MEKANISME INFEKSI Candida albicans PADA PERMUKAAN SEL

advertisement
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
MEKANISME INFEKSI Candida albicans
PADA PERMUKAAN SEL
ENI KUSUMANINGTYAS
Balai Penelitian Veteriner, Jl RE. Martadinata No. 30, P.O. Box 151, Bogor 16114
ABSTRAK
Candida albicans adalah fungi patogen oportunistik yang menyebabkan berbagai penyakit pada manusia
seperti sariawan, lesi pada kulit, vulvavaginitis, candiduria dan gastrointestinal candidiasis. Mekanisme
infeksi C. albicans sangat komplek termasuk adhesi dan invasi, perubahan morfologi dari bentuk sel khamir
ke bentuk filamen (hifa), pembentukan biofilm dan penghindaran dari sel-sel imunitas inang. Kemampuan C.
albicans untuk melekat pada sel inang merupakan faktor penting pada tahap permulaan kolonisasi dan
infeksi. Perubahan fenotip menjadi bentuk filamen memungkinkan C. albicans untuk melakukan penetrasi ke
epithelium dan berperanan dalam infeksi dan penyebaran C. albicans pada sel inang. C. albicans juga dapat
membentuk biofilm yang dipercaya terlibat dalam penyerangan sel inang dan berhubungan dengan resistansi
terhadap antifungi. Dengan memahami mekanisme infeksi C. albicans akan membantu memperbaiki
diagnosis laboratorium dan terapi terhadap C. albicans.
Kata kunci: Mekanisme, candida albicans, infeksi
PENDAHULUAN
Candida spp dikenal sebagai fungi
dimorfik yang secara normal ada pada saluran
pencernaan, saluran pernafasan bagian atas dan
mukosa genital pada mamalia (BROWN et al.,
2005) Tetapi populasi yang meningkat dapat
menimbulkan masalah. Beberapa spesies
Candida yang dikenal banyak menimbulkan
penyakit baik pada manusia maupun hewan
adalah Candida. albicans. C. albicans
merupakan fungi opportunistic penyebab
sariawan (KUMAMOTO and VINCES, 2004), lesi
pada kulit (BAE et al., 2005), vulvavaginistis
(WILSON, 2005), candida pada urin
(candiduria) (KOBAYASHI et al., 2004),
gastrointestinal candidiasis yang dapat
menyebabkan gastric ulcer (BRZOZOWSKI et
al., 2005), atau bahkan dapat menjadi
komplikasi kanker (DINUBILE et al., 2005).
Di Amerika 75% wanita pada masa
reproduksi pernah mengalami vulvavaginistis
candidiasis. Antara 40-50% mengalami infeksi
berulang dan 5-8% terkena infeksi candida
kronis (WILSON, 2005). Infeksi Candida juga
sering merupakan penyebab komplikasi yang
fatal pada kasus transplantasi organ. Di
London, 40,5% terkena infeksi jamur pasca
transplantasi hati dan 90% dari angka tersebut
disebabkan oleh infeksi Candida spp
304
sementara 66% oleh Candida albicans
(VERMA et al., 2005).
Dari 345 kasus candidemia yang diteliti di
sebuah rumah sakit di Spanyol mortalitas
mencapai 44% dengan perincian dari angka
tersebut 51% disebabkan oleh infeksi Candida
albicans (ALMIRANTE et al., 2005). Sementara
itu, di Jerman angka kematian akibat
necrosectomy yang diikuti oleh infeksi jamur
termasuk Candida mencapai 62% (KUJATH et
al., 2005).
Diagnosis laboratorium dan pengobatan
terhadap penyakit yang disebabkan oleh
Candida spp terutama C. albicans belum
memberikan
hasil
yang
memuaskan
(ELLEPOLA and MORRISON, 2005). Resistensi
terhadap antifungi juga sering terjadi (HA and
WHITE, 1999). Beberapa usaha dilakukan
untuk memperbaiki perangkat diagnosis dan
metode pengobatan. Salah satu pendekatan
yang dilakukan adalah dengan memahami
mekanisme infeksi C. albicans.
Beberapa faktor yang berpengaruh pada
patogenitas dan proses infeksi adalah adhesi,
perubahan dari bentuk khamir ke bentuk
filamen dan produksi enzim ektraselular
(NAGLIK et al., 2004). Adhesi melibatkan
interaksi antara ligand dan reseptor pada sel
inang dan proses melekatnya sel C. albicans ke
sel inang. Perubahan bentuk dari khamir ke
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
filamen diketahui berhubungan dengan
patogenitas dan proses penyerangan Candida
terhadap sel inang yang diikuti pembentukan
lapisan biofilm sebagai salah satu cara Candida
spp untuk mempertahankan diri dari obat-obat
antifungi.
Produksi
enzim
hidrolitik
ektraseluler seperti aspartyl proteinase juga
sering dihubungkan dengan patogenitas C.
albicans (NAGLIK et al., 2004).
BIOLOGI C. ALBICANS
C. albicans dapat tumbuh pada suhu 37oC
dalam kondisi aerob atau anaerob. Pada
kondisi anaerob, C. albicans mempunyai
waktu generasi yang lebih panjang yaitu 248
menit
diandingkan
dengan
kondisi
pertumbuhan aerob yang hanya 98 menit.
Walaupun C. albicans tumbuh baik pada media
padat tetapi kecepatan pertumbuhan lebih
tinggi pada media cair dengan digoyang pada
suhu 37oC. Pertumbuhan juga lebih cepat pada
kondisi asam dibandingkan dengan pH normal
atau alkali (BISWAS dan CHAFFIN, 2005).
Pada media Sabaroud dextrose agar atau
glucose-yeast extract- peptone water C.
albicans berbentuk bulat atau oval yang biasa
disebut dengan bentuk khamir dengan ukuran
(3,5-6) x (6-10) µm. Koloni berwarna krem,
agak mengkilat dan halus. Pada media cornmeal agar dapat membentuk clamydospora dan
lebih mudah dibedakan melalui bentuk
pseudomycelium (bentuk filamen). Pada
pseudomycelium
terdapat
kumpulan
blastospora yang bisa terdapat pada bagian
terminal atau intercalary (LODDER, 1970).
