III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka

advertisement
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Peranan Kredit Sebagai Barang Ekonomi
Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani (credere) yang berarti kepercayaan
(truth atau faith). Berdasarkan UU No. 10 tahun 1998, kredit adalah penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga. Kasmir (2004) mengemukakan unsur-unsur
kredit, yaitu :
a.
Kepercayaan merupakan keyakinan pemberi kredit bahwa penerima kredit
akan mengembalikan kredit sesuai jangka waktu kredit
b.
Kesepakatan merupakan perjanjian antara pemberi dan penerima kredit yang
ditandatangani oleh kedua belah pihak
c.
Jangka waktu merupakan batas waktu pengembalian angsuran kredit yang
sudah disepakati kedua pihak
d.
Risiko merupakan adanya risiko tidak tertagihnya kredit
e.
Balas jasa merupakan pendapatan bank dari pemberian kredit
Kredit merupakan sumber penting untuk menjaga likuiditas dan sekaligus
merupakan suatu kekayaan (asset) yang dapat dikelola untuk kegiatan produksi
suatu usaha (Kuntjoro 1983). Kredit bagi kegiatan usaha merupakan kredit yang
menjadi sumber modal dari luar usaha dan sekaligus sebagai barang ekonomi bagi
kegiatan usaha. Peranan kredit yang semakin luas menunjukkan bahwa kredit
sangat dibutuhkan oleh semua pengusaha dalam menjalankan aktivitas usahanya.
Aktivitas usaha ini membutuhkan keberadaan lembaga keuangan sebagai lembaga
intermediasi antara dari pihak yang memiliki kelebihan dana kepada pihak yang
kekurangan dana. Peranan lembaga keuangan mikro sebagai pemberi kredit dan
pelaku usaha mikro sebagai penerima kredit juga menunjukkan pengertian bahwa
kredit merupakan barang ekonomi.
17 3.1.2 Teori Keseimbangan Kredit
Keseimbangan harga pada pasar barang dan jasa terbentuk adanya
permintaan dan penawaran dalam pasar yang menghubungkan komponen harga
dan kuantitas barang atau jasa. Hal yang sama terjadi pada pembentukan
keseimbangan kredit pada pasar kredit dari perpotongan dua kurva, yaitu kurva
penawaran (S0) dan kurva permintaan (D0). Keseimbangan tersebut akan
menghasilkan tingkat suku bunga sebagai harga sebesar r0 dan kuantitas kredit
sebesar L0 yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Suku Bunga
S1
S0
S2
r1
r0
r2
D0
L1 L0 L2
Kuantitas Kredit
Sumber : Hyman (1991)
Gambar 3. Kurva Keseimbangan Kredit
Pada kedua kurva tersebut dapat terjadi adanya pergerakan dan pergeseran
kurva. Pada kurva permintaan kredit, gerakan sepanjang kurva berlaku apabila
terdapat perubahan suku bunga kredit yang diminta pada suatu tingkat tertentu,
sedangkan pergeseran kurva permintaan ke kanan atau ke kiri dapat terjadi apabila
terdapat perubahan terhadap permintaan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor
selain suku bunga. Adapun faktor-faktor permintaan kredit pada pelaku usaha
kecil selain suku bunga tersebut antara lain skala usaha, tingkat upah, pengeluaran
untuk riset, proporsi lahan, tingkat pendidikan, ukuran keluarga, umur kepala
keluarga, dan transitory income (Iqbal 1981).
18 Pada kurva penawaran kredit, gerakan sepanjang kurva juga terjadi apabila
terdapat perubahan suku bunga kredit yang ditawarkan pada suatu tingkat tertentu,
sedangkan pergeseran kurva penawaran dapat terjadi apabila terdapat perubahan
terhadap penawaran yang ditimbulkan oleh faktor-faktor selain suku bunga.
Apabila faktor selain suku bunga meningkat, maka kurva penawaran akan
bergeser ke kiri atas (S1). Sedangkan apabila faktor selain suku bunga mengalami
penurunan, maka kurva penawaran akan bergeser ke kanan bawah (S0).
Faktor-faktor penawaran kredit pada lembaga keuangan selain suku bunga
tersebut secara sederhana dapat dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Warjio (2004), faktor
yang mempengaruhi penawaran kredit pada perbankan adalah permodalan (CAR),
jumlah kredit macet (NPL), dan loan to deposit ratio yang dalam hal ini dapat
dikategorikan sebagai faktor internal lembaga. Selain itu, diutarakan pula faktor
persepsi lembaga terhadap prospek usaha debitur yang dalam hal ini dapat
dikategorikan sebagai faktor eksternal lembaga. Prospek usaha debitur ini dapat
dideskripsikan sebagai faktor yang berkaitan dengan omset usaha, pendapatan
bersih, aset debitur dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan prinsip pembiayaan
yang dimiliki oleh lembaga keuangan, yaitu prinsip pembiayaan 5C.
