Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan di

advertisement
IV. METODOLOGI
Dalam bagian IV ini akan dikemukakan berturut-turut kerangka pemikiran,
spesifikasi model, prosedur estimasi, serta data yang digunakan dalam penelitian ini.
4.1. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian, studi pustaka dan kerangka
teoritis yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dibangunlah sebuah kerangka
berpikir sebagai berikut :
Penerimaan Daerah
PADK
B
l
o
k
F
i
s
k
a
l
TRFK
Blok Pengeluaran
per Kapita
Blok Output/PDRB
PDRBA
Pendapatan
Per Kapita
PDRBNA
RPCE
UPCE
PDKL
Pengeluaran Daerah
PERTK
PEPBA
PEPBNA
Blok Tenaga Kerja
Blok Distribusi
Pendapatan
Blok
Kemiskinan
TKA
RGINI
RPOV
TKNA
UGINI
UPOV
Gambar 5. Kerangka Pemikiran
Dalam Gambar 5 ditunjukkan bahwa kemiskinan dengan berbagai indikatornya akan dipengaruhi oleh perubahan dalam instrumen kebijakan yaitu transfer fiskal
(blok fiskal) melalui jalur (channel) blok output (PDRB) dan blok tenaga kerja,
dimana kedua blok tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi blok distribusi
pendapatan, dan akhirnya blok kemiskinan.
4.2. Spesifikasi Model
Spesifikasi model merupakan tahap yang amat penting, sebab dalam tahap
inilah akan dilakukan pengkajian mengenai hubungan diantara berbagai peubah dan
diekspresikan ke dalam model kuantitatif, dimana fenomena ekonomi yang bersangkutan selanjutnya akan diselidiki secara empirik (Koutsoyiannis, 1977). Termasuk di
dalamnya adalah melakukan identifikasi peubah-peubah yang akan dimasukkan ke
dalam model yang dikembangkan.
Spesifikasi model transfer fiskal dan kemiskinan yang dibangun ini terkait
erat dengan tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan kerangka teoritis yang telah dikemukakan sebelumnya. Dalam studi ini digunakan pendekatan ekonometrik dalam
model sistem persamaan simultan. Model dipilah ke dalam beberapa blok yaitu fiskal,
output, tenaga kerja, pengeluaran per kapita, disrtibusi, dan kemiskinan, terdiri atas
20 persamaan struktural dan 7 persamaan identitas, sebagai berikut :
4.2.1. Blok Fiskal Daerah
4.2.1.1. Penerimaan Daerah
Persamaan untuk sisi penerimaan dari blok fiskal terdiri dari 3 persamaan
struktural dan 2 persamaan identitas. Ketiga persamaan struktural tersebut adalah
persamaan untuk pajak daerah (PJKK), persamaan untuk retribusi daerah (RETRK),
dan persamaan untuk jenis PAD lainnya (PADL), sebagai berikut :
PJKK
= a0 + a1 *PDRBNA + a2 *DDF + u1
………………………
(1)
RETRK = b0 + b1 *PDRBNA + b2 *DDF + u2
………………………
(2)
PADL = c0 + c1 *PDRBNA + c2 *DDF + u3
………………………
(3)
Tanda yang diharapkan dari parameter a1 , a2 , b1 , b2 , c1 , dan c2 > 0.
Sedangkan persamaan identitas untuk sisi penerimaan dari blok fiskal adalah
identitas untuk penerimaan asli daerah (PADK), dan identitas untuk total penerimaan
daerah kabupaten/kota, sebagai berikut :
PADK = PJKK + RETRK + PADL
………………………………..
TPDK = PADK + BHPJK + BHBPJK + DAUK + PDKL
……….
