BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Islam

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Islam secara umum dibedakan menjadi dua lapangan pokok,
yaitu hukum yang mengatur hubungan antara makhluk dengan khalik dan
hukum yang mengatur hubungan antara sesama makhluk (muamalah).1 Dan
dalam lapangan hukum muamalah sendiri terdiri dari beberapa bidang kajian
hukum yang salah satunya adalah hukum keluarga atau (al Akhwal as
Syashsiyah).2 Statemen ini dipertegas lagi oleh Mustthafa Ahmad Az-Zarqa
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Azhar Basyir3 dalam bukunya asas-asas
hukum muamalat bahwa al-Akhwal as-Asyahsiyah merupakan kajian dari
hukum Islam yang secara spesifik membahas tentang ketentuan-ketentuan yang
berkaitan dengan ikatan kekeluargaan. Perkawinan merupakan bagian yang
dikaji dalam proses kelangsungan ikatan kekeluargaan.
Menurut Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 disebutkan
bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah trangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa..4 Dari penegasan
Undang-undang tersebut diharapkan setiap pasangan suami isteri dapat
1
Ahmad Hanafi, Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1995,
hal. 37.
2
Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandung: Al ma’arif, cet. Ke III,
hal. 36.
3
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah: Hukum Perdata Islam, cet.
Pertama, Yogyakarta: UII Press, 2000, hal. 7.
4
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-undang
Perkawinan, Bandung: Nuansa Aulia, cet. Ke II. Hal. 2
1
2
mewujudkan rumah tangga yang dibinanya bisa langgeng dan harmonis selama
masa hidupnya. Sedangkan menurut Masdar Hilmi tujuan perkawinan menurut
hukum Islam selain untuk memenuhu kebutuhan jasmani dan rohani, juga
sekaligus untuk membentuk keluarga serta meneruskan dan memelihara
keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia, juga untuk mencegah
perzinahan, dan juga agar terciptanya ketenangan dan ketentraman jiwa bagi
yang bersangkutan, keluarga dan masyarakat.5 Namun pada kenyataanya
mengarungi rumah tangga bukanlah hal yang mudah, banyak cobaan dan hal
tak didalamnya. Adanya perbedaan pendapat, faktor ekonomi, kejenuhan dan
kekurangan materi kadang menjadi duri-duri kecil yang memicu retaknya
hubungan rumah tangga, keluarga yang dulunya harmonis berubah menjdi
percekcokan dan perselisihan yang memaksa semua harus cepat diselesaikan.
bila kisruh rumah tangga yang dijalani sudah tak dapat lagi diatasi dan
didamaikan maka berpisah atau bercerai bisa dijadikan alternative terakhir.
Adapu dasar dari hukum
dari perceraian adalah sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah surat at-Thalaq ayat 1, surat Al-Baqarah, ayat
227 serta hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud
َّ ْ‫سا ٓ َءفَ َط ِلقُو ُهن ِل ِعد َّتِ ِهن َوأ َ ۡحصُواْ ۡٱل ِعدَّةَ َوٱتَّقُوا‬
ۡ‫ٱّلل َربَّكم‬
َ ِ‫يأيها النَّ ِبي ِإذَا َطلَّ ۡقتُم ٱلن‬
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu dapat menghadapi
5
K.N. Sofyan Hasan Dan Warkom Somitro, Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam Di
Indonesia, Bandung: Usaha Nasional, hal. 113.
3
iddahnya (yang wajar) dan hitungan waktu iddah itu serta bertawakalah
kepada Allah tuhanmu.6
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka”.7
‫قال رسول هللاا ص م ابغض الحالل من هللاا الطالق‬
Artinya: Sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah
adalah talak (perceraian). (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Al-Hakim
dari Ibnu Umar).8
Dari beberapa ayat dan hadits di atas menunjukan bahwa talak atau
perceraian adalah pilihan terakhir apabila kehidupan rumah tangga sudah sulit
dipertahankan dan dikhawatirkan akan menimbulkan banyak kemadharatan
bila rumah tangga tersebut dilanjutkan.
Perceraian atau putusnya hubungan perkawinan dalam istilah ahli
fiqh (hukum Islam) adalah “talak” atau “furqah” lawan dari berkumpul.
Adapun definisi percaeraian menurut bahasa berarti “perpisahan” dan
“melepaskan”. Sedangkan menurut syara’ perceraian atau talak adalah
melepaskan ikatan ikatan suami isteri yang syah oleh pihak suami dengan lafal
tertentu atau kata-kata yang kedudukanya seketika itu atau masa mendatang.9
Sedangkan pengertian talak menurut Soemiati dalam bukunya Hukum
Perkawinan Islam Dan Undang-undang Perkawinan ialah segala macam
Yayasan Penterjemah DEPAG R.I, Al-Qur’an dan terjemahnya, tt, hal. 945.
