1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Permasalahan
Kuasa nalar terbentuk (al-„aql al-mukawwan) menentukan cara memahami,
menafsirkan teks keagamaan, bahkan dalam membentuk cara pandang (world
view) umat Islam. Nalar ini diyakini sebagai kebenaran „mutlak‟ dan mempunyai
otoritas yang kuat, yakni kewenangan dalam arti menentukan sebuah proses
penalaran dan pengambilan keputusan (judgment). Kritik-kritik yang dilakukan,
baik kritik nalar maupun bahkan kritik teks, sengaja diabaikan begitu saja,
lantaran dianggap mengganggu keberagamaan bahkan keyakinan teologis yang
telah mapan selama ini. Di saat dominasi nalar terbentuk terasa sangat kuat
mendominasi, teks-teks keagamaan sebagai hasil bentukannya, kini telah
mempunyai kuasanya sendiri (Harb, 1995:7). Teks dengan kuasanya mendominasi
nalar, sehingga nalar kritis ikut menghilang dalam peradaban Islam.
Nalar terbentuk (al-„aql al-mukawwan) adalah “sistem aturan atau kaidah
yang diterima dan dibakukan dalam era tertentu dan memperoleh nilai mutlak
dalam era tersebut”. Nalar terbentuk mempunyai aturan-aturan dan hukum
berpikir yang ditentukan dan dipaksakan secara tidak sadar dan dijadikan
pegangan dalam beragumentasi (istidlal) (al-Jabiri, 1991: 15). Dalam proses
penalaran, prinsip-prinsip dasar atau kaidah telah ditetapkan sebagai kerangka
rujukan konseptualisasi nalar. Nalar terbentuk juga memberi kemungkinan untuk
memproduksi pengetahuan yang bersifat tetap atau stagnan, lantaran relasi diri-
1
2
pembaca dengan objek-terbaca (penafsir dengan teks) tidak bersentuhan dengan
dimensi sosial-budaya, baik dari sisi teks itu terbentuk ataupun dalam konteks
kekinian. Implikasi hubungan demikian menghasilkan pengetahuan yang bersifat
normatif dan statis sehingga nyaris tidak ada temuan yang baru sama sekali.
Menurut pengamatan Jabiri, bukanlah objek-terbaca (teks) yang menjadi
persolaan, tetapi justru diri-pembaca lah yang terbelenggu nalarnya, tentu saja
pandangan Jabiri ini berbeda dengan Ali Harb sebagaimana penulis kemukakan di
atas.
Keterbelengguan ini membatasi cara pandang individu atau kelompok
terhadap alam, manusia dan masyarakat bahkan pula tentang Tuhan. Pembatasan
cara pandang tersebut telah ditentukan dan dipaksakan oleh prinsip-prinsip dan
aturan yang telah baku dan terjadi dalam kondisi tidak sadar. Istilah lainnya, nalar
berada dalam posisi „tidak sadar‟ akan penentuan dan pemaksaan yang dilakukan
oleh prinsip-prinsip dan aturan tersebut. Inilah yang oleh Jabiri disebut dengan
„ketidaksadaran kognitif‟. Rumitnya lagi, dalam kondisi tak sadar dan
terbelenggu, nalar terbentuk itu hingga kini merasa aman di posisi sistem
pengetahuan atau episteme masing-masing (Jabiri, 2003: 67-68). Pengaruh
keterbelengguan nalar ini mengakibatkan hilangnya nalar berpikir kritis, bebas,
berimaginasi dan bahkan berspekulasi. Mazhab Frankfurt menamai kondisi
demikian dengan istilah rasio instrumental atau akal subjektif.
Fungsi kritik nalar dalam konteks ini bermanfaat untuk membongkar
episteme-episteme yang „menentukan‟ pada fase-fase perkembangan pemikiran
Islam. Arkoun menunjukkan bahwa upaya hermeneutis untuk menafsirkan Qur'an
3
selalu tidak pernah dilepaskan dari „kekuasaan‟ episteme-episteme itu. Setiap
episteme mempunyai lokasinya yang spesifik dalam sejarah, karenanya tidak
pernah dapat universal. Oleh karena episteme merupakan struktur yang
membentuk rasio, maka yang terakhir inipun bersifat historis pula, atau bisa
disebut bersorak konstruktivis. Maka pada tahapan berikutnya, interpretasiinterpretasi yang lahir darinya juga berwatak historis. Fungsi kritik, salah satunya,
tidak lain adalah untuk menunjukkan historisitas dari sebuah penafsiran
(Abdallah, 1994: 44).
Arkoun dalam hubungan ini misalnya menyinggung konsep logosentrisme
Jacques Derrida, suatu konsep tentang hadirnya sebuah subjek yang sadar penuh
dan berkuasa dalam menentukan makna. Jika dikaitkan dengan sebuah teks, maka
logosentrisme berarti hadirnya otoritas tunggal yang berwenang untuk
menentukan secara tepat makna dari teks tersebut. Pembentukan makna di luar
otoritas tersebut dianggap tidak sah. Konsep logosentrisme dalam tradisi
pemikiran Islam dikaitkan Arkoun dengan gejala pembentukan ortodoksi, yakni
sebuah wewenang (authority) yang mempunyai hak penuh atas teks dan
penafsirannya sekaligus. Kelahiran suatu ortodoksi tidak dapat dilepaskan dari
determinasi-determinasi historis serta kepentingan-kepentingan politis. Dalam
sejarah Islam, Arkoun menunjukkan tiga ortodoksi besar: Sunni, Syi'ah dan
Khawarij. masing-masing ortodoksi ini mempunyai klaim kesahihannya
(kevalidannya) sendiri (Arkoun, 1994: 158).
Fungsi kritik nalar berikutnya adalah untuk membongkar ranah-ranah
„terlarang‟ yang tidak boleh dan tidak mungkin dipikirkan dalam sejarah
4
pemikiran Islam. Sebab, setiap ortodoksi yang logosentrik selalu menciptakan
mekanisme perlindungan untuk menghindari ancaman dari episteme-episteme
alternatif di luar dirinya. Mekanisme perlindungan itu diciptakan dengan cara
membangun "tabu-tabu". Logosentrisme juga melahirkan semacam pola oposisi
biner antara yang reasonable dan unreasonable, di mana elemen-elemen yang
unreasonable itu disingkirkan, sementara yang dilindungi dan dipertahankan
adalah elemen-elemen yang dianggap masuk akal semata. Sementara kritik
historis diarahkan untuk membongkar bahwa klaim kesahihan yang diajukan oleh
ortodoksi itu tidak bersifat universal dan mutlak. Karena episteme yang melandasi
basis kesahihan dari ortodoksi tersebut mempunyai korelasi secara spesifik
dengan konteks sosio historis tertentu (Abdallah, 1994: 44). Episteme tersebut
juga mempunyai batas dan ukuran waktu tertentu, yakni episteme abad klasik,
abad pertengahan dan abad modern (Meuleman, 1996: 120-121).