(4)
(5)
dimana :
PJKK = pajak daerah (Rp jutaan)
RETRK = retribusi daerah (Rp jutaan)
PADL = penerimaan asli daerah lain- lainnya (Rp jutaan)
PADK = penerimaan asli daerah Kabupaten/Kota (Rp jutaan)
BHPJK = bagi hasil pajak (Rp jutaan)
BHBPJK= bagi hasil bukan pajak (Rp jutaan))
DAUK = Dana Alokasi Umum (Rp jutaan)
PDKL = penerimaan daerah lain- lain (Rp jutaan)
TPDK = total penerimaan daerah Kabupaten/Kota (Rp jutaan)
DDF
= peubah dummy desentralisasi fiskal (sebelum desentralisasi fiskal
diberi angka 0 dan setelah desentralisasi fiskal diberi angka 1)
u
= faktor pengganggu (disturbance error)
4.2.1.2. Pengeluaran Daerah
Adapun persamaan struktural untuk sisi pengeluaran dari blok fiskal daerah
terdiri dari 3 persamaan, yaitu persamaan untuk pengeluaran rutin (PERTK), persamaan pengeluaran pembangunan sektor pertanian (PEPBA), dan persamaan pengeluaran pembangunan sektor non pertanian (PEPBNA).
PERTK = d0 + d1 *PADK + d2 *BHPJK + d3 *BHBPJK + d4 *DAUK
+ d5 *PNS + d6 *DDF + u4
..............................................
(6)
PEPBA = e0 + e1 *PADK + e2 *BHPJK + e3 *BHBPJK + e4 *DAUK
+ e5 *AREA + e6 *DDF + u5
..........................................
(7)
PEPBNA = fo + f1 *PADK + f2 *BHPJK + f3 *BHBPJK + f4 *DAUK
+ f5 *AREA + f6 *DDF + u6
.........................................
(8)
Tanda yang diharapkan dari parameter d1 , d2 , d3 , d4 , d5 , d6 , e1 , e2 , e3 , e4 , e4 , e5 , e6 , f1 ,
f2 , f3 , f4 , f5 , dan f6 > 0
Sedangkan persamaan identitas dari sisi pengeluaran terdiri dari 2 persamaan
identitas yaitu persamaaan identitas untuk total pengeluaran pembangunan (PEPBK),
dan persamaan identitas untuk total pengeluaran daerah (TPEK), sebagai berikut :
PEPBK = PEPBA + PEPBNA
..........................................................
(9)
TPEK = PERTK + PEPBK
..........................................................
(10)
dimana :
PERTK = pengeluaran rutin pemerintah daerah (Rp jutaan)
PEPBA = pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian (Rp jutaan)
PEPBNA= penge luaran pembangunan untuk sektor non pertanian (Rp jutaan)
PEPBK = pengeluaran pembangunan daerah kabupaten/kota (Rp jutaan)
TPEK
= total pengeluaran daerah kabupaten/kota (Rp jutaan)
PNS
= jumlah pegawai negeri sipil per Provinsi (Rp jutaan)
AREA = luas wilayah masing- masing Provinsi (Km2 )
4.2.2. Blok Output
Persamaan untuk blok output atau produk domestik regional bruto (PDRB)
terdiri dari 2 persamaan struktural yaitu persamaan untuk produk domestik regional
bruto sektor pertanian (PDRBA), dan persamaan untuk produk domestik regional
bruto sektor non pertanian (PDRBNA); dan 2 persamaan identitas yaitu persamaan
identitas PDRB dan pesamaan identitas pendapatan (PDRB) per kapita.
PDRBA = g0 + g1 *TKA + g2 *PEPBA + g3 *DDF + u7
……….....
PDRBNA = h0 + h1 *TKNA + h2 *PEPBNA + h3 *DDF + u8
……..
(12)
………………………………..…
(13)
.....................................................................
(14)
PDRB = PDRBA + PDRBNA
YCAP = PDRB/POP
(11)
dimana :
PDRB = produk domestik regional bruto total (Rp jutaan)
YCAP = pendapatan (PDRB) per kapita (Rp)
PEPBA = pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian (Rp jutaan)
PEPBNA = pengeluaran pembangunan untuk sektor non pertanian (Rp jutaan)
Tanda yang diharapkan dari parameter g1 , g2 , g3 , h1 , h2 , h3 > 0.
4.2.3. Blok Tenaga Kerja
Persamaan untuk blok tenaga kerja terdiri dari 2 persamaan struktural, yaitu
persamaan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian (TKA), dan persamaan penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian (TKNA), serta 1 persamaan identitas yaitu
persamaan identitas penyerapan tenaga kerja total (TKT)
TKA = i0 + i1 *PDRBA + i2 *UPHA + i3 *DDF + u9
....................
