MENELISIK METODOLOGI HISAB-RUKYAT DI INDONESIA Sakirman PPs IAIN Walisongo Jl. Prof. Dr. Hamka Km. 1 Ngalian-Semarang Email: [email protected] Abstrak: Artikel ini membahas pentingnya metode perhitungan (hisab) dan pengamatan (rukyat) dalam menentukan awal bulan pada kalender Islam, khususnya bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah, karena bulan tersebut berkaitan dengan ibadah ritual Islam. Namun demikian, umat Islam harus mengkaji dan menguji kembali metode dasar yang digunakan dalam menentukan awal bulan pada kalender Islam. Dikotomi klasik melahirkan kontroversi sampai hari ini berhubungan dengan hisab dan rukyat. Ada yang mengatakan bahwa metode adalah final dan mutlak sementara hisab hanya mendukung rukyat. Ada pula yang berpendapat bahwa bahwa hisab yang final dan mutlak, sedangkan rukyat digunakan untuk mendukung metode hisab. Terlepas dari perbedaan pandangan tersebut, harus ada titik temu dalam masalah ini, yaitu rukyat harus didukung oleh ilmu pengetahuan hisab yang akurat. Abstract: This paper deals with the significance of the methods of calculation (ḥisāb) and observation (ru’yah) in determining the beginning of month in Islamic calendar, especially months of Ramaḍān, Shawwāl and Żū al-Ḥijjah, since these months have relationship with sacred Islamic rituals. However, Muslims should review and reexamine the basic method employed in determining beginning of month in Islamic calendar. Classical dichotomy that has led to controversy until these days relates to ḥisāb and ru’yah. Some said that ru’yah method is final and decisive while ḥisāb is only supporting ru’yah. Others said that it is ḥisāb that is final and decisive, while ru’yah is used to support the method of ḥisāb. From this dispute, there should be a meeting point; that is, ru’yah should be supported by accurate science of ḥisāb. Kata Kunci: metodologi hisab- rukyat, ilmu falak, awal Ramadan, imkān alru’yah, wujūd al-hilāl Vol. 8, No.2, Desember 2011: 341-362 PENDAHULUAN Dari sekian banyak cabang ilmu falak, falak syar’i menempati posisi strategis dalam Islam, karena hal itu terkait dengan beberapa aspek ibadah yang secara langsung bersentuhan. Paling tidak ada empat hal ibadah yang terkait langsung dengan ilmu falak: menentukan awal bulan kamariah, menentukan jadwal salat, menentukan bayang dan arah kiblat, menentukan kapan dan di mana terjadi gerhana. Kaitannya dalam penentuan awal bulan Kamariah, sampai saat ini belum ada satu sistem yang disepakati dan digunakan secara bersama-sama. Ini dikarenakan penentuan tersebut adalah masalah ijtihādi. Dalam perkembangannya, penentuan awal Ramadan dan hari raya tidak lagi dapat dikatakan mudah. Dari segi teknis ilmiah, sebenarnya penentuannya memang mudah karena merupakan bagian ilmu eksakta. Akan tetapi, dalam penerapannya di masyarakat sulit dilakukan karena menyangkut faktor non-eksakta, yaitu menyangkut masalah syar’i (fikih). Dalam tulisan ini, akan diulas bagaimana metodologi penetapan awal bulan Hijriyah di Indonesia. Pertama, akan dibahas sejarah dan peradaban ilmu falak. Ini penting dipahami agar dapat diterima fakta adanya perbedaan; kedua, penetapan awal bulan Kamariah antara rukyat dan hisab. Di sini akan diulas secara detail apa metodologi yang digunakan oleh masing-masing penganut hisab dan rukyat; dan ketiga, problema penyatuan awal bulan di Indonesia, kemudian diakhiri dengan penutup yang merupakan deskriptif-analitik penulis. TERMINOLOGI ILMU FALAK Kata falak bermakna orbit edarnya benda-benda angkasa.1 Sementara itu, kata astronomi berasal dari kata astro 1 Majma' al-Lughah al-'Arabiyyah Republik Arab Mesir, al-Mu'jam alWajīz (t.tp.: t.p., t.th.), h. 481. 342 Hunafa: Jurnal Studia Islamika Sakirman, Menelisik Metodologi Hisab… yang berarti “bintang”, dan nomia yang berarti “ilmu”.2 Ilmu falak (astronomi) adalah ilmu yang mempelajari tata lintas benda-benda angkasa (terutama bulan, bumi, dan matahari) secara sistematis dan ilmiah demi kepentingan manusia. Kata falak juga disebutkan dalam Q.S. Yāsin (36): 40: dalam Alquran, antara lain Îû @@ä.ur 4 Í$pk¨]9$# ß,Î/$y ã@ø©9$# wur tyJs)ø9$# x8Íôè? br& !$olm; ÓÈöt7.^t ߧôJ¤±9$# w ÇÍÉÈ cqßst7ó¡o ;7n=sù Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. Carlo Nillino berpendapat bahwa kata falak yang banyak ditemukan dalam Alquran tidak berasal dari bahasa Arab, tetapi diadopsi dari bahasa Babilonia yaitu pulukku yang berarti edar.3 Astronomi dengan astrologi sangat berbeda, meskipun keduanya “sama”, sama dalam objek yang diamati (langit), keduanya memang tidak lepas dari pemaknaaan benda-benda langit. Astrologi mempelajari hubungan kedudukan rasi bintang (zodiak), planet, matahari dan bulan terhadap karakter dan nasib seseorang. Sementara itu, astronomi tidak hanya mempelajari planet, matahari, bulan, bintang, tetapi juga galaksi, black hole, pulsar, dan benda-benda angkasa lainnya. Astronomi mempelajari alam secara fisika-matematika dan hukum-hukum alamnya. Secara alamiah, ilmu ini terus berkembang sehingga membawa konsekuensi kepada berubahnya penamaan ilmu ini, 2 Abū ‘Abd Allāh Muḥammad ibn Aḥmad ibn Yūsuf al-Khawārizmī, Mafātiḥ al-'Ulūm, G. Van Vloten (ed.) (Kairo: al-Hay’ah al-‘Ammah li Quṣūr alṠaqāfah, 2004), h. 210. 