Berbeda dengan Arkoun, Jabiri mengukur batas-batas episteme berdasar
pada syuruth al-sihah al-ma‟rifah (syarat-syarat keabsahan pengetahuan). Batas
episteme yang disebut “syarat-syarat keabsahan” ini sejajar dengan proyek kritik
rasio murni Kant yang menyaratkan adanya kategori-kategori dalam proses
pengambilan putusan (judgment) (Kant, 1990: 13), sementara dalam hal yang
terkait dengan kondisi nalar yang terbelenggu dan merasa nyaman dalam kondisi
tersebut, kritik nalar Jabiri dapat dinilai terdapat kemiripan proyek antropologi
strukturalnya Levi-Strauss, sebab konsep akal menurut Levi-Strauss identik
dengan struktur-struktur ketidaksadaran beserta syarat-syarat kemungkinan
aktivitas manusia (Ahimsyah, 2001: 66-67)
5
Syarat-syarat keabsahan dalam nalar Arab-Islam oleh Jabiri dikaitkan
dengan suatu era historis tertentu (dalam kebudayaan tertentu), yang di dalamnya
terdapat struktur bawah sadar, struktur itu sendiri memuat faktor-faktor permanen
dan berubah. Dalam pandangan Jabiri nalar dan kebudayaan adalah satu struktur
yang tidak bisa dipisahkan, sebagaimana definisi kebudayaan menurut E. Herriot
bahwa “sesuatu yang tetap utuh ketika segala yang lainnya telah sama sekali
terlupakan”. Hal ini berarti dalam setiap kebudayaan mengandung struktur
kognitif yang permanen dan yang berubah. Nyatanya, „yang berubah‟ dalam
kebudayaan Islam-Arab justru beralih menjadi sesuatu yang permanen dan tersisa
hingga sekarang ini (Jabiri, 1991: 38). Nalar inilah yang menjadi kerja kritik nalar
Jabiri. Analisa kritik nalar Jabiri sampai pada sebuah thesis statement, bahwa
terjadi konflik epistemologis, yakni konflik syarat-syarat pengetahuan sekaligus
konflik ideologis yang mengitari proses pembentukan nalar Arab-Islam.
Kritik nalar Jabiri bergerak pada tiga ranah: Pertama, kritik nalar
epistemologis; kedua, kritik nalar politik; ketiga, kritik nalar etika. Kritik nalar
epistemologis disebut juga nalar „spekulatif‟, kritik nalar ini mengambil bentuk
proses pembentukan pengetahuan, praktik kuasa yang memproduksi pengetahuan
hingga sistem pengetahuan yang mendasarinya. Jabiri berhasil mampu
membongkar arkeologi dan genealogi dari ketiga sistem pengetahuan, yakni
bayani, irfani, hingga burhani (masyriq). Berikutnya, Jabiri menghadirkan model
pengetahuan yang selama ini tersingkir, tak dikatakan dalam peradaban Islam
akibat berbagai faktor (baik faktor epistemologis maupun ideologis), yakni sistem
pengetahuan bayani-burhani (maghrib) yang kental dengan tradisi demonstratif,
6
eksperimental dan empiris sekaligus. Kekuatan Jabiri dalam proses pelacakan
nalar Arab-Islam dapat dilihat misalnya kemampuannya memunculkan prinsip
mendasar dalam suatu episteme, misalnya prinsip muqarabah (kedekatan) dalam
episteme bayani memengaruhi cara pandang similiaritas dan kedekatan (Jabiri,
1993: 243). Pembicaraan tentang sosialisme, misalnya, maka dicarilah sosialisme
yang islami, psikologi islami, dan seterusnya.
Kritik nalar politik, yang dikenal dalam kategori nalar praktis, menekankan
sebuah praksis. Fokus kritik ini diarahkan pada cara-cara berkuasa dan menguasai,
lebih jauh Jabiri menjelaskan menyangkut keterkaitan munculnya disiplin siyasah
syar'iyyah atau fiqih siyasah dengan strategi militeristik kekuasaan khalifah untuk
menundukkan masyarakat. Pertimbangan menundukkan masyarakat dengan
kekuatan fisik seperti dulu dinilai tidak lagi efektif. Kelompok-kelompok
intelektual ini tidak akan mudah ditundukkan melalui pedang dan tombak. Strategi
lain yang dianggap mampu melampaui fisik dan mengenai lokus mental serta
pikiran masyarakat di masa itu. Peradaban Islam di era kejayaan juga berkorelasi
dengan masa penundukan mental dan pikiran umat Islam ke bawah kekuasaan
militeristik Abbasiyah. Hal ini berarti ketika memindahkan arena perang ke dunia
politik dan juga ke wilayah kebudayaan dan pemikiran, Ibn Muqaffa merancang
suatu teknik dan body of knowledge yang memproyeksikan skema militer
tersebut ke dalam social body. Teknik dan body of knowledge itu dikenal
dengan sebutan "siyasah an-nafs" dan "siyasah al-madinah", kontrol dan
disiplin diri serta kontrol terhadap masyarakat publik (Jabiri, 1995: 343).
7
Kritik nalar etika, Jabiri menemukan bahwa etika Islam terbentuk oleh
pengaruh dari luar yang sifatnya ideologis. Nalar etika yang memengaruhi
masyarakat Islam adalah etika Persia. Etika Persia digunakan oleh penguasa
waktu itu sebab dianggapnya mempunyai nilai relevan dalam menjalankan roda
pemerintahan. Perlu diketahui bahwa dalam etika Persia mengajarkan doktrin
ketaatan terhadap kekaisaran. Menurut Jabiri, al-Mawardi dan Ibn Muqoffa‟
adalah pemikir yang mengasimilasikan etika Persia dengan etika Islam (Jabiri,
2001: 171). Di samping itu terdapat etika Yunani yang ikut memengaruhi etika
Islam yang sering disebut al-Jabiri dengan al-akhlaq al-sa‟adah (konsep
kebahagiaan). Pengaruh etika Yunani ini mempunyai tiga kecenderungan;
Pertama, kecenderungan medis, yakni kebahagiaan jasmani terletak pada
kesehatan jasmani, sedangkan kebahagiaan jiwa terletak pada jiwa dan etika
(Jabiri, 2001: 291). Beberapa filsuf yang fokus pada kecenderungan medis ini di
antaranya adalah al-Kindi, al-Razi, Tsabit bin Qatar, Ibn Haitsam dan Ibn Hazm.
Kedua, kecenderungan filosofis. Plato dan Aristoteles menjadi rujukan primer
dalam etika filosofis ini. Misalnya saja konsep kebahagiaan dapat dicapai oleh
manusia yang mempunyai pandangan rasional mengenai alam ini. Individu yang
berkualitas akan membawa kepada kebahagiaan manusia di atas norma-norma
yang mereka sepakati. Ketiga, kecenderungan eklektis, yakni kecenderungan nalar
etis yang mengambil worldview Galinus, Plato dan Aristoteles (Jabiri, 2001: 421).
Dominasi nalar terbentuk yang membelenggu nalar Islam tidak hanya terjadi
di wilayah Islam Arab semata, akan tetapi juga berpengaruh secara massif pada
nalar Islam di Indonesia, baik pada nalar epistemik, nalar politik hingga nalar etis.
