BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri Leher 2.1.1 Definisi Nyeri Leher Secara umum nyeri merupakan suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang serta eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Menurut Engel dalam Parjoto (2006) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi ketidak nyamanan yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi luka (Parjoto, 2006). Definisi nyeri yang diusulkan oleh the Subcommitte on Taxonomy of the International Association for the Study of Pain (IASP) menyatakan bahwa nyeri merupakan sensasi dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang diikuti gangguan atau kerusakan jaringan yang merupakan kombinasi dari respon sensoris, afektif dan kognitif sehingga hubungan nyeri dengan kerusakan jaringan tidak sama dan tidak konstan. Nyeri menyebabkan fungsi 8 9 dan gerak tertentu dari tubuh menjadi terbatas sehingga sangat mengganggu aktivitas fungsional. Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri bersifat subjektif dan individual. Stimulus nyeri dapat berupa stimulus yang bersifat fisik dan/atau mental, sedangkan kerusakan dapat terjadi pada jaringan actual atau pada fungsi ego seorang individu (Gerwin, 2010) Jadi dapat disimpulkan, nyeri merupakan suatu perasaan yang tidak nyaman yang dirasakan oleh seseorang akibat adanya kerusakan jaringan dan nyeri tersebut merupakan suatu pengalaman yang pribadi serta bersifat subjektif sehingga rasa nyeri yang dirasakan setiap orang berbeda – beda. 2.1.2 Fisiologi Nyeri Tipe nyeri ada beberapa jenis, pertama yaitu nyeri nosiseptif yang disebabkan oleh aktivitas nosiseptor (reseptor nyeri) sebagai respon terhadap stimuli yang berbahaya. Nosiseptif sebenarnya merupakan alur nyeri yang dimulai dari transduksi, transmisi, modulasi sampai persepsi; kedua adalah nyeri neuropatik yang disebabkan oleh sinyal yang diproses di sistem saraf perifer atau pusat yang menggambarkan kerusakan sistem saraf perifer atau pusat yang menggambarkan kerusakan sistem saraf.1,3,8,9,10,12 Nosiseptor adalah aferen-aferen primer yang berespon terhadap stimulus yang berbahaya dan intens. Pertama, stimulus mencetuskan aktivitas pada grup aferen primer di neuron-neuron ganglion sensorik (nosiseptor). Melalui system spinal dan berbagai sistem intersegmental, informasi tersebut mengakses pusat supraspinal 10 di batang otak dan talamus. Sistem proyeksi ini mewakili dasar rangsangan somatik dan visera yang memberikan hasil berupa usaha menarik diri atau keluhan verbal. Nosisepsi merupakan istilah yang menunjukkan proses penerimaan yang menunjukkan proses penerimaan informasi nyeri yang dibawa dari reseptor perifer di kulit dan visera ke korteks serebri melalui penyiaran neuron-neuron. Neuron-neuron sensorik pada akar dorsal ganglia mempunyai ujung tunggal yang bercabang ke akson perifer dan sentral. Akson perifer mengumpulkan input sensorik dari reseptor jaringan, sementara akson sentral menyampaikan input sensorik tersebut ke medula spinalis dan batang otak. Akson sensorik (aferen nosiseptif) tersebar luas di seluruh tubuh (kulit, persendian, visera dan meningen). Ada tiga jenis sel saraf dalam proses penghantaran nyeri yaitu sel saraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor atau interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel - sel saraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sum - sum tulang belakang dan otak. Reseptor - reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor - reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan zat - zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik. Zat - zat kimia ini akan mensensitasi ujung saraf dan menyampaikan impuls ke otak (Guyton & Hall, 2008). 11 Kornu dorsalis dari medula spinalis dapat dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan serabut traktus sensori asenden berawal disini. Juga terdapat interkoneksi antara sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls - impuls dipancarkan ke korteks serebri. Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis yang ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan transmisi informasi yang menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali area ini disebut “gerbang”. Kecendrungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua input yang menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari neuron inhibitor sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan mencegah transmisi sensasi nyeri (Guyton & Hall, 2008). Teori gerbang kendali nyeri merupakan proses dimana terjadi interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi lain serta stimulasi serabut yang mengirim sensasi tidak nyeri memblok transmisi impuls nyeri melalui sirkuit gerbang penghambat. Sel - sel inhibitor dalam kornu dorsalis medula spinalis mengandung eukafalin yang menghambat transmisi nyeri (Guyton & Hall, 2008). 12 2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Nyeri Leher Berikut adalah beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya nyeri leher, yaitu (Anggraeni, 2013): a. Trauma pada otot Kerja otot secara berlebihan saat bekerja, dapat menyebabkan terjadinya trauma makro dan mikro pada otot. Trauma makro disebabkan karena injury langsung pada jaringan otot sedangkan trauma makro yang terjadi menyebabkan terjadinya proses inflamasi yang berujung pada pembentukan jaringan-jaringan kolagen baru. Jaringan kolagen ini cenderung berbentuk tidak beraturan, dan menjadi pemicu munculnya myofascial trigger point pada otot. Sedangkan trauma mikro disebabkan karena adanya cedera yang berulang-ulang pada otot (repetitive injury) akibat kerja yang terus menerus. Beban kerja yang diterima terus menerus ini dapat menstimulasi terbentuknya jaringan kolagen baru dan berujung pada terbentuknya jaringan fibrous. Hal ini lah yang memicu semakin berkembangnya trigger point pada otot (Gerwin, 2001). b. Postur tubuh Postur tubuh yang buruk dalam aktivitas sehari-hari dapat menyebabkan terjadinya myofascial pain syndrome. Aktivitas manusia saat ini cenderung statis dengan postur yang buruk, seperti: forward head posture dan lateral head posture dapat menyebabkan beban yang berlebihan pada otot upper 13 trapezius. Hal ini jika berlangsung lama akan menimbulkan terbentuknya trigger point pada otot . c. Sikap bekerja Sikap kerja yang buruk saat bekerja, seperti: bekerja dalam posisi stastis dalam waktu yang lama dan otot yang lelah akibat terlalu lama menahan beban dari kepala dalam posisi ekstensi yang dapat menyebabkan terjadinya nyeri sertau kekakuan atau spasme pada otot upper trapezius. Hal ini jika dibiarkan secara terus-menerus akan memicu terjadinya myofascial pain syndrome. d. Usia Faktor usia juga turut mempengaruhi myofascial pain syndrome. Kasus ini lebih sering terjadi pada usia pertengahan (usia dewasa). Hal ini kemungkinan disebabkan karena kemampuan otot untuk menahan beban dan mengatasi trauma akibat beban tersebut mulai menurun. Selain itu, semakin tua usia seseorang akan menyebabkan degenerasi pada ototnya. Hal ini ditandai dengan penurunan jumlah serabut otot, atrofi serabut otot, dan berkurangnya masa otot. Dampaknya yaitu pada penurunan kekuatan dan fleksibilitas otot. 2.1.4 Nyeri Otot Upper Trapezius Otot upper trapezius adalah otot tipe I (tonik) atau disebut juga red muscle karena berwarna lebih gelap dari otot lainnya, yang banyak mengandung hemoglobin dan mitokondria. Otot upper trapezius bekerja secara konstan bersama-sama dengan otot-otot shoulder girdle lain yaitu memfiksasi 14 scapula dan leher termasuk mempertahankan postur kepala yang cenderung jatuh ke depan karena kekuatan gravitasi dan berat kepala itu sendiri. Kerja otot ini akan meningkat pada kondisi tertentu seperti adanya postur yang jelek, ergonomi kerja yang buruk, degenerasi otot, trauma atau strain kronis. Keadaan ini akan beresiko untuk terjadinya gangguan pada jaringan miofasial otot upper trapezius itu sendiri (Neuman, 2002). Otot tonik berfungsi untuk mempertahankan sikap, kelainan tipe otot ini cenderung tegang dan memendek. Itu sebabnya jika otot upper trapezius berkontraksi dalam jangka waktu lama jaringan ototnya menjadi tegang dan akhirnya timbul nyeri. Otot upper trapezius berfungsi untuk gerak menarik bahu keatas (elevasi). Keluhan yang dirasakan pasien adalah nyeri otot pada bagian leher sampai pundak. Kondisi ini lebih lanjut sering disebut sindroma miofasial yang pada kasus ini adalah pada otot upper trapezius. Sebagaimana diketahui pada jaringan miofasial yang sehat terdapat keseimbangan antara kompresi atau ketegangan dengan rileksasi. Keseimbangan ini dipelihara oleh adanya substansi dasar (ground substance) dari jaringan miofasial. Substansi dasar ini mempertahankan keseimbangan kompresi atau tegangan dengan relaksasi melalui cara mempertahankan jarak antar serabut jaringan ikat, berperan sebagai alat transpor zat gizi dan sebagai alat transpor zat-zat sisa metabolisme (Neuman, 2002). 