BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Notaris dalam menjalankan profesinya memberikan pelayanan kepada
masyarakat sepatutnya bersikap sesuai aturan yang berlaku. Ini penting karena
Notaris melaksanakan tugas jabatannya tidaklah semata-mata untuk kepentingan
pribadi, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat, serta mempunyai
kewajiban untuk menjamin kebenaran dari akta-akta yang dibuatnya, karena itu
seorang Notaris dituntut lebih peka, jujur, adil dan transparan dalam pembuatan
suatu akta agar menjamin semua pihak yang terkait langsung dalam pembuatan
sebuah akta otentik. Dalam melaksanakan tugas jabatannya seorang Notaris harus
berpegang teguh kepada kode etik jabatan Notaris, karena tanpa itu, harkat dan
martabat profesionalisme akan hilang dan tidak lagi mendapat kepercayaan dari
masyarakat.
Notaris juga dituntut untuk memiliki nilai moral yang tinggi, karena
dengan adanya moral yang tinggi maka Notaris tidak akan menyalahgunakan
wewenang yang ada padanya, sehingga Notaris akan dapat menjaga martabatnya
sebagai seorang pejabat umum yang memberikan pelayanan yang sesuai dengan
aturan yang berlaku dan tidak merusak citra Notaris itu sendiri. Sebagaimana
harapan Komar Andasasmita, agar setiap Notaris mempunyai pengetahuan yang
cukup luas dan mendalam serta keterampilan sehingga merupakan andalan
masyarakat dalam merancang, menyusun dan membuat berbagai akta otentik,
2
sehingga susunan bahasa, teknis yuridisnya rapi, baik dan benar, karena
disamping keahlian tersebut diperlukan pula kejujuran atau ketulusan dan sifat
atau pandangan yang objektif.1
Perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya demi terlaksananya fungsi pelayanan dan tercapainya kepastian
hukum dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, telah diatur dan
dituangkan dalam undang-undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 117 (untuk selanjutnya disebut UUJN), undang-undang mana telah
mengalami perubahan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 (untuk selanjutnya disebut UU
Perubahan Atas UUJN). Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris menentukan “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.” Notaris
dikatakan sebagai pejabat umum karena Notaris diangkat dan diberhentikan oleh
pemerintah. Meskipun Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah,
namun Notaris tidak dapat disamakan dengan pegawai negeri yang juga diangkat
1
Komar Andasasmita, 1981, Notaris Dengan Sejarah, Peranan, Tugas
Kewajiban, Rahasia Jabatannya, Sumur, Bandung, hal. 14.
3
dan diberhentikan oleh pemerintah. Yang membedakannya adalah Notaris
merupakan pegawai pemerintah tanpa menerima gaji dari pemerintah.
Diberlakukannya UUJN dan UU perubahan atas UUJN diharapkan bahwa
akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris mampu menjamin
kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. UU perubahan atas UUJN telah
menetapkan dalam Pasal 15 ayat (1) tentang kewenangan seorang Notaris yaitu
Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,
dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau
yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta
autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan
akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang
lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain itu dalam Pasal 15 ayat (2) UU
perubahan atas UUJN menyatakan Notaris juga berwenang mengesahkan tanda
tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus, membukukan surat di bawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus, membuat kopi dari asli surat di bawah tangan
berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam
surat yang bersangkutan, melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat
aslinya, memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta,
membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan membuat akta risalah lelang.
Dari beberapa kewenangan tersebut jasa seorang Notaris kebanyakan dibutuhkan
oleh masyarakat dalam hal pembuatan akta otentik.
4
Akta otentik yang dibuat oleh Notaris pada hakekatnya sesuai dengan apa
yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Notaris berkewajiban untuk
memasukkan ke dalam akta mengenai apa saja yang dikehendak para pihak dan
selanjutnya menuangkan pernyataan atau keterangan para pihak tersebut ke dalam
akta Notaris. Sedangkan tulisan di bawah tangan atau biasa disebut dengan akta
dibawah tangan dibuat tidak dibuat dihadapan Notaris dan dalam bentuk yang
tidak ditentukan oleh undang-undang serta tanpa adanya perantara berdasarkan
ketentuan Pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Menurut Pasal 1 angka 7 UU perubahan atas UUJN menentukan bahwa
“akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. Akta
otentik yang dimaksud adalah akta otentik sesuai dengan rumusan Pasal 1868
Kitab Undang Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUHPerdata)
yaitu : “Suatu akta otentik ialah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh
undang undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai pegawai umum yang
berkuasa untuk itu di tempat dimana akta itu dibuat.”
Berdasarkan pasal tersebut Notaris mempunyai wewenang untuk membuat
akta otentik. Terdapat dua golongan akta otentik yang dibuat oleh Notaris yaitu
akta otentik yang dibuat oleh Notaris dimana merupakan suatu akta yang dibuat
oleh Notaris mengenai suatu tindakan yang dilakukan atas suatu keadaan yang
disaksikan oleh Notaris dan akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris yaitu
akta yang dibuat dihadapan Notaris yang memuat uraian mengenai hal-hal yang
diterangkan oleh pihak yang menghadap kepada Notaris. Dengan adanya UUJN
5
dan UU perubahan atas UUJN kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik
nanti dalam penerapannyan akta tersebut mampu menjamin kepastian, ketertiban,
dan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait. Akta otentik merupakan
alat bukti tulisan atau surat yang bersifat sempurna. Akta otentik memiliki 3 (tiga)
kekuatan
pembuktian
yaitu
kekuatan
pembuktian
lahiriah
(uitwendige
bewijskracht) yang merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan
keabsahanya sebagai akta otentik. Kekuatan pembuktian formil (formele
bewijskracht) yang memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta
tersebut dalam akta betul-betul diketahui dan didengar oleh Notaris dan
diterangkan oleh para pihak yang menghadap. Kekuatan pembuktian Materiil
(materiele bewijskracht) yang merupakan kepastian tentang materi atau isi suatu
akta.
Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) berwenang membuat
akta otentik, sehubungan dengan kewenangannya tersebut Notaris dapat dibebani
tanggung jawab atas perbuatannya dalam membuat akta otentik yang tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku atau dilakukan secara melawan hukum.
Pertanggungjawaban merupakan suatu sikap atau tindakan untuk menanggung
segala akibat dari perbuatan yang dilakukan atau sikap untuk menanggung segala
resiko ataupun kosekuensinya yang ditimbulkan dari suatu perbuatan.
Pertanggungjawaban itu ditentukan oleh sifat pelanggaran dan akibat
hukum yang ditimbulkannya. Secara umum pertanggungjawaban yang biasa
dikenakan terhadap Notaris adalah pertanggungjawaban pidana, administrasi dan
perdata.
Pertanggungjawaban
secara
pidana
dijatuhi
sanksi
pidana,
6
pertanggungjawaban
administrasi
dijatuhi
sanksi
administrasi,
dan
pertanggungjawaban perdata dijatuhi sanksi perdata. Itu merupakan konsekuensi
dari akibat pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan oleh Notaris dalam proses
pembuatan akta otentik.
Menentukan adanya suatu pertanggungjawaban secara perdata atau pidana
yang dilakukan oleh seorang Notaris harus dipenuhi tiga syarat, yaitu harus ada
perbuatan Notaris yang dapat dihukum yang unsur-unsurnya secara tegas
dirumuskan oleh undang-undang. Perbuatan Notaris tersebut bertentangan dengan
hukum, serta harus ada kesalahan dari Notaris tersebut. Kesalahan atau kelalaian
dalam pengertian pidana meliputi unsur-unsur bertentangan dengan hukum dan
harus ada perbuatan melawan hukum. Sehingga pada dasarnya setiap bentuk
pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan Notaris selalu mengandung sifat
melawan hukum dalam perbuatan itu.
Istilah perbuatan melawan hukum itu memiliki ruang lingkup yang lebih
luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak
hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja
tetapi juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya
dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan
perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi
dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Perbedaan perbuatan
melawan hukum dan perbuatan pidana menurut Rachmat Setiawan adalah :
“Setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam undangundang, sehingga sifatnya terbatas. Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum
7
adalah tidak demikian. Undang-undang hanya menentukan satu pasal umum, yang
memberikan akibat-akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum.”2
Dikaji dari perspektif teoretis dan praktik konsepsi perbuatan melawan
hukum dikenal dalam dimensi Hukum Perdata dan Hukum Pidana. Dari aspek
etimologis dan terminologis maka perbuatan melawan hukum dalam bahasa
Belanda dikenal dengan terminologi wederrechtelijk dalam ranah Hukum Pidana
dan terminologi onrechtmatige daad dalam ranah Hukum Perdata. Perbuatan
Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks Hukum Perdata diatur
dalam Pasal 1365 KUHPerdata, pada bagian tentang perikatan-perikatan yang
dilahirkan demi Undang-Undang, yaitu : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Rosa Agustina menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum dapat
dijumpai baik dalam ranah Hukum Pidana (publik) maupun dalam ranah Hukum
Perdata (privat). Sehingga dapat ditemui istilah melawan Hukum Pidana
begitupun melawan Hukum Perdata. Dalam konteks itu jika dibandingkan maka
kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan adanya persamaan dan
perbedaan.3 Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu adalah untuk
dikatakan sifat melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan hukum
yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua sifat melawan hukum
2
Rachmat Setiawan, 1982, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan
Hukum, Alumni, Bandung, hal. 15.
3
Rosa Agustina, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH
Universitas Indonesia, hal 14.
8
tersebut pada prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan (interest) hukum.
Perbedaan pokok antara kedua sifat melawan hukum tersebut, apabila sifat
melawan Hukum Pidana lebih memberikan perlindungan kepada kepentingan
umum (public interest), hak obyektif dan sanksinya adalah pemidanaan.
Sedangkan sifat melawan Hukum Perdata lebih memberikan perlindungan kepada
private interest, hak subyektif dan sanksi yang diberikan adalah ganti kerugian
(remedies). Dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai
perbuatan melawan hukum diperlukan syarat yang bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan hak subjektif orang lain,
bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan
kehati-hatian.4
Sifat melawan hukum dibagi menjadi sifat melawan hukum formal dan
sifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formal terjadi karena
memenuhi rumusan delik di dalam undang undang. Sifat melawan hukum formal
merupakan syarat untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Sedangkan sifat
melawan hukum materil merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang tidak
hanya terdapat di dalam undang-undang, tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas
hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan
berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis.
Menurut Munir Fuady perbuatan melawan hukum dalam konteks Hukum
Pidana dengan dalam konteks Hukum Perdata adalah lebih dititikberatkan pada
perbedaan sifat Hukum Pidana yang bersifat publik dan Hukum Perdata yang
4
Ibid, hal. 117.
9
bersifat privat. Sesuai dengan sifatnya sebagai hukum publik, maka dengan
perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang dilanggar (disamping mungkin
juga kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan melawan hukum dalam
sifat Hukum Perdata maka yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.5
Notaris tidak dapat dilepaskan dari perbuatan yang menyimpang atau
perbuatan yang melawan hukum. Karena seorang Notaris tetap seorang manusia
biasa yang tak luput dari kesalahan. Notaris harus siap untuk menghadapi jika
sewaktu-waktu dijadikan pihak yang terlibat dalam perkara bidang Hukum
Perdata maupun Hukum Pidana, yang diakibatkan dari produk hukum yang
dibuatnya. Sehingga dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dipungkuri
lagi, saat ini cukup banyak perkara-perkara pidana yang terjadi dikarenakan
perilaku Notaris yang tidak professional dan memihak salah satu pihak pada aktaakta yang dibuatnya. Akibat dari semua ini ada beberapa Notaris yang telah
ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa dan dipidana.
Dewasa ini ditemukan kasus-kasus yang menjerat Notaris ke pengadilan
mulai dari kasus perdata maupun kasus pidana serta sudah ada yang dijatuhi
putusan pengadilan. Adapun yurisprudensi-yurisprudensi mengenai Notaris yang
dijatuhi putusan perdata dan pidana yaitu putusan Mahkamah Agung nomor
1847K/Pid/2010
jucto
putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
nomor
1673/Pid.B/2008/PN.Mdn jucto putusan Pengadilan Tinggi Medan nomor
265/PID/2009/PT.MDN yang menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun kepada
5
Munir Fuady, 2005, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan
Kontemporer), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjunya disingkat Munir
Fuady I), hal. 22.
10
seorang Notaris yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan perbuatan pidana yaitu membuat akta authentik palsu. Putusan
Pengadilan Tinggi Medan nomor 88/PDT/2011/PT-MDN jucto Putusan
Pengadilan Negeri Medan nomor 297/Pdt.G/2009/PN.Mdn yang menjatuhkan
sanksi perdata berupa ganti rugi kepada Notaris atas perbuatan melawan hukum
yang dilakukan dan menimbulkan kerugian kepada para pihak. Putusan
Mahkamah Agung nomor 1099 K/PID/2010 jucto putusan Pengadilan Tinggi
Medan nomor 82/PID/2010/PT-MDN jucto putusan Pengadilan Negeri Medan
Nomor 3036/PID.B/2009/PN.Mdn yang menyatakan bahwa Notaris telah terbukti
secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta
menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik dan
menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
Berdasarkan pemaparan di atas, Notaris yang melakukan perbuatan
melawan hukum dalam pembuatan akta otentik wajib mempertanggungjawabkan
perbuatannya baik secara pidana maupun secara perdata. Namun penerapan satu
jenis sanksi dalam pertanggungjawaban Notaris dirasa belum cukup, sehingga
diperlukan komulasi atau penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk
pertanggungjawaban Notaris. Dengan demikian pertanggungjawaban seorang
Notaris terhadap perbuatan yang dilakukannya dapat memberikan jaminan
kepastian hukum kepada Notaris itu sendiri dan para pihak yang dirugikan.
Ketentuan dalam UUJN dan UU perubahan atas UUJN tidak mengatur
mengenai komulasi atau penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk
pertanggungjawaban yang dibebani terhadap Notaris yang melakukan perbuatan
11
melawan hukum. UUJN dan UU perubahan hanya mengatur mengenai penerapan
sanksi perdata dan administrasi, dimana kedua jenis sanksi tersebut berdiri sendiri
dan tidak dapat dilakukan secara bersama-sama karena penjatuhan sanksi tersebut
terhadap jenis pelanggaran yang berbeda dalam ketentuan UUJN dan UU
perubahannya. Sehingga perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan bentuk
pertanggungjawaban yang layak dilakukan oleh Notaris yang melakukan
perbuatan melawan hukum agar pertanggungjawabannya dirasakan adil
khususnya bagi para pihak yang dirugikan maupun bagi Notaris itu sendiri.
Sehubungan dengan latar belakang di atas maka mendorong penulis untuk
melakukan penelitian serta menuangkan dalam bentuk tesis yang berjudul
“Pertanggungjawaban Notaris Yang Melakukan Perbuatan Melawan
Hukum Dalam Pembuatan Akta Otentik”.
Penelitian tentang pertanggungjawaban Notaris merupakan penelitian yang
asli dan dapat dipertanggungjawabkan, penulis telah membandingkan dengan
beberapa
penelitian
sebelumnya
yang
juga
membahas
tentang
pertanggungjawaban Notaris. Adapun penelitian yang mirip dengan penelitian ini
antara lain :
1. Penelitian yang berjudul “TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM
HAL TERJADI PELANGGARAN KODE ETIK” oleh Evie Murniaty
Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro
Semarang
Tahun
2010
dengan
rumusan
masalah
bagaimanakah tanggung jawab Notaris dalam hal terjadi pelanggaran kode
12
etik dan bagaimana akibat hukum jika terjadi pelanggaran kode etik oleh
Notaris
2. Penelitian yang berjudul “PELAKSANAAN SANKSI PELANGGARAN
KODE ETIK PROFESI NOTARIS OLEH DEWAN KEHORMATAN
IKATAN NOTARIS INDONESIA DI KABUPATEN TANGERANG”
oleh Sulistiyono, Sarjana Hukum, Program Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2009, dengan
rumusan masalah pelanggaran kode etik apa saja yang dilakukan oleh
Notaris di Kabupaten Tangerang dan bagaimanakah pelaksanaan sanksi
yang dijatuhkan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia sebagai
organisasi profesi dapat mengikat terhadap Notaris yang melanggar kode
etik di Kabupaten Tangerang.
3. Penelitian yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM NOTARIS
DALAM KAITANNYA DENGAN AKTA YANG DIBUATNYA
MANAKALA ADA SENGKETA DI PENGADILAN NEGERI (Studi
Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pontianak No. 72/pdtg/pn.Pontianak)”
oleh Ratih Tri Jayanati Program Studi Magister Kenotariatan Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro tahun 2010 dengan rumusan masalah
bagaimana perlindungan hukum Notaris selaku Pejabat Umum yang
membuat akta sesuai syarat formil ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang jabatan Notaris dan apa akibat hukum dari putusan
yang dijatuhkan oleh Pengadilan terhadap Notaris.
13
Penelitian tersebut di atas berbeda penulisannya dengan penelitian ini
dimana dalam penelitian ini menekankan pada pertanggungjawaban Notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum serta kekosongan norma dalam UUJN,
UU perubahan atas UUJN dan dalam Kode Etik Jabatan Notaris tentang tidak
dicantumkannya ketentuan mengenai komulasi atau penggabungan penerapan
sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban yang diberikan terhadap Notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum, sehingga tesis ini adalah asli, ada unsur
kebaruan dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dikemukakan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk tanggung jawab Notaris sebagai pejabat umum yang
melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik?
2. Bagaimana akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang
Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan
akta otentik?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat
umum dan tujuan yang bersifat khusus sebagai berikut :
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memahami Ilmu
Pengetahuan khususnya dalam bidang Hukum Kenotariatan berkaitan dengan
pertanggungjawaban Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum.
14
1.3.2. Tujuan Khusus
Selain memuat tujuan umum, penelitian ini juga memuat tujuan khusus
yang ingin diperoleh dari penelitian ini, adapun tujuan khususnya yaitu sebagai
berikut :
1 Untuk mengetahui dan menganalisa pertanggungjawaban seorang Notaris
yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta
otentik.
2 Untuk mengetahui dan menganalisa akibat hukum terhadap akta otentik
yang dibuat oleh seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan
hukum dalam pembuatan akta otentik.
1.4. Manfaat Penelitian
Penulis
berharap
penelitian
ini
dapat
memberi
manfaat
bagi
pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis
pada khususnya sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis.
1.4.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu hukum dalam kaitannya dengan mengenai perbuatan
Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya.
1.4.2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dan pemahaman kepada Notaris agar Notaris dalam
menjalankan profesinya, terutama dalam pembuatan akta berdasarkan peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku,
manfaat
lainnya
yaitu
memberikan
15
pemahaman kepada para pihak tentang akibat hukum akta yang dibuatnya
dihadapan Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum.
1.5. Landasan Teoritis
Melakukan sebuah penelitian diperlukan adanya landasan teoritis,
sebagaimana dikemukakan oleh M. Solly Lubis bahwa landasan teoritis
merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, asas maupun
konsep yang relevan digunakan untuk mengupas suatu kasus ataupun
permasalahan.6 Untuk meneliti mengenai suatu permasalahan hukum, maka
pembahasan adalah relevan apabila dikaji menggunakan teori-teori hukum,
konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum. Teori hukum dapat digunakan untuk
menganalisis dan menerangkan pengertian hukum dan konsep yuridis, yang
relevan untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum.7
Teori berasal dari kata teoritik, dapat didefenisikan adalah alur logika atau
penalaran, yang merupakan seperangkat konsep, definisi, dan proposisi yang
disusun secara sistematis. Secara umum, teori mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk
menjelaskan (explanation), meramalkan (prediction), dan pengedalian (control)
suatu gejala. Menurut pendapat Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, teori adalah
suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai
6
M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju,
Bandung, hal. 80.
7
Salim H. S., 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali
Pers, Jakarta, hal. 54.
16
suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai
fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.8
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan
penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, prediksi
atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan
pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori bisa digunakan untuk menjelaskan
fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Untuk itu, orang dapat meletakkan fungsi
dan kegunaan teori dalam penelitian sebagai pisau analisis pembahasan tentang
peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.
Adapun asas hukum, konsep hukum dan yurisprudensi-yurisprudensi yang
digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitiaan ini adalah asas praduga sah,
konsep tujuan hukum Gustav Radbruch dan konsep perlindungan hukum.
Sementara
itu,
teori-teori
yang
digunakan
yaitu
teori
keadilan,
teori
pertanggungjawaban dan teori kewenangan.
1.5.1. Asas Praduga Sah
Perlindungan hukum terhadap produk hukum seorang Notaris dapat
dilindungi dengan adanya suatu asas praduga sah. Asas praduga sah (Vermoeden
van Rechtmatigheid atau Presumptio Iustae Causa) adalah asas yang menganggap
sah suatu produk hukum sebelum adanya putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap yang menyatakan tidak sah. Dengan adanya asas ini maka
akta otentik yang dibuat oleh Notaris harus dianggap sah dan mengikat para pihak
8
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 134.
17
sebelum dapat dibuktikan ketidakabsahan dari aspek lahiriah, formal dan materil
akta otentik tersebut. Apabila tidak dapat dibuktikan maka akta yang bersangkutan
tetap sah mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta
tersebut. Asas ini telah diakui dalam UUJN yang tersebut dalam penjelasan bagian
umum yang menegaskan bahwa akta Notaris sebagai alat bukti tertulis yang
terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam akta Notaris harus diterima,
kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal sebaliknya secara
memuaskan di hadapan persidangan pengadilan.9
Asas ini digunakan untuk menganalisis akibat hukum terhadap akta otentik
yang dibuat oleh Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam
pembuatan akta otentik. Dengan asas praduga sah ini akta otentik patut dikatakan
sah sebelum ada yang membuktikan akta otentik tersebut tidak sah.
1.5.2. Konsep Tujuan Hukum dan Konsep Perlindungan Hukum
Dalam penelitian ini digunakan konsep tujuan hukum dan konsep
perlindungan hukum. Konsep tujuan hukum menurut Gustav Radbruch adalah
hukum memiliki tujuan yang berorientasi pada 3 hal yaitu keadilan, kemanfaatan,
kepastian Hukum.10 Pandangan dari Gustav Radbruch ini dikenal juga dengan
teori 3 Nilai Dasar Hukum yang merupakan rechtsidee atau cita hukum yang ingin
dicapai oleh bangsa Indonesia. Penelitian hukum ini bermaksud untuk mencapai
ketiga
tujuan
9
hukum
diatas
dengan
menerapkannya
kedalam
proses
Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris
sebagai Pejabat Publik, PT. Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat
Habib Adjie I), hal. 79.
10
O. Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media,
Salatiga, hal. 33.