Kemampunan C. albicans untuk tumbuh
baik pada suhu 37oC memungkinkannya untuk
tumbuh pada sel hewan dan manusia.
Sedangkan bentuknya yang dapat berubah,
bentuk khamir dan filamen, sangat berperan
dalam proses infeksi ke tubuh inang
ADHESI DAN INVASI
Tahap pertama dalam proses infeksi ke
tubuh hewan atau manusia adalah perlekatan
(adhesi). Kemampuan melekat pada sel inang
merupakan tahap penting dalam kolonisasi dan
penyerangan (invasi) ke sel inang. Bagian
pertama dari C. albicans yang berinteraksi
dengan sel inang adalah dinding sel. Dinding
sel C. albicans terdiri dari enam lapisan dari
luar ke dalam adalah fibrillar layer,
mannoprotein,
β-glucan,
β-glucan-chitin,
mannoprotein
dan
membran
plasma.
Perlekatan lapisan dinding sel dengan sel inang
terjadi karena mekanisme kombinasi spesifik
(interaksi antara ligand dan reseptor) dan nonspesifik (kutub elektrostatik dan ikatan van der
walls) yang kemudian menyebabkan serangan
C. albicans ke berbagai jenis permukaan
jaringan (COTTER dan KAVANAGH, 2000).
Faktor lain yang mempengaruhi interaksi C.
albicans dengan sel inang adalah hidrofobisitas
pada awal perlekatan. Diduga protein pada
dinding sel terlibat dalam perubahan
hidrofobisitas
permukaan
sel
dengan
melepaskan glukanase digestion dalam jumlah
tertentu (SINGLETON, et al., 2001). Interaksi sel
C. albicans dengan sel inang (cel-cel
interaction) juga melibatkan fisikomekanik,
fisikokimia dan enzimatik materi mikroba serta
interaksi mikro yang mengarah pada kolonisasi
dan infeksi seperti perubahan medan magnet
pada permukaan sel yang berinteraksi yang
menyebabkan
sel-sel
saling
melekat
(Rajasingham et al., 1989; EMERSON dan
CAMESANO, 2004).
Menurut HOSTETER (1994) ada tiga macam
interaksi yang mungkin terjadi antara sel
Candida dan sel epitel inang yaitu interaksi
protein-protein (i) interaksi lectin-like (ii) dan
interaksi yang belum diketahui (iii). Interaksi
protein-protein terjadi ketika protein pada
permukaan C. albicans mengenali ligand
protein atau peptida pada sel epitelium atau
endothelium. Interaksi lectin-like adalah
interaksi ketika protein pada permukaan C.
albicans mengenali karbohidrat pada sel
epitelium atau endothelium. Interaksi yang
ketiga adalah ketika komponen C. albicans
menyerang ligand permukaan epitelium atau
endothelium
tetapi
komponen
dan
mekanismenya belum diketahui dengan pasti.
Mekanisme
perlekatan
sendiri
sangat
dipengaruhi oleh keadaan sel tempat dinding
sel C. albicans melekat (misalnya sel
epitelium), mekanisme invasi ke dalam mukosa
dan sel epitelium serta reaksi adhesi tertentu
yang mempengaruhi kolonisasi dan patogenitas
C. albicans (KENNEDY, 1990).
Perlekatan dan kontak fisik antara C.
albicans
dan
sel
inang
selanjutnya
mengaktivasi mitogen activated protein kinase
305
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
(Map-kinase).
Protein
kinase
tersebut
merupakan bagian dari jalur integritas yang
diaktivasi oleh stress pada dinding sel (tempat
C. albicans dan sel host melakukan kontak).
Map-kinase
juga
diperlukan
untuk
pertumbuhan hifa invasive dan perkembangan
biofilm (KUMAMOTO, 2005) pada tahap
selanjutnya.
Selain aktivasi Map-kinase pada C.
albicans, dalam waktu yang hampir bersamaan
terjadi pengaturan kembali aktin pada sel
inang. Studi dengan menggunakan human cell
line (HEp2) dilakukan untuk mengetahui
perubahan yang terjadi terutama pada aktin
setelah terjadi kontak antara C. albicans
dengan sel inang. Perubahan HEp2 dapat
diperiksa dengan confocal laser microscopy
(CLSM), transmission dan scanning electron
microscopy (TEM dan SEM). Pemeriksaan
dengan CLSM menunjukkan bahwa setelah C.
albicans melekat pada sel HEp2 dan masuk,
aktin dari HEp2 mengelilingi sel C. albicans
yang dilanjutkan dengan pengaturan aktin
kembali. Interaksi sel C. albicans dengan
HEp2 juga terdeteksi dengan pemeriksaan
menggunakan TEM dan SEM setelah 2-4 jam
terjadinya kontak sel. Sel khamir dan hifa
tampak menyerang permukaan dan masuk ke
dalam sel. C. albicans yang kemudian
mengeluarkan
actin-rearranging-Candidasecreted factor (aresf). Hasil pengamatan
dengan CLSM menunjukkan bahwa sel HEp2
yang terekspose arcsf selain melakukan
pengaturan aktin juga mengurangi kerusakan
dan motilitas struktur membran sebagai akibat
dari kontak sel (SAFRIATY, et al., 2000).
Meskipun terjadi pengaturan aktin tetapi hal
tersebut tidak mempengaruhi integritas sel
inang. Sebagai buktinya adalah bahwa C.
albicans tetap dapat menginfeksi dan
membentuk hifa dalam Brain Microvascular
Endothelial Cell (BMEC) tanpa mempengaruhi
bentuk morfologi, permeabilitas inulin dan
elektrisitas transendothelial (JONG et al., 2001).
Tahap setelah perlekatan adalah invasi.
Studi tentang tahapan invasi C. albicans
dilakukan pada kultur jaringan epitel mulut
manusia (reconstuted human oral epithelium ;
rhoe)
untuk
mengetahui
penampakan
ultrastruktur
oral
candidiasis.
