8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Bahasa 2.1.1. Pengertian Bahasa

advertisement
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Bahasa
2.1.1. Pengertian Bahasa dan Komunikasi
Manusia adalah mahluk sosial, yaitu sebagai anggota masyarakat
tidak akan dapat hidup tanpa berinteraksi dan berkomunikasi dengan
anggota masyarakat lainnya. Manusia selalu melakukan suatu kepanjangan
hidupnya. Untuk dapat berinteraksi memerlukan alat komunikai yaitu
bahasa. Dengan bahasa, manusia dapat menyatakan pikiran, perasaan dan
keinginan kepada anggota masyarakat lainnya.
Badudu (1996: 3) menyatakan bahwa pikiran, perasaan dan
keinginan tidaklah mempunyai arti sebelum dinyatakan dengan bahasa
yang diketahui, ditanggapi dan diberi reaksi oleh masyarakat lainnya. Oleh
karena itu pula, dapat dikatakan bahwa fungsi bahasa yang paling
mendasar
adalah
fungsi
komunikatif,
yaitu
tata
pergaulan
dan
perhubungan sesama manusia (Nababan, 1993: 48).
Bahasa merupakan suatu sistem struktur yang berfungsi sebagai alat
komunikasi. Salah satu bahasa yang digunakan oleh bangsa lndonesia
adalah bahasa Indonesia yang notabene sebagai bahasa negara dan bahasa
nasional. Studi bahasa merupakan suatu studi yang memperhatikan (a)
struktur bahasa sebagai kode, (b) mempelajari bahasa dalam hubungannya
dengan perkembangan individu (c) studi bahasa menitik beratkan analisis
8
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
9
sebagai bagian dari kebudayaan manusia, dan (d) studi bahasa
mengutamakan telaah bahasa sebagai gejala sosial.
Dalam kajian ini, studi bahasa dikaitkan dengan pemakaiannya di
masyarakat. Kajian ini disebut sosiolinguistik Kajian sosiolinguistik
memandang bahasa sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta
merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Kajian ini
pun mengkaji studi bahasa sebagai bentuk sosial yang terjadi dalam situasi
konkret (Appel, 1976: 9).
Situasi kebahasaan di Indonesia amat kompleks karena terdapat
sejumlah besar bahasa di Indonesia tercinta ini. Didalam kehidupan sosial
serta aktivitas sehari-hari anggota masyarakatnya, disamping bahasa
Indonesia, dipakai juga bahasa-bahasa daerah yang konon lebih dari 760an jumlahnya, beserta variasi-variasinya, dan bahasa asing tertentu sesuai
dengan fungsi, situasi, serta konteks berbahasa. Bahasa Indonesia
berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara/bahasa resmi,
bahasa-bahasa daerah berfungsi sebagai bahasa komunikasi intraderah, dan
bahasa asing berfungsi sebagai bahasa komunikasi internasional umum.
Situasi kebahasaan di Indonesia seperti digambarkan di atas, jika
dipandang dari sudut masyarakat atau adanya lebih dari satu bahasa dalam
masyarakat, dapat disebut bilingualism, secara kemasyarakatan atau
societal bilingualism. Sehubungan dengan kedudukan bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan, serta adanya kontak
antarbahasa daerah di dalam daerah atau wilayah yang sama, banyak
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
10
anggota masyarakat Indonesia merupakan bilingual secara perseorangan
atau individual bilingualism. Selain itu, jika dipandang dari pembedaan
fungsi-fungsi bahasa tertentu dalam masyarakat, masyarakat Indonesia
dapat juga disebut masyarakat diglosik. dengan bahasa Indonesia sebagai
"variasi tinggi" dan bahasa daerah sebagai "variasi rendah". Karena secara
resmi dan umum, bahasa Indonesia seyogianya dipakai dalam situasi
formal dan umum oleh penutur antarbahasa daerah, dan bahasa daerah
dipakai dalam situasi interaksi penutur dalam suatu bahasa daerah.
Berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual menyangkut
pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara bergantian
oleh penutur yang sama; penutur ini disebut bilingual/multilingual.
Kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa/menggunakan dua
bahasa sering disebut bilingualitas. Keadaan semacam ini menimbulkan
apa yang disebut dengan sentuh bahasa atau kontak bahasa (Suhardi dan
Sembiring, 2005: 58). Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di
dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat
Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (codeswitching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference).
Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim
terjadi sebagai produk bilingualisme/multilingualisme.
Gejala demikian juga terjadi dalam pembelajaran antara guru
dengan siswa di SMP Negeri 1 Kedungbanteng. Kontak bahasa tersebut
terjadi karena masyarakatnya dapat pula disebut sebagai masyarakat
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
11
dwibahasa,
yang sekurang-kurangnya memiliki dua bahasa yang
digunakan dalam komunikasi pembelajaran sehari-hari, yakni bahasa
daerah berupa Bahasa Jawa dan bahasa resmi sebagai pengantarnya dalam
pembelajaran
bahasa Indonesia. Gejala penggunaan dua bahasa lebih
rumit lagi ketika mereka memasukkan unsur-unsur bahasa lain selain
kedua bahasa tersebut dalam interaksi. Kerumitan tersebut disebabkan
mereka harus menentukan dengan bahasa apakah sebaiknya dalam
berkomunikasi. Selain itu penutur juga harus dapat menentukan variasi
kode manakah yang sesuai dengan situasinya. Dengan demikian setiap
masyarakat dalam wilayah pembelajaran SMP Negeri 1 Kedungbanteng
sebagai masyarakat dwibahasa/multibahasa, harus memilih salah satu
bahasa atau variasi kode yang digunakan dalam suatu peristiwa tuturnya.
2.1.2. Masyarakat Tutur
Kajian dalam Sosiolinguistik adalah pemakaian bahasa dalam
masyarakat. Secara luas, istilah Masyarakat Tutur (Speech Comunity) atau
bisa juga disebut dengan Masyarakat Bahasa (Linguistic Comunity)
digunakan oleh para linguis untuk mengacu pada komunitas yang
didasarkan pada bahasa.
Apabila suatu kelompok orang atau suatu masyarakat mempunyai
bahasa yang relative sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama
terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam
masyarakat itu, maka dapat dikatakan bahwa kelompok orang itu atau
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
12
masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur (speech community)
(Chaer, 2004: 36). Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok
orang yang mennggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang
yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk
bahasa.
Definisi ini mirip dengan definisi yang diberikan oleh Bloomfield
(1933, diindonesiakan oleh Sutikno, 1995: 40) dalam bukunya yang
berjudul “Language”. Ia memperkenalkan istilah masyarakat bahasa
dengan definisi suatu kelompok orang yang menggunakan sistem tanda
wicara yang sama dalam berinteraksi.
Halliday (dalam Suhardi dan Sembiring, 2005: 54) menyatakan
bahwa sekelompok orang yang merasa atau menganggap diri mereka
memakai bahasa yang sama disebut sebagai masyarakat bahasa. Frasa
merasa atau menganggap pada definisi di atas perlu digarisbawahi, karena
pada kenyataan sehari-hari dua bahasa yang sama baik dalam tata bunyi,
tata bahasa, dan leksikon yang mengandung banyak kemiripan dapat
disebut dua masyarakat bahasa yang berbeda, karena masyarakat tutur
tersebut menganggap dua bahasa tersebut berbeda. Sebagai contoh, secara
linguistis bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia mempunyai tata bunyi,
tata bahasa, dan lesikon yang mengandung banyak kemiripan, namun
karena masyarakat bahasa pemakai bahasa tersebut menganggapnya
sebagai dua bahasa yang berbeda, maka masyarakat bahasa penutur bahasa
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
13
Indonesia dan masyarakat bahasa penutur bahasa Malaysia tidak dapat
disebut satu masyarakat tutur yang sama.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, pendapat yang diungkapkan
oleh Fishman dirasa dapat merangkum semua pendapat yang telah
diuraikan sebelumnya. Fishman mengatakan bahwa masyarakat tutur
adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya
mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan
penggunaannya (Chaer, 2004: 36).
2.1.2.1. Kedwibahasaan dan Dwibahasawan
Kajian sosiolinguistik yang membahas masalah kode bahasa tentu
sangat erat kaitannya dengan kedwibahasaan. Kedwibahasaan diartikan
sebagai kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya
oleh seorang penutur, yang oleh Bloomfield (dalam Sutikno, 1995: 54)
dirumuskan sebagai native-like control of two language. Kedwibahasaan
seperti itu oleh Haliday disebut dengan istilah ambilingualism, disebut
equalingualism oleh Oksar dan disebut coordinate bilingualism oleh
Diebold (dalam Chaer, 2004: 87).
Pendapat semacam itu ternyata makin lama makin tidak populer,
sebab untuk
menentukan sejauh
mana
seorang
penutur
dapat
menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya tidak ada dasarnya,
sehingga sukar diukur dan hampir-hampir tidak dapat dilakukan. Oleh
sebab itu pengertian kedwibahasaan seperti itu kemudian hanya
dipandang salah satu jenis saja dari kedwibahasaan.
