studi penambahan tepung sagu termodifikasi terhadap

advertisement
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
ISSN: 2527-6271
2017
J. Sains dan Teknologi Pangan
Vol. 2, No.3, P. 590-603, Th. 2017
STUDI PENAMBAHAN TEPUNG SAGU TERMODIFIKASI TERHADAP KUALITAS SENSORIK
DAN FISIKOKIMIA OTAK-OTAK CUMI
(Study of The Addition of Modified Sago Starch on Sensoric Quality and Physicocchemical of “Otak-Otak Cumi”)
Sinta Anggraini1)*, Ansharullah1), Andi Besse Patadjai2)
1)Jurusan
Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Halu Oleo
Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Halu Oleo
2) Jurusan
*Email: [email protected] ; Telp: +6282292956265
ABSTRACT
The aim of this research was to study the effect of addition of modified sago starch on the sensory and
physicochemical quality of “otak-otak cumi”. This study used a Completely Randomized Design (RAL), consisting of three
treatments. The result showed that the addition of modified sago flour (P3) had the result of sensory test of aroma ie. 3.4
(slightly more smelled), odor of 4 (slightly smelled), color of 4.5 (slightly white), appearance of 3.5 (Slightly mild), shiness of
2.1 (slightly glossy), elastic of 3 (chewy), juiceness of 3.1 (tasty juicy), sandy of 3.9 (slightly tasted), umami of 3.2 (tasty),
sweet taste of 1.9 (slightly noticeable), salt taste of 2.7 (slightly noticeable). Modified sago flour had swelling power, solubility
and pH were 80.31%, 24.5% and pH 5.93%, respectively. While the contents of moisture, ash, fat, protein, carbohydrate and
crude fiber of P3 sample were 65,55%, 5,86%, 11,69%, 73,75% , 9.2% and 3.19%, respectively.
Keywords : Physicochemical, otak-otak, starch modification, Sensory.
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mempelajari pengaruh penambahan tepung sagu termodifikasi
terhadap kualitas sensorik dan fisikokimia otak-otak cumi. Metode penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
Kelompok dengan 3 perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung sagu
termodifikasi (P3) memiliki hasil uji sensorik aroma 3,4 (agak lebih tercium), odor 4 (sedikit tercium), warna 4,5
(sedikit agak putih), appearance 3,5 (sedikit agak halus), shiness 2,1 (agak mengkilap, kekenyalan 3 (kenyal),
juiceness 3,1 (terasa juicy), sandy 3,9 (agak sedikit terasa), umami 3,2 (terasa), cita rasa manis 1.9 (agak sedikit
terasa), cita rasa asin 2,7 (agak terasa). Tepung sagu termodifikasi memiliki nilai daya kembang, kelarutan dan pH
berturut-turut sebesar 80,31%, 24,5% dan pH 5,93%. Sedangkan kadar air, abu, lemak, protein,karbohidrat dan
serat kasar pada sampel P3 berturut-turut yakni 65,55%, 5,86%, 11,69%, 73,75%, 9,2% dan 3,19%.
Kata kunci: Fisikokimia, Otak-otak, Pati modifikasi, Sensorik.
PENDAHULUAN
Pati sagu alami (belum dimodifikasi) memiliki banyak kekurangan pada karakteristiknya seperti
membutuhkan waktu yang lama untuk pemasakan sehingga membutuhkan energi tinggi, pasta yang terbentuk
keras dan tidak bening, selain itu sifatnya yang terlalu lengket dan tidak tahan dalam perlakuan asam, sehingga
590
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
ISSN: 2527-6271
2017
J. Sains dan Teknologi Pangan
Vol. 2, No.3, P. 590-603, Th. 2017
apabila pati murni diaplikasikan ke dalam pembuatan produk, maka hasil yang diperoleh tidak akan maksimal
(Widyastuti, 2012). Pati Sagu dapat dicegah kerusakannya serta mampu ditingkatkan kualitasnya dengan cara
mengubahnya menjadi tepung sagu termodifikasi melalui proses fermentasi dengan menggunakan
mikroorganisme. Buckle (2008) melaporkan bahwa, metode fementasi aerob dengan penambahan
mikroorganisme menyebabkan perubahan-perubahan yang menguntungkan, seperti perbaikan mutu bahan
pangan baik dari aspek gizi maupun daya cernanya serta meningkatkan daya simpannya.
Hermansyah (2015) melaporkan bahwa fermentasi pati dengan menggunakan mikroba Lactobacillus
casei dengan lama fermentasi 36 jam pada fermentasi aerob menghasilkan tepung yang cerah dan tingkat
penerimaan panelis yang tinggi. Pati hasil fermentasi tersebut selanjutnya disebut sebagai pati sagu termodifikasi.