3 Carlo Nillino, 'Ilm al-Falak: Tārīkhuh 'ind al-'Arab fī al-Qurūn al-Wuṣṭā, (t.tp.: Maktabah al-Ṡaqāfah al-Dīniyyah, t.th.), h. 105-106. Hunafa: Jurnal Studia Islamika 343 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 341-362 meskipun objeknya tetap sama. Di antara ragam penamaan tersebut ialah 'Ilm al-Nujūm, 'Ilm Hay'ah, 'Ilm Hay'ah al-Aflāk, 'Ilm Hay'ah al-'Ālam, 'Ilm al-Aflāk, 'Ilm Shinā'ah al-Nujūm, 'Ilm al- Tanjīm, 'Ilm Shinā'ah al-Tanjīm, 'Ilm Ahkām al-Nujūm.4 Perkembangan selanjutnya, ilmu falak terus berkembang dengan berbagai elaborasi dan akselerasi ilmiah hingga akhirnya ilmu ini secara khas disebut ilmu falak dan nama ini mengakar dalam peradaban Islam sampai saat ini. SEJARAH DAN PERADABAN ILMU FALAK Pembahasan ilmu falak adalah langit dengan segala yang berada di dalam dan sekitarnya. Bangsa- bangsa kuno Babilonia, Mesir, Cina, India, Persia, dan Yunani misalnya, masingmasing telah mengenal astronomi (falak) dan astrologi (nujūm) secara bersamaan dengan cara masing-masing. Kegiatan astronomis dan astrologis telah dilakukan sejak zaman dahulu oleh masyarakat dalam peradaban Babilonia, Cina, Mesir kuno, namun belum menjadi sebuah disiplin ilmu pengetahuan. Kemudian muncul peradaban Yunani pada abad ke-6 SM, yang menjadikan astronomi sebagai ilmu pengetahuan. Thales dianggap sebagai ilmuwan yang mempelopori ilmu astronomi klasik di Yunani. Dia berpendapat bahwa bumi merupakan sebuah dataran yang luas. Kemudian muncul tokoh- tokoh lain, seperti Phytagoras, Aristarchus (teori Heliosentris), Hiparchus (teori Geosentris), Cladius Ptolomeus (w.160 M) melalui karyanya, Almagest, yang menjadi buku pedoman Astronomi hingga di masa awal abad pertengahan.5 Sekitar tiga belas abad kemudian, sistem Geosentris gugur dengan munculnya teori Heliosentris Nicholas Copernicus di 4 ‘Abd al-Amīr al-Mukmin, al-Turāṣ al-Falakī 'ind al-'Arab wa alMuslimīn wa Aṣaruh fī 'Ilm al-Falak al-Hadīṡ, (Syria: Universitas Aleppo, 1413 H/1991 M), h. 18. 5 Muḥammad Jamal al-Dīn al-Afandy, (ed.), al-Mausū'ah al-Falakiyyah, Terj. Abd al-Qawī 'Iyad, (Kairo: Maktabah al-Usrah, 2002), h. 290. 344 Hunafa: Jurnal Studia Islamika Sakirman, Menelisik Metodologi Hisab… tahun 1512. Ia menuturkan, planet dan bintang bergerak mengelilingi matahari dengan orbit lingkaran (da'iry). Johanes Kepler mendukung gagasan tersebut di tahun 1609 melalui teori bahwa matahari adalah pusat tata surya, Kepler juga memperbaiki orbit planet menjadi bentuk elips (ihlijī) yang dikenal dengan Tiga Hukum Kepler-nya.6 Galileo Galilei (w.1642 M.) menciptakan teleskop monumental di dunia. Dari pengamatannya, ia berkesimpulan bahwa bumi bukan pusat gerak. Penemuan teleskop tersebut memperkuat konsep Heliosentris Copernicus. Dalam Islam, pada awalnya ilmu falak juga hanya sebagai kajian astrolog). Hal ini terjadi antara lain dengan dua alasan, yaitu (1) kebiasaan hidup mereka di padang pasir yang luas dan kecintaan mereka pada bintang-bintang untuk mengetahui tempat terbit dan terbenamnya, serta mengetahui pergantian musim; dan (2) keterpengaruhan mereka terhadap kebiasaan bangsa-bangsa yang berdekatan dengan mereka yang memiliki kebiasaan yang sama (astrologi).7 Datangnya Rasulullah saw. beserta risalah-nya, menjelaskan bahwa masa bagi Allah swt. adalah sama. Hal ini membawa konsekuensi dalam Islam sehingga kegiatan astrologi dilarang. Sepeninggal Rasulullah saw., tepatnya pada masa Dinasti Abbasiyyah, Ja'far al-Mansur, meletakkan ilmu falak pada posisi yang istimewa, setelah ilmu tauhid, fikih, dan kedokteran. Ketika itu, ilmu falak− dikenal pula astronomi − tidak dipelajari dan dilihat dalam perspektif keperluan praktis ibadah saja, tetapi lebih dari itu, ilmu ini juga dikembangkan sebagai dasar bagi perkembangan science lain, seperti ilmu pelayaran, pertanian, kemiliteran, dan pemetaan. Pada pemerintahan Khalifah alMakmūn, kajian astronomi disusun secara sistematik dan intensif 6 Ibid, h. 293. Imam Ibrahim Ahmad, Tārīkh al-Falak 'Ind al-Arab, (t.tp.: Maktabah alṠaqāfiyyah, Wizārah al-Ṡaqāfah wa al-Irsyād al-Qawmī, t.th.), h. 15. 7 Hunafa: Jurnal Studia Islamika 345 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 341-362 yang melahirkan sarjana-sarjana falak Islam sepertil al-Battānī (w.317 H), al-Buzjānī (w.387 H), Ibn Yūnus (399 H), al-Ṭūsī (w.672 H), al-Birūnī (w.442 H).8 Di masa al-Makmun, mulai marak pula gerakan penerjemahan literatur-literatur falak asing ke dalam bahasa Arab, seperti kitab “Miftāḥ al-Nujūm” yang dinisbahkan kepada Hermes Agung (Hermes al-Hakīm) pada masa Umawiyah, menyusul buku Sind Hind tahun 154 H./771 M. yang diterjemahkan oleh Ibrahim al-Fazzārī, Almagest Ptolomaeus yang diterjemahkan oleh Yaḥyā ibn Khālid alBarmakī dan disempurnakan oleh al-Hajjāj ibn Muthar dan Ṡābit ibn Qurrah (w.288 H.).9 PENETAPAN AWAL BULAN KAMARIAH ANTARA RUKYAT DAN HISAB Pada masa Rasulullah saw., proses melihat (rukyat) hilal sangat sederhana, yaitu cukup dengan menanti matahari terbenam di hari ke-29, kemudian mencari bulan sabit. Jika ada dua orang yang melihatnya, sudah