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
14
Perluasan pengertian kedwibahasaan nampak dalam pendapat
Mackey (dalam Chaer, 2004: 87) yang mengemukakan adanya tingkattingkat kedwibahasaan, yang dimaksudkan untuk membedakan tingkat
kemampuan seseorang dalam penguasaan bahasa kedua. Tingkat-tingkat
kemampuan demikian dapat dilihat dari penguasaan penutur terhadap
segi-segi gramatikal, leksikal, semantik dan gaya yang tercermin dalam
empat keterampilan bahasanya yaitu: menyimak, menulis, berbicara dan
membaca. Makin banyak unsur-unsur tersebut dikuasai oleh seorang
penutur
makin tinggi tingkat
kedwibahasaannya,
makin sedikit
penguasaan terhadap unsur-unsur itu makin rendah. Akan tetapi,
semuanya termasuk dwibahasawan-dwibahasawan.
Menurut Nababan (1993: 29), kedwibahasaan tidak hanya dapat
dipakai oleh perseorangan, tetapi juga untuk masyarakat (societal
bilingualism).
Pesatnya
kemajuan dibidang
informasi pada sarana
perhubungan menyebabkan masyarakat pada era globalisasi sekarang ini
banyak yang menguasai bahasa kedua, ketiga bahkan keempat. Penguasaan
bahasa oleh seorang individu yang lebih dari satu inilah yang disebut
kedwibahasaan (Nababan, 1993: 27). Konsekuensi logis dari adanya
kedwibahasaan ini adalah timbulnya alih kode, campur kode dan
interferensi. Hal ini disebabkan ketergantungan bahasa (languange
dependency) tidak dapat dihindarkan dalam tindak tutur seorang
dwibahasawan, masyarakat dengan jumlah suku yang beragam lebih dari
satu bahasa dalam komunikasi sehari-hari.
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
15
Masyarakat
atau
individu
yang
memiliki
dua
bahasa
dan
mempergunakannya dalam komunikasi dinamakan dwibahasawan. Haugen
(melalui Suwito, 1985: 44) mengatakan bahwa seorang dwibahasawan
sebagai tahu bahasa artinya bahwa seorang yang disebut dwibahasawan
tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, ia cukup mengetahui secara
pasif dua bahasa.
Menurut Sri Utari (1992: 104), terdapat dua macam kedwibahasaan
yang terdapat di Indonesia.
1. Bahasa Indonesia dan bahasa daerah, dapat terjadi karena:
1.1 dalam Sumpah Pemuda 1928 penggunaan Bahasa Indonesia
dikaitkan dengan perjuangan kemerdekaan dan nasionalisme;
1.2 bahasa-bahasa daerah mempunyai tempat yang wajar disamping
pembinaan dan pengembangan bahasa dan kebudayaan Indonesia;
1.3 perkawinan campur antar suku;
1.4 perpindahan penduduk dari satu daerah satu ke daerah lain;
1.5 interaksi antar suku yakni perdagangan;
1.6 motivasi yang banyak didorong oleh kepentingan profesi.
2. Bahasa Indonesia dengan bahasa asing, seperti bahasa Inggris, memiliki
tujuan diantaranya adalah:
2.1 untuk memperoleh pekerjaan yang layak;
2.2 untuk menunjang harga diri dan memberikan suatu status di
masyarakat, karena adanya asosiasi dengan konsep orang terpelajar;
2.3 untuk mampu berperan serta dalam pembicaraan di forum
Internasional.
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
16
2.1.2.2. Campur Kode
2.1.2.2.1. Pengertian Kode
Suatu aktivitas bicara yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari
seseorang melakukan pembicaraan sebenarnya mengirimkan kode-kode
pada lawan bicaranya (Pateda, 1991: 83). Pengkodean itu melalui proses
yang terjadi kepada pembicara maupun mitra bicara. Kode-kode yang
dihasilkan oleh tuturan tersebut harus dimengerti oleh kedua belah pihak.
Di dalam proses pengkodean jika mitra bicara atau pendengar memahami
apa yang dikodekan oleh lawan bicara, maka ia pasti akan mengambil
keputusan dan bertindak sesuai dengan apa yang disarankan oleh penutur.
Tindakan itu misalnya dapat berupa pemutusan pembicaraan atau
pengulangan pernyataan (Pateda, 1991: 84).
Kode menurut Suwito (1985: 67-69) adalah untuk menyebutkan
salah satu varian didalam hierarki kebahasaan, misalnya varian regional,
kelas sosial, raga, gaya, kegunaan dan sebagianya. Dipandang dari sudut
lain, varian sering disebut sebagai dialek geografis yang dapat dibedakan
menjadi dialek regional dan dialek lokal. Ragam dan gaya dirangkum
dalam laras bahasa, sedangkan varian kegunaannya disebut register.
Masing-masing varian merupakan tingkat tertentu dalam hierarki
kebahasaan dan semuanya termasuk dalam cakupan kode, sedangkan kode
merupakan bagian dari bahasa. Pembedaan ragam sebagai varian bahasa
didasarkan pada nada situasi bahasa yang mewadahinya. Nada situasi tutur
umumnya dibedakan menjadi situasi formal, informal dan sakral. Dengan
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
17
demikian ragam bahasa yang mewadahinyapun sejajar dengan situasi yang
mewadahi yaitu ragam formal, ragam informal, ragam sakral.
Dalam percakapan sehari-hari, sering dijumpai penggunaan bahasa
yang berbeda-beda antar kelompok atau dalam urusan tertentu yang
berbeda. Varian bahasa seperti itu disebut register. Jadi register adalah
varian bahasa yang perbedaannya ditentukan oleh peristiwa bicara (speech
event). Register tidak ditentukan oleh unsur-unsur bahasa yang
perbedaannya ditentukan oleh unsurunsur bahasa seperti fonem, morfem,
kalimat, leksikon maupun tipe struktur wacana secara keseluruhan. Ragam,
tingkat tutur dan register merupakan kode tutur.
Kode tutur merupakan varian bahasa yang secara nyata dipakai oleh
masyarakat bahasa yang bersangkutan (Poejosoedarmo, 1978: 5). Bagi
masyarakat dwibahasawan, hal tersebut meliputi varian dari dua bahasa.
Jadi dalam kode itu terdapat suatu pembatasan umum yang membatasai
pemakaian unsur-unsur bahasa tersebut. Dengan demikian pemakaian
unsur-unsur tersebut memiliki keistimewaan-keistimewaan. Keistimewaan
itu antara lain terdapat pada bentuk, distribusi dan frekuensi unsur-unsur
bahasa itu. Kode tutur bukan merupakan unsur kebahasaan seperti fonem,
morfem, kata, ungkapan, frase, kalimat atau wacana, tetapi keberadaannya
ditentukan oleh unsur-unsur kebahasaan tersebut.
Berdasarkan pendapat-pendapat itu dapat disimpulkan bahwa kode
dapat berupa varian-varian dari sebuah bahasa maupun bahasa itu sendiri.
Berpijak pada pengertian ini memberi peluang bahwa campur kode tidak
hanya terjadi antarbahasa tetapi dapat juga terjadi antarvarian.
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
18
2.1.2.2.2. Pengertian Campur Kode
Pemilihan sebuah kode tertentu merupakan konsekuensi yang
tidak dapat dihindari dari masyarakat dwibahasa ataupun multibahasa.
Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang
bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung
mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code switching), campur
kode (code mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain,
ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai
produk bilingualisme/ multilingualisme.
Demikian juga yang terjadi dalam proses pembelajaran, kontak
bahasa mungkin akan dilakukan oleh guru. Salah satu jenis pilihan
bahasa yang mungkin dilakukan adalah dengan campur kode (code
mixing). Dalam campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa
lain ketika sedang memakai bahasa tertentu (Sumarsono, 2009: 202).
Pembicaraan mengenai campur kode ini tidak lepas dengan
pembicaraan mengenai alih kode, karena kedua peristiwa yang lazim
terjadi di masyarakat bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar,
sehingga seringkali sukar dibedakan. Kesamaan yang ada antara lain
alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih,
atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur (Chaer,
2004: 114). Perbedaan keduanya, banyak ragam yang berpendapat.
Thelander berpendapat bahwa apabila dalam suatuu peristiwa
tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
19
lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi bila kalusaklausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase
campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa
atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka
peristiwa yang terjadi adalah campur kode (dalam Chaer, 2004: 115).
Fasold, membedakan campur kode dengan alih kode dengan
criteria gramatika. Apabila seseorang yang menggunakan satu kata atau
frase dari satu bahasa, maka melakukan campur kode. Tetapi apabila
satu klausa menggunakan struktur gramatika satu bahasa, dan klausa
berikutnya disusun menurut struktur gramatika lain, maka peristiwanya
adalah alih kode (dalam Chaer, 2004: 115).