(15)
..................
(16)
..............................................................
(17)
TKNA = j0 + j1 *PDRBNA + j2 *UPHR + j3 *DDF + u10
TKT
= TKA + TKNA
dimana :
TKA = penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian (Orang)
TKNA = penyerapan tenaga kerja sektor di luar pertanian (Orang)
TKT = penyerapan tenaga kerja total di daerah (Orang)
PDRBA = produk domestik regional bruto sektor pertanian (Rp jutaan)
PDRBNA= produk domestik regional bruto sektor industri (Rp jutaan)
UPHA = upah tenaga kerja di sektor pertanian (Rp)
UPHR = upah rata-rata karyawan/tenaga kerja (Rp)
Tanda yang diharapkan dari parameter i1 , i3 , j1 , j3 , > 0, dan i2 , j2 , < 0
4.2.4. Blok Pengeluaran Per Kapita Rumahtangga
Persamaan untuk pengeluaran per kapita rumahtangga terdiri dari 2
persamaan, yaitu persamaan pengeluaran per kapita rumahtangga perdesaan (RPCE)
dan persamaan pengeluaran per kapita rumahtangga perkotaan (UPCE), sebagai
berikut :
RPCE = k0 +k1 *YCAP+k2 *AMH +k3 *UMPR + k4 *INFL+ k5 *DDF + u11 (18)
UPCE = l0 +l1 *YCAP + l2 *AMH + l3 *UMPR + l4 *INFL + l5 *DDF + u12 (19)
dimana :
RPCE
UPCE
AMH
UMPR
INFL
= pengeluaran per kapita rumahtangga perdesaan (Rp jutaan/bulan)
= pengeluaran per kapita rumahtangga perkotaan (Rp jutaan/bulan)
= angka melek huruf orang dewasa (Persen)
= upah minimum provinsi riil per bulan (Rp/bulan)
= tingkat inflasi (Persen)
Tanda yang diharapkan dari parameter k1 , l1 , k2 , l2 , k3, l3 , dan k5 , l5 > 0, dan k4 , k4 < 0
4.2.5. Blok Distribusi Pendapatan
Persamaan untuk blok distribusi pendapatan terdiri dari 2 persamaan, yaitu
persamaan untuk indeks Gini perdesaan (RGINI) dan persamaan untuk indeks Gini
perkotaan (UGINI), sebagai berikut :
RGINI = m0 + m1 *YCAP + m2 *TKASH + m3 *URBP + m4 *AMH +
m5 *RURUN + m6 *DDF + u13
……………………….
(20)
UGINI = n0 + n1 *YCAP + n2 *TKASH + n3 *URBP + n4 *AMH + n5 *URBUN
+ n6 *DDF + u14
dimana :
……………………..………………….
(21)
RGINI
UGINI
URBP
TKASH
URBUN
RURUN
=
=
=
=
=
=
indeks Gini untuk daerah perdesaan
indeks Gini untuk daerah perkotaan
derajat urbanisasi (Persen)
pangsa tenaga kerja pertanian terhadap total tenaga kerja (Persen)
tingkat pengangguran di perkotaan (Persen)
tingkat pengangguran di perdesaan (Persen)
Adapun tanda yang diharapkan dari parameter m1 , m4 , m6 , n2 , n4 , n6 > 0 dan m2 , m3 ,
n1, n3 < 0.
4.2.6. Blok Kemiskinan
Persamaan untuk blok kemiskinan terdiri dari 6 persamaan, yaitu persamaan
tingkat kemiskinan perdesaan (RHCI), persamaan indeks kedalaman kemiskinan
perdesaan (RPGI), persamaan indeks keparahan kemiskinan perdesaan (RPSI), persamaan tingkat kemiskinan perkotaan (UHCI), persamaan indeks kedalaman kemiskinan perkotaan (UPGI), dan persamaan indeks keparahan kemiskinan perkotaan
(UPSI).
RHCI = o0 + o1 *RPCE + o2 *RGINI + o3 *RPL + o4 *DDF + u15
......
(22)
RPGI = p0 + p1 *RPCE + p2 *RGINI + p3 *RPL + p4 *DDF + u16
......