18
pertanggungjawaban Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam
pembuatan akta otentik. Sedangkan konsep perlindungan hukum menurut Philipus
M. Hadjon mengemukakan perlindungan hukum dalam kepustakaan hukum
bahasa Belanda dikenal dengan sebutan “rechtbescherming van de burgers”11.
Pendapat ini menunjukkan kata perlindungan hukum merupakan terjemahan dari
bahasa Belanda, yakni “rechsbescherming”. Pengertian kata perlindungan
tersebut, terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang dilindungi
sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan.
Satijipto Raharjo menyatakan bahwa perlindungan hukum itu adalah
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan
orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.12 Sedangkan Philipus M.
Hadjon menyebutkan bahwa pada dasarnya perlindungan hukum meliputi dua hal
yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.
Perlindungan hukum preventif meliputi tindakan yang menuju kepada upaya
pencegahan terjadinya sengketa sedangkan perlindungan represif maksudnya
adalah perlindungan yang arahnya lebih kepada upaya untuk menyelesaikan
sengketa, seperti contohnya adalah penyelesaian sengketa di pengadilan.13
Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya
11
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan hukum bagi Rakyat Indonesia,
Bina Ilmu, Surabaya, hal. 1.
12
Ibid, hal. 54.
13
Budi Agus Riswandi dan Sabhi Mahmashani, 2009, Dinamika Hak
Kekayaan Intelektual Dalam masyarakat Kreatif, Total Media, Yogyakarta,
hal. 12.
19
sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah untuk bersikap hati-hati dalam
pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif
bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di
lembaga peradilan.14
Profesi seorang Notaris harus berpedoman dan tunduk kepada UUJN dan
UU perubahan atas UUJN. Landasan filosofis dibentuknya UUJN dan UU
perubahan atas UUJN adalah untuk terwujudnya jaminan kepastian hukum,
ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.
Melalui akta yang dibuatnya, maka Notaris harus dapat memberikan kepastian dan
perlindungan hukum kepada masyarakat yang menggunakan jasa Notaris.
Pentingnya peranan Notaris dalam membantu menciptakan kepastian
hukum serta perlindungan hukum bagi masyarakat lebih bersifat preventif yaitu
bersifat pencegahan terjadinya masalah hukum, dengan cara menerbitkan akta
otentik yang dibuat dihadapannya terkait dengan status hukum, hak, dan
kewajiban seseorang dalam hukum yang berfungsi sebagai alat bukti yang paling
sempurna di pengadilan apabila terjadi sengketa atas hak dan kewajiban terkait.15
Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris dapat menjadi bukti otentik dalam
memberikan
perlindungan
hukum
kepada
para
pihak
manapun
yang
berkepentingan terhadap akta tersebut mengenai kepastian peristiwa atau
kepastian perbuatan hukum itu dilakukan.
14
Maria Alfons, 2010, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas
Produk-produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual,
Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang, hal 18.
15
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban
Notaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hal. 7.
20
1.5.3. Yurisprudensi-yurisprudensi
Putusan Mahkamah Agung nomor 1847K/Pid/2010 yang menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Medan nomor 1673/Pid.B/2008/PN.Mdn tanggal 18
Pebruari
2009
dan
putusan
Pengadilan
Tinggi
Medan
nomor
265/PID/2009/PT.MDN tanggal 26 Mei 2009 yang menjatuhkan pidana penjara
selama 2 tahun kepada seorang Notaris yang telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana yaitu membuat akta authentik
palsu. Putusan Pengadilan Tinggi Medan nomor 88/PDT/2011/PT-MDN jucto
Putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
tanggal
19
Juli
2010
nomor
297/Pdt.G/2009/PN.Mdn yang menjatuhkan sanksi perdata berupa ganti rugi
kepada Notaris atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan dan menimbulkan
kerugian kepada para pihak. Putusan Mahkamah Agung nomor 1099 K/PID/2010
jucto putusan Pengadilan Tinggi Medan nomor 82/PID/2010/PT-MDN tanggal 25
Februari
2010
jucto
putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
Nomor
3036/PID.B/2009/PN.Mdn yang menyatakan bahwa Notaris telah terbukti secara
sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta menyuruh
menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik dan menjatuhkan
pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
Berdasarkan
yurisprudensi-yurisprudensi
tersebut
di
atas
dapat
disimpulkan bahwa Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam
pembuatan akta otentik hanya dijatuhi satu jenis pertanggungjawaban dalam
bentuk sanksi pidana ataupun sanksi perdata. Tidak disebutkan Notaris dijatuhi
sanksi lainya serta tidak adanya suatu komulasi atau penggabungan penerapan
21
sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban Notaris yang membuat akta otentik
secara melawan hukum dalam yurisprudensi tersebut.
1.5.4. Teori Keadilan
Keadilan berasal dari kata adil yang artinya menurut kamus besar bahasa
Indonesia adalah tidak memihak atau tidak berat sebelah. Sehingga keadilan dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan yang bersifat adil atau perbuatan yang tidak
memihak. Keadilan adalah salah satu dari tujuan hukum selain kemanfaatan dan
kepastian hukum. Perwujudan keadilan dapat dilihat dalam ruang lingkup
kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara.
Berbagai macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teoriteori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan
kemakmuran. Teori keadilan Aritoteles, keadilan menurut pandangan Aristoteles
dibagi kedalam dua macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan
“commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap
orang porsi menurut prestasinya. Keadilan commutatief memberikan sama
banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini
berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa.16
Teori keadilan merupakan salah satu tujuan hukum seperti apa yang
dikemukakan oleh Gustav Radbruch dalam teori gabungan etis dan utility yang
konsep hukumnya adalah hukum bertujuan untuk keadilan, kegunaan dan
16
L.J. Van Apeldoorn, 1996, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita
cetakan 26, Jakarta, hal. 11-12.
22
kepastian.17 Teori keadilan John Rawls, berpendapat bahwa keadilan adalah
kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan
tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau
menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan,
khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.18 Teori Keadilan Hans Kelsen,
dalam bukunya general theory of law and state, berpandangan bahwa hukum
sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur
perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan
kebahagian didalamnya.19
Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang
bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa
suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesarbesarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat
hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti
kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia
yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini apat dijawab dengan menggunakan
17
H. Chaerudin, 1999, Filsafat Suatu Ikhtisar, FH UNSUR, Cianjur,
hal. 19
18
Pan Mohamad Faiz, 2009, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal
Konstitusi, Volue 6 Nomor 1, hal. 139-140.
19
Hans Kelsen, 2011, General Theory of Law and State, diterjemahkan
oleh Rasisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung, hal. 7.
23
pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan
oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.20
Menurut Kahar Masyhur dalam bukunya mengemukakan pendapatpendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terdapat tiga hal tentang pengertian
adil. Adil ialah meletakan sesuatu pada tempatnya, menerima hak tanpa lebih dan
memberikan orang lain tanpa kurang dan memberikan hak setiap yang berhak
secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam
keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum,
sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran.21
Teori ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah satu yaitu untuk
mencari keadilan yang seadil-adilnya terhadap pertanggungjawaban yang
dibebankan kepada Notaris yang telah melakukan perbuatan melawan hukum
dalam pembuatan akta otentik khususnya perbuatan Notaris yang telah dijatuhi
putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Diharapkan
teori ini dapat memberikan rasa adil dalam hal pertanggungjawaban Notaris
terhadap perbuatannya yang melawan hukum khususnya bagi para pihak yang
dirugikan oleh Notaris atau bagi Notaris itu sendiri dan pada umumnya bagi
masyarakat yang akan menggunakan jasa Notaris. Sehingga kepercayaan
masyarakat terhadap seorang Notaris akan semakin besar dan membuat
masyarakat merasa aman apabila menggunakan jasa seorang Notaris.
20
Ibid
Kahar Masyhur, 1985, Membina Moral dan Akhlak, Kalam Mulia,
Jakarta, hal 71.
21
24
1.5.5. Teori Pertanggungjawaban
Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).22 Dari pengertian tersebut maka
tanggung
jawab
dapat
diartikan
sebagai
perbuatan
bertanggungjawab
(pertanggungjawaban) atas perbuatan yang telah dilakukan.
Mengenai pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig
terdapat dua teori yang melandasinya, yaitu: 23
a. Teori fautes personalles
Adalah teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga
dibebankan
kepada
pejabat
yang
karena
tindakannya
itu
telah
menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan
pada manusia selaku pribadi.
b. Teori fautes de services
Adalah teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga
dibebankan kepada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori
ini, tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya,
kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang
dilakukan itu merupakan kesalahan berat dan atau kesalahan ringan, berat
22
Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 1139.
23
Sonny Pungus, 2010, Teori Pertanggungjawaban, available from URL:
http://Sonnytobelo.blogspot.com/2010/12/teoripertanggungjawaban.html.
25
atau ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang
harus ditanggung.
Seseorang dikatakan secara hukum bertanggung jawab untuk suatu
perbuatan hukum tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam
kasus perbuatan yang berlawanan. Menurut teori tradisional, terdapat dua macam
pertanggungjawaban yang dibedakan atas pertanggungjawaban atas kesalahan
(based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility)24.
Pertanggungjawaban atas kesalahan (based on fault) adalah prinsip yang
cukup umum berlaku dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Dalam
KUHPerdata, khususnya pada Pasal 1365, Pasal 1366 dan Pasal 1367, prinsip ini
dipegang teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan untuk
bertanggungjawab secara hukum apabila unsur terdapat unsur kesalahan yang
dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata yang dikenal sebagai pasal perbuatan
melawan hukum mengharuskan empat unsur pokok yang harus dipenuhi yaitu
adanya perbuatan, adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita, dan
adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility), prinsip tanggung
jawab mutlak adalah suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada
pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam
melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur kesalahan atau tidak, dalam hal ini
pelakunya dapat dimintakan tanggung jawab secara hukum, meskipun dalam
24
Jimly Asshidiqie dan Ali Safaat, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta, hal. 61.
26
melakukan perbuatannya itu pelaku tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak
pula mengandung unsur kelalaian, kekurang hati-hatian atau ketidakpatutan.
Karena itu, tanggung jawab mutlak sering juga disebut dengan tanggung jawab
tanpa kesalahan25. Menurut Hans Kelsen di dalam teorinya tentang tanggung
jawab hukum menyatakan bahwa “seseorang bertanggung jawab secara hukum
atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab atas suatu
sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan”.26
Hubungan antara teori pertanggungjawaban ini dengan permasalahan yang
penulis angkat adalah walaupun Notaris di dalam menjalankan kewenangannya
sebagai pejabat umum telah membuat akta otentik yang baik dan benar serta
sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
tetapi tidak dipungkiri di dalam menjalankan tugasnya tersebut seorang Notaris
bisa saja melakukan kesalahan-kesalahan didalam pembuatan akta yang akan
menimbulkan akibat hukum pada para pihaknya. Apabila Notaris melakukan
kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan para pihak, maka Notaris tersebut
dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas kesalahannya tersebut. Sehingga
teori pertanggungjawaban ini digunakan untuk menganalisis pertanggungjawaban
apa saja yang dapat dibebankan kepada Notaris yang dalam melaksanakan tugas
dan jabatannya melakukan perbuatan menyimpang atau perbuatan melawan
hukum. Teori ini untuk menjawab rumusan masalah satu yaitu untuk mengetahui
jenis pertanggungjawaban seperti apa yang sesuai diberikan kepada Notaris dan
25
26
Munir Fuady I, Op.Cit, hal. 173.
Jimly Asshidiqie dan Ali Safaat, Op.Cit, hal. 63.
27
nantinya dapat memberikan kepuasan kepada para pihak yang dirugikan atas
perbuatan Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan
akta otentik.
1.5.6. Teori Kewenangan
Istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang sering ditemukan dalam
literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan dan ilmu hukum. Kekuasaan sering
disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan
dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering
disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan
dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah
(the rule and the ruled).27
Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah
wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan
istilah bevoegheid dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon,
jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah
bevoegheid. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah
bevoegheid digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat.
Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya
digunakan dalam konsep hukum publik.28
27
Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, hal. 35-36.
28
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah Universitas
Airlangga, Surabaya, hal. 20.
28
Ateng
Syafrudin
berpendapat
ada
perbedaan
antara
pengertian
kewenangan dan wewenang. Kita harus membedakan antara kewenangan
(authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan
adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan
yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu
“onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan
terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan
lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya
meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi
wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta
distribusi
wewenang
utamanya
ditetapkan
dalam
peraturan
perundang-
undangan.29
Pengertian wewenang secara yuridis adalah kemampuan yang diberikan
oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.
Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah : bevoegheid wet kan worden
omscrevenals
het
geheel
van
bestuurechttelijke
bevoegdheden
door
publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer.
(wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan
29
Ateng Syafrudin, 2002, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas
Parahyangan, Bandung, hal. 22.
29
dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum
publik dalam hukum publik).30
Pengertian kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda
dengan wewenang (competence). Ada tiga jenis kewenangan dilihat dari cara
diperolehnya yaitu kewenangan secara atribusi, delegasi, maupun mandat.
Kewenangan secara atribusi, delegasi, ataupun mandat menurut J.G. Brouwer dan
A.E. Schilder, yang mengatakan :
a. With atribution, power is granted to an administrative authority by an
independent legislative body. The power is initial (originair), which is to
say that is not derived from a previously existing power. The legislative
body creates independent and previously non existent powers and assigns
them to an authority.
b. Delegation is a transfer of an acquired atribution of power from one
administrative authority to another, so that the delegate (the body that the
acquired the power) can exercise power in its own name.
c. With mandate, there is not transfer, but the mandate giver (mandans)
assigns power to the body (mandataris) to make decision or take action in
its name.
J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang
diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh
suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak
diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan
kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan
memberikan kepada organ yang berkompeten. Delegasi adalah kewenangan yang
dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan
kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan)
30
Stout HD, de betekenissen van de wet, dalam Irfan Fachruddin, 2004,
Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni,
Bandung, hal. 4.
30
dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada mandat, tidak
terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator)
memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat
keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.31
Kewenangan yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal
dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan
memperoleh kewenangan secara langsung dari pasal tertentu dalam suatu
peraturan perundang-undangan. Jadi dalam atribusi, penerima wewenang dapat
menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada, dengan
tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan
sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris). Pada delegasi tidak
ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan wewenang dari pejabat
yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada
pemberi delegasi (delegans), tetapi beralih pada penerima delegasi (delegataris).
Sementara pada mandat, peneriman mandat (mandataris) hanya bertindak untuk
dan atas nama pemberi mandat (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang
diambil mandataris tetap berada pada mandans. Hal ini karena pada dasarnya
penerima mandat ini bukan pihak lain dari pemberi mandat.32
Kewenangan Notaris sebagai pejabat umum yang bertugas membuat akta
otentik, termasuk kewenangan secara atribusi karena kewenangan Notaris
31
J.G. Brouwer dan Schilder, 1998, A Survey of Dutch Administrative Law,
Nijmegen: Ars Aeguilibri, hal. 16-17.
32
Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 105-106.
31
diberikan oleh undang-undang langsung yaitu Undang-undang nomor 2 tahun
2014 Pasal 15 ayat (1) yang menyatakan Notaris berwenang untuk membuat akta
otentik. Dalam kaitannya kewenangan dengan permasalahan yang diangkat adalah
apabila Notaris yang diberi kewenangan dalam membuat akta otentik
menyalahgunakan wewenangnya tersebut yang mengakibatkan para pihak
mengalami kerugian serta dapat mengakibatkan akta otentik yang dibuat oleh
Notaris tersebut dapat dibatalkan. Sehingga Notaris dapat dikatakan telah
bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Teori
kewenangan ini untuk menjawab rumusan masalah kedua.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang akan dikaji, maka penelitian ini
merupakan jenis penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan penelitian
hukum doktrinal yakni yang berfokus pada peraturan yang tertulis (law in book)33,
yang beranjak dari adanya kekosongan norma dalam ketentuan UUJN dan UU
perubahan atas UUJN mengenai komulasi atau penggabungan penerapan sanksi
sebagai bentuk pertanggungjawaban yang diberikan terhadap Notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik. Menurut
Peter Mahmud Marzuki, ilmu hukum merupakan ilmu yang normatif.
Mempelajari norma-norma hukum merupakan bagian esensial di dalam ilmu
33
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian
Hukum, Edisi ke-1 Cet IV, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 118.
32
hukum.34 Sehingga penelitian hukum normatif diartikan sebagai suatu proses
untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum
guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk
menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapi, sehingga hasil yang diperoleh tersebut, sudah mengandung nilai.35
Menurut Abdulkadir Muhammad, penelitian hukum normatif adalah
penelitian yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori,
sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi,
konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan
mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak
mengkaji aspek terapan atau pelaksanaan.36
1.6.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan yang dipergunakan dalam tesis ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (The Case
Approach). Pendekatan perundangan-undangan adalah pendekatan yang dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang ditangani. Sedangkan pendekatan kasus adalah
pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus
34
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Edisi ke-1 Cet VI,
Kencana, Jakarta, hal. 24.
35
Ibid, hal. 35.
36
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya,
Bandung, hal. 102.
33
yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.37
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini, adalah
sebagai berikut :
1. Bahan Hukum Primer terdiri atas :
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris.
d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004.
e) Kode Etik Notaris.
2. Bahan Hukum Sekunder terdiri atas:
a) Buku-buku hukum (text book).
b) Jurnal-jurnal hukum.
c) Karya tulis hukum yang termuat dalam media massa.
3. Bahan Hukum Tertier terdiri atas:
a) Kamus hukum.
b) Ensiklopedi hukum.
c) Internet.
37
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hal. 24.
34
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah
teknik telaah kepustakaan (study document). Teknik tersebut dilakukan dengan
mengumpulkan bahan-bahan hukum yang dianggap berhubungan dengan
permasalahan dalam penelitian, kemudian melakukan klasifikasi terhadap bahanbahan hukum yang dikumpulkan. Dalam hal ini peneliti mempelajari kepustakaan
yang berhubungan dengan pertanggungjawaban Notaris yang melakukan
perbuatan melawan hukum.
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis yang digunakan terhadap bahan-bahan hukum yang telah
terkumpul untuk menyelesaikan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini
adalah dilakukan dengan teknik deskriptif dan teknik interpretasi yaitu sebagai
berikut :
1.
Teknik deskriptif merupakan langkah pertama yang dipergunakan dalam
menganalisa, karena teknik deskriptif adalah teknik dasar analisis yang tidak
dapat dihindari penggunaannya. Deskriptif berarti menguraikan apa adanya
terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non
hukum.
2.
Teknik interpretasi (penafsiran) menurut Sudikno Mertokusumo merupakan
salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan gamblang
tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaidah dalam undang-
35
undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu.38 Teknik
interprestasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi
gramatikal (tata bahasa) dan interpretasi sistematis.
- Interpretasi gramatikal disebut juga penafsiran tata bahasa, adalah
menafsirkan kata kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan
kaidah hukum tata bahasa.39 Bahasa merupakan sarana yang dipakai
pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu
pembuat undang-undang harus memilih kata-kata yang jelas dan tidak
dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Titik tolak dalam penafsiran
menurut bahasa adalah bahasa sehari-hari.
- Interprestasi sistematis ialah dengan melihat hubungan diantara aturan
dalam suatu peraturan perundang-undangan yang saling bergantungan.40
Suatu peraturan hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait dengan
peraturan hukum lain. Dengan interpretasi sistematis dalam menafsirkan
undang-undang tidak boleh menyimpang dari sistem peraturan perundangundangan.
38
Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif
Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 61.
39
Ibid, hal. 63.
40
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hal. 112.
36
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 Notaris
Notaris berasal dari kata "nota literaria" yaitu tanda tulisan atau karakter
yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat
yang disampaikan narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud merupakan
tanda yang dipakai dalam penulisan cepat (stenografie). Awalnya jabatan Notaris
hakikatnya ialah sebagai pejabat umum (private notary) yang ditugaskan oleh
kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti
otentik yang memberikan kepastian hubungan Hukum Perdata, jadi sepanjang alat
bukti otentik tetap diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan Notaris
akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat.41 Notaris seperti yang
dikenal di zaman Belanda sebagai Republik der Verenigde Nederlanden mulai
masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya Oost Ind.
Compagnie di Indonesia.42
Pengertian Notaris dalam ketentuan Pasal 1 Instructie voor De Notarissen
in Indonesia, menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang harus
mengetahui seluruh perundang-undangan yang berlaku, yang dipanggil dan
diangkat untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk
memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan
41
G.H.S Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris
Reglement), Penerbit Erlangga, Jakarta, hal. 41.
42
Ibid, hal. 15.
37
tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grossenya,
demikian juga salinannya yang sah dan benar.43 Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Notaris mempunyai arti orang yang mendapat kuasa dari pemerintah
berdasarkan penunjukan (dalam hal ini adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia) untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat
wasiat, akta, dan sebagainya.44
Menurut Matome M. Ratiba dalam bukunya Convecaying Law for
Paralegals and Law Students menyebutkan : “Notary is a qualified attorneys
which is admitted by the court and is an officer of the court in both his office as
notary and attorney and as notary he enjoys special privileges.”45 Terjemahannya
yaitu Notaris adalah pengacara yang berkualifikasi yang diakui oleh pengadilan
dan petugas pengadilan baik di kantor sebagai Notaris dan pengacara dan sebagai
Notaris ia menikmati hak-hak istimewa.
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya,
semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga
43
Ibid, hal. 20.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Cetakan ke-3, Jakarta,
1990, hal. 618.
45
Matome M. Ratiba, 2013, Convecaying Law for Paralegals and Law
Students, bookboon.com, hal. 28.
44
38
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.46 Mendasarkan pada
nilai moral dan nilai etika Notaris, maka pengembanan jabatan Notaris adalah
pelayanan kepada masyarakat (klien) secara mandiri dan tidak memihak dalam
bidang kenotariatan yang pengembanannya dihayati sebagai panggilan hidup
bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia demi kepentingan
umum serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat manusia pada
umumnya dan martabat Notaris pada khususnya.47
Menurut G.H.S. Lumban Tobing memberikan pengertian Notaris yaitu
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan
oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk
dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan
aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang
pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau
orang lain.48 Sedangkan menurut Colenbrunder, Notaris adalah pejabat yang
berwenang untuk atas permintaan mereka yang menyuruhnya mencatat semua
46
Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap
UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung,
(selanjutnya disingkat Habib Adjie II), hal. 13.
47
Herlien Budiono, 2007, Notaris dan Kode Etiknya, Upgrading dan
Refreshing Course Nasional Ikatan Notaris Indonesia, Medan, hal. 3.
48
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 31.