Dalam menyalurkan pembiayaan tersebut terdapat penilaian yang dilakukan
lembaga keuangan terhadap permohonan pembiayaan dan harus memperhatikan
beberapa prinsip utama yang berkaitan dengan kondisi secara keseluruhan
anggota. Adapun prinsip pembiayaan 5C ini antara lain:
a. Character, yaitu penilaian terhadap karakter atau kepribadian debitur dengan
tujuan untuk memperkirakan kemungkinan bahwa anggota tersebut dapat
memenuhi kewajibannya. Character dalam penelitian ini dapat dideskripsikan
sebagai faktor yang berkaitan dengan lama keanggotaan dan frekuensi
pembiayaan. Kedua faktor tersebut dinilai dapat mewakili karakter atau
kepribadian yang dimiliki debitur.
b. Capacity, yaitu penilaian secara subjektif tentang kemampuan debitur untuk
melakukan pembayaran. Kemampuan diukur dengan catatan prestasi debitur di
masa lalu yang didukung dengan pengamatan atas sarana usaha yang
dijalankan. Dalam hal ini, capacity dapat dideskripsikan sebagai faktor yang
19 berkaitan dengan omset usaha dan pendapatan bersih debitur. Selain itu,
berdasarkan kemampuan usaha debitur tersebut dapat diperoleh pula faktor
jumlah pengajuan debitur yang dapat menggambarkan kapasitas usaha yang
akan dijalankan.
c. Capital, yaitu penilaian terhadap kemampuan modal yang dimiliki oleh debitur
yang diukur dengan posisi usaha secara keseluruhan yang ditunjukkan pada
penekanan komposisi modalnya. Capital dapat dideskripsikan sebagai faktor
yang berkaitan dengan besarnya aset yang dimiliki debitur. Faktor ini dinilai
dapat mewakili kondisi kemampuan modal debitur.
d. Collateral, yaitu jaminan yang dimiliki debitur. Penilaian ini bertujuan untuk
lebih meyakinkan bahwa jika suatu risiko kegagalan pembayaran terjadi, maka
jaminan dapat dipakai sebagai pengganti dari kewajibannya. Namun, dalam
penelitian ini collateral tidak dijadikan faktor yang berkaitan dengan agunan
karena pada prinsipnya Grameen Bank tidak memerlukan jaminan dari
nasabahnya.
e. Conditions, yaitu pihak pemberi dana harus melihat kondisi ekonomi yang
terjadi di masyarakat dan secara spesifik melihat adanya keterkaitan dengan
jenis usaha yang dilakukan oleh anggota. Hal tersebut dilakukan karena kondisi
eksternal berperan besar dalam proses berjalannya usaha debitur.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditunjukkan bahwa penelitian ini
berfokus pada pembahasan faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran kredit
berdasarkan kondisi penawaran (supply) dari sisi eksternal (debitur).
3.1.3 Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Lembaga Intermediasi
Pembahasan mengenai fungsi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sebagai
lembaga perantara keuangan penting dilakukan agar dapat mengetahui posisi dan
peran LKM dalam keseluruhan sistem keuangan yang ada dan pada gilirannya
dapat mempengaruhi keberlanjutan LKM. Ghate (1992) menemukan dua
keunggulan komparatif LKM dalam melayani masyarakat berpenghasilan rendah
di daerah pedesaan negara yang sedang berkembang, yaitu kemudahan prosedur
kredit dan penyediaan pinjaman kecil berjangka pendek. Kemudahan LKM dalam
persoalan agunan membuat LKM dapat membiayai sejumlah kegiatan jasa tanpa
20 harus menyediakan agunan. Begitu juga halnya dengan Koperasi Baytul Ikhtiar
(KBI) sebagai lembaga intermediasi keuangan mikro yang berfokus pada
pemberdayaan masyarakat miskin dengan pembiayaan berjangka pendek tanpa
menggunakan agunan. Dengan kemudahan tersebut, KBI mampu menjangkau
masyarakat khususnya bagi pelaku UMKM dari berbagai sektor usaha yang salah
satunya adalah pertanian. Ghate (1992) menyatakan bahwa LKM dapat
memberikan keunggulan komparatif dalam menyediakan pinjaman kecil dan
jangka pendek sebagai pinjaman modal kerja pada bidang pertanian, seperti
pinjaman produksi pertanian dan industri skala kecil. Berdasarkan hal tersebut,
LKM memiliki peran penting sebagai perantara keuangan, seperti halnya yang
dilakukan oleh KBI dalam menyalurkan pembiayaan yang berbasis syariah.