(23)
RPSI = q0 + q1 *RPCE + q2 *RGINI + q3 *RPL + q4 *DDF + u17 ......
(24)
UHCI = r0 + r1 *UPCE + r2 *UGINI + r3 *UPL + r4 *DFF + u18
......
(25)
UPGI = s0 + s1 *UPCE + s2 *UGINI + s3 *UPL + s4 *DDF + u19 …..
(26)
UPSI = t0 + t1 *UPCE + t2 *UGINI + t3 *UPL + t4 *DDF + u20 …..
(27)
dimana :
RHCI
RPGI
RPSI
UHCI
= tingkat kemiskinan perdesaan (Persen)
= indeks kedalaman kemiskinan perdesaan (Persen)
= indeks keparahan kemiskinan (Persen)
= tingkat kemiskinan perkotaan (Persen)
UPGI
UPSI
RPL
UPL
= indeks kedalaman kemiskinan perkotaan (Persen)
= indeks keparahan kemiskinan perkotaan (Persen)
= garis kemiskinan daerah perdesaan (Rp)
= garis kemiskinan daerah perkotaan (Rp)
Tanda yang diharapkan dari parameter-parameter adalah o1 , o4 , p1 , p4, q1 , q4 , r1 , r4,
s1 , s4 ,t1 dan t4 < 0, dan o2 , o3 , p2 , p3 , q2 , q3 , r2 , r3 , s2 , s3 , t2 , dan t3 > 0.
4.3. Prosedur Estimasi Model
Dalam bagian ini diuraikan mengenai masalah identifikasi, metode estimasi,
validasi model dan simulasi model kemiskinan regional.
4.3.1. Identifikasi Model
Indentifikasi pada dasarnya persoalan formulasi model (model formulation
problem). Model ekonometrik yang dirumuskan dalam bentuk sistem persamaan
simultan mensyaratkan bahwa jumlah persamaan harus sama dengan jumlah peubah
endogen (Koutsoyiannis, 1977). Sebagai suatu aturan (rule), maka adalah tidak
mungkin untuk mengestimasi parameter dari sistem yang tidak lengkap (Greene,
2001). Supaya suatu persamaan menjadi teridentifikasi (identified), maka syaratnya
harus memenuhi apa yang dinamakan sebagai “order condition of identification”,
yaitu bahwa jumlah peubah (endogen dan eksogen) yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut tetapi masuk dalam persamaan lain dalam sistem persamaan simultan
harus sama dengan atau lebih besar dari jumlah peubah endogen di dalam model
dikurangi satu (Gujarati, 2003), atau dapat diformulasikan sebagai berikut :
(K – M) (G – 1)
................................................................................
dimana :
K = jumlah peubah dalam model (peubah endogen dan predetermined)
(28)
M= jumlah peubah endogen dan eksogen yang terdapat dalam persamaan
tertentu dalam model, dan
G = jumlah persamaan dalam model, yaitu sama dengan jumlah peubah
endogen dalam model.
Berdasarkan “order condition” tersebut, jika (K–M) > (G–1), maka persamaan dikatakan teridentifikasi secara berlebih (overidentified). Jika (K-M) = (G-1),
maka persamaan dikatakan teridentifikasi secara tepat (just or exactly identified); dan
jika (K-M) < (G-1), maka persamaan dikatakan tidak teridentifikasi (unidentified).
Hanya persamaan yang “exactly” atau “overidentified” saja yang parameternya dapat
diestimasi berdasarkan kriteria “order condition” tersebut.
Namun harus diingat bahwa suatu persamaan yang dapat diidentifikasi dengan
“order condition” belum tentu parameter-parameternya dapat diestimasi. Agar suatu
persamaan betul-betul dapat diidentifikasi, selain “order condition”, masih diperlukan
syarat lain yang sekaligus merupakan syarat cukup yaitu “rank condition”, yang
menyatakan jika nilai determinant order (G-1) dari suatu persamaan paling sedikit ada
satu yang nilainya tidak sama dengan nol, maka persamaan tersebut memenuhi syarat
cukup untuk identifikasi (Koutsoyiannis, 1977).
