1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris dalam menjalankan profesinya memberikan pelayanan kepada masyarakat sepatutnya bersikap sesuai aturan yang berlaku. Ini penting karena Notaris melaksanakan tugas jabatannya tidaklah semata-mata untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat, serta mempunyai kewajiban untuk menjamin kebenaran dari akta-akta yang dibuatnya, karena itu seorang Notaris dituntut lebih peka, jujur, adil dan transparan dalam pembuatan suatu akta agar menjamin semua pihak yang terkait langsung dalam pembuatan sebuah akta otentik. Dalam melaksanakan tugas jabatannya seorang Notaris harus berpegang teguh kepada kode etik jabatan Notaris, karena tanpa itu, harkat dan martabat profesionalisme akan hilang dan tidak lagi mendapat kepercayaan dari masyarakat. Notaris juga dituntut untuk memiliki nilai moral yang tinggi, karena dengan adanya moral yang tinggi maka Notaris tidak akan menyalahgunakan wewenang yang ada padanya, sehingga Notaris akan dapat menjaga martabatnya sebagai seorang pejabat umum yang memberikan pelayanan yang sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak merusak citra Notaris itu sendiri. Sebagaimana harapan Komar Andasasmita, agar setiap Notaris mempunyai pengetahuan yang cukup luas dan mendalam serta keterampilan sehingga merupakan andalan masyarakat dalam merancang, menyusun dan membuat berbagai akta otentik, 2 sehingga susunan bahasa, teknis yuridisnya rapi, baik dan benar, karena disamping keahlian tersebut diperlukan pula kejujuran atau ketulusan dan sifat atau pandangan yang objektif.1 Perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas dan wewenangnya demi terlaksananya fungsi pelayanan dan tercapainya kepastian hukum dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, telah diatur dan dituangkan dalam undang-undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 (untuk selanjutnya disebut UUJN), undang-undang mana telah mengalami perubahan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 (untuk selanjutnya disebut UU Perubahan Atas UUJN). Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menentukan “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.” Notaris dikatakan sebagai pejabat umum karena Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah. Meskipun Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, namun Notaris tidak dapat disamakan dengan pegawai negeri yang juga diangkat 1 Komar Andasasmita, 1981, Notaris Dengan Sejarah, Peranan, Tugas Kewajiban, Rahasia Jabatannya, Sumur, Bandung, hal. 14. 3 dan diberhentikan oleh pemerintah. Yang membedakannya adalah Notaris merupakan pegawai pemerintah tanpa menerima gaji dari pemerintah. Diberlakukannya UUJN dan UU perubahan atas UUJN diharapkan bahwa akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. UU perubahan atas UUJN telah menetapkan dalam Pasal 15 ayat (1) tentang kewenangan seorang Notaris yaitu Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain itu dalam Pasal 15 ayat (2) UU perubahan atas UUJN menyatakan Notaris juga berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan, melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya, memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta, membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan membuat akta risalah lelang. Dari beberapa kewenangan tersebut jasa seorang Notaris kebanyakan dibutuhkan oleh masyarakat dalam hal pembuatan akta otentik. 4 Akta otentik yang dibuat oleh Notaris pada hakekatnya sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Notaris berkewajiban untuk memasukkan ke dalam akta mengenai apa saja yang dikehendak para pihak dan selanjutnya menuangkan pernyataan atau keterangan para pihak tersebut ke dalam akta Notaris. Sedangkan tulisan di bawah tangan atau biasa disebut dengan akta dibawah tangan dibuat tidak dibuat dihadapan Notaris dan dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang serta tanpa adanya perantara berdasarkan ketentuan Pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Menurut Pasal 1 angka 7 UU perubahan atas UUJN menentukan bahwa “akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. Akta otentik yang dimaksud adalah akta otentik sesuai dengan rumusan Pasal 1868 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUHPerdata) yaitu : “Suatu akta otentik ialah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta itu dibuat.” Berdasarkan pasal tersebut Notaris mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik. Terdapat dua golongan akta otentik yang dibuat oleh Notaris yaitu akta otentik yang dibuat oleh Notaris dimana merupakan suatu akta yang dibuat oleh Notaris mengenai suatu tindakan yang dilakukan atas suatu keadaan yang disaksikan oleh Notaris dan akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris yaitu akta yang dibuat dihadapan Notaris yang memuat uraian mengenai hal-hal yang diterangkan oleh pihak yang menghadap kepada Notaris. Dengan adanya UUJN 5 dan UU perubahan atas UUJN kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik nanti dalam penerapannyan akta tersebut mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait. Akta otentik merupakan alat bukti tulisan atau surat yang bersifat sempurna. Akta otentik memiliki 3 (tiga) kekuatan pembuktian yaitu kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht) yang merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahanya sebagai akta otentik. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht) yang memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul diketahui dan didengar oleh Notaris dan diterangkan oleh para pihak yang menghadap. Kekuatan pembuktian Materiil (materiele bewijskracht) yang merupakan kepastian tentang materi atau isi suatu akta. Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) berwenang membuat akta otentik, sehubungan dengan kewenangannya tersebut Notaris dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya dalam membuat akta otentik yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau dilakukan secara melawan hukum. Pertanggungjawaban merupakan suatu sikap atau tindakan untuk menanggung segala akibat dari perbuatan yang dilakukan atau sikap untuk menanggung segala resiko ataupun kosekuensinya yang ditimbulkan dari suatu perbuatan. Pertanggungjawaban itu ditentukan oleh sifat pelanggaran dan akibat hukum yang ditimbulkannya. Secara umum pertanggungjawaban yang biasa dikenakan terhadap Notaris adalah pertanggungjawaban pidana, administrasi dan perdata. Pertanggungjawaban secara pidana dijatuhi sanksi pidana, 6 pertanggungjawaban administrasi dijatuhi sanksi administrasi, dan pertanggungjawaban perdata dijatuhi sanksi perdata. Itu merupakan konsekuensi dari akibat pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan oleh Notaris dalam proses pembuatan akta otentik. Menentukan adanya suatu pertanggungjawaban secara perdata atau pidana yang dilakukan oleh seorang Notaris harus dipenuhi tiga syarat, yaitu harus ada perbuatan Notaris yang dapat dihukum yang unsur-unsurnya secara tegas dirumuskan oleh undang-undang. Perbuatan Notaris tersebut bertentangan dengan hukum, serta harus ada kesalahan dari Notaris tersebut. Kesalahan atau kelalaian dalam pengertian pidana meliputi unsur-unsur bertentangan dengan hukum dan harus ada perbuatan melawan hukum. Sehingga pada dasarnya setiap bentuk pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan Notaris selalu mengandung sifat melawan hukum dalam perbuatan itu. Istilah perbuatan melawan hukum itu memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Perbedaan perbuatan melawan hukum dan perbuatan pidana menurut Rachmat Setiawan adalah : “Setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam undangundang, sehingga sifatnya terbatas. Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum 7 adalah tidak demikian. Undang-undang hanya menentukan satu pasal umum, yang memberikan akibat-akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum.”2 Dikaji dari perspektif teoretis dan praktik konsepsi perbuatan melawan hukum dikenal dalam dimensi Hukum Perdata dan Hukum Pidana. Dari aspek etimologis dan terminologis maka perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda dikenal dengan terminologi wederrechtelijk dalam ranah Hukum Pidana dan terminologi onrechtmatige daad dalam ranah Hukum Perdata. Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks Hukum Perdata diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, pada bagian tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang, yaitu : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Rosa Agustina menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum dapat dijumpai baik dalam ranah Hukum Pidana (publik) maupun dalam ranah Hukum Perdata (privat). Sehingga dapat ditemui istilah melawan Hukum Pidana begitupun melawan Hukum Perdata. Dalam konteks itu jika dibandingkan maka kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan adanya persamaan dan perbedaan.3 Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu adalah untuk dikatakan sifat melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan hukum yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua sifat melawan hukum 2 Rachmat Setiawan, 1982, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 15. 3 Rosa Agustina, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, hal 14. 8 tersebut pada prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan (interest) hukum. Perbedaan pokok antara kedua sifat melawan hukum tersebut, apabila sifat melawan Hukum Pidana lebih memberikan perlindungan kepada kepentingan umum (public interest), hak obyektif dan sanksinya adalah pemidanaan. Sedangkan sifat melawan Hukum Perdata lebih memberikan perlindungan kepada private interest, hak subyektif dan sanksi yang diberikan adalah ganti kerugian (remedies). Dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum diperlukan syarat yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan hak subjektif orang lain, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.4 Sifat melawan hukum dibagi menjadi sifat melawan hukum formal dan sifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik di dalam undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Sedangkan sifat melawan hukum materil merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang, tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis. Menurut Munir Fuady perbuatan melawan hukum dalam konteks Hukum Pidana dengan dalam konteks Hukum Perdata adalah lebih dititikberatkan pada perbedaan sifat Hukum Pidana yang bersifat publik dan Hukum Perdata yang 4 Ibid, hal. 117. 9 bersifat privat. Sesuai dengan sifatnya sebagai hukum publik, maka dengan perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang dilanggar (disamping mungkin juga kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan melawan hukum dalam sifat Hukum Perdata maka yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.5 Notaris tidak dapat dilepaskan dari perbuatan yang menyimpang atau perbuatan yang melawan hukum. Karena seorang Notaris tetap seorang manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Notaris harus siap untuk menghadapi jika sewaktu-waktu dijadikan pihak yang terlibat dalam perkara bidang Hukum Perdata maupun Hukum Pidana, yang diakibatkan dari produk hukum yang dibuatnya. Sehingga dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dipungkuri lagi, saat ini cukup banyak perkara-perkara pidana yang terjadi dikarenakan perilaku Notaris yang tidak professional dan memihak salah satu pihak pada aktaakta yang dibuatnya. Akibat dari semua ini ada beberapa Notaris yang telah ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa dan dipidana. Dewasa ini ditemukan kasus-kasus yang menjerat Notaris ke pengadilan mulai dari kasus perdata maupun kasus pidana serta sudah ada yang dijatuhi putusan pengadilan. Adapun yurisprudensi-yurisprudensi mengenai Notaris yang dijatuhi putusan perdata dan pidana yaitu putusan Mahkamah Agung nomor 1847K/Pid/2010 jucto putusan Pengadilan Negeri Medan nomor 1673/Pid.B/2008/PN.Mdn jucto putusan Pengadilan Tinggi Medan nomor 265/PID/2009/PT.MDN yang menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun kepada 5 Munir Fuady, 2005, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjunya disingkat Munir Fuady I), hal. 22. 10 seorang Notaris yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana yaitu membuat akta authentik palsu. Putusan Pengadilan Tinggi Medan nomor 88/PDT/2011/PT-MDN jucto Putusan Pengadilan Negeri Medan nomor 297/Pdt.G/2009/PN.Mdn yang menjatuhkan sanksi perdata berupa ganti rugi kepada Notaris atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan dan menimbulkan kerugian kepada para pihak. Putusan Mahkamah Agung nomor 1099 K/PID/2010 jucto putusan Pengadilan Tinggi Medan nomor 82/PID/2010/PT-MDN jucto putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 3036/PID.B/2009/PN.Mdn yang menyatakan bahwa Notaris telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik dan menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun. Berdasarkan pemaparan di atas, Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya baik secara pidana maupun secara perdata. Namun penerapan satu jenis sanksi dalam pertanggungjawaban Notaris dirasa belum cukup, sehingga diperlukan komulasi atau penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban Notaris. Dengan demikian pertanggungjawaban seorang Notaris terhadap perbuatan yang dilakukannya dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada Notaris itu sendiri dan para pihak yang dirugikan. Ketentuan dalam UUJN dan UU perubahan atas UUJN tidak mengatur mengenai komulasi atau penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban yang dibebani terhadap Notaris yang melakukan perbuatan 11 melawan hukum. UUJN dan UU perubahan hanya mengatur mengenai penerapan sanksi perdata dan administrasi, dimana kedua jenis sanksi tersebut berdiri sendiri dan tidak dapat dilakukan secara bersama-sama karena penjatuhan sanksi tersebut terhadap jenis pelanggaran yang berbeda dalam ketentuan UUJN dan UU perubahannya. Sehingga perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan bentuk pertanggungjawaban yang layak dilakukan oleh Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum agar pertanggungjawabannya dirasakan adil khususnya bagi para pihak yang dirugikan maupun bagi Notaris itu sendiri. Sehubungan dengan latar belakang di atas maka mendorong penulis untuk melakukan penelitian serta menuangkan dalam bentuk tesis yang berjudul “Pertanggungjawaban Notaris Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pembuatan Akta Otentik”. Penelitian tentang pertanggungjawaban Notaris merupakan penelitian yang asli dan dapat dipertanggungjawabkan, penulis telah membandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang pertanggungjawaban Notaris. Adapun penelitian yang mirip dengan penelitian ini antara lain : 1. Penelitian yang berjudul “TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM HAL TERJADI PELANGGARAN KODE ETIK” oleh Evie Murniaty Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2010 dengan rumusan masalah bagaimanakah tanggung jawab Notaris dalam hal terjadi pelanggaran kode 12 etik dan bagaimana akibat hukum jika terjadi pelanggaran kode etik oleh Notaris 2. Penelitian yang berjudul “PELAKSANAAN SANKSI PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI NOTARIS OLEH DEWAN KEHORMATAN IKATAN NOTARIS INDONESIA DI KABUPATEN TANGERANG” oleh Sulistiyono, Sarjana Hukum, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2009, dengan rumusan masalah pelanggaran kode etik apa saja yang dilakukan oleh Notaris di Kabupaten Tangerang dan bagaimanakah pelaksanaan sanksi yang dijatuhkan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia sebagai organisasi profesi dapat mengikat terhadap Notaris yang melanggar kode etik di Kabupaten Tangerang. 3. Penelitian yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM NOTARIS DALAM KAITANNYA DENGAN AKTA YANG DIBUATNYA MANAKALA ADA SENGKETA DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pontianak No. 72/pdtg/pn.Pontianak)” oleh Ratih Tri Jayanati Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro tahun 2010 dengan rumusan masalah bagaimana perlindungan hukum Notaris selaku Pejabat Umum yang membuat akta sesuai syarat formil ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris dan apa akibat hukum dari putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan terhadap Notaris. 13 Penelitian tersebut di atas berbeda penulisannya dengan penelitian ini dimana dalam penelitian ini menekankan pada pertanggungjawaban Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum serta kekosongan norma dalam UUJN, UU perubahan atas UUJN dan dalam Kode Etik Jabatan Notaris tentang tidak dicantumkannya ketentuan mengenai komulasi atau penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban yang diberikan terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum, sehingga tesis ini adalah asli, ada unsur kebaruan dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk tanggung jawab Notaris sebagai pejabat umum yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik? 2. Bagaimana akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus sebagai berikut : 1.3.1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memahami Ilmu Pengetahuan khususnya dalam bidang Hukum Kenotariatan berkaitan dengan pertanggungjawaban Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum. 14 1.3.2. Tujuan Khusus Selain memuat tujuan umum, penelitian ini juga memuat tujuan khusus yang ingin diperoleh dari penelitian ini, adapun tujuan khususnya yaitu sebagai berikut : 1 Untuk mengetahui dan menganalisa pertanggungjawaban seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik. 2 Untuk mengetahui dan menganalisa akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik. 1.4. Manfaat Penelitian Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis. 1.4.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum dalam kaitannya dengan mengenai perbuatan Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya. 1.4.2. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pemahaman kepada Notaris agar Notaris dalam menjalankan profesinya, terutama dalam pembuatan akta berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, manfaat lainnya yaitu memberikan 15 pemahaman kepada para pihak tentang akibat hukum akta yang dibuatnya dihadapan Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum. 1.5. Landasan Teoritis Melakukan sebuah penelitian diperlukan adanya landasan teoritis, sebagaimana dikemukakan oleh M. Solly Lubis bahwa landasan teoritis merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, asas maupun konsep yang relevan digunakan untuk mengupas suatu kasus ataupun permasalahan.6 Untuk meneliti mengenai suatu permasalahan hukum, maka pembahasan adalah relevan apabila dikaji menggunakan teori-teori hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum. Teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis dan menerangkan pengertian hukum dan konsep yuridis, yang relevan untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum.7 Teori berasal dari kata teoritik, dapat didefenisikan adalah alur logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat konsep, definisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis. Secara umum, teori mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk menjelaskan (explanation), meramalkan (prediction), dan pengedalian (control) suatu gejala. Menurut pendapat Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai 6 M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, hal. 80. 7 Salim H. S., 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 54. 16 suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.8 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, prediksi atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Untuk itu, orang dapat meletakkan fungsi dan kegunaan teori dalam penelitian sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian. Adapun asas hukum, konsep hukum dan yurisprudensi-yurisprudensi yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitiaan ini adalah asas praduga sah, konsep tujuan hukum Gustav Radbruch dan konsep perlindungan hukum. Sementara itu, teori-teori yang digunakan yaitu teori keadilan, teori pertanggungjawaban dan teori kewenangan. 1.5.1. Asas Praduga Sah Perlindungan hukum terhadap produk hukum seorang Notaris dapat dilindungi dengan adanya suatu asas praduga sah. Asas praduga sah (Vermoeden van Rechtmatigheid atau Presumptio Iustae Causa) adalah asas yang menganggap sah suatu produk hukum sebelum adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan tidak sah. Dengan adanya asas ini maka akta otentik yang dibuat oleh Notaris harus dianggap sah dan mengikat para pihak 8 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 134. 17 sebelum dapat dibuktikan ketidakabsahan dari aspek lahiriah, formal dan materil akta otentik tersebut. Apabila tidak dapat dibuktikan maka akta yang bersangkutan tetap sah mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. Asas ini telah diakui dalam UUJN yang tersebut dalam penjelasan bagian umum yang menegaskan bahwa akta Notaris sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam akta Notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal sebaliknya secara memuaskan di hadapan persidangan pengadilan.9 Asas ini digunakan untuk menganalisis akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik. Dengan asas praduga sah ini akta otentik patut dikatakan sah sebelum ada yang membuktikan akta otentik tersebut tidak sah. 1.5.2. Konsep Tujuan Hukum dan Konsep Perlindungan Hukum Dalam penelitian ini digunakan konsep tujuan hukum dan konsep perlindungan hukum. Konsep tujuan hukum menurut Gustav Radbruch adalah hukum memiliki tujuan yang berorientasi pada 3 hal yaitu keadilan, kemanfaatan, kepastian Hukum.10 Pandangan dari Gustav Radbruch ini dikenal juga dengan teori 3 Nilai Dasar Hukum yang merupakan rechtsidee atau cita hukum yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia. Penelitian hukum ini bermaksud untuk mencapai ketiga tujuan 9 hukum diatas dengan menerapkannya kedalam proses Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, PT. Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat Habib Adjie I), hal. 79. 10 O. Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, hal. 33. 