39
yang dialami dalam suatu akta dan menyaksikan (comtuleert) dalam akta tentang
keadaan sesuatu barang yang ditunjukkan kepadanya oleh kliennya.49
Pengertian Notaris dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris menentukan “Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undangundang lainnya.” Menurut Habib Adjie, Notaris merupakan suatu jabatan publik
yang mempunyai karakteristik yaitu sebagai Jabatan, artinya UUJN merupakan
unifikasi di bidang pengaturan jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum
dalam bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia,
sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada
UUJN. Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara.
Menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau
tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu
(kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan
pekerjaan tetap.50
Karakteristik kedua Notaris mempunyai kewenangan tertentu, artinya
setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya
sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak bertabrakan
49
Engelbrecht De Wetboeken wetten en Veroordeningen, Benevens de
Grondwet van de Republiek Indonesie, Ichtiar Baru-Van Voeve, 1998, Jakarta,
hal. 882.
50
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 32-34.
40
dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat
(Notaris) melakukan suatu tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan, maka
dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang Notaris
hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) UU perubahan atas
UUJN.51
Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam Pasal 2 UUJN
menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam
hal ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UU perubahan
atas UUJN). Notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan
oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang
mengangkatnya, yaitu pemerintah. Dengan demikian, Notaris dalam menjalankan
jabatannya harus bersifat mandiri (autonomous), tidak memihak siapa pun
(impartial), tidak tergantung kepada siapa pun (independent), yang berarti dalam
menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang
mengangkatnya atau oleh pihak lain.
Notaris tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya.
Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak
menerima gaji maupun uang pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima
honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan
pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.52
51
52
Habib Adjie I, Loc.Cit.
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 35-36.
41
Kewenangan Notaris sebagai penjabaran dari Pasal 1 angka 1 UU
perubahan atas UUJN terdapat dalam Pasal 15 UU perubahan atas UUJN yang
tersirat sebagai berikut :
1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan
atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
Undang-undang.
2) Notaris berwenang pula :
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus.
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinanyang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan.
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya.
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.
g. Membuat akta risalah lelang.
3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Seorang Notaris dalam menjalankan profesinya memiliki kewajibankewajiban yang sebagaimana diatur dalam Bab III bagian kedua UU perubahan
atas UUJN. Seorang Notaris wajib bertindak jujur, seksama dan tidak memihak.
Kejujuran merupakan hal yang penting karena jika seorang Notaris bertindak
dengan ketidakjujuran maka akan banyak kejadian yang merugikan klien bahkan
akan menurunkan ketidakpercayaan klien terhadap Notaris tersebut. Keseksamaan
42
bertindak merupakan salah satu hal yang juga harus selalu dilakukan seorang
Notaris.53 Selain itu juga dalam melaksanakan jabatannya Notaris juga
berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan klien, membuat dokumen atau akta yang
diminta oleh klien, membuat daftar akta-akta yang dibuatnya, membacakan akta
di hadapan para pihak, dan menerima karyawan magang di kantornya. Mengenai
kewajiban Notaris ini diatur secara lengkap dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3) UU perubahan atas UUJN, yakni :
1 Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib :
a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris.
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta
Akta.
d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta.
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya.
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.
g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih
dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku.
h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga.
i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan
waktu pembuatan akta setiap bulan.
j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau
daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan
berikutnya.
53
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa
Sukses, Jakarta, hal. 41.
43
k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada
setiap akhir bulan.
l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,
dan tempat kedudukan yang bersangkutan.
m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk
pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat
itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
n. Menerima magang calon Notaris.
2 Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta in originali.
3 Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun.
b. Akta penawaran pembayaran tunai.
c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat
berharga.
d. Akta kuasa.
e. Akta keterangan kepemilikan.
f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi
yang memiliki unsur-unsur yaitu perilaku Notaris harus memiliki integritas moral
yang mantap, harus jujur bersikap terhadap klien maupun diri sendiri, sadar akan
batas-batas kewenangannya dan tidak bertindak semata-mata berdasarkan
pertimbangan uang.54 Jabatan yang dipangku Notaris adalah jabatan kepercayaan
dan justru oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepadanya.
Sebagai seorang kepercayaan, Notaris berkewajiban untuk merahasiakan semua
apa yang diberitahukan kepadanya selaku Notaris.55 Kewajiban merahasiakan
dapat dilakukan dengan upaya penuntutan hak ingkar, yang merupakan
pengecualian terhadap ketentuan dalam Pasal 1909 KUHPerdata bahwa setiap
54
Liliana Tedjosaputro, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka
Ilmu, Semarang, hal. 93.
55
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 117.
44
orang yang dipanggil sebagai saksi wajib memberikan kesaksian di muka
pengadilan. Selain itu juga, Notaris dalam melaksanakan jabatannya dituntut
untuk dapat memenuhi dan mentaati ketentuan-ketentuan sebagaimana telah
diatur dalam UUJN dan UU perubahan atas UUJN.
Akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris diharapkan mampu
menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan suatu pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Notaris, agar
Notaris tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran yang ditentukan dalam UUJN.
Menurut R. Soegondo mengemukakan bahwa untuk dapat membuat akta otentik,
seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia,
seorang advokat, meski pun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum, tidak
berwenang untuk membuat akta otentik, karena itu tidak mempunyai kedudukan
sebagai pejabat umum. Sebaliknya seorang pegawai catatan sipil (Ambtenaar van
de Burgerlijke Stand) meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta
otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta kelahiran, akta
perkawinan, akta kematian. Demikian itu karena ia oleh undang-undang
ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta
itu.56
Menurut G.H.S. Lumban Tobing mengemukakan bahwa akta yang dibuat
oleh Notaris dapat merupakan suatu akta yang memuat relaas atau menguraikan
secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat
56
R. Soegondo, 1982, Hukum Notariat di Indonesia, CV. Rajawali,
Jakarta, hal. 43.
45
atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni Notaris sendiri, di dalam
menjalankan jabatannya sebagai Notaris. Akta yang dibuat sedemikian dan
memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan dan dialaminya itu dinamakan
akta yang dibuat oleh Notaris sebagai pejabat umum. Akan tetapi akta Notaris
dapat juga berisikan suatu cerita dari apa yang terjadi karena perbuatan yang
dilakukan oleh pihak lain di hadapan Notaris, artinya yang diterangkan atau
diceritakan oleh pihak lain kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya dan
untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di hadapan Notaris dan
memberikan keterangan itu atau melakukan perbuatan itu di hadapan Notaris, agar
keterangan atau perbuatan itu dikonstatir oleh Notaris dalam suatu akta otentik.
Akta sedemikian dinamakan akta yang dibuat di hadapan (ten overtaan) Notaris.57
Nilai pembuktian akta otentik merupakan salah satu langkah dalam proses
beracara dalam perkara perdata dan pidana. Pembuktian diperlukan karena adanya
bantahan atau penyangkalan dari pihak lawan atau untuk membenarkan sesuatu
hak yang menjadi sengketa adalah suatu peristiwa atau hubungan hukum yang
mendukung adanya hak.58 Apa yang tersebut mengenai isi dari akta otentik
diaggap benar kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Kekuatan pembuktian
sempurna, mengandung arti bahwa isi akta itu dalam pengadilan dianggap benar
sampai ada bukti perlawanan yang melumpuhkan akta tersebut. Beban
pembuktian perlawanan itu jatuh pada pihak lawan dari pihak yang menggunakan
akta otentik atau akta di bawah tangan tersebut.
57
58
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 51.
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 129.
46
2.2 Perbuatan Melawan Hukum
Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad) sebelumnya
diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang
lain yang timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan
dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Menurut
ajaran yang sempit sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menuntut ganti
kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan yang tidak
bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan tersebut adalah
bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang
diwajibkan dalam pergaulan masyarakat.
Perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas yakni mencakup
salah satu dari perbuatan-perbuatan salah satu dari berikut:
1
2
3
4
Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.
Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.
Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.
Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam
pergaulan masyarakat yang baik.59
Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain adalah melanggar
hak-hak seseorang yang diakui oleh hukum, tetapi tidak terbatas pada hak-hak
yaitu hak-hak pribadi (persoonlijkheidsrechten), hak kekayaan (vermosgensrecht),
hak atas kebebasan dan hak atas kehormatan dan nama baik.60 Perbuatan yang
bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri adalah suatu kewajiban hukum
yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik hukum tertulis maupun
59
60
Munir Fuady I, Op.Cit, Hal. 6.
Munir Fuady I, Op.Cit, hal. 8.
47
hukum tidak tertulis. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan adalah
tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai
hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, manakala
tindakan melanggar kesusilaan tersebut telah terjadi kerugian bagi pihak lain
maka pihak yang menderita kerugian tersebut dapat meminta ganti kerugian
berdasarkan atas perbutan melawan hukum seperti yang terkadung dalam Pasal
1365 KUHPerdata.
Perbuatan yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan
dalam
pergaulan
masyarakat
yang
baik
atau
yang
disebut
dengan
istilah zorgvuldigheid juga dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum.
Jadi, jika seseorang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, tidak secara
melanggar pasal-pasal dari hukum yang tertulis mungkin masih dapat dijerat
dengan perbuatan melawan hukum, karena tindakannya tersebut bertentangan
dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat.
Keharusan dalam pergaulan masyarakat tersebut tentunya tidak tertulis, tetapi
diakui oleh masyarakat yang bersangkutan.61
Rosa Agustina menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum dapat
dijumpai baik dalam ranah Hukum Pidana (publik) maupun dalam ranah Hukum
Perdata (privat). Sehingga dapat ditemui istilah melawan Hukum Pidana
begitupun melawan Hukum Perdata. Dalam konteks itu jika dibandingkan maka
kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan adanya persamaan dan
61
Munir Fuady I, Loc.Cit.
48
perbedaan.62 Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu adalah untuk
dikatakan melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan hukum
yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua melawan hukum tersebut
pada prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan (interest) hukum. Perbedaan
pokok antara kedua melawan hukum tersebut, apabila melawan Hukum Pidana
lebih memberikan perlindungan kepada kepentingan umum (public interest), hak
obyektif dan sanksinya adalah pemidanaan. Sementara melawan Hukum Perdata
lebih memberikan perlindungan kepada private interest, hak subyektif dan sanksi
yang diberikan adalah ganti kerugian (remedies).
Sementara
menurut
M.A.
Moegni
Djojodordjo,
Mariam
Darus
Badrulzaman, Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, I.S. Adiwimarta, dan Setiawan,
menerjemahkannya
menjadi
perbuatan
melawan
hukum.
Penterjemahan
onrechtmatige daad sebagai perbuatan melawan hukum lebih tepat dibandingkan
perbuatan melanggar hukum. Pertama, dalam kata melawan melekat sifat aktif
dan pasif. Kedua, kata itu secara subtansif lebih luas cakupannya dibandingkan
dengan kata melanggar. Maksudnya adalah bahwa dalam kata melawan dapat
mencakup perbuatan yang didasarkan, baik secara sengaja maupun lalai.
Sementara kata melanggar cakupannya hanya pada perbuatan yang berdasarkan
kesengajaan saja.
Beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan
hukum adalah sebagai berikut :
62
Rosa Agustina, Op.Cit, hal. 14.
49
1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari
kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi contractual yang menerbitkan
hak untuk meminta ganti rugi.
2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya
kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum
yang mana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu
perbuatan biasa maupun bisa juga perbuatan yang merupakan suatu
kecelakaan.
3. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum,
kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan
dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu
ganti rugi.
4. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian
dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak atau
wanprestasi terhadap kewajiban trust ataupun wanprestasi terhadap
kewajiban equity lainnya.
5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak
atau lebih tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak
orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan
kontraktual.
6. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan
dengan hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum dan
karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan.
7. Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak seperti juga kimia bukan
suatu fisika atau matematika.63
Perbuatan melawan hukum dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1365
hingga Pasal 1380. Meskipun pengaturan perbuatan melawan hukum dalam
KUHPerdata hanya 15 pasal, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa gugatan
perdata di pengadilan didominasi oleh gugatan perbuatan melawan hukum
disamping gugatan wanprestasi. Terminologi perbuatan melawan hukum
63
Munir Fuady, 2005, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim,
Jaksa, Advokat,Notaris, Kurator, dan Pengurus, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
(selanjutnya disingkat Munir Fuady II), hal. 4.
50
merupakan terjemahan dari kata onrechtmatige daad (bahasa Belanda) atau dalam
bahasa Inggris dikenal dengan istilah tort.
Perbuatan melawan hukum lebih diartikan sebagai sebuah perbuatan
melukai (injury) daripada pelanggaran terhadap kontrak (breach of contract).
Apalagi perbuatan melawan hukum umumnya tidak didasari dengan adanya
hubungan hukum kontraktual. Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, maka yang
dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan
hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan
kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari
perbuatan melawan hukum, yaitu perbuatan melawan hukum karena kesengajaan,
perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun
kelalaian) dan perbuatan melawan hukum karena kelalaian64
Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas
dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya
mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi
juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan
bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan
perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi
dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Menurut Rahmat
Setiawan perbuatan melawan hukum adalah setiap perbuatan pidana selalu
dirumuskan secara seksama dalam undang-undang, sehingga sifatnya terbatas.
Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum adalah tidak demikian. Undang64
Ibid, hal. 3.
51
undang hanya menetukan satu pasal umum, yang memberikan akibat-akibat
hukum terhadap perbuatan melawan hukum.65
Jadi pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas. Perbuatan
melawan hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan yang melanggar
kaidah-kaidah tertulis, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban
hukum si pelaku dan melanggar kaidah hak subjektif orang lain, tetapi juga
perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu kaidah yang mengatur
tata susila, kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki
seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda
warga masyarakat. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ada 4 unsur
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yaitu :
1. Adanya Perbuatan Melawan Hukum
Dikatakan perbuatan melawan hukum, tidak hanya hal yang bertentangan
dengan undang-undang, tetapi juga jika berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang memenuhi salah satu unsur berikut yaitu berbertentangan dengan hak
orang
lain,
bertentangan
dengan
kewajiban
hukumnya
sendiri,
bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan keharusan (kehatihatian, kepantasan, kepatutan) yang harus diindahkan dalam pergaulan
masyarakat mengenai orang lain atau benda.
2. Adanya unsur kesalahan
Unsur kesalahan dalam hal ini dimaksudkan sebagai perbuatan dan akibatakibat yang dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku.
65
Rachmat Setiawan, Op.Cit, hal. 15.
52
3. Adanya kerugian
Yaitu kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum tidak hanya
dapat mengakibatkan kerugian uang saja, tetapi juga dapat menyebabkan
kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan
kesenangan hidup.
4. Adanya hubungan sebab akibat
Unsur sebab-akibat dimaksudkan untuk meneliti adalah hubungan kausal
antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan sehingga
si pelaku dapat dipertanggungjawabkan.
2.3 Pertanggungjawaban Hukum
Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang secara
etimologi berarti kewajiban terhadap segala sesuatunya atau fungsi menerima
pembebanan sebagai akibat tindakan sendiri atau pihak lain. Sedangkan
pengertian tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut,
dipersalahkan,
diperkarakan
dan
sebagainya).
Untuk
memperoleh
atau
meningkatkan kesadaran bertanggung jawab perlu ditempuh usaha melalui
pendidikan, penyuluhan, keteladanan dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Atas dasar ini, dikenal beberapa jenis tanggung jawab, yaitu :
1. Tanggung jawab terhadap diri sendiri
Tanggung jawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran tiap orang untuk
memenuhi kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadian
sebagai manusia pribadi. Dengan demikian bisa memecahkan masalahmasalah kemanusiaan mengenai dirinya sendiri, menurut sifat dasarnya
manusia adalah mahluk bermoral, tapi juga seorang pribadi. Karena
53
merupakan seorang pribadi maka manusia mempunyai pendapat sendiri,
perasaan dan angan-angan sendiri, sebagai perwujudan dari itu, manusia
berbuat dan bertindak. Dalam hal ini manusia tidak luput dari kesalahan
dan kekeliruan baik disengaja maupun tidak disengaja.
2. Tanggung jawab terhadap masyarakat
Pada hakekatnya manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan manusia
lainnya, sesuai dengan kedudukannya sebagai mahluk sosial. Karena
membutuhkan manusia lain maka ia harus berkomunikasi dengan manusia
lain tersebut. Sehingga dengan demikian manusia disini merupakan
anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung jawab seperti
anggota masyarakat yang lain agar dapat melangsungkan hidupnya dalam
masyarakat tersebut. Wajarlah apabila segala tingkah laku dan
perbuatannya harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat
3. Tanggung jawab kepada bangsa dan Negara
Suatu lagi kenyataan bahwa tiap manusia, tiap individu adalah warga
Negara suatu Negara. Dalam berpikir, bertindak, berbuat, bertingkah laku
manusia terikat oleh norma-norma atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh
Negara. Manusia tidak dapat berbuat semaunya sendiri. Bila perbuatan
manusia itu salah, maka ia harus bertanggung jawab kepada Negara.
4. Tanggung jawab terhadap Tuhan
Tuhan menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggung jawab,
melainkan mengisi kehidupannya, manusia mempunyai tanggung jawab
langsung, sebab dengan mengabaikan perintah-perintah Tuhan berarti
mereka meninggalkan tanggung jawab yang seharusnya manusia terhadap
Tuhan sebagai penciptanya, bahkan untuk memenuhi tanggung jawabnya,
manusia memerlukan pengorbanan.66
Menurut Hans Kelsen dalam bukunya membagi pertanggungjawaban
menjadi empat macam yaitu:
1. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab
terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri.
2. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung
jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.
66
Hans Kelsen, terjemahan Raisul Mutaqien, 2006, Teori Hukum Murni,
Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hal 140.
54
3. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang
individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena
sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian.
4. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak
sengaja dan tidak diperkirakan.67
Menurut kamus hukum ada 2 istilah pertanggungjawaban yaitu liability
(thestate of being liable) dan responsibility (the state or fact being responsible).
Liability merupakan istilah hukum yang luas, dimana liability menunjuk pada
makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau
tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability
didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Liability juga
merupakan kondisi tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial, kondisi
bertanggung jawab terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian,
ancaman, kejahatan, biaya atau beban. Kondisi yang menciptakan tugas untuk
melaksanakan undang-undang dengan segera atau pada masa yang akan datang.
Sedangkan responsibility berarti hal dapat dipertanggungjawabkan atau suatu
kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan, dan kecakapan.
Responsibility juga berarti kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang
yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas
kerusakan yang telah ditimbulkannya.68
67
Ibid.
Ridwan HR., 2007, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 335-336.
68
55
Tanggung jawab hukum menurut KUHPerdata adalah tanggung jawab
dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana terdapat dalam
Pasal 1365 KUHPerdata. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya
kelalaian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata dan tanggung
jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1367
KUHPerdata.69 Sedangkan bentuk pertanggungjawaban dalam Hukum Perdata
dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu pertanggungjawaban kontraktual dan
pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum.
Perbedaan antara tanggung jawab kontraktual dengan tanggung jawab
perbuatan melawan hukum adalah apakah dalam hubungan hukum tersebut
terdapat perjanjian atau tidak. Apabila terdapat perjanjian tanggung jawabnya
adalah tanggung jawab kontraktual. Sementara apabila tidak ada perjanjian namun
terdapat satu pihak merugikan pihak lain, pihak yang dirugikan dapat menggugat
pihak yang merugikan untuk bertanggung jawab dengan dasar telah melakukan
perbuatan melawan hukum.
Tanggung jawab kontraktual didasarkan adanya hubungan kontraktual.
Hubungan kontraktual adalah hubungan hukum yang dimaksudkan untuk
menimbulkan akibat hukum, yaitu menimbulkan hak dan kewajiban terhadap para
pihak dalam perjanjian. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan
kewajibannya dan karenanya menimbulkan kerugian bagi pihak lain, pihak yang
dirugikan tersebut dapat mengugat dengan dalil wanprestasi. Pengertian umum
69
Munir Fuady II, Op.Cit, hal. 4.
56
tentang wanprestasi adalah tidak terlaksananya perjanjian karena kelalaian salah
satu pihak. Bentuk dari kelalaian tersebut dapat berupa sama sekali tidak
melaksanakan prestasi, terlambat melaksanakan prestasi atau keliru dalam
melaksanakan prestasi.
Konsekuensi hukum dari wanprestasinya adalah keharusan bagi salah satu
pihak untuk membayar ganti rugi. Adanya suatu wanprestasi salah satu pihak,
pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian atau pemenuhan
perjanjian. Gugatan wanpretasi bertujuan menempatkan penggugat pada posisi
seandainya perjanjian terlaksana (pay on time).
Ganti rugi yang diberikan tersebut adalah kehilangan keuntungan yang
diharapkan (expectation loss). KUHPerdata mengatur hal tersebut pada Pasal
1244, Pasal 1245 dan Pasal 1246 KUHPerdata, ganti rugi terdiri dari biaya, rugi
dan bunga. Pengertian dari biaya adalah segala pengeluaran yang nyata-nyata
telah dikeluarkan oleh kreditur akibat dari wanprestasinya debitur. Rugi adalah
kerugian yang ditanggung oleh kreditur akibat wanprestasinya debitur. Sementara
bunga adalah kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh kreditur terhadap
suatu hubungan hukum. Ganti rugi dalam tanggung jawab kontraktual adalah
ganti rugi yang merupakan akibat langsung wanprestasi. Dengan kata lain, ada
hubungan sebab akibat atau causal-verband antara kerugian yang diderita dengan
perbuatan wanprestasi, kerugian harus merupakan akibat langsung dari
wanprestasi.
Tanggung jawab perbuatan melawan hukum hadir untuk melindungi
hak-hak seseorang. Hukum dalam perbuatan melawan hukum menggariskan
57
hak-hak dan kewajiban-kewajiban saat seseorang melakukan perbuatan baik
kesalahan atau kelalaian atau melukai orang lain dan perbuatan tersebut
menimbulkan kerugian bagi orang lain. Perbuatan melawan hukum di Indonesia
secara normatif merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal 1365
KUHPerdata ini menentukan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang
mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang melakukan
perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian.70
Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) berwenang membuat
akta otentik. Sehubungan dengan kewenangannya tersebut Notaris dapat dibebani
tanggung jawab atas perbuatannya dalam membuat akta otentik. Tanggung jawab
Notaris sebagai pejabat umum meliputi tanggung jawab profesi Notaris itu sendiri
yang berhubungan dengan akta, diantaranya yang pertama, tanggung jawab
Notaris secara perdata atas akta dibuatnya, dalam hal ini adalah tanggung jawab
terhadap kebenaran materiil akta, dalam konstruksi perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum disini dalam sifat aktif maupun pasif. Aktif, dalam
artian melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain.
Sedangkan pasif, dalam artian tidak melakukan perbuatan yang merupakan
keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian. Jadi unsur dari perbuatan
melawan hukum disini yaitu adanya suatu perbuatan melawan hukum, adanya
kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan.