bisa dipastikan malam ini adalah tanggal 1 (pergantian hari di kalender Hijriah terjadi ketika maghrib). Jika hilal tidak terlihat, bilangan bulan akan digenapkan menjadi 30 hari sehingga, esok hari masih tanggal 30 bulan yang sama. Tanggal 1 akan jatuh besok sore. Cara ini sangat sederhana dan sangat cocok dengan keadaan umat Islam pada masa itu yang sebagian besar buta huruf (ummiy). Periode revolusi bulan terhadap bumi lamanya 29.530589 hari. Nyaris 29.5 hari. Dengan memanfaatkan ini, disepakati bahwa lamanya suatu bulan berseling antara 29 dan 30 hari. Metode pembuatan kalender Hijriah yang seperti ini disebut dengan metode ḥisāb ‘urf. 8 ‘Ali ‘Abd Allah Fāris, Tārīkh al-'Ulūm 'ind al-Arab, Makalah disampaikan dalam al-Mu’tamar al-‘Alamī al-Sādis li Tārīkh al-‘Ulūm ‘ind al-‘Arab di Universitas Aleppo, 6-10 Sya'ban 1417 H/16-20 Desember 1996, h. 150. 9 Ibid., h. 151. 346 Hunafa: Jurnal Studia Islamika Sakirman, Menelisik Metodologi Hisab… Ḥisāb ‘urf tidak selalu mencerminkan fase bulan yang sebenarnya. Ia hanya metode pendekatan. Satu siklus fase bulan yang lamanya 29.53 hari didekati dengan 29 dan 30 hari. Oleh karena itu, untuk keperluan ibadah, meRukyat (melihat) hilal secara langsung tetap harus dilakukan. Metode hisab lain yakni dengan menghitung posisi bulan yang sebenarnya, disebut dengan hisab hakiki. Hisab hakiki dapat dibagi ke dalam 3 macam, yakni hisab hakiki taqhribī, tahkikī, dan kontemporer. Ketiga hisab hakiki ini menggunakan rumus dan nilai konstanta yang berbeda. Penanggalan Islam Hijriyah didasarkan atas peredaran bulan mengelilingi bumi (revolusi bulan terhadap bumi), sedangkan penanggalan Masehi didasarkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari (revolusi bumi terhadap matahari). Awal bulan Kamariah diawali dengan munculnya hilal, yaitu bulan sabit yang pertama kali terlihat (the first visible crescent). Untuk saat ini, dengan adanya ilmu astronomi mutakhir, yang sudah sangat akurat dalam menghitung, menentukan, dan memperkirakan seluk beluk penentuan hilal dengan sangat teliti dan detail (misalnya ketinggian derajat hilal di atas ufuk/horison dan perbedaan sudut ke arah hilal dengan ke arah matahari). Dalam ketelitian ini kemungkinan terjadi kesalahan adalah 1 banding 3600, dan tingkat ketelitian ini sudah melebihi dari cukup untuk menentukan awal bulan Kamariah.10 Rukyat Rukyat secara etimologis berarti “melihat”, yatu bermakna melihat dengan mata (bi al-‘ain), dapat pula bermakna melihat dengan ilmu (bi al-‘ilm ).11 Rukyat dimaksud dalam hal ini adalah melihat hilal di akhir Syakban/Ramadan untuk menentukan tanggal 1 Ramadan/Syawal. 10 Farid Ruskand, 100 Masalah Hisab dan Rukyat; Telaah Syariah Sains dan Teknologi, (Bandung: Gema Insani Press, 1996), h. 15-16. 11 Muhammad Ibn Abī Bakr Ibn ‘Abd al-Qadīr al-Rāzi, Mukhtār al-Ṣaḥḥāh, (Kairo: Dār al-Hadīṡ, 1424 H/2003 M), h. 133. Hunafa: Jurnal Studia Islamika 347 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 341-362 Cukup banyak hadis yang menyatakan tentang rukyat hilal terkait dengan penetapan Ramadan dan Syawal, antara lain: ﻋﻦ ﺑﻦ ﻋﻤﺮـ رﺿﻲ, ﻗﺎل ﻗﺮأت ﻋﻠﻰ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ,ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳛﲕ ﺑﻦ ﳛﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﺎ ـ ﻋﻦ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ أﻧﻪ ذﻛﺮ رﻣﻀﺎن ﻓﻘﺎل "ﻻﺗﺼﻮﻣﻮا 12 "ﺣﱴ ﺗﺮوا اﳍﻼل وﻻ ﺗﻔﻄﺮوا ﺣﱴ ﺗﺮوﻩ ﻓﺈن أﻏﻤﻲ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﺎﻗﺪرواﻟﻪ Dari makna zahir contoh hadis di atas, jelas bahwa dalam memulai dan mengakhiri puasa dan hari raya hanya dengan rukyat al-hilal saja, yaitu terlihatnya hilal di awal Ramadan dan Syawal sesuai dengan keumuman dan keliteralan dari hadis di atas. Dengan kriteria, jika awan dalam keadaan cerah pada saat terbenam matahari tanggal 29 Syakban maka esok harinya adalah awal puasa. Demikian pula, jika hilal terlihat pada tanggal 29 Ramadan, esok harinya adalah hari raya dan rukyat hilal mutlak dilakukan. Namun demikian, jika terdapat penghalang yang menutupi hilal−seperti mendung−maka pelaksanaan puasa dan atau hari raya harus ditunda sehari dengan menggenapkan (istikmāl) bilangan bulan Syakban dan atau Ramadan menjadi 30 hari. Selanjutnya, dalam penerapan rukyat terdapat keragaman di kalangan fuqaha’ dalam hal berapa orang jumlah minimal dalam melihat hilal tersebut. Hanafiyah menetapkan jika awan dalam keadaan cerah, maka dengan rukyat kolektif (ru’yat al-jamā’ah) dan tidak mengambil kesaksian orang per orang menurut pendapat yang rājih, dengan alasan, dalam keadaan cuaca cerah tentu tidak ada penghalang bagi seseorang untuk tidak dapat melihat hilal, sementara yang lain melihat. Namun demikian, jika hilal dalam keadaan tidak memungkinkan untuk 12 al-Nawāwī, Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ al-Nawāwī, vol.VII, (cet. Ke-1; Kairo: Maktabah al-Ṣafā, 1424 H/2003 M), h. 172-173. 