Berdasarkan penelitian yang telah dilaporkan oleh Evillya (2010) bahwa Lactobacillus casei merupakan bakteri
yang bisa memecah protein (proteolitik), karbohidrat (amilolitik) dan lemak. Lactobacillus casei yang bersifat
amilolitik mampu memotong ikatan α-1,4-glukosidik dan α-1,6-D-glukosidik hingga menghasilkan molekul pati
yang lebih pendek sehingga pati akan lebih larut dengan viskositas yang lebih rendah dan menghasilkan struktur
gel yang lebih kuat pada produk. Surono (2004) melaporkan bahwa fermentasi yang melibatkan Lactobacillus
casei menjadi penting dalam pengolahan makanan, karena kemampuannya dapat mengawetkan makanan, dan
memproduksi berbagai macam senyawa yang berperan terhadap flavour, warna, tesktur serta konsistensi dari
makanan fermentasi.
Pengolahan tepung sagu termodifikasi menjadi beberapa produk olahan merupakan upaya diversifikasi
berbasis pangan lokal serta mengurangi tingginya impor gandum di Indonesia. Salah satu bentuk makanan olahan
yang dapat dikembangkan dari tepung sagu termodifikasi adalah otak-otak. Otak-otak merupakan modifikasi
produk olahan antara bakso dan kamaboko, yang terbuat dari ikan berdaging putih dengan penambahan tepung,
santan, STPP 0.3% dan bumbunya, dibungkus memanjang dengan daun kemudian dikukus. Otak-otak
merupakan makanan khas Indonesia (Karim, 2013). Produk otak-otak digemari masyarakat karena rasanya enak,
cara pengolahannya sederhana, praktis dan mudah disajikan.
Standar mutu otak-otak menurut SNI 7757:2013 adalah memiliki kadar air maksimal 60,0%, kadar abu
maksimal 2,0%, kadar protein minimal 5,0% dan kadar lemak 16.0%. Ikan laut yang digunakan sebagai bahan
utama dalam pembuatan otak-otak biasanya adalah ikan tenggiri, sotong, dan udang namun dalam penelitian ini
menggunakan cumi-cumi hal ini dikarenakan produk cumi-cumi sebagai konsumsi lokal di Indonesia masih sangat
terbatas serta kandungan protein daging cumi-cumi cukup tinggi, dalam 100 g daging cumi-cumi mengandung
591
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
ISSN: 2527-6271
2017
J. Sains dan Teknologi Pangan
Vol. 2, No.3, P. 590-603, Th. 2017
15,3 g protein; 1,0 g lemak; 79,3 g air; 1,8 g abu; 3 g karbohidrat dan menghasilkan energi sebesar 89 kalori,
sedangkan kolesterol tidak diternukan (Poerwadi, 1984).
Berdasarkan latar belakang uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian “studi penambahan tepung
sagu termodifikasi terhadap kualitas sensorik dan fisikokimia otak-otak cumi”.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan utama dan bahan kimia untuk analisis
analisis fisikokimia. Bahan utama untuk pembuatan otak-otak adalah daging cumi-cumi, tepung sagu
termodifikasi, tepung tapioka, STPP, bawang putih, lada, gula, santan, garam. Bahan kimia untuk analisis
fisikokimia adalah n-heksan (Merck, 99%), Aquadest, larutan biuret, larutan pH 4 dan 7.
Pembuatan Tepung Sagu Termodifikasi
Pengambilan tepung sagu diperoleh dari pasar tradisional di kota Kendari, kemudian dihancurkan atau
dihaluskan agar dapat menyerap air. Tepung sagu basah ditimbang sebanyak 100 g kemudian tepung sagu
basah dimasukkan ke dalam toples, penambahan aquadest sebanyak 600 ml melalui erlenmeyer ukuran 1000 mL
serta penambahan Lactobacillus casei sebanyak 1 ml (tuliskan acuannya) yang diperoleh dari susu yakult. Proses
fermentasi yang dilakukan adalah fermentasi aerob dengan menggunakan aerator.
Analisis Fisikokimia Tepung Sagu Termodifikasi
Analisis fisikokimia yang dilakukan meliputi daya kembang pati (swelling power), kelarutan pati (solubility),
dan pengukuran pH berdasarkan metode rumus modifikasi (Jiang et al., 2012; Riley et al., 2006).
Pembuatan Otak-otak
Prosedur pembuatan otak-otak ini telah dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut : terlebih dahulu
dilakukan penyiangan dan pencucian terhadap cumi-cumi segar dengan tujuan untuk memisahkan kepala, tinta,
membran dan daging cumi segar menggunakan air dingin dengan suhu < 10ºC untuk menghilangkan kotoran
kemudian dilakukan penirisan, setelah penirisan dilakukan penggilingan daging cumi, pada proses penggilingan
daging cumi ditambahkan garam 2 gr dan STPP 0.5 gr setelah itu tahap pengadonan, pada tahap pengadonan
ditambahkan berdasarkan perlakuan (P1, P2 dan P3) dan bumbu-bumbu tambahan yaitu bawang putih, lada,
putih telur dan santan, kemudian dilakukan proses pengukusan. Sampel dngan kode P1, P2, dan P3 berturut-turut
592
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
ISSN: 2527-6271
2017
J. Sains dan Teknologi Pangan
Vol. 2, No.3, P. 590-603, Th. 2017
yaitu cumi-cumi 100 g : tepung tapioka 400 gr, cumi-cumi 100 g : tepung tapioka 50 g : tepung sagu modifikasi 50
g, cumi-cumi 100 g : tepung sagu modifikasi 400 g.
