Investasi dan Perdamaian Aceh Oleh: Saiful Mahdi* Kalau ditanya

advertisement
Investasi dan Perdamaian Aceh
Oleh: Saiful Mahdi*
Kalau ditanya bagaimana cara menjaga perdamaian relatif yang telah wujud di Aceh setelah konflik
yang berkepanjangan, mungkin orang mempunyai beragam jawaban. Namun penulis ingin
mengajukan satu jawaban yang belum banyak didiskusikan: perdagangan dan investasi. Ya,
perdagangan dan investasi dapat memelihara dan membangun perdamaian di wilayah pasca-konflik
seperti Aceh.
Dalam laporan risetnya yang berjudul “Trade Does Promote Peace: New Simultaneous Estimates of
the Reciprocal Effects of Trade and Conflict”, Håvard Hegre dkk menuliskan tak kurang Organisasi
Perdagangan Dunia (World Trade Organization, WTO) dalam daftar 10 manfaat sistem perdagangan
yang dikelolanya menempatkan, pada urutan pertama, “perdagangan membantu menjaga
perdamaian karena pedagang biasanya enggan berseteru dengan para pelanggannya” (World Trade
Organization, 2003: 2).
Dalam kajian Fearon (1995) dan Gartzke (1999), tabiat konflik yang ‘mahal’ juga telah menjadi isu
sentral dalam aplikasi teori tawar-menawar (bargaining theory) dan karena itu menyimpulkan
“hubungan komersial antar wilayah meningkatkan likelihood perdamaian karena perdagangan dan
investasi memungkinkan adanya sinyal mahalnya sebuah konflik.” Bayangkan, seandainya Aceh telah
memiliki hubungan dagang dan investasi dengan berbagai wilayah di Indonesia dan kawasan regional
lainnya, konflik di Aceh mungkin tidak akan pernah terjadi! Kenapa? Karena kalau terjadi konflik,
lebih banyak pihak yang dirugikan.
Ekonomi dan Demokrasi
Walaupun kita tidak harus bersetuju dengan pandangan liberal ala WTO dan organisasi internasional
lainnya, yang seringkali menggunakan “conditionality” dalam sistem kerjanya, kita mestinya dapat
melihat sebagian, kalau tidak seluruhnya, kebenaran dalam premis “perdagangan dan investasi
memang mempromosikan perdamaian.” Lihatlah Hongkong, sebagai contoh, sebuah pusat
perdagangan dan investasi dunia yang dapat menerobos batas-batas ideologi dan kini menjadi
common ground untuk dunia kapitalis yang sebagai bekas koloni Inggris dan dunia komunis daratan
Cina. Hongkong, karena dunia perdagangan dan investasinya, telah menjadi terlalu berharga bagi
dunia untuk dibiarkan hancur oleh pertentangan ideologi, apalagi konflik bersenjata.
Cina Taipei atau Taiwan tetap bisa bertahan dalam hubungan bitter-sweet nya dengan Cina daratan
karena makin gencarnya hubungan dagang dan investasi warga kedua wilayah yang secara resmi
saling tidak mengakui itu. Hubungan dagang dan investasi mereka sudah demikian berpengaruh
sehingga menjadi terlalu besar untuk dikorbankan demi ideologi, misalnya. Para pedagang dan
investor di kedua wilayah tentu punya insentif untuk menjadi peace advocate guna memastikan
investasi mereka tidak sia-sia.
Kesejahateraan ekonomi sebagai hasil pembangunan ekonomi yang demokratis (maupun
tidak-demokratis), terutama lewat perdagangan dan investasi, juga dapat menjadi deterrence factor,
faktor penghambat, munculnya kerawanan sosial dan konflik. Bahkan ketidakpuasan masyarakat di
bidang politik dan demokrasi seringkali dapat dikendalikan dengan adanya kemajuan ekonomi.
Makanya ada yang berasumsi, seandainya Indonesia tidak didera masalah ekonomi karena krisis
keuangan global akhir 90-an, bisa jadi rakyat Indonesia masih adem-ayem saja di bawah kediktatoran
Soeharto.