348 Hunafa: Jurnal Studia Islamika Sakirman, Menelisik Metodologi Hisab… dilihat, mencukupilah kesaksian satu orang dengan syarat ia beragama Islam, adil, berakal, dan dewasa.13 Sementara itu, Syafi’iyah dan Hanabilah menetapkan minimal dengan kesaksian satu orang, baik cuaca dalam keadaan cerah atau ada penghalang, dengan catatan, perukyat (al-rā’ī) beragama Islam, dewasa, berakal, merdeka, lakilaki dan adil. Selanjutnya pula kesaksian (rukyat) tersebut harus dipersaksikan dihadapan qāḍī (Pemerintah).14 Hal ini bedasarkan hadis dari Ibnu Umar ra. : , ﻓﺄﺧﱪت رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ أﱐ رأﻳﺘﻪ, ﺗﺮاءى اﻟﻨﺎس اﳍﻼل: ﻗﺎل 15 ﻓﺼﺎم وأﻣﺮ اﻟﻨﺎس ﺑﺼﻴﺎﻣﻪ Demikian juga dengan kesaksian seorang A’rabi bahwa dia melihat hilal, lantas Nabi saw. bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah” ia menjawab “ya”, lantas Nabi saw. bertanya lagi “apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah” ia menjawab “ya”, lantas Nabi saw. bersabda “ya Bilal, umumkanlah kepada manusia dan hendaklah mereka berpuasa” (HR. Ibnu Hibbān, Dāraquṭnī, Tabrānī dan Hākim). Selanjutnya wajib pula terhadap orang yang melihat hilal untuk berpuasa meskipun tidak dipersaksikan dihadapan qāḍī (Pemerintah), begitu pula terhadap orang yang percaya dan meyakininya (li mān ṣaddaqahu) meskipun orang yang melihat hilal tersebut anak-anak (ṣabī), wanita, hamba, orang fasik, bahkan orang kafir sekalipun.16 13 ‘Abd al-Rahmān al-Jaziri, Kitāb al-Fiqh ‘alā al-Madżahib al-Arba’ah, vol. I, (cet. Ke-1; Kairo: Mu’assasah al-Mukhtār, 2001), h. 421. 14 Ibid. 15 Muḥammad Ibn ‘Alī al-Syaukānī, Nail al-Auṭār Syarḥ Muntaqā alAkhbār min Aḥādīṡ Sayyid al-Akhyār, vol. IV, (Kairo: Dār Ibn al-Haiṡam, t.th.), h. 597. 16 al-Jaziri, Kitāb al-Fiqh…, h. 425. Hunafa: Jurnal Studia Islamika 349 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 341-362 Adapun Malikiyah menetapkan dengan tiga kriteria, yaitu (1) rukyat kolektif , ( 2) rukyat satu orang adil, dan (3) rukyat dua orang adil. Poin (1) dan (2) dengan dalil terdahulu. Adapun rukyat dua orang adil berdasarkan hadis: ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ زﻳﺪ ﺑﻦ اﳋﻄﺎب أﻧﻪ ﺧﻄﺐ ﰱ اﻟﻴﻮم اﻟﺬي ﺷﻚ ﻓﻴﻪ ﻓﻘﺎل وأ ﻢ, أﻻ إﱐ ﺟﺎﻟﺴﺖ أﺻﺤﺎب رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ ا ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ وﺳﺄﻟﺘﻬﻢ: ﺻﻮﻣﻮا ﻟﺮؤﻳﺘﻪ وأﻓﻄﺮوا: ﺣﺪﺛﻮﱐ أن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﻓﺈن ﺷﻬﺪ ﺷﺎﻫﺪان, ﻓﺈن ﻏﻢ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﺄﲤﻮا ﺛﻼﺛﲔ ﻳﻮﻣﺎ, ﻟﺮؤﻳﺘﻪ واﻧﺴﻜﻮا ﳍﺎ 17 ﻣﺴﻠﻤﺎن ﻓﺼﻮﻣﻮا وأﻓﻄﺮوا Akan tetapi seiring dengan majunya peradaban manusia yang dibarengi dengan tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, hadis-hadis di atas mulai direaktualisasikan dalam konteks kekinian. Ini dikarenakan dalam aktivitas rukyat banyak sekali kelemahan-kelemahan yang seharusnya tidak terjadi pada saat ini. Berdasarkan penelitian intensif yang dilakukan oleh para pakar hisab-falak (Astronomi) terdapat beberapa kelemahan rukyat: · Jauhnya jarak hilal (bulan) dari permukaan bumi (mencapai sekitar 40.000 kilometer), sementara bulan hanya mengisi sudut sekitar 2 ½ derajat yang berarti hanya mengisi 1/80 sudut pandang mata manusia tanpa menggunakan alat. Ini berarti hilal hanya mengisi sekitar 1,25 % dari pandangan, oleh sebab itu pengaruh benda sekitar yang mengisi 98,75% sangatlah besar; · Hilal hadir hanya sebentar saja (sekitar 15 menit s.d. 1 jam), padahal pandangan mata sering terhalang oleh awan 17 350 Ibid., h. 599. Hunafa: Jurnal Studia Islamika Sakirman, Menelisik Metodologi Hisab… yang banyak terdapat di negara tropis dan basah karena banyaknya lautan seperti Indonesia. Karena lembabnya permukaan lautan maupun daratan didekatnya maka hasil penguapannya membentuk awan yang mengumpul di dekat permukaan disekitar ufuk. Justru pada ketinggian yang rendah disekitar ufuk inilah hilal diharapkan hadir dan dapat dilihat; · Keadaan lain yang menyulitkan pelaksanaan Rukyat hilal adalah kondisi sore hari, terutama yang menyangkut pencahayaan, karena kemuncuan hilal sangat singkat maka rukyat harus dilaksanakan secepat mungkin setelah matahari terbenam. Pada saat itu meskipun matahari sudah di bawah ufuk, cahayanya masih terlihat benderang, selanjutnya akan muncul cahaya kuning keemasan (cerlang petang). Cahaya ini sangat kuat dan nyaris menenggelamkan cahaya hilal yang sangat redup; · Banyaknya penghalang di udara berupa awan, asap kenderaan, asap pabrik, dan lain lain; · Kesulitan lainnya, hilal pada umumnya terletak tidak jauh dari arah matahari, yaitu hanya beberapa derajat ke sebelah utara atau selatan tempat terbenamnya matahari; · Adanya faktor psikis (kejiwaan/mental), sebab melihat adalah gabungan antara proses jasmani dan proses rohani (psikis), yang dominan adalah proses psikis. Meskipun ada benda, citra benda di selaput jala dan isyarat listrik yang menyusuri urat saraf menuju otak, seseorang tidak akan melihat apapun jika otaknya tidak siap, misalnya karena melamun, maka dalam hal ini proses psikis tidak terjadi, sehingga proses melihat tidak terjadi pula. Sebaliknya, meskipun proses psikis tidak ada–misalnya bendanya tidak ada sehingga tidak ada citra benda, tidak ada isyarat optik maupun listrik−namun jika proses mentalnya hadir, maka ia ‘merasa’ dan kemudian ‘mengaku’ melihat. Dalam ilmu psikologi, proses ini dikenal dengan istilah