Dalam penelitian ini, model kemiskinan regional yang diformulasikan terdiri
dari 27 persamaan atau 27 peubah endogen (G), dan 17 peubah predetermined,
sehingga total peubah di dalam model (K) adalah 44 peubah. Berdasarkan hasil
identifikasi yang dilakukan diketahui bahwa persamaan yang ada dalam model ini
seluruhnya teridentifikasi secara berlebih (overidentified).
4.3.2. Metode Estimasi Model
Oleh karena identifikasi terhadap model menunjukkan bahwa seluruh persamaan teridentifikasi secara berlebih (overidentified), maka metode estimasi yang
tepat digunakan 2SLS (Two Stages Least Squares). Pyndick dan Rubinfeld(1991)
menulis sebagai berikut : “Two-stage least squares (2SLS) provides a very useful
estimation procedure for obtaining the values of structural parameters in overidentified equations”. Dengan kata lain, penerapan metode 2SLS dapat menghasilkan estimasi yang konsisten, lebih sederhana, dan lebih mudah, dibandingkan misalnya dengan metode 3SLS ataupun FILM yang menggunakan lebih banyak informasi
dan lebih sensitif terhadap kesalahan pengukuran (measurement error) maupun kesalahan dalam spesifikasi model (Gujarati, 2003).
Dalam rangka untuk mengetahui apakah pengaruh secara bersama-sama dari
peubah penjelas itu signifikan atau tidak, maka dilakukan pengujian dengan menggunakan uji F. Sedangkan untuk mengetahui signifikan atau tidaknya pengaruh secara
sendiri-sendiri dari masing- masing peubah penjelas terhadap peubah endogennya
diuji dengan menggunakan uji t pada tingkat signifikansi tertentu, dimana dalam studi
ini digunakan á sebesar 0.15, 0.10, 0.05, dan 0.01.
4.3.3. Validasi Model
Validasi model dimaksudkan untuk mengetahui apakah model yang dirumuskan itu cukup sahih (valid) untuk digunakan dalam menganalisis dampak transfer
fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia. Ada beberapa kriteria statistik yang biasanya
digunakan para peneliti dalam menilai sahih atau tidaknya suatu model ekonometrik,
diantaranya adalah “root mean square error” (RMSE), “root mean squares percent
error” (RMSPE), dan “Theil Inequality coefficient” (U) (Pyndick dan Rubinfeld,
1991), yang masing- masing dapat dituliskan sebagai berikut :
(
1 T s
Yt − Yt a
T∑
i −1
RMSE =
)
2
................................................................
(29)
1 T  Yt s − Yt a 
 ..............................................................
RMSPE =
∑
T i −1  Yt a 
(30)
2
dimana :
Yt s = nilai Yt simulasi/prediksi
Yt a = nilai aktual
T = jumlah observasi di dalam simulasi
1 T
(Yt s − Yt a ) 2
∑
T i −1
U =
......................................................
(31)
1 T
1 T
s 2
(
Y
)
+
(Yt a ) 2
∑
∑
t
T i −1
T i −1
U dapat didekomposisi menjadi :
−
−
1
s
a 2
s
a 2
(
Y
−
Y
)
=
(
Y
−
Y
) + (σs − σa ) 2 + 2(1 − ρ)σsσa
∑
t
t
N
...............
dimana :
−
Y
−
p dan
Y a = rata-rata untuk nilai prediksi dan nilai aktual
σ p danσa = standar deviasi untuk nilai prediksi dan nilai actual
ρ = koefisien korelasi.
Proporsi dari U (proportions of inequality) dapat dinyatakan sebagai berikut :
(32)
−
UM
−
(Y p − Y a )2
=
(1/ N ) ∑ (Yt p − Yt a ) 2
(σ p − σa ) 2
U =
(1/ N )∑ (Yt p − Yt a ) 2
S
UC =
2(1 − ρ)σ pσa
(1/ N ) ∑ (Yt p − Yt a )2
dimana UM adalah proporsi bias yang menjelaskan seberapa jauh rata-rata nilai
prediksi menyimpang dari rata-rata nilai aktual dan nilai UM yang diharapkan adalah
yang mendekati nol; US adalah proporsi varians yang menjelaskan seberapa jauh
variasi nilai prediksi menyimpang dari nilai variasi nilai aktual, dan nilai US yang
diharapkan adalah yang mendekati nol. Sedangkan UC adalah proporsi kovarians
yang mengukur kesalahan peramalan yang tidak sistematis (unsystematic error).