Adhesi,
morfogenesis dan phospholipase ektraselular
juga diamati. Pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan SEM dan TEM. Tempat
306
aktivitas C. albicans selama invasi diperiksa
dengan menggunakan metode sitokimia. Hasil
menunjukkan bahwa selama 48 jam C.
albicans menginvasi rhoe dan pemeriksaan
histopatologi menunjukkan adanya ciri
patologis akibat invasi. Hifa C. albicans
melakukan penetrasi ke dalam permukaan
epitelium terutama pada cell junction
bersamaan dengan internalisasi sel khamir
(JAVATILAKE, et al., 2005). Penetrasi pada
BMEC menginduksi sel tersebut untuk
melakukan vakuolasi tetapi C. albicans tidak
hanya mampu bertahan hidup dan beradaptasi
dalam BMEC tetapi juga mampu berkembang
dan membentuk hifa. pH optimal C. albicans
yang sekitar pH 5 sangat dekat dengan pH pada
vakuola endosom yang memungkinkan C
albicans dapat bertahan bahkan berkembang
menjadi hifa (JONG et al., 2001).
Pada ujung hifa yang terbentuk dan sisi
permulaan pembentukan chlamydospora mulai
terdapat aktivitas phospholipase. Studi dengan
SEM menunjukkan adanya lubang pada sel
epitelium terutama pada tempat hifa
menginvasi sel. Invasi hifa ke dalam sel
epitelium dan cell junction sesuai dengan sifat
hifa C. albicans yang thigmotropisme
(JAVATILAKE, et al., 2005). Invasi yang
ditandai dengan kolonisasi dan pembentukan
hifa infektif tersebut dipercepat dengan
keberaan
serum
atau
saliva
dalam
lingkungannya (NIKAWA et al., 1997).
Invasi dan pathogenesis C. albicans juga
ditandai dengan sekresi proteinse aspartat
(Saps) yang dikode oleh 10 gen. Ekspresi gen
SAP diyakini berhubungan dengan kerusakan
pada kulit. Sebuah studi in-vitro dilakukan
sebagai model candidiasis pada epidermis
manusia. SAP 5 diinduksi sesaat setelah
terjadinya
invasi
sementara
SAP
4
diekspresikan setelah SAP 5 (TAYLOR et al.,
2005). Induksi sel inang terhadap ekspresi gen
SAP 4 dan SAP 5 yang menyebabkan
perubahan morfologi C. albicans dari bentuk
khamir ke bentuk hifa waktu infeksi vagina
pada tikus model merupakan bukti adanya
hubungan perubahan morfologi dan infeksi
(TAYLOR et al., 2005). Bersama-sama SAP 6,
SAP 4 dan SAP 5 bertanggung jawab pada
virulensi. Babi dan mencit yang diinfeksi
dengan C. albicans yang telah mengalami
mutasi pada triple gen SAP 4, Sap 5 dan SAP 6
dapat bertahan hidup lebih lama daripada yang
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
diinfeksi dengan C. albicans wild-type
(SANGLARD et al., 1997).
SAP 4, SAP 5 bersama SAP 6 kemudian
menginduksi transkripsi SAP 2 yang
memainkan
peranan
penting
dalam
pertumbuhan C. albicans yang optimal. SAP 2
diekspresikan bersama-sama dengan SAP 1
terdeteksi selama invasi awal terhadap stratus
corneum oleh C. albicans (SANGLARD et al.,
1997; SCHALLER et al., 2000). Lebih dalam
lagi, penetrasi lapisan corneal ditandai dengan
penambahan ekspresi SAP 6 dan SAP 8 yang
ditandai dengan pembentukan germ tube dan
pertumbuhan lebih lanjut dari hifa pada strata
granulosum dan basal (SCHALLER et al., 2000).
PERUBAHAN MORFOLOGI
Salah satu penanda invasi C. albicans
adalah perubahan khamir ke dalam bentuk hifa
(filamen). Perubahan bentuk khamir ke hifa
sangat dipengaruhi oleh lingkungan mikro sel
inang yang terdeteksi oleh C. albicans selama
proses invasi (BROWN dan GOW, 1999).
Kemampuan untuk berubah morfologi
merupakan faktor penting dalam menentukan
infeksi dan penyebaran C. albicans pada
jaringan inang. Mutan Saccharomyces
cerevisiae dan C. albicans yang tidak patogen
tidak dapat membentuk hifa dan menginvasi
sel endothelium sementara C. albicans yang
patogen dapat membentuk germ tube dan hifa
intraseluler (JONG et al., 2001). Bentuk khamir
membuat C. albicans lebih mudah melakukan
penyebaran daripada bentuk hifa sementara
bentuk hifa memudahkan C. albicans
melakukan penetrasi ke tubuh inang
(SHERWOOD et al., 1992; LO et al., 1997).
Bentuk hifa terdiri dari bagian–bagian yang
dipisahkan oleh septa. Hifa C. albicans
mempunyai kepekaan untuk menyentuh
sehingga akan tumbuh sepanjang lekukan atau
lubang yang ada di sekitarnya (sifat
thigmotropisme). Sifat ini yang mungkin
membantu dalam proses infiltrasi pada
permukaan epitel selama invasi jaringan. Hifa
juga bersifat aerotropik dan dapat membentuk
helix apabila mengenai permukaan yang keras.
Kemampuan
pembentukan
hifa
juga
berhubungan dengan resistensi. Isolat yang
resisten tetap dapat membentuk hifa dalam
lingkungan yang mengandung antifungi
sementara isolat yang rentan tidak mampu
membentuk hifa (HA and WHITE, 1999).
Hasil analis siklus sel menunjukkan bahwa
fase hifa infektif pada C. albicans berbeda
dengan
pembentukan
pseudohifa.
Pembentukan pseudohifa pada Candida dan
Saccharomyces melibatkan pembelahan sel
induk yang seimbang, sebaliknya selama
pertumbuhan germ tube C.
albicans,
sitoplasma terbagi tidak merata selama
sitokinesis. Septin juga tidak berada dekat
nukleus mitotik seperti pada pembelahan sel
pada umumnya tetapi pada plasma yang
kemudian membentuk struktur filamen yang
panjang (MARTIN et al., 2005). Septin adalah
protein yang merupakan elemen sitoskeletal
yang mengatur membran dan penting dalam
morfogenesis C. albicans. Septin mutan pada
studi in-vitro menunjukkan sedikit gangguan
pada pembentukan hifa dan hifa yang terbentuk
tidak mampu menembus agar (WARENDA et
al., 2003).