8
Pada abad 17 sampai 18 M. muncul cakrawala baru dalam penalaran dan
pemahaman Islam di Nusantara. Cakrawala pemikiran Islam tersebut dapat
ditelaah melalui karya-karya ulama Nusantara pada abad itu. Pemikiran yang
paling menonjol dan mendominasi pentas pemikiran Islam, di antaranya adalah;
Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abd Ra‟uf as-Sinkali, dan Yusuf alMakasari. Cakrawala pemikiran tersebut tidak memiliki pemahaman keagamaan
yang homogen dan monolitik, tetapi justru menggambarkan corak pemahaman
keagamaan yang berbeda satu sama lain. Nuruddin al-Raniri dan Hamzah Fansuri
merupakan dua model ulama khas yang berusaha menancapkan paham keagamaan
tertentu demi terciptanya nalar dan pemahaman keagamaan yang hegemonik. Para
sejarawan mencatat bahwa perseteruan keduanya tidak hanya terhenti pada taraf
wacana, tetapi lebih dari itu. Al-Raniri, yang dalam konteks perseteruan ini
berkolaborasi dengan Sultan Iskandar II, melengkapi percekcokan tersebut dengan
cara memfatwakan sesat aliran panteisme yang dianut Hamzah Fansuri, alSumatrani beserta murid-muridnya. Puncak dari itu semua adalah pembakaran
buku-buku karya Hamzah Fansuri dan al-Sumatrani, sementara pengikutnya yang
setia dikejar dan dibunuh termasuk saudara kandung sultan sendiri. Tasawuf
falsafi yang digerakkan oleh Hamzah Fansuri dan al-Sumatrani menjadi model
tasawuf yang tertindas di Nusantara saat itu.
Berdasarkan proses sejarah di atas dapat dipahami bahwa nalar ortodoksi
Islam, yang lebih mengedepankan pemaknaan agama dengan penekanan pada
aspek syariat yang kuat mulai terlihat mendominasi. Kolaborasi al-Raniri dengan
kekuasaan semakin memperkuat posisi tawar-menawar nalar ortodoksi yang
9
dibawa al-Raniri dan pengikut-pengikutnya. Berikutnya, dalam rekaman historis,
tercatat bahwa setelah Sultan Iskandar II wafat nalar ortodoksi ini menurun cukup
drastis, namun demikian, nalar ortodoksi, paling tidak, telah meninggalkan jejak
yang cukup signifikan bagi perkembangan nalar Islam Nusantara pada periodeperiode selanjutnya.
Pada periode abad ke-18 pula, al-Palimbani merupakan ulama yang paling
bertanggungjawab terhadap penyebaran pemahaman yang menyatukan nalar
bayani dan irfani sebagaimana Al-Ghazali telah merumuskannya. Kepakaran alPalimabani mengenai pemikiran Al-Ghazali, khususnya menyangkut soal tasawuf
dan syari‟at, dibuktikannya dengan penulisan karya yang berjudul Fadha‟il alIhya‟ li al-Ghazali (Azra, 2013 : 355). Menurutnya, para pemikir lain semisal alRaniri, al-Sinkili, dan al-Maqassari memang sama-sama merujuk pada al-Ghazali
sebagai basis epistemiknya, akan tetapi pemikiran al-Palimbanilah yang paling
mendekati gagasan al-Ghazali mengenai hal di atas. Karya-karya al-Palimbani
yang selalu dikaitkan dengan tulisan-tulisan al-Ghazali adalah Hidayat al-Salikin
fi Suluk Maslak al-Muttaqin dan Sayr al-Salikin ila Ibadah Robb al-„Alamin.
(Azra, 2013 : 355-356).
Pembasisan episteme bayani, yang telah terbentuk, misalnya dilakukan
melalui pendekatan kesenian, contoh dalam tembang Lir-Ilir. Pada bagian
tembang
tersebut
dijelaskan:
“…lunyu-lunyu
penekno
kanggo
mbasuh
dodotiro…” (meskipun licin, teruslah memanjat untuk mencuci pakaianmu),
artinya, meskipun banyak rintangan, teruslah menyebarkan syari‟at untuk
mencuci ragamu dengan aturan-aturannya. Sistem pengetahuan bayani jelas
10
mendapatkan pembasisannya melalui tembang tersebut. Pembasisan episteme
bayani ini sebagaimana dilakukan oleh para fuqaha‟ (ahli hukum Islam). Bukan
hanya itu, nalar harmonisasi bayani dengan irfani juga ditancapkan oleh kalangan
ini. Kenyataan ini tergambar dalam sebuah ajaran dalam Suluk Wujil karya Sunan
Bonang, „Dipun weruh ing urip sejatine, lir kurungan raraga sedaya, becik den
weruhi manuke. Rusak yen sira tan weruh…yen sira yun weruh becikana kan
sirara, awisma ing enggon punang sepi”. Artinya, „hendaknya kalian tahu arti
hidup sejati, ibarat sangkar, hendaknya burung yang ada di dalam sangkar
diketahui. Rusak jika tidak tahu…jika kamu ingin tahu perbaikilah ragamu,
tunggulah di tempat sepi‟. Sunan Bonang hendak menegaskan bahwa arti hidup
sejati adalah keseimbangan antara perbaikan raga melalui pengamalan syari„at
dengan penyucian jiwa melalui meditasi dan kontemplasi di tempat yang sunyi
(„uzlah) (Baso, 2012: 105). Harmonisasi episteme bayani dan „irfani ini jelas
dipengaruhi oleh tasawuf-sunni al-Ghazali, seorang pemikir yang mencetuskan
formula tasawuf Sunni, buah pemikiran yang menyintesiskan kedua sistem
pengetahuan tersebut.
Para penyebar agama menulis buku-buku Islam Indonesia dari yang paling
sederhana hingga pada level yang tinggi, yakni dari tingkat bayani (syari‟at)
hingga irfani (tasawuf), sebagaimana jelas tergambar dari teks-teks suluk Sunan
Bonang, dan teks-teks lainnya yang diadopsi dari ajaran-ajaran para Wali Songo.
Teks-teks al-Ghazali dan segenap model atau corak berpikirnya muncul menjadi
penentu dalam segenap perbincangan mengenai keagamaan (Baso, 2012: 108).
11
Nalar terbentuk yang pembasisannya dilakukan melalui tradisi lokal dan
sekaligus mendapatkan dukungan dari otoritas kesultanan Demak ini menemukan
„musuh‟ ideologisnya dalam pemikiran kawula-Gusti Syekh Siti Jenar. Pernyataan
Siti Jenar: “Ya ingsun ini Allah. Ingsun iki jatinging Pangeran Mulya. Syekh
Lemah Abang iku wajahing Pangeran Jati” (Ya Aku inilah Allah. Aku ini
Hakekat yang Maha Mulia. Syekh Lemah Abang wajah Tuhan Sejati) ini jelas
sangat menganggu otoritas kelompok fuqoha‟ yang didukung kerajaan Demak,
hingga akhirnya Syekh Siti Jenar mendapatkan ganjaran hukuman mati.
„Kemenangan‟ nalar jatuh di tangan kelompok fuqoha‟ melalui konsepsi
harmonisasi episteme bayani-irfani. Nalar terbentuk inilah yang kemudian
menjadi acuan atau kerangka konseptual umat Islam Jawa (Indonesia) dalam
memandang realitas hingga sekarang. Inilah gambaran singkat dan umum
mengenai pengaruh nalar terbentuk Arab Islam ke dalam Nalar Indonesia (Islam)
yang kemungkinan besar, dalam asumsi penulis, belum ada pelampauan atas nalar
tersebut.
Islam Arab dan Islam Indonesia memang berbeda dalam ruang dan waktu,
akan tetapi nalar terbentuk, al-aql al-mukawwan, telah terlanjur tersebar masuk ke
Indonesia dalam bentuk yang berbeda, artinya terjadi proses modifikasi bentuk.
Sejarah proses pembentukan nalar Islam Indonesia diwarnai konflik epistemologis
yang cukup panjang, yakni antara sistem pengetahuan bayani dengan irfani.
