Tugas 2

advertisement
Tugas 2. Produk kerusakan pada bahan pangan
Banyak reaksi-reaksi kimia yang terjadi selama pengolahan pangan yang
pada akhirnya berpengaruh terhadap nilai gizi, keamanan dan penerimaannya.
Masing-masing jenis reaksi dapat melibatkan reaktan atau substrat yang berbeda,
tergantung pada jenis bahan pangan dan kondisi penanganan, pengolahan dan
penyimpanan. Komposisi bahan pangan secara umum sama, terutama terdiri dari
lipid, karbohidrat dan protein, dengan demikian banyak reaksi-reaksi umum yang
sama. Disamping itu, banyak reaktan untuk suatu reaksi terdapat pada sebagian
besar bahan pangan. Sebagai contoh, reaksi pencoklatan nonenzimatis (reaksi
Maillard) melibatkan senyawa karbonil yang dapat berasal baik dari gula
pereduksi atau hasil oksidasi asam askorbat, hidrolisis pati dan oksidasi lipid.
Oksidasi dapat melibatkan lipid, protein, vitamin, pigmen, dan lebih spesifik lagi
oksidasi melibatkan triasilgliserida yang umum terdapat pada bahan pangan atau
fosfolipid yang ada di sebagian bahan pangan.
Beberapa reaksi kimia yang dapat menyebabkan perubahan nilai gizi dan
keamanan pangan.
Jenis reaksi
Contoh (terjadi pada)
Pencoklatan
Pada bahan-bahan pangan yang dipanggang
nonenzimatis
Oksidasi Lipid
(menghasilkan off-flavour, bau dan rasa yang
menyimpang), degradasi vitamin dan protein
Hidrolisis
Lipid, protein, vitamin, karbohidrat, pigmen
Interaksi logam
Kompleksasi (antosianin), kehilangan Mg+ dari klorofil
Isomerisasi Lipid
Cis berubah menjadi trans
Polimerisasi Lipid
Pada penggorengan
Denaturasi protein
Koagulasi putih telur, inaktivasi enzim
Cross-linking protein
Pengolahan bahan berprotein pada suasana alkali
Perubahan glikolitik
Pada pasca mortem jaringan hewan atau pasca
panen jaringan tanaman
Sumber Apriyantono (2001)
1. Pencoklatan Nonenzimatis (Reaksi Maillard)
Reaksi Maillard (ditemukan oleh pakar biokimia Perancis Louiss
Camille Maillard) adalah suatu reaksi kimia yang terjadi antara asam amino
dan gula tereduksi, biasanya pada suhu yang tinggi. Seperti layaknya proses
karamelisasi (tetapi karamelisasi berbeda dengan Maillard) reaksi non
enzimatik ini menghasilkan pewarnaan coklat (browning). Pada reaksi
Maillard gugus karbonil dari glukosa bereaksi dengan gugus nukleofilik grup
amino dari protein yang menghasilkan warna dan aroma yang khas; proses ini
berlangsung dalam suasana basa.
Proses yang terjadi pada reaksi Maillard adalah:
1. Gugus karbonil dari gula bereaksi dengan gugus amino menghasilkan Nglikosamin dan air.
2. Gugus glikosamin yang tidak stabil mengalami pengaturan kembali
membentuk ketosamin
3. Selanjutnya ketosamin dapat mengalami proses lebih lanjut:

Memproduksi air dan redukton

Membentuk diasetil, aspirin, pyruvaldehyde dan bentuk
ikatan
hidrolitik rantai pendek lainnya.