Ibid, hal, 675
8
Ahmad Rofik, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000, hal. 268.
9
Ibrahim Muhammad, Fikih Muslimah, Alih bahasa Zaid Husain Alhamid, cet. Ke III.
Jakarta: Pustaka Amani, 1999, hal. 279
6
7
4
bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami atau dengan adanya
penetapan dari Pengadilan Agama maupun perceraian yang jatuh dengn
sendirinya karena meninggalnya salah satu dari suami atau isteri.10
Dalam hukum Islam, talak merupakan hak seorang suami yan telah
menikahi isterinya dan Allah menjadikan hak talak berada ditangan suami
dengan tidak menjatuhkan talak ditangan orang lain, baik orang lain itu isteri,
saksi atau pengadilan.11 Bahkan Azhar Basyir mengatakan apabila kata sharih
yang dipergunakan oleh suami untuk menjatuhkan talak terhadap isterinya
tanpa memperhatikan apakah waktu mengucapkan ikrar talak isterinya benarbenar berniat mentalak isterinya atau tidak, talak tetap dipandang jatuh.12 Dan
salah satu persoalan yang timbul dari proses perceraian adalah adanya
ketentuan keharusan ikrar talak yang dilakukan di muka sidang pengadian,
sebagaimana ketentuan yang ditegaskan dalam Pasal 39 Ayat (1) Undangundang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Bahwa “Perceraian hanya dapat
dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”13
Dari ketentuan pasal diatas menunjukan adanya keharusan Ikrar talak
dilakukan dimuka sidang pengadilan kecuali adanya dalil atau petunjuk lain.
Ketentuan tersebut dalam pelaksanaanya dijelaskan dalam Peratuaran
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 18 menyebutkan bahwa ” Perceraian ini
10
Soemiati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan,Yogyakarta:
Liberty, 1999, hal. 103.
11
Zakiyah Drajat, Ilmu Fikih, Jilid II, Yogyakarta: Dhana Bhakti Wakaf, 1996, hal. 184.
12
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Pres, 2000, hal. 76
13
Muchsin
5
terhitung mulai pada saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang
pengadilan”.14
Dengan adaya ketentuan Undang-Undang perkawinan No. 1 Tahun
1974 Pasal 39 ayat (1) serta Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang
mengharuskan Ikrar talak dilakukan dimuka sidang pengadilan nampak jelas
ada perbedaan yang sangat mendasar dengan ketentuan hukum Islam tentang
perceraian (Ikrar talak) yang merupakan hak mutlak seorang suami yang bisa
dilakukan kapan saja dan dimana saja sesuai dengan kehendaknya.
Berangkat dari perbedaan itulah penulis bermaksud mengadakan
penelitian lebih lanjut guna melihat lebih jauh bagaimana pandangan hukum
Islam tentang keharusan ikrar talak yang harus dilakukan dimuka sidang
pengadilan sebagaimana ketentuan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 yang menganggap tidak syah atau belum terjadi adanya perceraian pada
perceraian yang dilakukan diluar pengadilan kedalam bentuk skripsi dengan
judul “Keharusan Ikrar talak dimuka sidang Pengadilan menurut UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam Perspektif Hukum Islam”.
B. Penegasan Istilah
Untuk lebih memperjelas permasalahan dan untuk menghindari agar
tidak terjadi kesalah pahaman mengenai judul yang penyusun tulis maka perlu
dijelaskan secara singkat istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan
judul skripsi ini.
14
Arso Sastroatmojo dan Aulawi, Hukum Perkawinan Di Indonesia cetakan kedua,
Jakarta: Bulan Bintang, 1978,hal. 122
6
Adapun istila-istilah tersebut adalah:
1. Ikrar talak
Ikrar adalah memberikan pengakuan atau memberikan suat
keterangan yang membenarkan suatu kenyataan baik untuk dirinya
sendiri atau untuk orang lain.15 Talak adalah perceraian yaitu lepasnya
ikatan perkawinan (nikah) atau bubarnya hubungan perkawinan.16
2. Di Muka Sidang Pengadilan
Di muka sidang adalah dihadapan sesuatu yang menjadi acuan
sebuah pokok permsalahan-permasalahan.17 Sidang pengadilan adalah
suatu pertemuan untuk membahas atau membicarakan suatu persoalan.18
Dengan demikian yang dimaksud disini adalah Ikrar talak yang dilakukan
dihadapan sidang pengadilan yang membahas tentang persoalan
perceraian. Adapun Pengadilan yang dimaksud disini adalah Pengadilan
Agama.
3. Hukum Islam
Kebanyakan di kalangan umat Islam memberikan arti syari’ah dan
fiqh dalam pengertian yang sama, padahal syari’ah adalah segala
ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan semua aspek kehidupan
15
Abdul mujib, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Rieneka Cipta, 1994, hal. 306.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah, Jil. VIII, Cet. I, Bandung: Al Ma’arif, 1987, hal. 9.
