model matematika dari peristiwa terjadinya pelangi

advertisement
MODEL MATEMATIKA DARI PERISTIWA
TERJADINYA PELANGI
skripsi
disajikan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Sain
Program Studi Matematika
Oleh
Aenurofiq
4150406031
JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul
Model Matematika Dari Peristiwa Terjadinya Pelangi
disusun oleh
Nama : Aenurofiq
NIM
: 4150406031
telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi FMIPA Unnes pada
tanggal
9 Pebruari 2011
Panitia:
Ketua
Sekretaris
Dr. Kasmadi Imam S., M.S.
195111151979031001
Drs. Edy Soedjoko, M.Pd
195604191987031001
Ketua Penguji
Dr. St. Budi Waluya, M.Si
196809071993031002
Anggota Penguji/
Pembimbing Utama
Anggota Penguji/
Pembimbing Pendamping
Drs. Moch. Chotim, M.S.
194905151979031001
195302051983031003
Drs. Wuryanto, M.Si.
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa isi skripsi tidak pernah terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi
dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya yang diterbitkan oleh orang
lain, kecuali yang secara tertulis dirujuk dalam skripsi ini dan disebutkan dalam
daftar pustaka.
Semarang,
Januari 2011
Aenurofiq
4150406031
iii
ABSTRAK
Aenurofiq. 2011. “Model Matematika Dari Peristiwa Terjadinya Pelangi”.
Skripsi, Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Moch. Chotim, M.S.,
Pembimbing II: Drs. Wuryanto, M.Si.
Kata kunci : deviasi minimum, sudut pelangi.
Pelangi merupakan salah satu gejala alam yang terjadi akibat dari sinar
matahari yang memasuki tetes air hujan, yang mengalami proses pembiasan,
pemantulan dan pendispersian. Dari proses-proses tersebut terbentuk dua buah
pelangi yaitu pelangi primer dan pelangi sekunder yang dibedakan dari susunan
spektrum warnanya. Spektrum warna yang dihasilkan yaitu merah, jingga, kuning,
hijau, biru, nila dan ungu. Spektrum warna yang terbentuk tersebut dapat diamati
secara optimum jika kondisi dalam mengamatinya juga optimum, yaitu dengan
memperhatikan masalah sudut pengamat dalam melihat pelangi atau sering
disebut sebagai sudut pelangi.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan model matematika dari peristiwa
terjadinya pelangi, menentukan sudut pelangi primer untuk melihat pelangi secara
optimum dan menentukan sudut warna-warna pelangi primer melalui kalkulus
diferensial.
Metode penelitian ini menggunakan metode studi pustaka. Dari studi
pustaka tersebut disusun kerangka teori yang melandasi cara pemecahan masalah
yang meliputi turunan, nilai ekstrim, sifat pemantulan dan pembiasan yang
dituangkan dalam bentuk definisi dan teorema. Selain itu, penulisan ini didasari
sejumlah syarat dalam menentukan model matematikanya, yaitu pemantulan yang
terjadi adalah pemantulan sempurna, yaitu pemantulan yang terjadi karena sudut
datang lebih besar daripada sudut kritisnya (sudut yang menyebabkan sinar bias
berhimpit dengan permukaan batas kedua medium) serta terjadinya pelangi jika
telah terjadi hujan di depan pengamat dan matahari berada di belakang pengamat.
Hasil penelitian ini adalah model matematika sudut deviasi pelangi primer
yaitu
dengan
= sudut deviasi pelangi, =
sudut datang,
= indeks bias udara dan = indeks bias air. Berdasarkan model
tersebut dapat diketahui sudut optimum dalam mengamati pelangi primer, yaitu
. Besar sudut pelangi untuk warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan
ungu berturut-turut adalah 42;250 ; 41,950; 41,620; 41,230; 41,030; 40,660 dan
40,580. Dapat diketahui bahwa besar sudut pelangi untuk tiap warna pelangi
adalah berbeda. Hal inilah yang menjelaskan bahwa pelangi tersusun dari tujuh
buah warna mulai dari warna merah hingga ungu.
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO:
™ Manfaatkanlah waktu luang kita sebaik mungkin sebelum datang waktu
sempit kita
™ Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Jika mengalami kegagalan,
jangan mudah putus asa. Segera bangkit dan raihlah keberhasilan itu
™ Lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah. Jangan suka
berpangku tangan. Bekerjalah untuk dunia dan akhiratmu
™ Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk maka ia mendapat pahala
seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun
pahala mereka (HR. Muslim)
PERSEMBAHAN:
Kupersembahkan kepada
Bapak dan Ibuku Tercinta
Adikku Dewi Aini Zulfah
Kekasihku, Putri Rusmiyani yang selalu mendampingiku
Temanku Wendy, Taufik, Tomy, Mada dan Dadang
Teman-teman Matematika Angk. 2006
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang diberi judul “Model Matematika Dari Peristiwa
Terjadinya Pelangi”.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak
terlepas dari dukungan dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
akan menyampaikan rasa hormat, serta terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Prof. Dr. H. Sudijono Sastro Atmodjo, M.Si., Rektor Universitas Negeri
Semarang.
2. Dr. Kasmadi Imam S., M.S., Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.
3. Drs. Edy Soedjoko, M.Pd., Ketua Jurusan Matematika FMIPA Universitas
Negeri Semarang.
4. Drs. Moch. Chotim, M.S., selaku Dosen Sembimbing I yang senantiasa
meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan masukan serta
motivasi sehingga dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini.
5. Drs. Wuryanto, M.Si., selaku Dosen Pembimbing II yang senantiasa
membantu dan memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen Matematika yang telah mengajar dengan baik dan memberikan
bekal ilmu selama mengikuti perkuliahan di Jurusan Matematika.
vi
7. Bapak, Ibu, dan Adikku yang telah memberikan doa dan motivasi.
8. Kekasihku yang selalu memberi dukungan dan semangat.
9. Teman-teman dekatku Wendy, Taufik, Tomy, Mada dan Dadang tetap
semangat selalu dan terima kasih atas dukungannya selama ini.
10. Teman-teman matematika angkatan 2006, terima kasih atas segala bantuan
dan dukungannya.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu penulis senantiasa menerima kritik dan saran atas
kekurangan tersebut. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan, Amin.