Membentuk polimer nitrogen berwarna coklat (melanoidism).
Faktor yang merangsang terjadinya reaksi Maillard: Pemanasan,
kelembaban yang tinggi dan suasanan basa. Reaksi Maillard berperan dalam
memberikan aroma dan warna dalam berbagai jenis makanan seperti:

roti panggang

daging panggang

kopi
Walaupun memberikan keuntungan dalam memberi warna dan aroma,
reaksi Maillard juga menjadi efek yang tidak diinginkan pada beberapa proses
biologis dan makanan. Interaksi antara gugus karbonil dan amino dapat
merusak kualitas nutrisi protein dengan cara mengurangi jumlah lysine dan
beberapa jenis asam amino lain dan membentuk zat yang menghambat atau
bersifat antinutrisi. Reaksi ini juga berhubungan dengan aroma dan pewarnaan
yang tidak diinginkan pada beberapa makanan seperti makanan kering.
Pada produk nutirsi parenteral saat ini baik yang bersifat 2 in 1 atupun 3
in 1 yang menggabungkan glukosa , protein dan lipid dalam satu kemasan
(contohnya Clinimix dari Kalbe Farma yang mengandung sekaligus Glukosa
dan Asam amino) salah satu tujuan dari pemisahan dari asam amino dan
glukosa pada chamber yang berbeda adalah untuk menghindari reaksi Maillard
ini, karena pada saat proses sterilisasi yang menggunakan tekhnik pemanasan
maka warna produk dapat berubah menjadi coklat dan kualitas proteinnya
dapat rusak. Jadi pada saat hendak diberikan ke pasien baru sekatnya dibuka
sehingga asam amino dan glukosa bercampur.
2. Denaturasi Protein
Denaturasi protein adalah hilangnya sifat-sifat struktur lebih tinggi
oleh terkacaunya ikatan hidrogen dan gaya-gaya sekunder lain yang
memutuskan molekul protein. Akibat dari suatu denaturasi adalah hilangnya
banyak sifat-sifat biologis suatu protein (Fessenden, 1989).
Salah satu penyebab denaturasi protein adalah perubahan temperatur,
dan juga perubahan pH. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan
denaturasi adalah detergent, radiasi zat pengoksidasi atau pereduksi, dan
perubahan jenis pelarut. Denaturasi dapat bersifat reversibel, jika suatu protein
hanya dikenai kondisi denaturasi yang lembut seperti perubahan pH. Jika
protein dikembangkan kelingkungan alamnya, hal ini untuk memperoleh
kembali struktur lebih tingginya yang alamiah dalam suatu proses yang
disebut denaturasi. Denaturasi umumnya sangat lambat atau tidak terjadi sama
sekali(Fessenden, 1989).
Protein sering mengalami perubahan sifat setelah mengalami
perlakuan tertentu, meskipun sangat sedikit ataupun ringan dan belum
menyebabkan terjadinya pemecahan ikatan kovalen atau peptida, perubahan
inilah yang dinamakan dengan denaturasi protein. Denaturasi protein dapat
terjadi dengan berbagai macam perlakuan, antara lain dengan perlakuan panas,
pH, garam dan tegangan permukaan. Laju denaturasi protein dapat mencapai
600 kali untuk tiap kenaikan 10oC. Suhu terjadinya denaturasi sebagian besar
protein terjadi berkisar antara 55 oC – 75oC.
Denaturasi akan menyebabkan perubahan struktur protein dimana pada
keadaan terdenaturasi penuh, hanya struktur primer protein saja yang tersisa,
protein tidak lagi memiliki struktur sekunder, tersier dan kuartener. Akan
tetapi belum terjadi pemutusan ikatan peptida pada kondisi terdenaturasi
penuh. Denaturasi protein yang berlebihan dapat menyebabkan insolubilitasi
yang dapat mempengaruhi sifat-sifat fungsional protein yang tergantung pada
kelarutannya.
Dari sisi gizi, denaturasi parsial protein sering meningkatkan daya
cerna dan ketersediaan biologisnya. Pemanasan yang moderat dapat
meningkatkan daya cerna protein tanpa menghasilkan senyawa toksik.
Disamping itu, dengan pemanasan yang moderat dapat menginaktivasi
beberapa
enzim
seperti
protease,
lipase,
lipoksigenase,