3.1.4 Pembiayaan pada Koperasi Syariah
Sesuai dengan sifat dan fungsi koperasi simpan pinjam, dana yang
diperoleh harus terus digulirkan dalam bentuk pembiayaan kepada anggota
koperasi. Adapun produk pembiayaan tersebut dapat berupa bagi hasil
(mudharabah atau musyarakah), jual beli (murabahah, salam, istsihna’), dan jasa
umum (hawalah, ijarah, atau pemberian manfaat). Adapun jenis-jenis akad
adalah sebagai berikut:
1. Prinsip jual beli dengan marjin (murabahah)
Murabahah adalah transaksi jual beli antara bank yang bertindak sebagai
penjual dan nasabah sebagai pembeli. Harga jual yang ditetapkan adalah harga
beli bank dari pemasok dana ditambah dengan keuntungan tertentu. Kedua
belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.
Harga jual tersebut dicantumkan dalam akad jual beli dan apabila telah
disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Istilah murabahah
umumnya dilakukan dengan cara membayar cicilan dan barang akan
diserahkan segera setelah akad sedangkan pembayaran dilakukan secara
mengangsur, misalnya pembiayaan pembelian alat-alat pertanian.
2. Prinsip jual beli dengan pembayaran dimuka (salam)
Salam adalah transaksi jual beli dengan kondisi barang yang
diperjualbelikan belum tersedia, tetapi kualitas, kuantitas, harga dan waktu
21 penyerahan barang harus ditentukan secara pasti. Bank akan membayar secara
tunai kepada supplier dan barang akan diserahkan kepada bank. Setelah itu,
bank akan menjualnya kepada nasabah secara tunai atau secara angsuran,
misalnya pembiayaan untuk pembelian hasil pertanian.
3. Prinsip jual beli dengan pesanan (istishna’)
Produk istishna’ menyerupai produk salam, tetapi perbedaannya terdapat
pada sistem pembayaran, yaitu pembayaran istishna’ dapat dilakukan oleh bank
dalam beberapa kali pembayaran. Produk istishna’ dalam bank syariah
umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
4. Prinsip sewa (ijarah)
Ijarah adalah transaksi dengan posisi bank yang menyewakan suatu objek
sewa kepada nasabah dan bank memperoleh ongkos sewa atas manfaat yang
diterima oleh nasabah atas pengunaan objek sewa tersebut. Pada akhir masa
sewa, bank dapat mengalihkan kepemilikan barang yang disewakan kepada
nasabah, yaitu dikenal dengan istilah ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa yang
diikuti dengan berpindah tanggannya kepemilikan).
5. Prinsip kemitraan (musyarakah)
Kemitraan (musyarakah) merupakan bentuk umum dari usaha bagi hasil.
Transaksi musyarakah dilakukan pada usaha yang melibatkan dua pihak atau
lebih yang secara bersama-sama menggunakan sumberdaya, baik yang
berwujud maupun tidak berwujud. Secara spesifik, bentuk kontribusi dari pihak
yang bekerjasama dapat berupa dana, barang dagangan (trading asset),
kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property),
peralatan (equipment), atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill),
reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai
dengan uang.
6. Prinsip penyertaan modal (mudharabah)
Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih dan
salah satu pihak mempercayakan sejumlah modal kepada pihak lain yang
bertindak sebagai pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian
keuntungan. Dalam akad mudharabah tidak dipersyaratkan adanya wakil
22 pemilik modal (shohibul maal) dalam manajemen proyek, misalnya
pembiayaan modal kerja ternak kambing.
7. Prinsip pengalihan piutang (hawalah)
Hawalah merupakan produk pembiayaan yang timbul karena adanya
peralihan
kewajiban
dari
seseorang
anggota
terhadap
pihak
lain.
Kewajibannya tersebut dapat dialihkan kepada koperasi sebagai lembaga
pembiayaan.
8. Prinsip pinjaman lunak (qardh)
Pembiayaan dengan bentuk qardh ini tergolong sebagai pinjaman lunak
karena pembiayaan yang diberikan harus dikembalikan oleh anggota sejumlah
dana yang diterima tanpa adanya tambahan. Pengecualian berlaku apabila
anggota yang bersangkutan mengembalikan lebih tanpa persyaratan dimuka,
maka kelebihan dana tersebut diperbolehkan diterima oleh koperasi dan
dimasukkan ke dalam kelompok dana qardh.
Sebagai LKM syariah, akad yang telah diaplikasikan oleh Koperasi Baytul
Ikhtiar antara lain jual beli (murabahah), sewa (ijarah), pengalihan piutang
(hiwalah), dan qard hasan. Adapun akad lainnya seperti kemitraan (musyarakah)
maupun bagi hasil (mudharabah) belum diaplikasikan dalam pembiayaan syariah
KBI. Namun, hingga saat ini KBI tetap berusaha agar produk-produk tersebut
dapat diaplikasikan di KBI. Hal tersebut dilakukan dengan cara mempelajari lebih
jauh prosedur dan risiko usaha dari kedua produk, serta menambah sumberdaya
manusia KBI yang ahli dalam mengelola pendampingan usaha dari kedua produk
tersebut.