Semarang, Januari 2011
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN......................................................
iii
ABSTRAK ...................................................................................................
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................
v
KATA PENGANTAR ..................................................................................
vi
DAFTAR ISI ................................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................
xii
DAFTAR SIMBOL ......................................................................................
xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.1 Latar Belakang .........................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................
4
1.3 Batasan Masalah.......................................................................
4
1.4 Tujuan ......................................................................................
4
1.5 Manfaat ....................................................................................
4
1.6 Sistematika Penulisan ...............................................................
5
BAB 2 LANDASAN TEORI .......................................................................
7
2.1 Turunan Suatu Fungsi ................................................................
7
2.2 Nilai Maksimum dan Minimum .................................................
10
2.3 Cahaya ......................................................................................
15
a. Indeks Bias ........................................................................
15
b. Lintasan Optis (Optical Path) .............................................
16
c. Hukum Pemantulan dan Pembiasan Cahaya .......................
17
d. Hukum Pemantulan dan Pembiasan Berdasarkan Prinsip
Fermat ............................................................................... 18
e. Pembiasan oleh Prisma ...................................................... 24
f. Dispersi Warna .................................................................. 25
viii
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Identifikasi Masalah ................................................................. 27
3.2 Perumusan Masalah .................................................................. 27
3.3 Studi Pustaka ............................................................................ 28
3.4 Analisis dan Pemecahan Masalah ............................................. 28
3.5 Penarikan Simpulan .................................................................. 28
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Model Matematika Dari Peristiwa Terjadinya Pelangi ............... 29
4.2 Besar Sudut Pelangi Primer ....................................................... 33
4.3 Besar Sudut Warna Pelangi ....................................................... 36
4.3.1 Sinar Warna Merah....................................................... 37
4.3.2 Sinar Warna Jingga ....................................................... 38
4.3.3 Sinar Warna Kuning ..................................................... 40
4.3.4 Sinar Warna Hijau ........................................................ 42
4.3.5 Sinar Warna Biru .......................................................... 44
4.3.6 Sinar Warna Nila .......................................................... 46
4.3.7 Sinar Warna Ungu ........................................................ 47
4.4 Simulasi Pelangi dengan Aplikasi Program Maple ..................... 50
BAB 5 PENUTUP
5.1 Simpulan .................................................................................. 55
5.2 Saran ........................................................................................ 56
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 57
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Grafik
dengan f (a ) = f min dan f (d ) = f maks . ............................
10
Gambar 2. Grafik
dengan
...................................................
11
Gambar 3. Grafik f : f (− 2 ) = f min rel , f (2 ) = f min rel dan f (0 ) = f maks rel . .......
12
Gambar 4. Lintasan optis yang melewati susunan medium optis...................
16
Gambar 5. Pemantulan dan pembiasan pada permukaan batas udara
air...................... .........................................................................
17
Gambar 6. Geometri untuk menurunkan hukum pemantulan dari prinsip
Fermat ........................................................................................
19
Gambar 7. Geometri untuk menurunkan hukum pembiasan dari prinsip
Fermat ........................................................................................
22
Gambar 8. Pembiasan pada prisma kaca .......................................................
24
Gambar 9. Geometri cahaya melewati prisma dan membentuk deviasi
minimum ....................................................................................
25
Gambar 10.Peristiwa dispersi cahaya ............................................................
25
Gambar 11.Proses terjadinya pelangi ............................................................
29
Gambar 12.Seberkas sinar matahari yang memasuki sebuah tetes air hujan. ..
30
......................................................
34
............................................................
35
Gambar 15.Sudut warna pelangi ...................................................................
50
Gambar 16.Maple Worksheet ........................................................................
51
Gambar 13.Grafik fungsi
terhadap
Gambar 14.Sudut pelangi adalah
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Indeks bias dari warna pelangi ............................................................36
Tabel 2. Daftar sudut pelangi untuk tiap warna pelangi .................................... 56
xi
DAFTAR SIMBOL
n
Indeks bias
c
Laju cahaya dalam ruang hampa
v
Laju cahaya dalam medium
d
Lintasan cahaya dalam suatu medium
Δ
Lintasan optis
θ1
Sudut datang
θ 1’
Sudut pantul
θ2
Sudut bias
δ
Sudut deviasi prisma kaca
Sudut deviasi minimum prisma kaca
β
Jari-jari pelangi
Sudut deviasi pelangi
Indeks bias udara
Indeks bias air
Indeks bias warna merah
Indeks bias warna jingga
Indeks bias warna kuning
Indeks bias warna hijau
Indeks bias warna biru
Indeks bias warna nila
Indeks bias warna ungu
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Matematika bersifat universal sangat erat kaitannya dengan kehidupan
nyata. Matematika dapat berperan sebagai ratu ilmu sekaligus sebagai pelayan
ilmu-ilmu yang lain. Matematika dikatakan sebagai ratu ilmu karena dapat
tumbuh dan berkembang untuk sendirinya sebagai suatu ilmu tanpa adanya
bantuan dari ilmu lain. Matematika sebagai pelayan ilmu karena ilmu lain tidak
dapat tumbuh dan berkembang tanpa adanya bantuan matematika. Kajian
matematika yang berperan sebagai pelayan ilmu-ilmu lain biasa disebut sebagai
matematika terapan atau applied mathematic.
Salah satu kajian matematika yang konsep-konsepnya banyak digunakan
dalam kehidupan sehari-hari adalah kalkulus diferensial. Kalkulus diferensial
merupakan bagian kalkulus yang berhubungan dengan turunan (Purcell, Varberg &
Rigdon, 2004:111). Salah satu fenomena alam yang memerlukan kalkulus diferensial
untuk menentukan model matematikanya adalah peristiwa terjadinya pelangi.