70
R. Subekti dan Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang hukum
Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 346.
58
Perbuatan melawan hukum disini diartikan luas, yaitu suatu perbuatan
tidak saja melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan
atau hak orang lain dan menimbulkan kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan
perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut melanggar hak orang lain,
bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kesusilaan,
bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta
orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Tanggung jawab Notaris dalam ranah Hukum Perdata ini, termasuk
didalamnya adalah tanggung jawab perpajakan yang merupakan kewenangan
tambahan Notaris yang diberikan oleh UU Perpajakan. Kedua, tanggung jawab
Notaris secara pidana atas akta dibuatnya. Pidana dalam hal ini adalah perbuatan
pidana yang dilakukan oleh Notaris dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum
yang berwenang membuat akta, bukan dalam konteks individu sebagai warga
negara pada umumnya. Ketiga tanggung jawab Notaris berdasarkan peraturan
jabatan Notaris (UUJN) dan terakhir tanggung jawab Notaris dalam menjalankan
tugas jabatannya berdasarka kode etik Notaris. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4
UUJN tentang sumpah jabatan Notaris.71
Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas profesinya bahwa
Notaris sebagai pejabat umum tugas utamanya ialah dalam pembuatan akta
otentik, kalau Notaris menjalankan tugas jabatannya sesuai Undang-Undang
Jabatan Notaris (UUJN), UU perubahan atas UUJN dan peraturan perundangan di
71
Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia
(Perspektif Hukum dan Etika), UII Press cetakan pertama, Yogyakarta, hal. 35-49.
59
dalam pembuatan akta, maka secara materiil dalam suasana formal sudah
memenuhi persyaratan dan menjalankan tugas dengan baik. Contohnya yaitu
apabila para pihak meminta pembuatan suatu akta, maka pernyataan yang
disampaikan oleh Notaris adalah Notaris tinggal menkonstatir di dalam suatu akta.
Notaris bertanggung jawab atas apa yang disampaikan atau diberi keterangan oleh
yang bersangkutan tetapi tidak bertanggung jawab atas kebenaran dari materi
yang disampaikan. Tanggung jawab secara lain ialah Notaris harus bertindak
jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, menjaga kepentingan pihak yang terkait
dalam perbuatan hukum. Merahasiakan sesuatu mengenai akta yang dibuatnya
dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah atau janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.72
Tuntutan tanggung jawab terhadap Notaris muncul sejak terjadinya
sengketa berkaitan dengan akta yang telah dibuat dengan memenuhi unsur-unsur
dalam perbuatan melawan hukum meliputi perbuatan manusia yang memenuhi
rumusan peraturan perundang-undangan, artinya berlaku asas legalitas, nulum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana jika hal tersebut tidak atau belum dinyatakan dalam
aturan undang-undang), dan perbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum.
Konsep pertanggungjawaban ini apabila dikaitkan dengan profesi Notaris, maka
Notaris dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan dan kelalaiannya dalam
pelaksanaan tugas dan jabatannya.
72
Peter Tamba Simbolon, 2008, Pembatalan Akta Notariil Dalam Sengketa
Perdata di Pengadilan Negeri Semarang, Tesis, Program Pascasarjana Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 82-83.
60
Pertanggungjawaban Notaris dapat dibagi menjadi pertanggungjawaban
secara pidana, administrasi dan perdata. Ketiga jenis pertanggungjawaban tersebut
ditentukan oleh sifat pelanggaran (melawan hukumnya perbuatan) dan akibat
hukumnya. Bentuk pertanggungjawaban pidana selalu bersanksi pidana.
Pertangungjawaban
administrasi
selalu
bersanksi
administrasi,
dan
pertanggungjawaban perdata ditujukan pada pengembalian kerugian keperdataan,
akibat dari wanprestasi atau onrechtsmatige daad. Pada dasarnya setiap bentuk
pelanggaran selalu mengandung sifat melawan hukum dalam perbuatan itu.
Dalam
hal
sifat
melawan
hukum
tindak
pidana,
selalu
membentuk
pertanggunggjawaban pidana sesuai tindak pidana tertentu yang dilanggarnya.
Sementara sifat melawan Hukum Administrasi dan Hukum Perdata, sekedar
membentuk pertanggungjawaban administrasi dan perdata saja sesuai dengan
perbuatan yang dilakukan.
61
BAB III
TANGGUNG JAWAB NOTARIS YANG MELAKUKAN
PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM
PEMBUATAN AKTA OTENTIK
3.1. Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris
3.1.1. Tanggung Jawab secara Perdata
Tanggung jawab secara perdata seorang Notaris yang melakukan
perbuatan melawan hukum, dalam hal ini menyangkut mengenai tanggung jawab
terhadap akta yang dibuat oleh Notaris secara melawan hukum. Perbuatan
melawan hukum yang dilakukan Notaris disini dalam diartikan dalam sifat aktif
maupun sifat pasif. Artian aktif yaitu Notaris melakukan perbuatan yang
menimbulkan kerugian pada pihak lain. Sedangkan dalam artian pasif, Notaris
tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain
menderita kerugian. Jadi unsur dari perbuatan melawan hukum disini yaitu adanya
suatu perbuatan yang diilakukan secara melawan hukum, adanya kesalahan dan
adanya kerugian yang ditimbulkan. Perbuatan melawan hukum disini diartikan
luas, yaitu suatu perbuatan tidak saja melanggar undang-undang, tetapi juga
melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak orang lain dan menimbulkan kerugian.
Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan
tersebut melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku,
bertentangan
dengan
kesusilaan,
bertentangan
dengan
kepatutan
dalam
memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup
sehari-hari.
62
Notaris melakukan perbuatan melawan hukum dapat didasarkan pada
Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu. Sehingga pasal tersebut
merupakan dasar untuk menyatakan perbuatan yang dilakukan Notaris merupakan
perbuatan melawan hukum.
Notaris dapat dikatakan melanggar hak subyektif orang lain apabila
melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik, menurut
Meyers hak subyektif adalah wewenang khusus yang diberikan oleh hukum pada
seseorang dimana dapat memperolehnya demi kepentingannya. Hak subyektif
terdiri dari hak kebendaan dan absolute, hak pribadi yang meliputi hak untuk
mempunyai integritas terhadap jiwa dan kehidupan, hak atas kebendaan pribadi,
hak atas kehormatan dan hak istimewa juga nama baik.73
Unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan Notaris harus juga
memuat mengenai adanya kerugian (Schade) yang ditimbulkan dari perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris. Seseorang yang mengalami
kerugian akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh orang lain
berhak mengajukan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya kepada pengadilan
negeri. Ganti rugi yang diminta dapat berupa ganti rugi yang bersifat materiil dan
immateriil. Hakimlah yang menentukan berapa sepantasnya pihak yang menderita
73
M.A Moegni Djojodirjo, 1982, Perbuatan melawan hukum, Pradnya
Paramita, Jakarta, hal. 21.
63
kerugian itu harus dibantu ganti ruginya, sekalipun pihak yang mengalami
kerugian menuntut ganti rugi dalam jumlah yang tidak pantas.
Kesalahan Notaris dalam membuat akta sehingga menyebabkan pihak lain
mengalami kerugian dapat termasuk perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Adapun syarat perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum yaitu adanya
perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, harus ada kesalahan, dan harus ada
hubungan sebab dan akibat antara perbuatan dan kerugian. Sedangkan unsur dari
perbuatan melawan hukum ini meliputi adanya suatu perbuatan melawan hukum,
adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan.
Akibat adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan Notaris dalam
pembuatan akta otentik menimbulkan adanya pertanggungjawaban yang harus
dilakukan oleh seorang Notaris. Dalam pertanggungjawaban seorang Notaris
secara perdata, hakim dalam menangani perkara perdata yang melibatkan Notaris
mencari suatu kebenaran formil dari akta otentik yaitu kebenaran dari apa yang
diperoleh berdasarkan apa yang dikemukakan oleh para pihak. Kebenaran ini
digali dari fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak. Kebenaran dalam ranah
perdata sangat tergantung dari para pihak. Berbeda dengan ranah Hukum Pidana
yang mencari adalah kebenaran materiil. Hakim tidak tergantung kepada apa yang
dikemukakan oleh jaksa penuntut umum maupun oleh penasihat hukum terdakwa.
Hakim bersifat aktif mencari kebenaran yang menurut fakta yang sebenarnya,
bukan menurut apa yang dikemukakan oleh jaksa penuntut umum maupun
penasihat hukum terdakwa.
64
Peran Notaris disini hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan
hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta. Notaris hanya
mengkonstatir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para
pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan syarat-syarat formil pembuatan
akta otentik kemudian menuangkannya ke dalam akta. Notaris tidak diwajibkan
untuk menyelidiki kebenaran isi materiil dari akta otentik tersebut. Hal ini
mewajibkan Notaris untuk bersikap netral dan tidak memihak serta memberikan
semacam nasihat hukum bagi klien yang meminta petunjuk hukum pada Notaris
yang bersangkutan.
Namun Notaris dapat juga dipertanggung jawabkan atas kebenaran
materiil suatu akta bila nasihat hukum yang diberikannya ternyata dikemudian
hari merupakan suatu yang keliru. Serta apabila dalam pembuatan akta tersebut
ternyata Notaris tidak memberikan akses mengenai suatu hukum tertentu yang
berkaitan dengan akta yang dibuatnya sehingga salah satu pihak merasa tertipu
atas ketidaktahuannya. Untuk itulah disarankan bagi Notaris untuk memberikan
informasi hukum yang penting yang selayaknya diketahui klien sepanjang yang
berurusan dengan masalah hukum. Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa ada hal lain
yang juga harus diperhatikan oleh Notaris, yaitu yang berkaitan dengan
perlindungan hukum Notaris itu sendiri, dengan adanya ketidakhati-hatian dan
kesungguhan yang dilakukan Notaris, sebenarnya Notaris telah membawa dirinya
pada suatu perbuatan yang oleh undang-undang harus dipertanggungjawabkan.
Jika suatu kesalahan yang dilakukan oleh Notaris dapat dibuktikan, maka Notaris
65
dapat dikenakan sanksi berupa ancaman sebagaimana yang telah ditentukan oleh
undang-undang.
Sanksi merupakan alat pemaksa, selain hukuman, juga untuk menaati
ketetapan yang ditentukan dalam peraturan atau perjanjian. Sanksi juga diartikan
sebagai alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat kepada perjanjian. Sanksi
merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh
penguasa sebagai
reaksi
terhadap ketidakpatuhan pada norma
Hukum
Administrasi. Dengan demikian unsur-unsur sanksi yaitu sebagai alat kekuasaan,
bersifat hukum publik, digunakan oleh penguasa dan sebagai reaksi terhadap
ketidakpatuhan.
Hakekatnya sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk
memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa suatu tindakan
yang dilakukannya telah tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan
untuk mengembalikan yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku, juga untuk menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan
hukum. Sanksi yang ditujukan terhadap Notaris juga merupakan penyadaran,
bahwa Notaris dalam melakukan tugas dan jabatannya telah melanggar ketentuanketentuan mengenai pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris sebagaimana
tercantum dalam UUJN dan UU perubahan atas UUJN, serta untuk
mengembalikan tindakan Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya untuk
tertib sesuai dengan UUJN dan UU perubahan atas UUJN.
Pemberian sanksi terhadap Notaris juga untuk melindungi masyarakat dari
tindakan Notaris yang dapat merugikan masyarakat, misalnya membuat akta yang
66
tidak melindungi hak-hak para pihak. Sanksi tersebut juga untuk menjaga
martabat lembaga Notaris sebagai lembaga kepercayaan, karena jika Notaris
melakukan pelanggaran, dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap
Notaris. Secara individu diberikannya sanksi terhadap Notaris merupakan suatu
pertaruhan dari jabatan seorang Notaris yang menjalankan tugas dan jabatannya,
apakah dikemudian hari masyarakat masih mau mempercayakan pembuatan akta
terhadap Notaris yang bersangkutan atau tidak. UUJN dan UU perubahan atas
UUJN yang mengatur jabatan Notaris berisikan ketentuan-ketentuan yang bersifat
memaksa atau merupakan suatu aturan hukum yang imperatif untuk ditegakkan
terhadap Notaris yang telah melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas dan
jabatannya.
Sanksi yang diberikan yang diberikan terhadap pertanggungjawaban
perdata seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum pembuatan
akta otentik adalah sanksi perdata. Sanksi ini berupa penggantian biaya, ganti rugi
dan bunga merupakan akibat yang akan diterima Notaris atas tuntutan para
penghadap yang merasa dirugikan atas pembuatan akta oleh Notaris. Penggantian
biaya, ganti rugi atau bunga harus didasarkan pada suatu hubungan hukum antara
Notaris dengan para pihak yang menghadap Notaris. Jika ada pihak yang merasa
dirugikan sebagai akibat langsung dari suatu akta Notaris, maka yang
bersangkutan dapat menuntut secara perdata terhadap Notaris. Dengan demikian,
tuntutan penggantian biaya, ganti rugi dan bunga terhadap Notaris tidak
berdasarkan atas penilaian atau kedudukan suatu alat bukti yang berubah karena
melanggar ketentuan-ketentuan tertentu, tetapi hanya dapat didasarkan pada
67
hubungan hukum yang ada atau yang terjadi antara Notaris dengan para
penghadap.
Pasal 41 UU perubahan atas UUJN menentukan adanya sanksi perdata,
jika Notaris melakukan perbuatan melawan hukum atau pelanggaran terhadap
Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 UU perubahan atas UUJN maka akta Notaris
hanya akan mempunyai pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Akibat dari
akta Notaris yang seperti itu, maka dapat menjadi alasan bagi pihak yang
menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga
kepada Notaris.
Kedudukan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta dibawah tangan merupakan nilai dari sebuah pembuktian yang tidak dapat
dituntut dengan ganti rugi dalam bentuk apapun. Demikian juga dengan batalnya
akta demi hukum, jika sudah batal demi hukum maka akta tersebut dianggap tidak
pernah ada atau tidak pernah dibuat. Jika demikian bahwa tuntutan biaya, ganti
rugi dan bunga bukan sebagai akibat seperti itu, tapi karena ada hubungan hukum
antara Notaris dan para pihak yang menghadap Notaris. Hubungan hukum
merupakan suatu hubungan yang akibatnya diatur oleh hukum.
Hubungan hukum Notaris dan para penghadap merupakan hubungan
hukum yang khas, dengan karakter sebagai berikut :
a. Tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tertulis dalam
pemberian kuasa untuk membuat akta atau untuk melakukan pekerjaanpekerjaan tertentu.
b. Mereka yang datang ke hadapan Notaris, dengan anggapan bahwa Notaris
mempunyai kemampuan untuk membantu memformulasikan keinginan
para pihak secara tertulis dalam bentuk akta otentik.
68
c. Hasil akhir dari tindakan Notaris berdasarkan kewenangan Notaris yang
berasal dari permintaan atau keinginan para pihak sendiri.
d. Notaris bukan pihak dalam akta yang bersangkutan.74
Hubungan hukum antara Notaris dan para penghadap yang telah membuat
akta di hadapan Notaris atau oleh Notaris tidak dapat dikontruksikan atau
ditentukan pada awal Notaris dan para penghadap berhubungan, karena pada saat
itu belum terjadi permasalahan apapun. Untuk menentukan bentuk hubungan
Notaris dengan para penghadap harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1869
KUHPerdata, bahwa akta otentik terdegradasi menjadi mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan dengan alasan tidak berwenangnya
pejabat umum yang bersangkutan, tidak mempunyai pejabat umum yang
bersangkutan, cacat dalam bentuknya atau akta Notaris dibatalkan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum. Kemudian hal ini
dapat dijadikan dasar untuk menggugat Notaris sebagai suatu perbuatan melawan
hukum atau dengan kata lain hubungan Notaris dan para penghadap dapat
dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum, karena Notaris tidak
berwenang membuat akta yang bersangkutan dan akta Notaris cacat dalam
bentuknya.
Tuntutan terhadap Notaris dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi, dan
bunga sebagai akibat akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
dibawah tangan atau batal demi hukum, berdasarkan adanya hubungan hukum
yang khas antara Notaris dengan para penghadap dengan sebagai perbuatan
melawan hukum dan ketidakcermatan, ketidaktelitian, ketidaktepatan dalam
74
Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 102.
69
teknik administratif membuat akta berdasarkan UUJN dan UU perubahan atas
UUJN serta penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta yang
bersangkutan untuk para penghadap, yang tidak didasarkan pada kemampuan
menguasai keilmuan bidang Notaris secara khusus dan hukum pada umumnya.
Penjatuhan sanksi perdata berdasarkan pada putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan tetap yang amar putusannya menghukum Notaris untuk
membayar biaya, ganti rugi, dan bunga kepada penggugat.
Kesimpulan dari pertanggungjawaban secara perdata seorang Notaris yang
melakukan
perbuatan
melawan
hukum
adalah
Notaris
wajib
mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan dijatuhi sanksi perdata berupa
penggantian biaya atau ganti rugi kepada pihak yang dirugikan atas perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris. Namun sebelum Notaris dijatuhi
sanksi perdata maka Notaris terlebih dahulu harus dapat dibuktikan bahwa telah
adanya kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan melawan hukum Notaris
terhadap para pihak, dan antara kerugian yang diderita dan perbuatan melawan
hukum dari Notaris terdapat hubungan kausal, serta perbuatan melawan hukum
atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan
kepada Notaris yang bersangkutan.
3.1.2. Tanggung Jawab secara Administrasi
Tanggung Jawab secara administrasi terhadap seorang Notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik dapat
dijatuhi sanksi administrasi. Secara garis besar sanksi administrasi dapat
dibedakan menjadi 3 (tiga) macam yaitu sanksi reparatif adalah sanksi ini
70
ditujukan untuk perbaikan atas pelanggaran tata tertib hukum. Dapat berupa
penghentian perbuatan terlarang, kewajiban perubahan sikap/tindakan sehingga
tercapainya keadaan semula yang ditentukan, tindakan memperbaiki sesuatu yang
berlawanan dengan aturan. Contohnya paksaan untuk berbuat sesuatu untuk
pemerintah dan pembayaran uang paksa yang ditentukan sebagai hukuman.
Sanksi punitif adalah sanksi yang bersifat menghukum, merupakan beban
tambahan. Sanksi hukuman tergolong dalam pembalasan, dan tindakan preventif
yang menimbulkan ketakutan kepada pelanggar yang sama atau mungkin untuk
pelanggar-pelanggar lainnya. Contohnya pembayaran denda kepada pemerintah,
teguran keras. Dan sanksi regresif adalah sanksi sebagai reaksi atas sesuatu
ketidaktaatan, dicabutnya hak atas sesuatu yang diputuskan menurut hukum,
seolah-olah dikembalikan kepada keadaan hukum yang sebenarnya sebelum
keputusan diambil. Contohnya pencabutan, perubahan atau penangguhan suatu
keputusan.75
Beberapa kepustakaan Hukum Administrasi dikenal beberapa jenis sanksi
administrasi antara lain :
1. Eksekusi nyata adalah sanksi yang digunakan administrasi, baik dengan
tidak memenuhi kewajiban yang tercantum dalam suatu ketetapan Hukum
Administrasi maupun pada pelanggaran-pelanggaran suatu ketentuan
undang-undang berbuat tanpa izin, yang terdiri dari mengambil,
menghalangi, menjalankan atau memperbaiki apa yang bertentangan
dengan ketentuan dalam peraturan yang sah, yang dibuat, disusun, dialami,
dibiarkan, dirusak atau diambil oleh pelaku.
75
J.B.J.M.Ten Berge, 1996, Besturen Door de Overheid, W.E.J. Tjeenk
Qillink, Deventer, hal. 390-391.
71
2. Eksekusi langsung (parate executie) adalah sanksi dalam penagihan uang
yang berasal dari hubungan Hukum Administrasi.
3. Penarikan kembali suatu izin adalah sanksi yang diberikan pada
pelanggaran-pelanggaran peraturan atau syarat-syarat yang berhubungan
dengan ketetapan, tetapi juga pelanggaran peraturan perundangundangan.76
Menurut Philipus M Hadjon dan H. D. Van Wijk/ Willem Konijnenbelt77 sanksi
administrasi meliputi sebagai berikut :
a. Paksaan pemerintah
Paksaan pemerintah sebagai tindakan-tindakan yang nyata dari penguasa
guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah Hukum
Administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya
ditinggalkan oleh para warga Negara karena bertentangan dengan undangundang.
b. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin,
pembayaran, subsidi)
Sanksi yang digunakan dengan mencabut atau menarik kembali suatu
keputusan atau ketetapan yang menguntungkan dengan mengeluarkan
ketetapan baru. Sanksi seperti ini diterapkan dalam hal terjadi pelanggaran
terhadap peraturan atau syarat-syarat yang dilekatkan pada penetapan
tertulis yang telah diberikan, juga terjadi pelanggaran undang-undang yang
terkait dengan izin yang dipegang oleh si pelanggar. Dalam keadaan
tertentu sanksi seperti ini tidak terlalu perlu didasarkan pada suatu
peraturan perundang-undangan, apabila keputusan (ketetapan) berlaku
untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifatnya dapat diakhiri atau
ditarik kembali (izin, subsidi berkalas) dan tanpa adanya suatu peraturan
perundang-undangan yang tegas untuk itu, penarikan kembali tidak dapat
diadakan secara berlaku surut. Pencabutan atau penarikan yang
menguntungkan merupakan suatu sanksi situatif yaitu sanksi yang
dikeluarkan bukan dengan maksud sebagai reaksi terhadap perbuatan yang
tercela dari segi moral, melainkan dimaksudkan untuk mengakhiri
keadaan-keadaan yang secara objektif tidak dapat dibenarkan lagi.
c. Pengenaan denda administratif
Sanksi pengenaan denda administratif ditujukan kepada mereka yang
melanggar peraturan perundang-undangan tertentu dan kepada si
pelanggar dikenakan sejumlah uang tertentu berdasarkan peraturan
76
Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 108.
H. D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, 1990, Hoolfdstukken van
Adminstratief Recht, Uitgeverij Lemma BW, Utrecht, hal. 330-345.