15 2.1.5 Pengukuran Nyeri Visual Analogue Scale (VAS) merupakan alat pengukuran intensitas nyeri yang dianggap paling efisien yang telah digunakan dalam penelitian dan pengaturan klinis. VAS umumnya disajikan dalam bentuk garis horizontal berupa garis lurus yang panjangnya biasanya 10 cm atau 100 mm, dengan penggambaran verbal pada masing - masing ujungnya, seperti angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka 10 (nyeri terberat). Dalam perkembangannya VAS menyerupai NRS yang cara penyajiannya diberikan angka 0-10 yang masingmasing nomor dapat menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien. VAS juga sering digunakan untuk menilai nyeri pada pasien untuk dapat memperoleh sensitivitas obat pada uji coba obat analgetik. Dalam penggunaan VAS terdapat beberapa keuntungan dan kerugian yang dapat diperoleh. Keuntungan penggunaan VAS antara lain VAS adalah metode pengukuran intensitas nyeri paling sensitif, murah dan mudah dibuat. VAS mempunyai korelasi yang baik dengan skala-skala pengukuran yang lain dan dapat diaplikasikan pada semua pasien serta VAS dapat digunakan untuk mengukur semua jenis nyeri. Namun kekurangan dari skala ini adalah VAS memerlukan pengukuran yang lebih teliti dan sangat bergantung pada pemahaman pasien terhadap alat ukur tersebut (Breivik H, et al., 2008). VAS telah direkomendasikan untuk menilai keparahan nyeri pada IHS edisi pertama untuk trial kontrol obat-obat migren pada tahun 1991. Beberapa studi lainnya juga telah menunjukkan bahwa VAS merupakan alat ukur yang 16 valid dan reliable pada pengukuran intensitas nyeri baik kronik maupun akut. Pengukuran nyeri dilakukan dengan cara pasien diminta untuk menandai sepanjang garis tersebut, sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm), dan itulah nilai yang menunjukkan level intensitas nyeri. Kemudian nilai tersebut dicatat untuk melihat kemajuan dari pengobatan atau terapi yang dilakukan. Gambar 2.1 : Visual Analogue Scale (Sumber : Warden et al, 2003) Keterangan : 0 : Tidak nyeri 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik. 4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. 7-10 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi 17 nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi 2.2 Biomekanik dan Anatomi Terapan Cervical 2.2.1 Regio Cervical Regio cervical disusun oleh 3 sendi penyusun yaitu atlanto-occipital joint (C0-C1), atlanto-axial joint (C1-C2) dan vertebra joints (C2-C7). Regio ini merupakan regio yang paling sering bergerak dari seluruh bagian tulang vertebra. Hal itu dapat terlihat dari peranannya yaitu untuk mengatur sendi dan memfasilitasi posisi dari kepala, termasuk penglihatan (vision), pendengaran, penciuman dan keseimbangan tubuh. Adapun gerakan yang dihasilkan pada regio ini yaitu fleksi-ektensi, rotasi dan lateral fleksi cervical (Neuman, 2002) a. Atlanto-occipital Joint (C0-C1) Atlanto-occipital Joint berperan dalam gerakan fleksi-ekstensi dan lateral fleksi cervical. Arthrokinematika pada gerakan fleksi condylus yang conveks akan slide ke arah belakang terhadap facet articularis yang concaf sebesar 100. Sedangkan pada gerakan ekstensi condylus yang conveks akan slide ke arah depan terhadap facet articularis yang concaf sebesar 17o. Pada gerakan lateral fleksi cervical akan terjadi roll dari sisi-sisi pada jumlah yang kecil pada condylis occipital yang conveks terhadap facet articularis(atlas) yang concaf sebesar 5o (Neuman, 2002). 