Pelangi merupakan salah satu gejala alam yang terjadi akibat dari sinar
matahari yang memasuki tetes air hujan yang mengalami proses pembiasan,
pemantulan dan pendispersian cahaya. Tetesan air hujan dapat membiaskan dan
menyebarkan cahaya mirip sebuah prisma kaca. Cahaya yang memasuki prisma
kaca akan dibiaskan. Pembiasan ini terjadi ketika cahaya berpindah dari medium
satu ke medium yang lain. Prisma kaca juga dapat menguraikan cahaya putih
1
2
menjadi komponen warna yang berlainan. Warna cahaya yang berlainan memiliki
frekuensi yang berbeda sehingga memiliki kecepatan tempuh yang berbeda ketika
memasuki prisma kaca. Cahaya yang kecepatannya rendah akan dibiaskan lebih
tajam ketika berpindah dari udara ke prisma kaca. Cahaya yang memasuki prisma
kaca akan dibiaskan dua kali yaitu ketika memasuki dan keluar dari prisma kaca
sehingga terjadi penyebaran cahaya (dispersi). Oleh sebab itu, cahaya yang
memasuki prisma kaca akan diuraikan menjadi beberapa komponen warna karena
mengalami pendispersian cahaya.
Proses terjadinya pelangi mirip dengan peristiwa pembiasan dan
pendispersian cahaya pada prisma kaca. Cahaya matahari yang menembus tetes
air hujan akan mengalami pembiasan dan pendispersian cahaya. Cahaya matahari
yang menembus tetes air hujan akan dibiaskan dari satu sisi ke sisi yang lainnya
dari tetes air hujan tersebut. Selain itu, cahaya matahari akan diuraikan menjadi
beberapa komponen warna. Komponen warna yang dihasilkan adalah merah,
jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu dengan warna merah pada lapisan terluar
dan warna ungu pada lapisan paling dalam dari pelangi. Jadi, cahaya matahari
yang menembus dan meninggalkan tetes air hujan akan dibiaskan dan diuraikan
menjadi ketujuh komponen warna yang membentuk pelangi.
Pelangi
yang
terbentuk
dapat
diamati
secara
optimum
dengan
memperhatikan masalah sudut pengamat dalam melihat pelangi. Sudut inilah yang
disebut dengan sudut pelangi. Posisi pengamat harus berada di antara matahari
dan tetesan air dengan matahari di belakang pengamat. Matahari, mata pengamat
dan pusat busur pelangi harus berada dalam satu garis lurus. Sudut pelangi dari
3
tiap-tiap warna pelangi adalah berbeda. Hal inilah yang membuat pelangi tersusun
dari tujuh warna.
Pelangi terdiri atas pelangi primer dan sekunder (Jenkins & White,
1960:456). Pelangi primer terbentuk saat cahaya matahari dipantulkan hanya satu
kali ketika menembus tetes air hujan. Cahaya matahari diuraikan pada waktu
memasuki dan meninggalkan tetes air hujan tersebut. Pelangi sekunder terbentuk
saat cahaya matahari dipantulkan dua kali oleh tetes air hujan dan memancar ke
luar dengan sudut yang lebih tajam ke arah tanah (Jenkins & White, 1960:457).
Urutan warna-warnanya adalah kebalikan dari pelangi primer. Jadi, warna ungu
berada pada bagian luar sedangkan warna merah berada pada lapisan paling dalam
dari pelangi sekunder. Hal inilah yang menyebabkan pelangi sekunder tampak
seperti pantulan pelangi primer.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui model
matematika dari pelangi melalui kalkulus diferensial. Dari model matematika itu
dapat dicari besarnya sudut pelangi dan besarnya sudut tiap-tiap warna pelangi
tersebut. Sehingga penulis mengambil judul Model Matematika Dari Peristiwa
Terjadinya Pelangi.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan adalah:
a. Bagaimana model matematika dari peristiwa terjadinya pelangi?
b. Berapa besar sudut pelangi primer?
c. Berapa besar sudut pada warna-warna pelangi primer?
4
1.3 Batasan Masalah
Pada penelitian ini masalah yang dikaji adalah pemodelan
matematika pada proses terjadinya pelangi. Dari dua buah pelangi yang
terbentuk hanya akan dibahas mengenai pelangi primer. Pada pemodelan
matematika yang terbentuk nanti dapat dicari besar sudut pelangi primer dan
besar sudut pada warna-warna pelangi primer.
1.4 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini antara lain:
a. Mengetahui pemodelan matematika dari peristiwa terjadinya pelangi.
b. Mengetahui besar sudut pelangi primer.
c. Mengetahui besar sudut pada warna-warna pelangi primer.
1.5 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a. Bagi peneliti
Peneliti dapat mengetahui model matematika dari peristiwa terjadinya
pelangi dan mengetahui besarnya sudut-sudut yang terkait pada pelangi.
b. Bagi pihak lain
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
kepada mahasiswa untuk melakukan penelitian selanjutnya. Dan
diharapkan pula dapat menambah pengetahuan kepada para pembaca
mengenai pemodelan matematika pada peristiwa terjadinya pelangi.
5
1.6 Sistematika Penulisan
Penyusunan skripsi terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian
pendahuluan, bagian isi dan bagian akhir skripsi, sebagai berikut.
a) Bagian pendahuluan
Pendahuluan skripsi ini berisi halaman judul, pengesahan, motto dan
persembahan, abstaksi, kata pengantar, daftar isi, dan daftar gambar.
b) Bagian isi
Bagian isi terdiri dari lima bab, yaitu sebagai berikut.
Bab I Pendahuluan
Berisi latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan,
manfaat dan sistematika penulisan.
Bab II Kajian Teori
Berisi pengertian-pengertian.
Bab III Metode Penelitian
Berisi menentukan masalah, perumusan masalah, studi pustaka,
analisa, pemecahan masalah dan penarikan simpulan.
Bab IV Pembahasan
Berisi hasil-hasil penelitian dan pembahasan.
Bab V Penutup
Berisi simpulan dan saran.
c) Bagian akhir skripsi
Berisi daftar pustaka.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Turunan Suatu Fungsi
Definisi 2.1
Dipunyai fungsi
Turunan fungsi f pada selang
sebagai f ' ( x ) = lim
h →0
didefinisikan
f (x + h ) − f (x )
apabila nilai limit ini ada untuk setiap
h
di (Chotim, 2008: 124).
Rumus-rumus turunan
Teorema 2.1
Dipunyai fungsi f : I → R, I ⊂ R dan K suatu konstanta di R.
