RINGKASAN NANANG ANDRIAN. Defisit Anggaran, Pertumbuhan Uang dan Inflasi di Indonesia (dibimbing oleh IMAN SUGEMA). Hubungan defisit anggaran, pertumbuhan uang dan inflasi menjadi salah satu isu penting dalam literatur kebijakan moneter dan fiskal di dunia. Secara teori, paling tidak ada empat pandangan yang berbeda untuk melihat hubungan ketiga variabel tersebut. Pandangan tersebut antara lain, yaitu kaum Monetaris Ortodoks, The Fiscal Theory of Price Level (FTPL), Keynesian, dan Ricardian Equivalence (RE). Terdapat sebuah persepsi yang menyatakan bahwa kebijakan anggaran yang terlalu besar dan dalam jangka waktu yang lama dapat mempengaruhi variabel moneter yang kemudian menjadi akar permasalahan dari ketidakstabilan makroekonomi seperti inflasi yang tinggi, defisit current account yang besar, kewajiban utang yang besar, dan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Berdasarkan pengalaman interaksi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia, dimana sebelum diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999, Indonesia telah mengalami hyperinflation yang disebabkan oleh pencetakan uang (money creation) secara berlebihan oleh Bank Indonesia untuk membiayai defisit anggaran pemerintah akibat kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif. Sejak diberlakukan tahun 2000, kerangka kerja Inflation Targetting (kebijakan moneter) sudah mulai diterapkan oleh Bank Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa era fiscal dominance tidak boleh terjadi lagi di Indonesia. Namun perubahan institusional tersebut secara empiris tidak menghalangi kemungkinan adanya pengaruh defisit anggaran (kebijakan fiskal ekspansif) terhadap jumlah uang beredar maupun variabel moneter (inflasi). Pengaruh tersebut dimungkinkan antara lain karena adanya jangka waktu antara pengeluaran dan penerimaan pemerintah, sumber pendanaan (utang domestik maupun luar negeri), dan perubahan permintaan agregat. Penelitian ini membahas hubungan jangka panjang antara inflasi, pertumbuhan uang, dan defisit anggaran. Penelitian ini juga akan menganalisis apakah di Indonesia defisit anggaran (kebijakan fiskal ekspansif) mempengaruhi pertumbuhan uang dan inflasi. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series sekunder. Data-data tersebut diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dari Kementrian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Statistik Ekonomi dan Keuangan Bank Indonesia (SEKI-BI) dari berbagai edisi, International Financial Statistic (IFS) of International Monetary Fund (IMF) serta sumber lain yang relevan. Data yang digunakan, diantaranya yaitu defisit anggaran pemerintah, pertumbuhan uang (base money (M0), narrow money (M1), dan broad money (M2)) serta IHK (Indeks Harga Konsumen) sebagai pencerminan tingkat inflasi dengan periode waktu data antara bulan Januari 2002 hingga Desember 2009. Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah metode analisis Vector Error Correction (VEC) yang dilengkapi dengan dua uji lag structure tambahan, yaitu uji lag exclusion dan weak exogeneity. Hasil penelitian menunjukkan bahwa defisit anggaran pemerintah tidak mempengaruhi pertumbuhan uang (M0, M1, dan M2) dalam jangka panjang. Teori FTPL (the fiscal theory of the price level) juga tidak berlaku di Indonesia, hal ini dikarenakan dalam jangka panjang, laju inflasi tidak dipengaruhi oleh defisit anggaran. Pertumbuhan M1 dan M2 (money supply) juga tidak mempengaruhi laju inflasi dalam jangka panjang. Hal tersebut menunjukkan bahwa teori Monetaris dan Keynesian juga tidak berlaku di Indonesia. Hubungan antara defisit anggaran, pertumbuhan uang dan laju inflasi di Indonesia dapat dijelaskan oleh teori Ricardian Equivalence (RE) dimana defisit anggaran tidak akan berpengaruh ke variabel moneter dan perekonomian. Koordinasi yang erat antara penguasa fiskal (pemerintah) dan moneter (Bank Indonesia) dalam menentukan instrumen dan sasaran kebijakan yang menjadi target bersama tetap diperlukan agar pencapaian target tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Walaupun defisit anggaran tidak memiliki dampak terhadap pertumbuhan uang dan laju inflasi di Indonesia namun defisit anggaran yang terlalu besar dan dalam jangka waktu yang lama, bukan tidak mungkin akan menjadi akar permasalahan makroekonomi seperti hyperinflation, current account deficits, overindebtness dan rendahnya pertumbuhan ekonomi. Apabila dalam jangka panjang kebijakan defisit anggaran terus dipertahankan oleh pemerintah, maka pembiayaan melalui money creation (pencipataan uang) lebih baik untuk dihindari karena telah terbukti menyebabkan hyperinflation di Indonesia pada periode 1965 hingga 1970. Disatu sisi, sesuai dengan UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dimana Bank Indonesia yang telah memiliki kebijakan moneter Inflation Targetting Framework (ITF) akan berhasil dalam menetapkan inflasi yang ditargetkan jika salah satu persyaratan dapat dipenuhi yaitu tidak adanya dominasi sektor fiskal terhadap kebijakan moneter. Hal tersebut dikarenakan kebijakan defisit anggaran masih efektif, tetapi efisiensinya harus diperhitungkan secara cermat.