halusinasi, yaitu Hunafa: Jurnal Studia Islamika 351 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 341-362 berupa perasaan ingin sekali berjumpa atau sangat rindu pada benda yang akan dilihat, atau merasa yakin bahwa bendanya pasti ada. Jika terhadap benda yang besar seperti manusia, gunung, gedung, dll. bisa salah lihat, apalagi terhadap hilal yang jauh lebih kecil bahkan redup.18 Dengan alasan-alasan di atas, manusia mulai berpikir untuk mencari solusi dari kenyataan ini, hisab-falak agaknya menjadi pilihan. Namun demikian, lagi-lagi hal ini tidak mudah dilakukan sebab hal ini terkait juga dengan aspek syariat (fikih). Oleh karena itu, perbincangan seputar ini semakin hangat dan menarik untuk diteliti dan didiskusikan. Hisab Hisab secara etimologi bermakna menghitung (‘adda), kalkulasi (aḥṣā), dan mengukur (qaddara).19 Dimaksud dalam hal ini adalah menghitung pergerakan posisi hilal di akhir bulanbulan Kamariah untuk menentukan awal-awal bulan− khususnya Ramadan Syawal−dengan menggunakan alat-alat perhitungan. Jenis hisab dalam ilmu falak (ilmu astronomi) meliputi perhitungan astronomis khusus menyangkut posisi bulan dan matahari untuk mengetahui kapan dan di permukaan mana terjadi peristiwa astronomis itu terjadi. Hisab pada mulanya hanya di gunakan untuk penentuan awal bulan Kamariah, namun seiring maju pesatnya ilmu pengetahuan, ilmu hisab terus berkembang, di antaranya yang masih ada kaitanya dengan ibadah, misalnya hisab waktu shalat dan imsakiyah, hisab arah kiblat, hisab gerhana bulan dan matahari, hisab konversi penanggalan Hijriah-Masehi, hisab visibilitas hilal dari sebuah tempat, hisab bayang kiblat. 18 Farid Ruskanda, 100 Masalah…, h. 41-46. Majma’ Lughah al-‘Arabiyah Republik Arab Mesir, al-Mu’jam al Wajīz (t.t.: t.p., t.th.), h. 149. 19 352 Hunafa: Jurnal Studia Islamika Sakirman, Menelisik Metodologi Hisab… Imam Taqiyuddīn al-Subkī (w.756) dalam fatwanya menyatakan terdapat beberapa ulama besar yang mewajibkan atau setidaknya membolehkan berpuasa berdasarkan hasil hisab yang menyatakan bahwa hilal telah mencapai ketinggian yang memungkinkan untuk terlihat (imkān al-ru’yah). Menurut al-Subkī, pendapat ini yang disebut wajh, memandang imkān al-rukyah sebagai sebab wajibnya puasa dan hari raya, berbeda dengan wajh ashah yang tetap mengaitkannya dengan nafs alru’yah atau ikmāl al-‘iddah. Selanjutnya beliau mengemukakan bila pada suatu kasus ada orang yang mengkhabarkan atau menyaksikan bahwa hilal telah tampak, padahal hisab dengan muqaddimat-nya yang qaṭ’ī menunjukkan bahwa hilal tidak mungkin terlihat−misalnya karena posisinya yang terlalu dekat dengan matahari−maka informasi tersebut harus dianggap keliru dan kesaksian tersebut harus ditolak. Hal ini beliau kemukakan mengingat nilai khabar dan kesaksian bersifat ẓan sedang hisab bersifat qaṭ’ī, telah diketahui bahwa sesuatu yang qaṭ’ī tidak dapat didahului atau dipertentangkan dengan sesuatu yang ẓannī.20 Pernyataan al-Subkī ini selanjutnya mendapat dukungan dari beberapa ulama yang datang kemudian seperti imam alSyarwānī, al-‘Abbādī dan al-Qalyūbī (w.1069). Al-Qalyūbī mengatakan: “yang benar, Rukyat hanyalah sah pada waktu hilal memang mungkin terlihat”, yaitu meskipun ia tetap mendasarkan pada Rukyat tetapi juga menempatkan hisab pada posisi cukup penting. Secara lebih tegas alSyarwānī dan al-‘Abbādī mengatakan: ”seyogyanya, jika menurut hisab qaṭ’ī hilal telah berada pada posisi memungkinkan terlihat setelah matahari terbenam, kiranya hal itu telah cukup dijadikan acuan meskipun dalam kenyataan (ẓāhir) hilal tidak tampak”. 21 20 Taqiyudin Ali al-Subki, Fatāwā al-Subkī, vol. I (t.t..: Maktabah al-Qudsi, t.th.), h. 217. 21 Abd al-Ḥamīd al-Syarwānī, Hāsyiyah al-Syarwānī, vol. III (t.t.: t.p., t.th.), h. 382. Lihat juga: Syihāb al-Dīn al-Qalyūbī, dalam Hasyiyatānī al-Qalyūbī wa ‘Umairah, vol. II (Indonesia: Mathba’ah Karya Insan, t.th.), h. 49. Hunafa: Jurnal Studia Islamika 353 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 341-362 Perhitungan-perhitungan yang dilakukan para ulama falak menunjukkan bahwa data yang dihasilkan dipandang lebih dari cukup dan akurat menurut syara’, diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa perhitungan hisab-falak selalu memberikan hasil yang sangat akurat tanpa menyisakan perbedaan yang berarti. Karena alasan ini, tidak berlebihan bilamana banyak ulama kontemporer mendukung bahkan mewajibkan penggunaan data hisab-falak dalam menentukan awal bulan Kamariah, secara khusus bulan Ramadan-Syawal. Ṭanṭāwī Jauharī dalam tafsirnya al-Jawhar fī Tafsīr alQur’ān al-‘Aẓīm secara panjang lebar menyatakan kemestian menggunakan data hisab-falak dalam memulai puasa dan hari raya, hal ini dapat disimak dalam pandangan nya ketika mengomentari surat Yunus (10): 5 serta ayat-ayat yang berkaitan dengan perhitungan gerak siang-malam.22 Dalam kitab tafsir al-Manār, Rasyid Ridha juga menyerukan (membolehkan) untuk menggunakan data hisab-falak dalam komentarnya terhadap ayat-ayat puasa dan perhitungan gerak bulan dan matahari.23 Selanjutnya Aḥmad Muḥammad Syākir24, juga menyatakan demikian dalam salah satu karyanya , Awā’il al-Syuhūr al‘Arabiyyah, Hal Yajūz Syar’an Iṡbātuhā bi al-Hisābāt al-Falakiyyah. Bahkan ia mengatakan cukup banyak fuqahā’ dan muḥaddiṡīn yang tidak mengetahui ilmu falak, bahkan kebanyakan mereka tidak 22 Lihat komentar luas Ṭanṭāwī Jauharī, al-Jawhar fī Tafsīr al-Qur’ān al‘Aẓīm, vol. V (cet. ke-4; Beirut: Dār Ihyā’ al-Turaṡ al-‘Arabī, 1412 H/1991 M), h. 3-42. Khususnya penelasan Q.S. Yunus (10): 5. 