Hal tersebut tidak terlepas dari usia lembaga KBI yang masih tergolong
muda. Dalam masa perkembangan yang memasuki tahun kelima, KBI harus
mampu membenahi dan meningkatkan kualitasnya sebagai lembaga keuangan
mikro. Oleh karena itu, diperlukan adanya analisis keberlanjutan finansial KBI
yang diawali dengan analisis rasio keuangan dari aspek likuiditas, solvabilitas,
rentabilitas, dan aktivitas usaha koperasi. Hal ini perlu dilakukan untuk
mengetahui keadaan finansial koperasi agar dapat menjalankan aktivitas usahanya
secara berkelanjutan
23 3.1.5 Analisis Rasio Keuangan
Analisis keuangan dilakukan dengan menggunakan laporan keuangan
(neraca) suatu lembaga atau perusahaan. Pada penelitian ini dilakukan analisis
keuangan dengan pendekatan analisis horizontal dan vertikal. Munawir (1995)
menyatakan bahwa analisis keuangan horizontal merupakan analisis yang
membandingkan pos-pos laporan keuangan untuk beberapa periode akuntansi
dengan menggunakan tahun dasar. Oleh karena itu, dengan analisis horizontal
dapat diketahui perbandingan kondisi keuangan untuk beberapa periode sehingga
dapat dilihat perkembangannya. Sedangkan analisis keuangan vertikal merupakan
analisis proporsi item laporan keuangan terhadap sesuatu nilai dalam laporan
keuangan yang hanya meliputi satu periode keuangan.
Adapun dua komponen utama dalam suatu laporan keuangan (neraca)
adalah aktiva dan pasiva. Menurut Munawir (2002), aktiva merupakan sarana atau
sumberdaya ekonomi yang dimiliki oleh suatu kesatuan usaha atau perusahaan
yang harga perolehannya harus diukur secara objektif. Adapun definisi dari pasiva
adalah pengorbanan ekonomis yang harus dilakukan oleh suatu perusahaan pada
masa yang akan datang akibat dari adanya kegiatan usaha. Rumus persamaan
akuntansi antara kedua komponen tersebut adalah sebagai berikut :
Persamaan di atas menunjukkan bahwa aktiva dan pasiva suatu badan
usaha dan perusahaan harus bernilai sama atau dalam keadaan yang seimbang
(balance). Komponen aktiva terdiri dari aktiva lancar dan aktiva tetap, sedangkan
pasiva terdiri dari kewajiban (modal luar) dan ekuitas (modal sendiri). Kewajiban
tersebut juga dapat digolongkan menjadi dua hal, yaitu kewajiban jangka pendek
dan jangka panjang.
Adapun tujuan dari analisis rasio finansial ini adalah untuk menilai dan
mengevaluasi tujuan koperasi secara ekonomi. Analisis rasio akan memudahkan
lembaga untuk mengetahui hal-hal kritis apa saja yang sedang dihadapi koperasi,
sehingga dapat dilakukan perbaikan untuk mencegah semakin buruknya kondisi
lembaga. Selain itu, analisis rasio berguna untuk mengetahui kinerja keuangan
koperasi secara keseluruhan. Adapun analisis rasio yang sering digunakan oleh
24 pihak-pihak yang berkepentingan adalah rasio likuiditas, solvabilitas, dan
rentabilitas (Munawir 2002), sedangkan rasio lain yang sering digunakan dalam
menganalisis efektivitas usaha adalah rasio aktivitas usaha.
1. Likuiditas
Kuswandi (2006) menyatakan bahwa rasio likuiditas bertujuan untuk
mengetahui kemampuan koperasi dalam membayar kewajiban-kewajiban
jangka pendeknya secara tepat waktu. Rasio likuiditas sangat penting bagi KBI
mengingat koperasi ini merupakan LKM yang membutuhkan pasokan
pembiayaan dari pihak ketiga sebagai modal dalam menyalurkan pembiayaan.
Nilai rasio likuiditas ini adalah angka yang dapat meyakinkan pihak ketiga
selaku pemasok dana untuk memberikan pinjaman pembiayaan, seperti halnya
KBI terhadap Bank Syariah Mandiri, BMT, dan BPRS dibawah naungan
Yayasan Peramu. Pada umumnya, rasio yang digunakan dalam likuiditas antara
lain rasio lancar (quick ratio), rasio kas (cash ratio), dan rasio modal kerja dan
total aset (working capital to total asset). Rasio lancar berguna untuk mengukur
kemampuan KBI dalam membayar kewajiban-kewajiban jangka pendeknya,
sedangkan rasio kas dapat menghasilkan analisa yang lebih tajam karena hanya
membandingkan aktiva yang sangat likuid.
2. Solvabilitas
Solvabilitas merupakan kemampuan koperasi untuk membayar hutang
jangka panjang, baik hutang pokok maupun bunganya (Sartono 2001).