Jika f ( x) = K untuk setiap x di I , maka
d [ f ( x) ]
= 0.
dx
Bukti:
Jelas
d [ f ( x )]
f (x + h) − f (x )
= lim
h
→
0
dx
h
K−K
= lim
h→0
h
= lim 0
h→0
= 0.
Teorema 2.2
Jika fungsi f , g : I → R, I ⊂ R , mempunyai turunan di x ∈ I maka
d
[ f (x )g (x )] = f (x ). d [g (x )] + g (x ). d [ f (x )].
dx
dx
dx
6
7
Bukti:
Jelas
f ( x + h ). g ( x + h ) − f ( x ). g ( x )
d
[ f (x )g (x )] = lim
h
→
0
dx
h
f ( x + h ). g ( x + h ) − f ( x ). g ( x + h ) + f (x ). g ( x + h ) − f ( x ). g ( x )
= lim
h →0
h
f (x + h) − f (x)
g (x + h) − g (x )
= lim
. lim g ( x + h ) + lim f ( x ). lim
h →0
h
→
0
h
→
0
h
→
0
h
h
d
d
= f ( x ). [g ( x )]+ g ( x ). [ f ( x )] .
dx
dx
Teorema 2.3
Jika f : R → R, f ( x ) = x n , dan n sebarang bilangan real, maka
( )
d xn
= n . x n −1 .
dx
Bukti:
Tulis P(n ) :
¾
( )
d xn
= n . x n−1 .
dx
Jelas P (1) :
d (x )
= 1. x 1−1 .
dx
Jelas d ( x ) = 1 = 1 . x 0 = 1 . x 1−1 .
dx
Jadi P (1) benar.
¾
Dipunyai P(k ) benar.
Jelas
( )
d xk
= k . x k −1 .
dx
8
Jadi
( )
(
)
d x. xk
d x k +1
=
dx
dx
d xk
d (x )
= x.
+ xk .
dx
dx
k −1
k
= x.k . x + x
( )
= k . xk + xk
= (k + 1). x (k +1) − 1 .
Jadi P(k + 1) benar apabila P(k ) benar.
Jadi P(n ) benar.
Jadi
( )
d xn
= n . x n −1 .
dx
Teorema 2.4
Jika fungsi f , g : I → R, I ⊂ R, g ( x ) ≠ 0 mempunyai turunan di x ∈ I
d ⎡ f (x )⎤
maka
=
dx ⎢⎣ g ( x ) ⎥⎦
g (x )
d
[ f (x )] − f (x ) d [g (x )]
dx
dx
.
2
[g (x )]
Bukti:
Tulis F ( x ) =
f (x )
.
g (x )
Jelas F ' ( x ) = lim
h →0
F (x + h ) − F (x )
h
f (x + h ) f (x )
−
g ( x + h) g ( x )
= lim
h →0
h
f ( x + h ). g ( x ) − f ( x ). g ( x + h )
= lim
h →0
h . g ( x + h ). g ( x )
= lim
h →0
f ( x + h ). g ( x ) − f ( x ). g ( x ) + f ( x ). g ( x ) − f ( x ). g ( x + h )
h . g ( x + h ). g ( x )
9
f (x + h) − f (x )
g (x + h) − g (x )
− f (x )
h
h
= lim
h→0
g ( x + h ). g ( x )
g (x + h ) − g (x )
f (x + h ) − f (x )
− lim f ( x ). lim
lim g ( x ). lim
→
→
h→0
h →0
h
h
0
0
h
h
=
lim g ( x + h ). lim g ( x )
g (x )
h →0
=
g ( x ) f ' ( x ) − f ( x )g ' ( x )
.
[g (x )]2
h →0
2.2 Nilai Maksimum dan Minimum
Definisi 2.2
Fungsi f mempunyai maksimum mutlak (atau maksimum global) di c jika
f (c ) ≥ f ( x ) untuk semua x di D, dengan D adalah daerah asal f .
Bilangan f (c ) disebut nilai maksimum f pada D. Secara serupa, f
mempunyai minimum mutlak di c jika f (c ) ≤ f ( x ) untuk semua x di D
dan bilangan f (c ) disebut nilai minimum f pada D. Nilai maksimum dan
minimum f disebut nilai ekstrim f (Stewart J., 1998:248).
Gambar 1. Grafik
dengan f (a ) = f min dan f (d ) = f maks .
10
Gambar 1 memperlihatkan grafik fungsi f dengan maksimum mutlak di
d dan minimum mutlak di a. Jadi, (d, f (d )) adalah titik tertinggi pada
grafik dan (a, f (a )) adalah titik terendah.
Contoh
Dipunyai fungsi f : R → R dengan f ( x ) = −( x − 2 )2 + 1 .
Sket grafik f :
Gambar 2. Grafik
dengan
.
Intuisi: f (2 ) = 1 merupakan nilai maksimum f .
Bukti:
Ambil sembarang x ∈ R .
Jelas x − 2 ∈ R .
Jelas ( x − 2)2 ≥ 0 ⇔ − ( x − 2)2 ≤ 0
⇔ −( x − 2 ) + 1 ≤ 1
2
⇔ f ( x ) ≤ f (2 ) .
Jadi f (2 ) ≥ f ( x ) ∀ x ∈ R.
Jadi f (2 ) = 1 merupakan nilai maksimum f .
11
Definisi 2.3
Dipunyai fungsi f : R → R.
(a) Jika terdapat suatu selang D ⊂ R yang memuat c sehingga berlaku
f (c ) ≥ f ( x ) ∀ x ∈ D , maka f (c ) disebut nilai maksimum relatif f .
(b) Jika terdapat suatu selang D ⊂ R yang memuat c sehingga berlaku
f (c ) ≤ f ( x ) ∀ x ∈ D , maka f (c ) disebut nilai minimum relatif f .
Contoh
Dipunyai fungsi
f :R→R
yang diberikan dengan
f (x ) = 4 − x 2 .
Tentukan nilai-nilai ekstrim relatif f .
Penyelesaian:
⎧ x 2 − 4, x < −2
⎪
Jelas f (x ) = ⎨4 − x 2 , − 2 ≤ x < 2
⎪ x 2 − 4, x ≥ 2
⎩
Grafik fungsi f sebagai berikut.