77
72
perundang-undangan yang bersangkutan, kepada pemerintah diberikan
wewenang untuk menerapkan sanksi tersebut.
d. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah
Sanksi pengenaan uang paksa oleh pemerintah ditujukan untuk menambah
hukuman yang pasti, disamping denda yang telah disebutkan dengan tegas
dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.78
Sanksi administrasi bedasarkan UU perubahan atas UUJN menyebutkan
ada 5 (lima) jenis sanksi administrasi yang diberikan apabila seorang Notaris
melanggar ketentuan UU perubahan atas UUJN yaitu peringatan lisan, peringatan
tertulis,
pemberhentian
sementara,
pemberhentian
dengan
hormat
dan
pemberhentian dengan tidak hormat. Sanksi-sanksi itu berlaku secara berjenjang
mulai dari teguran lisan sampai dengan pemberhentian dengan tidak hormat,
Sanksi Notaris karena melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana
tersebut dalam pasal pasal dalam UU perubahan atas UUJN merupakan sanksi
internal yaitu sanksi terhadap Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya
tidak melaksanakan serangkaian tindakan tertib pelaksanaan tugas dan jabatan
kerja Notaris yang harus dilakukan untuk kepentingan Notaris sendiri. Sanksi
terhadap Notaris berupa pemberhentian sementara dari jabatannya merupakan
tahap berikutnya setelah penjatuhan sanksi teguran lisan dan teguran secara
tertulis.
Kedudukan sanksi berupa pemberhentian sementara dari jabatan Notaris
atau skorsing merupakan masa menunggu pelaksanaan sanksi paksaan
pemerintah. Sanksi pemberentian sementara Notaris dari jabatannya, dimaksudkan
agar Notaris tidak melaksanakan tugas dan jabatannya untuk sementara waktu,
78
Ibid.
73
sebelum sanksi berupa pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak
hormat dijatuhi kepada Notaris. Pemberian sanksi pemberhentian sementara ini
berakhir dalam bentuk pemulihan kepada Notaris untuk menjalankan tugas dan
jabatannya kembali atau ditindaklanjuti dengan sanksi pemberhentian dengan
hormat atau pemberhentian tidak hormat.
Sanksi pemberhentian sementara dari jabatan Notaris merupakan sanksi
paksaan nyata sedangkan sanksi yang berupa pemberhentian dengan hormat dan
pemberhentian tidak hormat termasuk ke dalam jenis sanksi pencabutan keputusan
yang menguntungkan. Dengan demikian ketentuan pasal-pasal UU perubahan atas
UUJN yang dapat dikategorikan sebagai sanksi administrasi yaitu pemberhentian
sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak hormat.
Prosedur penjatuhan sanksi administratif dilakukan secara langsung oleh
instansi yang diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut. Penjatuhan
sanksi administrasi adalah sebagai langkah preventif (pengawasan) dan langkah
represif (penerapan sanksi). Langkah preventif dilakukan melalui pemeriksaan
protocol Notaris secara berkala dan kemungkinan adanya pelanggaran dalam
pelaksanaan jabatan Notaris. Sedangkan langkah represif dilakukan melalui
penjatuhan sanksi oleh Majelis Pengawas Wilayah, berupa teguran lisan dan
teguran tertulis serta berhak mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat
pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (Enam) bulan dan
pemberhentian tidak hormat
Majelis Pengawas Pusat selanjutnya melakukan pemberhentian sementara
serta berhak mengusulkan kepada menteri berupa pemberhentian dengan tidak
74
hormat. Kemudian Menteri atas usulan Majelis Pengawas Pusat dapat
memberhentian Notaris dengan hormat dan pemberhentian tidak hormat.
Kesimpulan pertanggungjawaban secara administrasi terhadap seorang Notaris
adalah Notaris dapat dijatuhi sanksi administrasi berupa pemberhentian
sementara, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak
hormat terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum.
3.1.3 Tanggung Jawab terhadap Kode Etik Profesi Notaris
Seorang Notaris yang melakukan profesinya harus berperilaku profesional,
berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat kehormatan Notaris dan
berkewajiban menghormati rekan dan saling menjaga dan membela kehormatan
nama baik korps atau organisasi. Sebagai profesi Notaris, ia bertanggungjawab
terhadap profesi yang dilakukannya, dalam hal ini kode etik profesi.79
Profesi Notaris merupakan profesi yang berkaitan dengan individu,
organisasi profesi, masyarakat pada umumnya dan Negara. Tindakan Notaris akan
berkaitan dengan elemen-elemen tersebut oleh karenanya suatu tindakan yang
keliru dari Notaris dalam menjalankan pekerjaannya tidak hanya akan merugikan
Notaris itu sendiri saja namun dapat juga merugikan organisasi profesi,
masyarakat dan Negara. Hubungan profesi Notaris dengan masyarakat dan Negara
telah diatur dalam UUJN berikut peraturan perundang-undangan lainnya.
Sementara hubungan profesi Notaris dengan organisasi profesi Notaris diatur
melalui kode etik Notaris.
79
Ignatius Ridwan Widyadharma, 1994, Hukum Profesi tentang Profesi
Hukum, CV. Ananta, Semarang, hal. 133-134.
75
Menurut Abdulkadir Muhammad, khusus bagi profesi hukum sebagai
profesi terhormat, terdapat nilai-nilai profesi yang harus ditaati oleh mereka, yaitu
sebagai berikut :
a. Kejujuran
b. Otentik
c. Bertanggung jawab
d. Kemandirian moral
e. Keberanian moral. 80
Notaris disini sebagai pejabat umum diberikan kepercayaan yang harus berpegang
teguh tidak hanya pada peraturan perundang-undangan semata namun juga pada
kode etik profesinya, karena tanpa adanya kode etik, harkat dan martabat dari
profesinya akan hilang.
Hubungan antara kode etik dengan UUJN terdapat dalam Pasal 4 ayat (1)
dan ayat (2) mengenai sumpah jabatan yang tersirat sebagai berikut :
1) Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan
sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai
berikut :
"Saya bersumpah/berjanji :
Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia,
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris seria peraturan perundangundangan lainnya.
Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur,
saksama, mandiri, dan tidak berpihak.
Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan
kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan
tanggung jawab saya sebagai Notaris.
80
Munir Fuady II, Op.Cit, hal. 4.
76
Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh
dalam pelaksanaan jabatan saya.
Bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apa pun, tidak pernah dan
tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapa pun."
Notaris melalui sumpahnya berjanji untuk menjaga sikap, tingkah lakunya dan
akan menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan,
martabat dan tanggung jawabnya sebagai Notaris. UUJN dan kode etik Notaris
menghendaki agar Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat
umum, selain harus tunduk pada UUJN juga harus taat pada kode etik profesi
serta harus bertanggungjawab terhadap masyarakat yang dilayaninya, organisasi
profesi (Ikatan Notaris Indonesia atau INI) maupun terhadap Negara. Setiap
Notaris yang baru diangkat harus mengucapkan sumpah yang sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN. Kode etik profesi Notaris
merupakan pedoman sikap dan tingkah laku jabatan Notaris. Kode Etik Notaris
ditetapkan oleh Organisasi Notaris sesuai dengan bunyi Pasal 83 ayat (1) UUJN
yaitu Organisasi Notaris menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris.
Berdasarkan Pasal 1 angka 13 Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia No.M-01.H.T.03.01 Tahun 2003 tentang kenotarisan, organisasi
Notaris satu-satunya yang diakui oleh pemerintah adalah Ikatan Notaris Indonesia
(INI). Kemudian, Kode Etik Notaris yang berlaku saat ini adalah Kode Etik
Notaris berdasarkan Keputusan Kongres Luar Biasa INI tanggal 27 Januari 2005
di Bandung (Kode Etik Notaris). Dalam Pasal 1 angka 2 Kode Etik
Notaris disebutkan bahwa:
77
Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah
seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris
Indonesia yang selanjutnya akan disebut “Perkumpulan” berdasarkan
keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang
berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan
dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk
di dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris pengganti, dan Notaris
Pengganti Khusus.
Menurut Abdulkadir Muhammad, Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya harus seperti sebagai berikut :
a. Notaris dituntut melakukan perbuatan akta dengan baik dan benar. Artinya
akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihakpihak yang berkepentingan karena jabatannya.
b. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang
dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang
berkepentingan dalam arti yang sebenarnya. Notaris harus menjelaskan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan kebenaran isi dan prosedur
akta yang dibuatnya itu.
c. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta Notaris itu
mempunyai kekuatan bukti sempurna.81
Pelanggaran terkait dengan kode etik Notaris adalah perbuatan atau
tindakan yang dilakukan oleh anggota perkumpulan organisasi Ikatan Notaris
Indonesia maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris
yang melanggar ketentuan kode etik dan/atau disiplin organisasi. Terkait dengan
sanksi sebagai bentuk upaya penegakan kode etik Notaris atas pelanggaran kode
etik didefinisikan sebagai suatu hukuman yang dimaksudkan sebagai sarana,
upaya dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin Notaris.
81
Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, hal. 49.
78
Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) dalam upaya untuk menjaga kehormatan
dan keluhuran martabat jabatan Notaris, mempunyai kode etik Notaris yang
ditetapkan oleh kongres dan merupakan kaidah moral yang wajib ditaati oleh
setiap anggota I.N.I. Dewan Kehormatan merupakan organ perlengkapan I.N.I
yang terdiri dari anggota-anggota yang dipilih dari anggota I.N.I dan werda
Notaris, yang berdedikasi tinggi dan loyal terhadap perkumpulan, berkepribadian
baik, arif dan bijaksana, sehingga dapat menjadi panutan bagi anggota dan
diangkat oleh kongres untuk masa jabatan yang sama dengan masa jabatan
kepengurusan. Dewan Kehormatan berwenang melakukan pemeriksaan atas
pelanggaran terhadap kode etik dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya
sesuai dengan kewenangannya dan bertugas untuk melakukan pembinaan,
bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode
etik. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan
kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai masyarakat secara
Iangsung. Memberikan saran dan pendapat kepada majelis pengawas atas dugaan
pelanggaran kode etik dan jabatan Notaris.
Kewenangan pengawasan pelaksanaan dan penindakan kode etik Notaris
ada pada Dewan Kehormatan yang berjenjang mulai dari tingkat daerah, wilayah,
dan pusat. Bagi Notaris yang melakukan pelanggaran kode etik, Dewan
Kehormatan berkoordinasi dengan Majelis Pengawas berwenang melakukan
pemeriksaan atas pelanggaran tersebut dan dapat menjatuhkan sanksi kepada
pelanggarnya, sanksi yang dikenakan terhadap anggota Ikatan Notaris Indonesia
79
(INI) sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Kode etik Notaris
yaitu :
1) Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran
Kode Etik dapat berupa :
a. Teguran.
b. Peringatan.
c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan.
d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan.
e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.
2) Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota
yang melanggar Kode Etik disesuaikan dengan kwantitas dan kwalitas
pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut.
Namun sanksi pemecatan yang diberikan terhadap Notaris yang
melakukan pelanggaran dan perbuatan melawan hukum bukanlah berupa
pemecatan dari jabatan Notaris melainkan pemecatan dari keanggotaan Ikatan
Notaris Indonesia sehingga walaupun Notaris yang bersangkutan telah terbukti
melakukan pelanggaran dan perbuatan melawan hukum, Notaris tersebut masih
dapat membuat akta dan menjalankan kewenangan lainnya sebagai Notaris,
dengan demikian sanksi berupa pemecatan dari keanggotaan perkumpulan
tentunya tidak berdampak pada jabatan seorang Notaris yang telah melakukan
pelanggaran dan perbuatan melawan hukum.
Notaris masih tetap dapat membuat akta dan menjalankan jabatannya
sebagai Notaris, karena sanksi pemecatan tersebut bukan berarti secara serta merta
Notaris tersebut diberhentikan dari jabatannya, karena hanya menteri yang
berwenang untuk memecat Notaris dari jabatannya dengan mendengarkan laporan
dari Majelis Pengawas. Notaris masih saja dapat menjalankan jabatannya,
80
sehingga sanksi kode etik tersebut terkesan kurang mempunyai daya mengikat
bagi Notaris yang melakukan pelanggaran atau perbuatan melawan hukum dalam
pembuatan akta otentik. Sehingga seorang Notaris seharusnya dapat dituntut
untuk membayar ganti rugi dalam hal adanya kesalahan yang dilakukan Notaris
menyangkut perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai
kode etik. Antara kerugian yang diderita dengan kelalaian atau pelanggaran
Notaris terdapat hubungan sebab akibat (causalitas). Pelanggaran atau kelalaian
tersebut disebabkan oleh kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada
Notaris yang bersangkutan.
Menurut ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris dinyatakan, bahwa
pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia dengan membentuk Majelis Pengawas. Pengawasan tersebut meliputi
perilaku Notaris dan pelaksanaan Jabatan Notaris. Dengan demikian, Majelis
Pengawas, menggunakan Kode Etik yang telah dibuat oleh Ikatan Notaris
Indonesia (INI), sebagai bahan pengawasan terhadap Notaris. Majelis Pengawas
akan mengambil tindakan apabila ada pengaduan dari masyarakat mengenai
perilaku Notaris yang menyimpang. Kesimpulan pertanggungjawaban Notaris
terhadap Kode etik Notaris adalah seorang Notaris dijatuhi sanksi kode etik
berupa teguran, peringatan, schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan
perkumpulan, onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan dan
pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan.
81
3.1.3. Tanggung Jawab secara Pidana
Menurut Hermin Hediati Koeswadji suatu perbuatan melawan hukum
dalam konteks pidana atau pebuatan yang dilarang oleh undang-undang dan
diancam dengan pidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar manusia yang
dapat berupa:
1. Suatu tindakan atau tindak tanduk yang dilarang dan diancam dengan
sanksi pidana, seperti memalsukan surat, sumpah palsu, pencurian.
2. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam sanksi pidana oleh
undang-undang, seperti pembunuhan, penganiayaan.
3. Keadaan atau hal-hal yang khusus dilarang dan diancam sanksi pidana
oleh undang-undang, seperti menghasut, melanggar kesusilaan umum.
b. Unsur subjektif, yaitu unsur-unsur yang terdapat di dalam diri manusia.
c. Unsur subjektif dapat berupa :
1 Dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid).
2 Kesalahan (schuld).82
Notaris dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam konteks
Hukum Pidana sekaligus juga melanggar kode etik dan UUJN, sehingga syarat
pemidanaan menjadi lebih kuat. Apabila hal tersebut tidak disertai dengan
pelanggaran kode etik atau bahkan dibenarkan oleh UUJN, maka mungkin hal ini
dapat menghapuskan sifat melawan hukum suatu perbuatan dengan suatu alasan
pembenar. Adapun pemidanaan terhadap Notaris dapat saja dilakukan dengan
batasan sebagai berikut :
a. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja,
penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang
dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk
dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana.
b. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau
oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan
UUJN.
82
Liliana Tedjosapatro, 1991, Mal Praktek Notaris dan Hukum Pidana,
CV Agung, Semarang, hal. 51.
82
c. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang
untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini MPN.83
Apabila seorang Notaris melakukan penyimpangan akan sebuah akta yang
dibuatnya sehingga menimbulkan suatu perkara pidana maka Notaris harus
mempertanggung jawabkan secara pidana apa yang telah dilakukannya tersebut.
Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (verwijbaarheid)
yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana
berdasarkan Hukum Pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada pelaku
yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenakan pidana karena perbuatannya
itu.84 Hal tersebut didasarkan pada asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan
atau “actus non facit reum nisi mens sit rea”. Orang tidak mungkin dimintakan
pertanggungjawaban dan dijatuhi pidana jika tidak melakukan kesalahan. Akan
tetapi seseorang yang melakukan perbuatan pidana, belum tentu dapat
dipidananya. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidanya apabila dia
mempunyai kesalahan.85
Terjadinya pemidanaan terhadap Notaris berdasarkan akta yang dibuat
oleh atau di hadapan Notaris sebagai bagian dari pelaksanaan tugas jabatan atau
kewenangan Notaris, tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan
tata cara pembuatan akta dan hanya berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) saja, menunjukkan telah terjadinya kesalahpahaman atau
83
Habib Adjie I, Op. Cit, hal. 124‐125.
Dwidja Priyatno, 2004, Kebijakan Legislasi tentang Sistem
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV. Utomo, Bandung,
hal. 30.
85
Ibid, hal. 56.
84
83
penafsiran terhadap kedudukan Notaris sedangkan akta otentik yang dibuat oleh
Notaris sebagai alat bukti dalam Hukum Perdata. Sanksi pidana merupakan
ultimum remedium yaitu obat terakhir, apabila sanksi atau upaya-upaya pada
cabang hukum lainnya tidak mempan atau dianggap tidak mempan.86
Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang
batasan-batasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya di samping memenuhi
rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UUJN dan kode etik jabatan Notaris
juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP. Apabila tindakan
pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris
memenuhi rumusan suatu tindak pidana, tetapi jika ternyata berdasarkan UUJN
dan menurut penilaian dari Majelis Pengawas Daerah bukan suatu pelanggaran.
Maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena
ukuran untuk menilai sebuah akta harus didasarkan pada UUJN dan kode etik
jabatan Notaris.
Tanggung jawab Notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya tidak
diatur dalam UUJN namun tanggung jawab Notaris secara pidana dikenakan
apabila Notaris melakukan perbuatan pidana. UUJN hanya mengatur sanksi atas
pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap UUJN sanksi tersebut dapat
berupa akta yang dibuat oleh Notaris tidak memiliki kekuatan otentik atau hanya
mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Terhadap Notarisnya sendiri
86
126.
Habib Adjie, Jurnal Renvoi, Nomor 10-22 Tanggal 3 Maret 2005, hal.
84
dapat diberikan sanksi yang berupa teguran hingga pemberhentian dengan tidak
hormat.
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum.
Larangan tersebut disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
yang melanggar larangan tersebut. Dalam kehidupan manusia, ada perbuatanperbuatan yang tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan Hak Asasi
Manusia (HAM) yaitu seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.87
Ada juga perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat
umum atau kepentingan sosial, yaitu kepentingan yang lazim terjadi dalam
perspektif pergaulan hidup antar manusia sebagai insan yang merdeka dan
dilindungi oleh norma-norma moral, agama, sosial serta hukum. Bertentangan
dengan kepentingan pemerintah dan Negara, yaitu kepentingan yang muncul dan
berkembang dalam rangka penyelenggaraan kehidupan pemerintahan serta
kehidupan bernegara demi tegak dan berwibawanya Negara Indonesia.88
Sanksi pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, dimana sanksi pidana dibagi
menjadi pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas pidana
mati, pidana penjara, pidana kurungan dan denda, sedangkan pidana tambahan
87
Ilhami Bisri, 2005, Sistem Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 40.
88
Ibid.
85
berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan
pengumuman putusan hakim. Keberadaan sanksi pidana tambahan disini berupa
adanya pencabutan hak, dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 38 KUHP yang
menyatakan mengenai adanya suatu pencabutan hak, disini Pasal 38 KUHP lebih
menenkankan adanya sanksi tambahan tidak dapat dijadikan dasar sebagai adanya
komulasi atau penggabungan penerapan sanksi dalam Hukum Pidana. Karena
dalam prakteknya dan dalam yurisprudensi-yurisprudensi yang menjatuhkan
pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum tidak
ditemukan sanksi tambahan berupa pencabutan hak seorang Notaris sebagai
seorang pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik.
Sanksi pidana dianggap sebagai sanksi paling kuat bagi perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris, karena seperti disebutkan di atas
sanksi pidana merupakan ultimum remedium yaitu obat terakhir, apabila sanksi
perdata, administrasi atau sanksi kode etik Notaris tidak mempan atau dianggap
tidak mempan dalam menghukum atau membuat Notaris menjadi jera untuk tidak
melakukan perbuatan melawan hukum lagi. Prosedur penerapan sanksi pidana
yaitu berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang amar putusannya menghukum Notaris untuk menjalani pidana tertentu. Jadi
pertanggungjawaban secara pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan
melawan hukum adalah Notaris mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan
penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan
hukum. Notaris dapat dijatuhi sanksi pidana berupa pidana kurungan atau pidana
penjara atau pidana lainya yang diatur dalam KUHP. Adapun yurisprudensi yang
86
menunjang dalam pertanggungjawaban seorang Notaris secara pidana yaitu
putusan Mahkamah Agung nomor 1099 K/PID/2010. Dalam hal ini seorang
Notaris bernama San Smith, SH didakwa dalam dakwaan primair yaitu Pasal 266
ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP yaitu telah melakukan, turut
serta melakukan, menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta
otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu,
dengan maksud untuk itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran.
Dakwaan Subsidair Pasal 263 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke1
KUHP yaitu membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan
suatu hak yang dilakukan terhadap akta otentik, turut serta melakukan, menyuruh
memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik mengenai suatu hal
yang kebenarannya harus dinyatakan oleha akta itu, dengan maksud untuk itu
seolah-olah keterangannya sesuai kebenaran. Terhadap dakwaan tersebut
Pengadilan Negeri Medan dalam putusannya Nomor 3036/PID.B/2009/PN.Mdn,
tertanggal 4 Januari 2010 yang amar lengkapnya menyatakan bahwa terdakwa
Notaris tersebut telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu
akta otentik dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara
selam 1 (satu) tahun.
Pengadilan Tinggi Medan menerima permintaan banding dari Jaksa dan
Penasihat hukum terdakwa dan tetap menyatakan dalam putusan nomor
82/PID/2010/PT-MDN tanggal 25 Februari 2010 bahwa Notaris tersebut telah
terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta
87
menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik dan
menjatuhkan pidana penajara selama 2 (dua) tahun.
Mahkamah Agung dalam Putusan MA nomor 1099 K/PID/2010 menolak
permohonan Kasasi dari pemohon kasasi yaitu Notaris tersebut. Menimbang
bahwa putusan judex Facti tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undangundang,
judex
facti
tidak
salah
menerapkan
hukum
karena
telah
mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis.
Putusan tersebut di atas seorang Notaris dibebankan petanggungjawaban
secara pidana yaitu dengan dijatuhkan pidana penjara atas perbuatan melawan
hukum yang dilakukannya, disini Notaris hanya dibebankan pertanggungjawaban
pidana. Dalam amar putusannya tidak disebutkan pertanggungjawab secara
perdata berupa penggantian kerugian yang diderita oleh para pihak maupun
pertanggungjawaban administrasi. Disini sanksi pidana merupakan sanksi yang
paling terkuat dan bisa memberikan efek jera terhadap Notaris yang melakukan
perbuatan melawan Hukum dalam pembuatan akta otentik. Namun seharusnya
pemberian ganti kerugian juga sangat perlu diberikan kepada para pihak, karena
kerugian yang diderita para pihak tidak dapat dibilang sedikit. Dalam hal ini
adanya
komulasi
pertanggungjawaban
atau
penggabungan
Notaris
perlu
sanksi
dilakukan
atau
sebagai
wujud
diterapkan
dari
sehingga
pertanggungjawaban seorang Notaris benar-benar memberikan rasa adil dan
memberikan perlindungan hukum terhadap para pihak yang dirugikan atas
perbuatan melawan hukum seorang Notaris dalam pembuatan akta otentik.