Perhitungan ini diperlukan bagi KBI karena koperasi tersebut juga memiliki
hutang jangka panjang terhadap Yayasan Peramu, Lembaga ESQ, dan Gerakan
Masyarakat Mandiri (GMM). Rasio-rasio yang digunakan dalam solvabilitas
adalah rasio modal sendiri dengan total aktiva (equity to total asset ratio), rasio
modal sendiri dengan aktiva tetap (equity to fixed asset ratio), rasio aktiva tetap
dengan hutang jangka panjang (fixed asset to long term debt ratio), rasio total
hutang dengan total aktiva (debt ratio) dan rasio total hutang dengan total
modal sendiri (debt equity ratio). Semakin rendah angka rasio, maka semakin
tinggi solvabilitas koperasi dan menggambarkan bahwa beban hutang tidak
terlalu berat.
25 Modal sendiri terhadap total aktiva menunjukkan semua total aktiva akan
dapat direalisir sesuai dengan yang dilaporkan dalam neraca dan sangat penting
untuk menunjukkan tingkat keamanan dan sumber permodalan yang dimiliki
KBI. Hal tersebut disebabkan oleh modal sendiri koperasi yang tergolong
rendah, yaitu hanya memiliki proporsi rata-rata 20,02 persen terhadap modal
luar. Rasio modal sendiri terhadap aktiva tetap menunjukkan proporsi aktiva
tetap yang dibiayai oleh modal sendiri. Modal sendiri yang lebih besar dari
pada aktiva tetap keadaannya akan lebih baik karena dapat mempertahankan
likuiditas koperasi saat terjadi pembayaran hutang saat itu, sebaliknya jika
modal sendiri lebih kecil daripada aktiva tetap karena over investment dalam
aktiva tetap atau kurangnya modal koperasi. Sedangkan rasio aktiva tetap
dengan hutang jangka panjang menunjukkan kemampuan koperasi untuk
memperoleh pinjaman baru dengan jaminan aktiva tetap. Nilai rasio tersebut
dapat menunjukkan seberapa besar KBI dapat memenuhi kewajibannya atas
aktiva tetap yang dimiliki, seperti tanah dan bagunan.
Debt ratio merupakan rasio yang menunjukkan jumlah total aktiva yang
digunakan untuk menjamin total hutang, sedangkan debt equity ratio
merupakan rasio yang menunjukkan jumlah total hutang yang dijamin oleh
total modal sendiri. Hal ini sangat penting karena proporsi modal sendiri
koperasi KBI masih tergolong rendah, yaitu sekitar 20,02 persen.
3. Rentabilitas
Penggunaan aktiva secara produktif oleh koperasi merupakan gambaran
profitabilitas yang diperoleh koperasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Munawir (2002) bahwa rasio rentabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan
untuk menghasilkan laba. Walaupun KBI bukan sebagai perusahaan yang
mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi keadaan mengenai laba rugi
lembaga perlu untuk diketahui. Hal tersebut disebabkan berkembangnya suatu
koperasi juga ditentukan oleh besarnya keuntungan yang diperoleh. Semakin
besarnya keuntungan bersih koperasi yang dikenal sebagai sisa hasil usaha
(SHU), maka anggota koperasi yang tergabung didalamnya akan menjadi lebih
sejahtera. Kemampuan koperasi dalam menghasilkan SHU tersebut, dapat
dilihat dari rasio rentabilitas dengan menggunakan beberapa rasio seperti rasio
26 laba bersih (net profit margin), rasio operasional (operating margin ratio),
rasio pengembalian modal sendiri (return on equity), dan tingkat pengembalian
investasi (return on investment).
4. Aktivitas Usaha
Efektivitas penggunaan dana dapat dilihat dari bagaimana dana tersebut
digunakan dalam bentuk beban atau biaya yang dikeluarkan oleh koperasi
(Kuswandi 2006). Sebagai koperasi simpan pinjam, aktivitas usaha yang
dijalankan oleh KBI adalah penyaluran pembiayaan tanpa adanya penjualan
produk. Oleh karena itu, rasio yang dapat dipergunakan dalam perhitungan ini
adalah rasio perputaran total aktiva (total asset turn-over ratio) dan rasio
perputaran piutang (account receivable turn-over ratio). Dengan dilakukannya
perhitungan tersebut, KBI dapat mengetahui sejauh mana efisiensi koperasi
dalam menggunakan aset untuk menyalurkan pembiayaan karena KBI harus
dapat memanfaatkan sumberdaya secara efektif dan efisien agar memperoleh
laba yang diinginkan.
3.1.6. Viabilitas Finansial
Keberlanjutan finansial (viabilitas finansial) adalah kemampuan sebuah
lembaga pembiayaan yang melayani tabungan untuk mempertahankan atau
meningkatkan aliran manfaat (benefit), serta menyalurkan melalui dana-dana yang
diciptakan secara internal. Menurut Consultative Group to Assist the Poor
(CGAP), berkelanjutan adalah kemampuan penyedia keuangan mikro untuk
menutupi seluruh biaya yang diperlukan. Kemampuan tersebut memungkinkan
keberlanjutan operasional penyedia keuangan mikro dan penyediaan jasa
keuangan yang terus menerus bagi masyarakat miskin. Mencapai keberlanjutan
keuangan artinya mengurangi biaya-biaya transaksi, menawarkan produk dan jasa
lebih baik yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan, dan menemukan cara-cara
baru untuk menjangkau masyarakat miskin yang belum mendapatkan pelayanan
dari bank. Oleh karena itu, sebagai lembaga penyalur pembiayaan dan pelayanan
tabungan anggota, maka penting bagi KBI untuk memperhatikan masalah
keberlanjutan finansial lembaganya.