Epistemologi bayani/teks misalnya, yang didukung oleh representasi kelompok
fuqaha> (ahli hukum), merupakan Islam meanstream yang mendapat restu dari
12
penguasa kerajaaan Demak, sementara epistemologi „irfani/mistik yang diwakili
Syekh Siti Jenar terpinggirkan dan bahkan dibungkam.
Berdasarkan uraian di atas, baik menyangkut nalar epistemologis, nalar
politik maupun nalar etika telah „terinstitusi‟ dan menjadi turast yang terbentuk.
Oleh karena itu, diperlukan kritik dekonstruktif atas problem tradisi atau turast.
Kritik ini mengarahkan pembaca untuk membebaskan diri dari nalar terbentuk
dengan cara „memutuskan diri‟ darinya. Untuk mengejar objektivitas, subjek
harus memisahkan diri dari objek hingga memungkinkan subjek menemukan
dinamikanya kembali dalam rangka membangun objek dengan perspektif baru.
Langkah berikutnya adalah memisahkan objek dari subjek agar objek memperoleh
independensi, personalitas, identitas serta historisitasnya (Jabiri, 2003: 37-39).
Menurut Jabiri kritik dekonstruktif tidaklah cukup tanpa adanya kritik
rekonstruktif.
Dekonstruksi
di
atas
bukan
berarti
menghindarkan
atau
menghancurkan tradisi, tetapi justru untuk mengkaitkannya kembali kepada
pembaca dalam bentuk yang baru, serta dalam pola hubungan yang baru, sehingga
tradisi dapat menjadi semasa dengan kehidupan pembaca (Jabiri, 2003: 40).
Mengadopsi apa yang layak dalam tradisi untuk dikembangkan demi kepentingan
masa kini dan masa depan adalah menguasai dan memaknai ulang secara kritisrasional atas nalar secara keseluruhan, mulai dari nalar epistemologis, nalar politik
hingga nalar etika. Model pembaharuan internal (at-tajdid min ad-dakhil) ini
diarahkan untuk sebuah transformasi pemikiran ataupun transformasi sosial (Baso,
2006: 170)
13
Menurut Jabiri kritik atas turast (tradisi) tidak diarahkan semata-mata pada
produk-produk pemikiran seperti persoalan ketuhanan, wahyu, aliran-aliran kalam
dan sebagainya yang semua itu terbentuk dalam teks. Baginya, kritik tradisi yang
paling utama harus diarahkan pada masalah yang paling mendasar, yakni “kritik
epistemologis” atau “kritik nalar.” Istilah “nalar” di sini sengaja dibedakan dari
“pemikiran”, sehingga Jabiri menyebut proyek kritik tradisinya dengan Naqd al„Aql (Kritik Nalar) bukan Naqd al-Fikr (Kritik Pemikiran).
Dalam berbagai karya yang ditulisnya, Jabiri berusaha mencurahkan
segenap kemampuannya untuk melakukan kritik tradisi atau turast dengan
menggunakan pendekatan—apa yang olehnya disebut sebagai—“pembacaan
kontemporer” atas tradisi, hanya saja upaya kritik tradisi yang dilakukan al-Jabiri
tidak sama dengan Hasan Hanafi yang kental dengan nuansa teologi (Hanafi,
1991: 9-15), ataupun Abu Zayd yang banyak diwarnai oleh kepentingan untuk
merumuskan metode hermeneutika al-Quran (Zayd, 1992: 117-118).
Konsep naqd al-„aql yang digunakan Jabiri tidak sama dengan konsep
“kritik akal”-nya Immanuel Kant sebab konsep “kritik akal” yang dilakukan oleh
Kant lebih diarahkan kepada akal atau rasio yang ada dalam setiap diri manusia
beserta segenap kemampuan-kemampuannya (Abdallah, 1994: 43-44). Sementara
dalam pengertian Jabiri, naqd al-„aql lebih diarahkan pada cara berpikir kolektif
suatu masyarakat yang aturan dan prinsipnya ditentukan secara sosial
(konstruktivis).
Istilah naqd al-„aql yang dipakai oleh al-Jabiri, menurut penulis, lebih tepat
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kritik nalar” dari pada “kritik
14
akal”, meskipun kata nalar dan akal dalam KBBI sama-sama berupa kata benda,
akan tetapi kata nalar yang mengandung arti jangkauan berpikir lebih tepat
dipakai sebab dalam jangkauan berpikir mengandung proses logis atau penalaran
di dalamnya. Berkaitan dengan kata akal dijelaskan pula bahwa kata tersebut
diartikan sebagai daya pikir, potensi, kemampuan berpikir untuk memahami
segala sesuatu, dan istilah akal lebih dilekatkan pada sifat manusia yang melekat
sekaligus menjadi pembeda dengan makhuk lain (binatang). Berdasarkan
penjelasan tersebut, penulis menggunakan istilah nalar (kritik nalar) dari pada akal
(kritik akal) dalam penulisan disertasi ini.
2. Rumusan Masalah
1. Apakah sesungguhnya kritik nalar beserta cara kerjanya menurut Jabiri?
2. Mengapa bangunan bayani, irfani dan burhani terjadi dan keterkaitanketerputusan nalar?
3. Bagaimana kritik nalar Jabiri dilihat dalam perspektif epistemologi
Michel Foucault?
4. Apakah kontribusi metodologi kritik nalar terhadap mode of thought
Islam, khususnya nalar Indonesia-Islam?
3. Keaslian Penelitian
Berdasarkan survey yang penulis lakukan, karya Happy Susanto yang
berjudul Demokrasi dalam Islam: Studi Perbandingan Pemikiran Muhammad
Abid Al-Jabiri dan Abdol Karim Soroush merupakan karya tesis yang membahas
mengenai Demokrasi dalam pemikiran Al-Jabiri yang dikomparasikan dengan
Abdol Karim Sorous. Sesuai dengan judul besar dari tesis tersebut maka jelas
15
bahwa karya tersebut mengulas pemikiran Al-Jabiri tentang demokrasi. Karya AlJabiri yang membahas tentang demokrasi dituangkannya dalam buku AlDimuqratiyah wa Huquq al-Insan. Karya tesis Ahmad Bahrur Rozi, berjudul
Prinsip Etika Islam: Studi Filsafat Moral Muhammad Abid Al-Jabiri secara
khusus juga membahas mengenai filsafat moral, yang sebetulnya disandarkan
pada karya Al-Jabiri yang berjudul Naqd al-„Aql al-„Arabi: al-„Aql al-Akhlaqi al„Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nudhum al-Qiyam fi as-Tsaqafah al„Arabiyyah.
Meskipun ada beberapa karya skripsi yang membaas mengenai kritik nalar,
akan tetapi disertasi ini merupakan upaya penulis untuk merekonstruksi kritik
nalar sebagai bangunan epistemologi baru yang lahir dari tradisi filsafat Islam
yang didialogkan dengan tradisi filsafat Barat, khususnya Epistemologi Michel
Foucault. Artinya, penulis belum menemukan karya yang membahas Kritik Nalar
Al-Jabiri yang dilihat bahkan didialogkan dengan tradisi filsafat Barat. Inilah
salah satu keaslian dari penelitian ini.