88
3.2. Perbuatan Melawan Hukum Seorang Notaris
Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang Notaris dapat
mencakup ranah bidang perdata, administrasi, kode etik profesi Notaris dan ranah
bidang pidana. Adapun perbuatan melawan hukum dalam ranah bidang perdata
diatur dalam buku III Pasal 1352 KUHPerdata. Perbuatan melawan hukum berasal
dari undang-undang, bukan karena perjanjian yang berdasarkan persetujuan dan
perbuatan melawan hukum murni merupakan akibat pelanggaran perbuatan
manusia yang sudah ditentukan sendiri oleh undang-undang. Sedangkan ranah
bidang pidana yaitu seorang Notaris dapat dikenakan tindakan pidana atas
perbuatan yang melanggar ketentuan dari kaedah peraturan larangan yang
diterbitkan oleh negara. Hukum Pidana adalah suatu kumpulan uturan yang
berkaitan langsung dengan ketertiban umum. Setiap perbuatan pidana selalu
dirumuskan secara seksama dalam undang-undang sehingga sifatnya terbatas
Ranah bidang administrasi dan kode etik yaitu diberikan batasan seorang Notaris
diketegorikan melanggar ketentuan UUJN, UU perubahan atas UUJN dan kode
etik Notaris secara formil atau perdata (law of tort) atas apa yang mereka lakukan
terkait dengan tindakan-tindakan Notaris. Seperti penambahan, pengurangan,
pencoretan, pengubahan akta tidak sesuai prosedur dengan tidak dilakukan tidak
dihadapan dua saksi, Notaris/saksi yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum,
Notaris mempunyai hubungan darah dengan salah satu atau para penghadap.
Notaris melakukan perbuatan melawan hukum juga dapat didasarkan pada
Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
89
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu. Kesalahan Notaris dalam
membuat akta sehingga menyebabkan pihak lain mengalami kerugian dapat
termasuk perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Adapun syarat perbuatan
dikatakan perbuatan melawan hukum yaitu adanya perbuatan, yang melawan
hukum, harus ada kesalahan dan harus ada hubungan sebab akibat antara
perbuatan dan kerugian.
Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan
oleh subjek hukum yang melanggar ketentuan atau peraturan yang telah
ditetapkan. Notaris sebagai subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban
sekaligus sebagai anggota dari perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia memiliki
kewajiban yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari dalam
menjalankan tugas jabatannya. Kewajiban dan larangan Notaris diatur dalam UU
perubahan atas UUJN (Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan Pasal 17) serta
Kode Etik Notaris (Pasal 3 dan Pasal 4) yaitu Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat
(3) menyatakan :
(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib :
a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris.
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta
Akta.
d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta.
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undangundang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya.
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan
segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.
90
g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta
tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi
lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan
tahun pembuatannya pada sampul setiap buku.
h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga.
i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan
waktu pembuatan akta setiap bulan.
j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau
daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan
berikutnya.
k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada
setiap akhir bulan.
l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama,
jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan.
m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk
pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada
saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
n. Menerima magang calon Notaris.
(2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta in
originali.
(3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
a.Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun.
b.Akta penawaran pembayaran tunai.
c.Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat
berharga.
d.Akta kuasa.
e.Akta keterangan kepemilikan.
f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Notaris sebagai anggota organisasi profesi Notaris memiliki kewajiban dan
larangan yang diatur dalam suatu kode etik jabatan Notaris, serta kode etik
tersebut memiliki sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap
91
ketentuan dalam kode etik jabatan Notaris tersebut. Kewajiban Notaris diatur
dalam Pasal 3 Kode Etik Notaris, yaitu :
Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris
wajib :
1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik.
2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan
Notaris.
3. Menjaga dan membela kehormatan perkumpulan.
4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggungjawab,
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan
Notaris.
5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada
ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.
6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara.
7. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotarisan lainnya untuk
masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium.
8. Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut
merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam
melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.
9. Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan kantornya
dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200
cm x 80 cm , yang memuat:
a. Nama lengkap dan gelar yang sah.
b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir
sebagai Notaris.
c. Tempat kedudukan.
d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama berwarna
putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di atas papan nama
harus jelas dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut
tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud.
10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang
diselenggarakan oleh perkumpulan.
11. Menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan
perkumpulan.
12. Membayar uang iuran perkumpulan secara tertib.
13. Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang
meninggal dunia.
14. Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium
ditetapkan perkumpulan.
15. Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan
penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali alasan-alasan yang
sah.
92
16. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam
melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling
memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling
menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi
dan tali silaturahim.
17. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak
membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya.
18. Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai
kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak
terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam:
a. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris.
c. Isi Sumpah Jabatan Notaris.
d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris
Indonesia.
Selain kewajiban Notaris yang diatur dalam Kode Etik Notaris, ada hal
lain mengenai beberapa larangan bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya
yang disebutkan dalam Pasal 4, yaitu:
Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan. Notaris
dilarang :
1. Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor
perwakilan.
2. Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/ Kantor
Notaris" di luar lingkungan kantor.
3. Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara
bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya,
menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam
bentuk :
a. Iklan.
b. Ucapan selamat.
c. Ucapan belasungkawa.
d. Ucapan terima kasih.
e. Kegiatan pemasaran.
f. Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun
olahraga.
4. Bekerja sama dengan biro jasa/orang/badan hukum yang pada hakekatnya
bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien.
5. Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah
dipersiapkan oleh pihak lain.
6. Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditanda tangani.
93
7. Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah
dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada
klien yang bersangkutan maupun melalui perantara orang lain.
8. Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumendokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis
dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya.
9. Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang
menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama
rekan Notaris.
10. Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang
lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan perkumpulan.
11. Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan
kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang
bersangkutan.
12. Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang
dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau
menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata
didalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau
membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan
kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya
dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah
timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan
ataupun rekan sejawat tersebut.
13. Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat ekslusif dengan
tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi
menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi.
14. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan
peraturan perundangundangan yang berlaku.
15. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai
pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas
pada pelanggaran-pelanggaran terhadap :
a. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang JabatanNotaris.
b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris.
c. Isi sumpah jabatan Notaris.
d. Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah
Tangga dan/atau Keputusan-Keputusan lain yang telah ditetapkan oleh
organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh anggota.
Apabila Notaris melanggar ketentuan dalam pasal-pasal tersebut diatas
Notaris telah dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dalam ranah
Hukum Administrasi dan melanggar ketentuan kode etik jabatan Notaris yang
94
berlaku. Notaris dalam menjalankan jabatannya dapat juga terjerat dalam kasus
atau perkara yang diakibatkan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan
seorang Notaris dalam proses pembuatan akta otentik, dalam ranah Hukum Pidana
diantaranya dapat berupa pemalsuan dokumen atau surat yang diatur dalam
ketentuan Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP. Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP
menyatakan bahwa :
1 Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah
isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara
paling lama enam tahun.
2 Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai
surat palsu atau yang dipalsukan, seolah-olah sejati, jika pemakaian surat
itu dapat menimbulkan kerugian.
Sedangkan dalam penjelasan dari Pasal 264 ayat (1) dan (2) KUHP menyatakan
bahwa :
1 Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan
tahun, jika dilakukan terhadap:
1) Akta-akta otentik.
2) Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya
ataupun dari suatu lembaga umum.
3) Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu
perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai.
4) Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang
diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai
pengganti surat-surat itu.
5) Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.
2 Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai
surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang
95
dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu
dapat menimbulkan kerugian.
Notaris juga dapat dikatakan melakukan penggelapan apabila melanggar
ketentuan Pasal 372 dan Pasal 374 KUHP. Pasal 372 yang menyatakan bahwa :
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu
yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan,
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah.
Sedangkan penjelasan dari Pasal 374 KUHP yang menyatakan bahwa
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang
disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena
mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Selain itu perbuatan Notaris dapat dikategorikan dalam ranah pidana apabila
seorang Notaris memberikan keterangan palsu di bawah sumpah yang diatur
dalam ketentuan Pasal 242 KUHP yang tersirat sebagai berikut :
1 Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya
memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum
kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan
palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi
maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
2 Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan
merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
3 Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan
menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah.
4 Pidana pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 No. 1 – 4 dapat dijatuhkan.
Adapun contoh pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh Notaris misalnya
Notaris memalsukan surat setoran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
96
(BPHTB) dan surat setoran pajak (SSP). Sedangkan contoh penggelapan yang
dilakukan oleh Notaris yaitu penggelapan BPHTB yang dibayarkan klien.
3.3. Tanggung Jawab Notaris Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum
Notaris yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam
menjalankan profesinya wajib mempertanggungjawabkan perbuatan yang
dilakukannya tersebut. Besarnya tanggung jawab Notaris dalam menjalankan
profesinya mengharuskan Notaris untuk selalu cermat dan hati-hati dalam setiap
tindakannya. Namun demikian sebagai manusia biasa, tentunya seorang Notaris
dalam menjalankan tugas dan jabatannya terkadang tidak luput dari kesalahan
baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian yang kemudian dapat
merugikan pihak lain. Dalam penjatuhan sanksi terhadap Notaris, ada beberapa
syarat yang harus terpenuhi yaitu perbuatan Notaris harus memenuhi rumusan
perbuatan itu dilarang oleh undang-undang, adanya kerugian yang ditimbulkan
dari perbuatan Notaris tersebut serta perbuatan tersebut harus bersifat melawan
hukum, baik formil maupun materiil. Secara formal disini sudah dipenuhi karena
sudah memenuhi rumusan dalam undang-undang, tetapi secara materiil harus diuji
kembali dengan kode etik, UUJN dan UU perubahan atas UUJN.
Tugas seorang Notaris adalah membuat suatu akta otentik yang diinginkan
oleh para pihak untuk suatu perbuatan hukum tertentu. Tanpa adanya suatu
permintaan dari para pihak maka Notaris tidak akan membuatkan suatu akta
apapun. Notaris dalam membuat suatu akta harus berdasarkan keterangan atau
pernyataan dari para pihak yang hadir dihadapan Notaris, kemudian Notaris
menuangkan keterangan-keterangan/penyataan-pernyataan tersebut kedalam suatu
97
akta, dimana akta tersebut telah memenuhi ketentuan secara ilmiah, formil dan
materiil dalam pembuatan akta otentik. Serta Notaris dalam membuat akta
tersebut harus berpijak pada peraturan hukum atau tata cara prosedur pembuatan
akta. Selain itu Notaris juga berperan dalam hal memberikan nasehat hukum yang
sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh para pihak yang membutuhkan
jasa seorang Notaris. Seandainya nasehat hukum yang diberikan oleh Notaris
kepada para pihak kemudian dituangkan ke dalam bentuk akta maka hal tersebut
tetap sebagai keinginan atau keterangan para pihak yang bersangkutan, tidak
sebagai keterangan atau pernyataan Notaris.
Seorang Notaris dapat secara sadar, sengaja untuk secara bersama-sama
dengan para pihak yang bersangkutan (penghadap) melakukan atau membantu
atau menyuruh penghadap untuk melakukan suatu tindakan hukum yang
diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar hukum. Jika hal ini dilakukan,
selain merugikan Notaris, para pihak, dan pada akhirnya orang yang menjalankan
tugas jabatan sebagai Notaris, diberi sambutan sebagai orang yang senantiasa
melanggar hukum.89
Aspek yang dijadikan batasan dalam hal pelanggaran oleh Notaris harus
diukur berdasarkan UUJN, artinya apakah perbuatan yang dilakukan oleh Notaris
melanggar pasal-pasal tertentu dalam UUJN, karena ada kemungkinan menurut
UUJN bahwa akta yang bersangkutan telah sesuai dengan UUJN, tetapi menurut
pihak penyidik perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana. Dengan
demikian sebelum melakukan penyidikan lebih lanjut, lebih baik meminta
89
Habib Adjie I, Op.Cit. hal. 124.
98
pendapat mereka yang mengetahui dengan pasti mengenai hal tersebut, yaitu dari
organisasi jabatan Notaris. Ancaman sanksi yang demikian itu dimaksudkan agar
dalam menjalankan tugas dan jabatannya, seorang Notaris dituntut untuk dapat
bertanggungjawab terhadap diri, klien, dan juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun tanggung jawab hukum seorang Notaris dalam menjalankan
profesinya menurut Lanny Kusumawati digolongkan dalam 2 (dua) bentuk yaitu :
a. Tanggung jawab Hukum Perdata yaitu apabila Notaris melakukan
kesalahan karena ingkar janji sebagaimana yang telah ditentukan dalam
ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata atau perbuatan melanggar hukum
sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata.
Terhadap kesalahan tersebut telah menimbulkan kerugian pihak klien atau
pihak lain.
b. Tanggung jawab Hukum Pidana bilamana Notaris telah melakukan
perbuatan hukum yang dilarang oleh undang-undang atau melakukan
kesalahan/perbuatan melawan hukum baik karena sengaja atau lalai yang
menimbulkan kerugian pihak lain.90
Selain adanya tanggung jawab Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Notaris
yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam menjalankan tugas dan
jabatannya, juga dikenakan tanggung jawab administrasi dan tanggungjawab
terhadap kode etik jabatan Notaris. Tanggung jawab administrasi, perdata dan
kode etik Notaris dengan dikenai sanksi yang mengarah pada perbuatan yang
dilakukan oleh yang bersangkutan, sedangkan pertanggungjawaban pidana yang
dikenai sanksi pidana menyasar pada pelaku (orang) yang melakukan tindakan
hukum tersebut. Sanksi administratif dan sanksi perdata bersifat reparatoir atau
korektif artinya untuk memperbaiki suatu keadaan agar tidak dilakukan lagi oleh
yang bersangkutan ataupun oleh Notaris lain. Regresif berarti segala sesuatunya
90
Lanny Kusumawati, 2006, Tanggung jawab Jabatan Notaris, Refika
Aditama, Bandung, hal 49.
99
dikembalikan kepada suatu keadaan ketika sebelum terjadinya pelanggaran.
Dalam aturan hukum tertentu, disamping dijatuhi sanksi adminstratif, juga dapat
dijatuhi sanksi pidana (secara komulatif) yang bersifat comdemnatoir (punitif)
atau menghukum, dalam kaitan ini UUJN tidak mengatur sanksi pidana untuk
Notaris yang melanggar UUJN. Jika terjadi hal seperti itu maka terhadap Notaris
tunduk kepada tindak pidana umum.91
UUJN dan UU perubahan atas UUJN hanya mengatur bahwa ketika
Notaris
dalam
menjalankan
tugas
jabatannya
terbukti
melakukan
pelanggaran/perbuatan melawan hukum, maka Notaris dapat dikenai atau dijatuhi
sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik jabatan Notaris. Dalam
praktek ditemukan bahwa tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan
Notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi atau sanksi perdata atau
kode etik jabatan Notaris, tetapi kemudian dikualifikasian sebagai suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh Notaris. tetapi dalam penjatuhan sanksi hanya dijatuhi
berupa sanksi pidana.
Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya tunduk dan patuh pada
UUJN. Oleh karena itu apabila Notaris melakukan pelanggaran dalam
melaksanakan tugas dan jabatannya, Notaris diancam sanksi sebagaimana tertuang
dalam UUJN. Sanksi terhadap Notaris dikategorikan menjadi 2 (dua), yaitu sanksi
perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga merupakan akibat yang
akan diterima Notaris atas tuntutan para penghadap jika akta yang bersangkutan
hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta
91
Ibid, hal. 123‐124.
100
menjadi batal demi hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 UU
perubahan atas UUJN. Selain sanksi perdata, juga ditentukan sanksi adminstrasi
yaitu berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara,
pemberhentian dengan hormat, sampai pemberhentian dengan tidak hormat,
sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal dalam UU perubahan atas UUJN.92
Selain itu, Notaris juga masih harus menghadapi ancaman sanksi berupa sanksi
etika jika Notaris melakukan pelanggaran terhadap kode etik jabatan Notaris, dan
bahkan dapat dijatuhi sanksi pidana. Namun demikian, sanksi pidana terhadap
Notaris harus dilihat dalam rangka menjalankan tugas jabatannya, dan tunduk
pada ketentuan pidana umum yaitu KUHP, UUJN dan UU perubahan atas UUJN
tidak mengatur mengenai tindak pidana khusus untuk Notaris.
Menurut Hermin Hediati Koeswadji, suatu delik atau pebuatan yang
dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana mempunyai unsurunsur sebagai berikut mempunyai unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat
di luar manusia yang dapat berupa suatu tindakan atau tindak tanduk yang
dilarang dan diancam dengan sanksi pidana, seperti memalsukan surat, sumpah
palsu, pencurian. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam sanksi pidana
oleh undang-undang, seperti pembunuhan, penganiayaan. Keadaan atau hal-hal
yang khusus dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-undang, seperti
menghasut, melanggar kesusilaan umum. Kedua mempunyai unsur subjektif, yaitu
unsur-unsur yang terdapat di dalam diri manusia. Unsur subjektif dapat
92
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 91‐92.
101
berupadapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid) dan kesalahan
(schuld).93
Batasan-batasan pemidanaan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh
Notaris adalah berupa ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal
akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa
akta yang dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat)
untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana. Ada tindakan hukum
dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh Notaris yang jika diukur
berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN. Tindakan Notaris tersebut tidak
sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris,
dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.94
Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang
batasan-batasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya di samping memenuhi
rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UUJN dan kode etik jabatan Notaris
juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP. Apabila tindakan
pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris memenuhi rumusan suatu tindak pidana,
tetapi jika ternyata berdasarkan UUJN dan menurut penilaian dari Majelis
Pengawas Daerah bukan suatu pelanggaran. Maka Notaris yang bersangkutan
tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk menilai sebuah akta
harus didasarkan pada UUJN dan kode etik jabatan Notaris.
93
Liliana Tedjosapatro, 1991, Mal Praktek Notaris dan Hukum Pidana,
CV Agung, Semarang, hal. 51.
94
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 124‐125.
102
Bentuk pertanggungjawaban seorang Notaris yang melakukan perbuatan
melawan
hukum
dalam
pembuatan
akta
otentik
harus
dapat
dipertanggungjawabkan dengan penuh tanggung jawab serta memuat rasa
keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan akibat perbuatan Notaris serta keadilan
bagi Notaris itu sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep tujuan hukum menurut
Gustav Radbruch yang mengarahkan pertanggungjwaban yang diberikan terhadap
Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta
otentik sesuai dengan tujuan hukum yaitu yang lebih diutamakan memberikan
keadilan bagi pihak yang dirugikan selajutnya memberikan manfaat dan
selanjutnya menjamin adanya kepastian hukum.
Sedangkan dalam teori keadilan menurut Hans Kelsen yang menyatakan
bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat
mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat
menemukan kebahagian didalamnya. Dari teori tersebut dapat dijelaskan bahwa
tujuan dari pertanggungjawaban seorang Notaris yaitu untuk memberikan rasa adil
bagi para pihak maupun bagi Notaris sebagai akibat dari perbuatan melawan
hukum seorang Notaris dalam pembuatan akta otentik.
Demikian pula dengan bentuk pertanggungjawaban Notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik telah sesuai
dengan teori pertanggujawaban yang dikemukan oleh Kranenburg dan Vegtig
dalam teori fautes personalles yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak
ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan
kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku
103
pribadi. Sehingga disini Notaris berdasarkan teori pertanggungjawaban tersebut
Notaris bertanggungjawab secara pribadi atas perbuatan melawan hukum yang
dilakukannya dalam pembuatan akta otentik.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa bentuk pertangggungjawaban
terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan
akta otentik adalah seorang Notaris dapat dikenakan pertanggungjawaban secara
perdata berupa sanksi untuk melakukan penggantian biaya atau ganti rugi kepada
pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
Notaris. Pertanggungjawaban secara administrasi berupa pemberian sanksi
teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan
hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat sebagai seorang Notaris.
Pertanggungjawaban terhadap kode etik profesi Notaris berupa pemberian sanksi
teguran, peringatan, pemecatan sementara (schorsing), pemecatan (Onzetting) dan
pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. Sedangkan
pertanggungjawaban secara pidana seorang dapat berupa pemberian sanksi pidana
penjara atau kurungan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Halhal tersebut berdasarkan temuan-temuan dalam yurisprudensi mengenai
pertanggungjawaban terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan
hukum.
104
BAB IV
AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA OTENTIK YANG
DIBUAT OLEH SEORANG NOTARIS YANG MELAKUKAN
PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN
AKTA OTENTIK
4.1 Akta Otentik dan Akta Di Bawah Tangan
Pengertian akta menurut Sudikno Mertokusumo adalah surat sebagai alat
bukti yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu
hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.95
Menurut R. Subekti, akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja
dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.96
Menurut A. Kohar, akta adalah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat
bukti.97 Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya “Rechts geleerd
Handwoorddenboek”, kata akta itu berasal dari bahasa Latin “acta” yang berarti
geschrift atau surat.98 Menurut ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa : “Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan
otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan“. Berdasarkan bunyi pasal
tersebut dapat disimpulkan bahwa akta terdiri atas 2 macam akta yaitu akta otentik
dan akta di bawah tangan.
95
Sudikno mertokusumo, 1981, Hukum Acara Perdata Indonesia, Lyberti,
Yogyakarta, hal 149.
96
R.Subekti, 1991, Hukum Pembuktian, PT. Pradya Paramita, Jakarta,
hal. 89.
97
A.Kohar, 1993, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, hal 3.
98
S. J. Fockema Andreae, 1951, Rechtsgeleerd Handwoorddenboek,
diterjemahkan oleh Walter Siregar, Bij J. B. Wolter uitgeversmaat schappij, N.V.
Gronogen, Jakarta, hal. 9.
105
Akta Otentik diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata adalah akta yang
dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh pemerintah menurut
peraturan perundang-undangan. Akta Otentik merupakan alat bukti yang
sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya atau atau orang-orang yang
mendapatkan hak daripadanya. Dengan kata lain, isi akta otentik dianggap benar,
selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Menurut R. Subekti bawa akta
otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang ditulis
dalam akta tersebut harus dapat dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap benar,
selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan.99 Apabila ada akta yang batal
sebagai akta otentik, maka akta tersebut masih berfungsi sebagai akta di bawah
tangan, apabila akta tersebut akta tersebut ditandatangani oleh para pihak,
sepanjang berubahnya status dari akta otentik menjadi akta dibawah tangan
tersebut tidak mendatangkan kerugian, maka Notaris tersebut tidak bisa dituntut,
sekalipun Notaris tersebut akan kehilangan nama baiknya.