17
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta:
Modern English pers, 1991, hal. 1420.
18
Ibid, hal. 1420.
16
7
manusia yang merupakan implementasi dari apa yang tercakup dalam adDin (petunjuk Allah).19
Sedangkan fiqh adalah hukum tentang amal perbuatan manusia yang
diambil dari dalil-dalil yang terperinci.20
Sedangkan Hasbi Ash Shiddiqy
sebagaimana dikutip Abdul Halim Barkatullah Dalam bukunya Hukum Islam
Menjawab Tantangan Zaman, mendefinisikan sebagai suatu koleksi daya
upaya
fuqaha
dalam
menerapkan
syari’at
islam
dengan
kebutuhan
masyarakat.21
Kemudian yang dimaksud hukum Islam disini adalah suatu koleksi
dari hukum syari’at yang digali dari dalil-dalil yang terperinci didalam
ketentuan fiqh. Dan yang dimaksud dalam pembahasan skripsi ini adalah suatu
pembahasan teori atau studi kepustakaan yang berusaha melakukan penelitian
untuk mengetahui pandangan hukum Islam mengenai ketentuan pasal 39
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang mengharuskan Ikrar talak
dimuka sidang pengadilan.
C. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah dan penegasan istilah tersebut,
agar pembahasan tidak terlalu melebar, penulis merumuskan permasalahan
sebagai batasan dalam pembahasan skripsi ini sebagai berikut:
19
Suparman Usman, Hukum Islam Asa-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tatanan Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, hal. 19.
20
Mukhtar Yahya, Fatchurahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fikih Islami,
Bandung: Al ma’arif, 1993, hal. 15.
21
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan
Zaman, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hal. 3.
8
1. Bagaimana konsep perceraian menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 serta alasan-alasan yang menjadikan Ikrar talak harus dilakukan
di muka sidang pengadilan.
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap adanya kemungkinan Ikrar
talak yang dilakukan tidak dimuka sidang pengadilan.
3. Bagaimana akibat hukum dari Ikrar talak yang dilakukan tidak dimuka
sidang pengadilan.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian:
1. Mengetahui alasan-alasan yang menjadikan pokok dasar ketentuan Ikrar
talak harus dilakukan dimuka sidang pengadilan ditinjau dari hukum Islam.
2. Mengetahui Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Ikrar talak yang
dilakukan tidak dimuka sidang pengadilan.
3. Mengetahui akibat hukum dari Ikrar talak yang dilakukan tidak dimuka
sidang pengadilan.
Manfaat penelitian:
1. Diharapkan dari penelitian ini dapat diketahui secara jelas tinjauan hukum
Islam mengenai alasan yang mengharuska Ikrar talak hanya dapat
dilakukan dimuka sidang pengadilan.
2. Dapat diketahui secara jelas pandangan hukum Islam mengenai Ikrar talak
yang dilakukan tidak dimuka sidang pengadilan.
9
3. Diharapkan dapat memperkaya pengetahuan penulis dan memberikan
kontribusi pemikiran dalam bidang hukum Islam khususnya mengenai Ikrar
talak.
E. Telaah Pustaka
Pembahasan maupun kajian terhadap masalah perkawinan dan
perceraian memang sudah banyak dilakukan baik oleh para ulama klasik
maupun dimasa sekarang. Qomarudin Hidayat dalam bukunya Pranata Sosial
di Indonesia Pergaulan social Politik Hukum mengatakan, bahwa perceraian
yang umum berlaku dalam sebuah ikatan perkawinan orang-orang islam di
Indonesia adalah melalui institusi talak yang dalam hal ini suami dapat
menceraikan isterinya sesudah usaha-usaha yang dilakukan Pengadilan Agama
tidak memenuhi hasil yang memuaskan.22
Pernyataan yang sama juga diatur dalam Pasal 39 Ayat (1) UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 bahwa. “Perceraian hanya dapat
dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.23
Adapun ketentuan tatacara perceraian menurut Undang-undang
Perkawinan N0. 1 Tahun 1974 menyatakan: Seoarang suami yang beragama
Islam yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama islam dan akan
menceraikan isterinya mengajukan surat ke pengadilan ditempat tinggalnya
22
Qomarudin Hidayat, Pranata social di Indonesia Pergaulan Sosial Politik Hukum,
Logos, Wacana Ilmu, hal.74
23
Undang-undang Perkawinan Di Indonesia, Surabaya: Arloka, 2002, hal.47
10
yang berisi pemberitahuan.24 Sedangakn Ahmad Rofik dalam bukunya
menjelaskan pada dasarnya tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban
dan tanggung jawab orang tuanya, baik orang tuanya masih hidup rukun
maupun sudah bercerai.25
Idris Ramulyo dalam bukunya juga menyatakan hal yang sama bahwa
suami yang menjatuhkan talak pada isterinya wajib membayar nafkah pada
anak-anaknya.26
Adapun mengenai akibat-akibat perceraian yang terjadi karena ikrar
talak tidak dilakukan di muka sidang pengadilan diantarany ditulis oleh Haifa
A. Jawad yang mana membahas tentang kasus perceraian yang diputuskan
menurut prosedur pengadilan, serta tanggung jawab terhadap mantan pasangan
baik yang berkaitan dengan pemeliharaan anak maupun upah yang harus
diberikan seorang ayah kepada sesorang yang memeliharanya.