18 pertanggungjawaban Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik. Sedangkan konsep perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon mengemukakan perlindungan hukum dalam kepustakaan hukum bahasa Belanda dikenal dengan sebutan “rechtbescherming van de burgers”11. Pendapat ini menunjukkan kata perlindungan hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yakni “rechsbescherming”. Pengertian kata perlindungan tersebut, terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan. Satijipto Raharjo menyatakan bahwa perlindungan hukum itu adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.12 Sedangkan Philipus M. Hadjon menyebutkan bahwa pada dasarnya perlindungan hukum meliputi dua hal yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif meliputi tindakan yang menuju kepada upaya pencegahan terjadinya sengketa sedangkan perlindungan represif maksudnya adalah perlindungan yang arahnya lebih kepada upaya untuk menyelesaikan sengketa, seperti contohnya adalah penyelesaian sengketa di pengadilan.13 Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya 11 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 1. 12 Ibid, hal. 54. 13 Budi Agus Riswandi dan Sabhi Mahmashani, 2009, Dinamika Hak Kekayaan Intelektual Dalam masyarakat Kreatif, Total Media, Yogyakarta, hal. 12. 19 sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah untuk bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.14 Profesi seorang Notaris harus berpedoman dan tunduk kepada UUJN dan UU perubahan atas UUJN. Landasan filosofis dibentuknya UUJN dan UU perubahan atas UUJN adalah untuk terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, maka Notaris harus dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat yang menggunakan jasa Notaris. Pentingnya peranan Notaris dalam membantu menciptakan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi masyarakat lebih bersifat preventif yaitu bersifat pencegahan terjadinya masalah hukum, dengan cara menerbitkan akta otentik yang dibuat dihadapannya terkait dengan status hukum, hak, dan kewajiban seseorang dalam hukum yang berfungsi sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan apabila terjadi sengketa atas hak dan kewajiban terkait.15 Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris dapat menjadi bukti otentik dalam memberikan perlindungan hukum kepada para pihak manapun yang berkepentingan terhadap akta tersebut mengenai kepastian peristiwa atau kepastian perbuatan hukum itu dilakukan. 14 Maria Alfons, 2010, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang, hal 18. 15 Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hal. 7. 20 1.5.3. Yurisprudensi-yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung nomor 1847K/Pid/2010 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan nomor 1673/Pid.B/2008/PN.Mdn tanggal 18 Pebruari 2009 dan putusan Pengadilan Tinggi Medan nomor 265/PID/2009/PT.MDN tanggal 26 Mei 2009 yang menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun kepada seorang Notaris yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana yaitu membuat akta authentik palsu. Putusan Pengadilan Tinggi Medan nomor 88/PDT/2011/PT-MDN jucto Putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 19 Juli 2010 nomor 297/Pdt.G/2009/PN.Mdn yang menjatuhkan sanksi perdata berupa ganti rugi kepada Notaris atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan dan menimbulkan kerugian kepada para pihak. Putusan Mahkamah Agung nomor 1099 K/PID/2010 jucto putusan Pengadilan Tinggi Medan nomor 82/PID/2010/PT-MDN tanggal 25 Februari 2010 jucto putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 3036/PID.B/2009/PN.Mdn yang menyatakan bahwa Notaris telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik dan menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun. Berdasarkan yurisprudensi-yurisprudensi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik hanya dijatuhi satu jenis pertanggungjawaban dalam bentuk sanksi pidana ataupun sanksi perdata. Tidak disebutkan Notaris dijatuhi sanksi lainya serta tidak adanya suatu komulasi atau penggabungan penerapan 21 sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban Notaris yang membuat akta otentik secara melawan hukum dalam yurisprudensi tersebut. 1.5.4. Teori Keadilan Keadilan berasal dari kata adil yang artinya menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah tidak memihak atau tidak berat sebelah. Sehingga keadilan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang bersifat adil atau perbuatan yang tidak memihak. Keadilan adalah salah satu dari tujuan hukum selain kemanfaatan dan kepastian hukum. Perwujudan keadilan dapat dilihat dalam ruang lingkup kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara. Berbagai macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teoriteori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Teori keadilan Aritoteles, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut prestasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa.16 Teori keadilan merupakan salah satu tujuan hukum seperti apa yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch dalam teori gabungan etis dan utility yang konsep hukumnya adalah hukum bertujuan untuk keadilan, kegunaan dan 16 L.J. Van Apeldoorn, 1996, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita cetakan 26, Jakarta, hal. 11-12. 22 kepastian.17 Teori keadilan John Rawls, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.18 Teori Keadilan Hans Kelsen, dalam bukunya general theory of law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya.19 Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesarbesarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini apat dijawab dengan menggunakan 17 H. Chaerudin, 1999, Filsafat Suatu Ikhtisar, FH UNSUR, Cianjur, hal. 19 18 Pan Mohamad Faiz, 2009, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, Volue 6 Nomor 1, hal. 139-140. 19 Hans Kelsen, 2011, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung, hal. 7. 23 pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.20 Menurut Kahar Masyhur dalam bukunya mengemukakan pendapatpendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terdapat tiga hal tentang pengertian adil. Adil ialah meletakan sesuatu pada tempatnya, menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang dan memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran.21 Teori ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah satu yaitu untuk mencari keadilan yang seadil-adilnya terhadap pertanggungjawaban yang dibebankan kepada Notaris yang telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik khususnya perbuatan Notaris yang telah dijatuhi putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Diharapkan teori ini dapat memberikan rasa adil dalam hal pertanggungjawaban Notaris terhadap perbuatannya yang melawan hukum khususnya bagi para pihak yang dirugikan oleh Notaris atau bagi Notaris itu sendiri dan pada umumnya bagi masyarakat yang akan menggunakan jasa Notaris. Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap seorang Notaris akan semakin besar dan membuat masyarakat merasa aman apabila menggunakan jasa seorang Notaris. 20 Ibid Kahar Masyhur, 1985, Membina Moral dan Akhlak, Kalam Mulia, Jakarta, hal 71. 21 24 1.5.5. Teori Pertanggungjawaban Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).22 Dari pengertian tersebut maka tanggung jawab dapat diartikan sebagai perbuatan bertanggungjawab (pertanggungjawaban) atas perbuatan yang telah dilakukan. Mengenai pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig terdapat dua teori yang melandasinya, yaitu: 23 a. Teori fautes personalles Adalah teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. b. Teori fautes de services Adalah teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini, tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat dan atau kesalahan ringan, berat 22 Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 1139. 23 Sonny Pungus, 2010, Teori Pertanggungjawaban, available from URL: http://Sonnytobelo.blogspot.com/2010/12/teoripertanggungjawaban.html. 25 atau ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung. Seseorang dikatakan secara hukum bertanggung jawab untuk suatu perbuatan hukum tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Menurut teori tradisional, terdapat dua macam pertanggungjawaban yang dibedakan atas pertanggungjawaban atas kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility)24. Pertanggungjawaban atas kesalahan (based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Dalam KUHPerdata, khususnya pada Pasal 1365, Pasal 1366 dan Pasal 1367, prinsip ini dipegang teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan untuk bertanggungjawab secara hukum apabila unsur terdapat unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata yang dikenal sebagai pasal perbuatan melawan hukum mengharuskan empat unsur pokok yang harus dipenuhi yaitu adanya perbuatan, adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita, dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility), prinsip tanggung jawab mutlak adalah suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur kesalahan atau tidak, dalam hal ini pelakunya dapat dimintakan tanggung jawab secara hukum, meskipun dalam 24 Jimly Asshidiqie dan Ali Safaat, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hal. 61. 26 melakukan perbuatannya itu pelaku tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian, kekurang hati-hatian atau ketidakpatutan. Karena itu, tanggung jawab mutlak sering juga disebut dengan tanggung jawab tanpa kesalahan25. Menurut Hans Kelsen di dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan bahwa “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan”.26 Hubungan antara teori pertanggungjawaban ini dengan permasalahan yang penulis angkat adalah walaupun Notaris di dalam menjalankan kewenangannya sebagai pejabat umum telah membuat akta otentik yang baik dan benar serta sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi tidak dipungkiri di dalam menjalankan tugasnya tersebut seorang Notaris bisa saja melakukan kesalahan-kesalahan didalam pembuatan akta yang akan menimbulkan akibat hukum pada para pihaknya. Apabila Notaris melakukan kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan para pihak, maka Notaris tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas kesalahannya tersebut. Sehingga teori pertanggungjawaban ini digunakan untuk menganalisis pertanggungjawaban apa saja yang dapat dibebankan kepada Notaris yang dalam melaksanakan tugas dan jabatannya melakukan perbuatan menyimpang atau perbuatan melawan hukum. Teori ini untuk menjawab rumusan masalah satu yaitu untuk mengetahui jenis pertanggungjawaban seperti apa yang sesuai diberikan kepada Notaris dan 25 26 Munir Fuady I, Op.Cit, hal. 173. Jimly Asshidiqie dan Ali Safaat, Op.Cit, hal. 63. 27 nantinya dapat memberikan kepuasan kepada para pihak yang dirugikan atas perbuatan Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik. 1.5.6. Teori Kewenangan Istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang sering ditemukan dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan dan ilmu hukum. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah (the rule and the ruled).27 Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah bevoegheid dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah bevoegheid. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah bevoegheid digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.28 27 Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 35-36. 28 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 20. 28 Ateng Syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang. Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan.29 Pengertian wewenang secara yuridis adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah : bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer. (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan 29 Ateng Syafrudin, 2002, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas Parahyangan, Bandung, hal. 22. 29 dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik).30 Pengertian kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence). Ada tiga jenis kewenangan dilihat dari cara diperolehnya yaitu kewenangan secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Kewenangan secara atribusi, delegasi, ataupun mandat menurut J.G. Brouwer dan A.E. Schilder, yang mengatakan : a. With atribution, power is granted to an administrative authority by an independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say that is not derived from a previously existing power. The legislative body creates independent and previously non existent powers and assigns them to an authority. b. Delegation is a transfer of an acquired atribution of power from one administrative authority to another, so that the delegate (the body that the acquired the power) can exercise power in its own name. c. With mandate, there is not transfer, but the mandate giver (mandans) assigns power to the body (mandataris) to make decision or take action in its name. J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang berkompeten. Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) 30 Stout HD, de betekenissen van de wet, dalam Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, hal. 4. 30 dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.31 Kewenangan yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan. Jadi dalam atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada, dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris). Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans), tetapi beralih pada penerima delegasi (delegataris). Sementara pada mandat, peneriman mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans. Hal ini karena pada dasarnya penerima mandat ini bukan pihak lain dari pemberi mandat.32 Kewenangan Notaris sebagai pejabat umum yang bertugas membuat akta otentik, termasuk kewenangan secara atribusi karena kewenangan Notaris 31 J.G. Brouwer dan Schilder, 1998, A Survey of Dutch Administrative Law, Nijmegen: Ars Aeguilibri, hal. 16-17. 32 Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 105-106. 31 diberikan oleh undang-undang langsung yaitu Undang-undang nomor 2 tahun 2014 Pasal 15 ayat (1) yang menyatakan Notaris berwenang untuk membuat akta otentik. Dalam kaitannya kewenangan dengan permasalahan yang diangkat adalah apabila Notaris yang diberi kewenangan dalam membuat akta otentik menyalahgunakan wewenangnya tersebut yang mengakibatkan para pihak mengalami kerugian serta dapat mengakibatkan akta otentik yang dibuat oleh Notaris tersebut dapat dibatalkan. Sehingga Notaris dapat dikatakan telah bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Teori kewenangan ini untuk menjawab rumusan masalah kedua. 1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang akan dikaji, maka penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal yakni yang berfokus pada peraturan yang tertulis (law in book)33, yang beranjak dari adanya kekosongan norma dalam ketentuan UUJN dan UU perubahan atas UUJN mengenai komulasi atau penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban yang diberikan terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik. Menurut Peter Mahmud Marzuki, ilmu hukum merupakan ilmu yang normatif. Mempelajari norma-norma hukum merupakan bagian esensial di dalam ilmu 33 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi ke-1 Cet IV, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 118. 32 hukum.34 Sehingga penelitian hukum normatif diartikan sebagai suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, sehingga hasil yang diperoleh tersebut, sudah mengandung nilai.35 Menurut Abdulkadir Muhammad, penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau pelaksanaan.36 1.6.2 Jenis Pendekatan Pendekatan yang dipergunakan dalam tesis ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (The Case Approach). Pendekatan perundangan-undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani. Sedangkan pendekatan kasus adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus 34 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Edisi ke-1 Cet VI, Kencana, Jakarta, hal. 24. 35 Ibid, hal. 35. 36 Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya, Bandung, hal. 102. 33 yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.37 1.6.3 Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini, adalah sebagai berikut : 1. Bahan Hukum Primer terdiri atas : a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004. e) Kode Etik Notaris. 2. Bahan Hukum Sekunder terdiri atas: a) Buku-buku hukum (text book). b) Jurnal-jurnal hukum. c) Karya tulis hukum yang termuat dalam media massa. 3. Bahan Hukum Tertier terdiri atas: a) Kamus hukum. b) Ensiklopedi hukum. c) Internet. 37 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hal. 24. 34 1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah teknik telaah kepustakaan (study document). Teknik tersebut dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum yang dianggap berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian, kemudian melakukan klasifikasi terhadap bahanbahan hukum yang dikumpulkan. Dalam hal ini peneliti mempelajari kepustakaan yang berhubungan dengan pertanggungjawaban Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum. 1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis yang digunakan terhadap bahan-bahan hukum yang telah terkumpul untuk menyelesaikan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah dilakukan dengan teknik deskriptif dan teknik interpretasi yaitu sebagai berikut : 1. Teknik deskriptif merupakan langkah pertama yang dipergunakan dalam menganalisa, karena teknik deskriptif adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskriptif berarti menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. 2. Teknik interpretasi (penafsiran) menurut Sudikno Mertokusumo merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan gamblang tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaidah dalam undang- 35 undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu.38 Teknik interprestasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi gramatikal (tata bahasa) dan interpretasi sistematis. - Interpretasi gramatikal disebut juga penafsiran tata bahasa, adalah menafsirkan kata kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa.39 Bahasa merupakan sarana yang dipakai pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu pembuat undang-undang harus memilih kata-kata yang jelas dan tidak dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Titik tolak dalam penafsiran menurut bahasa adalah bahasa sehari-hari. - Interprestasi sistematis ialah dengan melihat hubungan diantara aturan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang saling bergantungan.40 Suatu peraturan hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait dengan peraturan hukum lain. Dengan interpretasi sistematis dalam menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang dari sistem peraturan perundangundangan. 38 Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 61. 39 Ibid, hal. 63. 40 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hal. 112. 36 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Notaris Notaris berasal dari kata "nota literaria" yaitu tanda tulisan atau karakter yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang disampaikan narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud merupakan tanda yang dipakai dalam penulisan cepat (stenografie). Awalnya jabatan Notaris hakikatnya ialah sebagai pejabat umum (private notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan kepastian hubungan Hukum Perdata, jadi sepanjang alat bukti otentik tetap diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan Notaris akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat.41 Notaris seperti yang dikenal di zaman Belanda sebagai Republik der Verenigde Nederlanden mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya Oost Ind. Compagnie di Indonesia.42 Pengertian Notaris dalam ketentuan Pasal 1 Instructie voor De Notarissen in Indonesia, menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang harus mengetahui seluruh perundang-undangan yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan 41 G.H.S Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement), Penerbit Erlangga, Jakarta, hal. 41. 42 Ibid, hal. 15. 37 tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grossenya, demikian juga salinannya yang sah dan benar.43 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Notaris mempunyai arti orang yang mendapat kuasa dari pemerintah berdasarkan penunjukan (dalam hal ini adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta, dan sebagainya.44 Menurut Matome M. Ratiba dalam bukunya Convecaying Law for Paralegals and Law Students menyebutkan : “Notary is a qualified attorneys which is admitted by the court and is an officer of the court in both his office as notary and attorney and as notary he enjoys special privileges.”45 Terjemahannya yaitu Notaris adalah pengacara yang berkualifikasi yang diakui oleh pengadilan dan petugas pengadilan baik di kantor sebagai Notaris dan pengacara dan sebagai Notaris ia menikmati hak-hak istimewa. Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga 43 Ibid, hal. 20. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Cetakan ke-3, Jakarta, 1990, hal. 618. 45 Matome M. Ratiba, 2013, Convecaying Law for Paralegals and Law Students, bookboon.com, hal. 28. 44 38 ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.46 Mendasarkan pada nilai moral dan nilai etika Notaris, maka pengembanan jabatan Notaris adalah pelayanan kepada masyarakat (klien) secara mandiri dan tidak memihak dalam bidang kenotariatan yang pengembanannya dihayati sebagai panggilan hidup bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia demi kepentingan umum serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat manusia pada umumnya dan martabat Notaris pada khususnya.47 Menurut G.H.S. Lumban Tobing memberikan pengertian Notaris yaitu Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.48 Sedangkan menurut Colenbrunder, Notaris adalah pejabat yang berwenang untuk atas permintaan mereka yang menyuruhnya mencatat semua 46 Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat Habib Adjie II), hal. 13. 47 Herlien Budiono, 2007, Notaris dan Kode Etiknya, Upgrading dan Refreshing Course Nasional Ikatan Notaris Indonesia, Medan, hal. 3. 48 G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 31. 39 yang dialami dalam suatu akta dan menyaksikan (comtuleert) dalam akta tentang keadaan sesuatu barang yang ditunjukkan kepadanya oleh kliennya.49 Pengertian Notaris dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menentukan “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undangundang lainnya.” Menurut Habib Adjie, Notaris merupakan suatu jabatan publik yang mempunyai karakteristik yaitu sebagai Jabatan, artinya UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN. Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara. Menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.50 Karakteristik kedua Notaris mempunyai kewenangan tertentu, artinya setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak bertabrakan 49 Engelbrecht De Wetboeken wetten en Veroordeningen, Benevens de Grondwet van de Republiek Indonesie, Ichtiar Baru-Van Voeve, 1998, Jakarta, hal. 882. 