27 3.1.7 Grameen Bank pada Koperasi Baytul Ikhtiar
Terdapat beberapa peraturan yang telah ditetapkan oleh KBI dalam
menjalankan aktivitas usahanya dengan menggunakan model pembiayaan
Grameen Bank, yaitu :
1. Majelis
a. Majelis merupakan kelompok anggota layanan koperasi yang berjumlah
sekitar 15-25 anggota. Majelis ini dibentuk berdasarkan wilayah tempat
tinggal anggota layanan.
b. Setiap kelompok memiliki ketua majelis yang telah disepakati oleh seluruh
anggota majelis dan bertanggung jawab terhadap anggotanya. Adapun ikrar
yang dipimpin oleh ketua majelis untuk mengawali setiap pertemuan adalah
sebagai berikut :
-
“Ikrar Anggota Majelis Ikhtiar”
Adalah menjadi tanggung jawab kami untuk berusaha menambah
pendapatan keluarga.
Membantu anggota kelompok atau majelis apabila mereka dalam
kesulitan.
Menggunakan pinjaman dari majelis ikhtiar Koperasi Baytul Ikhtiar
untuk meningkatkan pendapatan keluarga.
Mendorong anak-anak untuk terus bersekolah.
Membayar kembali pembiayaan dan menabung setiap minggu atau
sesuai ketentuan.
Allah SWT menjadi saksi atas apa yang kami ucapkan dan kami
lakukan.
2. Pengajuan Pembiayaan
a. Pengajuan pembiayaan oleh anggota dilakukan dalam pertemuan mingguan
majelis dan harus mendapat persetujuan anggota lainnya. Hal ini merupakan
salah satu prasyarat yang harus dilakukan anggota karena apabila dalam
pembayaran angsuran anggota tersebut mengalami kesulitan, maka anggota
lainnya wajib untuk membantu anggota yang bersangkutan.
b. Tenaga pendamping lapang (TPL) akan mengisi formulir pengajuan
pembiayaan anggota (MAP) yang berisikan mengenai data diri, kondisi
finansial anggota, peruntukan dan alokasi pembiayaan yang diajukan.
c. Pengajuan pembiayaan tersebut akan diproses dalam komite uji kelayakan
yang terdiri dari supervisi, manager unit koperasi, dan staf senior
28 penumbuhan (asisten supervisi). Komite tersebut akan menentukan besarnya
pembiayaan yang dapat diberikan kepada anggota.
3. Penyaluran atau Pencairan Pembiayaan
a. Apabila komite uji kelayakan telah menetapkan hasil, maka pencairan
pembiayaan akan dilakukan pada pertemuan majelis minggu berikutnya.
b. Transaksi pembiayaan antara TPL dengan anggota akan dilakukan dengan
pembacaan akad oleh kedua belah pihak yang disaksikan oleh seluruh
anggota majelis. Setelah kedua pihak sepakat mengenai besarnya jumlah
yang harus diangsur tiap minggunya, maka kedua belah pihak akan
menandatangani lembar persetujuan pembiayaan.
4. Angsuran Pembiayaan
a. Angsuran pembiayaan dibayarkan setiap minggu pada saat pertemuan
majelis dalam jangka waktu 50 minggu.
b. Angsuran tersebut terdiri dari angsuran pokok, angsuran margin, tabungan
wajib, tabungan cadangan, dan tabungan kelompok. Angsuran pokok berasal
dari jumlah pokok pembiayaan yang besarnya berkisar antara Rp 6.000,hingga Rp 100.000,-, sedangkan angsuran margin berasal dari jumlah
margin pembiayaan yang besarnya telah disepakati pada akad sebelumnya.
Tabungan wajib, cadangan, dan kelompok besarnya akan semakin
meningkat sesuai dengan plafon pembiayaan yang diterima anggota, sebagai
contoh pada plafon pembiayaan Rp 500.000,- akan ditetapkan tabungan
wajib sebesar Rp 200,-, tabungan cadangan Rp 500,-, dan tabungan
kelompok senilai Rp 300,-.
c. Tabungan wajib dan tabungan kelompok akan dikembalikan kepada anggota
apabila anggota tersebut menyatakan keluar dari keanggotaan koperasi,
sedangkan tabungan cadangan akan dikembalikan kepada anggota setelah
anggota tersebut telah memenuhi kewajiban angsurannya.