18 b. Atlanto-axial Joint (C1-C2) Gerakan utama pada atlanto-axial joint adalah gerakan rotasi cervical ditambah dengan gerakan fleksi dan ekstensi. Pada gerakan fleksi akan terjadi gerakan pivot kedepan dan sedikit berputar pada atlas terhadap axis (C2) sebesar 15o sedangkan pada gerakan ekstensi gerakan pivot kebelakang dan sedikit berputar pada atlas terhadap axis (C2). Gerakan rotasi pada sendi ini sebesar 45o dimana atlas yang berbentuk cincin akan berputar disekitar procesus odonthoid bagian procesus articularis inferior atlas yang sedikit concaf akan slide dengan arah sirkuler (melingkar) terhadap procesus articularis superior axis (Neuman, 2002) c. Vertebra Joints (C2-C7) Pada vertebra joint terjadi gerakan fleksi-ekstensi, rotasi dan lateral fleksi cervical. Pada gerakan fleksi permukaan procesus articularis inferior vertebra superior yang berbentuk concaf akan slide ke arah atas dan depan terhadap procesus articularis superior vertebra inferior sebesar 40o, sedangkan pada gerakan ekstensi permukaan procesus articularis inferior vertebra superior yang berbentuk concaf akan slide ke arah bawah dan belakang terhadap procesus articularis superior vertebra inferior sebesar 70o. Pada gerakan rotasi akan terjadi slide pada procesus articularis inferior vertebra superior ke arah belakang dan bawah pada ipsilateral arah rotasi dan akan terjadi slide ke arah depan atas pada sisi contralateral terhadap procesus articularis superior vertebra inferior sebesar 45o. 19 Gerakan lateral fleksi cervical, procesus articularis inferior vertebra superior pada sisi ipsilateral slide ke arah bawah dan sedikit ke belakang dan pada sisi contralateral akan slide ke arah atas dan sedikit kedepan sebesar 35 o. Inlinasi pada bentuk facet joint akan menghasilkan gerakan coupling yang searah dimana selama gerakan rotasi akan disertai dengan lateral fleksi yang searah (Neuman, 2002) 2.2.2 Biomekanik Terapan pada Otot Upper Trapezius Otot trapezius adalah salah satu grup otot besar pada tubuh manusia, otot ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu upper, midle dan lower trapezius. Otot upper trapezius merupakan grup otot pada tubuh manusia yang berfungsi untuk elevasi bahu, ekstensi dan lateral fleksi cervical. Otot upper trapezius merupakan otot yang berperan sentral dalam stabilisasi postur kepala. Stabilisasi tersebut dikarenakan adanya otot agonis dan antagonis yang dimainkan oleh upper trapezius kiri dan kanan. Otot ini memberikan arah tarikan ke inferolateral pada cervical sehingga dengan adanya suatu gangguan pada otot ini akan menyebabkan postur kepala yang tidak seimbang antara kanan dan kiri dan menimbulkan nyeri (Neuman, 2002). Untuk menanggulangi gangguan pada otot upper trapezius dapat dilakukan suatu peregangan dengan metode auto stretching, dimana teknik dari peregangan ini memiliki mekanisme Post isometric relaxation yang memberikan pengaruh pada pengurangan tonus otot agonis setelah kontraksi isometrik. Hal ini terjadi karena pengaruh reseptor stretch yang disebut golgi tendon organ pada otot agonis. Reseptor ini bereaksi 20 terhadap overstretching otot oleh inhibisi otot yang selanjutnya berkontraksi. Selain auto stretching, juga dapat dilakukan teknik active isolated stretching yang merupakan teknik stretching dengan menggunakan reflek neurologis yang disebut reciprocal inhibition (RI). RI menyebabkan otot antagonis dari suatu sendi terhambat kontraksinya dan memfasilitasi otot agonis untuk berkontraksi. Fasilitasi kontraksi pada otot agonis menyebabkan otot antagonis menjadi rileks (Fakhrana, 2014). Gambar 2.2 seperti di bawah menunjukkan otot upper trapezius elevasi bahu ekstensi cervical Lateral fleksi cervical Gambar 2.2 : Otot Upper Trapezius (Sumber : Lippert, 2011) 21 2.2.3 Anatomi Terapan pada Otot Upper Trapezius Otot trapezius dibagi menjadi 3 bagian, yaitu : a. Upper Trapezius Origo : Squama ossia occipital diantara linea suprema dan linea nuchalis superior Insertio : sepertiga acromion clavicula Fungsinya : menahan gelang bahu dan lengan agar tidak jatuh. Rotasi kepala ke arah kontra lateral b. Middle Trapezius Origo : processus spinatus pada vertebra dan cervical bawah dan thorakal atas Insertio : pada acromion Fungsinya : menarik scapula dan rotasi scapula ke arah medial c. Lower Trapezius Origo : processus spinosus vertebra thorakal tengah sampai bawah Insertio : pada spina scapula Fungsinya : menarik scapula dan rotasi scapula ka arah kaudal Gambar 2.3 di bawah menunjukkan struktur anatomi otot trapezius, dimana otot trapezius tersebut dibagi menjadi 3, yaitu upper trapezius, middle trapezius dan lower trapezius. 