Akta otentik yang dibuat oleh Notaris terbagi menjadi 2 bentuk yaitu
pertama akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau
akta pejabat (ambtelijke akten). Akta pejabat/akta relaas merupakan akta yang
dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dimana pejabat menerangkan
apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya, jadi inisiatif tidak berasal dari
orang/para pihak yang namanya diterangkan didalam akta tersebut. Ciri khas
dalam akta ini adalah tidak adanya komparisi dan Notaris bertanggung jawab
99
R. Subekti, Op.Cit, hal. 48.
106
penuh atas pembuatan akta.100 Dalam pembuatan akta pejabat/akta relaas tidak
menjadi masalah apakah orang-orang yang hadir tersebut menolak untuk
menandatangani akta itu, misalnya dalam pembuatan Akta Berita Acara Rapat
Para Pemegang Saham dalam Perseroan Terbatas. Apabila orang-orang yang hadir
dalam rapat telah meninggalkan rapat sebelum akta itu ditandatangani, maka
Notaris cukup menerangkan di dalam akta bahwa para pemegang saham atau
peserta rapat yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta
tersebut dan akta tersebut tetap merupakan suatu akta otentik.
Kedua, akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau yang
dinamakan akta partij (partij akten). Partij akta adalah akta yang dibuat dihadapan
para pejabat yang diberi wewenang untuk itu dan akta itu dibuat atas permintaan
dari pihak-pihak yang berkepentingan. Ciri khas pada akta ini adalah adanya
komparisi yang menjelaskan kewenangan para pihak yang menghadap Notaris
untuk membuat akta.101
Perbedaan antara kedua jenis akta tersebut adalah dalam akta relaas
penandatanganan akta bukanlah suatu keharusan, akta tersebut masih dikatakan
sah apabila salah satu pihak atau lebih tidak menandatangani akta tersebut selama
Notaris menyebutkan alasan pihak tersebut tidak menandatangani akta. Sedangkan
dalam akta partij penandatangan oleh para pihak merupakan suatu keharusan yang
menyatakan bahwa memang benar yang bersangkutan memberi keterangan
dihadapan Notaris. Apabila salah satu pihak/penghadap tidak menandatangani
100
101
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal. 109.
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Loc.Cit.
107
akta tersebut maka hal ini berarti pihak tersebut tidak menyetujui isi perjanjian
tersebut, kecuali tidak menandatangani akta tersebut dikarenakan oleh
keterbatasan fisik, misalnya dikarenakan tidak bisa baca tulis, cacat, maupun sakit
maka pihak tersebut akan membubuhkan cap jempolnya dan Notaris menerangkan
alasan pembubuhan cap jempol tersebut dalam akhir akta.
Selain itu perbedaan kedua akta tersebut terletak pada pemberian
pembuktian sebaliknya (tegenbewijs) terhadap isi akta. Kebenaran isi akta pejabat
(ambtelijk akte) tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta itu
adalah palsu, sedangkan pada akta partij dapat digugat isinya, tanpa menuduh
bahwa akta tersebut akta palsu akan tetapi dengan jalan menyatakan bahwa
keterangan dari para pihak yang bersangkutan yang diuraikan dalam akta itu
adalah tidak benar, artinya terhadap keterangan yang diberikan itu diperkenalkan
pembuktian sebaliknya.102
Menurut Irawan Soerodjo, mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) unsur
essensialia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu di dalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan di hadapan pejabat
umum dan akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.103 Pendapat di atas sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta otentik ialah suatu akta yang
di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan
102
GHS Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 53.
Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak atas Tanah di Indonesia,
Arkola, Surabaya, hal. 56.
103
108
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta
dibuatnya.
Akta di bawah tangan adalah akta yang cara pembuatan atau terjadinya
tidak dilakukan oleh dan atau di hadapan pejabat pegawai umum, tetapi hanya
oleh pihak-pihak yang berkepentingan saja. Akta di bawah tangan contohnya
adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli, dan lainlain. Menurut Pasal 1857 KUHPerdata, jika akta di bawah tangan diakui oleh
orang terhadap siapa akta itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan
alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para
ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya. Selain itu akta
dibawah tangan merupakan akta yang dibuat serta ditanda tangani oleh para pihak
yang bersepakat dalam perikatan atau antara para pihak yang berkepentingan saja.
Pengertian dari akta di bawah tangan ini dapat diketahui dari beberapa
perundang-undangan sebagai berikut :
1 Pasal 101 ayat b Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa akta di bawah tangan, yaitu surat
yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan
dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa
atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya
2 Pasal 1874 KUHPerdata, menyatakan bahwa yang dianggap sebagai
tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan,
surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang
dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.
109
Ciri-ciri akta dibawah tangan yaitu bentuknya yang bebas, pembuatannya tidak
harus di hadapan pejabat umum, tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama
tidak disangkal oleh pembuatnya dan dalam hal harus dibuktikan, maka
pembuktian tersebut harus dilengkapi juga dengan saksi-saksi dan bukti lainnya.
Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan 2
orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.
4.2 Kekuatan Pembuktian Akta Otentik
Akta otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata yaitu suatu akta otentik
ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh
atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
Jadi syarat otentitas suatu dokumen yaitu dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, oleh atau dihadapan pejabat umum dan pejabat tersebut harus
berwenang di tempat akta dibuat. Menurut Pasal 285 Rbg, akta otentik yaitu yang
dibuat, dengan bentuk yang sesuai dengan undang-undang oleh atau di hadapan
pejabat umum yang berwenang di tempat akta itu dibuat, merupakan bukti
lengkap antara para pihak serta keturunannya dan mereka yang mendapatkan hak
tentang apa yang dimuat di dalamnya dan bahkan tentang suatu pernyataan
belaka, hal terakhir ini sepanjang pernyataan itu ada hubungan langsung dengan
apa yang menjadi pokok akta itu.
Pembuatan akta otentik yang menjadi dasar dalam pembuatannya yaitu
harus adanya keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para
pihak. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Notaris dapat
memberikan saran atau nasehat dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika
110
saran atau nasehat Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta
otentik, maka tetap isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau
tindakan Notaris.
Pengertian seperti tersebut di atas merupakan salah satu karakter yuridis
dari akta otentik, dalam hal ini tidak berarti pejabat umum dalam hal ini Notaris
sebagai pelaku dari akta tersebut, Notaris tetap berada di luar para pihak atau
bukan pihak dalam akta tersebut. Dengan kedudukan Notaris seperti itu, sehingga
jika suatu akta otentik dipermasalahkan, maka tetap kedudukan Notaris bukan
sebagai pihak atau yang turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam
kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai tergugat atau turut tergugat dalam perkara
perdata. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan
Notaris, menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang.
Akta Notaris dibuat sesuai kehendak para pihak yang berkepentingan guna
memastikan atau menjamin hak dan kewajiban para pihak, kepastian, ketertiban
dan perlindungan hukum para pihak. Akta Notaris pada hakekatnya memuat
kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada
Notaris. Notaris berkewajiban untuk memasukkan dalam akta tentang apa yang
sungguh-sungguh telah dimengerti sesuai dengan kehendak para pihak dan
membacakan kepada para pihak tentang isi dari akta tersebut. Pernyataan atau
keterangan para pihak tersebut oleh Notaris dituangkan dalam akta Notaris.104
Akta otentik terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam undangundang, sehingga hal itu cukup merupakan jaminan dapat dipercayanya pejabat
104
Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 45.
111
tersebut, maka isi dari akta otentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri.
Dengan kata lain dapatlah dianggap bahwa akta otentik itu dibuat sesuai dengan
kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai dibuktikan sebaliknya.
Pembuktian dalam hukum acara mempunyai arti yuridis berarti hanya berlaku
bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka dan
tujuan dari pembuktian ini adalah untuk memberi kepastian kepada hakim tentang
adanya suatu peristiwa-peristiwa tertentu. Maka pembuktian harus dilakukan oleh
para pihak dan siapa yang harus membuktikan atau yang disebut juga sebagai
beban pembuktian berdasarkan Pasal 163 HIR ditentukan bahwa barang siapa
yang menyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan
untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang
itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Ini berarti dapat
ditarik kesimpulan bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia yang harus
membuktikan.105
Alat-alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata antara lain
adalah bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan,
pengakuan dan sumpah. Menurut G.H.S. Lumban Tobing akta Notaris dapat
dibedakan atas 2 (dua) bentuk, yaitu:
a. Akta yang dibuat oleh (door enn) Notaris atau yang dinamakan akta relaas atau
akta pejabat (ambtelijke akten). Akta jenis ini di antaranya akta berita acara
105
Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi
Keempat, Liberty, Yogyakarta, hal. 121.
112
rapat pemegang saham perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventarisasi
harta peninggalan dan akta berita acara penarikan undian.106
b. Akta yang dibuat di hadapan Notaris atau yang dinamakan akta partij (partij
akten). Akta jenis ini di antaranya akta jual beli, akta sewa menyewa, akta
perjanjian kredit dan sebagainya.107
Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat para pihak
yang membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus
dipenuhi. Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya
perjanjian, ada syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang
mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap
bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan syarat objektif yaitu
syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan objek
yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak yang terdiri dari suatu hal
tertentu dan sebab yang tidak dilarang.
Notaris dalam membuat akta harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan dalam perundang-undangan. Pasal 1869 KUHPerdata menyatakan
bahwa suatu akta yang dibuat di hadapan pejabat yang tidak berwenang itu,
bukanlah suatu akta otentik melainkan hanya berlaku sebagai akta di bawah
tangan apabila para pihak telah menandatangani. Akta di bawah tangan dibuat
oleh para pihak yang berkepentingan tanpa bantuan dari seorang pejabat umum.
106
107
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 51-52.
G.H.S. Lumban Tobing, Loc.Cit.
113
Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna selama dibuat
menurut bentuk dan tata cara sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang
yaitu KUHPerdata, UUJN dan UU perubahan atas UUJN, jika ada prosedur yang
tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi dapat dibuktikan , maka akta
tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Jika sudah
berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan sepenuhnya
kepada hakim.
Akta Notaris sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian,
dalam hal ini ada 3 (tiga) nilai pembuktian, yaitu kekuatan pembuktian lahiriah
(uitwendige bewijskracht), kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht),
kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskrcht).108 Kekuatan pembuktian
lahiriah (uitwendige bewijskracht) adalah kemampuan lahiriah akta Notaris yang
merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya
sebagai akta otentik (acta publica probant seseipsa). Jika dilihat dari luar
(lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah
ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta
otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa
akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian
ada pada pihak yang menyangkal keotentikan akta Notaris. Parameter untuk
menentukan akta Notaris sebagai akta otentik, yaitu tandatangan dari Notaris yang
bersangkutan, baik yang ada pada minuta akta dan salinan dan adanya awal akta
108
Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 26.
114
(mulai dari judul) sampai dengan akhir akta. Menurut R. Soegondo kemampuan
lahiriah akta ialah syarat-syarat yang diperlukan agar supaya sesuatu akta Notaris
dapat berlaku sebagai akta otentik.109
Kekuatan pembuktian lahir ini merupakan kekuatan pembuktian yang
didasarkan atas keaadaan lahir akta itu sendiri, dan sebagai asas berlaku acta
publica probant sese ipsa yang berarti suatu akta yang lahirnya tampak sebagai
akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu
berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya.
Berarti suatu akta otentik mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya
sendiri sebagai akta otentik.
Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht) adalah akta Notaris
harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam
akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang
menghadap.110 Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus
dibuktikan dari formalitas dari akta, yaitu harus dapat
membuktikan
ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap, membuktikan
ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang
dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat membuktikan
ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang disampaikan di
hadapan Notaris, dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi, dan Notaris
ataupun ada prosedur pembuatan akta yang dilakukan. Dengan kata lain pihak
109
110
R. Soegondo, Op. Cit, hal. 55.
R. Soegondo, Loc.Cit.
115
yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik
untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu
membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh
siapapun.111
Kekuatan pembuktian formal ini memberi arti bahwa akta otentik itu
dibuktikan mengenai apa yang dinyatakan dan dicantumkan dalam akta itu adalah
benar merupakan uraian kehendak pihak-pihak. Akta otentik menjamin kebenaran
tanggal, tanda tangan, komparan, dan tempat akta dibuat. Dalam arti formil pula
akta Notaris membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu yang dilihat,
didengar dan dialami sendiri oleh Notaris sebagai Pejabat Umum dalam
menjalankan jabatannya. Akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan
pembuktian formil, terkecuali bila si penanda tangan dari surat/akta itu mengakui
kebenaran tanda tangannya.
Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht) menurut R.
Soegondo adalah kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan
pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang
mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya
(tegenbewijs).112 Akta otentik itu tidak hanya membuktikan bahwa para pihak
sudah menerangkan bahwa apa yang ditulis pada akta tersebut, tetapi juga
menerangkan bahwa para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis adalah
benar-benar terjadi.
111
112
Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 27.
R. Soegondo, Op.Cit, hal. 56.
116
Penafsiran yang demikian itu diambil dari Pasal 1871 KUHPerdata,
dimana disebutkan bahwa suatu akta otentik tidak hanya memberikan bukti yang
sempurna tentang sesuatu yang termuat didalamnya sebagai suatu penuturan
belaka, selainnya sekadar sesuatu yang dituturkan itu ada hubungannya langsung
dengan pokok isi akta, dari pasal tersebut diambilah mengenai segala sesuatu yang
menjadi pokok isi akta itu, yaitu segala sesuatu yang tegas dinyatakan oleh para
penandatanganan akta.
Akta otentik tidak hanya mempunyai kukuatan pembuktian formal, yaitu
bahwa benar para pihak sudah menerangkan sesuatu yang ditulis dalam akta
tersebut, tetapi juga mempunyai kekuatan pembuktian materiil, yaitu bahwa
sesuatu yang diterangkan tadi adalah benar, inilah yang dinamakan kekuatan
pembuktian mengikat, sehingga kekuatan pembuktian akta otentik adalah sah
karena merupakan bukti sempurna bagi para pihak, ahli waris dan orang-orang
yang mendapatkan hak dari padanya, bukti sempurna berarti bahwa kebenaran
dari isi akta tersebut harus diakui, tanpa ditambah dengan pembuktian yang lain,
sampai dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain. Dan merupakan bukti bebas bagi
pihak ketiga, bukti bebas artinya kebenaran dari isi akta diserahkan pada penilaian
hakim, jika dapat dibuktikan sebaliknya.
Pembuatan akta otentik oleh atau di hadapan Notaris diatur dalam Pasal 1
angka 7 UU perubahan atas UUJN, hal tersebut tidak berarti bahwa Notaris ikut
ambil bagian dalam perbuatan hukum yang mana dibuatkan akta olehnya, Notaris
tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak, Notaris tetap berada di luar para
pihak. Suatu saat apabila akta tersebut dipermasalahkan, maka Notaris dapat
117
menempatkan posisinya dengan tidak ikut sebagai pembantu tergugat dalam
lingkup Hukum Perdata maupun membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum
Pidana.
Perkara
pidana
dan
perdata
terhadap
akta
otentik
biasanya
dipermasalahkan dari aspek formalnya yaitu mengenai pukul/waktu, tanggal,
bulan dan tahun kapan para penghadap menghadap ke hadapan Notaris, mengenai
komparisi, identitas para penghadap termasuk juga kewenangan para pihak dalam
bertindak, mengenai tanda tangan para penghadap, mengenai salinan akta yang
tidak sesuai dengan minuta akta, mengenai salinan akta ada tapi minuta akta tidak
ada, hal ini berkaitan dengan penyimpanan minuta akta yang seharusnya tertata
rapi, dan mengenai minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi salinan
akta malah dikeluarkan.
Hal-hal tersebut biasanya yang menjadi perhatian dalam pembuatan akta
otentik oleh Notaris, oleh karena itu Notaris harus berpedoman kepada UUJN dan
UU perubahan atas UUJN, jangan sampai melenceng jauh dari UUJN dan UU
perubahan atas UUJN atau bahkan tidak berpedoman kepada UUJN dan UU
perubahan atas UUJN dalam pembuatan akta otentik. Hal yang sangat penting
diperhatikan yaitu mengenai komparisi akta, harus sesuai apakah para pihak
tersebut berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dalam akta atau tidak.
Sedangkan bila dilihat dari sudut pandang Hukum Pidana yang berkaitan dengan
aspek formal pembuatan akta otentik oleh Notaris, pihak penyidik, penuntut
umum dan hakim akan memasukkan Notaris telah melakukan tindakan hukum :
118
1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang
dipalsukan (Pasal 163 ayat (1), (2) KUHP)
2. Melakukan pemalsuan (Pasal 264 KUHP)
3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266
KUHP)
4. Melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan (Pasal 55
Jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP)
5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan menggunakan
surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 263 ayat
(1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP.113
Jika kemudian ternyata terbukti bahwa yang menghadap Notaris tersebut
bukan orang yang sebenarnya atau orang yang mengaku asli, tapi orang yang
sebenarnya tidak pernah menghadap Notaris, sehingga menimbulkan kerugian
orang yang sebenarnya, maka dalam hal ini Notaris tidak bisa disalahkan karena
unsur kesalahannya tidak ada, dan Notaris telah melaksanakan tugas jabatan
sesuai aturan hukum yang berlaku, sesuai asas tiada hukum tanpa kesalahan, dan
tiada kesalahan yang dilakukan oleh Notaris yang bersangkutan, maka Notaris
tersebut harus dilepas dari segala tuntutan.
Kehendak penghadap yang tertuang dalam akta secara meteriil merupakan
kehendak atau keinginan para pihak sendiri, bukan kehendak Notaris, dan tugas
Notaris hanya memberi saran saja, kalaupun kemudian saran tersebut diikuti dan
dituangkan dalam akta, hal tersebut tetap merupakan keinginan atau kehendal
penghadap sendiri. Jika penghadap mendalilkan bahwa akta Notaris yang berisi
keterangan atau perkataannya di hadapan Notaris, tidak dikehendaki oleh
penghadap, kemudian penghadap mengajukan gugatan dengan gugatan untuk
113
Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 136.
119
membatalkan akta tersebut. Sehingga hal tersebut harus dapat dibuktikan bahwa
akta dibuat dalam keadaan terpaksa, kekhilafan atau penipuan, jika tidak dapat
dibuktikan maka gugatan seperti itu ditolak, karena semua prosedur untuk dalam
pembuatan akta telah dilakukan oleh Notaris bersangkutan. Jika secara materiil isi
akta tidak sesuai dengan keinginan penghadap, sehingga dapat diajukan gugatan
ke pengadilan, dengan kewajiban untuk membuktikan dalil gugatannya.
Dalam gugatan untuk menyatakan akta Notaris tersebut tidak sah, maka
harus dibuktikan ketidakabsahan dari aspek lahiriah, formal dan materiil akta
Notaris. Jika tidak dapat dibuktikan maka akta yang bersangkutan tetap sah dan
mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut.
Penilaian terhadap akta Notaris harus dilakukan dengan asas praduga sah,
berdasarkan asas ini bahwa suatu keputusan Tata Usaha Negara harus dianggap
sah selama belum dibuktikan sebaliknya, sehingga pada prinsipnya harus selalu
dapat segera dilaksanakan. Fungsi dan kedudukan dari akta Notaris sebagai akta
otentik yang mempunyai kekuatan istimewa sebagai alat bukti, kekuatan
pembuktian akta otentik demikian juga (termasuk di dalamnya) akta Notaris
adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundangundangan, bahwa harus ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari
tugas yang dibebankan oleh undang-undang kepada pejabat-pejabat atau orangorang tertentu. Dalam pemberian tugas inilah terletak tanda kepercayaan kepada
120
pejabat dan pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang dibuat oleh
mereka.114
Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris
sebagai akta otentik dan siapapun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan
dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak
benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasi kekuatan
pembuktiannya menjadi akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
di bawah tangan.
Akta otentik yang dibuat oleh Notaris dalam hal ini dapat dikatakan
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna selama dibuat menurut bentuk dan
tata cara sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang yaitu KUHPerdata
dan UUJN, jika ada prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak
dipenuhi dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat
dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
dibawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya
diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
Mengacu pada penjelasan diatas artinya bahwa syarat akta Notaris sebagai
akta otentik adalah harus dibuat dengan tata cara maupun prosedur sebagaimana
yang ditentukan oleh undang-undang dan dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang
114
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 63.
121
berwenang untuk di wilayah kedudukannya. Adapun Irawan Soerodjo
mengemukakan bahwa ada tiga unsur syarat formal suatu akta otentik : 115
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
2. Dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum
3. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu dan di tempat di mana akta itu dibuat.
Mengenai pembuatan akta Notaris oleh atau di hadapan Notaris diatur
dalam Pasal 1 angka 7 UU perubahan atas UUJN, hal tersebut tidak berarti bahwa
Notaris ikut ambil bagian dalam perbuatan hukum yang mana dibuatkan akta
olehnya, Notaris tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak, Notaris tetap
berada di luar para pihak. Suatu saat apabila akta tersebut dipermasalahkan, maka
Notaris dapat menempatkan posisinya dengan tidak ikut sebagai pembantu
tergugat dalam lingkup Hukum Perdata maupun membantu para pihak dalam
kualifikasi Hukum Pidana.
Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat penulis katakan bahwa akta
Notaris adalah memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, dibuat oleh atau di
hadapan Notaris, mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan
dibuat berdasarkan ketentuan dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia
serta memenuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam UUJN
sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat
dibuktikan ketidakbenarannya. Dengan demikian barang siapa yang menyatakan
115
Irawan Soerodjo, Op.Cit, hal. 148.
122
bahwa suatu akta otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan
akta itu. Apabila suatu akta otentik ternyata tidak memenuhi kekuatan pembuktian
lahir, formil maupun materil dan tidak memenuhi syarat otentisitas maka akta
otentik tidak lagi disebut sebagai akta otentik melainkan hanya akta di bawah
tangan.
4.3 Akibat Hukum terhadap Akta Notaris Yang Dibuat Oleh Notaris Secara
Melawan Hukum.
Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan sebagian dari kekuasan
negara di bidang Hukum Perdata terutama untuk membuat alat bukti otentik (akta
Notaris). Dalam pembuatan akta Notaris baik dalam bentuk partij akta maupun
relaas akta, Notaris bertanggungjawab supaya setiap akta yang dibuatnya
mempunyai sifat otentik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868
KUHPerdata. Kewajiban Notaris untuk dapat mengetahui peraturan hukum yang
berlaku di Negara Indonesia juga serta untuk mengetahui hukum apa yang berlaku
terhadap para pihak yang datang kepada Notaris untuk membuat akta. Hal tersebut
sangat penting agar supaya akta yang dibuat oleh Notaris tersebut memiliki
otentisitasnya sebagai akta otentik karena sebagai alat bukti yang sempurna.
Namun dapat saja Notaris melakukan suatu kesalahan dalam pembuatan akta.