Uji Sensorik
Uji sensorik ini bermaksud untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap kualitas sensorik
produk otak-otak cumi. Penilaian sensorik meliputi aroma (aroma cumi), odor (amis tidak menyenangkan), warna,
appearance (tingkat kehalusan), shiness (mengkilap), kekenyalan, juiceness, sandy (berpasir), umami
(gurih,enak), sweetness (manis), saltiness (asin). Uji sensorik dilakukan dengan mengisi lembar respon panelis
(Lampiran). Lembar isian respon panelis diisi oleh panelis yang berjumlah sebanyak 22 orang yang telah melewati
tahap training panelis, sehingga panelis yang digunakan dalam penelitian ini adalah panelis semi telatih, panelis
memberikan skor sesuai tanggapan panelis terhadap produk otak-otak.
Analisis Kualitas Kimia
Analisis kualitas kimia otak-otak dengan penambahan tepung sagu termodifikasi yaitu analisis kadar air,
abu, protein dan lemak berdasarkan metode AOAC (2005). Sedangkan analisis kadar karbohidrat berdasarkan
metode by different (Winarno, 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Sensorik
Hasil rataan atribut sensorik pada sampel P1, P2 dan P3 meliputi penilaian aroma (aroma cumi), odor (amis
tidak menyenangkan), warna, appearance (tingkat kehalusan), shiness (mengkilap), kekenyalan, juiceness, sandy
(berpasir), umami (gurih,enak), sweetness (manis), saltiness (asin) dapat diltuliskan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan atribut sensorik dan standar deviasi produk otak-otak cumi dengan penambahan tepung tapioka,
tepung sagu termodifikasi dan kombinasi ke dua tepung.
No.
Atribut
Sensorik
1
Aroma
2
Odor
3
4
Warna
Appearance
Sampel
P2
P1
4.1 (lebih kuat tercium )
± 0,76
3.9 (Agak Lebih Tercium)
± 1,09
7.1 (Sangat putih)
± 2,16
4.1 (Agak Halus)
3.8 (Kuat Tercium,)
± 0,88
4.1(Sedikit Tercium)
± 1,01
5.4 (Agak Putih)
± 1,71
4 (Agak Halus)
593
P3
3.4 (Agak Lebih Tercium)
± 1,12
4 (Sedikit Tercium)
±1
4.5 (Sedikit Agak Putih)
± 2,20
3.5 (Sedikit Agak Halus)
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
ISSN: 2527-6271
2017
J. Sains dan Teknologi Pangan
Vol. 2, No.3, P. 590-603, Th. 2017
± 1.03
± 0,91
± 1,06
3.9 A(gak Lebih Mengkilap)
3.1 (Lebih Mengkilap)
2.1 (Agak Mengkilap)
5
Shiness
± 1,07
± 1,04
± 1,04
3.4 (Kenyal)
3.3 (Kenyal)
3 (Kenyal)
6
Kekenyalan
± 1,20
± 3,59
±1
3.5(Agak Kuat Terasa Juicy)
3.3 (Terasa Juicy)
3.1 (Terasa Juicy)
7
Juiceness
± 1,17
± 0,89
± 1,04
4.5 (Agak Tidak Terasa)
4.3 (Sedikit Terasa)
3.9 (Agak Sedikit Terasa)
8
Sandy
± 0,73
± 0,71
± 0,82
3.5 (Agak Kuat Terasa)
3.6 (Agak Kuat Terasa)
3.2 (Terasa)
9
Umami
± 0,98
± 0,92
± 0,92
2.1 (Sedikit Terasa)
2 (Sedikit Terasa)
1.9 (Agak Sedikit Terasa)
10 Sweetness
± 1,15
± 0,94
± 0,94
2.7 (Agak Terasa)
2.8 (Agak Terasa)
2.7 (Agak Terasa)
11 Saltiness
± 0,89
± 0,99
± 0,95
Keterangan:
Angka-angka yang diikuti oleh notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata berdasarkan uji LSD α
0,05 taraf kepercayaan 95%.
Aroma
Aroma merupakan salah satu parameter yang menjadi daya tarik tersendiri untuk oleh panelis untuk
menentukan rasa enak dari suatu makanan, dalam industri pangan pengujian terhadap aroma dianggap penting
karena aroma makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan dan dapat memberikan hasil penelitian
terhadap produk tentang diterima atau ditolaknya suatu bahan pangan (Soekarto, 1985). Pada umumnya, bau
yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan perpaduan empat bau utama yaitu harum, asam,
tengik, dan hangus (Winarno 1997).
Aroma yang muncul disebabkan oleh bumbu-bumbu seperti bawang putih yang memberikan aroma dan
bau yang kuat berasal dari minyak volatil yang mengandung komponen sulfur (Maatz, 1976). Komponen volatil ini
akan muncul bila sel pecah sehingga terjadi reaksi antara enzim lipase dan komponen flavor seperti metil dan
turunan propil (Lewis, 1984).
