tama diarahkan untuk melakukan interpretasi atas data yang diseleksi sesuai dengan judul penelitian ini, langkah metodis pertama ini diharapkan mampu memahami secara mendalam gagasan-gagasan kritik nalar, sekaligus landasan teori atau objek formal yang digunakan sebagai kerangka analisis. Langkah berikutnya, penulis menggunakan metode analisis sebagai pra-kondisi dalam menerapkan landasan teori atas kritik nalar. Hasil analisis sekaligus relevansinya dalam konteks keIndonesiaan itu lah menjadi ruang penulis dalam melahirkan temuan-temuan baru dalam disertasi ini. Kunci utama untuk menemukan pemahaman baru dalam disertasi ini terletak pada konsistensi penulis menggunakan kerangka teori untuk digunakan menganalisis kritik nalar al-Jabiri sebagai objek material. 30 F. Sistematika Penulisan Disertasi ini secara umum melakukan kajian kritis atas epistemologi dan metodologi kritik nalar al-Jabiri. Hanya saja, agar memperoleh pembacaan yang lebih dalam, penulis menggunakan kerangka epistemologi Michel Foucault untuk melihat cara kerja kritik nalar Jabiri. Hal ini dilakukan bukan hanya untuk memperkuat kajian kritik nalar, akan tetapi sangat dimungkinkan terjadinya „dialog‟ metodologis. Pada bab I, penulis menggambarkan konteks atau latar belakang lahirnya kritik nalar beserta persoalan yang melingkupinya. Bab pertama ini secara umum berisi latar belakang persoalan, rumusan dan landasan teori serta hasil penelitian secara umum. Sementara pada bab II, secara khusus penulis membahas epistemologi Michel Foucault, terutama gagasan Foucault yang terkait dengan arkeologi, episteme, genealogi hingga persoalan kuasa-pengetahuan. Epistemologi Foucault ini digunakan sebagai kerangka teoritik dalam menganalisis kritik nalar Jabiri. Pada bab III, pembahasan difokuskan dengan melacak proses pembentukan nalar bayani, irfani dan burhani beserta sistem pengetahuan yang mendasarinya. Setelah mengetahui proses dan sistem pengetahuan yang mendasarinya, kemudian dilakukan telaah kritis dan analitis atas ketiga nalar tersebut, sehingga terlihat kelemahan mendasar dari bangunan nalar bayani, irfani dan burhani (masyriq). Berdasarkan problematika tersebut, al-Jabiri kemudian dengan cermat memberikan pembasisan baru atas nalar bayani dan burhani (maghrib), dan menyingkirkan nalar irfani. Pembahasan terakhir pada bab ini mengenai nalar 31 politik Arab Islam yang mendominasi beserta „pertikaian‟ yang mengarah pada perdebatan aqidah atau ilmu kalam. Uraian sedikit mengenai kritik nalar politik al-Jabiri ini dijadikan pijakan dasar untuk melihat relasi kuasa-pengetahuan Analisis atas obyek material diuraikan dalam bab IV. Penjelasan dalam bab ini berkisar soal arkeologi dan genealogi dalam kritik nalar; episteme serta problem ketidaksadaran kognitif nalar Arab Islam; hingga problem nalar dan kebudayaan. Pada bab ini juga mengeksplorasi mendalam untuk menemukan langkah-langkah metodologis yang cukup ketat dalam membangun kritik nalar. Hasilnya, terdapat pembedaan nalar (al-Aql al-Mukawwan dan al-Aql alMukawwin) di mana dari sinilah lahir „teks‟ yang terpinggirkan. Pembahasan terakhir dari bab ini mengulas mengenai kaitan antara nalar dan kebudayaan serta secara spisifik langkah-langkah metodis al-Jabiri dalam membaca turast (tradisi). Pada bab V, penulis mencoba menarik bangunan metodologi kritik nalar dalam konteks nalar Islam di Indonesia. Penulis berangkat dari era kultural epistemologis secara umum (nalar Indonesia), namun secara spisifik mengarah pada bangunan nalar Islam Indonesia dari era pra kolonial hingga post kolonial. Disertasi diakhiri dengan kesimpulan dan saran, pada bab terakhir, yakni bab VI yang berisi beberapa hal yang dianggap ringkasan serta saran-saran. Demikian gambaran singkat mengenai sistematika penulisan disertasi ini.