Nababan (1993: 25) memberikan batasan campur kode sebagai
pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukan unsurunsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Ciri
yang menonjol dalam peristiwa campur kode adalah kesantaian atau situasi
informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi saat berbicara santai,
sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali terjadi. Apabila dalam
situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan tidak adanya istilah
yang merujuk pada konsep yang dimaksud. Seperti telah disebutkan bahwa
kode dapat berupa idiolek, dialek, register, tindak tutur, ragam, dan
registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat berupa varian
bahasa maupun bahasa itu sendiri (Nababan, 1993: 32).
Kemampuan komunikatif penutur dalam suatu masyarakat bahasa
akan sangat mempengaruhi hasil yang diharapkan penutur tersebut.
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
20
Kemampuan komunikatif menurut Nababan (1993: 10) adalah kemampuan
untuk memilih dan menggunakan satuan-satuan bahasa itu disertai dengan
aturan-aturan penggunaan bahasa dalam suatu masyarakat bahasa. Menurut
Suwito (1985: 401) bahwa campur kode adalah penyusupan unsur-unsur
kalimat dari suatu bahasa kedalam bahasa yang lain, berwujud kata, frasa,
pengulangan kata, ungkapan atau idiom.
Banyaknya pendapat mengenai perbedaan dan persamaan campur
kode dengan alih kode menimbulkan sulitnya memahami perbedaan
keduanya. Made (2010: 79-80) memberikan kesimpulan perbedaan campur
kode (code mixing) dengan alih kode (code switching) berdasarkan
beberapa kriteria.
1. Unsur kebahasaan (gramatikal), dikatakan sebagai code mixing adalah
apabila ada satu bahasa yang dimasuki unsur-unsur/serpihan-serpihan
bahasa lain.
2. Topiknya, apabila terjadi masih dalam topik yang sama dinamakan code
mixing, tetapi apabila sudah berbeda topik atau ada perubahan topic
pembahasan, maka dinamakan code switching.
3. Bahasanya, apabila yang digunakan adalah penyisipan frase atau
kelompok kata-kata dinamakan code mixing, tetapi apabila yang terjadi
berubah/pindah ke bahasa lain, maka dinamakan code switching.
4. Keformalan, code switching biasanya terjadi pada situasi formal, dan
code mixing biasanya pada situasi tidak formal atau informal.
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
21
5. Kelancaran, apabila penuturnya berbicara lancar dinamakan code
mixing, dan apabila penuturnya kurang lancer maka yang terjadi adalah
code switching.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
campur kode muncul apabila penggunaan dua bahasa (varian) atau lebih,
dalam tindak tutur dengan penyusupan unsur-unsur bahasa yang satu ke
dalam yang lain dalam batas-batas linguistik tertentu, masih dalam satu
topic pembicaraan, biasanya dalam situasi informal walaupun dapat terjadi
pada situasi yang formal dengan memperhatikan pada kelancaran penutur
menggunakan bahasanya.
2.1.2.2.3. Tipe Campur Kode
Campur kode diklasifikasikan menjadi dua yaitu, campur kode
bersifat ke dalam (internal) dan campur kode bersifat ke luar (eksternal)
(Suwito, 1985: 76). Dikatakan campur kode ke dalam (internal) apabila
antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran masih mempunyai hubungan
kekerabatan secara geografis maupun secara geanologis, bahasa yang satu
dengan bahasa yang lain merupakan bagian-bagian sehingga hubungan
antarbahasa ini bersifat vertikal. Bahasa yang terlibat dalam campur kode
internal umumnya masih dalam satu wilayah politis yang berbeda.
Contoh campur kode ke dalam (internal) dalam dialog (2) berikut:
(2)“Nanti masnya matur dulu aja ke orang tua, kalo biayanya kurang
lebih Rp. 300.000”.
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
22
Kata matur pada teks tersebut adalah bentuk campur kode, penggunaan
kata matur sebenarnya bisa dihindari sebab kata tersebut sudah ada
padanannya dalam bahasa Indonesia, penggunaan kata matur sesuai
dengan budaya yang berlaku di daerah tempat tuturan terjadi. Kata matur
menunjukan perwujudan kedaerahan yaitu Jawa. Bahasa Jawa adalah
bahasa yang hidup dalam wilayah politik sama dengan bahasa Indonesia,
Bahasa Jawa juga memiliki hubungan genetis dengan bahasa Indonesia.
Dengan demikian terbukti bahwa data tersebut adalah campur kode
internal atau ke dalam.
Dikatakan campur kode eksternal apabila antara bahasa sumber
dengan bahasa sasaran tidak mempunyai hubungan kekerabatan, secara
geografis, geanologis ataupun secara politis. Campur kode eksternal ini
terjadi diantaranya karena kemampuan intelektualitas yang tinggi,
memancarkan nilai moderat. Dengan demikian hubungan campur kode tipe
ini adalah keasingan antar bahasa yang terlibat.
Contoh campur kode eksternal dalam dialog (3) berikut:
(3) “Data-data yang ada di phone memory kemungkinan akan hilang
seperti nomer-nomer telepon, pesan, kalender dan catatan”.
Kata phone memory dalam teks berasal dari bahasa Inggris, bahasa Inggris
tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan bahasa Indonesia, antara
kedua bahasa tersebut juga tidak ada hubungan genetis oleh sebab itu maka
tipe campur kode pada kata tersebut adalah tipe campur kode ke luar atau
eksternal.
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
23
2.1.2.2.4. Bentuk – bentuk Campur Kode
Menurut Suwito (1985: 78) selain tipe-tipe campur kode juga
memiliki wujud yang ditentukan oleh wujud bahasa tercampur yaitu
seberapa besar unsur bahasa tercampur menyusup ke dalam bahasa utama.
Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat didalamnya, campur
kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain penyisipan
unsur yang berupa kata, penyisipan unsur berupa frase, penyisipan unsur
berupa klausa, penyusupan unsur berupa perulangan kata dan penyusupan
unsur berupa ungkapan.
2.1.2.2.5. Latar Belakang Terjadinya Campur Kode
Suwito (1985: 77-78) memberi batasan tentang faktor penyebab
campur kode berasal dari latar belakang terjadinya campur kode, yakni tipe
-tipe yang berlatar belakang pada sikap atau non-kebahasaan dan tipe yang
berlatar belakang pada kebahasaan. Dari latar belakang tersebut maka
dapat diidentifikasi faktor – faktor penyebab terjadinya campur kode
sebagai berikut :
1. identifikasi peranan
yang
ukurannya adalah
sosial,
registeral,
edukasional;
2. identifikasi ragam yang ditentukan oleh bahasa yang dipakai seseorang
didalam peristiwa campur kode, berdasarkan kedudukan dalam status
sosialnya;
3. keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan, yang menandai sikap
dan hubungan dengan orang lain.
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
24
Faktor penyebab terjadinya campur kode yaitu (1) kesantaian
penutur (2) situasi formal (3) kebiasaan (4) tidak ada ungkapan yang tepat
dalam bahasa yang sedang dipakai (Nababan, 1993:32) Dari pendapat di
atas tampak persamaan dan perbedaan dalam memandang campur kode.
Persamaannya bahwa campur kode merupakan percampuran dua bahasa
(varian) atau lebih dalam tindak tutur. Perbedaannya yaitu masing-masing
pada batas-batas linguistik campur kode
Weinreich (1963) menjelaskan mengapa seseorang harus meminjam
kata-kata dari bahasa lain. Hal ini pada dasarnya memiliki dua faktor yaitu
faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor Internal adalah faktor yang menunjukan bahwa seseorang
meminjam kata dari bahasa lain karena dorongan yang ada dalam dirinya.
Adapun faktor tersebut meliputi tiga macam sebagaimana tersebut di
bawah ini.
1. Menghindari kata yang jarang dipakai (Low frequency of word)
Seseorang melakukan campur kode karena kata-kata yang sering
digunakan biasanya mudah diingat dan lebih stabil maknanya. Hal ini
misalnya, ketika seorang guru sedang mengajarkan tentang tokoh cerita
protagonis, antagonis dan figuran yang berasal dari bahasa Inggris.
Dengan demikian peminjaman kata dari bahasa lain bertujuan untuk
menghindari pemakaian kata yang jarang didengar orang. Atau dengan
kata lain menggunakan kata yang biasanya dipakai sehingga lawan tutur
mudah memahami makna yang ingin disampaikan penutur.
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
25
2. Memecahkan masalah homonym (Pernicious Homonymy)
Kata-kata yang dipinjam dari bahasa lain juga digunakan untuk
memecahkan masalah homonim yang ada dalam bahasa penutur.
Maksudnya adakalanya jika penutur menggunakan kata dalam
bahasanya sendiri, maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah
homonim
yaitu
makna
ambigu.
Sehingga
untuk
menghindari
keambiguan makna penutur menggunakan kata dari bahasa lain.
3. Menggunakan sinonim kata (Need for Synonim)
Penutur sengaja menggunakan kata dari bahasa lain yang bersinonim
dengan bahasa penutur dengan tujuan untuk menyelamatkan muka
lawan tutur.