Gambar 3. Grafik
dengan f (− 2) = f min rel , f (2 ) = f min rel
dan f (0 ) = f maks rel .
12
Bukti:
(a) Pilih
δ = 1.
Bangun D = (− 2 − 1, − 2 + 1) = (− 3, − 1). .
Ambil sembarang x ∈ D.
Jelas − 3 < x < −1.
Kasus − 3 < x < −2 :
Jelas 4 < x 2 < 9 ⇔ 0 < x 2 − 4 < 5
⇔ f (− 2 ) < f ( x ) < 5.
Jadi f (− 2 ) ≤ f ( x ).
Kasus − 2 ≤ x < −1 :
Jelas 1 < x 2 ≤ 4 ⇔ − 4 ≤ − x 2 < −1
⇔ 0 ≤ 4 − x2 < 3
⇔ f (− 2 ) ≤ f ( x ) < 3.
Jadi f (− 2 ) ≤ f ( x ).
Jadi terdapat selang D ⊂ R sehingga f (− 2) ≤ f ( x ) ∀ x ∈ D.
Jadi f (− 2 ) = 0 merupakan nilai minimum relatif f .
(b) Pilih δ = 1.
Bangun D = (0 − 1, 0 + 1) = (− 1, 1).
Ambil sembarang x ∈ D.
Jelas − 1 < x < 1.
Kasus − 1 < x < 0 :
Jelas 0 < x 2 < 1 ⇔ − 1 < − x 2 < 0
13
⇔ 3 < 4 − x2 < 4
⇔ 3 < f ( x ) < f (0 ).
Jadi f ( x ) ≤ f (0).
Kasus 0 ≤ x < 1 :
Jelas 0 ≤ x 2 < 1 ⇔ − 1 < − x 2 ≤ 0
⇔ 3 < 4 − x2 ≤ 4
⇔ 3 < f ( x ) ≤ f (0 ).
Jadi f ( x ) ≤ f (0).
Jadi terdapat selang D ⊂ R sehingga f (0 ) ≥ f ( x ) ∀x ∈ D.
Jadi f (0) = 4 merupakan nilai maksimum relatif f .
(c) Pilih δ = 1.
Bangun D = (2 − 1, 2 + 1) = (1, 3).
Ambil sembarang x ∈ D.
Jelas 1 < x < 3.
Kasus 1 < x < 2 :
Jelas 1 < x 2 < 4 ⇔ − 4 < − x 2 < 1
⇔ 0 < 4 − x2 < 3
⇔ f (2) < f ( x ) < 3.
Jadi f (2 ) ≤ f ( x ).
Kasus 2 ≤ x < 3 :
Jelas 4 ≤ x 2 < 9 ⇔ 0 ≤ x 2 − 4 < 5
⇔ f (2 ) ≤ f ( x ) < 5.
14
Jadi
f (2 ) ≤ f ( x ).
Jadi terdapat selang D ⊂ R sehingga f (2 ) ≤ f ( x ) ∀ x ∈ D.
Jadi f (2 ) = 0 merupakan nilai minimum relatif f .
2.3 Cahaya
Cahaya berjalan dalam lintasan yang berbentuk garis lurus yang
disebut berkas cahaya (Giancoli, 2001:243). Laju cahaya di dalam medium
dengan laju cahaya di ruang hampa adalah berbeda. Salah satu sifat cahaya
adalah cahaya dapat dipantulkan dan dapat dibiaskan (Jenkins & White,
1960:11). Cahaya yang mengenai logam sebagian besar dipantulkan
sedangkan cahaya yang mengenai benda transparan akan dibiaskan. Cahaya
dapat diuraikan menjadi beberapa komponen warna apabila memasuki
sebuah prisma kaca (Giancoli, 2001:298).
a.
Indeks Bias
Laju cahaya di dalam medium seperti kaca, air atau udara
ditentukan oleh indeks bias n yang didefinisikan sebagai perbandingan
laju cahaya dalam ruang hampa c terhadap laju tersebut dalam medium
(Giancoli, 2001:257).
n=
c
v
dengan c = 3 x 108 m/s.
15
b.
Lintasan Optis (Optical Path)
Salah satu besaran yang sangat penting di dalam optika
geometri adalah lintasan optis. Jika lintasan cahaya di dalam suatu
medium adalah d, maka dapat dinyatakan
d = vt
dengan v adalah kecepatan cahaya di dalam medium dan t adalah
waktu.
Dipunyai n =
Jelas d =
c
v
sehingga v =
c
.
n
ct
⇔ dn = ct .
n
Perkalian dn inilah yang dinamakan lintasan optis Δ .
Lintasan optis menyatakan jarak yang ditempuh oleh cahaya
dalam hampa dengan waktu yang sama jika cahaya tersebut melewati
medium dalam jarak d. Jika cahaya melewati suatu susunan medium
optis dengan ketebalan d, d’, d’’,… dan dengan indeks bias n, n’,
n’’,…, maka lintasan optis totalnya adalah:
Δ = nd + n' d '+ n' ' d ' '+...
n
d
n’
d’
n”
d”
Gambar 4. Lintasan optis yang melewati susunan medium optis
16
c.
Hukum Pemantulan Dan Pembiasan Cahaya
Ketika cahaya menimpa permukaan benda, sebagian cahaya
dipantulkan. Sisanya diserap oleh benda dan diubah menjadi energi
panas, atau jika benda tersebut transparan seperti kaca atau air,
sebagian dibiaskan. Untuk benda-benda yang sangat mengkilat seperti
cermin berlapis perak, lebih dari 95 persen cahaya bisa dipantulkan.
Gambar 5. Pemantulan dan pembiasan pada permukaan batas udara air
Pada Gambar 5 seberkas cahaya jatuh pada permukaan batas
dua medium 1 dan medium 2, maka sebagian dipantulkan oleh
permukaan dan sebagian lagi dibiaskan masuk ke dalam medium 2.
Sudut datang ( θ 1), sudut pantul ( θ 1’) dan sudut bias ( θ 2) diukur dari
normal bidang batas ke sinar yang bersangkutan.
Hukum-hukum mengenai pemantulan dan pembiasan adalah
sebagai berikut.