Meskipun sudah banyak buku-buku yang membahas tentang
perceraian tetapi penulis bermaksud menambah wahana belajar dengan
mengkaji tentang perceraian yang mengharuskan dilakukannya Ikrar talak di
muka sidang pengadilan dan akibat hukum yang mungkin terjadi karena
terjadinya perceraian serta banyaknya penafsiran yang berbeda terhadap Pasal
39 undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
24
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Adat Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 2003, hal.170.
25
Ahmad Rofik, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995 hal. 247.
26
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hal. 115.
11
Untuk itu, melalui skripsi ini penulis tertarik untuk ikut mengkaji
masalah perceraian yang pembahasanya terfokus pada keharusan Ikrar talak
dimuka sidang pengadilan ditinjau dari aspek hukum islam.
Dengan skripsi penulis berharap agar setiap perceraian yang dilakukan
, disamping mentaati ketentuan dari hukum Islam juga harus mengikuti
ketentuan dari perundang-undangan yang berlaku agar kepastian hukum dan
hak-hak keperdataan yang timbul akibat perkawinan tidak terabaikan.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini dalam kategori penelitian kepustakaan atau library
research bukan studi lapangan, yaitu menganalisis buku-buku dan
menghasilkan suatu kesimpulan. Maksudnya adalah menjadikan bahan
pustaka sebagai bahan kajian primer.
2. Metode Pengumpula Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunkan metode
dokumentasi yaitu: mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang
berupa catatan, transkip, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
agenda dan sebagainya.27 Metode ini digunakan dalam rangka untuk
melakukan pencatatan dokumen maupun data yang mempunyai nilai historis
yang berkaitan dengan permasalahan dan pembahasan.
27
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet ke 11,
Jakarta: Rieneka Cipta, 1998, hal. 236.
12
3. Jenis-Jenis Data
a. Data Primer
Data primer dimaksud adalah sumber-sumber data yang dapat
memberikan data langsung dari sumber pertama. Hal ini bisa berupa
sumber asli baik berupa dokumen maupun peninggalan lainya.28
Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau
library research, maka yang menjadi yang termasuk sumber primer
adalah
Al-Qur’an,
Al-Hadits
dan
terjemahnya.
Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Peratura Pemerintah No. 9 Tahun
1975.
b. Data Sekunder
Yang dimaksud dengan data sekunder yaitu sumber data yang
mengutip dari sumber lain.29 Dan yang termasuk data sekunder dalam
penulisan ini adalah buku-buku atau catatan-catatan yang dapat
mendukung terselesaikanya penulisan tersebut seperti makalah, diktat
dan sebagainya yang dapat dikategorikan se3bagai sumber referensi.
5. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
yaitu satu sumber idea untuk diteliti yang merupakan bahan bacaan
28
29
Wisnu Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1994, hal. 134.
Ibid, hal. 135.
13
mengenai hasil penelitian-penelitian yang permah dilakukan dengan kajian
yang sama.30
6. Metode Analisa Data
Dalam menganalisa data-data
yang telah terkumpul, penulis
menggunakan metode Analisis deskriptif yaitu usaha untuk menyusun data
yang diusahakan dengan adanya analisis dan interpretasi atau penafsiran
terhadap data-data tersebut.31 Jadi, secara garis besarnya kajian ini dimulai
dari telaah suatu ide atau gagasa para ahli hukum Islam tentang ikrar talak.
Selanjutnya konsep-konsep tersebut dideskripsikan dengan metode Conten
analisis yang selanjutnya diterjemahkan sebagai analisis atau kajian tentang
isi, sementara analisis atau kajian itu sendiri diartikan sebagai tekhnik.
32
Metode analisis isi untuk menganalisa data-data yang ada guna memperkuat
dan memberi pemahaman tentang pokok-pokok kajian serta pandangan
hukum Islam terhadap keharusan ikrar talak di muka sidang pengadilan
sebagai obyek hukumnya.
30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: U.I, Press, 1984, hal. 201.
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1994, hal. 139.
32
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, hal. 22.
31
Download