Faktor eksternal adalah suatu dorongan yang berasal dari luar
penutur, yang menyebabkan penutur meminjam kata dari bahasa lain.
Terdapat empat faktor eksternal sebagaimana berikut ini.
1. Perkembangan atau perkenalan dengan budaya baru (New culture)
Faktor ini terjadi karena adanya perkembangan budaya baru misalnya
perkembangan teknologi di Indonesia, mau tidak mau orang Indonesia
banyak menggunakan bahasa Inggris karena banyak sekali alat-alat
teknologi yang berasal dari negara asing. Atau pemakaian bahasa Jawa
oleh para mahasiswa yang notabene tidak berasal dari Jawa.
2. Maksud tertentu (In Sufficiently Differentiated)
Menunjukkan makna tertentu yang memiliki maksud tertentu misalnya
karena kebiasaan.
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
26
3. Status Sosial (Social Value)
Penutur mengambil kata dari bahasa lain dengan mempertimbangkan
faktor sosial, sehingga diharapkan dengan penggunaan kata-kata
tersebut dapat menunjukan status sosial dari penutur.
4. Keterbatasan kosa kata (Oversight)
Maksudnya ada keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasa
penutur dalam kaitannya dengan topik yang disampaikan sehingga
penutur harus mengambil kata dari bahasa lain. Contohnya terbatasnya
kata dalam bidang kedokteran dalam bahasa Indonesia, maka banyak
istilah kedokteran yang diambil dari bahasa latin yang mempunyai
istilah yang tepat dalam bidang kedokteran.
2.1.3. Tindak Tutur dan Pragmatik
Tindak tutur sebenarnya merupakan salah satu fenomena dalam
masalah yang lebih luas, yang dikenal dengan istilah pragmatik. Tindak
tutur (speech act) merupakan bagian dari peristiwa tutur (speech event).
Kalau peristiwa tutur itu dalam bentuk praktis adalah wacananya, seperti
sebuah percakapan, pidato, proses pembelajaran, dan lain-lain, maka
tindak tutur merupakan unsur pembentukannya yang berupa tuturan dan
tindakan/perbuatan tuturannya (Chaer, 2004: 50).
Wijana (1996: 1) menjelaskan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu
bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni
bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi. Pragmatik
mempelajari bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi dan
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
27
bagaimana pragmatik menyelidiki makna sebagai konteks, bukan sebagai
sesuatu yang abstrak dalam komunikasi (Leech, 1993: 5). Konteks menjadi
pijakan utama dalam analisis pragmatik. Konteks di sini termasuk masalah
siapa yang mengatakan kepada siapa, tempat dan waktu diujarkannya
suatu kalimat, anggapan-anggapan mengenai yang terlibat di dalam
tindakan mengutarakan kalimat itu (Purwo, 1990: 14)
Jadi, makna yang dikaji oleh pragmatik adalah makna yang terikat
konteks (contex dependent) atau dengan kata lain mengkaji maksud
penutur untuk memahami maksud mitra tutur. Penutur dan mitra tutur
dapat memanfaatkan pengalaman bersama (background knowledge) untuk
memudahkan pengertian bersama.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat dipahami bahwa
cakupan kajian pragmatik sangat luas, sehingga sering dianggap tumpang
tindih dengan kajian wacana atau kajian sosiolinguistik. Suatu kajian
pragmatik bukan hanya bentuk kata atau kalimat saja, melainkan juga
konteks yang melingkupinya, penggunaannya dalam tindak tutur atau
tindak ujaran (speech act), interaksi antara penutur dan lawan tutur. Untuk
lebih jelasnya, berikut akan disajikan tentang aspek dan bentuk
pragmatiknya.
2.1.3.1. Aspek Pragmatik
Leech (1993: 19-20) mengemukakan sejumlah aspek studi
pragmatik, meliputi : penutur dan mitra tutur, konteks tutur, tujuan
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
28
tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan
sebagai produk tindak verbal.
2.1.3.1.1. Penutur dan mitra tutur
Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan mitra tutur adalah usia,
latar belakang sosial, ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban.
2.1.3.1.2. Konteks
Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek
fisik atau latar belakang sosial yang sesuai dan tuturan yang
bersangkutan. Dalam pragmatik konteks itu pada hakekatnya adalah
semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang
dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur.
2.1.3.1.3. Tujuan tuturan
Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi
oleh maksud dan tujuan tuturan Dalam hubungan ini bentuk-bentuk
tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan
satu maksud atau sebaliknya, satu maksud dapat disampaikan dengan
beraneka ragam tuturan.
2.1.3.1.4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas
Pragmatik menangani bahasa dan tingkatannya yang lebih konkret,
dibanding tata bahasa. Tuturan yang konkret adalah jelas penutur dan
mitra tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
29
2.1.3.1.5. Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tuturan yang digunakan dalam pragmatik merupakan wujud dari tindak
verbal. Oleh karena itu, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari
tindak verbal.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwasanya dalam
melakukan ujaran ada beberapa aspek yang harus diperhatikan. Aspekaspek tersebut akan berpengaruh pada keberterimaan dan keefektifan
ujaran yang dilakukan, atau karena tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
memaknai suatu ujaran tidak dapat mengabaikan faktor-faktor di luar
ujaran itu sendiri.
2.1.3.2. Bentuk Tindak Tutur
Searle (dalam Rohmadi, 2004: 29) menyebut tindak tutur sebagai
produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan
merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi linguistik yang dapat
berwujud pernyataan, pertanyaan, perintah atau yang lainnya. Tindak
tutur (speech act) adalah gejala individual yang bersifat psikologis dan
keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam
menghadapi situasi tertentu (Chaer, 2004: 49).
Berdasar struktur kalimatnya, tindak tutur terdiri atas tiga jenis,
yaitu (1) kalimat deklaratif (pernyataan); (2) kalimat interogatif
(pertanyaan); dan (3) kalimat imperatif (perintah) (Chaer, 2004:50).
Kalimat deklaratif adalah kalimat yang isinya hanya meminta pendengar
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
30
untuk menaruh perhatian saja, tidak usah melakukan apa-apa atau
sekedar hanya memberitahukan. Kalimat interogatif adalah kalimat yang
isinya meminta agar pendengar untuk member jawaban secara lisan.
Kalimat imperatif adalah kalimat yang isinya meminta agar pendengar
memberi tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang diminta.
Pembagian kalimat atas kalimat deklaratif, interogatif, dan
imperatif didasarkan pada bentuk kalimat itu secara terlepas, artinya ada
kemungkinan sebuah kalimat deklaratif atau kalimat interogatif tidak lagi
berisi pernyataan dan pertanyaan, tetapi menjadi berisi perintah. Hal ini
dikarenakan oleh adanya situasi dan kondisi konteks yang mengikuti
terjadinya suatu kalimat tersebut, sehingga suatu satuan kalimat dapat
juga dipakai untuk mengungkapkan sejumlah fungsi di dalam
komunikasi, dan suatu fungsi komunikatif tertentu dapat juga
diungkapkan dengan sejumlah satuan kalimat (Purwo, 1990:14).
Misalnya, suatu kalimat “Sudah jam Sembilan!” (yang secara struktural
dapat disebut sebagai kalimat deklaratif) dapat digunakan untuk
mengungkapkan sejumlah fungsi di dalam komunikasi. Salah satunya,
kalimat itu dapat berupa jawaban (yang informatif) terhadap pertanyaan
Jam berapa sekarang? Selain membawa fungsi komunikatif, kalimat
tersebut dapat pula dipakai untuk komunikatif yang lain. Jika kalimat
tersebut misalnya diucapkan oleh seorang ibu yang mengelola pondokan
mahasiswi dan diarahkan kepada mahasiswa yang sedang bertamu
menemui mahasiswi anak semangnya, maka kalimat itu dapat diartikan
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
31
sebagai pengusiran secara tidak langsung. Jadi kalimat deklaratif tersebut
tidak hanya berfungsi untuk menyampaikan berita atau informasi, tetapi
dapat pula digunakan untuk menyatakan perintah.
Demikian juga suatu fungsi komunikatif tertentu dapat dinyatakan
dengan beberapa cara. Misalnya ada kalimat:
(4) Tutup pintu itu!,
(5) Bisakah pintu itu ditutup?
(6) Saya agak kedinginan.
Kalimat-kalimat tersebut menunjukan bahwa suatu fungsi komunikatif
dapat disampaikan dengan menggunakan konstruksi imperatif pada
kalimat (4), konstruksi interogatif pada kalimat (5), dan konstruksi
deklaratif pada kalimat (6).
Moeliono (1992: 33) menyatakan bahwa apabila didasarkan pada
nilai komunikatifnya, kalimat dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan
menjadi lima, yakni: (1) kalimat berita atau deklaratif, (2) kalimat
perintah atau imperatif, (3) kalimat tanya atau interogatif, (4) kalimat
seruan atau eksklamatif, (5) kalimat penegas atau emfatik. Sesuai
sebutannya kalimat berita untuk menyampaikan berita yang berupa
pernyataan, kalimat tanya digunakan untuk mengajukan pertanyaan,
kalimat perintah digunakan untuk memberikan perintah, kalimat seruan
digunakan untuk mengungkapkan keheranan atau kekaguman atas hal
tertentu, dan kalimat penegas digunakan untuk memberikan penekanan
atau penegasan khusus terhadap pokok pembicaraan tertentu.