Tapi toh rejim yang tidak demokratis itu hancur. Tapi mungkin bukan karena ketidakdemokratisannya
secara politik. Rejim itu hancur karena pelayanan dasar ikut hancur dan kesejahteraan rakyat mulai
goyang. Demokrasi akhirnya bukanlah panacea, terutama kalau wujud demokrasi hanya
diperjuangkan oleh politikus dan lembaga politik. Sebuah demokrasi, sepertinya, hanya bermakna
jika demokrasi di bidang politik sejalan dengan demokrasi di bidang ekonomi.
Artinya, kesempatan untuk bisa berusaha dan mengekspresikan diri secara bebas dalam bidang
ekonomi sama pentingnya, jika tidak lebih penting, dari kesempatan memberikan suara dalam
Pemilu, misalnya. Nah, kesempatan melakukan kegiatan ekonomi untuk seluruh warga negara,
karena itu, menjadi sangat penting untuk demokrasi secara holistik. Perdagangan dan investasi
secara bebas dan meluas ke berbagai wilayah adalah indikator sangat penting untuk melihat kualitas
demokrasi ekonomi kita, dan kualitas demokrasi secara umum.
Investasi untuk Perdamaian
Menjelang 8 tahun usia perdamaian di Aceh setelah MoU Helsinki 15 Agustus 2005, masih ada saja
calon investor dan pengusaha yang enggan menanamkan investasinya di Aceh dengan alasan
suasana yang belum kondusif. “Perdamaian adalah syarat masuknya investasi!” kata sebagian kita.
Tentu saja ini ada benarnya.
Tapi, perdamaian harus diperjuangkan dan dipertahankan oleh semua kita, manusia yang beradab.
Ketimbang mengharapkan perdamaian dihadirkan oleh orang untuk kita, kenapa tidak kita ikut
menghadirkannya untuk orang lain? Para pengusaha dan investor sudah waktunya berpikir dan
mengampanyekan “Investasi adalah syarat perdamaian!” Artinya, mari kembangkan dunia usaha dan
investasi seluas-luasnya untuk sebanyak mungkin orang karena inilah modal untuk perdamaian dan
mencegah konflik (berulang).
Para pedagang dan investor adalah aktor potensial, bahkan sudah banyak banyak yang membuktikan,
untuk perdamaian. Jusuf Kalla mungkin adalah contoh figur pedagang sejati yang telah berulang kali
membuktikan insentif ekonomi lebih kuat daripada insentif politik untuk mewujudkan dan menjaga
perdamaian.
Sayang sekali, masih ada di antara kita yang justru bangga menjadi “pejuang perdamaian” di masa
lalu, lewat kegiatan politik hingga aksi bersenjata, tapi ikut menggerogoti perdamaian di Aceh dengan
rente ekonomi yang rakus dan tidak beradab. Inilah aksi para “pejuang” yang merasa berhak
menikmati “pajak nanggroe” dan pungutan illegal lainnya karena merasa telah “berjuang”.
Ironisnya, dulu “pajak nanggroe” dipungut secara paksa dengan alasan demi perjuangan. Jika
perdamaian ini dianggap sebagai hasil perjuangan itu, maka pungutan liar dan biaya ekonomi yang
tinggi untuk berusaha dan berinvestasi di Aceh yang masih sering dikeluhkan terjadi di Aceh selama
ini jelas adalah usaha merusak hasil perjuangan tersebut. Karena tidak adanya perdagangan dan
investasi yang dinamis di suatu wilayah justru memberi insentif untuk terjadinya konflik.
Karena itu pula, para pedagang dan investor harus menyadari dan memainkan perannya lebih aktif
dan berani untuk memelihara perdamaian. Mari terus membangun dunia usaha dan investasi di
Aceh, mari terus meluaskan jaringan kerjasama perdagangan dan investasi ke berbagai Negara.
Karena pedagang dan investor adala peace advocate sejati!
*Dr. Saiful Mahdi, Dosen FMIPA Unsyiah/Direktur Eksekutif ICAIOS.
Download