22 Upper trapezius Middle trapezius Lower trapezius Gambar 2.3 : Anatomi Otot Trapezius (Sumber : Lippert, 2011) 2.2.4 Struktur Otot dan Mekanisme Kontraksi serta Relaksasi Otot Selain otot melakukan kontraksi, otot juga akan melakukan relaksasi. Mekanisme kontraksi dan relaksasi otot ini selalu terjadi, dimana setelah mengalami kontraksi otot akan mengalami relaksasi. Apabila kontraksi otot terjadi dalam waktu yang cukup lama, akan terjadi kelelahan otot. Kelelahan otot akan menghambat aliran darah ke otot yang sedang kontraksi, sehingga kelelahan akan semakin parah dengan hilangnya suplai makanan, utamanya otot kehilangan suplai oksigen. Akibat dari ketiadaan suplai oksigen tersebut maka tidak ada ion kalsium yang masuk ke dalam sitoplasma karena pintu masuk kalsium menjadi tertutup sehingga kalsium akan kembali masuk ke dalam sarcoplasmic reticulum. Sehingga menyebabkan posisi troponin kembali normal sehingga posisi tropomiosin kembali normal serta memutus hubungan antara kepala miosin dan aktin. Kemudian otot akan kembali rileks pada saat kepala miosin dan aktin tidak lagi saling berhubungan sehingga tak ada lagi 23 pergeseran molekul. Gambar 2.4 menunjukkan struktur otot dan mekanisme kontraksi serta relaksasi otot. Gambar 2.4 : Struktur Otot dan Mekanisme Kontraksi serta Relaksasi Otot (Sumber : Sherwood, 2006) Ada 2 tipe serabut yang utama yaitu serabut slow-twitch dan serabut fasttwitch. Kedua tipe serabut tersebut terdapat di dalam suatu otot tunggal. 1. Tipe I atau slow twitch (tonik muscle fibers) : Jenis otot tunggal menunjukkan 'tonik' karakteristik kontraksi lambat dari otot postural. Ini adalah berwarna merah karena banyak mengandung hemoglobin dan mitokondria, kekuatan motor unit yang rendah, serat busur kaya mitokondria dan enzim oksidatif, tetapi miskin phosphorylases. Karena metabolisme aerobik berkembang dengan baik, serat lambat sangat tahan terhadap kelelahan. 2. Tipe II atau fast twitch (phasic muscle fibers) : disebut juga white muscle karena berwarna lebih pucat. Otot ini menunjukkan kontraksi cepat 'phasic', diperlukan untuk gerakan skala besar dari segmen tubuh. Ini adalah pucat (putih) dalam warna karena jumlah kecil mioglobin. Serat busur kaya glikogen dan phosphorylases , tetapi miskin dalam mitokondria dan enzim 24 oksidatif. Banyak mengandung myofibril serta durasi kontraksi lebih pendek dan berfungsi untuk melakukan gerakan yang cepat dan kuat Kontraksi otot isotonik dibagi menjadi konsentrik dan eksentrik. Kontraksi konsentrik merupakan kontraksi otot yang membuat otot memendek dan terjadi gerakan pada sendi sedangkan kontraksi eksentrik merupakan kontraksi otot pada saat memanjang untuk menahan beban. Kontraksi isometrik merupakan kontraksi otot yang tidak disertai dengan perubahan panjang otot (Lippert, 2011). 2.3 Sikap Kerja Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kelautan dan Perikanan Pemerintah Provinsi Bali Profesi sebagai Pegawai Negeri Sipil merupakan salah satu pekerjaan manual, yang dilakukan dalam posisi duduk dengan posisi statis, leher agak menunduk ke depan selama beberapa jam. Menurut Diana (2007) otot-otot yang mengalami ketegangan pada saat leher menunduk adalah otot yang berfungsi untuk ekstensi kepala atau yang membantu ekstensi kepala. Otot yang letaknya superfisial dan membantu ekstensi kepala adalah otot upper trapezius. Jadi jika posisi leher menunduk statis ke depan selama beberapa menit dapat menyebabkan ketegangan pada otot upper trapezius. Oleh karena itu, profesi sebagai Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di depan komputer sambil menunduk menatap layar komputer dan mengetik serta posisi kerja yang kurang ergonomis secara terus-menerus dalam waktu yang relatif lama dapat 25 menyebabkan kelelahan secara fisiologis yang disebabkan karena aktivitas kerja dan mempertahankan tubuh pada saat melakukan pekerjaan. Berdasarkan analisis ilmu ergonomi pada pegawai kantoran, terdapat beberapa permasalahan ergonomi yang ditimbulkan akibat pekerjaannya, diantaranya : 1. Sakit leher Sakit leher ini bisa disebabkan oleh karena posisi duduk dan posisi kepala yang sedikit fleksi serta membungkuk dan monoton dalam waktu lama pada saat bekerja, sehingga menyebabkan leher menjadi terasa pegal-pegal dan sakit. 