amilase,
polifenoloksidase, enzim oksidatif dan hidrolitik lainnya. Jika gagal
menginaktivasi enzim-enzim ini maka akan mengakibatkan off flavour,
ketengikan, perubahan tekstur, dan perubahan warna bahan pangan selama
penyimpanan. Oleh karena itu, sering dilakukan inaktivasi enzim dengan
menggunakan pemanasan sebelum penghancuran. Perlakuan panas yang
moderat juga berguna untuk menginaktivasi beberapa faktor antinutrisi seperti
enzim antitripsin dan pektin.
Pada protein yang mengalami denaturasi, proteinnya akan mengendap
karena gugus-gugus yang bermuatan positif dan negatif dalam jumlah yang
sama atau dalam keadaan titik isoelektrik (netral). Pada denaturasi terjadi
pemutusan ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dan ikatan garam hingga
molekul protein tidak punya lipatan lagi. Garam-garam seperti misalnya
natrium klorida dalam konsentrasi tertentu dapat menyebabkan denaturasi atau
koagulasi. Protein yang telah mengalami denaturasi akan memberikan
beberapa perubahan dalam beberapa hal seperti :
1.) Viskositas naik ( karena mol menjadi asimetris dan lipatan hilang )
2.) Rotasi optis larutan protein meningkat.
Contoh: koagulasi putih telur, pada protein telur mudah terdenaturasi
oleh adanya panas dan tegangan muka bila putih telur tersebut diaduk sampai
menjadi buih.
3. Oksidasi Lipid
Lipid merupakan salah satu komponen utama bahan pangan selain
karbohidrat dan protein. Oleh karena itu peranan lipid dalam menentukan
karakteristik bahan pangan cukup besar. Reaksi yang umum terjadi pada lipid
selama pengolahan meliputi hidrolisis, oksidasi dan pirolisis. Oksidasi lipid
biasanya melalui proses pembentukan radikal bebas yang terdiri dari tiga
proses dasar yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi (Apriyantono 2001).
Pada tahap awal reaksi terjadi pelepasan hidrogen dari asam lemak tidak
jenuh secara homolitik sehingga terbentuk radikal alkil yang terjadi karena
adanya inisiator (panas, oksigen aktif, logam atau cahaya). Pada keadaan
normal radikal alkil cepat bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi
dimana radikal peroksi ini bereaksi lebih lanjut dengan asam lemak tidak
jenuh membentuk hidroproksida dengan radikal alkil, kemudian radikal alkil
yang terbentuk ini bereaksi dengan oksigen. Dengan demikian reaksi
otoksidasi adalah reaksi berantai radikal bebas.
Oksidasi lipid tidak jenuh menghasilkan radikal alkoksi dan peroksi.
Radikal-radikal yang terbentuk ini dapat bereaksi dengan protein, membentuk
radikal bebas lipid-protein.
Radikal bebas lipid-protein terkonyugasi ini
selanjutnya dapat mengalami polimerisasi
cross-linking protein.
Sebagai
tambahan, radikal bebas lipid dapat menginduksi pembentukan radikal bebas
pada rantai samping sistein dan histidin yang kemudian akan mengalami
reaksi cross-linking dan polimerisasi.
Peroksida lipid dalam bahan pangan akan terdekomposisi menghasilkan
aldehid, keton dan khususnya malonaldehid. Senyawa-senyawa karbonil ini
akan bereaksi dengan gugus amino protein melalui reaksi amino-karbonil dan
pembentukan basa Schiff. Reaksi malonaldehid dengan rantai samping lisil
akan mengakibatkan cross-linking dan polimerisasi protein.
Reaksi ini
berakibat pada turunnya nilai gizi protein dan dapat menimbulkan off-flavour.
Senyawa-senyawa radikal dalam bahan pangan dapat terserap ke dalam
tubuh kemudian dapat memicu terbentuknya senyawa radikal dalam tubuh.
Senyawa radikal dalam tubuh dipercaya berperan dalam menentukan proses
penuaan (aging), terjadinya aterosklerosis dan penyakit jantung koroner
(CHD, coronary heart disease).
4. Interaksi Logam
Salah satu akibat dari reaksi interaksi logam adalah hilangnya Mg2+ dari