Pada pembelahan germ tube C. albicans sel
apikal mewarisi lebih banyak sitoplasma dan
sel-sel sub-apikal mempunyai nukleus tetapi
tervakuolasi. Sebagai akibatnya sel apikal terus
tumbuh dan membelah sementara sub-apikal
tetap dalam siklus sel tersebut sampai mampu
untuk melakukan regenerasi sitoplasma yang
cukup untuk siklus sel (GOW, 1997). Perbedaan
bentuk hifa tersebut mungkin menjadi faktor
pertumbuhan invasi C. albicans in-vivo.
Perkembangan hifa dilakukan beberapa gen
dan protein sebagai hasil ekspresi. Pengaturan
tersebut dapat berupa pengaturan positif dan
negatif. Pengaturan positif diperantarai oleh
multiple signaling pathway termasuk signaling
pathway dari mitogen-activated protein (Mapkinase), cAMP dan pH (BROWN dan GOW,
1999; ERNST, 2000). Penggaturan negatif
dilakukan oleh oleh gen CaNrg 1 yang berisi
zinc-finger
yang
merupakan
pengatur
transkripsi yang conserved dari fungi sampai
manusia (MUNIR, et al., 2001). Pengaturan
perubahan morfologi C. albicans dari bentuk
khamir ke hifa oleh CaNrg1 dapat merupakan
pengaturan langsung maupun tak langsung.
Pengaturan langsung dengan menekan fungsi
gen spesifik hifa (hypha-specific genes)
sehingga pertumbuhan hifa terhambat.
Pengaturan tidak langsung dengan downregulating Map-kinase signaling pathway.
CaNrg1 berikatan dengan Nrg response
307
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
element (NRE) dan Tup1p. Ikatan ini
mengaktifkan gen CEK1 yang mengkode Mapkinase
yang
kemudian
mengaktifkan
pertumbuhan hifa (BROWN dan GOW, 1999;
ERNST, 2000).
Enzim yang terlibat dalam morfogenesis
dari khamir ke bentuk hifa diantaranya adalah
Ras dan Rho-type GTP ase yang diketahui
sebagai salah satu enzim yang mengatur proses
morfologi pada sel eukaryote termasuk
stabilitas polaritas, proliferasi sel dan
pertumbuhan sebagi respon rangsangan
ekstraseluler. Ras-like GTPase (Rsr1p) dan
GTPase activating protein (Bud2p) C.
albicans yang terletak pada korteks sel waktu
awal pembelahan sel berfungsi sebagai penentu
letak sel anakan dan penentu percabangan sel
hifa. Rsr1p dan Bud2p pada C. albicans juga
penting dalam morfogenesis. Kekurangan
Rsr1p atau Bud2p menyebabkan bentuk
blastospora dan hifa menjadi abnormal dan
tidak mampu melakukan penetrasi ke agar.
Abnormalitas tersebut berhubungan dengan
abnormalitas
dari
polarisasi
aktin,
ketidakstabilan letak polarisome ujung hifa dan
letak cincin septin yang tidak semestinya.
Rsr1p berfungsi menstabilkan polaritas axis
pada satu fokus sehingga memastikan sel pada
bentuk yang normal dan fokus pada satu arah
pertumbuhan. Selain itu Rsr1p diduga juga
berfungsi sbagai mediator penting dari signal
ekstraseluler selama proses invasi ke sel inang
(HAUSAUER et al., 2005).
Ras juga mengatur ekspresi cAMP dan
komponen penginduksi hifa (Map-kinase) yang
juga penting dalam polaritas morfologi. Delesi
pada gen RAS menyebabkan kerusakan
morfogenesis dengan sekresi cAMP dan
ekspresi berlebih Map-kinase. Kerusakan
morfologis tersebut pada akhirnya dapat
menurunkan patogenitas C. albicans pada
tikus model (LEBERER et al., 2001).
Morfogenesis juga dipengaruhi oleh
glycosylphosphatidylinositol
(gpi)-anchored
protein yang juga terlibat dalam integritas
dinding sel dan cel-cel interaction. Gpi-anchor
terutama diperlukan dalam pembentukan hifa
penuh dan sebagai penentu sensitivitas
terhadap sel pertahanan tubuh inang. Pada
media padat, mutant tidak mampu nelakukan
perubahan morfologi dari khamir ke hifa tetapi
membentuk
chlamydospora.
Morfologi
kembali normal pada media cair tetapi budding
308
abnormal pada media padat maupun cair.
Penelitian secara in-vivo menggunakan mencit
juga menunjukkan adanya penurunan virulensi
C albicans. C albicans juga lebih sensitive
terhadap aktivitas litik makrofag (RICHARD et
al., 2002).
Sementara itu, glycoprotein glucosyltransferase sebagai pengatur sensor retikulum
endoplasma dan pengatur folding glicoprotein
secara tidak langsung juga berperanan dalam
morfogenesis
terutama
dalam
proses
pembentukan dinding sel. Gen yang mengatur
ekspresi glycoprotein glucosyltransferase
adalah KRE5. Mutan KRE5 mengalami
reduksi 1,6-glucan dan mannoprotein serta
peningkatan kitin dan 1,3-glucan dibandingkan
dengan C. albicans normal. Strain mutan pada
akhirnya tidak mampu membentuk hifa
meskipun ditambah serum yang berfungsi
sebagai penginduksi pembentukan hifa
(HERRERO, 2004).
Hifa C. albicans melakukan penetrasi ke
sel mencit dengan kecepatan 2 mikron per jam.
Penetrasi penuh pada epitel selama 24-48 jam.
Penetrasi pada membran mukosa manusia
berlangsung antara 22 sampai 59 jam. Dengan
memperhitungkan ketebalan sel manusia
seharusnya penetrasi bisa berlangsung lebih
cepat. Data tersebut menunjukkan betapa
pentingnya mekanisme pertahanan sel dan
jaringan yang dapat memperlambat penetrasi.
Pertahanan tersebut yang juga mungkin
menyebabkan fungi normal yang biasa terdapat
pada pemukaan epitel seperti fungi komensal
terhalang untuk menginvasi jaringan inang dan
penyebaran lesi mikotik menjadi lebih lambat
(BYKOV, 1990; BYKOV, 1991).