Berdasarkan hasil penilaian uji sensorik pada sampel (P1) diperoleh nilai rataan 4.1 yaitu lebih kuat
tercium aroma cumi dan pada sampel (P2) diperoleh nilai rataan 3.8 yaitu agak lebih kuat tercium sedangkan
pada sampel (P3) diperoleh nilai rataan 3.4 yaitu lebih kuat tercium. (Nurjannah et al., 2005) yang menyatakan
bahwa adanya komponen volatil yang terbentuk pada proses pemanasan (pengukusan) dari bahan utama dan
bumbu-bumbu yang sama sehingga tidak menyebabkan perbedaan aroma.
594
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
ISSN: 2527-6271
2017
J. Sains dan Teknologi Pangan
Vol. 2, No.3, P. 590-603, Th. 2017
Odor
Perbedaan aroma dan odor adalah aroma berkonotasi positif sedangkan odor berkonotasi negatif,
walaupun keduanya sama-sama di respon oleh indra penciuman. Berdasarkan hasil penilaian uji sensorik odor
pada sampel (P1) diperoleh nilai rataan 3.9 yaitu agak sedikit tercium dan sampel (P2) diperoleh nilai rataan 4.1
yaitu tidak ada odor sedangkan pada sampel (P3) diperoleh nilai rataan 4 yaitu sedikit tercium.
Warna
Warna merupakan komponen yang sangat penting dalam menentukan kualitas atau derajat penerimaan
dari suatu bahan pangan. Pembentukan warna pada produk otak-otak dengan penambahan tepung sagu
termodifikasi. dipengaruhi oleh komposisi bahan penyusunnya. Winarno (2004) melaporkan bahwa selain sebagai
faktor yang ikut menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan.
Baik tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang seragam dan
merata. Suatu bahan makanan yang bernilai gizi, enak dan teksturnya sangat baik kurang disukai apabila memiliki
warna yang kurang sedap dipandang atau memberikan kesan telah menyimpang dari warna seharusnya.
Hasil penilaian uji sensorik warna pada sampel (P1) diperoleh nilai rataan 7.1 yaitu sangat putih dan
pada sampel (P2) diperoleh nilai rataan 5.4 yaitu agak putih sedangkan pada sampel (P3) diperoleh nilai rataan
4.5 yaitu sedikit agak putih.
Appearance (Tingkat Kehalusan)
Proses penggilingan adonan otak-otak yang merata akan meningkatkan kehalusan permukaan otak-otak
yang dihasilkan. Penggunaan air es dalam penggilingan adonan otak-otak dapat membantu proses homogenisasi
adonan otak-otak secara merata. Wibowo (2006) menyatakan bahwa kriteria mutu sensorik otak-otak dari segi
tingkat kehalusan permukaan halus dan memiliki ukuran yang seragam.
Berdasarkan hasil penilaian uji sensorik tingkat kehalusan pada sampel (P1) diperoleh nilai rataan 4.1
yaitu agak halus dan sampel (P2) diperoleh nilai rataan 4 yaitu agak halus sedangkan pada sampel (P3) diperoleh
nilai rataan 3.5 yaitu sedikit agak halus.
Shiness (Mengkilap)
Otak-otak yang bermutu baik berwarna putih, mengkilap dengan tekstur kenyal, halus dan tidak berserat.
Berdasarkan hasil penilaian uji sensorik shiness pada sampel (P1) diperoleh nilai rataan 3.9 yaitu agak lebih
mengkilap dan pada sampel (P2) diperoleh nilai rataan 3.1 yaitu mengkilap sedangkan pada sampel (P3)
diperoleh nilai rataan 2.1 yaitu agak mengkilap.
595
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
ISSN: 2527-6271
2017
J. Sains dan Teknologi Pangan
Vol. 2, No.3, P. 590-603, Th. 2017
Kekenyalan
Tekstur merupakan faktor yang penting dalam pemilihan produk. Tekstur adalah sesuatu yang dapat
diamati dengan indera peraba, baik tekstur permukaan, kekenyalan. Tekstur atau viskositas bahan dapat
mengubah rasa dan bau yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel
reseptor olfaktori dan kelenjar air liur. Menurut Pantastico (1997), sifat tekstur adalah sifat yang menyangkut rasa
bila dicoba, ketegaran, kekerasan dan kelunakan.
Berdasarkan hasil penilaian uji sensorik kekenyalan pada sampel (P1) diperoleh nilai rataan 3.4 yaitu
agak lebih kenyal dan pada kombinasi sampel (P2) diperoleh nilai rataan 3.3 yaitu kenyal sedangkan pada sampel
(P3) diperoleh nilai rataan 3 kenyal yaitu agak mengkilap. Pada penelitian ini untuk ke 3 perlakuan di tambahkan
STPP sebanyak 0.5 gram Fungsi STPP adalah untuk mempengaruhi tekstur mi menjadi lebih kenyal, selain itu
juga dapat mengikat aktivitas air sehingga kerusakan mikrobiologis dapat dicegah. Penggunaan STPP yang
diizinkan adalah 3 g per kilogram berat adonan atau 0,3%.
Juiceness (Kebasahan)
Juiceness merupakan kemampuan daging untuk melepaskan jus (cairan daging) selama pengunyahan,
sebaliknya kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan air disebut sebagai water holding
capacity (WHC). Kebasahan merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam penilaian kualitas daging, bersama
dengan keempukan dapat menjelaskan sampai > 80 % pilihan konsumen dinegara maju terhadap kualitas daging.