klorofil. Misalnya reaksi yang menyebabkan terbentuknya warna coklat pada
ekstrak vanili karena rusak atau hilangnya klorofil buah vanili segar. Reaksi
utama adalah penggantian atom Mg2+ dalam klorofil oleh hidrogen di bawah
kondisi asam dengan membentuk peofitin. Selanjutnya piropeofitin a dan b
sebagai hasil degradasi peofitin a dan b dapat menimbulkan warna coklat
(Eskin 1990).
Kim et al. (2003), meneliti perubahan kandungan klorofil pada adonan
tepung yang mengandung bubuk bayam (Spinacea oleracea) yang digoreng
dalam minyak kedelai pada suhu 1600 C selama 1 menit dan disimpan dalam
botol gelas. Setelah diinkubasikan pada suhu 600 C dalam kondisi gelap
selama 12 hari, ternyata terjadi penurunan klorofil, sedangkan kandungan
peofitin
meningkat
lalu menurun.
Disamping peofitinisasi,
enzim
endogenous klorofilase mampu mengubah klorofil menjadi klorofilida dengan
hilangnya gugus fitol. Kombinasi kerja klorofilase dan asam menyebabkan
hilangnya Mg2+ dan gugus fitol, sehingga membentuk peoforbida. Perlu
dicatat bahwa seluruh reaksi perubahan klorofil ini dapat berlangsung dengan
adanya panas (Eskin 1990; Francis 1996).
5. Hidrolisis Lipid
Hasil hidrolisis lemak yang secara kimia dikenal sebagi trigliserida akan
diperoleh asam lemak dan gliserol atau gliserin. Asam lemak dapat
digolongkan atas asam lemak jenuh dan tak jenuh berdasarkan ada tidaknya
ikatan rangkap di dalam molekulnya.
Asam lemak tidak jenuh (memiliki ikatan rangkap) yang terdapat di
dalam minyak (lemak cair) dapat berada dalam dua bentuk yakni isomer cis
dan trans. Asam lemak tak jenuh alami biasanya berada sebagai asam lemak
cis, hanya sedikit bentuk trans. Jumlah asam lemak trans (trans fatty acids=
TFA) dapat meningkat di dalam makanan berlemak terutama margarin akibat
dari proses pengolahan yang diterapkan.
Ternyata keberadaan TFA di dalam makanan menimbulkan dampak
negatif terhadap kesehatan yakni sebagai pemicu penyakit jantung koroner
(PJK) yang tidak boleh dianggap enteng. Bahkan, menurut hasil-hasil
penelitian dua tahun terakhir bahwa pengaruh TFA lebih buruk daripada efek
negatif asam lemak jenuh dan kolesterol. Pengaruh negatif dari TFA terjadi
dengan mempengaruhi kadar low density lipoprotein (LDL)-juga disebut
kolesterol jahat-dan high density lipoprotein (HDL)-juga dikenal sebagai
kolesterol baik.
Pada awalnya, keberadaan TFA di dalam lemak terhidrogenasi di dalam
margarin dianggap menguntungkan karena mempunyai titik leleh yang lebih
tinggi (sama dengan titik leleh asam lemak jenuh) daripada bentuk cis, lebih
stabil, lebih tahan terhadap pengaruh oksidasi. Selain daripada proses
hidrogenasi, pemanasan selama pengolahan minyak (refinery), menggoreng
(deep frying), dan TFA dalam jumlah kecil juga terdapat secara alami di
dalam lemak susu. Perubahan cis menjadi trans mulai terjadi selama
pemanasan pada temperatur 180oC dan meningkat sebanding dengan kenaikan
temperatur. Produk biskuit, donat dan produk lain yang menggunakan lemak
pelembut (shortening) akan menjadi sumber TFA di dalam makanan seharihari.
Dari uraian di atas cukup jelas bahwa keberadaan TFA di dalam
makanan menimbulkan efek negatif yang jauh lebih besar dibandingkan
dengan dampak negatif dari keberadaan kolesterol dan asam lemak jenuh.
Tetapi, sampai sekarang ternyata bahwa pernyataan bebas kolesterol
(nonkolesterol) dan pengaruh positif lemak tak jenuh pada brosur produk
makanan yang sering ditonjolkan, padahal jauh lebih berarti mencatumkan
kandungan TFA dibandingkan dengan pernyataan nonkoletserol. Mungkin
sudah saatnya instansi kesehatan untuk mempertimbangkan keberadaan dan
kadar TFA di dalam lemak terhidrogenasi terutama margarin.
Download