PEMBENTUKAN BIOFILM
Kemampuan suatu mikroorganisme untuk
mempengaruhi lingkungannya diantaranya
tergantung pada kemampuannya untuk
membentuk suatu komunitas. C. albicans
membentuk komunitasnya dengan membentuk
ikatan koloni yang disebut biofilm (NABILE
dan MITCHELL, 2005). Menurut MUKHERJEE et
al., 2005) biofilm merupakan koloni mikroba
(biasanya penyebab suatu penyakit) yang
membentuk matrik polimer organik yang dapat
digunakan sebagai penanda pertumbuhan
mikroba. Biofilm tersebut dapat berfungsi
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
sebagai pelindung sehingga mikroba yang
membentuk biofilm biasanya mempunyai
resistensi terhadap antimikroba biasa atau
menghindar dari sistem kekebalan sel inang.
Berkembangnya biofilm biasanya seiring
dengan bertambahnya infeksi klinis pada sel
inang sehingga biofilm ini dapat menjadi salah
satu
faktor
virulensi
dan
resistensi.
Pembentukan biofilm dapat dipacu dengan
keberadaan serum dan saliva dalam
lingkungannya (NIKAWA et al., 1997).
Hasil scanning mikroskop elektron
menunjukkan bahwa biofilm C. albicans yang
matang berisi sel dalam bentuk khamir maupun
hifa yang menyisip dan terikat rapat pada
bahan ektraseluler yang biasanya berbentuk
fibrous (ANDES et al., 2004). Secara struktur,
biofilm terbentuk dari dua lapisan yaitu lapisan
basal yang tipis dan merupakan lapisan khamir
dan lapisan luar yaitu lapisan hifa yang lebih
tebal tetapi lebih renggang. Hifa-mutant
memproduksi lapisan basal saja sementara
khamir-mutant memproduksi lapisan hifa.
Biofilm dari khamir-mutant yang mudah
dihilangkan dari permukaan sel membuktikan
bahwa lapisan basal merupakan lapisan biofilm
yang penting dalam perlekatan pada
permukaan. Di samping itu, biofilm yang
dibentuk pada permukaan filter selulosa
mempunyai penampakan yang berbeda. Hifamutant dan wild-type mampu memproduksi
lapisan
khamir
dan
khamir-mutant
memproduksi lapisan hifa yang rapat pada
permukaan filter. Hasil tersebut membuktikan
bahwa struktur biofilm C. albicans tergantung
pada keadaan permukaan tempat kontak
(BAILLIE and DOUGLAS, 1999). Struktur tiga
dimensi biofilm C. albicans menunjukkan
adanya saluran-saluran air yang komplek
(RAMAGE et al., 2001). Sangat menarik bahwa
sel inang juga menyisip antara matriks biofilm
(ANDES et al., 2004).
Faktor
lain
yang
mempengaruhi
pembentukan biofilm C. albicans diantaranya
adalah, ketersediaan udara. Ketersediaan udara
akan mendukung pembentukan biofilm. Pada
kondisi anaerob, C. albicans dapat membentuk
hifa tetapi tidak mampu membentuk biofilm
(BISWAS dan CHAFFIN, 2005). Pembentukan
biofilm C. albicans dimulai dengan perlekatan
sel C. albicans pada sel inang yang
berlangsung antara 0-2 jam.
Gambar 1. Hasil SEM biofilm Candida albicans
(ANDES et al., 2004)
Proses tersebut diikuti dengan germinasi
dan pembentukan mikrokoloni (2-4 jam). Yang
diteruskan dengan pembentukan hifa (4-6 jam).
Benang-benang hifa tersebut membentuk
monolayer (6-8 jam) yang akan berproliferasi
(8-24 jam) untuk kemudian mengalami
maturasi (24-48 jam). Uji reduksi XTT (2,3-bis
(2 methoxy-4-nitro – 5 – sulfo – phenyl) -2H tetrazolium-5-carboxinilide)
menunjukkan
adanya hubungan linear antara kerapatan sel
biofilm dengan aktivitas metabolik (RAMAGE
et al., 2001). Tetapi aktivitas metabolik tidak
mempengaruhi ketebalan biofilm (TAM et al.,
2005). Ketersediaan saliva dan serum pada
masa pra-pembentukan biofilm meningkatkan
perlekatan C. albicans terhadap sel inang tetapi
kurang berpengaruh pada pembentukan biofilm
(RAMAGE et al., 2001). Mekanisme probiotik
dilaporkan dapat menghambat kolonisasi tetapi
belum ada laporan bahwa probiotik dapat
menghambat
pembentukan
biofilm
(MEURMAN, 2005).
Gen yang bertanggungjawab terhadap
pembentukan biofilm adalah TEC1p dan
BCR1p. TEC1p merupakan gen regulator
pembentukan hifa. Pembentukan hifa akan
memicu ekpresi BCR1p yang kemudian
mengaktivasi protein permukaan sel dan gen
perlekatan (Adhesion gene). Aktivasi protein
permukaan dan gen perlekatan menyebabkan
differensiasi sel hifa dan menampilkan
molekul-molekul perlekatan yang juga
309
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
mendukung integritas biofilm (NOBILE dan
MITCHELL, 2005).
Disamping TEC1p dan BCR1p, bagian lain
yang berpengaruh adalah yeast wall protein 1
(Ypw1p). Ypw1p dari C. albicans tediri dari
kurang lebih 533 asam amino yang terikat
secara kovalen pada glukan yang merupakan
matrik dinding sel. Produksi paling besar pada
Ypw1p terjadi pada fase ekponensial dan
menurun pada fase stasioner pertumbuhan dan
pembentukan hifa. Perubahan pada Ypw1p
karena rekombinasi tidak menyebabkan
perubahan morfologi dan virulensi tetapi
kekurangan Ypw1p menunjukkan peningkatan
kemampuan perlekatan dan pembentukan
biofilm (GRANER et al., 2005). Pemberian
antifungi pada awal pembentukan biofilm
sangat menentukan terjadinya resistensi
(MUKHERJEE dan CHANDRA J ,2004).