50 Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 32-34. 40 dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) UU perubahan atas UUJN.51 Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam Pasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UU perubahan atas UUJN). Notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya, yaitu pemerintah. Dengan demikian, Notaris dalam menjalankan jabatannya harus bersifat mandiri (autonomous), tidak memihak siapa pun (impartial), tidak tergantung kepada siapa pun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain. Notaris tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya. Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak menerima gaji maupun uang pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.52 51 52 Habib Adjie I, Loc.Cit. Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 35-36. 41 Kewenangan Notaris sebagai penjabaran dari Pasal 1 angka 1 UU perubahan atas UUJN terdapat dalam Pasal 15 UU perubahan atas UUJN yang tersirat sebagai berikut : 1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang. 2) Notaris berwenang pula : a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinanyang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan. d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya. e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. g. Membuat akta risalah lelang. 3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Seorang Notaris dalam menjalankan profesinya memiliki kewajibankewajiban yang sebagaimana diatur dalam Bab III bagian kedua UU perubahan atas UUJN. Seorang Notaris wajib bertindak jujur, seksama dan tidak memihak. Kejujuran merupakan hal yang penting karena jika seorang Notaris bertindak dengan ketidakjujuran maka akan banyak kejadian yang merugikan klien bahkan akan menurunkan ketidakpercayaan klien terhadap Notaris tersebut. Keseksamaan 42 bertindak merupakan salah satu hal yang juga harus selalu dilakukan seorang Notaris.53 Selain itu juga dalam melaksanakan jabatannya Notaris juga berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan klien, membuat dokumen atau akta yang diminta oleh klien, membuat daftar akta-akta yang dibuatnya, membacakan akta di hadapan para pihak, dan menerima karyawan magang di kantornya. Mengenai kewajiban Notaris ini diatur secara lengkap dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU perubahan atas UUJN, yakni : 1 Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib : a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris. c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta. d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta. e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya. f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain. g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku. h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga. i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan. j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya. 53 Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa Sukses, Jakarta, hal. 41. 43 k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan. l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan. m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris. n. Menerima magang calon Notaris. 2 Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta in originali. 3 Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi : a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun. b. Akta penawaran pembayaran tunai. c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga. d. Akta kuasa. e. Akta keterangan kepemilikan. f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur yaitu perilaku Notaris harus memiliki integritas moral yang mantap, harus jujur bersikap terhadap klien maupun diri sendiri, sadar akan batas-batas kewenangannya dan tidak bertindak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang.54 Jabatan yang dipangku Notaris adalah jabatan kepercayaan dan justru oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepadanya. Sebagai seorang kepercayaan, Notaris berkewajiban untuk merahasiakan semua apa yang diberitahukan kepadanya selaku Notaris.55 Kewajiban merahasiakan dapat dilakukan dengan upaya penuntutan hak ingkar, yang merupakan pengecualian terhadap ketentuan dalam Pasal 1909 KUHPerdata bahwa setiap 54 Liliana Tedjosaputro, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, hal. 93. 55 G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 117. 44 orang yang dipanggil sebagai saksi wajib memberikan kesaksian di muka pengadilan. Selain itu juga, Notaris dalam melaksanakan jabatannya dituntut untuk dapat memenuhi dan mentaati ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam UUJN dan UU perubahan atas UUJN. Akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris diharapkan mampu menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Notaris, agar Notaris tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran yang ditentukan dalam UUJN. Menurut R. Soegondo mengemukakan bahwa untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang advokat, meski pun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena itu tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Sebaliknya seorang pegawai catatan sipil (Ambtenaar van de Burgerlijke Stand) meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta kelahiran, akta perkawinan, akta kematian. Demikian itu karena ia oleh undang-undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu.56 Menurut G.H.S. Lumban Tobing mengemukakan bahwa akta yang dibuat oleh Notaris dapat merupakan suatu akta yang memuat relaas atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat 56 R. Soegondo, 1982, Hukum Notariat di Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta, hal. 43. 45 atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni Notaris sendiri, di dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris. Akta yang dibuat sedemikian dan memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan dan dialaminya itu dinamakan akta yang dibuat oleh Notaris sebagai pejabat umum. Akan tetapi akta Notaris dapat juga berisikan suatu cerita dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain di hadapan Notaris, artinya yang diterangkan atau diceritakan oleh pihak lain kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di hadapan Notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan perbuatan itu di hadapan Notaris, agar keterangan atau perbuatan itu dikonstatir oleh Notaris dalam suatu akta otentik. Akta sedemikian dinamakan akta yang dibuat di hadapan (ten overtaan) Notaris.57 Nilai pembuktian akta otentik merupakan salah satu langkah dalam proses beracara dalam perkara perdata dan pidana. Pembuktian diperlukan karena adanya bantahan atau penyangkalan dari pihak lawan atau untuk membenarkan sesuatu hak yang menjadi sengketa adalah suatu peristiwa atau hubungan hukum yang mendukung adanya hak.58 Apa yang tersebut mengenai isi dari akta otentik diaggap benar kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Kekuatan pembuktian sempurna, mengandung arti bahwa isi akta itu dalam pengadilan dianggap benar sampai ada bukti perlawanan yang melumpuhkan akta tersebut. Beban pembuktian perlawanan itu jatuh pada pihak lawan dari pihak yang menggunakan akta otentik atau akta di bawah tangan tersebut. 57 58 G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 51. Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 129. 46 2.2 Perbuatan Melawan Hukum Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad) sebelumnya diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Menurut ajaran yang sempit sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menuntut ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat. Perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas yakni mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan salah satu dari berikut: 1 2 3 4 Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik.59 Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain adalah melanggar hak-hak seseorang yang diakui oleh hukum, tetapi tidak terbatas pada hak-hak yaitu hak-hak pribadi (persoonlijkheidsrechten), hak kekayaan (vermosgensrecht), hak atas kebebasan dan hak atas kehormatan dan nama baik.60 Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri adalah suatu kewajiban hukum yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik hukum tertulis maupun 59 60 Munir Fuady I, Op.Cit, Hal. 6. Munir Fuady I, Op.Cit, hal. 8. 47 hukum tidak tertulis. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan adalah tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, manakala tindakan melanggar kesusilaan tersebut telah terjadi kerugian bagi pihak lain maka pihak yang menderita kerugian tersebut dapat meminta ganti kerugian berdasarkan atas perbutan melawan hukum seperti yang terkadung dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Perbuatan yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik atau yang disebut dengan istilah zorgvuldigheid juga dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Jadi, jika seseorang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, tidak secara melanggar pasal-pasal dari hukum yang tertulis mungkin masih dapat dijerat dengan perbuatan melawan hukum, karena tindakannya tersebut bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat. Keharusan dalam pergaulan masyarakat tersebut tentunya tidak tertulis, tetapi diakui oleh masyarakat yang bersangkutan.61 Rosa Agustina menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum dapat dijumpai baik dalam ranah Hukum Pidana (publik) maupun dalam ranah Hukum Perdata (privat). Sehingga dapat ditemui istilah melawan Hukum Pidana begitupun melawan Hukum Perdata. Dalam konteks itu jika dibandingkan maka kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan adanya persamaan dan 61 Munir Fuady I, Loc.Cit. 48 perbedaan.62 Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu adalah untuk dikatakan melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan hukum yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua melawan hukum tersebut pada prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan (interest) hukum. Perbedaan pokok antara kedua melawan hukum tersebut, apabila melawan Hukum Pidana lebih memberikan perlindungan kepada kepentingan umum (public interest), hak obyektif dan sanksinya adalah pemidanaan. Sementara melawan Hukum Perdata lebih memberikan perlindungan kepada private interest, hak subyektif dan sanksi yang diberikan adalah ganti kerugian (remedies). Sementara menurut M.A. Moegni Djojodordjo, Mariam Darus Badrulzaman, Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, I.S. Adiwimarta, dan Setiawan, menerjemahkannya menjadi perbuatan melawan hukum. Penterjemahan onrechtmatige daad sebagai perbuatan melawan hukum lebih tepat dibandingkan perbuatan melanggar hukum. Pertama, dalam kata melawan melekat sifat aktif dan pasif. Kedua, kata itu secara subtansif lebih luas cakupannya dibandingkan dengan kata melanggar. Maksudnya adalah bahwa dalam kata melawan dapat mencakup perbuatan yang didasarkan, baik secara sengaja maupun lalai. Sementara kata melanggar cakupannya hanya pada perbuatan yang berdasarkan kesengajaan saja. Beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut : 62 Rosa Agustina, Op.Cit, hal. 14. 49 1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi contractual yang menerbitkan hak untuk meminta ganti rugi. 2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum yang mana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bisa juga perbuatan yang merupakan suatu kecelakaan. 3. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi. 4. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak atau wanprestasi terhadap kewajiban trust ataupun wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya. 5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak atau lebih tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual. 6. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum dan karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan. 7. Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak seperti juga kimia bukan suatu fisika atau matematika.63 Perbuatan melawan hukum dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1365 hingga Pasal 1380. Meskipun pengaturan perbuatan melawan hukum dalam KUHPerdata hanya 15 pasal, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa gugatan perdata di pengadilan didominasi oleh gugatan perbuatan melawan hukum disamping gugatan wanprestasi. Terminologi perbuatan melawan hukum 63 Munir Fuady, 2005, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat,Notaris, Kurator, dan Pengurus, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Munir Fuady II), hal. 4. 50 merupakan terjemahan dari kata onrechtmatige daad (bahasa Belanda) atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah tort. Perbuatan melawan hukum lebih diartikan sebagai sebuah perbuatan melukai (injury) daripada pelanggaran terhadap kontrak (breach of contract). Apalagi perbuatan melawan hukum umumnya tidak didasari dengan adanya hubungan hukum kontraktual. Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu perbuatan melawan hukum karena kesengajaan, perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian) dan perbuatan melawan hukum karena kelalaian64 Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Menurut Rahmat Setiawan perbuatan melawan hukum adalah setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam undang-undang, sehingga sifatnya terbatas. Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum adalah tidak demikian. Undang64 Ibid, hal. 3. 51 undang hanya menetukan satu pasal umum, yang memberikan akibat-akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum.65 Jadi pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas. Perbuatan melawan hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar kaidah hak subjektif orang lain, tetapi juga perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda warga masyarakat. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ada 4 unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yaitu : 1. Adanya Perbuatan Melawan Hukum Dikatakan perbuatan melawan hukum, tidak hanya hal yang bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga jika berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang memenuhi salah satu unsur berikut yaitu berbertentangan dengan hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan keharusan (kehatihatian, kepantasan, kepatutan) yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda. 2. Adanya unsur kesalahan Unsur kesalahan dalam hal ini dimaksudkan sebagai perbuatan dan akibatakibat yang dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku. 65 Rachmat Setiawan, Op.Cit, hal. 15. 52 3. Adanya kerugian Yaitu kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum tidak hanya dapat mengakibatkan kerugian uang saja, tetapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup. 4. Adanya hubungan sebab akibat Unsur sebab-akibat dimaksudkan untuk meneliti adalah hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan sehingga si pelaku dapat dipertanggungjawabkan. 2.3 Pertanggungjawaban Hukum Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang secara etimologi berarti kewajiban terhadap segala sesuatunya atau fungsi menerima pembebanan sebagai akibat tindakan sendiri atau pihak lain. Sedangkan pengertian tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Untuk memperoleh atau meningkatkan kesadaran bertanggung jawab perlu ditempuh usaha melalui pendidikan, penyuluhan, keteladanan dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas dasar ini, dikenal beberapa jenis tanggung jawab, yaitu : 1. Tanggung jawab terhadap diri sendiri Tanggung jawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran tiap orang untuk memenuhi kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadian sebagai manusia pribadi. Dengan demikian bisa memecahkan masalahmasalah kemanusiaan mengenai dirinya sendiri, menurut sifat dasarnya manusia adalah mahluk bermoral, tapi juga seorang pribadi. Karena 53 merupakan seorang pribadi maka manusia mempunyai pendapat sendiri, perasaan dan angan-angan sendiri, sebagai perwujudan dari itu, manusia berbuat dan bertindak. Dalam hal ini manusia tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan baik disengaja maupun tidak disengaja. 2. Tanggung jawab terhadap masyarakat Pada hakekatnya manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan manusia lainnya, sesuai dengan kedudukannya sebagai mahluk sosial. Karena membutuhkan manusia lain maka ia harus berkomunikasi dengan manusia lain tersebut. Sehingga dengan demikian manusia disini merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung jawab seperti anggota masyarakat yang lain agar dapat melangsungkan hidupnya dalam masyarakat tersebut. Wajarlah apabila segala tingkah laku dan perbuatannya harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat 3. Tanggung jawab kepada bangsa dan Negara Suatu lagi kenyataan bahwa tiap manusia, tiap individu adalah warga Negara suatu Negara. Dalam berpikir, bertindak, berbuat, bertingkah laku manusia terikat oleh norma-norma atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh Negara. Manusia tidak dapat berbuat semaunya sendiri. Bila perbuatan manusia itu salah, maka ia harus bertanggung jawab kepada Negara. 4. Tanggung jawab terhadap Tuhan Tuhan menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggung jawab, melainkan mengisi kehidupannya, manusia mempunyai tanggung jawab langsung, sebab dengan mengabaikan perintah-perintah Tuhan berarti mereka meninggalkan tanggung jawab yang seharusnya manusia terhadap Tuhan sebagai penciptanya, bahkan untuk memenuhi tanggung jawabnya, manusia memerlukan pengorbanan.66 Menurut Hans Kelsen dalam bukunya membagi pertanggungjawaban menjadi empat macam yaitu: 1. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri. 2. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. 66 Hans Kelsen, terjemahan Raisul Mutaqien, 2006, Teori Hukum Murni, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hal 140. 54 3. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian. 4. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.67 Menurut kamus hukum ada 2 istilah pertanggungjawaban yaitu liability (thestate of being liable) dan responsibility (the state or fact being responsible). Liability merupakan istilah hukum yang luas, dimana liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Liability juga merupakan kondisi tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial, kondisi bertanggung jawab terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau beban. Kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang dengan segera atau pada masa yang akan datang. Sedangkan responsibility berarti hal dapat dipertanggungjawabkan atau suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan, dan kecakapan. Responsibility juga berarti kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan yang telah ditimbulkannya.68 67 Ibid. Ridwan HR., 2007, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 335-336. 68 55 Tanggung jawab hukum menurut KUHPerdata adalah tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata dan tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1367 KUHPerdata.69 Sedangkan bentuk pertanggungjawaban dalam Hukum Perdata dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu pertanggungjawaban kontraktual dan pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum. Perbedaan antara tanggung jawab kontraktual dengan tanggung jawab perbuatan melawan hukum adalah apakah dalam hubungan hukum tersebut terdapat perjanjian atau tidak. Apabila terdapat perjanjian tanggung jawabnya adalah tanggung jawab kontraktual. Sementara apabila tidak ada perjanjian namun terdapat satu pihak merugikan pihak lain, pihak yang dirugikan dapat menggugat pihak yang merugikan untuk bertanggung jawab dengan dasar telah melakukan perbuatan melawan hukum. Tanggung jawab kontraktual didasarkan adanya hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual adalah hubungan hukum yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, yaitu menimbulkan hak dan kewajiban terhadap para pihak dalam perjanjian. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya dan karenanya menimbulkan kerugian bagi pihak lain, pihak yang dirugikan tersebut dapat mengugat dengan dalil wanprestasi. Pengertian umum 69 Munir Fuady II, Op.Cit, hal. 4. 56 tentang wanprestasi adalah tidak terlaksananya perjanjian karena kelalaian salah satu pihak. Bentuk dari kelalaian tersebut dapat berupa sama sekali tidak melaksanakan prestasi, terlambat melaksanakan prestasi atau keliru dalam melaksanakan prestasi. Konsekuensi hukum dari wanprestasinya adalah keharusan bagi salah satu pihak untuk membayar ganti rugi. Adanya suatu wanprestasi salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian atau pemenuhan perjanjian. Gugatan wanpretasi bertujuan menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian terlaksana (pay on time). Ganti rugi yang diberikan tersebut adalah kehilangan keuntungan yang diharapkan (expectation loss). KUHPerdata mengatur hal tersebut pada Pasal 1244, Pasal 1245 dan Pasal 1246 KUHPerdata, ganti rugi terdiri dari biaya, rugi dan bunga. Pengertian dari biaya adalah segala pengeluaran yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditur akibat dari wanprestasinya debitur. Rugi adalah kerugian yang ditanggung oleh kreditur akibat wanprestasinya debitur. Sementara bunga adalah kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh kreditur terhadap suatu hubungan hukum. Ganti rugi dalam tanggung jawab kontraktual adalah ganti rugi yang merupakan akibat langsung wanprestasi. Dengan kata lain, ada hubungan sebab akibat atau causal-verband antara kerugian yang diderita dengan perbuatan wanprestasi, kerugian harus merupakan akibat langsung dari wanprestasi. Tanggung jawab perbuatan melawan hukum hadir untuk melindungi hak-hak seseorang. Hukum dalam perbuatan melawan hukum menggariskan 57 hak-hak dan kewajiban-kewajiban saat seseorang melakukan perbuatan baik kesalahan atau kelalaian atau melukai orang lain dan perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain. Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal 1365 KUHPerdata ini menentukan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian.70 Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) berwenang membuat akta otentik. Sehubungan dengan kewenangannya tersebut Notaris dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya dalam membuat akta otentik. Tanggung jawab Notaris sebagai pejabat umum meliputi tanggung jawab profesi Notaris itu sendiri yang berhubungan dengan akta, diantaranya yang pertama, tanggung jawab Notaris secara perdata atas akta dibuatnya, dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap kebenaran materiil akta, dalam konstruksi perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum disini dalam sifat aktif maupun pasif. Aktif, dalam artian melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Sedangkan pasif, dalam artian tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian. Jadi unsur dari perbuatan melawan hukum disini yaitu adanya suatu perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan. 70 R. Subekti dan Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 346. 