Ketentuan yang ditetapkan oleh KBI tersebut dibentuk atas dasar prinsip
Grameen Bank. Djumilah Zain dalam Thoha (2000) menyatakan bahwa Grameen
Bank dibangun atas dasar empat prinsip, yaitu sebagai berikut:
a. Bantuan kredit diberikan dengan tidak ada jaminan (agunan) dan atau
penjamin.
29 b. Tidak ada sangsi hukum bila anggota tidak bisa mengembalikan pinjaman
dan kredit tersebut dihibahkan bila anggota meninggal dunia.
c. Anggota tidak perlu datang ke kantor untuk mengurus pinjamannya, tetapi
justru petugas yang mendatangi mereka dalam pertemuan rembug pusat.
d.
Prosedur
perkreditan
dibuat
sesederhana
mungkin
dengan
tidak
menggunakan banyak formulir yang tidak dimengerti oleh anggota.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Koperasi Baytul Ikhtiar (KBI) berperan sebagai lembaga keuangan mikro
berbasis syariah. Dengan model pembiayaan Grameen Bank, KBI berfokus dalam
menyalurkan pembiayaan masyarakat miskin, khususnya pengusaha mikro. KBI
pada dasarnya memiliki potensi yang besar dalam menjangkau lapisan masyarakat
miskin yang memiliki keterbatasan terhadap akses pembiayaan. Hal ini dapat
dilihat dari wilayah jangkauan pembiayaan KBI yang semakin luas, yakni Kodya
Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi. Dengan jangkauan luas
tersebut, KBI harus mampu menjadi lembaga keuangan mikro yang dapat
menyalurkan pembiayaan secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji mengenai keberlanjutan finansial
KBI yang diawali dengan analisis kinerja keuangan KBI yang meliputi likuiditas,
solvabilitas, rentabilitas, dan aktivitas usaha. Hasil pengukuran likuiditas dapat
menunjukkan kemampuan koperasi dalam membayar kewajiban jangka pendek,
sedangkan hasil pengukuran solvabilitas dapat menunjukkan kemampuan koperasi
dalam memenuhi seluruh kewajibannya sehingga koperasi dapat mengetahui
seberapa besar batasan dalam meminjam uang. Hasil pengukuran profitabilitas
dapat menunjukkan besarnya laba yang dapat dihasilkan koperasi dalam periode
tertentu. Adapun hasil pengukuran aktivitas usaha dapat menggambarkan kondisi
perputaran aktiva dan piutang yang dilakukan oleh koperasi. Pengukuran rasio
tersebut penting dilakukan bagi KBI mengingat lembaga tersebut juga memiliki
hutang jangka pendek dan jangka yang cukup besar, sehingga proporsi modal
sendiri KBI tergolong rendah, yaitu rata-rata hanya sekitar 20,02 persen. Hasil
pengukuran dengan suatu standar tertentu dapat memperlihatkan tingkat kinerja
koperasi dalam keadaan yang baik atau tidak baik.
30 Sebagai kelanjutan dari analisis rasio keuangan, penelitian ini akan
menganalisis keberlanjutan KBI dari aspek finansial. Keberlanjutan finansial
tersebut akan membandingkan komponen pendapatan koperasi dengan biaya
operasional yang dibutuhkan. Sebagai lembaga keuangan, KBI berhadapan
langsung dengan dua pihak, yaitu anggota layanan koperasi yang diberi
pembiayaan dan lembaga lain sebagai pihak ketiga sebagai pemasok sumber dana
pembiayaan. Keterkaitan tersebut membuat KBI harus mencapai kondisi yang
berkelanjutan (viable) agar KBI dapat menutupi biaya pokok pinjaman kepada
pihak ketiga dengan menggunakan pendapatan dari margin pembiayaan anggota.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Khandker (1998) bahwa indikator
suatu pembiayaan mencapai tingkat viabilitas finansial adalah pendapatan yang
diterima dari peminjam harus lebih besar dari biaya operasional yang dikeluarkan.
Selain itu, penelitian ini akan mengkaji mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi besarnya pembiayaan KBI pada sektor agribisnis. Dalam
penelitian ini, terdapat tujuh variabel yang diduga berpengaruh terhadap
pembiayaan anggota sektor agribinis. Oleh karena itu, penelitian ini akan melihat
pembiayaan dari sisi lembaga penyalur (KBI) yaitu sisi penawaran pembiayaan.
Variabel yang digunakan merupakan turunan dari prinsip pembiayaan 5C, yaitu
character, capacity, capital, collateral, dan conditions. Adapun ketujuh variabel
tersebut adalah lama keanggotaan , aset anggota, omset usaha per tahun,
pendapatan bersih per tahun, frekuensi pembiayaan, jumlah pengajuan
pembiayaan, dan jenis usaha anggota.