23 Lihat Rasyīd Riḍā, Tafsîr al-Manâr, vol. XI (cet. ke-2; Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 303. Pendapat Rasyid Ridha ini juga dikutip al-Qaradhawi dalam mendukung pendapatnya dalam Fiqh al-Shiyām-nya. 24 Aḥmad Muḥammad Syākir adalah seorang muḥaqqiq sekaligus muhaddiṡ asal Mesir, pentahkik pertama kitab al-Risālah Imam al-Syafi’i. 354 Hunafa: Jurnal Studia Islamika Sakirman, Menelisik Metodologi Hisab… mempercayai para pakar ilmu itu, terlebih- lebih mereka menganggap itu adalah sesuatu yang bidah.25 Yusuf al-Qaradhawi dalam Fiqh al-Siyām menyebutkan pula secara tegas sekaligus menyeru untuk menerima fakta ini dengan mengutip pendapat Rasyid Ridha dan Ahmad Muhammad Syakir diatas.26 PROBLEMA PENYATUAN AWAL BULAN DI INDONESIA Penetapan awal bulan di Indonesia, harus diakui betapa kuatnya dominasi keormasan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persis dan lain-lain. Tak jarang ormas-ormas ini berbeda satu sama lain, bahkan dengan Pemerintah. Muhammadiyah dengan konsep wujūd al-hilāl tidak mensyaratkan Rukyat untuk penetapan bulan baru melainkan cukup dengan posisi hilal di atas ufuk meskipun hanya 1 menit busur. Sementara itu NU mensyaratkan ru’yah bi al-fi’l, jika tidak berhasil rukyat akan di-istikmāl-kan. Ru’yah bi al-fi’l berdasarkan pengalaman minimal dapat dilakukan dengan ketinggian bulan minimal 2 derajat di atas horizon. Oleh karena itu, jika ketinggian hilal antara 0-2 derajat, maka hal itu merupakan posisi yang kritis dalam penetapan awal bulan di Indonesia, sebab terbuka kemungkinan bagi dua ormas yang memiliki pengikut terbesar di Indonesia akan berbeda dalam penetapan awal bulan. Masyarakat awam yang menuntut awal Ramadan dan hari raya dipersatukan melihat persoalan ini dengan argumentasi sederhana karena belum sepenuhnya mengerti sumber perbedaan itu. Tidak heran jika muncul pertanyaan, bulannya satu, 25 Lihat Ahmad Muhammad Syākir, Awā’il al-Syuhūr al-‘Arabiyyah, Hal Yajūzu Syar’an Iṡbātuhā bi al-hisābāt al-falakiyyah (cet. ke-2; Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah, 1407 H), h. 8-9. 26 Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh al-Ṣiyām, (cet. ke-1; Kairo: Maktabah Wahbah, 1424 H/2003 M), h. 28. Hunafa: Jurnal Studia Islamika 355 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 341-362 mataharinya satu, bagaimana mungkin berbeda-beda awal Ramadan atau hari rayanya? Banyak orang mengira sumber perbedaan adalah sekedar perbedaan metode antara hisab dan rukyat, padahal dalam banyak kasus penetapan Idul Fitri mengungkapkan sumber utamanya adalah faktor kriteria. Muhammadiyah dan Persis, dua organisasi yang menetapkan awal bulan sama-sama berdasarkan hisab pernah menetapkan awal bulan pada tanggal yang berbeda karena berbeda kriteria. Dalam penetapan 1 Syawal 1418 H Muhammadiyah menetapkan jatuh pada 29 Januari 1998 berdasarkan kriteria wujūd al-hilāl dan Persis menetapkan 30 Januari 1998 mengikuti kriteria imkān alru’yah (kemungkinan hilal dapat teramati). NU yang berdasarkan rukyat pecah pendapatnya karena beda kriteria. NU Jatim dan sebagian Jawa Tengah beridulfitri 29 Januari berdasarkan ru’yat al-hilāl, tetapi PBNU menolaknya dan menetapkan Idul Fitri 30 Januari berdasarkan kriteria imkān al-ru’yah. Fakta di atas mengungkapkan bahwa sesama aliran hisab dengan metode perhitungan yang sama bisa saja berbeda dalam penetapan awal bulan. Demikian pula sesama aliran rukyat dimungkinkan terjadi perpecahan karena standar kriteria visibilitas hilal yang berbeda. Jika demikian dapat dipahami akar masalahnya bukanlah sekedar hisab atau rukyat, melainkan terletak pada kriteria visibilitas hilal (imkān al-ru’yah). Kriteria penetapan awal bulan Islam pada dasarnya sederhana. Di antara ayat yang menjadi landasan epistemologis tentang hal ini adalah Q.S. al-Baqarah (2):184 yang terjemahnya: “Barang siapa menyaksikan bulan, maka hendaklah ia berpuasa”, kemudian dalam hadis tentang hisab dan rukyat hanya disebutkan “berpuasalah kamu bila melihat hilal dan berbuka (beridul fitri) bila melihat hilal”. Ada juga tambahan “bila terhalang, maka genapkanlah (istikmāl) bulan Syakban 30 hari” atau” bila terhalang maka perkirakanlah (faqdurū lah). Hadits ini kemudian ditafsirkan, 356 Hunafa: Jurnal Studia Islamika Sakirman, Menelisik Metodologi Hisab… kriteria dasarnya semua sepakat bahwa hilal (bulan sabit pertama) sebagai penentu awal bulan, namun mulai menjadi problematik ketika hilal itu didefinisikan, ada yang berpendapat hilal itu harus terlihat dengan mata fisik (ru’yah bil fi’l), yang lainnya berpendapat bahwa dapat pula terlihat dengan “mata” ilmu (ru’yah bil ‘ilm), yaitu dengan ilmu hisab. Dengan ilmu hisab, kriterianya dijabarkan lagi. Data Rukyat dan data