1. Sinar yang dipantulkan dan dibiaskan terletak pada satu bidang
yang dibentuk oleh sinar datang dan normal bidang batas di titik
datang.
17
2. Untuk pemantulan berlaku sudut datang = sudut pantul,
θ1 ' = θ1 .
3. Untuk pembiasan berlaku: perbandingan sinus sudut datang dengan
sinus sudut bias berharga konstan,
sin θ1 n2
=
= n21 .
sin θ 2 n1
n21 adalah indeks bias dari medium 2 terhadap medium 1.
Pernyataan 1 dan 2 dinamakan hukum pemantulan Snellius,
sedangkan pernyataan 1 dan 3 dinamakan hukum pembiasan Snellius.
Hukum pembiasan dapat ditulis
n1 sin θ1 = n2 sin θ 2
d.
Hukum Pemantulan Dan Pembiasan Berdasarkan Prinsip Fermat
Rambatan gelombang dapat dijelaskan dengan prinsip
Fermat yang pertama kali dinyatakan oleh matematikawan Perancis
Pierre de Fermat pada abad ke 17. Secara umum prinsip Fermat
dinyatakan sebagai berikut (Jenkins & White, 1960:15)..
“Lintasan yang dilalui oleh cahaya untuk merambat dari satu titik ke
titik lain adalah sedemikian rupa sehingga waktu perjalanan itu tidak
berubah sehubungan dengan variasi-variasi dalam lintasan tersebut.”
Waktu yang dibutuhkan cahaya untuk melintas dari sumber
cahaya menuju ke titik perpotongan antara garis normal dan bidang batas
kedua medium hingga cahaya itu dipantulkan lagi, disimbolkan dengan t .
18
Sedangkan jarak yang ditempuh cahaya dari sumber cahaya menuju ke
titik perpotongan antara garis normal dan bidang batas kedua medium
disimbolkan dengan . Jika
diungkapkan sebagai beberapa parameter
x , maka lintasan yang dilalui cahaya akan sedemikian rupa sehingga
dt dx = 0, artinya t mungkin minimum, maksimum atau konstan. Ciriciri penting dari lintasan yang tidak berubah adalah bahwa waktu yang
diperlukan sepanjang lintasan-lintasan terdekat akan kira-kira sama
seperti sepanjang lintasan yang sebenarnya. Lebih khusus lagi prinsip
Fermat dinyatakan sebagai berikut (Sears & Zemansky, 1987).
“Lintasan yang dilalui oleh cahaya untuk merambat dari satu titik ke
titik lain adalah sedemikian rupa sehingga waktu perjalanannya
minimum.”
Prinsip Fermat adalah salah satu metode yang digunakan untuk
menjelaskan perambatan cahaya dan gelombang-gelombang lainnya
yang dikemukakan oleh Pierre de Fermat. Prinsip Fermat ini dapat
digunakan untuk menurunkan hukum-hukum pemantulan cahaya.
A
B
a
b
θ1 θ 2
x
P
d-x
d
Gambar 6. Geometri untuk menurunkan hukum
pemantulan dari prinsip Fermat
19
Dalam Gambar 6 asumsikan bahwa cahaya berasal dari titik
A, mengenai permukaan datar dan dipantulkan menuju titik B. Untuk
mengetahui lintasan yang dilalui oleh cahaya tersebut, permasalahan
yang akan dipecahkan dengan prinsip Fermat adalah menentukan
posisi titik P pada Gambar 6 sehingga cahaya akan berjalan dari titik A
ke titik B.
Apabila lintasan dengan waktu tersingkat adalah AP-PB,
maka lintasan optisnya adalah:
Δ = n1 AP + n2 PB .
dengan
: indeks bias medium 1 dan
: indeks bias medium 2.
Indeks bias medium 1 bernilai sama dengan indeks bias medium 2
karena cahaya datang dari udara menuju ke titik perpotongan antara
garis normal dan bidang batas kemudian dipantulkan lagi ke udara.
Sehingga
dengan
adalah indeks bias udara. Karena
n1 = n2 = n , maka lintasan optisnya dapat ditulis:
Δ = n( AP + PB ) .
Waktu yang dibutuhkan oleh cahaya melalui lintasan total adalah:
2
2
2
Δ n( AP + PB ) n a + x + n b + (d − x )
t= =
.
=
c
c
c
2
⎛ n a 2 + x 2 + n b 2 + (d − x )2
d⎜
⎜
c
dt
= ⎝
Jelas
dx
dx
⎞
⎟
⎟
⎠
20
⎛
⎜ n a2 + x2
d⎜
⎜
= ⎝
)
⎛
⎜ n a2 + x2
d⎜
c
⎜
⎝
=
dx
)
(
(
(
(
n1
(a
=
c2
1
2
(
+ n b 2 + (d − x )
c
)
1
2 2
⎞
⎟
⎟
⎟
⎠
dx
1
2
⎞
⎟
⎟
⎟
⎠
(
⎛
⎜ n b 2 + (d − x )2
d⎜
c
⎜
⎝
+
dx
)
1
2
⎞
⎟
⎟
⎟
⎠
) (
) (
) (
)
(
)
n1
[b + (d − x ) ] (2)(d − x )(− 1)
+ x ) (2 x ) +
c2
1
1
n d a 2 + x 2 2 d a 2 + x 2 n d b 2 + (d − x ) 2 d b 2 + (d − x )
=
+
c d a2 + x2
dx
c d b 2 + (d − x )2
d (x )
2
2
1
2 −2
2
2
1
2 −2
nx
n
(d − x )
c
c
.
−
1
2
a2 + x2
b + (d − x ) 2
=
Menurut prinsip Fermat, lintasan yang benar haruslah
memenuhi syarat dt dx = 0.
Jelas
⇔
nx
n
(d − x )
c
c
−
=0
1
a2 + x2
2
b + (d − x ) 2
x
a2 + x2
=
⇔ sin θ1 = sin θ 2
⇔ θ1 = θ 2 .
d−x
b + (d − x )
2
2
.
)
21
Persamaan θ1 = θ 2 menunjukkan bahwa besarnya sudut datang sama
dengan sudut pantul, pernyataan ini pula yang merupakan bunyi
hukum pemantulan.