2. Pegal pada bagian lengan dan pergelangan serta jari-jari tangan Pegal pada bagian lengan dan pergelangan tangan ini bisa disebabkan oleh karena aktivitas mengetik yang monoton, sehingga bisa menyebabkan pegal-pegal pada bagian lengan dan pergelangan tangan serta jari-jari tangan. 3. Sakit punggung dan nyeri pada pinggang bagian bawah Sakit punggung dan nyeri pada pinggang bagian bawah ini sama-sama disebabkan karena posisi duduk yang terlalu lama, yaitu selama 7-8 jam sehingga otot-otot punggung biasanya mulai dan terasa letih. Sehingga akibatnya mulai dirasakan nyeri pada pinggang bagian bawah. Nyeri pada pinggang bagian bawah ini akan menyebabkan otot-otot pinggang menjadi tegang dan dapat merusak jaringan lunak di sekitarnya. 26 2.4 Auto Stretching 2.4.1 Pengertian Auto stretching juga dikenal sebagai self-stretching karena tipe ini dilakukan sendiri oleh pasien secara aktif. Auto stretching adalah stretching otot pada posisi yang benar, yang dapat mencegah dan atau mengurangi kekakuan dan perasaan yang tidak nyaman. Auto stretching merupakan stretching yang efektif, karena berpengaruh terhadap semua otot yang membatasi gerakan. Teknik auto stretching merupakan aspek penting dari program latihan di rumah (home programe) dan merupakan penatalaksanaan terapi jangka panjang pada beberapa gangguan muskuloskeletal. Pemberian edukasi terhadap pasien tentang cara yang aman melakukan prosedur auto stretching di rumah sangat penting untuk pencegahan injuri kembali atau mencegah terjadinya disfungsi di masa akan datang (Evjenth Olaf & Hamberg Jean , 1997). 2.4.2 Indikasi dan kontraindikasi a. Indikasi pemberian auto stretching yaitu : 1. Pemendekan otot dan jaringan ikat 2. Keterbatasan gerak karena deformitas struktur skeletal 3. Kelemahan otot dan perubahan jaringan otot b. Kontraindikasi pemberian auto stretching yaitu : 1. Sedang mengalami patah tulang 2. Baru mengalami cidera 27 3. Terdapat pengurangan atau penurunan fungsi pada daerah pergerakan 4. Masih adanya tanda – tanda inflamasi akut atau proses infeksi di sekitar sendi 2.4.3 Adapun prinsip untuk mengaplikasikan auto stretching adalah sebagai berikut (Evjenth Olaf & Hamberg Jean , 1997): 1. Posisi badan dan kepala pasien tegak, pertahankan dalam kondisi stabil dan relaks 2. Latihan harus selalu terkontrol dan mempunyai dampak yang sesuai harapkan. 3. Otot atau grup otot harus dalam keadaan terulur di berbagai posisi dan memanjang sebisa mungkin sehingga dapat mencapai batas dari mobilitas normal. Prinsip-prinsip vital ini yang membuat auto stretching efektif dan aman. Auto stretching membantu bergerak dengan mudah dan lebih baik. Tidak ada reaksi perlindungan yang ditimbulkan dan tidak terdapat resiko overs tretch atau kerobekan pada otot jika stretching dilakukan secara perlahan dan lembut (Evjenth Olaf & Hamberg Jean , 1997). 28 Gambar 2.6 : Auto Stretching pada Leher (Sumber : Evjenth Olaf & Hamberg Jean , 1997) 2.4.4 Mekanisme Penurunan Intensitas Nyeri Otot Upper Trapezius dengan Pemberian Auto Stretching Pemberian auto stretching dapat mengurangi iritasi terhadap saraf Aδ dan saraf tipe C yang menimbulkan nyeri akibat adanya abnormal cross link. Mengaktifkan motor unit maksimal yang ada pada seluruh otot sehingga menstimulus golgi tendon organ, memudahkan pelemasan otot, meningkatkan LGS, aliran darah lancar, relaksasi, nyeri berkurang (Apleton, 2006). Auto stretching merupakan stretching yang efektif, karena berpengaruh terhadap semua otot upper trapezius yang membatasi gerakan dan merupakan teknik peregangan dengan konsep kontraksi isotonik (kontraksi dinamik) (Evjenth Olaf & Hamberg Jean , 1997). Pada intervensi auto stretching akan terjadi mekanisme post isometric relaxation (PIR). Post isometric relaxation yang mengacu pada pengurangan tonus otot agonis setelah kontraksi 29 isometrik. Hal ini terjadi karena pengaruh reseptor stretch yang disebut golgi tendon organ pada otot agonis. Reseptor ini bereaksi terhadap overstretching otot oleh inhibisi otot yang selanjutnya berkontraksi. Hal ini secara natural melindungi reaksi terhadap regangan berlebih, mencegah ruptur dan memiliki pengaruh pemanjangan karena relaksasi yang terjadi tiba-tiba pada seluruh otot dibawah pengaruh stretching (Chaitow, 2006). Gambar 2.7 : Post Isometric Relaxation (Sumber: Chaitow, 2006) Dalam teknik ini, kekuatan kontraksi otot terhadap perlawanan yang sama memicu reaksi golgi tendon organ. Impuls saraf afferent dari golgi tendon organ masuk ke bagian dorsal spinal cord dan bertemu dengan inhibitor motor neuron. Hal ini menghentikan impuls motor neuron efferent dan oleh karena itu terjadi pencegahan kontraksi lebih lanjut, tonus otot menurun, yang menghasilkan relaksasi dan pemanjangan otot agonist sehingga nyeri dapat berkurang (Chaitow, 2006). 