hisab digabungkan untuk mencari kriteria apa untuk terlihatnya hilal, kriteria itu dinamakan kriteria imkān al-rukyah. Namun demikian, sampai saat ini kriteria imkān al-ru’yah juga belum ada kriteria yang disepakati, baik dalam ruang lingkup Indonesia, maupun global. Kriteria imkān al-ru’yah yang digunakan Indonesia dan disepakati juga pada tahun 1992 oleh negara-negara dalam lingkup MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura) dalam penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah adalah sebagai berikut: (1) tinggi bulan minimal 2 derajat, (2) jarak elongasi sudut bulan-matahari minimum 3 derajat, dan (3) umur bulan saat magrib minimum 8 jam. Kriteria itu dibuat berdasarkan pengalaman ru’yah al-hilāl di Indonesia selama puluhan tahun, walaupun secara internasional sangat diragukan karena terlalu rendah. Kriteria internasional mensyaratkan tinggi bulan minimum 4 derajat bila jauh dari matahari dan tinggi bulan minimum 10.5 derajat bila dekat dengan matahari. Departemen Agama sempat secara tegas menerapkan kriteria MABIMS pada Idul Fitri 1418/1998, meskipun kemudian terkesan meninggalkan kriteria itu pada penetapan Idul Adha 1421/2001. Berdasarkan kriteria MABIMS Idul Adha mestinya jatuh 6 Maret 2001, namun pada sidang iṡbaṭ penentuan awal Zulhijah diputuskan jatuh pada tanggal 5 Maret 2001 hanya berdasarkan satu laporan ru’yah al-hilāl di Blitar, padahal 70 titik Hunafa: Jurnal Studia Islamika 357 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 341-362 pengamatan lainnya di seluruh Indonesia gagal melihatnya. Saat itu tinggi bulan kurang dari 2 derajat. Menurut syariat, memang ada ketentuan selama saksi pelapor ru’yah al- hilāl adalah orang beriman dan telah disumpah, kesaksiannya bisa diterima. Apalagi jika pengamat itu orang yang dikenal jujur dan tidak diragukan keimanannya. Tetapi dari segi kebenaran objektif untuk memastikan yang dilihatnya itu apakah benar-benar hilal atau objek lain, kita masih boleh meragukannya sebelum ada bukti ilmiah yang meyakinkan. Apalagi dalam kriteria yang dijadikan standar acuan bersama, tentu saja setiap kesaksian perlu diuji sebelum dianggap benar. Kesalahan pengamatan bisa menjadi penyebab orang melaporkan objek bukan hilal sebagai hilal atau dipengaruhi faktor lainnya seperti halusinasi. Oleh karena itu, bukti ilmiah diperlukan untuk menguatkan kesaksian ru’yah al-hilāl, antara lain posisi hilal, bentuknya serta waktu mulai teramati dan terbenamnya. Sebuah kesaksian bisa ditolak jika dianggap meragukan atau tidak sesuai dengan kriteria. Mengacu pada hasil penelitian LAPAN tentang laporan ru’yah al-hilāl yang didokumentasikan Departemen Agama menunjukkan sebagian besar ru’yat al-hilāl yang sangat rendah umumnya dilaporkan oleh observer perorangan. Ada juga kasus hilal yang sangat rendah yang dilaporkan ternyata berkaitan dengan posisi hilal yang sangat dekat dengan planet merkurius atau venus (bintang kejora). Maka ada yang menduga yang dilaporkan sebenarnya bukan hilal, tetapi titik cahaya planet merkurius atau venus. Visi penyatuan awal bulan membutuhkan kesepakatan kriteria kuantitatif, terutama masalah ketinggian hilal dan sudut elongasi (jarak antara bulan dan matahari saat terbenam). Visibilitas hilal minimum dua derajat saat matahari terbenam 358 Hunafa: Jurnal Studia Islamika Sakirman, Menelisik Metodologi Hisab… berdasarkan pengalaman hanya dapat terjadi dengan syarat bila bulan jauh dari matahari, tetapi jika sudut elongasi matahari dan bulan terlalu dekat perlu ketinggian lebih, dalam kriteria MABIMS bahkan hingga 10.5 derajat. Kalangan yang berpendapat cukup dengan hisab tidak mungkin lepas dari kriteria hisabnya. Kalangan yang berpendapat harus dengan ru’yah bi al-fi’l seharusnya mempunyai kriteria rukyat untuk menerima atau menolak kesaksian, bukan sekedar sumpah karena pengamat bisa saja salah melihat. Kesatuan antara kriteria hisab dan kriteria rukyat adalah kriteria imkān al-ru’yah. Kesatuan umat dalam penentuan awal bulan tergantung pada kepastian imkān al-ru’yah ini, pada titik inilah energi umat ini harus difokuskan menuju titik temu yang menjembatani antara mazhab hisab dan rukyat. Kita berharap Muhammadiyah, NU, dan Persis serta ormasormas lainnya tetap terbuka untuk mencari titik temu. Pola pemikiran hisab dan rukyat selama ini telah sedemikian kokoh dengan paradigma fiqh yang memperkuatnya. Penganut metode rukyat sulit untuk menerima hisab sebagai penggantinya. Sebaliknya penganut metode hisab juga sulit menerima rukyat sebagai penentu karena hisab dianggap telah mencukupi dan lebih praktis. Namun catatan juga menunjukkan, bahwa penganut hisab seperti Muhammadiyah dan Persis berganti-ganti kriteria, pernah menggunakan hisab ijtimā’ qabl al-ghurūb (ijtimak sebelum magrib) dan imkān al-ru’yah. Namun demikian, karena kriteria imkān al-ru’yah yang memberikan kepastian belum ditentukan dan kesepakatan yang ada sering tidak diikuti maka Muhammadiyah kembali ke hisab wujūd al-hilāl. Ini menunjukkan bahwa di Muhammadiyah memiliki pemahaman yang dinamis tentang konsep hilal. NU pun demikian, telah melakukan dinamisasi ijtihad dalam memaknai