Prinsip Fermat juga dapat digunakan untuk menurunkan hukumhukum pembiasan cahaya.
A
n1
a
θ1
P
n2
θ2
x
b
d-x
B
d
Gambar 7. Geometri untuk menurunkan hukum
pembiasan dari prinsip Fermat
Dalam Gambar 7 asumsikan bahwa cahaya berasal dari titik
A, mengenai permukaan datar dan diteruskan menuju titik B. Untuk
mengetahui lintasan yang dilalui oleh cahaya tersebut, permasalahan
yang akan dipecahkan dengan prinsip Fermat adalah menentukan
posisi titik P pada Gambar 7 sehingga cahaya akan berjalan dari titik A
ke titik B.
Apabila lintasan AP-PB adalah lintasan dengan waktu
tersingkat, maka lintasan optisnya adalah:
22
Δ = n1 AP + n2 PB
⇔ Δ = n1 a 2 + x 2 + n 2 b 2 + (d − x ) .
2
Waktu yang dibutuhkan oleh cahaya untuk melewati lintasan tersebut
adalah:
2
2
2
Δ n1 a + x + n2 b + (d − x )
.
t= =
c
c
2
⎛ n a 2 + x 2 + n b 2 + (d − x )2
2
d⎜ 1
⎜
c
dt
= ⎝
Jelas
dx
dx
(
⎞
⎟
⎟
⎠
)
1
1
⎞
⎛
⎜ n1 (a 2 + x 2 )2 + n2 b 2 + (d − x )2 2 ⎟
d⎜
⎟
c
⎟
⎜
⎠
⎝
=
dx
1
⎛
⎛
⎞
⎜ n 2 b 2 + (d − x )2
⎜ n1 (a 2 + x 2 )2 ⎟
d
d⎜
⎜
⎟
c
c
⎜
⎟
⎜
⎝
⎠
⎝
=
+
dx
dx
(
)
1
2
⎞
⎟
⎟
⎟
⎠
(
(
) (
)
1
n d (a 2 + x 2 )2 d (a 2 + x 2 ) n2 d b 2 + (d − x )2 2 d b 2 + (d − x )2
= 1
+
c d (a 2 + x 2 )
dx
c d b 2 + (d − x )2
d (x )
1
=
=
[
1
n1 1 2
n 1
−
2
(
a + x 2 ) 2 (2 x ) + 2 b 2 + (d − x )
c 2
c 2
]
−
1
2
(2)(d − x )(− 1)
n1 x
n2
(d − x )
c
c
.
−
1
2
a2 + x2
b + (d − x ) 2
Menurut prinsip Fermat, lintasan yang benar haruslah
memenuhi syarat dt dx = 0.
)
23
Jelas
⇔ n1
n1 x
n2
(d − x )
c
c
−
=0
1
2
a2 + x2
b + (d − x ) 2
x
a +x
2
2
= n2
d −x
b + (d − x )
2
2
⇔ n1 sin θ1 = n 2 sin θ 2 .
Persamaan n1 sin θ1 = n2 sin θ 2 merupakan bunyi hukum pembiasan.
e.
Pembiasan oleh Prisma
Peristiwa
pembiasan
cahaya
pada
prisma
kaca
menghasilkan sudut deviasi (δ ) , yaitu besarnya sudut antara sinar
datang (
dengan sinar bias (
.
δ
Sinar bias
Sinar datang
Gambar 8. Pembiasan pada prisma kaca
Besarnya sudut deviasi yang terjadi ternyata bervariasi. Jika
sudut datang diperbesar, maka besarnya sudut deviasi akan berkurang,
akhirnya akan mencapai minimum, kemudian membesar lagi. Sudut
deviasi mencapai minimum (
, jika cahaya memotong prisma secara
simetri seperti dilukiskan pada Gambar 9 sebagai berikut.
24
Sinar datang
Sinar bias
Gambar 9. Geometri cahaya yang melewati prisma kaca
dan membentuk deviasi minimum.
f. Dispersi Warna
Cahaya putih terdiri dari beberapa komponen warna. Di
ruang hampa, semua warna mempunyai cepat rambat yang sama, yaitu
sama dengan c. Ketika berkas cahaya masuk kedalam medium lain,
maka cepat rambat untuk masing-masing warna berbeda. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya perbedaan indeks bias masing-masing warna,
sehingga sinar putih yang datang dengan sudut datang θ 1 akan
dibiaskan menjadi berbagai warna dengan sudut bias θ 2 yang besarnya
kontinu. Peristiwa dispersi cahaya dapat digambarkan sebagai berikut.
Sinar putih
Gambar 10. Peristiwa dipersi cahaya.
Merah
Jingga
Kuning
Hijau
Biru
Nila
Ungu
25
Terurainya sinar putih menjadi beberapa warna cahaya
disebabkan karena indeks bias, sudut deviasi dan panjang gelombang
masing-masing warna cahaya berbeda. Dalam hal ini:
-
Warna cahaya merah memiliki indeks bias terkecil daripada warna
cahaya yang lain sedangkan sinar ungu memiliki indeks bias
terbesar.
-
Warna cahaya merah memiliki sudut deviasi terkecil daripada
warna cahaya yang lain sedangkan warna sinar ungu memiliki
sudut deviasi terbesar.
-
Warna cahaya merah memiliki panjang gelombang terpanjang
sedangkan sinar ungu memiliki panjang gelombang terpendek.
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini metode yang penulis gunakan adalah studi pustaka.
Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut.
3.1
Identifikasi Masalah
Dalam tahap ini dilakukan pencarian sumber pustaka dan memilih
bagian dalam sumber pustaka tersebut yang dapat dijadikan sebagai
permasalahan yang akan dikaji.
3.2
Perumusan Masalah
Masalah
yang
ditemukan
kemudian
dirumuskan
kedalam
pertanyaan yang harus diselesaikan yaitu:
d. Bagaimana model matematika dari proses terjadinya pelangi?
e. Berapa besar sudut pelangi primer?
f. Berapa besar sudut pada warna-warna pelangi primer?
Perumusan masalah di atas mengacu pada beberapa pustaka yang
ada. Selanjutnya dengan menggunakan pendekatan teoritik maka dapat
ditemukan jawaban permasalahan sehingga tercapai tujuan penulisan
skripsi.