PENGHINDARAN C. ALBICANS DARI
SEL–SEL PERTAHANAN TUBUH
Dinding sel merupakan bagian C. albicans
yang terlibat interaksi paling awal dengan sel
inang dan berpengaruh besar terhadap aktivasi
sel-sel kekebalan inang. Aktivasi terjadi ketika
terjadi kontak antara sel inang dengan dinding
sel C. albicans sebagai akibat adanya antigen
C. albicans pada dinding sel. Sel inang
memberikan respon seluler dan antibodi untuk
mengurangi invasi dan mengeliminasi C.
albicans dari jaringan yang terinfeksi.
Sebaliknya C. albicans juga melakukan upaya
pengindaran dari sistem kekebalan dengan
menginduksi aktivitas sel T dan sel B supresif
sehingga C. albicans lebih mudah menginvasi
sel inang (PONTON et al., 2001).
Selain menginduksi sel T dan B supresif, C.
albicans juga harus menghindarkan diri dari
serangan makrofag. Penghindaran dari sel
makrofag berhubungan dengan phosphorilasi
MEK, REK 1/2 dan P9ORSK selama
fagositosis. Penurunan aktivasi pada jalur ini
berhubungan dengn over-ekspresi jenis
tertentu.dari MEK phospatase (MKP-1)
sedangkan ketidakteraturan signal transduksi
dari ERK 1/2 atau P9ORSK oleh C. albicans
berhubungan
dengan
pengurangan
phosphorilasi protein Bad terutama pada Ser–
112 dan ketidaktersediaan Bcl-2 bebas, yang
berakhir dengan apoptosis dari sel yang
310
memakan C albicans (IBATA-OMBETA et al.,
2003).
Kemampuan menghindar C. albicans dari
makrofag juga dipengaruhi oleh keberadaan
phospholipomannan (PLM) sebuah glikolipid
unik dengan phytoceramid moiety yang
diekspresikan pada permukaan dan dilepaskan
oleh C. albicans. Penambahan PLM pada
makrofag menyebabkan disregulasi dalam
makrofag dan membuat S cerevisiae dan C.
albicans yang sensitive mampu bertahan hidup
lebih lama dalam sel. Hasil tersebut
membuktikan bahwa PLM pada C. albicans
mampu membuat C. albicans dapat
mempertahankan diri dari makrofag (IBATAOMBETA et al., 2003).
Pengaturan lain oleh C. albicans untuk
menghindari makrofag adalah dengan melalui
jalur Nitric oxide (NO). Mekanisme ini
berhubungan dengan interaksi CD40/CD40
ligand (L). Seperti diketahui interaksi CD40L
dan CD40 diperlukan untuk respon imun
seluler yang normal seperti T-cell mediated
activation of monocytes/macrophage, produksi
proinflamatory cytokine dan ekstravasasi
leukosit. Untuk mengetahui mekanisme C.
albicans untuk menghindari makrofag melalui
jalur tersebut dilakukan penelitian oleh NETEA
et al. (2002) yang menggunakan mencit normal
(CD40L+/+) sebagai kontrol dan mencit
knockout (CD40L-/-). Pada awal infeksi, C.
albicans dapat tumbuh dalam organ mencit
CD40L+/+ maupun CD40L-/- namun pada
infeksi lebih lanjut, C. albicans lebih banyak
pada mencit CD40L-/- daripada mencit
CD40L+/+. Puncak konsentrasi TNF-alpha
plasma pada mencit CD40L-/- juga lebih
rendah
dibandingkan
dengan
mencit
CD40L+/+. Pada mencit CD40-/-, interaksi
CD40L/CD40
yang
diperlukan
untuk
menginduksi sintesa NO terhalang dengan
diproduksinya anti CD40. Terhalangnya
sintesa NO mengakibatkan terjadi penurunan
aktivitas candidicidal dari makrofag sehingga
mencit menjadi rentan terhadap serangan C.
albicans.
Pada kasus meningitis candida, sangat
menarik bahwa C. albicans dapat menembus
barrier pada jaringan otak. Kemampuan C.
albicans
tersebut
tidak
lepas
dari
kemampuannya enolase C. albicans untuk
berikatan dengan plasminogen atau protein
plasma. Beberapa data mendukung adanya
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
ikatan
enolase
C.
albicans
dengan
plasminogen. Pertama, Beberapa strain
Candida dapat berikatan dengan plaminogen
dan bentuk aktifnya (plasmin). Kedua,
rekombinan enolase candida dalam nickelchelating affinity column matrix dapat
berikatan dengan plasminogen terlabel (125)I
yang tergantung pada dosis enolase.
Plasmin(ogen)-spesific
inhibitor
seperti
epsilon-aminocaproic acid dan aprotinin dapat
menghambat aktivitas ikatan plasmin. Ketiga,
beberapa reseptor plaminogen dan ikatan
enolase C. albicans dengan plaminogen adalah
lysine-dependent, sedikit hambatan terjadi pada
arginin, aspartat dan glutamat. Keempat,
imobilisasi enolase meningkatkan affinitas
plasminogen terhadap streptokinase. Lebih
jauh, ikatan plasminogen-enolase Candida
meningkatkan kemampuan C. albicans
melewati blood-brain barrier system. Ikatan ini
pula yang memainkan peranan dalam invasi C.
albicans pada barrier jaringan (JONG et al.,
2003).
Dengan memahami mekanisme C. albicans
melakukan adhesi dan invasi pada sel inang,
perubahan morfologi sebagai upaya infeksi dan
penyebaran, pembentukan biofilm untuk
mempertahankan diri dan sebagai salah satu
faktor resistensi serta kemampuan C. albicans
untuk menghindar dari sel-sel kekebalan inang
diharapkan dapat memberikan masukan dalam
upaya penangggulangan candidiasis pada
hewan
dan
manusia.
Penanggulangan
candidiasis dapat berupa penyempurnaan
perangkat diagnostik yang cepat dan akurat dan
pengembangan antifungi yang lebih tepat pada
sasaran.
DAFTAR PUSTAKA
ALMIRANTE B, RODRIGUEZ D, PARK BJ, CUENCAESTRELA M, PLANES AM, ALMELA M, MENSA
J, SANCHEZ F, AVATS J, GIMENEZ M, SABALLS
P, FRIDKIN SK, MORGAN J, RODRIGUEZTUDELA JL, WARNOCK DW and PAHISSA A.
2005.
Epidemiology
and
predictorsof
mortality in cases of candida bloodstream
infection: results from population-based
surveillance, Barcelona, Spain, from 20022003. J Clin microbial. 43(4): 1829-35.