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
32
Ramlan (1987: 31) menyatakan bahwa berdasarkan fungsinya
dalam hubungannya dengan situasi, kalimat dapat digolongkan menjadi
tiga, yakni (1) kalimat berita, (2) kalimat tanya, (3) kalimat suruh.
Kalimat berita berfungsi untuk memberitahukan sesuatu kepada orang
lain. Kalimat tanya berfungsi untuk menanyakan sesuatu, sedangkan
kalimat suruh mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan tertentu
dari orang yang diajak berbicara.
Berbeda dengan pernyataan di atas, Kundjana (2005: 3) tentang
fungsi komunikatif ini, menyebutnya dengan istilah makna pragmatik
deklaratif, makna pragmatik interogatif, dan makna pragmatik imperatif.
Hal ini digunakan, karena dianggap sosok ini memiliki cakupan makna
yang jauh lebih luas manakala dibandingkan dengan istilah lainnya.
Misalnya istilah imperatif jika dibandingkan dengan istilah memerintah
atau menyuruh.
Oleh karena itu, makna pragmatik deklaratif dapat dinyatakan
dengan konstruksi deklaratif. Makna pragmatik interogatif dapat
dinyatakan dengan konstruksi interogatif. Makna pragmatik imperatif
dapat dinyatakan dengan konstruksi imperatif. Dapat dikatakan demikian
karena dalam kegiatan bertutur, misalnya makna pragmatik imperatif
tidak hanya dapat dinyatakan dengan konstruksi imperatif, melainkan
dapat pula dinyatakan dengan konstruksi-konstruksi lain.
Karena
fungsi komunikasi deklaratif,
interogatif
maupun
imperatif itu terwujud dalam bentuk tindak-tindak tutur, tuturan-tuturan
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
33
tersebut pun erat hubungannya dengan jenis-jenis tindak tutur. Dilihat
secara pragmatik, ada tiga jenis tindakan yang diwujudkan oleh seorang
penutur,
yaitu
tindak
lokusi
(locutionary
act),
tindak
ilokusi
(illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act) (Austin
dalam Chaer, 2004 : 53). Yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. tindak lokusi, yaitu tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti
“berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan
dapat dipahami (Chaer, 2004: 53). Searle dalam Wijana (1996: 17)
mengatakan bahwa lokusi adalah tindak tutur dengan kata, frasa, dan
kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan
kalimat itu;
2. tindak ilokusi, yaitu tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan
dengan kalimat performatif yang eksplisit (Chaer, 2004: 53). Tindak
tutur ilokusi ini biasanya berkenaan dengan pemberian izin,
mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan;
3. tindak perlokusi yaitu tindak tutur yang berkenaan dengan adanya
ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik dari orang lain itu (Chaer, 2004: 53). Misalnya, karena
adanya ucapan dokter (kepada pasiennya) ”Mungkin ibu menderita
penyakit jantung koroner.” Maka si pasien akan panik atau sedih.
Ucapan dokter itu adalah tindak tutur perlokusi. Wijana (1996: 20)
tindak perlokusi adalah sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
34
seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek
bagi yang mendengarkan.
Pendapat
lain tentang tindak tutur ilokusi seperti yang
disampaikan Rohmadi (2004: 31), adalah tindak tutur yang berfungsi
untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu dan dipergunakan
untuk melakukan sesuatu.
Searle (dalam Rahardi, 2005: 36) menggolongkan tindak tutur
ilokusi ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing
memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan itu adalah:
1) asertif, 2) direktif, 3) ekspresif, 4) komisif dan 5) deklaratif.
1.
Asertif adalah bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran
proposisi yang diungkapkan.
2.
Direktif adalah bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk
membuat pengaruh agar mitra tutur melakukan tindakan.
3.
Ekspresif adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan
atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan.
4.
Komisif adalah bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji
atau penawaran.
5.
Deklaratif adalah bentuk tutur yang menghubungkan bentuk tuturan
dengan kenyataan.
2.2. Proses Pembelajaran
Telaah mengenai proses pembelajaran dalam kajian ini adalah proses
yang berlangsung pada tingkatan SMP dalam mata pelajaran bahasa
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
35
Indonesia, yang terfokus pada tuturan guru, maka akan diuraikan mengenai:
1) pengertian pembelajaran, 2) pembelajaran bahasa Indonesia, dan 3) guru.
2.2.1. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses
yang
sengaja
dirancang
untuk
menciptakan terjadinya aktivitas belajar dalam diri individu. Dengan kata
lain, pembelajaran merupakan sesuatu hal yang bersifat eksternal dan
sengaja dirancang untuk mendukung terjadinya proses belajar internal dalam
diri individu (Benny A. Pribadi, 2009: 6-7). Pengertian pembelajaran
menurut Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar.
Proses pembelajaran di sekolah adalah interaksi atau hubungan
timbal balik antara siswa dengan guru, dan antara siswa dengan siswa dalam
suatu kelompok belajar. Pengertian interaksi mengandung unsur saling
memberi dan menerima, yang selalu melibatkan unsur-unsur: 1) Tujuan
pembelajaran yang hendak dicapai sesuai dengan tuntutan kompetensi dasar
(KD); 2) Adanya siswa sebagai komponen yang mengalami proses
pembelajaran dan guru sebagai komponen yang mengatur proses
pembelajaran; 3)
Sarana dan prasarana
yang
mendukung
proses
pembelajaran seperti media, alat-alat laboratorium dan sumber-sumber
belajar lainnya; 4) Lingkungan, sosial dan budaya juga sangat berpengaruh
dalam proses pembelajaran, diharapkan sekolah mampu menciptakan
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
36
lingkungan sekolah yang kondusif sebagai wahana tempat proses
pembelajaran.
Suatu pembelajaran dapat berjalan dengan efektif bila seluruh
komponen yang berpengaruh dalam proses pembelajaran saling mendukung
dalam rangka mencapai tujuan. Komponen-komponen yang berpengaruh
dalam proses pembelajaran adalah guru, siswa, sarana-prasana, dan
lingkungan (Dirjen Dikmenum, 1994).
Guru adalah komponen yang sangat menentukan dalam implementasi pembelajaran. Tanpa guru, bagaimanapun bagus dan idealnya suatu
strategi, maka strategi itu tidak mungkin dapat diaplikasikan. Keberhasilan
implementasi suatu strategi pembelajaran akan tergantung pada kepiawaian
guru dalam menggunakan metode, teknik dan taktik pembelajaran.
Mengingat kajian penelitian ini terfokus pada guru dalam pembelajaran,
maka mengenai guru akan dibahas lebih rinci dalam bagian lain.
Siswa adalah organisme yang unik yang sedang berkembang sesuai
dengan tahap perkembangannya. Perkembangan anak adalah perkembangan
seluruh aspek kepribadiannya, akan tetapi tempo dan irama perkembangan
masing-masing anak pada setiap aspek tidak selalu sama. Proses
pembelajaran dapat dipengaruhi oleh perkembangan anak yang tidak sama
itu, disamping karakteristik lain yang melekat pada diri anak.
Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung
terhadap kelancaran proses pembelajaran, misalnya media pembelajaran,
alat-alat pelajaran, perlengkapan sekolah, dan lain sebagainya; sedangkan
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
37
prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat
mendukung keberhasilan proses pembelajaran, misalnya : jalan menuju
sekolah, penerangan sekolah, kamar kecil dan lain sebagainya. Kelengkapan
sarana dan prasarana akan membantu guru dalam penyelenggaraan proses
pembelajaran. Dengan demikian sarana dan prasarana merupakan komponen
penting yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran.
Dilihat dari dimensi lingkungan ada dua faktor yang dapat
mempengaruhi proses pembelajaran, yaitu organisasi kelas dan faktor iklim
sosio-psikologis. Faktor organisasi kelas yang didalamnya meliputi jumlah
siswa dalam satu kelas merupakan aspek penting yang dapat mempengaruhi
pembelajaran. Organisasi kelas yang terlalu besar akan kurang efektif untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Faktor iklim sosio-psikologis maksudnya
adalah keharmonisan hubungan antara orang yang terlibat dalam proses
pembelajaran. Iklim sosial ini dapat terjadi secara internal atau eksternal.
Secara internal adalah hubungan antara orang yang terlibat dalam
lingkungan sekolah, misalnya antara siswa dengan siswa, siswa dengan
guru, guru dengan guru, bahkan antara guru dengan pimpinan sekolah.
Secara eksternal adalah hubungan yang harmonis antara pihak sekolah
dengan dunia luar, misalnya antara sekolah dengan orang tua siswa, dengan
lembaga-lembaga masyarakat, dan lain sebagainya.