Untuk karya-karya yang Foucault, disertasi Muhammad Hamid Anwar
misalnya yang berjudul Wacana Pendidikan Jasmani di Indonesia dalam
Perspektif Arkeo-Genealogi Michel Foucault: Implikasinya dalam Konteks
Kekinian memang meletakkan Arkeologi-Genealogi Michel Foucault sebagai
landasan teoritik dalam melihat wacana pendidikan jasmani. Sebagai sebuah
metode tentu saja bersifat netral, tetapi penulis menilai penerapan metode tersebut
sangat berbeda dalam disertasi ini. Disertasi ini jelas mempraktikan Epistemologi
Michel Foucault tidak hanya sebagai landasan teoritik tetapi juga dalam kerangka
16
dialogis, terutama menyangkut konsep-konsep inti dalam pemikiran Foucault,
seperti episteme, diskontinuitas, dan seterusnya yang pada akhirnya melahirkan
pembacaan yang berbeda dan baru dari disertasi ini.
4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan berbagai problem akademik dan rumusan masalah di atas, maka
penelitian ini sangat diharapkan akan bermanfaat bagi kalangan akademisi filsafat
khususnya dan khalayak yang mempunyai minat dan fokus pada wacana
epistemologi filsafat Islam serta semua akademisi pada umumnya. Beberapa
manfaat yang dapat diperoleh dari disertasi ini:
1. Bagi pengembangan ilmu dan filsafat, khususnya dalam bidang filsafat
sebagai pengetahuan kritis. Penelitian ini diharapkan menjadi diskursus
baru dalam hal apakah sesungguhnya kritik nalar beserta cara kerjanya
dan kritik nalar dalam perspektif power/knowledge atau epistemologi
Michel Foucault. Kritik nalar memberikan model kritik
yang
mempertanyakan dan membongkar episteme dominan, mempertanyakan
norma
dan
fungsi-fungsinya,
serta
pengambilan
jarak
guna
terbongkarnya motif-motif dan kepentingan ideologis (kuasa) yang
terselubung dan bahkan sengaja disembunyikan.
2. Diskursus kritik nalar dalam bingkai analisis kuasa-pengetahuan ini
diharapkan akan melahirkan pemikiran-pemikiran yang memperlihatkan
kesejarahan dalam sistem pengetahuan, kekuasaan yang disembunyikan,
norma yang dianggap lepas dari sejarah dan bersifat universal. Lebih dari
itu secara praksis, kerangka teoritik ini dapat digunakan untuk melihat
17
realitas ke-Indonesiaan, khususnya Islam di Indonesia, baik secara
arkeologis maupun genealogis.
3. Bagi pembangunan nasional, khususnya pembangunan masyarakat Islam
di Indonesia, penelitian ini penting bagi upaya proses penyadaran dari
keterbelengguan nalar yang ironisnya tanpa sadar menikmatinya. Polapola berpikir yang cenderung tekstualis, rigid atau tidak lentur dan terjadi
pengulangan tanpa ada kebaharuan hingga kini cukup menyeruak ke
permukaan. Oleh karena itulah, diperlukan pergeseran paradigma yang
menekankan pada corak berpikir yang tidak hanya kritik dekonstruktif
tetapi sekaligus kritik rekonstruktif.
4. Bagi penelitian berikutnya, disertasi ini dapat dijadikan kerangka acuan
untuk mengembangkan diskursus filosofis kritik nalar Jabiri, utamanya
dalam bingkai epistemologi Michel Foucault. Penelitian berikutnya dapat
menjadikan disertasi ini ikut berperan dalam memberi kontribusi
metodologi kritik nalar dengan objek material yang berupa kearifankearifan nusantara, istilah Jabiri al-maurust al-qadim.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban-jawaban
kualitatif terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tersimpul dalam rumusan masalah:
1. Menjelaskan secara utuh hakikat kritik nalar Jabiri, sebuah kritik nalar
yang fokus terkait dengan proses pembentukan dan bangunan
epistemologis, cara kerja nalar dalam memproduksi pengetahuan dan
praktik kuasa dalam kritik nalar, sekaligus menggambarkan pengaruhnya
18
terhadap cara berpikir dan bertindak, cara manafsirkan teks keagamaan
serta kuasa yang mendorong munculnya pengetahuan.
2. Mampu menguraikan bangunan nalar dari proses pembentukan hingga
asumsi epistemologis yang mendasarinya, bahkan lebih dari itu,
mengungkapkan keterkaitan atau bahkan keterputusan nalar satu dengan
lainnya perlu diuraikan agar mampu menarik benang merah dan penilaian
yang dapat dipertanggungawabkan secara ilmiah dan rasional.
3. Mampu menemukan suatu „gagasan‟ baru dalam kritik nalar Jabiri yang
dilihat dari perspektif epistemologi Michel Foucault, terutama terkait
dengan penelusuran arkeologis-genealogis dalam kritik nalar, serta
praktik kuasa-pengetahuan (power/knowledge) dalam kritik nalar Jabiri.
4. Merumuskan kontribusi metodologi kritik nalar bagi proses pembentukan
dan bangunan nalar Islam di Indonesia serta pengaruhnya terhadap mode
of thought secara lebih khusus.
C. Tinjauan Pustaka
Menurut tinjuan penulis, bebarapa karya tulis ataupun penelitian yang
membahas mengenai pemikiran Jabiri tidaklah terlalu banyak, di antara karya dan
penelitian tersebut adalah:
Pertama, buku bunga rampai yang diedit oleh John Cooper, et. al (2000)
berjudul Islam and Modernity: Muslim Intelectual Respond, berisi satu bagian
khusus yang ditulis oleh Abdou Filali-Ansari mengulas mengenai apakah
rasionalitas modern dapat membentuk religiusitas baru perspektif al-Jabiri.
Tulisan ini disandarkan pada karya Jabiri yang berjudul Democracy and Human
19
Right (1994) dan Religion, State, and the Implementation of Religious Law
(1996). Karya ini secara lebih khusus menekankan pembahasan mengenai
demokrasi dan konsep syura‟ sebagai obyek material atau obyek kajian, sementara
pendekatan (obyek formal) yang digunakan adalah filsafat politik.
Kedua, karya Ahmad Baso (2000) yang menerjemahkan dan mengumpulkan
artikel-artikel Jabiri dalam sebuah buku Post-Tradisionalisme Islam memberikan
pengantar dengan judul Posmodernisme sebagai Kritik Islam: Kontribusi
Metodologis “Kritik Nalar” Muhammad Abed Al-Jabiri. Ahmad Baso dalam
karya ini mengekplorasi model kritik nalar Jabiri, khususnya terkait dengan nilai
kontribusi metodologis macam apa yang ditawarkan Jabiri ketika membaca
persoalan-persoalan tradisi masa lalu seperti tradisi Islam. Hal ini dapat dikatakan
tradisi menjadi concern dalam karya tersebut, sementara pembahasan filsafat
pengetahuan (epistemologi) tidak banyak memperoleh porsi pembahasan.
Ketiga, tulisan Amin Abdullah (2006) berupa artikel dalam sebuah Jurnal
al-Jami‟ah yang berjudul Al-Ta‟wil al-Ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma
Penafsiran Kitab Suci. Tulisan ini secara terbatas tetapi komprehensif mengulas
mengenai tiga sistem pengetahuan (bayani, irfani, burhani). Amin Abdullah
menjelaskan sumber (origin), cara memperoleh pengetahuan, validitas hingga
ilmu-ilmu yang muncul ilmu dari corak epistemologi bayani, irfani dan burhani
(Amin Abdullah, 2006: 386). Hal ini menunjukkan bahwa obyek formal yang
digunakan dalam tulisan ini adalah filsafat ilmu.