ANDES D, NETT J, OSCHEL P, ALBRECHT R,
MARCHILLO K and PITULA A. 2004.
development and characterization of an in-
vivo central venous catheter C. albicans
biofilm model. Infect Immun. 72(10): 6023-31.
BAE GV, LEE HW, CHANG SE, MOON KC, LEE MW,
CHOI JH and KOH JK. 2005. Clinicopathologic
review 0f 19 patients with systemic
candidiasis with skin lesions. Int J Dermathol
44(7): 550-5.
BAILLIE GS and DOUGLAS LJ. 1999. Role of
dimorphism in the development of Candida
albicans biofilm. J Med. Microbiol. 48(7):
671-9.
BISWAS SK and CHAFFIN WL. 2005. anaerobic
growth of C. albicans does not support biofilm
formation under similar conditions used for
aerobic biofilm. Curr Microbiol (Epub ahead
of print).
BROWN AJP and GOW NAR. 1999. Regulatory
networks controlling Candida albicans
morphogenesis. Trends Microbiol. 7: 333-38.
BROWN MR, THOMPSON CA and MOHAMED FM.
2005. Systemic candidiasis in an apparently
immunocompetent dog. J Vet Diagn Invest.
17(3): 272-6.
BRZOZOWSKI T, ZWOLINSKA-WEISLO M, KONTUREK
PC, KWIECIEN S, DROZDOWICZ D, KONTUREK
SJ, STACHURA J, BUDAK A, BOGDAL J, PAWLIK
WW and HABN EG. 2005. Influence of gastric
colonization with Candida albicans on ulcer
healing in rats: effect of ranitidine, aspirin and
probiotic therapy. Scand J Gastroenterol.
40(3): 286-96.
BYKOV VL. 1990. The dynamics of the invasive
growth of C. albicans in the host’s tissues.
Vests Dermatol Venerol. 4: 25-8.
BYKOV VL. 1991. Velocity of Candida albicans
invasion into host tissues. Mycoses 34(7-8):
293-6
COTTER G and KAVANAGH K. 2000. Adhernce
mechanisms of C. albicans. Br J Biomed Sci.
57(3): 24-9.
DINUBILE MJ, BILLE D, SABLE CA and KARTSONIS
NA. 2005. Invasive candidiasis in cancer
patients: observations from a randomized
clinical trial. J Infect. 50(5): 443-9.
ELLEPOLA AN and MORRISON CJ. 2005. Laboratory
diagnosis of invasive candidiasis. J Microbiol.
43: 65-84.
EMMERSON RJ and CAMESANO TA. 2004. Nanoscale
investigation of pathogenic microbial adhesion
to a biomaterial. Appl Environ Microbiol.
70(10): 6012-22.
311
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
ERNST JF. 2000. Transcription factors in Candida
albicans-environmental
control
of
morphogenesis. Microbiology. 146: 17631774.
GRANER BL, FLENNIKEN ML, DAVIS DA,
MITCHELLAP and CUTLER JE. 2005. Yeast wall
protein 1 of C. albicans. Microbiology.
151(Pt5); 1631-44.
GOW NA. 1997. Germ tube growth of C. albicans.
Curr Top Med Mycol. 8(1-2): 43-55.
HA KC and WHITE TC. 1999. Effect of azole
antifungal drugs on the transtition from yeast
cells to hyphae in susceptible and resistant
isolates of the pathogenic yeast C. albicans.
Antimicrob Agents Chemoter. 43(4):763-8.
HAUSAUER DL, GERAMI-NEJAD M, KISTLERANDERSON C and GALE. 2005. Hyphal
guidance and invasive growth in Candida
albicans require the Ras-like GTPase Rsr1p
and its GTPase-activating protein Bud2p.
Eukaryote Cell. 4(7): 1273-86.
HERRERO AB, MAGNELLI P, MANSOUR MK, LEVITZ
SM, BUSSEY H and ABEIJON C. 2004. KRE5
gene null mutant strains of Candida albicans
are virulent and have altered cell wall
composition and hypha formation properties.
Eukaryote cell. 3(6): 1423-32.
HOSTETTER, 1994. Adhesin and ligand envolved in
the interaction of Candida spp. with epithelil
and endothelial surfaces. Clin Microbiol Rev.
7(1):29-42.
IBATA-OMBETA S, IDZIOREK T, TRINEL PA, POULAIN
D and JOUAULT T. 2003. role of
phospholipomannan in C. albicans escape
from macrophages and induction cell
apoptosis
through
regulation
of
badphosphorilation. Ann N Y Acad Sci. 1010:
573-6.
JAVATILAKE JA, SAMARAYANAKE YH and
SAMARAYANAKE LP. 2005. An ultrastructural
and a cytochemical study of candidal invasion
ofreconstituted human oral epithelium. J Oral
Pathol Med. 34(4): 240-6.
JONG AY, STINS MF, HUANG SH, CHEN SH and KIM
KS. 2001. Transversal of Candida albicans
across human blood-brain barrier in-vitro.
Infect Immun. 69(7): 4536-44.
JONG AY, CHEN SH, STINS MF, KIM KS, TUAN TL and
HUANG SH. 2003. Binding of C. albicans
enolase to plamin (ogen) resultsin enhanced
invasion oh human brain microvascular
endothelial cells. J Med Microbiol. 52(Pt8):
615-22.
312
KUJATH P, ROSENFELDT M, ESNAASHARI H, SCHEELE
J and BOUCHARD R. 2005. Fungal infections in
patients with necrotizing pancreatitis: risk
factors, incidence, therapy,. Mycoses 48 suppl
1: 36-40.
KUMAMOTO CA. 2005. A contact-activated kinase
signals C. albicans invasive growth and
biofilm development. Proc Natl Acad Sci
USA. 102(15): 5576-81.
KUMAMOTO CA and VINCES MD. 2004. Alternative
Candida albicans lifestyles: growth on the
surfaces. Annu Rev Microbiol (Epub Ehead of
print).
KENNEDY MJ. 1990. Models for studying the role of
fungal
attachment
in
colonizationand
pathogenesis. Mycopathologia. 109(2): 12337.
