BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sistem pencernaan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Sistem pencernaan merupakan salah satu sistem dalam tubuh manusia yang
menjalankan fungsi digesti, absorbsi dan defekasi. Tubuh mempunyai serangkaian
mekanisme pengaturan agar sistem ini senantiasa berfungsi baik, yang salah
satunya adalah pengaturan motilitas. Motilitas yang baik diperlukan agar proses
digesti, absorbsi dan defekasi berjalan baik. Motilitas saluran cerna merupakan
salah satu faktor yang menentukan bowel transit time yaitu seberapa lama makanan
berada dalam saluran cerna (Ganong, 2005). Bowel transit time merefleksikan
regulasi aktivitas otot polos saluran cerna yang terintegrasi baik (Degen & Philips,
1996). Transit time yang terlalu lama menyebabkan zat sisa atau toksin terabsorbsi
masuk ke sirkulasi dan dalam jangka panjang menjadi faktor resiko penyakit
poliposis, divertikulosis dan kanker kolorektal (Song et al. 2012). Sebaliknya
transit time yang terlalu cepat menyebabkan penyerapan tidak optimal sehingga
tubuh kekurangan nutrien. Adanya perubahan transit time dapat dilihat salah
satunya dengan menilai konsistensi feses (Degen & Philips, 1996; Russo et al.,
2013).
Serotonin
atau
5-hydroxytryptamine
(5-HT)
merupakan
monoamine
neurotransmiter yang berperan penting dalam berbagai fungsi fisiologis tubuh,
terutama di sistem saraf pusat dan sistem pencernaan (O’Connel, 2006; Hansen,
2008; Mawe, 2013). Konsentrasi serotonin di otak berhubungan dengan perubahan
1
perilaku, mood, kecemasan, agresifitas, depresi, dan supresi nafsu makan (Bell et
al., 2001). Pada saluran cerna, kadar serotonin yang cukup diperlukan untuk fungsi
sekresi, motilitas ( Hansen et al., 2008) dan sensitivitas viseral (Cirillo, et al., 2011).
Serotonin berasal dari metabolisme bahan makanan yang mengandung asam
amino triptofan. Sebagian besar serotonin tubuh disintesis dan disimpan dalam sel
enterokromafin di saluran cerna. Karena serotonin tidak dapat menembus sawar
darah otak, maka neuron di otak harus memproduksi serotonin sendiri. Sebagian
kecil serotonin juga disimpan di trombosit, dan kemudian akan dilepaskan di organ
target (Nakamura, 2009). Untuk dapat menjalankan aktivitas biologiknya, serotonin
harus berikatan dengan reseptornya. Reseptor serotonin tersebar di berbagai organ
tubuh meliputi jaringan endokrin, kardiovaskular, imun, dan gastrointestinal
(Nakamura, 2009). Kurang lebih telah ditemukan 14 jenis reseptor serotonin yang
telah ditemukan dan tersebar di berbagai jaringan (Hansen et al., 2008).
Fungsi serotonin pada sistem gastrointestinal yaitu menghantarkan sinyal dari
lumen gastrointestinal ke neuron intrinsik dan ekstrinsik serta menghantarkan
sinyal sinaps di enteric nervous system (ENS) (Gershon & Tack, 2007). Serotonin
yang disekresikan dari sel enterokromafin menginisiasi refleks peristaltik, sekresi,
vasodilatasi, nosiseptif dan vagal (Crowell, 2004). Serotonin secara langsung dan
tidak langsung dapat mempengaruhi fungsi sekresi dan motorik saluran cerna, dan
abnormalitasnya menyebabkan konstipasi atau diare (Crowell, 2004). Pemberian
serotonin secara intraperitoneal menyebabkan terjadinya diare pada mencit dalam
60 menit (Hagbom, et al., 2011). Penelitian yang dilakukan Hansen et al. (2006),
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kontraktilitas usus setelah pemberian
serotonin intravena. Perubahan motilitas usus akan berpengaruh pada bowel transit
time dan pada akhirnya mempengaruhi konsistensi feses (Ganong, 2005).
5-hydroxytryptophan (5-HTP) merupakan metabolit intermediate dari
triptofan dalam proses biosintesis serotonin (Birdsall, 1998). Keseluruhan 5-HTP
akan diubah menjadi serotonin. Pemberian 5-HTP dapat digunakan untuk koreksi
kadar serotonin otak pada pasien dengan fenilketonuria (Blau et al., 2006).
Penelitian yang dilakukan Lyn-Bullock et al. (2004) menunjukkan bahwa
pemberian dosis tunggal 5-HTP secara oral dapat meningkatkan imunoreaktivitas
neuron serotonergik di otak tikus. Pemberian 5-HTP juga terbukti menurunkan
asupan makan pada tikus yang diinduksi stres (Amer et al., 2003).
Indonesia merupakan salah satu negara yang dikenal sebagai produsen pisang
dunia. Indonesia telah memproduksi sebanyak 6,20% dari total produksi dunia,
50% dari total produksi Asia (Satuhu & Supriyadi, 2011). Di Indonesia, propinsi
Yogyakarta tercatat merupakan produsen pisang terbanyak ke-3 pada tahun 2005
(Dirjen Hortikultura, 2005).
Pisang kepok (Musa balbisiana) merupakan jenis pisang olahan yang paling
sering dikonsumsi manusia. Kandungan gizi dalam pisang cukup lengkap, dari
karbohidrat, protein B6, B3, B5 (USDA, 2015), vitamin, dan mineral (Emaga et al.,
2007). Citarasa yang tinggi serta pembudidayaan yang cepat dan mudah menjadi
daya tarik untuk terus mengembangkan pemanfaatan pisang kepok.