Hubungan antara komponen-komponen tersebut di atas, dapat
digambarkan dalam bentuk skema seperti pada gambar berikut :
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
38
Faktor sekolah
-------------------guru, metode, sarana
Raw Input
---------------siswa masuk
Proses
-------------------Pembelajaran
Out Put
---------------Siswa Berhasil
Faktor Lingkungan
-------------------------Sosial Budaya
Gambar 1: Skema komponen-komponen yang berpengaruh
dalam proses pembelajaran.
(Sumber Dirjen Pendidikan Menengah Umum, 1994)
2.2.2. Pembelajaran Bahasa Indonesia
Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar berkomunikasi. Oleh
karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan
pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995).
Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 bahwa kompetensi pebelajar bahasa
diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu membaca, berbicara, menyimak,
dan mendengarkan.
Tujuan pembelajaran bahasa, menurut Basiran (1999) adalah
keterampilan komunikasi dalam berbagai konteks komunikasi. Kemampuan
yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai,
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
39
dan
mengekspresikan
diri
dengan
berbahasa.
Kesemuanya
itu
dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan.
Sementara itu, dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) untuk
SMP dan MTs, disebutkan bahwa tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia secara umum meliputi: 1) berkomunikasi secara efektif dan
efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, 2)
menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa negara, 3) memahami bahasa Indonesia dan
menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan, 4)
menggunakan
bahasa
Indonesia
untuk
meningkatkan
kemampuan
intelektual, serta kematangan emosional dan sosial, 5) menikmati dan
memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi
pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, 6)
menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya
dan intelektual manusia Indonesia.
Tujuan di atas dapat tercapai, bila dalam pembelajaran bahasa
memperhatikan prinsip-prinsip belajar bahasa, serta menjadikan aspekaspek tersebut sebagai petunjuk. Prinsip-prinsip belajar bahasa dapat
disarikan sebagai berikut. Pebelajar akan belajar bahasa dengan baik bila:
1) diperlakukan sebagai individu yang memiliki kebutuhan dan minat, 2)
diberi kesempatan berapstisipasi dalam penggunaan bahasa secara
komunikatif dalam berbagai macam aktivitas, 3) bila ia secara sengaja
memfokuskan pembelajarannya kepada bentuk, keterampilan, dan strategi
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
40
untuk mendukung proses pemerolehan bahasa, 4) ia disebarkan dalam data
sosiokultural dan pengalaman langsung dengan budaya menjadi bagian dari
bahasa sasaran, 5) jika menyadari akan peran dan hakikat bahasa dan
budaya, 6) jika diberi umpan balik yang tepat menyangkut kemajuan
mereka, dan 7) jika diberi kesempatan untuk mengatur pembelajaran mereka
sendiri (Aminuddin, 1994).
2.2.3. Guru
Guru sebagai sosok panutan, yang memiliki moral dan agama yang
patut ditiru dan diteladani oleh siswa di dalam maupun di luar kelas. Alat
pendidikan yang diharapkan akan membentuk kepribadian siswa kelak di
masa dewasa. Dalam hal ini guru dipandang sebagai role model yang akan
digugu dan ditiru oleh peserta didiknya (Suparlan, 2006: 32).
Guru harus banyak menggunakan waktunya untuk berhubungan
dengan peserta didik, tidak saja karena jauh dari kondisi komunikasi yang
ideal di kebanyak kelas, tetapi juga karena hakikat mengajar itu sendiri.
Ujaran guru dikarakterisasi dengan banyaknya ujaran yang menindakan
tindak tutur, yaitu menginformasikan, menjelaskan, mendefinisikan,
menanyakan, membenarkan,, menarik perhatian, dan memerintah (Ibrahim,
1993: 211).
2.2.3.1. Kompetensi Guru
Guru memiliki satu kesatuan peran dan fungsi yang tidak dapat
dipisahkan antara kemampuan mendidik, membimbing, mengajar dan
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
41
melatih. Keempat kemampuan tersebut secara terminologis akademis
dapat dibedakan antara yang satu dengan lainnya. Namun, dalam
kenyataan praktik di lapangan, keempat hal tersebut harus menjadi satu
kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan (Suparlan, 2006: 29).
Mengingat kajian penelitian ini mengenai tuturan guru yang terjadi
dalam proses pembelajaran atau ketika guru sedang mengajar, maka
penulis akan menjelaskan mengenai ketrampilan mengajar guru.
Keterampilan mengajar (teaching skills) dapat dilatihkan melalui microteaching yang harus dikuasai terlebih dahulu oleh calon guru sebelum
melakukan proses pembelajaran di lembaga pendidikan (Usman, 2006:
74). Adapun keterampilan mengajar tersebut antara lain: keterampilan
bertanya
(questioning
skills),
keterampilan
memberi
penguatan
(reinforcement skills), keterampilan mengadakan variasi (variation
skills), keterampilan menjelaskan (explaning skills), keterampilan
membuka dan menutup pelajaran (set induction an closure), keterampilan
membimbing diskusi kelompok kecil, keterampilan mengelola kelas, dan
keterampilan mengajar perseorangan.
2.2.3.1.1. Keterampilan bertanya (questioning skills)
Bagaimanapun tujuan pendidikan, secara universal guru akan
selalu menggunakan keterampilan bertanya kepada siswanya. Cara
bertanya untuk seluruh kelas, untuk kelompok atau untuk individu,
memiliki pengaruh yang sangat berarti tidak hanya pada hasil belajar
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
42
siswa tetapi juga pada suasana kelas baik sosial maupun emosional
(Djamarah, 2005: 99).
Menurut Usman (2006: 77-79) keterampilan bertanya ada dua
yaitu keterampilan bertanya dasar dan keterampilan bertanya lanjutan.
1.
Komponen-komponen keterampilan bertanya dasar, yaitu:
 Penggunaan pertanyaan secara jelas dan singkat
 Pemberian acuan
 Pemindahan giliran
 Penyebaran
 Pemberian waktu berfikir
 Pemberian tuntutan
2.
Komponen-komponen keterampilan bertanya lanjutan, yaitu:
 Pengubahan tuntutan tingkat kognitif dalam menjawab
pertanyaan
 Pengaturan urutan pertanyaan
 Penggunaan pertanyaan pelacak
 Peningkatan terjadinya interaksi
2.2.3.1.2. Keterampilan memberi penguatan (reinforcement skills)
Penguatan (reinforcement) adalah segala bentuk respons,
apakah bersifat verbal ataupun nonverbal, yang merupakan bagian dari
modifikasi tingkah laku guru terhadap tingkah laku siswa, yang
bertujuan untuk memberikan informasi atau umpan balik (feedback)
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
43
bagi si penerima (siswa) atas perbuatannya sebagai suatu tindak
dorongan ataupun koreksi (Usman, 2006: 80)
Pemberian respon dalam proses interaksi educatif disebut
“pemberian penguatan”, karena hal tersebut akan membantu sekali
dalam meningkatkan hasil belajar siswa (Djamarah, 2005: 118).
Usman (2006: 81), penguatan mempunyai pengaruh yang
berupa sikap positif terhadap proses belajar siswa dan bertujuan
sebagai berikut :
1.
meningkatkan perhatian siswa terhadap pelajaran;
2.
merangsang dan meningkatkan motivasi belajar;
3.
meningkatkan kegiatan belajar dan membina tingkah laku siswa
yang produktif.
Dalam
memberikan
penguatan
diperlukan
penggunaan
komponen keterampilan yang tepat. Komponen tersebut ada enam.
1.
Penguatan verbal
Pujian dan dorongan yang diucapkan oleh guru untuk merespon
tingkah laku siswa adalah penguatan verbal.
2.
Penguatan gestural
Pemberian penguatan gestural sangat erat sekali dengan
pemberian penguatan verbal. Gerakan tubuh merupakan bentuk
pemberian penguatan gestural.
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
44
3.
Penguatan kegiatan
Penguatan dalam bentuk kegiatan ini banyak terjadi bila guru
menggunakan suatu kegiatan atau tugas, sehingga dapat
memilihnya/menikmati sebagai suatu hadiah atas suatu pekerjaan
atau penampilan sebelumnya.
4.
Penguatan mendekati
Perhatian guru kepada siswa menunjukan bahwa guru tertarik,
secara fisik guru mendekati siswa dapat dikatakan sebagai
penguatan mendekati. Penguatan mendekati siswa secara tisik
dipergunakan untuk memperkuat penguatan verbal, penguatan
tanda dan penguatan sentuhan.
5.
Penguatan sentuhan
Penguatan gentuhan merupakan penguatan yang terjadi bila guru
secara fisik menyentuh siswa, misal menepuk bahu, berjabatangan
yang semuanya ditunjukan untuk penghargaan penampilan
tingkah laku atau kerja siswa.
6.
Penguatan tanda
Bila guru menggunakan berbagai macam simbol, apakah itu
benda atau tulisan yang ditujukan kepada siswa untuk
penghargaan terhadap suatu penampilan tingkah laku, kerja siswa
disebut sebagai penguatan tanda (loken reinforcemen).