Keempat, penelitian Nirwan Syafrin (2010); Disertasi yang berjudul A
Critique of Reason in Contemporary Arab Philosophical Discourse with Special
20
Reference to Muhammad „Abid Jabiri. Disertasi ini membahas trend filsafat Islam
kontemporer, terutama yang terkait dengan kritik epistemologis. Tiga bangunan
sistem pengetahuan (bayani, irfani, burhani) juga menjadi pembahasan sentral
dalam disertasi ini. Karya ini cukup tajam mengkritik Jabiri yang mengagungkan
rasionalisme Ibn Rusyd yang disejajarkan dengan akal pencerahan (positivisme),
padahal rasio pencerahan telah mendapat kritik tajam dari pemikir post-modernis.
Berdasarkan tinjauan obyek formal dan material pada berbagai penelitian
dan pembahasan berupa buku tersebut, maka penelitian tentang Kritik Nalar M.
Abid al-Jabiri dalam Perspektif Epistemologi Michel Foucault: Kontribusi
Metodologi bagi Bangunan Nalar Indonesia-Islam ini baru dilakukan. Pada
penelitian ini karya-karya Jabiri diteliti dan dibahas berdasarkan perspektif analisa
epistemologi kritis, khususnya power/knowledge Michel Foucault sekaligus
ditelusuri proses pembentukan pengetahuan, bangunan nalar Arab-Islam hingga
kontribusi metodologis bagi bangunan nalar Islam di Indonesia. Tinjauan dan
pembahasan ini dilakukan dari perspektif epistemologis dan tentu saja tidak
mengabaikan dimensi ideologis (kuasa). Upaya untuk memenuhi pembahasan
berdasarkan analisa praktik kuasa-pengetahuan dalam kritik nalar, maka penelitian
terhadap karya Jabiri dilakukan pada aspek koherensi internal teks/karya, yakni
karya-karya Jabiri yang terkait dengan kritik nalar/‟aql. Karya-karya monumental
Jabiri memang secara umum konsisten membahas mengenai kritik nalar, namun
penulis juga menelaah karya Jabiri yang terkait dengan pembahasan turast
(tradisi), serta karya-karya Jabiri yang membahas mengenai metodologi dan sikap
terhadap kekinian (modernitas).
21
D. Landasan Teori
Landasan teori pertama penelitian disertasi ini bertolak dari gagasan
Foucault tentang arkeologi-genealogi pengetahuan. Foucault bertolak menelusuri
episteme, yang mempunyai arti “dasar, arsip, prinsip, atau tonggak penentu arah‟.
Prinsip dasar ini dinilai pada konteks sejarah, khususnya sejarah pemikiran, sangat
menentukan dalam membangun struktur diskursif. Foucault menggunakan term
episteme
guna
menunjukkan
suatu
pengandaian,
prinsip,
syarat-syarat
kemungkinan dan pendekatan tertentu yang membentuk suatu sistem diam-diam
telah menentukan pemikiran, cara pandang, pengamatan dan pembicaraan mereka
(Bertens, 1983: 314-315).
Episteme itu mempunyai struktur maka dalam hal ini Foucault menyamakan
episteme dengan sistem pemikiran dan menjadi landasan epistemologi setiap
zaman yang memengaruhi corak ilmu pengetahuan yang dibangun diatasnya.
Setiap zaman mempunyai episteme yang berbeda-beda, secara konseptual sebuah
episteme baru mampu menyubtitusi episteme lama serta bagaimana episteme baru
tersebut menyirkulasikan dirinya sedemikian rupa menggeser episteme lama
hingga sebuah zaman kemudian mempunyai nada dasar keteraturan pemikiran
yang lain sama sekali bila dibandingkan zaman sebelumnya (Suyono, 2002: 152).
Usaha untuk mengeksplisitkan atau “menggali” episteme yang menentukan
arah suatu periode tertentu inilah yang disebut arkeologi pengetahuan. Sasaran
arkeologi pengetahuan adalah kerangka pemikiran khas suatu zaman dan struktur
pemikiran yang mampu memberi makna pada dunia. Arkeologi menyaratkan
sejarah, Foucault berupaya mengurai kekusutan pola sejarah tradisional mengenai
22
apa yang secara tradisional dipandang sebagai tidak dapat diubah. Proses kerjanya
melalui arsip-arsip sejarah dari berbagai masyarakat untuk menjelaskan
pembentukan wacana dan peristiwa yang telah menghasilkan bidang-bidang
pengetahuan dan pembentukan wacana dari berbagai zaman (Foucault, 1982: 138140).
Foucault dalam studi tersebut bermaksud menemukan episteme yang
mendasari disiplin ilmu tertentu dan ciri pengetahuan yang menentukan bagi
setiap periode, yang oleh Foucault disebut abad. Melalui episteme ini, sebuah
obyek dapat dimengerti dan dipahami melalui pernyataan dan pandangan tertentu,
suatu objek dapat dipahami dengan pernyataan dan pandangan tertentu, bukan
melalui yang lain.
Foucault, setelah menemukan episteme di setiap abad, melangkah lebih jauh
melihat relasi kuasa-pengetahuan yang terjadi pada abad pertengahan sampai
modern yang membakukan pola berpikir rasional empirik (empirico-rational)
sebagai basis pengetahuan dan kebenaran. Pandangan ini menghegemoni budaya
pengetahuan modern. Usaha Foucault untuk menggali praktik kuasa dan
pengetahuan yang saling berkelindan tanpa bisa dipisahkan, yakni kuasa
memproduksi pengetahuan, dan pengetahuan melahirkan kuasa inilah yang
disebut dengan metode genealogi. Singkat kata, dalam arkeologi yang hendak
ditelaah adalah prinsip dasar atau episteme dari setiap abad atau era, sementara
dalam genealogi yang ditelaah adalah praktik relasi kuasa-pengetahuan yang tidak
bisa dipisahkan.
23
Landasan teori berikutnya yang penulis ambil dari pemikiran Foucault adalah
mengenai diskursus. Praktik diskursif merupakan cara menghasilkan pengetahuan,
beserta praktik sosial yang menyertainya, serta bentuk subjektivitas yang
terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik
sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek. Diskursus bukanlah
sebuah rangkaian kata atau proposisi dalam teks, akan tetapi Foucault
memahaminya sebagai sesuatu yang memproduksi yang lain, yakni berupa sebuah
teori, konsep bahkan lebih dimaksudkan sebagai ilmu dan filsafat. Suatu diskursus
dapat diidentifikasi lantaran merupakan kumpulan suatu ide, opini, konsep yang
sistematis serta berupa pandangan hidup yang terbentuk dalam konteks tertentu
dan berakibat memengaruhi cara berpikir dan bertindak suatu kelompok
masyarakat tertentu. Praktik diskursif ini tidak hanya membatasi, membingkai
dalam suatu diskursus
yang menghegemonik, tetapi justru melahirkan
pengetahuan.
Ciri utama diskursus ialah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan
wacana yang berfungsi membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan
dalam suatu masyarakat. Dalam banyak kajiannya mengenai penjara, seksualitas,
dan kegilaan, Foucault menunjukkan bahwa konsep seperti gila, tidak gila, sehat,
sakit, benar dan salah, bukanlah konsep yang abstrak yang datang dari langit tetapi
dibentuk dan dilestarikan oleh wacana-wacana yang berkaitan dengan bidangbidang seperti psikiatri, ilmu kedokteran, serta ilmu pengetahuan pada umumnya.