Hasil samping dari pengolahan pisang adalah limbah berupa kulit yang bila
tidak diperhatikan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Limbah kulit
pisang sangat memungkinkan untuk diolah lebih lanjut karena ketersediaannya
yang juga melimpah. Jika dihitung beratnya, maka berat kulit pisang sekitar 40%
dari total berat pisang. Selain itu, kulit pisang ternyata memiliki kandungan gizi
yang tidak kalah dengan bagian daging buahnya, yaitu memiliki kadar
phytoserotonin 170.000 ng/g. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan daging buahnya
yang memiliki kadar phytoserotonin 35.000 ng/g (Rayne, 2010). Kadar mineral
dalam kulit buah pisang jenis plantain mencapai 1910 mg/kg (Emaga et al., 2007).
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pisang ternyata mengandung kadar
triptofan 2,5 mg/kg, serotonin 0,8 mg/kg (Ohla et al., 2010) dan 5-HTP 1,0 µmol/kg
(Kema et al., 1992). Triptofan dan 5-HTP merupakan prekursor pembentukan
serotonin.
Salah satu cara untuk meningkatkan kadar serotonin dalam tubuh adalah
dengan mengonsumsi prekursornya. Kulit pisang kepok dengan potensi kandungan
prekursor serotonin dapat menjadi suplemen alami untuk mencapai tujuan tersebut.
Sesuatu bahan dari alam akan lebih mudah dicerna tubuh sehingga penyerapannya
lebih optimal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian ekstrak
kulit pisang kepok terstandar 5-HTP terhadap imunoreaktivitas serotonin di epitel
mukosa kolon dan konsistensi feses pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan.
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan tersebut, pertanyaan penelitian yang diajukan
adalah sebagai berikut:
1.
Apakah pemberian ekstrak kulit pisang kepok terstandar 5-HTP per oral via
sonde menyebabkan peningkatan imunoreaktivitas serotonin di epitel mukosa
kolon pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan dibandingkan kelompok
kontrol negatif dan kontrol positif?
2.
Apakah pemberian ekstrak kulit pisang kepok terstandar 5-HTP per oral via
sonde menyebabkan perubahan konsistensi feses tikus Wistar (Rattus
norvegicus) jantan dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif dan kontrol
positif?
I.3. Tujuan Penelitian
I.3.1. Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian ekstrak kulit
pisang kepok terstandar 5-HTP per oral terhadap imunoreaktivitas serotonin di
epitel mukosa kolon dan bowel transit time pada tikus Wistar (Rattus norvegicus)
jantan.
I.3.2. Tujuan Khusus
1.
Mengkaji level imunoreaktivitas serotonin di epitel mukosa kolon pada tikus
Wistar (Rattus norvegicus) jantan yang diberi 5-HTP sintetis per oral via sonde
2.
Mengkaji level imunoreaktivitas serotonin di epitel mukosa kolon pada tikus
Wistar (Rattus norvegicus) jantan yang diberi ekstrak kulit pisang kepok per
oral via sonde
3.
Mengkaji level konsistensi feses pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan
yang diberi 5-HTP sintetis per oral via sonde
4.
Mengkaji level konsistensi pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan yang
diberi ekstrak kulit pisang kepok per oral via sonde
I.4. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak kulit pisang kepok terstandar 5HTP secara oral terhadap imunoreaktivitas serotonin di epitel mukosa kolon pada
tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan belum pernah diteliti sebelumnya.
Adapun penelitian-penelitian yang berkaitan antara lain:
1. Lyn-Bullock et al. (2004) yang menilai efek pemberian oral 5-HTP dalam
imunoreaktivitas regio monoaminergik otak terhadap 5-HTP dan 5-HT
pada tikus. Didapatkan hasil bahwa pemberian per oral 5-HTP dosis
tunggal menyebabkan peningkatan konten 5-HTP dan 5-HT pada neuron
serotonergik.
2. Amer et al. (2003) yang menilai efek pemberian 5-HTP secara
intraperitoneal terhadap asupan makan tikus yang mengalami stres dan
kekurangan makan. Didapatkan hasil bahwa pada dosis 3-200 mg/kg 5HTP menyebabkan penurunan asupan makan yang dipengaruhi dosis.
3. Coskun et al. (2006) meneliti tentang efek pemberian triptofan berulang
terhadap berat badan, asupan makan, lipid peroksida dan imunoreaktivitas
otak terhadap serotonin. Didapatkan hasil bahwa pemberian triptofan
berulang menyebabkan peningkatan imunoreaktivitas otak terhadap
serotonin dan penurunan berat badan.
4. Baumann et al. (2011) meneliti tentang efek pemberian 5-HTP terhadap
aktivasi lokomotor dengan dan tanpa penambahan amfetamin. Didapatkan
hasil bahwa pemberian 5-HTP meningkatkan 5-HT di nucleus accumbens.
5. Hranilovick et al. (2011) melakukan penelitian dengan judul efek terapi
perinatal dengan 5-HTP terhadap homeostasis serotonin di sentral dan
perifer pada tikus dewasa. Didapatkan hasil bahwa pemberian 5-HTP
meningkatkan imunoreaktivitas serotonin di perifer tetapi tidak di sentral.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian ini yang akan
diteliti adalah efek pemberian ekstrak kulit pisang kepok terstandar 5-HTP
terhadap imunoreaktivitas serotonin di epitel mukosa kolon dan konsistensi
feses pada tikus Wistar jantan.
I. 5. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
peneliti terhadap penelitian dan teori terkini tentang serotonin serta menambah
keterampilan peneliti.
2.
Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi
tentang pengaruh kulit pisang bagi kesehatan, khususnya kesehatan
pencernaan.
3.
Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data
untuk penelitian-penelitian selanjutnya
Download