hilal yang sesungguhnya dengan mengizinkan hisab mengontrol hasil rukyat yang mungkin Hunafa: Jurnal Studia Islamika 359 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 341-362 terkecoh oleh objek bukan hilal. Sehubungan dengan hal tersebut, diharapkan dinamisasi pemikiran itu tetap terjadi agar terbuka dan lebih diarahkan pada pencapaian titik temu. Masing-masing pihak dalam dinamisasi ijtihad itu perlu mempertimbangkan persatuan umat, yang kuncinya terlertak pada penyamaan kriteria. Metode masing-masing ormas boleh berbeda, namun jika kriterianya sama dalam mendefinisikan hilal, keputusannya bisa sama. Ormas yang menggunakan hisab hanya akan memutuskan masuknya tanggal bila ketinggian bulan dan syarat-syaratnya telah terpenuhi untuk terjadinya ru’yah al-hilāl, sehingga definisi hilal bukan lagi hilal teoritik. Demikian pula dengan yang menggunakan rukyat hanya akan menerima kesaksian ru’yat alhilāl yang meyakinkan secara ilmiah, termasuk memenuhi syarat tinggi dan ketentuan lainnya. Umat Islam di Indonesia sejak lama merindukan penyatuan, untuk itu diharapkan usaha serius dan keterbukaan semua pihak mewujudkan harapan tersebut. Meninggalkan ijtihad lama menuju ijtihad kolektif baru demi ketenteraman dan persatuan umat bukan hanya mendapat dua pahala, tetapi empat pahala karena ijtihad kedua itu akan mempersatukan umat. PENUTUP Penetapan awal Ramadan-Syawal adalah persoalan ijtihad, sehingga sangat memungkinkan terjadinya perbedaan pandangan dan pendapat. Pernyataan Nabi saw. “faqdurū lah” dan “fa in ghumma ‘alaikum fa akmilū al-‘iddah ṡalātṡīn”, hadis pertama ditujukan kepada orang-orang yang mengerti ilmu hisab-falak, hadis kedua ditujukan kepada orang awam (sesuai dengan pernyataan Ahmad Muhammad Syakir yang mengutip pendapat Ibnu Suraij) ditambah argumen-argumen lainnya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam rukyat terdapat banyak kelemahan dipandang dari sudut IPTEK. 360 Hunafa: Jurnal Studia Islamika Sakirman, Menelisik Metodologi Hisab… Hisab pada dasarnya adalah bangunan keilmuan sehingga sangat dipengaruhi oleh wacana epistema masing-masing. Oleh karena itu, wujūd al- hilāl yang diusung Muhammadiyah dan imkān al-ru’yah oleh Pemerintah memiliki ciri tersendiri. Dengan demikian, batas equilibrium (baca: keseimbangan) hisab dan imkān al-ru’yah terletak pada sampai di mana keduanya saling berkomunikasi, bukan malah mengambil jarak. Hal ini dimaksudkan agar masing-masing tidak terjebak pada intellectual arrogance. Untuk itu, sangat perlu dikembangkan hubungan asosiatif literal-inderawi dengan nalar rasionalilmiah untuk menyusun kalender Hijriyah di masa-masa yang akan datang. DAFTAR PUSTAKA Afandy, Muḥammad Jamal al-Dīn al-(ed.), al-Mausū'ah al-Falakiyyah, Tterj. Abd al-Qawī 'Iyad, Kairo, Maktabah al-Usrah, 2002 Aḥmad, Imām Ibrāhīm, Tārīkh al-Falak 'Ind al-Arab, t.t.: Maktabah al-Ṡaqāfiyyah, Wizarah al-Ṡaqāfah wa al-Irsyād al-Qawmī, t.th. Fāris, Alī Abd Allah, Tārīkh al-'Ulūm 'ind al-Arab, Makalah disampaikan dalam al-Mu’tamar al-‘Alamī al-Sādis li Tārīkh al-‘Ulūm ‘ind al‘Arab di Universitas Aleppo Syiria, 6-10 Sya'ban 1417 H/16-20 Desember 1996 Jauharī, Ṭanṭawī, al-Jawhar fī Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, vol. V, cet. ke-4; Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāṡ al-‘Arabī, 1412 H/1991 M. Jaziri, ’Abd al-Raḥmān al-, Kitāb al-Fiqh ‘alā al-Mażāhib al-Arba’ah, vol. I, cet. ke-1; Kairo: Mu’assasah al- Mukhtar, 2001. Khawārizmī, Abū ‘Abd Allah Muḥammad ibn Aḥmad ibn Yūsuf al-, Mafātih al-'Ulūm, G. Van Vloten (ed.), Kairo: al-Hay’ah al-‘Āmmah li Quṣūr al-Ṡaqāfah, 2004. Majma' al-Lughah al-'Arabiyah Republik Arab Mesir, al-Mu'jam alWajīz, t.t.: t.p., t.th. Mukmin, ‘Abd al-Amīr, al-, al-Turāṡ al-Falakī 'Ind al-'Arab wa alMuslimīn wa Aṡaruh fī 'Ilm al- Falak al-Hadīṡ, Syria: Universitas Aleppo, 1413 H/ 1991 M. Hunafa: Jurnal Studia Islamika 361 Vol. 8, No.2, Desember 2011: 341-362 Nawāwī, al-, Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ al-Nawāwī, vol.VII, cet. ke-1; Kairo: Maktabah al-Shafa, 1424 H/2003 M. Nillino, Carlo, 'Ilm al-Falak: Tārīkhuh 'ind al-'Arab fī al-Qurūn al-Wusṭā, t.t.: Maktabah al-Ṡaqāfah al-Dīniyyah, t.th. Qaradhawi, Yusuf, al-, Fiqh al-Ṣiyām, cet. I; Kairo: Maktabah Wahbah, 1424 H/2003 M. Rāzī, Muḥammad ibn Abū Bakr ibn Abd al-Qadīr al-, Mukhtār alṢaḥḥah, Kairo: Dār al-Hadiṣ, 1424 H/2003 M. Riḍā, Rasyīd, Tafsīr al-Manār, vol. XI, cet. ke-2; Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Ruskanda, Farid, 100 Masalah Hisab & Rukyat; Telaah Syari’ah, Sains dan Teknologi, cet. ke-1; Bandung: Gema Insani Press, 1416 H/1996 M. Subkī, Taqiyudin Ali al-, Fatāwā al-Subkī, vol. I, t.t.: Maktabah al-Qudsi, t.th. Syākir, Aḥmad Muḥammad, Awā’il al-Syuhūr al-‘Arabiyyah: Hal Yajūz Syar’an Iṡbātuhā bi al-Ḥisābāt al-Falakiyyah, cet. ke-2; Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, 1407 H. Syarwānī, Abd al-Ḥamīd al-, Hāsyiyah al-Syarwaniy, vol. III, t.t.: t.p., t.th. Syaukānī, Muḥammad ibn Alī al-, Nail al-Auṭar Syarḥ Muntaqa alAkhbār min Aḥādīṡ Sayyid al-Akhyār, vol. IV, Kairo: Dar Ibn alHaiṡam, t.th. 362 Hunafa: Jurnal Studia Islamika