Di ruang publik biasanya terdapat berbagai macam diskursus yang berbeda satu
lama lain, namun praktik kuasa memilih, menentukan dan mendukung diskursus
24
tertentu sehingga diskursus tersebut menjadi dominan, sementara diskursusdiskursus lainnya "terpinggirkan" (marginalized) atau "terpendam" (submerged).
Konsekuensinya, ada dua implikasi yang dilahirkan dari diskursus dominan
tersebut. Pertama, diskursus dominan memberikan arahan bagaimana suatu objek
harus dibaca dan dipahami. Pandangan yang lebih luas menjadi terhalang, karena
wacana memberikan pilihan yang tersedia dan siap pakai. Pandangan dibatasi hanya
dalam batas-batas struktur diskursif tersebut, tidak dengan yang lain. Kedua,
struktur diskursif yang tercipta atas suatu objek tidaklah berarti kebenaran. Batasbatas yang tercipta tersebut bukan hanya membatasi pandangan, tetapi juga
menyebabkan wacana lain yang tidak dominan menjadi terpinggirkan. Setiap kekuasaan pada dasarnya berusaha membentuk pengetahuannya sendiri, menciptakan
rezim kebenaran sendiri. Kekuasaan selalu datang dengan memproduksi suatu politik
kebenaran, melalui mana kekuasaan dengan begitu dimapankan, disusun, dan
diwujudkan serta dilestarikan. Oleh karena itulah dalam analisis diskursus yang perlu
dilihat adalah bagaimana produksi wacana atas suatu hal diproduksi dan bagaimana
reproduksi itu diciptakan.
Analisis kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan (power) dalam
analisisnya. Setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau
apapun, tidak dipandang sebagai suatu alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan
bentuk pertarungan kekuasaan. Kekuasaan tidak mengacu pada satu sistem umum
yang didominasi oleh seseorang atau suatu kelompok terhadap yang lain, tetapi
menunjuk pada beragamnya hubungan kekuasaan. Kekuasaan bersifat produktif,
25
dalam arti relasi kuasa melahirkan pengetahuan ataupun sebaliknya, kuasa juga
melahirkan perlawanan atau risistensi.
Kekuasaan bukanlah institusi, bukan pula struktur, bukan kekuatan yg
dimiliki, serta bukan dominasi suatu kelas, tetapi nama yg diberikan pada situasi
strategis komplek dalam masyarakat. Kekuasaan lahir dari situasi intern
keragaman karena adanya perbedaan, pemisahan dan bahkan diskriminasi. Syaratsyarat kemungkinan pemahaman kekuasaan tidak berpusat pada satu titik atau
satu sumber otoritas, namun berasal dari adanya perbedaan hubungan. Seperti
kekuasaan dalam bingkai laki-laki/perempuan, anak muda/orang dewasa, pemuka
agama/umat, pemerintah/rakyat (Haryatmoko, 2003: 218)
Strategi kekuasaan melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui
wacana, kehendak mengetahui terumus dalam pengetahuan. Bahasa menjadi alat
untuk mengartikulasikan kekuasaan pada saat kekuasaan harus mengambil bentuk
pengetahuan, karena ilmu-ilmu terumus dalam bentuk pernyataan-pernyataan.
Kekuasaan-pengetahuan terkonsentrasi di dalam kebenaran pernyataan-pernyataan
ilmiah. Oleh karena itu, semua masyarakat berusaha menyalurkan, mengontrol,
dan mengatur wacana sesuai dengan tuntutan ilmiah.
Wacana semacam ini dianggap mempunyai otoritas. Kekuasaan dan
pengetahuan saling terkait: „tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan
yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak
mengandaikan serta tidak membentuk sekaligus hubungan kekuasaan. Misalnya,
definisi psikiatri tentang alienasi mempraktik penanganan orang gila, definisi
kedokteran mengenai penyakit, penyakit menular, penyakit keturunan yang
26
menyebabkan isolasi, pengasingan hubungan sosial berubah, konsep tentang
kecantikan menghasilkan salon, diet, cara makan, fitness, pakaian, kursus-kursus
(Haryatmoko, 2003: 225-230).
E. Metode Penelitian
1. Tahap Pengumpulan Data
Penelitian ini sepenuhnya bersifat kepustakaan (library research), oleh
karena itu langkah pertama yang peneliti lakukan adalah mengumpulkan data
primer khususnya data yang berhubungan dengan fokus penelitian ini.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara memberi kode setiap subsistem data
penelitian. Penelitian ini bersifat kualitatif, setiap tahap pengumpulan data peneliti
sekaligus melakukan analisis untuk memahami makna dan menangkap inti yang
terkandung dalam kategori data yang terkumpul (Kaelan, 2005: 159). Adapun
proses pengumpulan data dilakukan dengan: 1). mencatat data secara quotasi,
yaitu mencatat data dari sumber data secara langsung dan secara persis mencatat
data pada kartu data secara paraphrase, mencatat dan menangkap keseluruhan inti
sari data kemudian mencatat pada kartu data, dengan menggunakan kalimat yang
disusun oleh peneliti sendiri 3). mencatat data secara sinoptik, yaitu mencatat data
dari sumber data dengan membuat ikhtisar atau summary (Kaelan, 2005: 160161).
Bahan kepustakaan yang digunakan dibagi dalam dua klasifikasi, yaitu
sumber primer dan sekunder.
a. Buku yang dipergunakan sebagai sumber primer yang membahas masalah
utama adalah karya Jabiri: Naqd al-„Aql al-„Arabi (1) Takwin al-„Aql al-
27
„Arabi: Naqd al „Aql al „Arabi (2) Bunyah al „Aql al „Arabi: Dirasah
Tahliliyah Naqdiyyah Li Nizam al-Ma‟rifah fi al-Saqafah al-„Arabiyyah; (3)
Naqd al-„Aql al-„Arabi: al-„Aql as-Siyasah al-Arabi: Muhaddidah wa
Tajalliyatuhu; (4) Naqd al-„Aql al-„Arabi: al-„Aql al-Akhlaqi al-„Arabi:
Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nudhum al-Qiyam fi as-Tsaqafah al„Arabiyyah; Serta karya Michel Foucault: (1) Arkeology of Knowledge &
Discourse on Language; (2) Power/Knowledge: Selected Intervew & Other
Writings 1972-1977; (3) The Order of Things: An Archaeology of The
Human Sciences; (4) The History of Sexuality I & II: An Introduction.
b. Sumber sekunder yaitu sumber yang bersifat sebagai pelengkap yang masih
berkaitan dengan tema utama, meliputi buku al-Turas wa al-Hadasah;
Dirasah wa Munaqasyah; Isykaliyyah al-Fikr al-„Arabi al-Muasir; ArabicIslamic Philoshophy; Post Tradisonalisme Islam; beberapa karya jurnal,
artikel, koran, dan website (internet) yang terkait denagan tema penelitian
secara langsung.