30 2.5 Active Isolated Stretching 2.5.1 Pengertian Active Isolated Stretching merupakan suatu teknik atau metode stretching yang menggunakan adaptasi suatu kontraksi otot agonis secara aktif dan merelaksasikan otot antagonisnya melalui inhibisi timbal balik yang menyebabkan terjadinya peregangan pada otot antagonis tanpa meningkatkan ketegangan otot (Muscle Tension). (Longo, 2009) Active Isolated Stretching merupakan stretching aktif yang melibatkan komponen system neuromuskuler, kemudian didalam terapi disebut metode Mattes. Metode Mattes digunakan terapi myofacial release dan penguluran untuk otot yang dangkal maupun yang dalam, tendon dan facia. Stretching ini berguna untuk mengoptimalkan fleksibilitas. Gerakan aktif yang memungkinkan otot antagonis untuk relaksasi, sehingga terjadi peningkatan fleksibilitas tanpa hambatan. Adapun tujuan dari pemberian Active Isolated Stretching adalah untuk menurunkan nyeri, mencegah dan atau mengurangi kekakuan serta mengulur struktur jaringan lunak (soft tissue) yang berkaitan dengan spasme sehingga dapat meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS). (Koncho, 2009) 2.5.2. Indikasi dan kontraindikasi a. Indikasi pemberian active isolated stretching yaitu : 1. Adanya pemendekan, kontraktur, atau spastisitas pada otot 2. Kelemahan otot dan peningkatan fleksibilitas otot. 31 3. Adanya malposition pada unsur tulang b. Kontraindikasi pemberian active isolated stretching yaitu : 1. Cedera muskuloskeletal akut 2. Adanya fraktur tulang yang tidak stabil 3. Adanya penyatuan dan ketidakstabilan pada sendi 4. Osteoporosis 5. Gangguan kardiovaskuler 2.5.3 Adapun prinsip untuk mengaplikasikan active isolated stretching adalah sebagai berikut : 1. Posisi awal harus aman dan stabil, sehingga pasien dalam keadaan relaks 2. Sebelum menerapkan active isolated stretching, fisioterapis melakukan pemeriksaan pada otot atau sendi yang mengalami tightness, hipomobile, hipermobile dan spasme dengan palpasi untuk menentukan target jaringan yang akan dilakukan treatment. Teknik palpasi yang dilakukan dengan tekanan yang halus. Otot atau sendi harus dalam keadaan yang relaks saat dilakukan gerak pasif. 3. Otot atau grup otot harus dalam keadaan terulur di berbagai posisi dan memanjang sebisa mungkin sehingga dapat mencapai batas dari mobilitas normal. Intensitas kekuatan yang digunakan adalah 60% sampai 80% kekuatan maksimal dan disesuaikan pada setiap posisi. Beban perlahan ditingkatkan sampai pada akhirnya kekuatan otot meningkat. 32 4. Waktu kontraksi dan latihan isometrik dilakukan 6 sampai 10 detik. Latihan yang dilakukan kurang dari 6 detik belum menimbulkan adaptasi atau perubahan anatomi dan fisiologi otot sedangkan latihan yang dilakukan terlalu lama dapat menimbulkan kelelahan dan bahkan bila berulang ulang dapat menimbulkan cedera. 5. Pernapasan pada saat melakukan active isolated stretching sangat penting, karena rileksasi yang diberikan lebih besar dan sangat baik untuk meningkatkan sirkulasi darah. Saat melakukan kontraksi isometrik, pasien diinstruksikan untuk mengeluarkan napas dengan perlahan dan rileks. Setelah penerapan active isolated stretching, pasien diinstruksikan untuk menarik dan menghembuskan napas dengan perlahan dan rileks. Tujuan pernapasan ini dilakukan untuk memberikan efek rileksasi pada jaringan dan otot agar ketegangan jaringan dan otot menurun serta memberikan efek yang nyaman bagi pasien. 6. Waktu pengulangan yang dilakukan sebanyak 10 kali, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Waktu pengulangan ini efektif bagi rileksasi jaringan dan otot. 7. Latihan harus selalu terkontrol dan mempunyai dampak yang sesuai. 