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
45
2.2.3.1.3. Keterampilan mengadakan variasi (variation skills)
Variasi stimulus adalah suatu kegiatan guru dalam konteks
proses intelektual belajar-mengajar yang ditujukan untuk mengatasi
kebosanan murid sehingga dalam situasi belajar-mengajar, murid
senantiasa
menunjukkan
ketekunan,
antusiasme,
serta
penuh
partisipasi. Tujuan dan manfaat adalah :
1.
untuk menimbulkan dan meningkatkan perhatian siswa kepada
aspek-aspek belajar-mengajar yang relevan;
2.
untuk memberikan kesempatan bagi berkembangnya bakat ingin
mengetahui dan menyelidiki pada siswa tentang hal yang baru;
3.
untuk memupuk tingkah laku yang positif terhadap guru dan
sekolah;
4.
guna memberi kesempatan kepada siswa untuk memperoleh cara
menerima pelajaran yang disenangi.
Komponen-komponen keterampilan mengadakan variasi :
1.
variasi dalam cara mengajar guru
 penggunaan variasi suara (teacher voice)
 pemusatan perhatian siswa (focusing)
 kesenyapan atau kebisuan guru (teacher silence)
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
46
 mengadakan kontak pandang dan gerak (eye contact and
movement)
 gerakan badan mimik
 pergantian posisi guru di dalam kelas dan gerak guru (teachers
movement)
2.
variasi dalam penggunaan media dan alat pengajaran
 variasi alat atau bahan yang dapat dilihat (visual aids)
 variasi alat atau bahan yang dapat didengar (audtif aids)
 variasi alat atau bahan yang dapat diraba, dimanipulasi, dan
digerakan (motorik)
 variasi alat atau bahan yang dapat didengar, dilihat, dan diraba
(audio visual aids)
3.
variasi pola interaksi dan kegiatan siswa
 pola guru-murid, yaitu komunikasi sebagai aksi satu arah)
 pola guru-murid-guru, yaitu ada balikan (feedback) bagi guru,
tidak ada interaksi antarsiswa (komunikasi sebagai interaksi)
 pola guru-murid-murid, yaitu ada balikan bagi guru, siswa
saling belajar satu sama lain.
 pola guru-murid, murid-guru, murid-murid, yaitu interaksi
optimal antara guru dengan murid dan antara murid dengan
murid (komunikasi sebagai transaksi, multiarah)
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
47
 pola melingkar, yaitu setiap siswa mendapat giliran untuk
mengemukakan sambutan atau jawaban, tidak diperkenankan
berbicara dua kali apabila setiap siswa belum mendapat giliran.
2.2.3.1.4. Keterampilan menjelaskan (explaning skills)
Menurut Djamarah (2005: 131) keterampilan menjelaskan
adalah pemberian informasi secara lisan yang diorganisasikan secara
sistematis untuk menunjukan adanya hubungan sebab akibat, antara
yang sudah dialami dan yang belum dialami, antara generalisasi
dengan konsep, antara konsep dengan data atau sebaliknya.
Penyampaian informasi yang terencana dengan baik dan
disajikan dengan urutan yang cocok merupakan ciri utama kegiatan
menjelaskan. Pemberian penjelasan merupakan salah satu aspek yang
sangat penting dari kegiatan guru dalam interaksinya dengan siswa di
dalam kelas (Usman, 2006: 89)
Menurut Djamarah (2005: 131) tujuan memberikan penjelasan
adalah:
1.
membimbing anak didik untuk dapat memahami hukum, dan
fakta secara benar;
2.
melibatkan anak didik untuk berfikir memecahkan masalah atau
pertanyaan;
3.
untuk mendapatkan balikan dari anak didik;
4.
membimbing anak didik untuk menghayati.
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
48
2.2.3.1.5. Keterampilan membuka dan menutup pelajaran (set induction an
closure)
Yang dimaksud dengan set induction ialah usaha atau kegiatan
yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan belajar-mengajar untuk
menciptakan prokondisi bagi murid agar mental maupun perhatian
terpusat pada apa yang akan dipelajarinya sehingga usaha tersebut
akan memberikan efek yang positif terhadap kegiatan belajar (Usman,
2006: 90-107). Komponen keterampilan membuka dan menutup
pelajaran adalah seperti berikut ini.
1.
Membuka pelajaran
Komponen keterampilan membuka pelajaran meliputi :
 menarik perhatian siswa
 menimbulkan motivasi
 memberi acuan
 membuat kaitan atau hubungan di antara materi-materi yang
akan dipelajari dengan pengalaman dan pengetahuan yang
telah dikuasai siswa.
2.
Menutup pelajaran
Cara yang dapat dilakukan oleh guru dalam menutup pelajaran
adalah :
 Meninjau
kembali
penguasaan
inti
pelajaran
dengan
merangkum inti pelajaran dan membuat ringkasan.
 Mengavaluasi.
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
49
2.2.3.1.6. Keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil
Diskusi kelompok adalah suatu proses teratur yang melibatkan
sekelompok orang dalam interaksi tatap muka informal dengan
berbagai pengalaman atau informasi, pengambilan kesimpulan, atan
pemecahan masalah. Dalam kegiatan belajar mengajar pengertian
diskusi kelompok tidak jauh berbeda. Komponen keterampilan
membimbing diskusi meliputi :
1.
memusatkan perhatian siswa pada tujuan dan topik diskusi;
2.
memperluas masalah atau urunan pendapat;
3.
menganalisis pandangan siswa;
4.
meningkatkan urunan siswa;
5.
menyebarkan kesempatan berpartisipasi;
6.
menutup diskusi.
2.2.3.1.7. Keterampilan mengelola kelas
Pengelolaan kelas adalah keterampilan guru untuk menciptakan
dan memelihara kondisi belajar yang optimal, serta mengembalikannya bila terjadi gangguan dalam proses belajar mengajar. Komponen
keterampilan mengelola kelas diantaranya sebagai berikut.
1.
Keterampilan
yang
berhubungan
dengan
penciptaan
dan
pemeliharaan kondisi belajar yang optimal (bersifat preventif).
 Memberi perhatian.
 Menunjukkan sikap tanggap.
 Memusatkan perhatian kelompok.
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
50
 Memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas.
 Menegur
 Memberi penguatan
2.
Keterampilan yang berhubungan dengan pengembalian kondisi
belajar yang optimal.
 Modifikasi tingkah laku, guru hendaknya menganalisis tingkah
laku siswa yang mengalami masalah atau kesulitan dan
berusaha
memodifikasi
tingkah
laku
tersebut
dengan
mengaplikasikan pemberian penguatan secara sistematis.
 Guru dapat menggunakan pendekatan pemecahan masalah
kelompok dengan cara: Memperlancar tugas-tugas dan
Memelihara kegiatan-kegiatan kelompok
 Menemukan dan memecahkan tingkah laku yang menimbulkan
masalah.
 Guru
dapat
menggunakan
seperangkat
cara
untuk
mengendalikan tingkah laku keliru yang muncul, dan ia
mengetahui
sebab-sebab
dasar
yang
mengakibatkan
ketidakpatutan tingkah laku tersebut serta berusaha untuk
menemukan pemecahannya.
2.2.3.1.8. Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perseorangan
Pengajaran kelompok kecil dan perseorangan memungkinkan
guru memberikan perhatian terhadap setiap siswa serta terjadinya
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
51
hubungan yang lebih akrab antara guru dan siswa maupun antara
siswa dengan siswa.
Komponen
keterampilan
mengajar
kelompok
kecil
dan
perseorangan :
1.
keterampilan mengadakan pendekatan secara pribadi;
2.
keterampilan mengorganisasi;
3.
keterampilan membimbing dan memudahkan belajar;
4.
keterampilan merencanakan dan melaksanakan kegiatan belajar
mengajar.
Untuk mengimplementasikan keterampilan-keterampilan mengajar,
dalam proses pembelajaran guru melakukan pemilihan variasi bahasa
yang tepat, agar proses interaksi guru dengan peserta didik dapat
berlangsung secara harmonis. Pemilihan variasi bahasa tersebut,
diantaranya adalah munculnya campur kode, baik antara bahasa
Indonesia dengan bahasa daerah (Jawa) maupun dengan asing dalam
tuturan-tuturanya.
Secara pragmatik setiap tuturan guru berkaitan juga dengan fungsi
komunikatif. Fungsi komunikatif yang dimaksud, sebagaimana telah
diuraikan di depan, dapat bermakna pragmatik deklaratif, bermakna
pragmatik interogatif, maupun bermakna pragmatik imperatif. Dimana
fungsi komunikatif ini berkaitan dengan teknik atau strategi guru untuk
mewujudkan keterampilan-keterampilan mengajar yang harus dimiliki,
seperti tersebut di atas.
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
52
2.2.3.2. Pelaksanaan Pembelajaran Guru
Pelaksanaan pembelajaran adalah langkah-langkah yang harus
dilakukan seorang guru ketika berada di depan peserta didik. Menurut
Standar Proses Pendidikan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor
41
tahun
2007,
pelaksanaan
pembelajaran
merupakan
implementasi dari rencana pelaksanaan pembelajaran yang meliputi
kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup.