Variabel lama keanggotaan merupakan turunan dari prinsip pembiayaan
character. Lama keanggotan dinilai dapat menggambarkan karakteristik anggota,
termasuk sikap dan kepribadian didalamnya. Selain itu, karakter anggota dapat
pula dilihat dari frekuensi pembiayaan anggota. Tidak hanya banyaknya frekuensi
pembiayaan, tetapi juga dapat dilihat dalam hal kelancaran pembayaran,
pengalaman pengembalian pembiayaan dan kehadiran anggota dalam melakukan
angsuran pembiayaan. SehinggaKBI dapat mengetahui sifat atau karakter dari
masing-masing anggota. Oleh karena itu, lama keanggotaan dan frekuensi
pembiayaan diduga berpengaruh positif terhadap besarnya pembiayaan agribisnis,
yaitu semakin lama keanggotaan dan atau frekuensi pembiayaan anggota, maka
31 KBI akan lebih mengetahui karakteristik anggota dan anggota tersebut akan lebih
memahami penggunaan pembiayaan yang diberikan, sehingga diduga koperasi
memiliki kepercayaan untuk memberikan pembiayaan yang lebih besar.
Variabel aset anggota merupakan turunan dari prinsip pembiayaan capital
karena variabel tersebut dapat mewakili kemampuan modal yang dimiliki
anggota. Adapun aset yang digunakan dalam penelitian ini meliputi aset usaha dan
aset rumah tangga. Variabel aset anggota pun diduga memiliki pengaruh yang
positif terhadap besarnya pembiayaan agribisnis pada KBI . Semakin besar jumlah
aset yang dimiliki anggota, maka diduga KBI akan lebih berani untuk
memberikan jumlah pembiayaan atas besarnya kekayaan atau harta yang dimiliki
anggota.
Variabel hasil turunan dari prinsip pembiayaan capacity adalah omset
usaha per tahun, pendapatan bersih per tahun, dan jumlah pembiayaan yang
diajukan. Variabel omset usaha dan pendapatan bersih anggota dapat digunakan
KBI untuk melihat kelancaran usaha dan kemampuan anggota dalam memenuhi
kewajiban angsuran. Secara sederhana, kemampuan anggota tersebut dapat dilihat
dari besarnya saving power anggota. Sedangkan variabel jumlah pembiayaan yang
diajukan dapat menunjukkan seberapa besar kapasitas usaha yang akan dijalankan
anggota. Oleh karena itu, ketiga variabel tersebut diduga berpengaruh positif
terhadap besarnya pembiayaan agribisnis yang diberikan KBI. Semakin besar
omset usaha, pendapatan bersih anggota, dan jumlah pembiayaan yang diajukan
maka diduga akan meningkatkan besarnya pembiayaan yang diterima anggota.
Adapun variabel yang diluar dari turunan prinsip pembiayaan adalah jenis
usaha anggota. Variabel jenis usaha, dengan dummy jenis usaha on-farm diduga
berpengaruh positif terhadap besarnya pembiayaan yang diterima anggota. Hal
tersebut berarti anggota dengan usaha on-farm diduga akan memperoleh
pembiayaan yang lebih besar daripada anggota berjenis usaha off-farm.
Hasil penelitian dari ketiga analisis tersebut akan menggambarkan performa
KBI, baik dari segi lembaga maupun dari segi penerima manfaat, yaitu anggota
layanan koperasi. Analisis mengenai kinerja keuangan dan keberlanjutan finansial
dari sisi lembaga dapat memberikan gambaran akan posisi keuangan KBI,
sehingga KBI dapat segera membenahi dan meningkatkan kekurangan yang ada.
32 Sedangkan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan agribisnis yang
dilihat dari sisi anggota dapat menjadi evaluasi dan bahan pertimbangan bagi KBI
untuk menetapkan besarnya pembiayaan agribisnis terhadap anggota yang
tergolong sebagai usaha produktif. Pada intinya, keseluruhan hasil penelitian
tersebut diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan kualitas KBI sebagai
lembaga intermediasi keuangan mikro yang memiliki jangkauan pembiayaan yang
luas dan berkelanjutan.
33 Koperasi Baytul Ikhtiar (KBI)
Kinerja Keuangan KBI
Likuiditas
Solvabilitas
Rentabilitas
Aktivitas Usaha
Keberlanjutan Finansial
1. Lama Keanggotaan
2. Aset Anggota
3. Omset Usaha per Tahun
4. Pendapatan Bersih per Tahun
5. Frekuensi Pembiayaan
6. Jumlah Pengajuan Pembiayaan
7. Jenis Usaha Anggota
Pembiayaan Agribisnis
Berdasarkan Karakteristik
Anggota
Kinerja Keuangan dan Keberlanjutan Finansial KBI serta
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Agribisnis
Pengembangan Kualitas KBI sebagai Lembaga
Keuangan Mikro yang Melayani UMKM
Gambar 4. Kerangka Operasional
Keterangan :
: Ruang Lingkup Analisis Kinerja Keuangan BAIK
: Ruang Lingkup Analisis Uji Viabilitas
: Ruang Lingkup Analisis Model Regresi Linear Berganda
: Garis dipengaruhi langsung
34 
Download