Distribusi ketimpangan (U) yang ideal atas ketiga sumber tersebut adalah UM
= US = 0dan UC = 1 (Pyndick dan Rubinfeld,1991). Apabila persamaan (32) dibagi
dengan sisi kirinya, maka akan diperoleh 1 = UM + US + UC.
4.3.4. Simulasi Model
Simulasi pada dasarnya merupakan solusi matematis (mathematical solution)
dari suatu kumpulan berbagai persamaan secara simultan. Simulasi model dengan
demikian menunjuk kepada sekumpulan persamaan (set of equations) tersebut.
Simulasi model dilakukan dengan berbagai alasan, misalnya untuk pengujian dan
evaluasi model, analisis kebijakan historis dan untuk peramalan (Pindyck dan
Rubinfeld, 1991).
Dalam studi, simulasi terutama ditujukan untuk keperluan analisis kebijakan
historis (historical policy analysis). Analisis simulasi kebijakan yang dimaksudkan
untuk melihat dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia. Berbagai
skenario kebijakan transfer fiskal dilakukan baik secara parsial maupun kombinasi,
dan terdiri atas 7 skenario sebagai berikut :
1. Menaikkan bagian bagi hasil pajak (BHPJK) sebesar 10 persen
2. Menaikkan bagian bagi hasil bukan pajak (BHBPJK) sebesar 10 persen
3. Menaikkan dana alokasi umum (DAUK) sebesar 1.25 persen
4. Menaikkan bagian bagi hasil pajak (BHPJK) dan bagian bagi hasil bukan pajak
(BHBPJK) secara serentak dengan besaran masing- masing sebesar 10 persen.
5. Menaikkan bagian bagi hasil pajak (BHPJK) dan DAUK secara serentak dengan
besaran masing- masing 10 persen dan 1.25 persen.
6. Menaikkan bagian bagi hasil bukan pajak (BHBPJK) dan DAUK secara serentak
dengan besaran masing- masing 10 persen dan 1.25 persen.
7. Menaikkan bagian bagi hasil pajak (BHPJK), bagian bagi hasil bukan pajak
(BHBPJK) dan DAUK secara serentak dengan
besaran masing- masing 10
persen, 10 persen dan 1.25 persen.
Adapun ya ng menjadi pertimbangan mengapa menggunakan kenaikan sebesar
10 persen untuk bagi hasil pajak (BHPJK) dan bukan pajak (BHBPJK), bertitik tolak
dari pengalaman dimana dalam 4 tahun terakhir ini kedua peubah tersebut mengalami
kenaikan rata-rata sebesar 10 persen per tahun. Sedangkan penggunaan angka 1.25
persen untuk dana alokasi umum (DAUK) lebih didasarkan atas perimbangannya
dengan jumlah dari bagi hasil pajak dan bukan pajak, dimana rata-rata dana alokasi
umum (DAUK) adalah sekitar 8 kali rata-rata bagi hasil pajak (BHPJK) atau rata-rata
bagi hasil bukan pajak (BHBPJK).
4.4. Data dan Sumber
Data yang digunakan dalam estimasi dan simulasi adalah data panel yang
merupakan gabungan antara data runtut waktu (time series) tahun 1999-2002 dan data
“cross-section” 25 Provinsi di Indonesia. Dalam studi ini, Provinsi DKI Jakarta tidak
diikutsertakan karena dianggap memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan
Provinsi-provinsi lainnya. Sedangkan beberapa Provinsi yang baru terbentuk seperti
Provinsi Maluku Utara, Bangka Belitung, Banten, dan Gorontalo, dalam studi ini
datanya masih digabungkan dengan data Provinsi induknya.
Data fiskal yang digunakan merupakan data gabungan (consolidated) dari data
fiskal atau APBD Kabupaten/Kota di masing- masing Provinsi, yang mencakup baik
data penerimaan maupun pengeluaran kabupaten/kota per Provinsi. Data fiskal
Kabupaten/Kota tersebut diperoleh antara lain dari (1) Statistik Keuangan Pemerintah
Kabupaten/Kota tahun 1999-2002 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, dan (2)
Nota Keuangan dan RAPBN tahun 1999-2002 yang dikeluarkan Departemen
Keuangan.