Kesalahan-kesalahan yang mungkin dapat terjadi, yaitu :
a. Kesalahan ketik pada salinan Notaris, dalam hal ini kesalahan tersebut
dapat diperbaiki dengan membuat salinan baru yang sama dengan yang
asli dan hanya salinan yang sama dengan yang asli baru mempunyai
kekuatan sama seperti akta asli.
b. Kesalahan bentuk akta Notaris, dalam hal ini dimana seharusnya dibuat
berita acara rapat tapi oleh Notaris dibuat sebagai pernyataan keputusan
rapat.
123
c. Kesalahan isi akta Notaris, dalam hal ini mengenai keterangan dari para
pihak yang menghadap Notaris, di mana saat pembuatan akta dianggap
benar tapi ternyata kemudian tidak benar116
Apabila ada akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak atau yang
berkepentingan, maka untuk menyelesaikannya harus didasarkan pada kebatalan
dan pembatalan akta Notaris sebagai suatu alat bukti yang sempurna. Kesalahankesalahan yang terjadi pada akta-akta yang dibuat oleh Notaris akan dikoreksi
oleh hakim pada saat akta Notaris tersebut diajukan ke pengadilan sebagai alat
bukti.
Menurut George Whitecross Patton117 alat bukti tersebut dapat berupa oral
(words spoken by a witness in court) dan documentary (the production of a
admissible documents) atau material (the production of a physical res other
document). Alat bukti sah atau yang diterima dalam suatu perkara (perdata), pada
dasarnya terdiri dari ucapan dalam bentuk keterangan saksi-saksi, pengakuan,
sumpah, dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang mempunyai nilai
pembuktian. Dalam perkembangan alat bukti sekarang ini (untuk perkara pidana
dan perdata) telah diterima juga alat bukti elektronik atau yang terekam atau yang
disimpan secara elektronis sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan
pengadilan. Dalam kaitan ini perlu diberi penekanan dan penjelasan terdap alat
bukti tertulis dapat berupa tulisan yang mempunyai nilai pembuktian. Secara
tertulis tersebut dapat berupa surat (secara umum) dan surat dalam bentuk tertentu
116
Mudofir Hadi, 1991, Varia Peradilan Tahun VI Nomor 72, Pembatalan
Isi Akta Notaris Dengan Putusan Hakim, hal. 142-143.
117
George Whitecross Patton, 1953, A Text-Book af Jurisprudence, Oxford
at the Clarendon Press, second editon, hal. 481.
124
serta tata cara pembuatan dengan pejabat yang ditunjuk oleh peraturan
perundang-undangan.
Kewenangan dari hakim untuk menyatakan suatu akta Notaris tersebut
batal demi hukum, dapat dibatalkan atau akta Notaris tersebut dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum. Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris
terhadap ketentuan-ketentuan pasal-pasal dalam UU perubahan atas UUJN, yang
menyebabkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum, maka pihak yang merugikan
dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga pada Notaris. Dalam hal
suatu akta Notaris dibatalkan oleh putusan hakim di pengadilan, maka jika
menimbulkan kerugian bagi para pihak yang berkepentingan, Notaris dapat
dituntut untuk memberikan ganti rugi, sepanjang hal tersebut terjadi disebabkan
oleh karena kesalahan Notaris. Namun dalam hal pembatalan akta Notaris oleh
pengadilan dengan alasan bukan merupakan kesalahan Notaris, maka para pihak
yang berkepentingan tidak dapat menuntut Notaris untuk memberikan ganti rugi.
Seorang Notaris baru dapat dikatakan bebas dari pertanggungjawaban
hukum apabila akta otentik yang dibuatnya dan atau dibuat dihadapannya telah
memenuhi syarat formil. Akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan akta otentik pada dasarnya terjadinya
suatu perkara dimana pejabat umum telah mencari-cari keuntungan serta
menyalahgunakan kewenangan yang telah diatur dalam UUJN dan UU perubahan
atas UUJN dan seorang klien atau penghadap lainnya merasa dirugikan atas
terbuatnya suatu akta yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum yang
125
dilakukan oleh Notaris, sehingga berakibat akta otentik yang dibuat oleh Notaris
dapat menjadi batal atau dapat dibatalkan.
Mengenai pembatalan akta adalah menjadi kewenangan hakim perdata,
yakni dengan mengajukan gugatan secara perdata kepengadilan. Apabila dalam
persidangan dimintakan pembatalan akta oleh pihak yang dirugikan (pihak
korban) maka akta Notaris tersebut dapat dibatalkan oleh hakim perdata jika ada
bukti lawan. Sebagaimana diketahui bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang
merupakan alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian yang
mengikat dan sempurna. Ini berarti bahwa masih dimungkinkan dapat
dilumpuhkan oleh bukti lawan yakni diajukannya gugatan untuk menuntut
pembatalan akta ke pengadilan agar akta tersebut dibatalkan.
Pembatalan menimbulkan keadaan tidak pasti, oleh karena itu undangundang memberikan waktu terbatas dalam hal menuntut dimana oleh undangundang dapat dilakukan pembatalan apabila hendak melindungi seseorang
terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian dalam suatu putusan oleh hakim
perdata selama tidak dimintakan pembatalan maka perbuatan hukum/perjanjian
yang tercantum dalam akta tersebut akan tetap berlaku atau sah. Setelah adanya
putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap atas gugatan penuntutan
pembatalan akta tersebut maka akta itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum
sebagai alat bukti yang otentik karena mengandung cacat secara yuridis/cacat
hukum, maka dalam amar putusan hakim perdata akan menyatakan bahwa akta
tersebut batal demi hukum. Dan berlakunya pembatalan akta tersebut adalah
berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/perjanjian itu dibuat.
126
Hukum perjanjian memuat adanya akibat hukum tertentu jika syarat
subjektif dan syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi,
maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar) sepanjang ada permintaan oleh
orang-orang tertentu atau yang berkepentingan. Pembatalan karena ada
permintaan dari pihak yang berkepentingan, seperti orang tua, wali atau
pengampu disebut pembatalan yang relatif atau tidak mutlak. Pembatalan relatif
ini dibagi 2 (dua) yaitu pembatalan atas kekuatan sendiri, maka atas permintaan
orang tertentu dengan mengajukan gugatan atau perlawanan, agar hakim
menyatakan batal (nietig verklaard) suatu perjanjian. Contohnya jika tidak
dipenuhi syarat subjektif (Pasal 1446 KUHPerdata) dan pembatalan oleh hakim,
dengan putusan membatalkan suatu perjanjian dengan mengajukan gugatan.
Contohnya Pasal 1449 KUHPerdata.118
Syarat subjektif ini senantiasa dibayangi ancaman untuk dibatalkan oleh
para pihak yang berkepentingan dari orang tua, wali atau pengampu. Agar
ancaman seperti itu tidak terjadi, maka dapat dimintakan penegasan dari mereka
yang berkepentingan, bahwa perjanjian tersebut akan tetap berlaku dan mengikat
para pihak. Jika syarat suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat
karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka persetujuan tersebut tidak
mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUHPerdata). Jika tidak dinyatakan suatu
sebab, tetapi ada sebab yang halal (tidak dilarang), ataupun jika ada suatu sebab
lain, daripada yang dinyatakan, maka persetujuan tetap sah (Pasal 1336
118
Wirjono Prodjodikoro, 1989, Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur
Bandung, hal. 121.
127
KUHPerdata), objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum (nietig),
tanpa perlu ada permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap
tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun.
Perjanjian yang batal mutlak dapat juga terjadi, jika suatu perjanjian yang
dibuat tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan untuk perbuatan
hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudah ditentukan atau berlawanan
dengan kesusilaan atau ketertiban umum, karena perjanjian sudah dianggap tidak
ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak untuk saling menuntut atau
menggugat dengan cara dan bentuk apapun.119 Misalnya jika suatu perjanjian
wajib dibuat dengan akta (Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tapi
ternyata tidak dilakukan, maka perbuatan hukum atau perjanjian tersebut batal
demi hukum.
Pembatalan terhadap suatu akta otentik dapat juga dilakukan oleh Notaris
apabila para pihak/penghadap menyadari adanya kekeliruan atau kesalahan yang
telah dituangkan dalam akta tersebut. Sehingga dapat membuat keraguan terhadap
kesepakatan/perjanjian dari para pihak/penghadap, maka akta tersebut dapat
dibatalkan oleh Notaris. Bilamana Notaris terseret dalam perkara pemalsuan akta
yang menjadi aktor intelektualnya atau Notaris turut serta ikut melakukan
pemalsuan surat yang bisa dikategorikan dalam perbuatan tindak pidana tersebut
maka secara yuridis tidak dapat ditolelir bukan hanya berdasarkan ketentuan
pidana saja, tetapi juga oleh peraturan dalam KUHPerdata serta UUJN dan
undang-undang perubahannya.
119
R. Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 22.
128
Kasus Notaris berkaitan dengan akta otentik yang dibuatnya dan aktanya
menimbulkan perkara perdata atau pidana maka aktanya batal demi hukum karena
kita melihat dari sisi syarat sah perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 yang
berisi kesepakatan para pihak, kecakapan bertindak, adanya suatu hal tertentu
yang diperjanjikan dan adanya suatu sebab yang halal terhadap perjanjian
tersebut. Jika suatu akta menimbulkan suatu pidana maka persyaratan perjanjian
dilihat unsur-unsur perjanjian yang terkandung didalamnya. Para ahli hukum
seperti Sudikno Mertokusuno, Mariam Darus, dan J.J. Satrio bersepakat bahwa
unsur-unsur perjanjian itu terdiri dari unsur esensialia, unsur naturalia, dan unsur
aksidentalia.120
Unsur pertama lazim disebut dengan bagian inti perjanjian, unsur kedua
dan ketiga disebut bagian non inti perjanjian. Unsur esensialia adalah unsur yang
mutlak harus ada untuk terjadinya perjanjian, agar penjanjian itu sah dan ini
merupakan syarat sahnya perjanjian. Jadi keempat syarat dalam Pasal 1320
KUHPerdata merupakan unsur esensialia perjanjian. Dengan kata lain, sifat
esensialia perjanjian adalah sifat yang menentukan perjanjian itu tercipta
(constructieve oordeel).
Unsur naturalia adalah unsur yang lazim melekat pada perjanjian, yaitu
unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam
dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian. Unsur ini merupakan sifat
bawaan (natuur) atau melekat pada perjanjian. Misalnya penjual harus menjamin
120
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 84.
129
cacat-cacat tersembunyi kepada pembeli. Sedangkan unsur aksidentalia, artinya
unsur yang harus dimuat atau dinyatakan secara tegas di dalam perjanjian oleh
para pihak. Misalnya jika terjadi perselisihan, para pihak telah menentukan tempat
yang dipilih.
Untuk membuktikan suatu akta tersebut sah atau tidak sah dalam
penelitian ini, digunakan asas praduga sah. Asas praduga sah (Vermoeden van
Rechtmatigheid) atau Presumptio Iustae Causa adalah asas yang menganggap sah
suatu produk hukum sebelum adanya putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap yang menyatakan tidak sah. Dengan adanya asas ini maka
akta otentik yang dibuat oleh Notaris harus dianggap sah dan mengikat para pihak
sebelum dapat dibuktikan ketidakabsahan dari aspek lahiriah, formal dan materil
akta otentik tersebut. Dalam ketentuan yang tersebut dalam Pasal 41 UU
perubahan atas UUJN yang menyatakan jika Notaris melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 mengakibatkan
akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka
akta Notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah
tangan, namun apabila para pihak dapat membuktikan ketidakbenaran akta otentik
tesebut dalam persidangan di pengadilan dan mengakibatkan akta tersebut dapat
dibatalkan serta kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan tidak akan
berlaku lagi. Karena asas praduga sah ini berkaitan dengan akta yang dapat
dibatalkan,
merupakan
suatu
tindakan
mengandung
cacat
yaitu
tidak
berwenangnya Notaris untuk membuat akta secara lahiriah, formal, materiil dan
tidak sesuai dengan aturan hukum tentang pembuatan akta Notaris.
130
Akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh Notaris secara
melawan hukum sehingga menyebabkan akta otentik menjadi akta dibawah
tangan serta akta tersebut dapat dibatalkan telah sejalan dengan teori kewenangan
dan konsep perlindungan hukum. Seperti dikemukakan dalam teori kewenangan,
Notaris dalam membuat akta otentik termasuk dalam kewenangan secara atribusi,
berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU perubahan atas UUJN. Terjadinya
suatu akibat hukum yaitu berupa akta otentik menjadi akta dibawah tangan dan
akta tersebut dibatalkan diakibatkan oleh penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh Notaris, dimana Notaris dalam menjalakan wewenangnya telah
melanggar ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian bagi
para pihak dan mengakibatkan berubahnya kekuatan pembuktian akta dan adanya
pembatalan akta otentik tersebut oleh pengadilan.
Akibat hukum ini juga telah sejalan dengan konsep perlindungan hukum
yang dikemukan Satijipto Raharjo yang menjelaskan bahwa perlindungan hukum
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan
orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Serta bahwa perlindungan
hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial,
ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. Sesuai dengan pengertian
konsep perlindungan hukum yang dikemukan oleh para sarjana maka akibat
hukum berupa pembatalan akta otentik dapat melindungi para pihak yang merasa
dirugikan oleh perbuatan melawan hukum seorang Notaris dalam proses
pembuatan akta otentik.
131
Adapun kedudukan akta Notaris dapat dibagi menjadi 5 macam yaitu dapat
dibatalkan, batal demi hukum, mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
dibawah tangan, dibatalkan oleh para pihak sendiri dan dibatalkan oleh putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena penerapan asas
praduga sah. Kelima kedudukan akta Notaris tersebut tidak dapat dilakukan secara
bersama-sama, tetapi hanya berlaku satu saja. Jika akta Notaris diajukan
pembatalan oleh pihak yang berkepentingan kepada pengadilan umum (Negeri)
dan telah ada putusan pengadilan umum yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap atau akta Notaris mempunyai kududukan pembuktian sebagai akta dibawah
tangan atau akta Notaris batal demi hukum, atau akta Notaris dibatalkan oleh para
pihak sendiri dengan akta Notaris lagi, maka pembatalan akta Notaris yang
lainnya tidak berlaku.
Akibat hukum terhadap terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang
Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah hilangnya
keotentikkan akta tersebut dan menjadi akta dibawah tangan sesuai dengan
ketentuan Pasal 41 UU perubahan atas UUJN serta akta otentik tersebut dapat
dibatalkan apabila pihak yang mendalilkan dapat membuktikannya dalam
persidangan di pengadilan, karena pembuatan suatu akta otentik harus memuat
ketiga unsur tersebut di atas (lahiriah, formil dan materiil) atau salah satu unsur
tersebut tidak benar dan menimbulkan perkara pidana atau perdata yang kemudian
dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Sehingga dalam menjalankan jabatanya
seorang Notaris harus tunduk pada ketentuan undang-undang dan akta tersebut
dibuat oleh dan dihadapan Notaris sesuai dengan prosedur dan tata cara
132
pembuatan akta otentik agar keotentikannya tidak menjadi akta di bawah tangan
atau akta tidak sampai dibatalkan.
133
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dengan
pokok permasalahan yang telah dirumuskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut bahwa:
1.
Bentuk pertangggungjawaban terhadap Notaris yang melakukan perbuatan
melawan hukum dalam pembuatan akta otentik adalah seorang Notaris dapat
dikenakan pertanggungjawaban secara perdata berupa sanksi untuk
melakukan penggantian biaya atau ganti rugi kepada pihak yang dirugikan
atas
perbuatan
melawan
hukum
yang
dilakukan
oleh
Notaris.
Pertanggungjawaban secara administrasi berupa pemberian sanksi teguran
lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan
hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat sebagai seorang Notaris.
Pertanggungjawaban terhadap kode etik profesi Notaris berupa pemberian
sanksi teguran, peringatan, pemecatan sementara (schorsing), pemecatan
(Onzetting) dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan
perkumpulan. Sedangkan pertanggungjawaban secara pidana seorang dapat
berupa pemberian sanksi pidana penjara atau kurungan atas perbuatan
melawan hukum yang dilakukannya. Hal-hal tersebut berdasarkan temuan-
134
temuan dalam yurisprudensi mengenai pertanggungjawaban terhadap Notaris
yang melakukan perbuatan melawan hukum.
2.
Akibat hukum terhadap terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang
Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah hilangnya
keotentikkan akta tersebut dan menjadi akta dibawah tangan serta akta otentik
tersebut
dapat
dibatalkan
apabila
pihak
yang
mendalilkan
dapat
membuktikannya dalam persidangan di pengadilan, karena pembuatan suatu
akta otentik harus memuat tiga unsur yaitu lahiriah, formal dan materiil atau
salah satu unsur tersebut tidak benar dan menimbulkan perkara pidana atau
perdata yang kemudian dapat dibuktikan ketidakbenarannya.
5.2 Saran
Adapun saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan di atas
terhadap pertanggungjawaban Notaris yang melakukan perbuatan melawan
hukum dalam pembuatan akta otentik adalah sebagai berikut :
1 Agar seorang Notaris dan para pihak terhindarkan dari segala resiko baik
berupa sanksi maupun pembatalan akta otentik dalam proses pembuatan akta
otentik dihadapan Notaris maka Notaris dan para pihak harus memiliki sifat
kehati-hatian, lebih teliti dan memiliki itikad baik dalam pembuatan akta
otentik serta mematuhi ketentuan hukum yang berlaku dan berlandaskan pada
moral dan etika.
2 Agar pemerintah selaku lembaga eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) selaku lembaga legislatif merekontruksi kembali pengaturan dalam
UUJN dan UU perubahan atas UUJN mengenai tidak adanya komulasi atau
135
penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban seorang
Notaris, karena pengaturan komulasi atau penggabungan penerapan sanksi ini
tentunya akan lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para
pihak yang dirugikan oleh perbuatan melawan hukum seorang Notaris.
136
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Adjie, Habib, 2008, Hukum Notariat di Indonesia-Tafsiran Tematik Terhadap UU
No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung.
Alfons, Maria, 2010, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produkproduk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual,
Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang.
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Andasasmita, Komar, 1981, Notaris Dengan Sejarah, Peranan, Tugas Kewajiban,
Rahasia Jabatannya, Sumur, Bandung.
Atmasasmita, Romli, 1989, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan
Pertama Yayasan LBH, Jakarta.
Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1. Stelsel Pidana,
Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Raja
Grafindo, Jakarta.
Chomzah, Achmad Ali, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia Jilid 1,
Prestasi Pustakaraya, Jakarta.
Ferry, Ahmad Nindra, 2002, Efektifitas Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan
Kejahatan Psikotropika di Kota Makassar, Perpustakaan Unhas, Makassar.
Hadjon, Phillipus M., 1987, Perlindungan hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT.
Bina Ilmu, Surabaya.
Hartono, Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung.
Ibrahim, Johnny, 2006, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang,
Noymedia Publishing, Malang.
Kanter E.Y, 2001, Etika Profesi Hukum Sebuah Pendekatan Religius, Storia
Grafika, Jakarta.
Kie, Tan Thong, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT.Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jakarta.
137
Koeswadji, Hermien Hadiati, 1995, Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam
Rangka Pembangunan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Kusumawati, Lanny, 2006, Tanggung jawab Jabatan Notaris, Refika Aditama,
Bandung.
Kusumaatmadja, Mochtar, 2002, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,
Alumni, Bandung.
Matome, M. Ratiba, 2013, Convecaying Law for Paralegals and Law Students,
bookboon.com,
Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Morris, L. Cohen dan Kent C. Olson, 2000, Legal Resarch In A Nutshell, Seventh,
Edition, ST. Paul, Minn, West Group.
Patton, George Whitecross, 1953, A Text-Book af Jurisprudence, Oxford at the
Clarendon Press, second editon.
Priyatno,
Dwidja,
2004,
Kebijakan
Legislasi
tentang
Sistem
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV. Utomo,
Bandung.
Prodjodikoro, Wirjono, 1973, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung.
Saleh, Roeslan, 1983, Pikiran-pikiran tentang Pertanggungan Jawab Pidana,
Cetakan Pertama Ghalia Indo, Jakarta.
Salim HS. H. dan H. Abdullah, 2007, Perancangan Kontrak dan MOU, Sinar
Grafika, Jakarta.
Satrio, 1999, Hukum Perikatan : Perikatan pada Umumnya, Alumni, Badung.
Setiawan, Rachmat, 1982, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum,
Alumni, Bandung.
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris
Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung.
138
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
_______, 2006, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Soesanto, R., 1982, Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris, Wakil Notaris,
Pradnya Paramita, Jakarta.
Solly, M. Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung.
Stroink, F.A.M dan Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi
dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Raharjo, Satijipto, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rasjidi, Lili dan I.B Wysa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja
Rusdakarya, Bandung.
Rianto, Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta.
Rubaie, Achmad, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Bayumedia, Malang.
Tahir, Azhary, 1992, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta.
Tanya, Bernard L. et.al., 2006, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya.
Tedjosaputro, Liliana, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu,
Semarang
Ten Berge, J.B.J.M, 1996, Besturen Door de Overheid, W.E.J. Tjeenk Qillink,
Deventer.
Tobing, G.H.S. Lumban, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta.
Triwulan, Tutik, 2006, Pengantar Hukum perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka
Publisher, Jakarta.
Usman, Rachmadi, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta.
139
Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika,
Jakarta.
Widyadharma, Ignatius Ridwan, 1996, Etika Profesi Hukum, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.
Widjojanto, Bambang, 2005, Etika Profesi Suatu Kajian dan Beberapa Masalah
Pokok, Makalah disampaikan pada Pendidikan Khusus Profesi Advokat
Angkatan I, Depok.
Wijk, H.D Van dan Willem Konijnenbelt, 1990, Hoolfdstukken van Adminstratief
Recht, Uitgeverij Lemma BW, Utrecht.
Yudha, Hernoko Agus, 2008, Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam
Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta.
II. ARTIKEL
Majalah Berita Bulanan Notaris/PPAT, 2006, Jurnal Renvoi,
No.32/Th.III/Januari 2006, PT. Jurnal Renvoi Mediatama, Jakarta.
edisi
Majalah Renvoi, 2010, Jurnal Renvoi Mediatama, edisi delapan puluh dua Maret,
PT. Jurnal Renvoi Mediatama, Jakarta.
Blackgank Ar’oNe, diakses pada tanggal 6 Maret 2012 pukul 18.50, Atribusi,
Kewenangan, Delegasi, Mandat, http : //arwanblack74.blogspot.com
Davis Ralph C, di akses pada tanggal 6 Maret 2012 pukul 19.15, Wewenang,
Delegasi, Sentralisasi, Desentralisasi, http : //wahyu410.wordpress.com.
III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Acara Pidana,
PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Rhedbook Publisher, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 117.
140
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang Undang
Nomor 30 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 3.
Kode Etik Notaris oleh Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) ditetapkan di Bandung
pada tanggal 27 Januari 2005.
Download