Daging yang empuk pada umumnya pada saat gigitan pertama akan menghasilkan jus yang cukup berarti.
Terdapat korelasi yang baik antara pelepasan jus daging dengan keempukan.
Berdasarkan hasil penilaian uji sensorik juiceness pada perlakuan sampel (P1) diperoleh nilai rataan 3.5
yaitu agak kuat terasa juicy dan pada sampel (P2) diperoleh nilai rataan 3.3 yaitu terasa juicy sedangkan pada
sampel (P3) diperoleh nilai rataan 3.1 yaitu terasa juicy.
Sandy (Berpasir)
Sandy merupakan sensasi yang dirasakan pada saat mengunyah suatu bahan makanan apakah terasa
seperti berpasir atau tidak. Berdasarkan hasil penilaian uji sensorik sandy pada sampel (P1) diperoleh nilai rataan
4.5 yaitu agak tidak terasa dan pada sampel (P2) diperoleh nilai rataan 4.3 yaitu agak sedikit tidak terasa
sedangkan pada sampel (P3) diperoleh nilai rataan 3.9 yaitu agak tidak terasa.
Umami (gurih, enak)
Atribut rasa umami merupakan yang sangat penting dalam menentukan keputusan konsumen untuk
menerima atau menolak suatu produk makanan. Rasa dimulai melalui tanggapan rangsangan kimiawi oleh indera
596
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
ISSN: 2527-6271
2017
J. Sains dan Teknologi Pangan
Vol. 2, No.3, P. 590-603, Th. 2017
pencicip (lidah) hingga akhirnya terjadi keseluruhan interaksi antara sifat-sifat aroma, rasa dan tekstur sebagai
keseluruhan rasa makanan yang dinilai (Agustina, 2008). Agar suatu senyawa dapat dikenali rasanya, senyawa
tersebut harus larut dalam air liur sehingga dapat mengadakan hubungan mikrovillus dan impuls yang terbentuk
dikirim melalui syaraf ke pusat syaraf (Winarno, 2002).
Hasil penilaian uji sensorik umami pada sampel (P1) diperoleh nilai rataan 3.5 yaitu agak kuat terasa
dan pada sampel (P2) diperoleh nilai rataan 3.6 yaitu agak kuat terasa sedangkan pada sampel (P3) diperoleh
nilai rataan 3.2 yaitu terasa.
Winarno (2004) melaporkan bahwa rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti senyawa kimia, suhu,
konsentrasi komponen-komponen bahan penyususun mie dan interaksi komponen rasa yang lain. Berbagai
senyawa kimia dapat menimbulkan rasa yang berbeda, seperti rasa manis yang ditimbulkan oleh senyawa organik
alifatik yang memiliki gugus OH. Selain itu rasa asin dihasilkan oleh garam-garam lainnya seperti iodida dan
bromida. Rasa yang ditimbulkan dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah penambahan bumbu
(garam, bawang putih, merica, gula, dan santan).
Sweetness (Rasa Manis)
Berdasarkan hasil penilaian uji sensorik rasa manis pada sampel (P1) diperoleh nilai rataan 2.1 yaitu
sedikit terasa dan pada kombinasi sampel (P2) diperoleh nilai rataan 2 yaitu sedikit terasa sedangkan pada
sampel (P3) diperoleh nilai rataan 1.9 yaitu agak sedikit terasa.
Pada penelitian ini ditambahkan gula sebesar 0.5 gr untuk setiap perlakuan. Gula merupakan istilah
umum yang sering diartikan bagi setiap karbohidrat yang digunakan sebagi pemanis serta penggunaannya
dengan konsentrasi yang kecil 2-3% mampu mempertahankan citarasa dari makanan. Penambahan sukrosa
berguna untuk memberikan rasa manis, mengawetkan, dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme dari
bahan olahan karena mampu mengikat air yang terkandung pada bahan pangan sehingga mempunyai sifat
sebagai pengawet dan memberikan rasa manis pada bahan pangan (Buckle dkk., 2009).
Saltiness (Rasa Asin)
Rasa merupakan persepsi dari sel pengecap meliputi rasa asin, manis, asam, dan pahit yang
diakibatkan oleh bahan yang terlarut dalam mulut (Meilgaard et al., 1999). Berdasarkan hasil penilaian uji
sensorik rasa asin pada sampel (P1) diperoleh nilai rataan 2.7 yaitu agak terasa dan pada sampel (P2) diperoleh
nilai rataan 2.8 yaitu agak terasa sedangkan pada sampel (P3) diperoleh nilai rataan 1.9 yaitu agak sedikit
terasa.
597
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
ISSN: 2527-6271
2017
J. Sains dan Teknologi Pangan
Vol. 2, No.3, P. 590-603, Th. 2017
Analisis Kualitas Kimia Otak-otak
Analisis kualitas kimia produk otak-otak terpilih meliputi kadar air, kadar abu , kadar lemak, kadar protein,
kadar karbohidrat dan serat kasar disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai analisis kualitas kimia produk otak-otak cumi.