58 Perbuatan melawan hukum disini diartikan luas, yaitu suatu perbuatan tidak saja melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak orang lain dan menimbulkan kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari. Tanggung jawab Notaris dalam ranah Hukum Perdata ini, termasuk didalamnya adalah tanggung jawab perpajakan yang merupakan kewenangan tambahan Notaris yang diberikan oleh UU Perpajakan. Kedua, tanggung jawab Notaris secara pidana atas akta dibuatnya. Pidana dalam hal ini adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh Notaris dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta, bukan dalam konteks individu sebagai warga negara pada umumnya. Ketiga tanggung jawab Notaris berdasarkan peraturan jabatan Notaris (UUJN) dan terakhir tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarka kode etik Notaris. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 UUJN tentang sumpah jabatan Notaris.71 Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas profesinya bahwa Notaris sebagai pejabat umum tugas utamanya ialah dalam pembuatan akta otentik, kalau Notaris menjalankan tugas jabatannya sesuai Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), UU perubahan atas UUJN dan peraturan perundangan di 71 Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia (Perspektif Hukum dan Etika), UII Press cetakan pertama, Yogyakarta, hal. 35-49. 59 dalam pembuatan akta, maka secara materiil dalam suasana formal sudah memenuhi persyaratan dan menjalankan tugas dengan baik. Contohnya yaitu apabila para pihak meminta pembuatan suatu akta, maka pernyataan yang disampaikan oleh Notaris adalah Notaris tinggal menkonstatir di dalam suatu akta. Notaris bertanggung jawab atas apa yang disampaikan atau diberi keterangan oleh yang bersangkutan tetapi tidak bertanggung jawab atas kebenaran dari materi yang disampaikan. Tanggung jawab secara lain ialah Notaris harus bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Merahasiakan sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah atau janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.72 Tuntutan tanggung jawab terhadap Notaris muncul sejak terjadinya sengketa berkaitan dengan akta yang telah dibuat dengan memenuhi unsur-unsur dalam perbuatan melawan hukum meliputi perbuatan manusia yang memenuhi rumusan peraturan perundang-undangan, artinya berlaku asas legalitas, nulum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal tersebut tidak atau belum dinyatakan dalam aturan undang-undang), dan perbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum. Konsep pertanggungjawaban ini apabila dikaitkan dengan profesi Notaris, maka Notaris dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan dan kelalaiannya dalam pelaksanaan tugas dan jabatannya. 72 Peter Tamba Simbolon, 2008, Pembatalan Akta Notariil Dalam Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Semarang, Tesis, Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 82-83. 60 Pertanggungjawaban Notaris dapat dibagi menjadi pertanggungjawaban secara pidana, administrasi dan perdata. Ketiga jenis pertanggungjawaban tersebut ditentukan oleh sifat pelanggaran (melawan hukumnya perbuatan) dan akibat hukumnya. Bentuk pertanggungjawaban pidana selalu bersanksi pidana. Pertangungjawaban administrasi selalu bersanksi administrasi, dan pertanggungjawaban perdata ditujukan pada pengembalian kerugian keperdataan, akibat dari wanprestasi atau onrechtsmatige daad. Pada dasarnya setiap bentuk pelanggaran selalu mengandung sifat melawan hukum dalam perbuatan itu. Dalam hal sifat melawan hukum tindak pidana, selalu membentuk pertanggunggjawaban pidana sesuai tindak pidana tertentu yang dilanggarnya. Sementara sifat melawan Hukum Administrasi dan Hukum Perdata, sekedar membentuk pertanggungjawaban administrasi dan perdata saja sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. 61 BAB III TANGGUNG JAWAB NOTARIS YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN AKTA OTENTIK 3.1. Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris 3.1.1. Tanggung Jawab secara Perdata Tanggung jawab secara perdata seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum, dalam hal ini menyangkut mengenai tanggung jawab terhadap akta yang dibuat oleh Notaris secara melawan hukum. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan Notaris disini dalam diartikan dalam sifat aktif maupun sifat pasif. Artian aktif yaitu Notaris melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Sedangkan dalam artian pasif, Notaris tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian. Jadi unsur dari perbuatan melawan hukum disini yaitu adanya suatu perbuatan yang diilakukan secara melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan. Perbuatan melawan hukum disini diartikan luas, yaitu suatu perbuatan tidak saja melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak orang lain dan menimbulkan kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari. 62 Notaris melakukan perbuatan melawan hukum dapat didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu. Sehingga pasal tersebut merupakan dasar untuk menyatakan perbuatan yang dilakukan Notaris merupakan perbuatan melawan hukum. Notaris dapat dikatakan melanggar hak subyektif orang lain apabila melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik, menurut Meyers hak subyektif adalah wewenang khusus yang diberikan oleh hukum pada seseorang dimana dapat memperolehnya demi kepentingannya. Hak subyektif terdiri dari hak kebendaan dan absolute, hak pribadi yang meliputi hak untuk mempunyai integritas terhadap jiwa dan kehidupan, hak atas kebendaan pribadi, hak atas kehormatan dan hak istimewa juga nama baik.73 Unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan Notaris harus juga memuat mengenai adanya kerugian (Schade) yang ditimbulkan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris. Seseorang yang mengalami kerugian akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh orang lain berhak mengajukan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya kepada pengadilan negeri. Ganti rugi yang diminta dapat berupa ganti rugi yang bersifat materiil dan immateriil. Hakimlah yang menentukan berapa sepantasnya pihak yang menderita 73 M.A Moegni Djojodirjo, 1982, Perbuatan melawan hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 21. 63 kerugian itu harus dibantu ganti ruginya, sekalipun pihak yang mengalami kerugian menuntut ganti rugi dalam jumlah yang tidak pantas. Kesalahan Notaris dalam membuat akta sehingga menyebabkan pihak lain mengalami kerugian dapat termasuk perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Adapun syarat perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum yaitu adanya perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, harus ada kesalahan, dan harus ada hubungan sebab dan akibat antara perbuatan dan kerugian. Sedangkan unsur dari perbuatan melawan hukum ini meliputi adanya suatu perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan. Akibat adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan Notaris dalam pembuatan akta otentik menimbulkan adanya pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh seorang Notaris. Dalam pertanggungjawaban seorang Notaris secara perdata, hakim dalam menangani perkara perdata yang melibatkan Notaris mencari suatu kebenaran formil dari akta otentik yaitu kebenaran dari apa yang diperoleh berdasarkan apa yang dikemukakan oleh para pihak. Kebenaran ini digali dari fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak. Kebenaran dalam ranah perdata sangat tergantung dari para pihak. Berbeda dengan ranah Hukum Pidana yang mencari adalah kebenaran materiil. Hakim tidak tergantung kepada apa yang dikemukakan oleh jaksa penuntut umum maupun oleh penasihat hukum terdakwa. Hakim bersifat aktif mencari kebenaran yang menurut fakta yang sebenarnya, bukan menurut apa yang dikemukakan oleh jaksa penuntut umum maupun penasihat hukum terdakwa. 64 Peran Notaris disini hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta. Notaris hanya mengkonstatir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan syarat-syarat formil pembuatan akta otentik kemudian menuangkannya ke dalam akta. Notaris tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran isi materiil dari akta otentik tersebut. Hal ini mewajibkan Notaris untuk bersikap netral dan tidak memihak serta memberikan semacam nasihat hukum bagi klien yang meminta petunjuk hukum pada Notaris yang bersangkutan. Namun Notaris dapat juga dipertanggung jawabkan atas kebenaran materiil suatu akta bila nasihat hukum yang diberikannya ternyata dikemudian hari merupakan suatu yang keliru. Serta apabila dalam pembuatan akta tersebut ternyata Notaris tidak memberikan akses mengenai suatu hukum tertentu yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya sehingga salah satu pihak merasa tertipu atas ketidaktahuannya. Untuk itulah disarankan bagi Notaris untuk memberikan informasi hukum yang penting yang selayaknya diketahui klien sepanjang yang berurusan dengan masalah hukum. Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa ada hal lain yang juga harus diperhatikan oleh Notaris, yaitu yang berkaitan dengan perlindungan hukum Notaris itu sendiri, dengan adanya ketidakhati-hatian dan kesungguhan yang dilakukan Notaris, sebenarnya Notaris telah membawa dirinya pada suatu perbuatan yang oleh undang-undang harus dipertanggungjawabkan. Jika suatu kesalahan yang dilakukan oleh Notaris dapat dibuktikan, maka Notaris 65 dapat dikenakan sanksi berupa ancaman sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang. Sanksi merupakan alat pemaksa, selain hukuman, juga untuk menaati ketetapan yang ditentukan dalam peraturan atau perjanjian. Sanksi juga diartikan sebagai alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat kepada perjanjian. Sanksi merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan pada norma Hukum Administrasi. Dengan demikian unsur-unsur sanksi yaitu sebagai alat kekuasaan, bersifat hukum publik, digunakan oleh penguasa dan sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan. Hakekatnya sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa suatu tindakan yang dilakukannya telah tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan untuk mengembalikan yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, juga untuk menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan hukum. Sanksi yang ditujukan terhadap Notaris juga merupakan penyadaran, bahwa Notaris dalam melakukan tugas dan jabatannya telah melanggar ketentuanketentuan mengenai pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris sebagaimana tercantum dalam UUJN dan UU perubahan atas UUJN, serta untuk mengembalikan tindakan Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya untuk tertib sesuai dengan UUJN dan UU perubahan atas UUJN. Pemberian sanksi terhadap Notaris juga untuk melindungi masyarakat dari tindakan Notaris yang dapat merugikan masyarakat, misalnya membuat akta yang 66 tidak melindungi hak-hak para pihak. Sanksi tersebut juga untuk menjaga martabat lembaga Notaris sebagai lembaga kepercayaan, karena jika Notaris melakukan pelanggaran, dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Notaris. Secara individu diberikannya sanksi terhadap Notaris merupakan suatu pertaruhan dari jabatan seorang Notaris yang menjalankan tugas dan jabatannya, apakah dikemudian hari masyarakat masih mau mempercayakan pembuatan akta terhadap Notaris yang bersangkutan atau tidak. UUJN dan UU perubahan atas UUJN yang mengatur jabatan Notaris berisikan ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa atau merupakan suatu aturan hukum yang imperatif untuk ditegakkan terhadap Notaris yang telah melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas dan jabatannya. Sanksi yang diberikan yang diberikan terhadap pertanggungjawaban perdata seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum pembuatan akta otentik adalah sanksi perdata. Sanksi ini berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga merupakan akibat yang akan diterima Notaris atas tuntutan para penghadap yang merasa dirugikan atas pembuatan akta oleh Notaris. Penggantian biaya, ganti rugi atau bunga harus didasarkan pada suatu hubungan hukum antara Notaris dengan para pihak yang menghadap Notaris. Jika ada pihak yang merasa dirugikan sebagai akibat langsung dari suatu akta Notaris, maka yang bersangkutan dapat menuntut secara perdata terhadap Notaris. Dengan demikian, tuntutan penggantian biaya, ganti rugi dan bunga terhadap Notaris tidak berdasarkan atas penilaian atau kedudukan suatu alat bukti yang berubah karena melanggar ketentuan-ketentuan tertentu, tetapi hanya dapat didasarkan pada 67 hubungan hukum yang ada atau yang terjadi antara Notaris dengan para penghadap. Pasal 41 UU perubahan atas UUJN menentukan adanya sanksi perdata, jika Notaris melakukan perbuatan melawan hukum atau pelanggaran terhadap Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 UU perubahan atas UUJN maka akta Notaris hanya akan mempunyai pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Akibat dari akta Notaris yang seperti itu, maka dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris. Kedudukan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan merupakan nilai dari sebuah pembuktian yang tidak dapat dituntut dengan ganti rugi dalam bentuk apapun. Demikian juga dengan batalnya akta demi hukum, jika sudah batal demi hukum maka akta tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah dibuat. Jika demikian bahwa tuntutan biaya, ganti rugi dan bunga bukan sebagai akibat seperti itu, tapi karena ada hubungan hukum antara Notaris dan para pihak yang menghadap Notaris. Hubungan hukum merupakan suatu hubungan yang akibatnya diatur oleh hukum. Hubungan hukum Notaris dan para penghadap merupakan hubungan hukum yang khas, dengan karakter sebagai berikut : a. Tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tertulis dalam pemberian kuasa untuk membuat akta atau untuk melakukan pekerjaanpekerjaan tertentu. b. Mereka yang datang ke hadapan Notaris, dengan anggapan bahwa Notaris mempunyai kemampuan untuk membantu memformulasikan keinginan para pihak secara tertulis dalam bentuk akta otentik. 68 c. Hasil akhir dari tindakan Notaris berdasarkan kewenangan Notaris yang berasal dari permintaan atau keinginan para pihak sendiri. d. Notaris bukan pihak dalam akta yang bersangkutan.74 Hubungan hukum antara Notaris dan para penghadap yang telah membuat akta di hadapan Notaris atau oleh Notaris tidak dapat dikontruksikan atau ditentukan pada awal Notaris dan para penghadap berhubungan, karena pada saat itu belum terjadi permasalahan apapun. Untuk menentukan bentuk hubungan Notaris dengan para penghadap harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1869 KUHPerdata, bahwa akta otentik terdegradasi menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dengan alasan tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, tidak mempunyai pejabat umum yang bersangkutan, cacat dalam bentuknya atau akta Notaris dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum. Kemudian hal ini dapat dijadikan dasar untuk menggugat Notaris sebagai suatu perbuatan melawan hukum atau dengan kata lain hubungan Notaris dan para penghadap dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum, karena Notaris tidak berwenang membuat akta yang bersangkutan dan akta Notaris cacat dalam bentuknya. Tuntutan terhadap Notaris dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga sebagai akibat akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau batal demi hukum, berdasarkan adanya hubungan hukum yang khas antara Notaris dengan para penghadap dengan sebagai perbuatan melawan hukum dan ketidakcermatan, ketidaktelitian, ketidaktepatan dalam 74 Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 102. 69 teknik administratif membuat akta berdasarkan UUJN dan UU perubahan atas UUJN serta penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta yang bersangkutan untuk para penghadap, yang tidak didasarkan pada kemampuan menguasai keilmuan bidang Notaris secara khusus dan hukum pada umumnya. Penjatuhan sanksi perdata berdasarkan pada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap yang amar putusannya menghukum Notaris untuk membayar biaya, ganti rugi, dan bunga kepada penggugat. Kesimpulan dari pertanggungjawaban secara perdata seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah Notaris wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan dijatuhi sanksi perdata berupa penggantian biaya atau ganti rugi kepada pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris. Namun sebelum Notaris dijatuhi sanksi perdata maka Notaris terlebih dahulu harus dapat dibuktikan bahwa telah adanya kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan melawan hukum Notaris terhadap para pihak, dan antara kerugian yang diderita dan perbuatan melawan hukum dari Notaris terdapat hubungan kausal, serta perbuatan melawan hukum atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris yang bersangkutan. 3.1.2. Tanggung Jawab secara Administrasi Tanggung Jawab secara administrasi terhadap seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik dapat dijatuhi sanksi administrasi. Secara garis besar sanksi administrasi dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam yaitu sanksi reparatif adalah sanksi ini 70 ditujukan untuk perbaikan atas pelanggaran tata tertib hukum. Dapat berupa penghentian perbuatan terlarang, kewajiban perubahan sikap/tindakan sehingga tercapainya keadaan semula yang ditentukan, tindakan memperbaiki sesuatu yang berlawanan dengan aturan. Contohnya paksaan untuk berbuat sesuatu untuk pemerintah dan pembayaran uang paksa yang ditentukan sebagai hukuman. Sanksi punitif adalah sanksi yang bersifat menghukum, merupakan beban tambahan. Sanksi hukuman tergolong dalam pembalasan, dan tindakan preventif yang menimbulkan ketakutan kepada pelanggar yang sama atau mungkin untuk pelanggar-pelanggar lainnya. Contohnya pembayaran denda kepada pemerintah, teguran keras. Dan sanksi regresif adalah sanksi sebagai reaksi atas sesuatu ketidaktaatan, dicabutnya hak atas sesuatu yang diputuskan menurut hukum, seolah-olah dikembalikan kepada keadaan hukum yang sebenarnya sebelum keputusan diambil. Contohnya pencabutan, perubahan atau penangguhan suatu keputusan.75 Beberapa kepustakaan Hukum Administrasi dikenal beberapa jenis sanksi administrasi antara lain : 1. Eksekusi nyata adalah sanksi yang digunakan administrasi, baik dengan tidak memenuhi kewajiban yang tercantum dalam suatu ketetapan Hukum Administrasi maupun pada pelanggaran-pelanggaran suatu ketentuan undang-undang berbuat tanpa izin, yang terdiri dari mengambil, menghalangi, menjalankan atau memperbaiki apa yang bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan yang sah, yang dibuat, disusun, dialami, dibiarkan, dirusak atau diambil oleh pelaku. 75 J.B.J.M.Ten Berge, 1996, Besturen Door de Overheid, W.E.J. Tjeenk Qillink, Deventer, hal. 390-391. 71 2. Eksekusi langsung (parate executie) adalah sanksi dalam penagihan uang yang berasal dari hubungan Hukum Administrasi. 3. Penarikan kembali suatu izin adalah sanksi yang diberikan pada pelanggaran-pelanggaran peraturan atau syarat-syarat yang berhubungan dengan ketetapan, tetapi juga pelanggaran peraturan perundangundangan.76 Menurut Philipus M Hadjon dan H. D. Van Wijk/ Willem Konijnenbelt77 sanksi administrasi meliputi sebagai berikut : a. Paksaan pemerintah Paksaan pemerintah sebagai tindakan-tindakan yang nyata dari penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah Hukum Administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga Negara karena bertentangan dengan undangundang. b. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin, pembayaran, subsidi) Sanksi yang digunakan dengan mencabut atau menarik kembali suatu keputusan atau ketetapan yang menguntungkan dengan mengeluarkan ketetapan baru. Sanksi seperti ini diterapkan dalam hal terjadi pelanggaran terhadap peraturan atau syarat-syarat yang dilekatkan pada penetapan tertulis yang telah diberikan, juga terjadi pelanggaran undang-undang yang terkait dengan izin yang dipegang oleh si pelanggar. Dalam keadaan tertentu sanksi seperti ini tidak terlalu perlu didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan, apabila keputusan (ketetapan) berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifatnya dapat diakhiri atau ditarik kembali (izin, subsidi berkalas) dan tanpa adanya suatu peraturan perundang-undangan yang tegas untuk itu, penarikan kembali tidak dapat diadakan secara berlaku surut. Pencabutan atau penarikan yang menguntungkan merupakan suatu sanksi situatif yaitu sanksi yang dikeluarkan bukan dengan maksud sebagai reaksi terhadap perbuatan yang tercela dari segi moral, melainkan dimaksudkan untuk mengakhiri keadaan-keadaan yang secara objektif tidak dapat dibenarkan lagi. c. Pengenaan denda administratif Sanksi pengenaan denda administratif ditujukan kepada mereka yang melanggar peraturan perundang-undangan tertentu dan kepada si pelanggar dikenakan sejumlah uang tertentu berdasarkan peraturan 76 Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 108. H. D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, 1990, Hoolfdstukken van Adminstratief Recht, Uitgeverij Lemma BW, Utrecht, hal. 330-345. 77 72 perundang-undangan yang bersangkutan, kepada pemerintah diberikan wewenang untuk menerapkan sanksi tersebut. d. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah Sanksi pengenaan uang paksa oleh pemerintah ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti, disamping denda yang telah disebutkan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.78 Sanksi administrasi bedasarkan UU perubahan atas UUJN menyebutkan ada 5 (lima) jenis sanksi administrasi yang diberikan apabila seorang Notaris melanggar ketentuan UU perubahan atas UUJN yaitu peringatan lisan, peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat. Sanksi-sanksi itu berlaku secara berjenjang mulai dari teguran lisan sampai dengan pemberhentian dengan tidak hormat, Sanksi Notaris karena melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal pasal dalam UU perubahan atas UUJN merupakan sanksi internal yaitu sanksi terhadap Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya tidak melaksanakan serangkaian tindakan tertib pelaksanaan tugas dan jabatan kerja Notaris yang harus dilakukan untuk kepentingan Notaris sendiri. Sanksi terhadap Notaris berupa pemberhentian sementara dari jabatannya merupakan tahap berikutnya setelah penjatuhan sanksi teguran lisan dan teguran secara tertulis. Kedudukan sanksi berupa pemberhentian sementara dari jabatan Notaris atau skorsing merupakan masa menunggu pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. Sanksi pemberentian sementara Notaris dari jabatannya, dimaksudkan agar Notaris tidak melaksanakan tugas dan jabatannya untuk sementara waktu, 78 Ibid. 73 sebelum sanksi berupa pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak hormat dijatuhi kepada Notaris. Pemberian sanksi pemberhentian sementara ini berakhir dalam bentuk pemulihan kepada Notaris untuk menjalankan tugas dan jabatannya kembali atau ditindaklanjuti dengan sanksi pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak hormat. Sanksi pemberhentian sementara dari jabatan Notaris merupakan sanksi paksaan nyata sedangkan sanksi yang berupa pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak hormat termasuk ke dalam jenis sanksi pencabutan keputusan yang menguntungkan. Dengan demikian ketentuan pasal-pasal UU perubahan atas UUJN yang dapat dikategorikan sebagai sanksi administrasi yaitu pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak hormat. Prosedur penjatuhan sanksi administratif dilakukan secara langsung oleh instansi yang diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut. Penjatuhan sanksi administrasi adalah sebagai langkah preventif (pengawasan) dan langkah represif (penerapan sanksi). Langkah preventif dilakukan melalui pemeriksaan protocol Notaris secara berkala dan kemungkinan adanya pelanggaran dalam pelaksanaan jabatan Notaris. Sedangkan langkah represif dilakukan melalui penjatuhan sanksi oleh Majelis Pengawas Wilayah, berupa teguran lisan dan teguran tertulis serta berhak mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (Enam) bulan dan pemberhentian tidak hormat Majelis Pengawas Pusat selanjutnya melakukan pemberhentian sementara serta berhak mengusulkan kepada menteri berupa pemberhentian dengan tidak 74 hormat. Kemudian Menteri atas usulan Majelis Pengawas Pusat dapat memberhentian Notaris dengan hormat dan pemberhentian tidak hormat. Kesimpulan pertanggungjawaban secara administrasi terhadap seorang Notaris adalah Notaris dapat dijatuhi sanksi administrasi berupa pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum. 3.1.3 Tanggung Jawab terhadap Kode Etik Profesi Notaris Seorang Notaris yang melakukan profesinya harus berperilaku profesional, berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat kehormatan Notaris dan berkewajiban menghormati rekan dan saling menjaga dan membela kehormatan nama baik korps atau organisasi. Sebagai profesi Notaris, ia bertanggungjawab terhadap profesi yang dilakukannya, dalam hal ini kode etik profesi.79 Profesi Notaris merupakan profesi yang berkaitan dengan individu, organisasi profesi, masyarakat pada umumnya dan Negara. Tindakan Notaris akan berkaitan dengan elemen-elemen tersebut oleh karenanya suatu tindakan yang keliru dari Notaris dalam menjalankan pekerjaannya tidak hanya akan merugikan Notaris itu sendiri saja namun dapat juga merugikan organisasi profesi, masyarakat dan Negara. Hubungan profesi Notaris dengan masyarakat dan Negara telah diatur dalam UUJN berikut peraturan perundang-undangan lainnya. Sementara hubungan profesi Notaris dengan organisasi profesi Notaris diatur melalui kode etik Notaris. 79 Ignatius Ridwan Widyadharma, 1994, Hukum Profesi tentang Profesi Hukum, CV. Ananta, Semarang, hal. 133-134. 75 Menurut Abdulkadir Muhammad, khusus bagi profesi hukum sebagai profesi terhormat, terdapat nilai-nilai profesi yang harus ditaati oleh mereka, yaitu sebagai berikut : a. Kejujuran b. Otentik c. Bertanggung jawab d. Kemandirian moral e. Keberanian moral. 80 Notaris disini sebagai pejabat umum diberikan kepercayaan yang harus berpegang teguh tidak hanya pada peraturan perundang-undangan semata namun juga pada kode etik profesinya, karena tanpa adanya kode etik, harkat dan martabat dari profesinya akan hilang. Hubungan antara kode etik dengan UUJN terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) mengenai sumpah jabatan yang tersirat sebagai berikut : 1) Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut : "Saya bersumpah/berjanji : Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris seria peraturan perundangundangan lainnya. Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak. Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris. 80 Munir Fuady II, Op.Cit, hal. 4. 76 Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya. Bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apa pun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapa pun." Notaris melalui sumpahnya berjanji untuk menjaga sikap, tingkah lakunya dan akan menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawabnya sebagai Notaris. UUJN dan kode etik Notaris menghendaki agar Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum, selain harus tunduk pada UUJN juga harus taat pada kode etik profesi serta harus bertanggungjawab terhadap masyarakat yang dilayaninya, organisasi profesi (Ikatan Notaris Indonesia atau INI) maupun terhadap Negara. Setiap Notaris yang baru diangkat harus mengucapkan sumpah yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN. Kode etik profesi Notaris merupakan pedoman sikap dan tingkah laku jabatan Notaris. Kode Etik Notaris ditetapkan oleh Organisasi Notaris sesuai dengan bunyi Pasal 83 ayat (1) UUJN yaitu Organisasi Notaris menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris. Berdasarkan Pasal 1 angka 13 Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia No.M-01.H.T.03.01 Tahun 2003 tentang kenotarisan, organisasi Notaris satu-satunya yang diakui oleh pemerintah adalah Ikatan Notaris Indonesia (INI). Kemudian, Kode Etik Notaris yang berlaku saat ini adalah Kode Etik Notaris berdasarkan Keputusan Kongres Luar Biasa INI tanggal 27 Januari 2005 di Bandung (Kode Etik Notaris). Dalam Pasal 1 angka 2 Kode Etik Notaris disebutkan bahwa: 77 Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan disebut “Perkumpulan” berdasarkan keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk di dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris pengganti, dan Notaris Pengganti Khusus. Menurut Abdulkadir Muhammad, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus seperti sebagai berikut : a. Notaris dituntut melakukan perbuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihakpihak yang berkepentingan karena jabatannya. b. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang berkepentingan dalam arti yang sebenarnya. Notaris harus menjelaskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu. c. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta Notaris itu mempunyai kekuatan bukti sempurna.81 Pelanggaran terkait dengan kode etik Notaris adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh anggota perkumpulan organisasi Ikatan Notaris Indonesia maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris yang melanggar ketentuan kode etik dan/atau disiplin organisasi. Terkait dengan sanksi sebagai bentuk upaya penegakan kode etik Notaris atas pelanggaran kode etik didefinisikan sebagai suatu hukuman yang dimaksudkan sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin Notaris. 81 Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, hal. 49. 78 Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) dalam upaya untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat jabatan Notaris, mempunyai kode etik Notaris yang ditetapkan oleh kongres dan merupakan kaidah moral yang wajib ditaati oleh setiap anggota I.N.I. Dewan Kehormatan merupakan organ perlengkapan I.N.I yang terdiri dari anggota-anggota yang dipilih dari anggota I.N.I dan werda Notaris, yang berdedikasi tinggi dan loyal terhadap perkumpulan, berkepribadian baik, arif dan bijaksana, sehingga dapat menjadi panutan bagi anggota dan diangkat oleh kongres untuk masa jabatan yang sama dengan masa jabatan kepengurusan. Dewan Kehormatan berwenang melakukan pemeriksaan atas pelanggaran terhadap kode etik dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya sesuai dengan kewenangannya dan bertugas untuk melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai masyarakat secara Iangsung. Memberikan saran dan pendapat kepada majelis pengawas atas dugaan pelanggaran kode etik dan jabatan Notaris. Kewenangan pengawasan pelaksanaan dan penindakan kode etik Notaris ada pada Dewan Kehormatan yang berjenjang mulai dari tingkat daerah, wilayah, dan pusat. Bagi Notaris yang melakukan pelanggaran kode etik, Dewan Kehormatan berkoordinasi dengan Majelis Pengawas berwenang melakukan pemeriksaan atas pelanggaran tersebut dan dapat menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya, sanksi yang dikenakan terhadap anggota Ikatan Notaris Indonesia 79 (INI) sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Kode etik Notaris yaitu : 1) Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat berupa : a. Teguran. b. Peringatan. c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan. d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan. e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan. 2) Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota yang melanggar Kode Etik disesuaikan dengan kwantitas dan kwalitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut. Namun sanksi pemecatan yang diberikan terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran dan perbuatan melawan hukum bukanlah berupa pemecatan dari jabatan Notaris melainkan pemecatan dari keanggotaan Ikatan Notaris Indonesia sehingga walaupun Notaris yang bersangkutan telah terbukti melakukan pelanggaran dan perbuatan melawan hukum, Notaris tersebut masih dapat membuat akta dan menjalankan kewenangan lainnya sebagai Notaris, dengan demikian sanksi berupa pemecatan dari keanggotaan perkumpulan tentunya tidak berdampak pada jabatan seorang Notaris yang telah melakukan pelanggaran dan perbuatan melawan hukum. Notaris masih tetap dapat membuat akta dan menjalankan jabatannya sebagai Notaris, karena sanksi pemecatan tersebut bukan berarti secara serta merta Notaris tersebut diberhentikan dari jabatannya, karena hanya menteri yang berwenang untuk memecat Notaris dari jabatannya dengan mendengarkan laporan dari Majelis Pengawas. Notaris masih saja dapat menjalankan jabatannya, 80 sehingga sanksi kode etik tersebut terkesan kurang mempunyai daya mengikat bagi Notaris yang melakukan pelanggaran atau perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik. Sehingga seorang Notaris seharusnya dapat dituntut untuk membayar ganti rugi dalam hal adanya kesalahan yang dilakukan Notaris menyangkut perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai kode etik. Antara kerugian yang diderita dengan kelalaian atau pelanggaran Notaris terdapat hubungan sebab akibat (causalitas). Pelanggaran atau kelalaian tersebut disebabkan oleh kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris yang bersangkutan. Menurut ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris dinyatakan, bahwa pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan membentuk Majelis Pengawas. Pengawasan tersebut meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan Jabatan Notaris. Dengan demikian, Majelis Pengawas, menggunakan Kode Etik yang telah dibuat oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI), sebagai bahan pengawasan terhadap Notaris. Majelis Pengawas akan mengambil tindakan apabila ada pengaduan dari masyarakat mengenai perilaku Notaris yang menyimpang. Kesimpulan pertanggungjawaban Notaris terhadap Kode etik Notaris adalah seorang Notaris dijatuhi sanksi kode etik berupa teguran, peringatan, schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan, onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. 81 3.1.3. Tanggung Jawab secara Pidana Menurut Hermin Hediati Koeswadji suatu perbuatan melawan hukum dalam konteks pidana atau pebuatan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar manusia yang dapat berupa: 1. Suatu tindakan atau tindak tanduk yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana, seperti memalsukan surat, sumpah palsu, pencurian. 2. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-undang, seperti pembunuhan, penganiayaan. 3. Keadaan atau hal-hal yang khusus dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-undang, seperti menghasut, melanggar kesusilaan umum. b. Unsur subjektif, yaitu unsur-unsur yang terdapat di dalam diri manusia. c. Unsur subjektif dapat berupa : 1 Dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid). 2 Kesalahan (schuld).82 Notaris dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam konteks Hukum Pidana sekaligus juga melanggar kode etik dan UUJN, sehingga syarat pemidanaan menjadi lebih kuat. Apabila hal tersebut tidak disertai dengan pelanggaran kode etik atau bahkan dibenarkan oleh UUJN, maka mungkin hal ini dapat menghapuskan sifat melawan hukum suatu perbuatan dengan suatu alasan pembenar. Adapun pemidanaan terhadap Notaris dapat saja dilakukan dengan batasan sebagai berikut : a. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana. b. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN. 82 Liliana Tedjosapatro, 1991, Mal Praktek Notaris dan Hukum Pidana, CV Agung, Semarang, hal. 51. 82 c. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini MPN.83 Apabila seorang Notaris melakukan penyimpangan akan sebuah akta yang dibuatnya sehingga menimbulkan suatu perkara pidana maka Notaris harus mempertanggung jawabkan secara pidana apa yang telah dilakukannya tersebut. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (verwijbaarheid) yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan Hukum Pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada pelaku yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenakan pidana karena perbuatannya itu.84 Hal tersebut didasarkan pada asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan atau “actus non facit reum nisi mens sit rea”. Orang tidak mungkin dimintakan pertanggungjawaban dan dijatuhi pidana jika tidak melakukan kesalahan. Akan tetapi seseorang yang melakukan perbuatan pidana, belum tentu dapat dipidananya. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidanya apabila dia mempunyai kesalahan.85 Terjadinya pemidanaan terhadap Notaris berdasarkan akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris sebagai bagian dari pelaksanaan tugas jabatan atau kewenangan Notaris, tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta dan hanya berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) saja, menunjukkan telah terjadinya kesalahpahaman atau 83 Habib Adjie I, Op. Cit, hal. 124‐125. Dwidja Priyatno, 2004, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV. Utomo, Bandung, hal. 30. 85 Ibid, hal. 56. 84 83 penafsiran terhadap kedudukan Notaris sedangkan akta otentik yang dibuat oleh Notaris sebagai alat bukti dalam Hukum Perdata. Sanksi pidana merupakan ultimum remedium yaitu obat terakhir, apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum lainnya tidak mempan atau dianggap tidak mempan.86 Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya di samping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UUJN dan kode etik jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP. Apabila tindakan pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris memenuhi rumusan suatu tindak pidana, tetapi jika ternyata berdasarkan UUJN dan menurut penilaian dari Majelis Pengawas Daerah bukan suatu pelanggaran. Maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk menilai sebuah akta harus didasarkan pada UUJN dan kode etik jabatan Notaris. Tanggung jawab Notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya tidak diatur dalam UUJN namun tanggung jawab Notaris secara pidana dikenakan apabila Notaris melakukan perbuatan pidana. UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap UUJN sanksi tersebut dapat berupa akta yang dibuat oleh Notaris tidak memiliki kekuatan otentik atau hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Terhadap Notarisnya sendiri 86 126. Habib Adjie, Jurnal Renvoi, Nomor 10-22 Tanggal 3 Maret 2005, hal. 84 dapat diberikan sanksi yang berupa teguran hingga pemberhentian dengan tidak hormat. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum. Larangan tersebut disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut. Dalam kehidupan manusia, ada perbuatanperbuatan yang tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.87 Ada juga perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat umum atau kepentingan sosial, yaitu kepentingan yang lazim terjadi dalam perspektif pergaulan hidup antar manusia sebagai insan yang merdeka dan dilindungi oleh norma-norma moral, agama, sosial serta hukum. Bertentangan dengan kepentingan pemerintah dan Negara, yaitu kepentingan yang muncul dan berkembang dalam rangka penyelenggaraan kehidupan pemerintahan serta kehidupan bernegara demi tegak dan berwibawanya Negara Indonesia.88 Sanksi pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, dimana sanksi pidana dibagi menjadi pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan denda, sedangkan pidana tambahan 87 Ilhami Bisri, 2005, Sistem Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 40. 88 Ibid. 85 berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. Keberadaan sanksi pidana tambahan disini berupa adanya pencabutan hak, dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 38 KUHP yang menyatakan mengenai adanya suatu pencabutan hak, disini Pasal 38 KUHP lebih menenkankan adanya sanksi tambahan tidak dapat dijadikan dasar sebagai adanya komulasi atau penggabungan penerapan sanksi dalam Hukum Pidana. Karena dalam prakteknya dan dalam yurisprudensi-yurisprudensi yang menjatuhkan pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum tidak ditemukan sanksi tambahan berupa pencabutan hak seorang Notaris sebagai seorang pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Sanksi pidana dianggap sebagai sanksi paling kuat bagi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris, karena seperti disebutkan di atas sanksi pidana merupakan ultimum remedium yaitu obat terakhir, apabila sanksi perdata, administrasi atau sanksi kode etik Notaris tidak mempan atau dianggap tidak mempan dalam menghukum atau membuat Notaris menjadi jera untuk tidak melakukan perbuatan melawan hukum lagi. Prosedur penerapan sanksi pidana yaitu berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang amar putusannya menghukum Notaris untuk menjalani pidana tertentu. Jadi pertanggungjawaban secara pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah Notaris mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum. Notaris dapat dijatuhi sanksi pidana berupa pidana kurungan atau pidana penjara atau pidana lainya yang diatur dalam KUHP. Adapun yurisprudensi yang 86 menunjang dalam pertanggungjawaban seorang Notaris secara pidana yaitu putusan Mahkamah Agung nomor 1099 K/PID/2010. Dalam hal ini seorang Notaris bernama San Smith, SH didakwa dalam dakwaan primair yaitu Pasal 266 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP yaitu telah melakukan, turut serta melakukan, menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran. Dakwaan Subsidair Pasal 263 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke1 KUHP yaitu membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan suatu hak yang dilakukan terhadap akta otentik, turut serta melakukan, menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleha akta itu, dengan maksud untuk itu seolah-olah keterangannya sesuai kebenaran. Terhadap dakwaan tersebut Pengadilan Negeri Medan dalam putusannya Nomor 3036/PID.B/2009/PN.Mdn, tertanggal 4 Januari 2010 yang amar lengkapnya menyatakan bahwa terdakwa Notaris tersebut telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selam 1 (satu) tahun. Pengadilan Tinggi Medan menerima permintaan banding dari Jaksa dan Penasihat hukum terdakwa dan tetap menyatakan dalam putusan nomor 82/PID/2010/PT-MDN tanggal 25 Februari 2010 bahwa Notaris tersebut telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta 87 menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik dan menjatuhkan pidana penajara selama 2 (dua) tahun. Mahkamah Agung dalam Putusan MA nomor 1099 K/PID/2010 menolak permohonan Kasasi dari pemohon kasasi yaitu Notaris tersebut. Menimbang bahwa putusan judex Facti tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undangundang, judex facti tidak salah menerapkan hukum karena telah mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis. Putusan tersebut di atas seorang Notaris dibebankan petanggungjawaban secara pidana yaitu dengan dijatuhkan pidana penjara atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya, disini Notaris hanya dibebankan pertanggungjawaban pidana. Dalam amar putusannya tidak disebutkan pertanggungjawab secara perdata berupa penggantian kerugian yang diderita oleh para pihak maupun pertanggungjawaban administrasi. Disini sanksi pidana merupakan sanksi yang paling terkuat dan bisa memberikan efek jera terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan Hukum dalam pembuatan akta otentik. Namun seharusnya pemberian ganti kerugian juga sangat perlu diberikan kepada para pihak, karena kerugian yang diderita para pihak tidak dapat dibilang sedikit. Dalam hal ini adanya komulasi pertanggungjawaban atau penggabungan Notaris perlu sanksi dilakukan atau sebagai wujud diterapkan dari sehingga pertanggungjawaban seorang Notaris benar-benar memberikan rasa adil dan memberikan perlindungan hukum terhadap para pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum seorang Notaris dalam pembuatan akta otentik. 88 3.2. Perbuatan Melawan Hukum Seorang Notaris Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang Notaris dapat mencakup ranah bidang perdata, administrasi, kode etik profesi Notaris dan ranah bidang pidana. Adapun perbuatan melawan hukum dalam ranah bidang perdata diatur dalam buku III Pasal 1352 KUHPerdata. Perbuatan melawan hukum berasal dari undang-undang, bukan karena perjanjian yang berdasarkan persetujuan dan perbuatan melawan hukum murni merupakan akibat pelanggaran perbuatan manusia yang sudah ditentukan sendiri oleh undang-undang. Sedangkan ranah bidang pidana yaitu seorang Notaris dapat dikenakan tindakan pidana atas perbuatan yang melanggar ketentuan dari kaedah peraturan larangan yang diterbitkan oleh negara. Hukum Pidana adalah suatu kumpulan uturan yang berkaitan langsung dengan ketertiban umum. Setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam undang-undang sehingga sifatnya terbatas Ranah bidang administrasi dan kode etik yaitu diberikan batasan seorang Notaris diketegorikan melanggar ketentuan UUJN, UU perubahan atas UUJN dan kode etik Notaris secara formil atau perdata (law of tort) atas apa yang mereka lakukan terkait dengan tindakan-tindakan Notaris. Seperti penambahan, pengurangan, pencoretan, pengubahan akta tidak sesuai prosedur dengan tidak dilakukan tidak dihadapan dua saksi, Notaris/saksi yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, Notaris mempunyai hubungan darah dengan salah satu atau para penghadap. Notaris melakukan perbuatan melawan hukum juga dapat didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya 89 menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu. Kesalahan Notaris dalam membuat akta sehingga menyebabkan pihak lain mengalami kerugian dapat termasuk perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Adapun syarat perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum yaitu adanya perbuatan, yang melawan hukum, harus ada kesalahan dan harus ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugian. Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum yang melanggar ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan. Notaris sebagai subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban sekaligus sebagai anggota dari perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia memiliki kewajiban yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari dalam menjalankan tugas jabatannya. Kewajiban dan larangan Notaris diatur dalam UU perubahan atas UUJN (Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan Pasal 17) serta Kode Etik Notaris (Pasal 3 dan Pasal 4) yaitu Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) menyatakan : (1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib : a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris. c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta. d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta. e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undangundang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya. f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain. 90 g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku. h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga. i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan. j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya. k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan. l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan. m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris. n. Menerima magang calon Notaris. (2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta in originali. (3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi : a.Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun. b.Akta penawaran pembayaran tunai. c.Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga. d.Akta kuasa. e.Akta keterangan kepemilikan. f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Notaris sebagai anggota organisasi profesi Notaris memiliki kewajiban dan larangan yang diatur dalam suatu kode etik jabatan Notaris, serta kode etik tersebut memiliki sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap 91 ketentuan dalam kode etik jabatan Notaris tersebut. Kewajiban Notaris diatur dalam Pasal 3 Kode Etik Notaris, yaitu : Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris wajib : 1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik. 2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notaris. 3. Menjaga dan membela kehormatan perkumpulan. 4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggungjawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris. 5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan. 6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara. 7. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium. 8. Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari. 9. Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm , yang memuat: a. Nama lengkap dan gelar yang sah. b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai Notaris. c. Tempat kedudukan. d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di atas papan nama harus jelas dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud. 10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh perkumpulan. 11. Menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan perkumpulan. 12. Membayar uang iuran perkumpulan secara tertib. 13. Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal dunia. 14. Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium ditetapkan perkumpulan. 15. Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali alasan-alasan yang sah. 92 16. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahim. 17. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya. 18. Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam: a. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. c. Isi Sumpah Jabatan Notaris. d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia. Selain kewajiban Notaris yang diatur dalam Kode Etik Notaris, ada hal lain mengenai beberapa larangan bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya yang disebutkan dalam Pasal 4, yaitu: Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan. Notaris dilarang : 1. Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor perwakilan. 2. Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/ Kantor Notaris" di luar lingkungan kantor. 3. Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk : a. Iklan. b. Ucapan selamat. c. Ucapan belasungkawa. d. Ucapan terima kasih. e. Kegiatan pemasaran. f. Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olahraga. 4. Bekerja sama dengan biro jasa/orang/badan hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien. 5. Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah dipersiapkan oleh pihak lain. 6. Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditanda tangani. 93 7. Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantara orang lain. 8. Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumendokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya. 9. Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris. 10. Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan perkumpulan. 11. Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan. 12. Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata didalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut. 13. Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat ekslusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi. 14. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 15. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap : a. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang JabatanNotaris. b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. c. Isi sumpah jabatan Notaris. d. Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan/atau Keputusan-Keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh anggota. Apabila Notaris melanggar ketentuan dalam pasal-pasal tersebut diatas Notaris telah dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dalam ranah Hukum Administrasi dan melanggar ketentuan kode etik jabatan Notaris yang 94 berlaku. Notaris dalam menjalankan jabatannya dapat juga terjerat dalam kasus atau perkara yang diakibatkan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan seorang Notaris dalam proses pembuatan akta otentik, dalam ranah Hukum Pidana diantaranya dapat berupa pemalsuan dokumen atau surat yang diatur dalam ketentuan Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP. Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP menyatakan bahwa : 1 Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. 2 Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan, seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Sedangkan dalam penjelasan dari Pasal 264 ayat (1) dan (2) KUHP menyatakan bahwa : 1 Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap: 1) Akta-akta otentik. 2) Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum. 3) Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai. 4) Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu. 5) Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan. 2 Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang 95 dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian. Notaris juga dapat dikatakan melakukan penggelapan apabila melanggar ketentuan Pasal 372 dan Pasal 374 KUHP. Pasal 372 yang menyatakan bahwa : Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Sedangkan penjelasan dari Pasal 374 KUHP yang menyatakan bahwa Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Selain itu perbuatan Notaris dapat dikategorikan dalam ranah pidana apabila seorang Notaris memberikan keterangan palsu di bawah sumpah yang diatur dalam ketentuan Pasal 242 KUHP yang tersirat sebagai berikut : 1 Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 2 Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. 3 Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah. 4 Pidana pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 No. 1 – 4 dapat dijatuhkan. Adapun contoh pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh Notaris misalnya Notaris memalsukan surat setoran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan 96 (BPHTB) dan surat setoran pajak (SSP). Sedangkan contoh penggelapan yang dilakukan oleh Notaris yaitu penggelapan BPHTB yang dibayarkan klien. 3.3. Tanggung Jawab Notaris Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Notaris yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam menjalankan profesinya wajib mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya tersebut. Besarnya tanggung jawab Notaris dalam menjalankan profesinya mengharuskan Notaris untuk selalu cermat dan hati-hati dalam setiap tindakannya. Namun demikian sebagai manusia biasa, tentunya seorang Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya terkadang tidak luput dari kesalahan baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian yang kemudian dapat merugikan pihak lain. Dalam penjatuhan sanksi terhadap Notaris, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi yaitu perbuatan Notaris harus memenuhi rumusan perbuatan itu dilarang oleh undang-undang, adanya kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan Notaris tersebut serta perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum, baik formil maupun materiil. Secara formal disini sudah dipenuhi karena sudah memenuhi rumusan dalam undang-undang, tetapi secara materiil harus diuji kembali dengan kode etik, UUJN dan UU perubahan atas UUJN. Tugas seorang Notaris adalah membuat suatu akta otentik yang diinginkan oleh para pihak untuk suatu perbuatan hukum tertentu. Tanpa adanya suatu permintaan dari para pihak maka Notaris tidak akan membuatkan suatu akta apapun. Notaris dalam membuat suatu akta harus berdasarkan keterangan atau pernyataan dari para pihak yang hadir dihadapan Notaris, kemudian Notaris menuangkan keterangan-keterangan/penyataan-pernyataan tersebut kedalam suatu 97 akta, dimana akta tersebut telah memenuhi ketentuan secara ilmiah, formil dan materiil dalam pembuatan akta otentik. Serta Notaris dalam membuat akta tersebut harus berpijak pada peraturan hukum atau tata cara prosedur pembuatan akta. Selain itu Notaris juga berperan dalam hal memberikan nasehat hukum yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh para pihak yang membutuhkan jasa seorang Notaris. Seandainya nasehat hukum yang diberikan oleh Notaris kepada para pihak kemudian dituangkan ke dalam bentuk akta maka hal tersebut tetap sebagai keinginan atau keterangan para pihak yang bersangkutan, tidak sebagai keterangan atau pernyataan Notaris. Seorang Notaris dapat secara sadar, sengaja untuk secara bersama-sama dengan para pihak yang bersangkutan (penghadap) melakukan atau membantu atau menyuruh penghadap untuk melakukan suatu tindakan hukum yang diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar hukum. Jika hal ini dilakukan, selain merugikan Notaris, para pihak, dan pada akhirnya orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, diberi sambutan sebagai orang yang senantiasa melanggar hukum.89 Aspek yang dijadikan batasan dalam hal pelanggaran oleh Notaris harus diukur berdasarkan UUJN, artinya apakah perbuatan yang dilakukan oleh Notaris melanggar pasal-pasal tertentu dalam UUJN, karena ada kemungkinan menurut UUJN bahwa akta yang bersangkutan telah sesuai dengan UUJN, tetapi menurut pihak penyidik perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana. Dengan demikian sebelum melakukan penyidikan lebih lanjut, lebih baik meminta 89 Habib Adjie I, Op.Cit. hal. 124. 98 pendapat mereka yang mengetahui dengan pasti mengenai hal tersebut, yaitu dari organisasi jabatan Notaris. Ancaman sanksi yang demikian itu dimaksudkan agar dalam menjalankan tugas dan jabatannya, seorang Notaris dituntut untuk dapat bertanggungjawab terhadap diri, klien, dan juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun tanggung jawab hukum seorang Notaris dalam menjalankan profesinya menurut Lanny Kusumawati digolongkan dalam 2 (dua) bentuk yaitu : a. Tanggung jawab Hukum Perdata yaitu apabila Notaris melakukan kesalahan karena ingkar janji sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata atau perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Terhadap kesalahan tersebut telah menimbulkan kerugian pihak klien atau pihak lain. b. Tanggung jawab Hukum Pidana bilamana Notaris telah melakukan perbuatan hukum yang dilarang oleh undang-undang atau melakukan kesalahan/perbuatan melawan hukum baik karena sengaja atau lalai yang menimbulkan kerugian pihak lain.90 Selain adanya tanggung jawab Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam menjalankan tugas dan jabatannya, juga dikenakan tanggung jawab administrasi dan tanggungjawab terhadap kode etik jabatan Notaris. Tanggung jawab administrasi, perdata dan kode etik Notaris dengan dikenai sanksi yang mengarah pada perbuatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, sedangkan pertanggungjawaban pidana yang dikenai sanksi pidana menyasar pada pelaku (orang) yang melakukan tindakan hukum tersebut. Sanksi administratif dan sanksi perdata bersifat reparatoir atau korektif artinya untuk memperbaiki suatu keadaan agar tidak dilakukan lagi oleh yang bersangkutan ataupun oleh Notaris lain. Regresif berarti segala sesuatunya 90 Lanny Kusumawati, 2006, Tanggung jawab Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hal 49. 99 dikembalikan kepada suatu keadaan ketika sebelum terjadinya pelanggaran. Dalam aturan hukum tertentu, disamping dijatuhi sanksi adminstratif, juga dapat dijatuhi sanksi pidana (secara komulatif) yang bersifat comdemnatoir (punitif) atau menghukum, dalam kaitan ini UUJN tidak mengatur sanksi pidana untuk Notaris yang melanggar UUJN. Jika terjadi hal seperti itu maka terhadap Notaris tunduk kepada tindak pidana umum.91 UUJN dan UU perubahan atas UUJN hanya mengatur bahwa ketika Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran/perbuatan melawan hukum, maka Notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik jabatan Notaris. Dalam praktek ditemukan bahwa tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan Notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi atau sanksi perdata atau kode etik jabatan Notaris, tetapi kemudian dikualifikasian sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris. tetapi dalam penjatuhan sanksi hanya dijatuhi berupa sanksi pidana. Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya tunduk dan patuh pada UUJN. Oleh karena itu apabila Notaris melakukan pelanggaran dalam melaksanakan tugas dan jabatannya, Notaris diancam sanksi sebagaimana tertuang dalam UUJN. Sanksi terhadap Notaris dikategorikan menjadi 2 (dua), yaitu sanksi perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga merupakan akibat yang akan diterima Notaris atas tuntutan para penghadap jika akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta 91 Ibid, hal. 123‐124. 100 menjadi batal demi hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 UU perubahan atas UUJN. Selain sanksi perdata, juga ditentukan sanksi adminstrasi yaitu berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, sampai pemberhentian dengan tidak hormat, sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal dalam UU perubahan atas UUJN.92 Selain itu, Notaris juga masih harus menghadapi ancaman sanksi berupa sanksi etika jika Notaris melakukan pelanggaran terhadap kode etik jabatan Notaris, dan bahkan dapat dijatuhi sanksi pidana. Namun demikian, sanksi pidana terhadap Notaris harus dilihat dalam rangka menjalankan tugas jabatannya, dan tunduk pada ketentuan pidana umum yaitu KUHP, UUJN dan UU perubahan atas UUJN tidak mengatur mengenai tindak pidana khusus untuk Notaris. Menurut Hermin Hediati Koeswadji, suatu delik atau pebuatan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana mempunyai unsurunsur sebagai berikut mempunyai unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar manusia yang dapat berupa suatu tindakan atau tindak tanduk yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana, seperti memalsukan surat, sumpah palsu, pencurian. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-undang, seperti pembunuhan, penganiayaan. Keadaan atau hal-hal yang khusus dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-undang, seperti menghasut, melanggar kesusilaan umum. Kedua mempunyai unsur subjektif, yaitu unsur-unsur yang terdapat di dalam diri manusia. Unsur subjektif dapat 92 Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 91‐92. 101 berupadapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid) dan kesalahan (schuld).93 Batasan-batasan pemidanaan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Notaris adalah berupa ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.94 Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya di samping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UUJN dan kode etik jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP. Apabila tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris memenuhi rumusan suatu tindak pidana, tetapi jika ternyata berdasarkan UUJN dan menurut penilaian dari Majelis Pengawas Daerah bukan suatu pelanggaran. Maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk menilai sebuah akta harus didasarkan pada UUJN dan kode etik jabatan Notaris. 93 Liliana Tedjosapatro, 1991, Mal Praktek Notaris dan Hukum Pidana, CV Agung, Semarang, hal. 51. 94 Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 124‐125. 102 Bentuk pertanggungjawaban seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik harus dapat dipertanggungjawabkan dengan penuh tanggung jawab serta memuat rasa keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan akibat perbuatan Notaris serta keadilan bagi Notaris itu sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep tujuan hukum menurut Gustav Radbruch yang mengarahkan pertanggungjwaban yang diberikan terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik sesuai dengan tujuan hukum yaitu yang lebih diutamakan memberikan keadilan bagi pihak yang dirugikan selajutnya memberikan manfaat dan selanjutnya menjamin adanya kepastian hukum. Sedangkan dalam teori keadilan menurut Hans Kelsen yang menyatakan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya. Dari teori tersebut dapat dijelaskan bahwa tujuan dari pertanggungjawaban seorang Notaris yaitu untuk memberikan rasa adil bagi para pihak maupun bagi Notaris sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum seorang Notaris dalam pembuatan akta otentik. Demikian pula dengan bentuk pertanggungjawaban Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik telah sesuai dengan teori pertanggujawaban yang dikemukan oleh Kranenburg dan Vegtig dalam teori fautes personalles yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku 103 pribadi. Sehingga disini Notaris berdasarkan teori pertanggungjawaban tersebut Notaris bertanggungjawab secara pribadi atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya dalam pembuatan akta otentik. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa bentuk pertangggungjawaban terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik adalah seorang Notaris dapat dikenakan pertanggungjawaban secara perdata berupa sanksi untuk melakukan penggantian biaya atau ganti rugi kepada pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris. Pertanggungjawaban secara administrasi berupa pemberian sanksi teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat sebagai seorang Notaris. Pertanggungjawaban terhadap kode etik profesi Notaris berupa pemberian sanksi teguran, peringatan, pemecatan sementara (schorsing), pemecatan (Onzetting) dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. Sedangkan pertanggungjawaban secara pidana seorang dapat berupa pemberian sanksi pidana penjara atau kurungan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Halhal tersebut berdasarkan temuan-temuan dalam yurisprudensi mengenai pertanggungjawaban terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum. 104 BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA OTENTIK YANG DIBUAT OLEH SEORANG NOTARIS YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN AKTA OTENTIK 4.1 Akta Otentik dan Akta Di Bawah Tangan Pengertian akta menurut Sudikno Mertokusumo adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.95 Menurut R. Subekti, akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.96 Menurut A. Kohar, akta adalah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti.97 Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya “Rechts geleerd Handwoorddenboek”, kata akta itu berasal dari bahasa Latin “acta” yang berarti geschrift atau surat.98 Menurut ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan“. Berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa akta terdiri atas 2 macam akta yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan. 95 Sudikno mertokusumo, 1981, Hukum Acara Perdata Indonesia, Lyberti, Yogyakarta, hal 149. 96 R.Subekti, 1991, Hukum Pembuktian, PT. Pradya Paramita, Jakarta, hal. 89. 97 A.Kohar, 1993, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, hal 3. 98 S. J. Fockema Andreae, 1951, Rechtsgeleerd Handwoorddenboek, diterjemahkan oleh Walter Siregar, Bij J. B. Wolter uitgeversmaat schappij, N.V. Gronogen, Jakarta, hal. 9. 105 Akta Otentik diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh pemerintah menurut peraturan perundang-undangan. Akta Otentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya atau atau orang-orang yang mendapatkan hak daripadanya. Dengan kata lain, isi akta otentik dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Menurut R. Subekti bawa akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dapat dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan.99 Apabila ada akta yang batal sebagai akta otentik, maka akta tersebut masih berfungsi sebagai akta di bawah tangan, apabila akta tersebut akta tersebut ditandatangani oleh para pihak, sepanjang berubahnya status dari akta otentik menjadi akta dibawah tangan tersebut tidak mendatangkan kerugian, maka Notaris tersebut tidak bisa dituntut, sekalipun Notaris tersebut akan kehilangan nama baiknya. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris terbagi menjadi 2 bentuk yaitu pertama akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten). Akta pejabat/akta relaas merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dimana pejabat menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya, jadi inisiatif tidak berasal dari orang/para pihak yang namanya diterangkan didalam akta tersebut. Ciri khas dalam akta ini adalah tidak adanya komparisi dan Notaris bertanggung jawab 99 R. Subekti, Op.Cit, hal. 48. 106 penuh atas pembuatan akta.100 Dalam pembuatan akta pejabat/akta relaas tidak menjadi masalah apakah orang-orang yang hadir tersebut menolak untuk menandatangani akta itu, misalnya dalam pembuatan Akta Berita Acara Rapat Para Pemegang Saham dalam Perseroan Terbatas. Apabila orang-orang yang hadir dalam rapat telah meninggalkan rapat sebelum akta itu ditandatangani, maka Notaris cukup menerangkan di dalam akta bahwa para pemegang saham atau peserta rapat yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta tersebut dan akta tersebut tetap merupakan suatu akta otentik. Kedua, akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamakan akta partij (partij akten). Partij akta adalah akta yang dibuat dihadapan para pejabat yang diberi wewenang untuk itu dan akta itu dibuat atas permintaan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Ciri khas pada akta ini adalah adanya komparisi yang menjelaskan kewenangan para pihak yang menghadap Notaris untuk membuat akta.101 Perbedaan antara kedua jenis akta tersebut adalah dalam akta relaas penandatanganan akta bukanlah suatu keharusan, akta tersebut masih dikatakan sah apabila salah satu pihak atau lebih tidak menandatangani akta tersebut selama Notaris menyebutkan alasan pihak tersebut tidak menandatangani akta. Sedangkan dalam akta partij penandatangan oleh para pihak merupakan suatu keharusan yang menyatakan bahwa memang benar yang bersangkutan memberi keterangan dihadapan Notaris. Apabila salah satu pihak/penghadap tidak menandatangani 100 101 Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit, hal. 109. Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Loc.Cit. 107 akta tersebut maka hal ini berarti pihak tersebut tidak menyetujui isi perjanjian tersebut, kecuali tidak menandatangani akta tersebut dikarenakan oleh keterbatasan fisik, misalnya dikarenakan tidak bisa baca tulis, cacat, maupun sakit maka pihak tersebut akan membubuhkan cap jempolnya dan Notaris menerangkan alasan pembubuhan cap jempol tersebut dalam akhir akta. Selain itu perbedaan kedua akta tersebut terletak pada pemberian pembuktian sebaliknya (tegenbewijs) terhadap isi akta. Kebenaran isi akta pejabat (ambtelijk akte) tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta itu adalah palsu, sedangkan pada akta partij dapat digugat isinya, tanpa menuduh bahwa akta tersebut akta palsu akan tetapi dengan jalan menyatakan bahwa keterangan dari para pihak yang bersangkutan yang diuraikan dalam akta itu adalah tidak benar, artinya terhadap keterangan yang diberikan itu diperkenalkan pembuktian sebaliknya.102 Menurut Irawan Soerodjo, mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) unsur essensialia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum dan akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.103 Pendapat di atas sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan 102 GHS Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 53. Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, hal. 56. 103 108 pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Akta di bawah tangan adalah akta yang cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau di hadapan pejabat pegawai umum, tetapi hanya oleh pihak-pihak yang berkepentingan saja. Akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli, dan lainlain. Menurut Pasal 1857 KUHPerdata, jika akta di bawah tangan diakui oleh orang terhadap siapa akta itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya. Selain itu akta dibawah tangan merupakan akta yang dibuat serta ditanda tangani oleh para pihak yang bersepakat dalam perikatan atau antara para pihak yang berkepentingan saja. Pengertian dari akta di bawah tangan ini dapat diketahui dari beberapa perundang-undangan sebagai berikut : 1 Pasal 101 ayat b Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya 2 Pasal 1874 KUHPerdata, menyatakan bahwa yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. 109 Ciri-ciri akta dibawah tangan yaitu bentuknya yang bebas, pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum, tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak disangkal oleh pembuatnya dan dalam hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi juga dengan saksi-saksi dan bukti lainnya. Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan 2 orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian. 4.2 Kekuatan Pembuktian Akta Otentik Akta otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata yaitu suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Jadi syarat otentitas suatu dokumen yaitu dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, oleh atau dihadapan pejabat umum dan pejabat tersebut harus berwenang di tempat akta dibuat. Menurut Pasal 285 Rbg, akta otentik yaitu yang dibuat, dengan bentuk yang sesuai dengan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat akta itu dibuat, merupakan bukti lengkap antara para pihak serta keturunannya dan mereka yang mendapatkan hak tentang apa yang dimuat di dalamnya dan bahkan tentang suatu pernyataan belaka, hal terakhir ini sepanjang pernyataan itu ada hubungan langsung dengan apa yang menjadi pokok akta itu. Pembuatan akta otentik yang menjadi dasar dalam pembuatannya yaitu harus adanya keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Notaris dapat memberikan saran atau nasehat dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika 110 saran atau nasehat Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta otentik, maka tetap isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Notaris. Pengertian seperti tersebut di atas merupakan salah satu karakter yuridis dari akta otentik, dalam hal ini tidak berarti pejabat umum dalam hal ini Notaris sebagai pelaku dari akta tersebut, Notaris tetap berada di luar para pihak atau bukan pihak dalam akta tersebut. Dengan kedudukan Notaris seperti itu, sehingga jika suatu akta otentik dipermasalahkan, maka tetap kedudukan Notaris bukan sebagai pihak atau yang turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai tergugat atau turut tergugat dalam perkara perdata. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang. Akta Notaris dibuat sesuai kehendak para pihak yang berkepentingan guna memastikan atau menjamin hak dan kewajiban para pihak, kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum para pihak. Akta Notaris pada hakekatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Notaris berkewajiban untuk memasukkan dalam akta tentang apa yang sungguh-sungguh telah dimengerti sesuai dengan kehendak para pihak dan membacakan kepada para pihak tentang isi dari akta tersebut. Pernyataan atau keterangan para pihak tersebut oleh Notaris dituangkan dalam akta Notaris.104 Akta otentik terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam undangundang, sehingga hal itu cukup merupakan jaminan dapat dipercayanya pejabat 104 Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 45. 111 tersebut, maka isi dari akta otentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri. Dengan kata lain dapatlah dianggap bahwa akta otentik itu dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai dibuktikan sebaliknya. Pembuktian dalam hukum acara mempunyai arti yuridis berarti hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka dan tujuan dari pembuktian ini adalah untuk memberi kepastian kepada hakim tentang adanya suatu peristiwa-peristiwa tertentu. Maka pembuktian harus dilakukan oleh para pihak dan siapa yang harus membuktikan atau yang disebut juga sebagai beban pembuktian berdasarkan Pasal 163 HIR ditentukan bahwa barang siapa yang menyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Ini berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia yang harus membuktikan.105 Alat-alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata antara lain adalah bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Menurut G.H.S. Lumban Tobing akta Notaris dapat dibedakan atas 2 (dua) bentuk, yaitu: a. Akta yang dibuat oleh (door enn) Notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten). Akta jenis ini di antaranya akta berita acara 105 Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, Liberty, Yogyakarta, hal. 121. 112 rapat pemegang saham perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventarisasi harta peninggalan dan akta berita acara penarikan undian.106 b. Akta yang dibuat di hadapan Notaris atau yang dinamakan akta partij (partij akten). Akta jenis ini di antaranya akta jual beli, akta sewa menyewa, akta perjanjian kredit dan sebagainya.107 Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat para pihak yang membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, ada syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan syarat objektif yaitu syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan objek yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang tidak dilarang. Notaris dalam membuat akta harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam perundang-undangan. Pasal 1869 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu akta yang dibuat di hadapan pejabat yang tidak berwenang itu, bukanlah suatu akta otentik melainkan hanya berlaku sebagai akta di bawah tangan apabila para pihak telah menandatangani. Akta di bawah tangan dibuat oleh para pihak yang berkepentingan tanpa bantuan dari seorang pejabat umum. 106 107 G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 51-52. G.H.S. Lumban Tobing, Loc.Cit. 113 Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna selama dibuat menurut bentuk dan tata cara sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang yaitu KUHPerdata, UUJN dan UU perubahan atas UUJN, jika ada prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi dapat dibuktikan , maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Akta Notaris sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian, dalam hal ini ada 3 (tiga) nilai pembuktian, yaitu kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht), kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht), kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskrcht).108 Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht) adalah kemampuan lahiriah akta Notaris yang merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica probant seseipsa). Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal keotentikan akta Notaris. Parameter untuk menentukan akta Notaris sebagai akta otentik, yaitu tandatangan dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada minuta akta dan salinan dan adanya awal akta 108 Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 26. 114 (mulai dari judul) sampai dengan akhir akta. Menurut R. Soegondo kemampuan lahiriah akta ialah syarat-syarat yang diperlukan agar supaya sesuatu akta Notaris dapat berlaku sebagai akta otentik.109 Kekuatan pembuktian lahir ini merupakan kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keaadaan lahir akta itu sendiri, dan sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa yang berarti suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya. Berarti suatu akta otentik mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik. Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht) adalah akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap.110 Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang disampaikan di hadapan Notaris, dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi, dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang dilakukan. Dengan kata lain pihak 109 110 R. Soegondo, Op. Cit, hal. 55. R. Soegondo, Loc.Cit. 115 yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun.111 Kekuatan pembuktian formal ini memberi arti bahwa akta otentik itu dibuktikan mengenai apa yang dinyatakan dan dicantumkan dalam akta itu adalah benar merupakan uraian kehendak pihak-pihak. Akta otentik menjamin kebenaran tanggal, tanda tangan, komparan, dan tempat akta dibuat. Dalam arti formil pula akta Notaris membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu yang dilihat, didengar dan dialami sendiri oleh Notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan jabatannya. Akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian formil, terkecuali bila si penanda tangan dari surat/akta itu mengakui kebenaran tanda tangannya. Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht) menurut R. Soegondo adalah kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs).112 Akta otentik itu tidak hanya membuktikan bahwa para pihak sudah menerangkan bahwa apa yang ditulis pada akta tersebut, tetapi juga menerangkan bahwa para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis adalah benar-benar terjadi. 111 112 Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 27. R. Soegondo, Op.Cit, hal. 56. 116 Penafsiran yang demikian itu diambil dari Pasal 1871 KUHPerdata, dimana disebutkan bahwa suatu akta otentik tidak hanya memberikan bukti yang sempurna tentang sesuatu yang termuat didalamnya sebagai suatu penuturan belaka, selainnya sekadar sesuatu yang dituturkan itu ada hubungannya langsung dengan pokok isi akta, dari pasal tersebut diambilah mengenai segala sesuatu yang menjadi pokok isi akta itu, yaitu segala sesuatu yang tegas dinyatakan oleh para penandatanganan akta. Akta otentik tidak hanya mempunyai kukuatan pembuktian formal, yaitu bahwa benar para pihak sudah menerangkan sesuatu yang ditulis dalam akta tersebut, tetapi juga mempunyai kekuatan pembuktian materiil, yaitu bahwa sesuatu yang diterangkan tadi adalah benar, inilah yang dinamakan kekuatan pembuktian mengikat, sehingga kekuatan pembuktian akta otentik adalah sah karena merupakan bukti sempurna bagi para pihak, ahli waris dan orang-orang yang mendapatkan hak dari padanya, bukti sempurna berarti bahwa kebenaran dari isi akta tersebut harus diakui, tanpa ditambah dengan pembuktian yang lain, sampai dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain. Dan merupakan bukti bebas bagi pihak ketiga, bukti bebas artinya kebenaran dari isi akta diserahkan pada penilaian hakim, jika dapat dibuktikan sebaliknya. Pembuatan akta otentik oleh atau di hadapan Notaris diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU perubahan atas UUJN, hal tersebut tidak berarti bahwa Notaris ikut ambil bagian dalam perbuatan hukum yang mana dibuatkan akta olehnya, Notaris tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak, Notaris tetap berada di luar para pihak. Suatu saat apabila akta tersebut dipermasalahkan, maka Notaris dapat 117 menempatkan posisinya dengan tidak ikut sebagai pembantu tergugat dalam lingkup Hukum Perdata maupun membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana. Perkara pidana dan perdata terhadap akta otentik biasanya dipermasalahkan dari aspek formalnya yaitu mengenai pukul/waktu, tanggal, bulan dan tahun kapan para penghadap menghadap ke hadapan Notaris, mengenai komparisi, identitas para penghadap termasuk juga kewenangan para pihak dalam bertindak, mengenai tanda tangan para penghadap, mengenai salinan akta yang tidak sesuai dengan minuta akta, mengenai salinan akta ada tapi minuta akta tidak ada, hal ini berkaitan dengan penyimpanan minuta akta yang seharusnya tertata rapi, dan mengenai minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi salinan akta malah dikeluarkan. Hal-hal tersebut biasanya yang menjadi perhatian dalam pembuatan akta otentik oleh Notaris, oleh karena itu Notaris harus berpedoman kepada UUJN dan UU perubahan atas UUJN, jangan sampai melenceng jauh dari UUJN dan UU perubahan atas UUJN atau bahkan tidak berpedoman kepada UUJN dan UU perubahan atas UUJN dalam pembuatan akta otentik. Hal yang sangat penting diperhatikan yaitu mengenai komparisi akta, harus sesuai apakah para pihak tersebut berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dalam akta atau tidak. Sedangkan bila dilihat dari sudut pandang Hukum Pidana yang berkaitan dengan aspek formal pembuatan akta otentik oleh Notaris, pihak penyidik, penuntut umum dan hakim akan memasukkan Notaris telah melakukan tindakan hukum : 118 1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 163 ayat (1), (2) KUHP) 2. Melakukan pemalsuan (Pasal 264 KUHP) 3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP) 4. Melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan (Pasal 55 Jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP) 5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP.113 Jika kemudian ternyata terbukti bahwa yang menghadap Notaris tersebut bukan orang yang sebenarnya atau orang yang mengaku asli, tapi orang yang sebenarnya tidak pernah menghadap Notaris, sehingga menimbulkan kerugian orang yang sebenarnya, maka dalam hal ini Notaris tidak bisa disalahkan karena unsur kesalahannya tidak ada, dan Notaris telah melaksanakan tugas jabatan sesuai aturan hukum yang berlaku, sesuai asas tiada hukum tanpa kesalahan, dan tiada kesalahan yang dilakukan oleh Notaris yang bersangkutan, maka Notaris tersebut harus dilepas dari segala tuntutan. Kehendak penghadap yang tertuang dalam akta secara meteriil merupakan kehendak atau keinginan para pihak sendiri, bukan kehendak Notaris, dan tugas Notaris hanya memberi saran saja, kalaupun kemudian saran tersebut diikuti dan dituangkan dalam akta, hal tersebut tetap merupakan keinginan atau kehendal penghadap sendiri. Jika penghadap mendalilkan bahwa akta Notaris yang berisi keterangan atau perkataannya di hadapan Notaris, tidak dikehendaki oleh penghadap, kemudian penghadap mengajukan gugatan dengan gugatan untuk 113 Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 136. 119 membatalkan akta tersebut. Sehingga hal tersebut harus dapat dibuktikan bahwa akta dibuat dalam keadaan terpaksa, kekhilafan atau penipuan, jika tidak dapat dibuktikan maka gugatan seperti itu ditolak, karena semua prosedur untuk dalam pembuatan akta telah dilakukan oleh Notaris bersangkutan. Jika secara materiil isi akta tidak sesuai dengan keinginan penghadap, sehingga dapat diajukan gugatan ke pengadilan, dengan kewajiban untuk membuktikan dalil gugatannya. Dalam gugatan untuk menyatakan akta Notaris tersebut tidak sah, maka harus dibuktikan ketidakabsahan dari aspek lahiriah, formal dan materiil akta Notaris. Jika tidak dapat dibuktikan maka akta yang bersangkutan tetap sah dan mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. Penilaian terhadap akta Notaris harus dilakukan dengan asas praduga sah, berdasarkan asas ini bahwa suatu keputusan Tata Usaha Negara harus dianggap sah selama belum dibuktikan sebaliknya, sehingga pada prinsipnya harus selalu dapat segera dilaksanakan. Fungsi dan kedudukan dari akta Notaris sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan istimewa sebagai alat bukti, kekuatan pembuktian akta otentik demikian juga (termasuk di dalamnya) akta Notaris adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundangundangan, bahwa harus ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh undang-undang kepada pejabat-pejabat atau orangorang tertentu. Dalam pemberian tugas inilah terletak tanda kepercayaan kepada 120 pejabat dan pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang dibuat oleh mereka.114 Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris sebagai akta otentik dan siapapun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris dalam hal ini dapat dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna selama dibuat menurut bentuk dan tata cara sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang yaitu KUHPerdata dan UUJN, jika ada prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Mengacu pada penjelasan diatas artinya bahwa syarat akta Notaris sebagai akta otentik adalah harus dibuat dengan tata cara maupun prosedur sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang dan dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang 114 G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 63. 121 berwenang untuk di wilayah kedudukannya. Adapun Irawan Soerodjo mengemukakan bahwa ada tiga unsur syarat formal suatu akta otentik : 115 1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang 2. Dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum 3. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat di mana akta itu dibuat. Mengenai pembuatan akta Notaris oleh atau di hadapan Notaris diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU perubahan atas UUJN, hal tersebut tidak berarti bahwa Notaris ikut ambil bagian dalam perbuatan hukum yang mana dibuatkan akta olehnya, Notaris tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak, Notaris tetap berada di luar para pihak. Suatu saat apabila akta tersebut dipermasalahkan, maka Notaris dapat menempatkan posisinya dengan tidak ikut sebagai pembantu tergugat dalam lingkup Hukum Perdata maupun membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana. Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat penulis katakan bahwa akta Notaris adalah memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, dibuat oleh atau di hadapan Notaris, mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan dibuat berdasarkan ketentuan dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia serta memenuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam UUJN sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Dengan demikian barang siapa yang menyatakan 115 Irawan Soerodjo, Op.Cit, hal. 148. 122 bahwa suatu akta otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu. Apabila suatu akta otentik ternyata tidak memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil maupun materil dan tidak memenuhi syarat otentisitas maka akta otentik tidak lagi disebut sebagai akta otentik melainkan hanya akta di bawah tangan. 4.3 Akibat Hukum terhadap Akta Notaris Yang Dibuat Oleh Notaris Secara Melawan Hukum. Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan sebagian dari kekuasan negara di bidang Hukum Perdata terutama untuk membuat alat bukti otentik (akta Notaris). Dalam pembuatan akta Notaris baik dalam bentuk partij akta maupun relaas akta, Notaris bertanggungjawab supaya setiap akta yang dibuatnya mempunyai sifat otentik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Kewajiban Notaris untuk dapat mengetahui peraturan hukum yang berlaku di Negara Indonesia juga serta untuk mengetahui hukum apa yang berlaku terhadap para pihak yang datang kepada Notaris untuk membuat akta. Hal tersebut sangat penting agar supaya akta yang dibuat oleh Notaris tersebut memiliki otentisitasnya sebagai akta otentik karena sebagai alat bukti yang sempurna. Namun dapat saja Notaris melakukan suatu kesalahan dalam pembuatan akta. Kesalahan-kesalahan yang mungkin dapat terjadi, yaitu : a. Kesalahan ketik pada salinan Notaris, dalam hal ini kesalahan tersebut dapat diperbaiki dengan membuat salinan baru yang sama dengan yang asli dan hanya salinan yang sama dengan yang asli baru mempunyai kekuatan sama seperti akta asli. b. Kesalahan bentuk akta Notaris, dalam hal ini dimana seharusnya dibuat berita acara rapat tapi oleh Notaris dibuat sebagai pernyataan keputusan rapat. 123 c. Kesalahan isi akta Notaris, dalam hal ini mengenai keterangan dari para pihak yang menghadap Notaris, di mana saat pembuatan akta dianggap benar tapi ternyata kemudian tidak benar116 Apabila ada akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak atau yang berkepentingan, maka untuk menyelesaikannya harus didasarkan pada kebatalan dan pembatalan akta Notaris sebagai suatu alat bukti yang sempurna. Kesalahankesalahan yang terjadi pada akta-akta yang dibuat oleh Notaris akan dikoreksi oleh hakim pada saat akta Notaris tersebut diajukan ke pengadilan sebagai alat bukti. Menurut George Whitecross Patton117 alat bukti tersebut dapat berupa oral (words spoken by a witness in court) dan documentary (the production of a admissible documents) atau material (the production of a physical res other document). Alat bukti sah atau yang diterima dalam suatu perkara (perdata), pada dasarnya terdiri dari ucapan dalam bentuk keterangan saksi-saksi, pengakuan, sumpah, dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang mempunyai nilai pembuktian. Dalam perkembangan alat bukti sekarang ini (untuk perkara pidana dan perdata) telah diterima juga alat bukti elektronik atau yang terekam atau yang disimpan secara elektronis sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan pengadilan. Dalam kaitan ini perlu diberi penekanan dan penjelasan terdap alat bukti tertulis dapat berupa tulisan yang mempunyai nilai pembuktian. Secara tertulis tersebut dapat berupa surat (secara umum) dan surat dalam bentuk tertentu 116 Mudofir Hadi, 1991, Varia Peradilan Tahun VI Nomor 72, Pembatalan Isi Akta Notaris Dengan Putusan Hakim, hal. 142-143. 117 George Whitecross Patton, 1953, A Text-Book af Jurisprudence, Oxford at the Clarendon Press, second editon, hal. 481. 124 serta tata cara pembuatan dengan pejabat yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan dari hakim untuk menyatakan suatu akta Notaris tersebut batal demi hukum, dapat dibatalkan atau akta Notaris tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum. Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan-ketentuan pasal-pasal dalam UU perubahan atas UUJN, yang menyebabkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum, maka pihak yang merugikan dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga pada Notaris. Dalam hal suatu akta Notaris dibatalkan oleh putusan hakim di pengadilan, maka jika menimbulkan kerugian bagi para pihak yang berkepentingan, Notaris dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi, sepanjang hal tersebut terjadi disebabkan oleh karena kesalahan Notaris. Namun dalam hal pembatalan akta Notaris oleh pengadilan dengan alasan bukan merupakan kesalahan Notaris, maka para pihak yang berkepentingan tidak dapat menuntut Notaris untuk memberikan ganti rugi. Seorang Notaris baru dapat dikatakan bebas dari pertanggungjawaban hukum apabila akta otentik yang dibuatnya dan atau dibuat dihadapannya telah memenuhi syarat formil. Akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan akta otentik pada dasarnya terjadinya suatu perkara dimana pejabat umum telah mencari-cari keuntungan serta menyalahgunakan kewenangan yang telah diatur dalam UUJN dan UU perubahan atas UUJN dan seorang klien atau penghadap lainnya merasa dirugikan atas terbuatnya suatu akta yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum yang 125 dilakukan oleh Notaris, sehingga berakibat akta otentik yang dibuat oleh Notaris dapat menjadi batal atau dapat dibatalkan. Mengenai pembatalan akta adalah menjadi kewenangan hakim perdata, yakni dengan mengajukan gugatan secara perdata kepengadilan. Apabila dalam persidangan dimintakan pembatalan akta oleh pihak yang dirugikan (pihak korban) maka akta Notaris tersebut dapat dibatalkan oleh hakim perdata jika ada bukti lawan. Sebagaimana diketahui bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan sempurna. Ini berarti bahwa masih dimungkinkan dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan yakni diajukannya gugatan untuk menuntut pembatalan akta ke pengadilan agar akta tersebut dibatalkan. Pembatalan menimbulkan keadaan tidak pasti, oleh karena itu undangundang memberikan waktu terbatas dalam hal menuntut dimana oleh undangundang dapat dilakukan pembatalan apabila hendak melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian dalam suatu putusan oleh hakim perdata selama tidak dimintakan pembatalan maka perbuatan hukum/perjanjian yang tercantum dalam akta tersebut akan tetap berlaku atau sah. Setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap atas gugatan penuntutan pembatalan akta tersebut maka akta itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti yang otentik karena mengandung cacat secara yuridis/cacat hukum, maka dalam amar putusan hakim perdata akan menyatakan bahwa akta tersebut batal demi hukum. Dan berlakunya pembatalan akta tersebut adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/perjanjian itu dibuat. 126 Hukum perjanjian memuat adanya akibat hukum tertentu jika syarat subjektif dan syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar) sepanjang ada permintaan oleh orang-orang tertentu atau yang berkepentingan. Pembatalan karena ada permintaan dari pihak yang berkepentingan, seperti orang tua, wali atau pengampu disebut pembatalan yang relatif atau tidak mutlak. Pembatalan relatif ini dibagi 2 (dua) yaitu pembatalan atas kekuatan sendiri, maka atas permintaan orang tertentu dengan mengajukan gugatan atau perlawanan, agar hakim menyatakan batal (nietig verklaard) suatu perjanjian. Contohnya jika tidak dipenuhi syarat subjektif (Pasal 1446 KUHPerdata) dan pembatalan oleh hakim, dengan putusan membatalkan suatu perjanjian dengan mengajukan gugatan. Contohnya Pasal 1449 KUHPerdata.118 Syarat subjektif ini senantiasa dibayangi ancaman untuk dibatalkan oleh para pihak yang berkepentingan dari orang tua, wali atau pengampu. Agar ancaman seperti itu tidak terjadi, maka dapat dimintakan penegasan dari mereka yang berkepentingan, bahwa perjanjian tersebut akan tetap berlaku dan mengikat para pihak. Jika syarat suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka persetujuan tersebut tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUHPerdata). Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang halal (tidak dilarang), ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, maka persetujuan tetap sah (Pasal 1336 118 Wirjono Prodjodikoro, 1989, Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, hal. 121. 127 KUHPerdata), objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum (nietig), tanpa perlu ada permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun. Perjanjian yang batal mutlak dapat juga terjadi, jika suatu perjanjian yang dibuat tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan untuk perbuatan hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudah ditentukan atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, karena perjanjian sudah dianggap tidak ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak untuk saling menuntut atau menggugat dengan cara dan bentuk apapun.119 Misalnya jika suatu perjanjian wajib dibuat dengan akta (Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tapi ternyata tidak dilakukan, maka perbuatan hukum atau perjanjian tersebut batal demi hukum. Pembatalan terhadap suatu akta otentik dapat juga dilakukan oleh Notaris apabila para pihak/penghadap menyadari adanya kekeliruan atau kesalahan yang telah dituangkan dalam akta tersebut. Sehingga dapat membuat keraguan terhadap kesepakatan/perjanjian dari para pihak/penghadap, maka akta tersebut dapat dibatalkan oleh Notaris. Bilamana Notaris terseret dalam perkara pemalsuan akta yang menjadi aktor intelektualnya atau Notaris turut serta ikut melakukan pemalsuan surat yang bisa dikategorikan dalam perbuatan tindak pidana tersebut maka secara yuridis tidak dapat ditolelir bukan hanya berdasarkan ketentuan pidana saja, tetapi juga oleh peraturan dalam KUHPerdata serta UUJN dan undang-undang perubahannya. 119 R. Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 22. 128 Kasus Notaris berkaitan dengan akta otentik yang dibuatnya dan aktanya menimbulkan perkara perdata atau pidana maka aktanya batal demi hukum karena kita melihat dari sisi syarat sah perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 yang berisi kesepakatan para pihak, kecakapan bertindak, adanya suatu hal tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu sebab yang halal terhadap perjanjian tersebut. Jika suatu akta menimbulkan suatu pidana maka persyaratan perjanjian dilihat unsur-unsur perjanjian yang terkandung didalamnya. Para ahli hukum seperti Sudikno Mertokusuno, Mariam Darus, dan J.J. Satrio bersepakat bahwa unsur-unsur perjanjian itu terdiri dari unsur esensialia, unsur naturalia, dan unsur aksidentalia.120 Unsur pertama lazim disebut dengan bagian inti perjanjian, unsur kedua dan ketiga disebut bagian non inti perjanjian. Unsur esensialia adalah unsur yang mutlak harus ada untuk terjadinya perjanjian, agar penjanjian itu sah dan ini merupakan syarat sahnya perjanjian. Jadi keempat syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata merupakan unsur esensialia perjanjian. Dengan kata lain, sifat esensialia perjanjian adalah sifat yang menentukan perjanjian itu tercipta (constructieve oordeel). Unsur naturalia adalah unsur yang lazim melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian. Unsur ini merupakan sifat bawaan (natuur) atau melekat pada perjanjian. Misalnya penjual harus menjamin 120 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 84. 129 cacat-cacat tersembunyi kepada pembeli. Sedangkan unsur aksidentalia, artinya unsur yang harus dimuat atau dinyatakan secara tegas di dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya jika terjadi perselisihan, para pihak telah menentukan tempat yang dipilih. Untuk membuktikan suatu akta tersebut sah atau tidak sah dalam penelitian ini, digunakan asas praduga sah. Asas praduga sah (Vermoeden van Rechtmatigheid) atau Presumptio Iustae Causa adalah asas yang menganggap sah suatu produk hukum sebelum adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan tidak sah. Dengan adanya asas ini maka akta otentik yang dibuat oleh Notaris harus dianggap sah dan mengikat para pihak sebelum dapat dibuktikan ketidakabsahan dari aspek lahiriah, formal dan materil akta otentik tersebut. Dalam ketentuan yang tersebut dalam Pasal 41 UU perubahan atas UUJN yang menyatakan jika Notaris melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 mengakibatkan akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka akta Notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, namun apabila para pihak dapat membuktikan ketidakbenaran akta otentik tesebut dalam persidangan di pengadilan dan mengakibatkan akta tersebut dapat dibatalkan serta kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan tidak akan berlaku lagi. Karena asas praduga sah ini berkaitan dengan akta yang dapat dibatalkan, merupakan suatu tindakan mengandung cacat yaitu tidak berwenangnya Notaris untuk membuat akta secara lahiriah, formal, materiil dan tidak sesuai dengan aturan hukum tentang pembuatan akta Notaris. 130 Akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh Notaris secara melawan hukum sehingga menyebabkan akta otentik menjadi akta dibawah tangan serta akta tersebut dapat dibatalkan telah sejalan dengan teori kewenangan dan konsep perlindungan hukum. Seperti dikemukakan dalam teori kewenangan, Notaris dalam membuat akta otentik termasuk dalam kewenangan secara atribusi, berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU perubahan atas UUJN. Terjadinya suatu akibat hukum yaitu berupa akta otentik menjadi akta dibawah tangan dan akta tersebut dibatalkan diakibatkan oleh penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Notaris, dimana Notaris dalam menjalakan wewenangnya telah melanggar ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian bagi para pihak dan mengakibatkan berubahnya kekuatan pembuktian akta dan adanya pembatalan akta otentik tersebut oleh pengadilan. Akibat hukum ini juga telah sejalan dengan konsep perlindungan hukum yang dikemukan Satijipto Raharjo yang menjelaskan bahwa perlindungan hukum memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Serta bahwa perlindungan hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. Sesuai dengan pengertian konsep perlindungan hukum yang dikemukan oleh para sarjana maka akibat hukum berupa pembatalan akta otentik dapat melindungi para pihak yang merasa dirugikan oleh perbuatan melawan hukum seorang Notaris dalam proses pembuatan akta otentik. 131 Adapun kedudukan akta Notaris dapat dibagi menjadi 5 macam yaitu dapat dibatalkan, batal demi hukum, mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, dibatalkan oleh para pihak sendiri dan dibatalkan oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena penerapan asas praduga sah. Kelima kedudukan akta Notaris tersebut tidak dapat dilakukan secara bersama-sama, tetapi hanya berlaku satu saja. Jika akta Notaris diajukan pembatalan oleh pihak yang berkepentingan kepada pengadilan umum (Negeri) dan telah ada putusan pengadilan umum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau akta Notaris mempunyai kududukan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta Notaris batal demi hukum, atau akta Notaris dibatalkan oleh para pihak sendiri dengan akta Notaris lagi, maka pembatalan akta Notaris yang lainnya tidak berlaku. Akibat hukum terhadap terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah hilangnya keotentikkan akta tersebut dan menjadi akta dibawah tangan sesuai dengan ketentuan Pasal 41 UU perubahan atas UUJN serta akta otentik tersebut dapat dibatalkan apabila pihak yang mendalilkan dapat membuktikannya dalam persidangan di pengadilan, karena pembuatan suatu akta otentik harus memuat ketiga unsur tersebut di atas (lahiriah, formil dan materiil) atau salah satu unsur tersebut tidak benar dan menimbulkan perkara pidana atau perdata yang kemudian dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Sehingga dalam menjalankan jabatanya seorang Notaris harus tunduk pada ketentuan undang-undang dan akta tersebut dibuat oleh dan dihadapan Notaris sesuai dengan prosedur dan tata cara 132 pembuatan akta otentik agar keotentikannya tidak menjadi akta di bawah tangan atau akta tidak sampai dibatalkan. 133 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut bahwa: 1. Bentuk pertangggungjawaban terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik adalah seorang Notaris dapat dikenakan pertanggungjawaban secara perdata berupa sanksi untuk melakukan penggantian biaya atau ganti rugi kepada pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris. Pertanggungjawaban secara administrasi berupa pemberian sanksi teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat sebagai seorang Notaris. Pertanggungjawaban terhadap kode etik profesi Notaris berupa pemberian sanksi teguran, peringatan, pemecatan sementara (schorsing), pemecatan (Onzetting) dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. Sedangkan pertanggungjawaban secara pidana seorang dapat berupa pemberian sanksi pidana penjara atau kurungan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Hal-hal tersebut berdasarkan temuan- 134 temuan dalam yurisprudensi mengenai pertanggungjawaban terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum. 2. Akibat hukum terhadap terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah hilangnya keotentikkan akta tersebut dan menjadi akta dibawah tangan serta akta otentik tersebut dapat dibatalkan apabila pihak yang mendalilkan dapat membuktikannya dalam persidangan di pengadilan, karena pembuatan suatu akta otentik harus memuat tiga unsur yaitu lahiriah, formal dan materiil atau salah satu unsur tersebut tidak benar dan menimbulkan perkara pidana atau perdata yang kemudian dapat dibuktikan ketidakbenarannya. 5.2 Saran Adapun saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan di atas terhadap pertanggungjawaban Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik adalah sebagai berikut : 1 Agar seorang Notaris dan para pihak terhindarkan dari segala resiko baik berupa sanksi maupun pembatalan akta otentik dalam proses pembuatan akta otentik dihadapan Notaris maka Notaris dan para pihak harus memiliki sifat kehati-hatian, lebih teliti dan memiliki itikad baik dalam pembuatan akta otentik serta mematuhi ketentuan hukum yang berlaku dan berlandaskan pada moral dan etika. 2 Agar pemerintah selaku lembaga eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga legislatif merekontruksi kembali pengaturan dalam UUJN dan UU perubahan atas UUJN mengenai tidak adanya komulasi atau 135 penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban seorang Notaris, karena pengaturan komulasi atau penggabungan penerapan sanksi ini tentunya akan lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak yang dirugikan oleh perbuatan melawan hukum seorang Notaris. 136 DAFTAR PUSTAKA I. BUKU Adjie, Habib, 2008, Hukum Notariat di Indonesia-Tafsiran Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung. Alfons, Maria, 2010, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produkproduk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang. Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Andasasmita, Komar, 1981, Notaris Dengan Sejarah, Peranan, Tugas Kewajiban, Rahasia Jabatannya, Sumur, Bandung. Atmasasmita, Romli, 1989, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama Yayasan LBH, Jakarta. Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1. Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Raja Grafindo, Jakarta. Chomzah, Achmad Ali, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia Jilid 1, Prestasi Pustakaraya, Jakarta. Ferry, Ahmad Nindra, 2002, Efektifitas Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan Psikotropika di Kota Makassar, Perpustakaan Unhas, Makassar. Hadjon, Phillipus M., 1987, Perlindungan hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya. Hartono, Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung. Ibrahim, Johnny, 2006, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang, Noymedia Publishing, Malang. Kanter E.Y, 2001, Etika Profesi Hukum Sebuah Pendekatan Religius, Storia Grafika, Jakarta. Kie, Tan Thong, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. 137 Koeswadji, Hermien Hadiati, 1995, Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Kusumawati, Lanny, 2006, Tanggung jawab Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung. Kusumaatmadja, Mochtar, 2002, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung. Matome, M. Ratiba, 2013, Convecaying Law for Paralegals and Law Students, bookboon.com, Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Morris, L. Cohen dan Kent C. Olson, 2000, Legal Resarch In A Nutshell, Seventh, Edition, ST. Paul, Minn, West Group. Patton, George Whitecross, 1953, A Text-Book af Jurisprudence, Oxford at the Clarendon Press, second editon. Priyatno, Dwidja, 2004, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV. Utomo, Bandung. Prodjodikoro, Wirjono, 1973, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung. Saleh, Roeslan, 1983, Pikiran-pikiran tentang Pertanggungan Jawab Pidana, Cetakan Pertama Ghalia Indo, Jakarta. Salim HS. H. dan H. Abdullah, 2007, Perancangan Kontrak dan MOU, Sinar Grafika, Jakarta. Satrio, 1999, Hukum Perikatan : Perikatan pada Umumnya, Alumni, Badung. Setiawan, Rachmat, 1982, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung. Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung. 138 Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta. _______, 2006, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soesanto, R., 1982, Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris, Wakil Notaris, Pradnya Paramita, Jakarta. Solly, M. Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung. Stroink, F.A.M dan Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Raharjo, Satijipto, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Rasjidi, Lili dan I.B Wysa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung. Rianto, Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta. Rubaie, Achmad, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Bayumedia, Malang. Tahir, Azhary, 1992, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta. Tanya, Bernard L. et.al., 2006, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya. Tedjosaputro, Liliana, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang Ten Berge, J.B.J.M, 1996, Besturen Door de Overheid, W.E.J. Tjeenk Qillink, Deventer. Tobing, G.H.S. Lumban, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta. Triwulan, Tutik, 2006, Pengantar Hukum perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Usman, Rachmadi, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta. 139 Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta. Widyadharma, Ignatius Ridwan, 1996, Etika Profesi Hukum, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Widjojanto, Bambang, 2005, Etika Profesi Suatu Kajian dan Beberapa Masalah Pokok, Makalah disampaikan pada Pendidikan Khusus Profesi Advokat Angkatan I, Depok. Wijk, H.D Van dan Willem Konijnenbelt, 1990, Hoolfdstukken van Adminstratief Recht, Uitgeverij Lemma BW, Utrecht. Yudha, Hernoko Agus, 2008, Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta. II. ARTIKEL Majalah Berita Bulanan Notaris/PPAT, 2006, Jurnal Renvoi, No.32/Th.III/Januari 2006, PT. Jurnal Renvoi Mediatama, Jakarta. edisi Majalah Renvoi, 2010, Jurnal Renvoi Mediatama, edisi delapan puluh dua Maret, PT. Jurnal Renvoi Mediatama, Jakarta. Blackgank Ar’oNe, diakses pada tanggal 6 Maret 2012 pukul 18.50, Atribusi, Kewenangan, Delegasi, Mandat, http : //arwanblack74.blogspot.com Davis Ralph C, di akses pada tanggal 6 Maret 2012 pukul 19.15, Wewenang, Delegasi, Sentralisasi, Desentralisasi, http : //wahyu410.wordpress.com. III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Acara Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Rhedbook Publisher, Jakarta. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 117. 140 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3. Kode Etik Notaris oleh Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) ditetapkan di Bandung pada tanggal 27 Januari 2005.