2. Tahap Analisis Data
Tahap analisis data dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut:
a. Metode interpretasi, langkah pertama dalam penelitian disertasi ini
dilakukan dengan mendiskripsikan dan mengungkap makna esensial yang
terkandung dalam obyek penelitian. Untuk data yang berupa data verbal
analisis interpretasi dilakukan dengan tahap pertama mengungkap makna
semantik, kemudian diungkap makna kedalaman, esensial atau deep
structure, (Poespoprodjo, 1987: 1). Makna hakiki dalam kritik nalar ini
28
tentu saja bukan hanya pada level empirik, tetapi juga memahami konteks
apa yang melatarbelakangi munculnya gagasan, motif dan bahkan ideologi
yang diusung dalam gagasan tersebut.
b. Metode analisis digunakan untuk menganalisis secara obyektif dan kritis
atas konsep-konsep dan discourse berdasarkan pada arti katanya
(Sudarminta, 2002: 103). Analisis ini benar-benar murni didasarkan
penalaran semata. Kebenaran analitis dianggap, dicipta, dan ditopang oleh
keputusan abriter manusia dengan menggunakan konsep yang merupakan
semata-mata implikasi dari konvensi linguistik. Penerapan metode ini
dilakukan dengan mengungkap dan menganalisisi kritik nalar Jabiri di satu
sisi, sekaligus analisis praktek kuasa dan pengetahuan Foucault di sisi lain.
c. Metode historis berupaya mengaitkan sebuah pemikiran dengan historisitas
kebudayaan, ideologi, politik, dan sosial. Metode ini juga berupaya
melakukan penentuan periodisasi secara historis. (Anton Bakker dan Charris
Zubair, 1990: 47). Metode ini digunakan untuk melihat historisitas
pemikiran Jabiri, khususnya kritik nalarnya serta model berpikir dan proyekproyek filsafatnya. Di samping itu, metode ini juga digunakan untuk melihat
pembentukan nalar Islam Indonesia muncul dalam lingkup sejarah dan
pergumulan yang panjang.
d. Metode heuristika adalah teori menemukan jalan untuk menangani suatu
masalah secara ilmiah. Heuristik bersifat selalu mendahului ilmu. Ilmu
sendiri justru harus memerikan, menerangkan, membuktikan dan ini tidak
mencakup, secara tersurat, jalan yang dilalui menuju ilmu (heuristik). Maka
29
heuristik biasanya dianggap sebagai medan yang tidak dapat disempadani
secara tajam. Medan ini meliputi sejumlah besar faktor nir-ilmiah, tetapi
justru menjadi penting demi munculnya pengetahuan atau ilmu pengetahuan
(Peursen, 1985: 97). Faktor-faktor yang selama ini dianggap non ilmiah
berupa anggapan metafisis, konteks penemuan (contex of discovery),
prejudice, dan lain-lain. Penemuan atau kebaharuan penelitian ini
diharapkan melahirkan tawaran baru, utamannya di bidang epistemologi dan
metodologi. Penulis sangat optimis akan kemunculan kebaharuan dalam
penelitian ini, sebab analisis dari pendekatan arkeologis-genealogis Foucault
terhadap kritik nalar Jabiri akan mencoba membaca Jabiri dari objek formal
yang bercorak tidak hanya „filosofis-rasional‟ akan tetapi juga kondisi atau
situasi yang selama ini diabaikan dalam batas-batas rasionalitas modern.
Secara umum, langkah-langkah metodis pertama-tama diarahkan untuk
melakukan interpretasi atas data yang diseleksi sesuai dengan judul penelitian ini,
langkah metodis pertama ini diharapkan mampu memahami secara mendalam
gagasan-gagasan kritik nalar, sekaligus landasan teori atau objek formal yang
digunakan sebagai kerangka analisis. Langkah berikutnya, penulis menggunakan
metode analisis sebagai pra-kondisi dalam menerapkan landasan teori atas kritik
nalar. Hasil analisis sekaligus relevansinya dalam konteks keIndonesiaan itu lah
menjadi ruang penulis dalam melahirkan temuan-temuan baru dalam disertasi ini.
Kunci utama untuk menemukan pemahaman baru dalam disertasi ini terletak pada
konsistensi penulis menggunakan kerangka teori untuk digunakan menganalisis
kritik nalar al-Jabiri sebagai objek material.
30
F. Sistematika Penulisan
Disertasi ini secara umum melakukan kajian kritis atas epistemologi dan
metodologi kritik nalar al-Jabiri. Hanya saja, agar memperoleh pembacaan yang
lebih dalam, penulis menggunakan kerangka epistemologi Michel Foucault untuk
melihat cara kerja kritik nalar Jabiri. Hal ini dilakukan bukan hanya
untuk
memperkuat kajian kritik nalar, akan tetapi sangat dimungkinkan terjadinya
„dialog‟ metodologis.
Pada bab I, penulis menggambarkan konteks atau latar belakang lahirnya
kritik nalar beserta persoalan yang melingkupinya. Bab pertama ini secara umum
berisi latar belakang persoalan, rumusan dan landasan teori serta hasil penelitian
secara umum.
Sementara pada bab II, secara khusus penulis membahas
epistemologi Michel Foucault, terutama gagasan Foucault yang terkait dengan
arkeologi, episteme, genealogi hingga persoalan kuasa-pengetahuan. Epistemologi
Foucault ini digunakan sebagai kerangka teoritik dalam menganalisis kritik nalar
Jabiri.
Pada bab III, pembahasan difokuskan dengan melacak proses pembentukan
nalar bayani, irfani dan burhani beserta sistem pengetahuan yang mendasarinya.
Setelah mengetahui proses dan sistem pengetahuan yang mendasarinya, kemudian
dilakukan telaah kritis dan analitis atas ketiga nalar tersebut, sehingga terlihat
kelemahan mendasar dari bangunan nalar bayani, irfani dan burhani (masyriq).
Berdasarkan
problematika
tersebut,
al-Jabiri
kemudian
dengan
cermat
memberikan pembasisan baru atas nalar bayani dan burhani (maghrib), dan
menyingkirkan nalar irfani. Pembahasan terakhir pada bab ini mengenai nalar
31
politik Arab Islam yang mendominasi beserta „pertikaian‟ yang mengarah pada
perdebatan aqidah atau ilmu kalam. Uraian sedikit mengenai kritik nalar politik
al-Jabiri ini dijadikan pijakan dasar untuk melihat relasi kuasa-pengetahuan
Analisis atas obyek material diuraikan dalam bab IV. Penjelasan dalam bab
ini berkisar soal arkeologi dan genealogi dalam kritik nalar; episteme serta
problem ketidaksadaran kognitif nalar Arab Islam; hingga problem nalar dan
kebudayaan. Pada bab ini juga mengeksplorasi mendalam untuk menemukan
langkah-langkah metodologis yang cukup ketat dalam membangun kritik nalar.
Hasilnya, terdapat pembedaan nalar (al-Aql al-Mukawwan dan al-Aql alMukawwin) di mana dari sinilah lahir „teks‟ yang terpinggirkan. Pembahasan
terakhir dari bab ini mengulas mengenai kaitan antara nalar dan kebudayaan serta
secara spisifik langkah-langkah metodis al-Jabiri dalam membaca turast (tradisi).
Pada bab V, penulis mencoba menarik bangunan metodologi kritik nalar
dalam konteks nalar Islam di Indonesia. Penulis berangkat dari era kultural
epistemologis secara umum (nalar Indonesia), namun secara spisifik mengarah
pada bangunan nalar Islam Indonesia dari era pra kolonial hingga post kolonial.
Disertasi diakhiri dengan kesimpulan dan saran, pada bab terakhir, yakni
bab VI yang berisi beberapa hal yang dianggap ringkasan serta saran-saran.
Demikian gambaran singkat mengenai sistematika penulisan disertasi ini.
Download