Sampel
No.
Parameter
P1 (%)
P2 (%)
P3 (%)
1
Kadar Air
62.43
55.78
65.55
2
Kadar Abu
4.12
2.28
5.86
3
Kadar Lemak
10.32
8.23
11.69
4
Kadar Protein
53.1
48.32
73.75
5
Kadar Karbohidrat
8.4
8.8
9.2
6
Serat Kasar
1.57
2.08
3.19
Kadar Air
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan,
tekstur, serta cita rasa makanan. Kandungan air dalam bahan makanan menentukan penerimaan, kesegaran dan
daya tahan bahan tersebut (Winarno, 2004). Oleh karena itu, dilakukan analisis kadar air dengan tujuan untuk
mengetahui jumlah air yang terdapat pada produk otak-otak yang dihasilkan. Jumlah kadar air dalam produk
otak-otak akan berpengaruh terhadap tekstur maupun citarasanya. Berdasarkan hasil penelitian ini kandungan
kadar air pada sampel P1, P2 dan P3 berturut-turut sebesar 62,43%, 55.78% dan 65.55%. Kadar air produk otakotak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu maksimal 60,0% (Badan Standardisasi Nasional,
2013).
Produk bahan pangan dengan kadar air yang rendah dan kandungan pati tinggi akan menyerap air dari
udara sekitarnya sehingga kadar air meningkat. Hal ini disebabkan oleh adanya reaksi hidrasi yang terjadi dalam
bahan pangan. Reaksi hidrasi bahan pangan merupakan karakter fisik yang meliputi interaksi antara bahan
pangan dengan molekul air yang terkandung di dalamnya dan molekul air di udara sekitarnya (Ayatullah, 2012).
598
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
ISSN: 2527-6271
2017
J. Sains dan Teknologi Pangan
Vol. 2, No.3, P. 590-603, Th. 2017
Menurut Winarno (2004), suatu bahan pangan yang tinggi kadar airnya akan semakin cepat busuk
daripada bahan pangan dengan kadar air yang rendah. De Man (1997), melaporkan bahwa kadar air dapat
mempengaruhi penurunan mutu makanan secara kimia dan mikrobiologi.
Kadar Abu
Kadar abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu
berhubungan dengan mineral suatu bahan. Kadar abu erat hubungannya dengan kadar air. Ketika kadar air tinggi
maka kadar abu rendah,
hal ini disebabkan karena bahan masih banyak mengandung air. Secara sederhana
abu imerupakan bahan kering atau bahan yang dihasilkan setelah pembakaran.
Berdasarkan hasil penelitian ini kandungan kadar abu pada sampel P1, P2 dan P3 berturut-turut sebesar
1.55%, 1.01 % dan 2.02%.
Kadar Lemak
Lemak merupakan zat makanan yang penting untuk kesehatan tubuh manusia. Selain itu lemak juga
terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan kandungan yang berbeda-beda (Winarno, 2004). Ketaren
(2005), melaporkan bahwa lemak terdiri dari trigliserida campuran, yang merupakan ester dari gliserol dan asam
lemak rantai panjang. Penentuan kadar lemak suatu bahan dapat dilakukan dengan menggunakan soxhlet
apparatus. Cara ini dapat digunakan untuk ekstraksi minyak dari bahan yang mengandung minyak (Ketaren,
2005).
Lemak dan minyak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan kandungan yang berbeda-beda
(Winarno, 2004). Lemak yang terdapat pada jaringan hewan maupun tumbuhan dapat diperoleh dengan cara
ekstraksi menggunakan pelarut organik (Khopkar, 1990). Lemak adalah zat organik nonpolar yang larut dalam
pelarut non polar seperti potroleum eter, kloroform, n-heksan, dietil eter (Gaman, 1994).
Berdasarkan hasil penelitian ini kandungan kadar lemak pada sampel P1, P2 dan P3 berturut-turut
sebesar 3.88%, 3.64% dan 4.03%. Syarat mutu lemak dengan ketetapan SNI yaitu maksimal 16%.
Kadar Protein
Menurut Winarno (2004), protein merupakan zat makanan yang penting bagi tubuh manusia, karena
berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh dan juga sebagai bahan pembangun dan pengatur. Metode yang
digunakan untuk analisis protein adalah metode Biuret, metode ini khusus untuk menganalisis protein sebagai
polimer yang mengandung ikatan peptida, dengan prinsip reaksi antara ikatan peptida dengan pereaksi Biuret
yang membentuk warna ungu, akan dibaca intensitasnya sebagai absorbansi yang dapat dikonversi dalam
perhitungan menjadi konsentrasi (Soedarmo et al., 1988)
599
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
ISSN: 2527-6271
2017
J. Sains dan Teknologi Pangan
Vol. 2, No.3, P. 590-603, Th. 2017
Hasil penelitian kandungan kadar protein pada sampel P1, P2 dan P3 berturut-turut sebesar sebesar
19.9, 21.37% dan 25.41%, kandungan kadar protein terdadi peningkatan pada perlakuan P3 yaitu 25.41% hal
tersebut menunjukan bahwa tepung sagu termodifikasi terbukti memberikan kontribusi nilai protein tinggi,
Lacctobacilus casei
merupakan protein mikroorganisme bersel 1. Proses pemanasan dengan suhu tinggi
menyebabkan rusaknya struktur potein, sehingga dapat mengurangi kandungan protein yang ada dalam bahan
tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Winarno, (2004) bahwa denaturasi protein dapat terjadi
karena panas, pH, bahan kimia, mekanik dan sebagainya, dengan cara tersebut urea dan garam guanidin dapat
memecah interaksi hidrofobik dan meningkatkan daya kelarutan gugus hidrofobik dalam air. Hal ini sesuai dengan
yang dilaporkan Suwetja, (2011) menyatakan bahwa bila daging yang dimasak maka panas yang diberikan akan
mengkoagulasikan protein dalam mioglobin sehingga gugus heme yang ada akan terbuka terhadap serangan
oksigen dan teroksidasi menjadi hemin, sehingga kadar protein berkurang.