Data produk domestik regional bruto (PDRB) yang digunakan adalah data
produk domestik regional bruto (PDRB) Provinsi menurut lapangan usaha, yang
diperoleh dari (1) Produk Domestik Regiona Bruto Provinsi-Provinsi di Indonesia
tahun 1999-2002, dan (2) Statistik Indonesia tahun 1999-2002 yang diterbitkan
Badan Pusat Statistik. Data pendapatan per kapita (PDRB) diperoleh dengan membagi PDRB dengan jumlah penduduk dari masing- masing Provinsi.
Data pengeluaran rumahtangga per kapita yang digunakan diperoleh dari
sumber-sumber antara lain (1) Indikator Kesejahteraan Rakyat tahun 1999-2002, dan
(2) Data dan Informasi Kemiskinan tahun 1999-2002 yang diterbitkan Badan Pusat
Statistik. Dari data hasil SUSENAS ini pula kemudian dihitung indeks Gini, tingkat
kemiskinan (P0), indeks kedalaman kemiskinan (P1), dan indeks keparahan kemiskinan (P2), baik untuk daerah perdesaan maupun perkotaan3 .
Data penyerapan tenaga kerja per Provinsi yang digunakan diperoleh antara
lain dari (1) Keadaan Angkatan Kerja Indonesia Tahun 1999-2002, dan (2) Statistik
Indonesia tahun 1999-2002 yang diterbitkan Badan Pusat Satistik Jakarata. Namun
perlu dikemukakan bahwa data penyerapan tenaga kerja menurut Provinsi hasil
SAKERNAS hanya tersedia untuk tahun 1999 dan 2002. Sedangkan untuk tahun
2000 dan 2001, data penyerapan tenaga kerja hanya disajikan berdasarkan Pulau dan
Indonesia. Untuk mendapatkan data penyerapan tenaga kerja menurut Provinsi yang
dibutuhkan, penulis terpaksa melakukan estimasi dengan metode alokasi berdasarkan
data penyerapan tenaga kerja tahun 1999. Dengan menggunakan data penyerapan
tenaga kerja tahun 1999, penulis pertama-tama menghitung pangsa (share) penyerapan tenaga kerja masing- masing Provinsi terhadap total penyerapan tenaga kerja
secara nasional. Selanjutnya pangsa penyerapan kerja masing- masing Provinsi itu
dikalikan dengan jumlah penyerapan tenaga kerja secara nasional untuk tahun dimana
data penyerapan tenaga kerja per Provinsi tidak tersedia, misalnya tahun 2000 untuk
3
Perhitungan untuk memperoleh indeks Gini, tingkat kemiskinan (P0), indeks kedalaman
kemiskinan (P1), dan indeks keparahan kemiskinan (P2), baik untuk perdesaan maupun perkotaan
dilakukan dengan bantuan staff dari SMERU Research Institute Jakarta.
mendapatkan besarnya penyerapan tenaga kerja per Provinsi untuk tahun 2000 yang
bersangkutan. Dengan cara yang sama, data penye-rapan tenaga kerja per Provinsi
untuk tahun 2001 dapat diperoleh.
Data jumlah pegawai ne geri sipil (PNS), jumlah penduduk, dan luas wilayah
per Provinsi diambil antara dari Statistik Indonesia tahun 1999-2002 yang diterbitkan
Badan Pusat Statistik.
Data tingkat pengangguran dan upah tenaga kerja per Provinsi diperoleh dari sumbersumber seperti (1) Keadaan Angkatan Kerja Indonesia tahun 1999-2002, dan (2)
Keadaan Pengangguran di Indonesia tahun 1999-2000, dan (3) Statistik Indonesia
tahun 1999-2002 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik. Data tingkat inflasi per
Provinsi diambil dari sumber-sumber antara lain : (1) Laporan Perekonomian
Indonesia tahun 1999-2002 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, dan (2) Statistik
Indonesia tahun 1999-2002 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (lihat Lampiran 2).
Download