KOBAYASHI CC, DE FERNANDES OF, MIRANDA KC,
DE SONSA ED, and SILVA MDO R. 2004.
Candiduria in hospital patients: a study
prospective. Mycopathologia. 158(1): 49-52.
and VINCES MD. 2004. alternative C.
albicans lifestyles:growth on surfaces. Annu
Rev Microbiol. (Epub ahead of print).
KUMAMOTO CA
LEBERER E, HAREUS D, DIGNARD D, JOHNSON L,
USHINSKY S, THOMAS DY and SCHROPPEL K.
2001. RAS link cellular morphogenesis to
virulence by regulation of the MAP kinase and
CAMP signaling pathways in the pathogenic
fungus candida albicans. Mol Microbiol.
42(3): 673-87.
LO HJ, KOHLER JR, DIDOMENICO B, LOEBENBERG D,
CACCIAPUOTI A and FINK GR. 1997.
Nonfilamenteus C. albicans mutants are
avirulent. Cell. 90: 939-49.
LODDER J. 1970. The yeast. A taxonomic study.
Nort-Holland Publishing Company. Pp: 91419.
MARTIN SW, DOUGLAS LM and KONOPKA JB. 2005.
Cell cycle dynamics and quorum sensing in
Candida albicans chlamydospores are distict
from budding and hyphal growth. Eukaryote
cell. 4(7): 1191-202.
MEURMAN JH. 2005. Probiotics: do they have a role
in oral medicine and dentistry. Eur J Oral Sci.
113(3): 188-96.
MUKHERJEE PK and CHANDRA J. 2004. Candida
biofilm resistance. Drug Resist Updat. 7(4-5):
301-9.
MUKHERJEE PK, ZHOU G, MUNYON R and
GHANNOUM MA. 2005. Candida biofilm: a
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
well-designed protected environment. Med
Mycol. 43(3): 191-208.
MUNIR A, MURAD A, PING L, STRAFFON M,
WISHART J, MACASKILL S, MACCALLUM D,
SCHNELL N, TALIBI D, MARECHAL D, TEKAIA
F, D’ENFERT C, GAILLARDIN C, ODDS FC, and
BROWN AJP. 2001. NRG1 repress yeast-hypha
morphogenesis and hypha-spesific gene
expression in Candida albicans. The EMBO J.
20(17): 4742-52.
NAGLIK J, ALBBRECHT A BADER O and HUBE B.
2004.
C.
albicans
proteinses
and
host/pathogen interactions. Cell Microbiol.
6(10):915-26.
NIKAWA H, HAMADA T, YAMAMOTO T and KUMAGAI
H. 1997. Effect salivary or serum pellicles on
C. albicans growth and biofilm formation on
soft lining materials in-vitro. J Oral Rehabil.
24(8): 594-604.
NOBILE CJ and MITCHELL AP. 2005. Regulation of
cell-surface genes and biofilm formation by
the C. albicans transcription factor Bcr1p.
Curr Biol. 15(12): 1150-5.
PONTON J, OMAETXEBARRIA MJ, ELGUEZABAL N,
ALVAREZ M and MORAGUES MD. 2001.
Immunoreactivity of the fungal cell wall. Med
mycol 39(1): 101-110.
RAJASINGHAM KC, CHALLACOMBE SJ and TOVEY S.
1989. Ultrastructure and possible processes
involved in the invasion of host epithelial cells
by C.
albicans in vaginal candidosis.
Cytobios 60(240): 11-20.
SANGLARD D, HUBE B, MONOD M, ODDS FC and
GOW NA. 1997. A triple deletion of the
secreted aspartyl proteinase genes SAP 4, SAP
5 and SAP 6 of Candida albicans causes
attenuated virulence. Infect Immun. 65(9):
3539-3546.
SCHALLER M, SCHACKERT C, KORTING HC,
JANUSCHKEE and HUBE B. 2000. Invasion of
C. albicans correlates with expression of
secreted
aspartic
proteinase
during
experimental infection in human epidermis. J
Invest Dermatol. 114(4)712-7.
SHERWOOD J, GOW NAR, GOODAY GWG, GREGORY
GW and MARSHALL D., 1992. contact sensing
in Candida albicans: a possible aid to
epithelial penetration. J Med Vet Mycol. 30:
461-469.
SINGLETON DR, MASUOKA J, and HAZEN KC. 2001.
cloning and analysis of a C. albicans gene tht
effects cell surface hydrophobicity. J Bacteriol
183(12): 3582-8.
TSARFATY I, SANDOVSKY-LOSICA H, MITTELMAN L,
BERDICEVSKY I and SEGAL E. 2000. Cellular
actin is affected by interaction with C.
albicans. FEMS Microbiol Lett. 189(2): 22532.
TAYLOR BN, STAIB P, BINDER A, BIESEMIER A,
SEHNAL M, ROLLINGHOFF M, MORSEHHAUSER
J and SCHROPPEL K. 2005. Profile of Candida
albicans-secreted aspartic proteinase elicited
during vaginal infection. Infect immune. 73(3):
1828-35.
RAMAGE G, VANDEWALLE K, WICKES BL and
LOPEZ-RIBOT JL. 2001. Characteristics of
biofilm formation by C.
albicans. Rev
Iberoam Micol. 18(4): 163-70.
VERMA A, WADE JJ, CHEESEMAN P, SAMAROO B,
RELA M, HEATON ND, MIELI-VERGANI G and
DHAWAN A. 2005. Risk factor for fungal
infectionin pediatric liver transplant resipient.
Pediatr transplant 9(2): 220-5.
RICHARD M, IBATA-OMBETA S, DROMER F, BORDON
PALLIER F. JONAULT T and GAILLARDIN C.
2002. Complete glycosylphosphatidylinositol
anchors are required in Candida albicans for
full morphogenesis, virulence and resistance
to macrophage. Mol Microbiol. 44(3): 841-53.
WARENDA AJ, KAUFFMAN S, SHERRILLTP BECKER JM
and KONOPKA JB. 2003. Candida albicans
septin mutants are defective for invasive
growth and virulence. Infect Immun. 71(7):
4045-51.
WILSON C. 2005. Recurrent vulvovaginitis
candidiasis; an overview of traditional and
alternative therapies. Adv Nurse Pract. 13(5):
24-9.
313
Download