2.2.3.2.1. Kegiatan Pendahuluan
Dalam kegiatan pendahuluan, guru :
1. menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti
proses pembelajaran;
2. mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan
sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari;
3. menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan
dicapai;
4. menyampaikan cakupan materi dan penjelasanuraian kegiatan sesuai
silabus.
2.2.3.2.2. Kegiatan Inti
Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk
mencapai
KD
menyenangkan,
yang
dilakukan
menantang,
secara
memotivasi
interaktif,
peserta
inspiratif,
didik
untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
53
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan
karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi
proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
2.2.3.2.2.1. Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi, guru:
1. melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan
dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan
menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari
aneka sumber;
2. menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media
pembelajaran, dan sumber belajar lain;
3. memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta
antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber
belajar lainnya;
4. melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan
pembelajaran; dan
5. memfasilitasi
peserta
didik
melakukan
percobaan
di
laboratorium, studio, atau lapangan.
2.2.3.2.2.2. Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi, guru:
1.
membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
54
melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna;
2.
memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi,
dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara
lisan maupun tertulis;
3.
memberi
kesempatan
untuk
berpikir,
menganalisis,
menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut;
4.
memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif can
kolaboratif;
5.
memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk
meningkatkan prestasi belajar;
6.
rnenfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang
dilakukan balk lisan maupun tertulis, secara individual maupun
kelompok;
7.
memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja
individual maupun kelompok;
8.
memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen,
festival, serta produk yang dihasilkan;
9.
memfasilitasi peserta
didik
melakukan
kegiatan
yang
menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik.
2.2.3.2.2.3. Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, guru:
1. memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk
lisan, tulisan,
isyarat, maupunhadiah terhadap keberhasilan
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
55
peserta didik,
2. memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi
peserta didik melalui berbagai sumber,
3. memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh
pengalaman belajar yang telah dilakukan,
4. memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang
bermakna dalam mencapai kompetensi dasar:
 berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan,
dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar;
 membantu menyelesaikan masalah;
 memberi acuan
agar
peserta didik
dapat
melakukan
pengecekan hasil eksplorasi;
 memberi informasi untuk bereksplorasi Iebih jauh;
 memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau
belum berpartisipasi aktif.
2.2.3.2.3. Kegiatan Penutup
Dalam kegiatan penutup, guru:
1. bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat
rangkuman/simpulan pelajaran;
2. melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang
sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram;
3. memberikan
umpan
balik
terhadap
proses
dan
hasil
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
56
pembelajaran;
4. merencanakan
kegiatan
tindak
lanjut
dalam
bentuk
pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling
dan/atau memberikan tugas balk tugas individual maupun
kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik;
5. menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
2.3. Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian mengenai campur kode telah dilakukan oleh beberapa
peneliti sebelumnya, yakni:
1. Rokhman (2003), dengan menggunakan pendekatan teoritis sosiolinguistik
dan pendekatan metodologis kualitatif model etnografi komunikasi,
Rokhman meneliti secara mendalam karakter kebahasaan pada masyarakat
tutur di Banyumas. Temuan yang didapat dari penelitian tersebut: 1)
karakteristik kebahasaan masyarakat Banyumas ditandai dengan adanya
kontak bahasa dan kontak dialek yang menjadikan masyarakat Banyumas
sebagai masyarakat yang bilingual dan diglosik, 2) variasi kode pada
masyarakat Banyumas mencakupi kode yang berwujud bahasa, kode yang
berwujud tingkat tutur, dan kode yang berwujud ragam, 3) pemilihan
bahasa pada masyarakat Banyumas dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial
dan
budaya,
4)
pemilihan
bahasa
pada
masyarakat
Banyumas
memunculkan kecenderungan alih kode dan campur kode, 5) terdapat
berbagai faktor sosial dan budaya yang mempengaruhi munculnya alih
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
57
kode dalam peristiwa tutur pada masyarakat Banyumas, 6) variasi campur
kode berdasarkan bahasa meliputi campur kode dengan dasar bahasa
Indonesia, bahasa Jawa Ngoko, dan bahasa Jawa Kromo yang masingmasing dapat berupa kata, frase, dan klausa, dan 7) terdapat beberapa
faktor sosial yang menentukan terjadinya campur kode.
2. Dewi Aminah (2006), dengan fokus penellitian pada kedwibahasaan yang
terjadi pada Kader Bina Keluarga Balita di desa Cibinong Kecamatan
Jatiluhur Kabupaten Purwakarta, ini dengan metode deskritif analisis.
Dewi telah meneliti secara mendalam menghasilkan temuan bahwa ragam
bahasa lisan kader Bina Kelurga Balita memiliki karakter tersendiri,
seperti terjadi campur kode dan muncul bentuk-bentuk yang tidak baku.
Campur kode dan alih kode ke dalam bahasa daerah muncul sebagai
penjelas kata atau kalimat bahasa Indonesia yang timbul secara sengaja.
3. Yulia Mutmainnah (2008), dalam penelitian deskriptif
kualitatif ini
dengan pendekatan Sosiolinguistik dan merupakan penelitian lapangan,
menggunakan metode observasi dan wawancara untuk pengumpulan data
yang berupa tuturan yang didalamnya mengandung unsur campur kode
dan alih kode. Temuan yang didapat dari penelitian tersebut adalah berupa
macam-macam kode bahasa dan faktor-faktor yang menentukan, bentuk
alih kode dan campur kode, serta faktor-faktor sosial penentu alih kode
dan campur kode. Kode yang ditemukan pada masyarakat tutur Jawa di
kota Bontang adalah kode berupa Bahasa Indonesia (BI), Bahasa Jawa
(BJ), Bahasa daerah lain (BL), dan Bahasa asing (BA), dengan faktor-
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
58
faktor penentu berupa: 1) ranah, 2) peserta tutur, dan 3) norma. Pada alih
kode dengan kode dasar BI, muncul variasi alih kode BJ dan BA. Pada alih
kode dengan kode dasar BJ, muncul variasi alih kode BI. Campur kode
pada masyarakat tutur Jawa memunculkan campur kode dengan kode BI,
BJ, BA dan BL. Didasarkan pada jenis situational code-switching,
perubahan bahasa terjadi karena: 1) perubahan situasi tutur, 2) kehadiran
orang ketiga, dan 3) peralihan pokok pembicaraan, sedangkan pada
metaphorical codeswitching perubahan bahasa terjadi karena penutur ingin
menekankan apa yang diinginkannya. Campur kode terjadi karena: 1)
keterbatasan penggunaan kode, dan 2) penggunaan istilah yang lebih
populer.
Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, penelitian mengenai kajian
sosiolinguistik terhadap campur kode perlu dikaji lebih lanjut.
2.4. Kerangka Berpikir
Masyarakat tutur di Indonesia, termasuk masyarakat pendidikan di
SMP N 1 Kedungbanteng, merupakan salah satu contoh masyarakat
dwibahasa. Guru-guru di SMP Negeri 1 Kedungbanteng sebagai agen
pembelajaran, dalam proses pembelajarannya menggunakan bahasa pengantar
resmi bahasa Indonesia, apalagi guru mata pelajaran bahasa Indonesia.
Namun demikian guru bahasa Indonesia sebagai seorang yang dwibahasawan,
tanpa disadari atau dengan disadari tentunya akan terjadi terjadi kontak
bahasa dari bahasa-bahasa yang mereka kuasai. Dengan adanya fenomena
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
59
bahwa sebagian besar anggota guru dan siswa-siswanya memiliki bahasa ibu
bahasa Jawa. Sehingga dengan bahasa pengantar dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia, serta adanya istilah-istilah asing yang digunakan sebagai materi
pembelajaran, maka akan muncul fenomena pilihan bahasa berupa campur
kode bahasa Indonesia, dengan bahasa Jawa dan bahasa Asing.
Dengan kenyataan yang demikian, maka kerangka pikir peneliti pada
penelitian ini adalah adanya kontak bahasa dalam pembelajaran khususnya
pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, maka terjadi pilihan bahasa yang salah
satunya adalah campur kode. Kemunculan campur kode ini selanjutnya dikaji
dan dianalisis bentuknya, latar belakang munculnya, dan fungsi kemunculannya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Kedungbanteng.
Untuk memudahkan uraian mengenai kajian campur kode dalam
pembelajaran, dapat digambarkan kerangka berpikir sebagai berikut:
Masyarakat
Tutur
Dwibahasawan
Guru
Kegiatan
Pembelajaran:
muncul “Campur
Kode” tuturan guru
Siswa
Kontak
Bahasa
Bentuk Campur Kode,
Latar Belakang dan
Peneliti
Fungsi kemunculan
Gambar 2 : Kerangka Pikir
Analisis Campur Kode..., Agus Setiadi, Program Pascasarjana UMP, 2011
Download