Kadar Karbohidrat
Karbohidrat memegang peranan penting dalam alam karena merupakan sumber energi utama bagi
manusia dan hewan yang harganya relatif murah (Almatser, 2009). Karbohidrat tersusun sebagai polihidroksida
aldehid atau polihidroksiketon. Di alam, karbohidrat merupakan hasil sintesa CO2 dan H2O dengan pertolongan
sinar matahari dan hijau daun. Hasil fotosintesa ini kemudian mengalami polimerisasi menjadi pati dan senyawasenyawa bermolekul besar lain yang menjadi cadangan makanan pada tanaman. Karbohidrat ini merupakan
sumber kalori atau mikronutrien utama bagi mahluk hidup. Selain itu juga, karbohidrat memegang peranan penting
dalam teknologi makanan sebagai pengental, bahan penstabil dan sebagai pemanis (sukrosa, glukosa dan
fruktosa) (Sudarmadji, 2007).
Karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan misalnya
rasa, warna, tekstur, dan lain-lain, sedangkan dalam tubuh karbohidrat berguna untuk mencegah timbulnya
ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral, dan berguna untuk membantu
metabolisme lemak dan protein (Winarno, 2004). Berdasarkan hasil penelitian ini kandungan kadar karbohidrat
pada sampel P1, P2 dan P3 berturut-turut sebesar 8.4%, 8,8% dan 9.2 %.
Kadar Serat Kasar
Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang
digunakan untuk rnenentukan kadar serat kasar, yaitu asarn sulfat (H2SO4 1,25 %) dan natriurn hidroksida (NaOH
1,25 %), sedangkan serat pangan adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzimenzim pencernaan. Oleh karena itu, kadar serat kasar nilainya lebih rendah dibandingkan dengan kadar serat
600
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
ISSN: 2527-6271
2017
J. Sains dan Teknologi Pangan
Vol. 2, No.3, P. 590-603, Th. 2017
pangan, karena asarn sulfat dan natriurn hidroksida mernpunyai kernampuan yang lebih besar untuk
menghidrolisis komponen-komponen pangan dibandingkan dengan enzim-enzim pencernaan (Muchtadi, 2001).
Hasil penelitian kandungan kadar serat kasar pada sampel P1, P2 dan P3 berturut-turut sebesar P1 1.57%, 0.92%
dan 1.35%. Secara gari besar penambahan tepung sagu termodifikasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap kadar serat kasar.
Karakteristik Sifat Fisik Tepung Sagu Termodifikasi
Analisis karakteristik sifat fisik tepung sagu termodifikasi meliputi, analisis nilai pH (derajat keasaman),
swelling power (daya kembang) dan solubility (kelarutan).
Tabel 3. Nilai analisis karakteristik sifat fisik pati sagu termodifikasi.
Jumlah
Native Starch
No. Analisis Sifat fisik
(Sagu Alami)
1
2
3
pH (derajat keasaman)
Swelling Power (daya kembang)
Solubility (kelarutan)
4,5
49,23%
32,68%
Modified Starch
(Sagu
Modifikasi)
5.93
80.31%
24,5%
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan pada saat proses
fermentasi. Nilai pH menentukan sifat dan karakteristik suatu bahan atau produk pangan. Derajat keasaman
menunjukkan tingkat keasaman suatu produk.
Berdasarkan data pada Tabel 3 diperoleh informasi bahwa terjadi perubahan pH dari pati sagu alami
(native starch) yaitu 4,5 menjadi 5,93 setelah mengalami modifikasi pati (modified starch). Derajat keasaman (pH)
dipengaruhi oleh adanya peningkatan jumlah asam-asam organik yang disebabkan karena adanya pertumbuhan,
aktivitas, dan perkembangbiakan mikroba yang ditunjang oleh kecukupan substrat (gula-gula sederhana hasil
pemecahan pati) dimana semakin banyak asam-asam organik yang dihasilkan maka semakin rendah nilai pH.
Daya Kembang (Swelling Power)
Daya kembang pati atau swelling power didefinisikan sebagai pertambahan volume dan berat maksimum
yang dialami pati dalam air (Balagopalan et al., 1988). Bila pati dimasukkan ke dalam air panas, granula pati akan
menyerap air dan membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas
hanya mencapai 30% (Winarno, 2004).