2.5.4 Pedoman Latihan Active Isolated Stretching a. Neck Flexion Posisi awal kepala tegak, mata lurus ke depan, telapak tangan berada di kepala bagian belakang, dorong dan gerakan kepala menunduk dengan posisi 33 dagu menuju ke arah dada. Dengan dosis pelatihan sebanyak 2 set x 10 repetisi dengan istirahat 2 menit tiap set b. Neck Extension Posisi awal kepala tegak, mata lurus ke depan, kedua telapak tangan berada di bawah dagu, dorong dan gerakan kepala dengan posisi kepala bagian depan menhadap ke atas. Dengan dosis pelatihan sebanyak 2 set x 10 repetisi dengan istirahat 2 menit tiap set c. Neck Side Extension Posisi awal kepala tegak, mata lurus ke depan, telapak tangan berada di bagian samping kepala, dorong dan gerakan kepala dengan posisi kepala ditekuk pada bagian samping kiri dan kanan menuju ke arah bahu. Dengan dosis pelatihan sebanyak 2 set x 10 repetisi dengan istirahat 2 menit tiap set d. Neck Rotation Posisi awal kepala tegak, mata lurus ke depan, telapak tangan berada di bagian samping kepala, dorong dan gerakan kepala dengan posisi kepala berputar ke arah samping kiri dan kanan menuju ke arah bahu. Dengan dosis pelatihan sebanyak 2 set x 10 repetisi dengan istirahat 2 menit tiap set e. Neck Oblique Flexion Posisi awal kepala tegak, mata lurus ke depan, telapak tangan berada di bagian samping kepala, dorong atau tarik kepala dalam posisi rotasi dengan sedikit ke bawah, ke arah samping kiri dan kanan menuju arah bahu. Dengan dosis pelatihan sebanyak 2 set x 10 repetisi dengan istirahat 2 menit tiap set 34 f. Neck Oblique Extension Posisi awal kepala tegak, mata lurus ke depan, telapak tangan berada di bagian dagu, dorong atau tarik kepala dalam posisi rotasi dengan sedikit ke atas, ke arah samping kiri dan kanan menuju arah bahu. Dengan dosis pelatihan sebanyak 2 set x 10 repetisi dengan istirahat 2 menit tiap set 2.5.5 Mekanisme Penurunan Intensitas Nyeri Otot Upper Trapezius dengan Pemberian Active Isolated Stretching Pemberian active isolated stretching dapat mengurangi iritasi terhadap saraf Aδ dan saraf tipe C yang menimbulkan nyeri akibat adanya abnormal cross link. Hal ini dapat terjadi karena pada saat diberikan active isolated stretching serabut otot ditarik keluar sampai panjang sarkomer penuh. Ketika hal ini terjadi maka akan membantu meluruskan kembali beberapa serabut atau abnormal cross link pada otot yang memendek. Active isolated stretching dapat bermanfaat pada serabut otot yang mengalami pemendekan. Serabut otot yang terganggu akan menyebabkan penurunan elastisitas otot akibat adanya taut band dalam serabut otot. Sarkomer sebagai komponen elastis di dalam serabut otot akan mengalami gangguan Active isolated stretching merupakan teknik stretching yang menggunakan reflek neurologis yang disebut reciprocal inhibition (RI). RI menyebabkan otot antagonis dari suatu sendi terhambat kontraksinya dan memfasilitasi otot agonis untuk berkontraksi. Fasilitasi kontraksi pada otot agonis menyebabkan otot antagonis menjadi rileks. Otot antagonis ini adalah 35 otot target yang akan di stretching. Setelah otot target terinhibisi dan menjadi rileks maka stretching akan semakin efektif. Hal tersebut akan mengaktivasi muscle spindle untuk memberikan rangsangan kepada system saraf pusat untuk mengirim sinyal fasilitasi pada otot. Bersamaan dengan itu Golgi Tendon Organ (GTO) teraktivasi dan memberikan rangsangan kepada sistem saraf pusat untuk memberikan input sinyal inhibisi kepada otot upper trapezius. Sinyal inhibisi yang menghambat kontraksi otot upper trapezius ini dimanfaatkan untuk melakukan penguluran pada otot tersebut. Pada saat penguluran berlangsung kondisi aktin dan miosin yang saling bertumpang tindih (tightness) akan diusahakan kembali ke posisi semulanya atau dalam posisi rileks. Sehingga jaringan otot akan bertambah panjang akibat hilangnya aksi tumpang tindih abnormal yang terjadi pada aktin dan miosin. Pemberian active isolated stretching yang dilakukan secara perlahan akan menghasilkan peregangan pada sarkomer sehingga peregangan akan mengembalikan elastisitas sarkomer yang terganggu. Active isolated stretching dapat mencegah dan atau mengurangi kekakuan dan perasaan yang tidak nyaman. Active isolated stretching merupakan stretching yang efektif, karena berpengaruh terhadap semua otot upper trapezius yang membatasi gerakan (Fakhrana, 2014).