601
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
ISSN: 2527-6271
2017
J. Sains dan Teknologi Pangan
Vol. 2, No.3, P. 590-603, Th. 2017
Berdasarkan data pada Tabel 3 diperoleh informasi bahwa terjadi peningkatan nilai swelling power dari
pati sagu alami (native starch) dengan nilai 49,23% meningkat menjadi 80.31% setelah mengalami modifikasi pati
(modified starch). Charles et al., (2005) melaporkan bahwa pati yang memiliki kandungan amilosa yang berbeda
akan memiliki sifat fungsional yang berbeda, antara lain swelling power dan kelarutan. Sasaki dan Matsuki (1998)
dalam Li dan Yeh (2001) melaporkan bahwa proporsi yang tinggi pada rantai cabang amilopektin berkontribusi
dalam peningkatan nilai swelling.
Kelarutan (Solubility)
Berdasarkan data pada Tabel 3 diperoleh informasi bahwa terjadi penurunan nilai solubility dari pati sagu
alami (native starch) dengan nilai 32,68% menurun menjadi 24,5% setelah mengalami modifikasi pati (modified
starch). Charles et al. (2005) melaporkan bahwa pati yang memiliki kandungan amilosa dan amilopektin yang
berbeda, menunjukan nilai swelling power dan kelarutan pati yang berbeda pula.
KESIMPULAN
Penambahan tepung sagu termodifikasi pada pembuatan produk otak-otak cumi tidak memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap uji sensorik, panelis cenderung lebih menyukai perlakuan dengan
penambahan tepung tapioka 100 gr. Penambahan tepung sagu termodifikasi pada pembuatan produk otak-otak
cumi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap uji kimia, dengan hasil proksimat kadar air, kadar abu,
kadar protein, kadar lemak, kasar karbohidrat dan kadar serat berturut-turut 65.55 (%bb), 2.02 (%bk), 25.41
(g/100g), 4.03(g/100g), 9.2 35 (g/100g), 1.35 (g/100g).
DAFTAR PUSTAKA
Agustina GT. 2008. Industri proses kimia. Terjemahan: E.Jasjfi, Jilid I, Edisi 5.Erlangga, Jakarta.
AOAC Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official
Analytical Chemist, Washington DC.
Ayatullah S. 2012. Air ditinjau dari kimia pangan. (Online). (http://yogyamerah,
Blogspot.
Com.
Diakses
tanggal 30 Mei 2017).
Badan Standardisasi Nasional., 2000. Standar Nasional Indonesia. Standar Mutu Otak-otak SNI 7757:2013.
Jakarta.
602
J. Sains dan Teknologi Pangan (JSTP)
ISSN: 2527-6271
2017
J. Sains dan Teknologi Pangan
Vol. 2, No.3, P. 590-603, Th. 2017
Balagopalan C, Padmaja G, Nanda SK dan Moorthy SN. 1988. Cassava in food, feed, and industry. CRC Press.
Baco Raton. Florida.
Buckle KA. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan oleh H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Evillya. 2010.Lactobacillus casei.http://heartfoods.Wordpress.com/2011/06/23/. lactobacillus_casei Diakses
tanggal 13 Desember 2011.
Harper J M. 1990. Extrusion of Foods vol I. CRC Press, Boca Roton, Florida.
Hermansyah A. 2015.Pengaruh Sistem Fermentasi Terkontrol Terhadap Kualitas Tepung Sagu [Skripsi].
Kendari.Fakultas Teknologi Industri Pertanian,Teknologi Pangan.
Karim, Mutemainna., A. Susilowati dan Asnidar, 2013. Tingkat Kesukaan Konsumen Terhadap Otak-Otak dengan
Bahan Baku Ikan Berbeda. Jurnal Balik Diwa Sains dan Teknologi Volume 4 No. 1 Januari-Juni 2013.
Makassar.
Ketaren, 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan, Ctakan Pertama. UI-Press. Jakarta.
Nurjannah RR, Nitibaskara dan E. Madiah, 2005.Pengaruh Penambahan Bahan Pengikat Terhadap Karakteristik
Fisik Otak-Otak Ikan Sapu-Sapu, Bogor Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK, Institut Pertanian
Bogor.
Poerwadi dan PA. Rosmawaty. 1984. Penelitian Mikrobiologi Cumi-cumi selama Penyimpanan Dingin dan Bekif,
Laporan Penelitian Teknologi Perikanan.
Sasaki T dan Matsuki J. 1998. Effect of wheat starch structure on swelling power. Di dalam: Li, J.Y., dan Yeh, A.I.
2001. Relationship between 67 thermal, rheological characteristics, and swelling power for various
starches.J. Food Engineering Vol.50 : 141-148.
Soekarto ST. 1985. Penelitian organoleptik untuk industri pangan dan hasil pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Surono I S. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. YAPMMI, Jakarta.
Sudarmadji S. 1992. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberti. Yogyakarta.
Widyastuti E. 2012. Modifikasi Pati. Food Science and Technology. Brawijaya University. Malang.
Winarno FG. 2004. Kimia pangan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
603
Download