26
27
3.3
Studi Pustaka
Dalam langkah ini dilakukan kajian sumber-sumber pustaka
dengan cara mengumpulkan data atau informasi yang berkaitan dengan
masalah, mengumpulkan konsep pendukung yang diperlukan dalam
menyelesaikan masalah, sehingga didapatkan suatu ide mengenai bahan
dasar pengembangan upaya pemecahan masalah.
3.4
Analisis dan Pemecahan Masalah
Dari berbagai sumber pustaka yang sudah menjadi bahan kajian,
diperoleh suatu pemecahan masalah di atas. Selanjutnya dilakukan
langkah-langkah pemecahan masalah sebagai berikut.
a. Menentukan model matematika dari proses terjadinya pelangi.
b. Mencari besar sudut pelangi primer.
c. Mencari besar sudut warna-warna pelangi primer.
3.5
Penarikan Simpulan
Langkah terakhir dalam metode penelitian adalah penarikan
kesimpulan yang diperoleh dari hasil langkah pemecahan masalah.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Model Matematika Dari Peristiwa Terjadinya Pelangi
Pembentukan pelangi adalah sebuah contoh pendispersian cahaya
matahari melalui pembiasan dalam tetes-tetes air. Syarat terjadinya pelangi
adalah jika telah terjadi hujan bersamaan dengan matahari bersinar dan dari
sisi yang berlawanan dari pengamat. Posisi pengamat harus berada di antara
matahari dan tetesan air hujan dengan matahari di belakang pengamat.
Matahari, mata pengamat dan pusat busur pelangi harus berada dalam satu
garis lurus. Yang dimaksud dengan model matematika dari proses terjadinya
pelangi adalah bagaimana menemukan persamaan untuk rumus sudut
deviasi dari pelangi tersebut. Sebagai simulasi untuk menggambarkan
terjadinya pelangi dapat dilihat pada gambar 11 berikut ini.
Gambar 11. Proses terjadinya pelangi
28
29
Keterangan:
Angka 1 untuk warna merah.
Angka 2 untuk warna jingga.
Angka 3 untuk warna kuning.
Angka 4 untuk warna hijau.
Angka 5 untuk warna biru.
Angka 6 untuk warna nila.
Angka 7 untuk warna ungu.
Sinar matahari menembus butiran air hujan melalui titik A. Butiran
air hujan berperilaku seperti prisma kecil. Cahaya sampai pada butiran di A,
dibiaskan menuju B, kemudian dipantulkan di B dan meninggalkan butiran
di C. Pada proses tersebut, sinar matahari dipecah menjadi spektrum warna
seperti pada prisma.
Untuk mengetahui bagaimana jalannya sinar matahari ketika
menembus butiran air hujan di titik A hingga meninggalkan butiran air hujan
di titik C, dapat dilihat pada gambar 12 sebagai berikut.
Gambar 12. Seberkas sinar matahari yang memasuki sebuah tetes air
hujan.
30
Gambar 12 memperlihatkan bagaimana seberkas sinar matahari
memasuki sebuah tetes air hujan pada titik A. Sebagian sinar dipantulkan
dan sebagian lainnya menembus tetes air hujan.
Sudut bias
dihubungkan dengan sudut datang
oleh hukum
Snellius.
Tulis
: indeks bias udara,
: indeks bias air,
: sudut datang, dan
: sudut bias.
Menurut hukum Snellius, berlaku
.
Sinar yang dibiaskan mengenai bagian belakang tetes air pada titik B. Garis
AB adalah jejak sinar yang menembus tetes air hujan tersebut. Garis AO
adalah garis normal, yaitu garis yang terbentuk dari perpanjangan sinar
pantul di titik A dengan pusat lingkaran (tetes air hujan) di titik O. Garis
radial OB merupakan garis yang terbentuk antara pusat lingkaran di titik O
dengan titik bias yang mengenai sisi lingkaran di titik B. Hal itu membuat
sudut
dengan garis radial OB dipantulkan dengan sudut yang sama. Sinar
tersebut dibiaskan kembali pada titik C. Titik P adalah perpotongan garis
31
antara sinar datang dan sinar keluar. Sudut
Hubungan antara
disebut sudut deviasi sinar.
dan β disajikan sebagai
Sudut 2β adalah sudut pelangi tersebut.
berlaku
Dalam
.
berlaku
Dalam
.
ke dalam persamaan
Tulis
.
Jadi
.
Jelas
)
.
Dari
hukum
Snellius
diperoleh
persamaan
.
ke dalam persamaan
Substitusikan persamaan
, diperoleh:
dengan
Persamaan
model matematika dari pelangi, dengan:
.
inilah yang disebut dengan
32
: sudut deviasi pelangi,
: sudut datang,
: indeks bias udara =1 dan
: indeks bias air = .
4.2 Besar Sudut Pelangi Primer
Setelah menemukan rumus untuk mencari sudut deviasi pelangi,
maka untuk mencari berapa besar sudut pelangi, terlebih dahulu harus
mencari besarnya sudut deviasi minimumnya.
.
Sudut deviasi minimum terjadi apabila
Jelas
sehingga
.
33
.
Jadi
.
.
Jadi diperoleh nilai sudut datang
Kemudian
substitusikan
ke
nilai
dalam
persamaan
, diperoleh:
.
Jadi sudut deviasi minimumnya adalah
. Grafik fungsi
terhadap
dan terjadi ketika
ditunjukkan sebagai berikut.
34
Gambar 13. Grafik fungsi
terhadap
Pentingnya sudut deviasi minimum adalah bahwa ketika
dipunyai
sehingga
. Ini berarti bahwa sinar dengan sudut
datang yang sedikit lebih besar atau sedikit lebih kecil dari
akan
terbias dengan sudut deviasi yang hampir sama. Jadi, cahaya yang
dipantulkan oleh tetesan air akan dikonsentrasikan di dekat sudut deviasi
minimum. Konsentrasi sinar yang datang dari dekat arah sudut deviasi
minimum inilah yang membuat pelangi terlihat cemerlang.
Gambar 13 memperlihatkan bahwa sudut elevasi dari pengamat ke
titik tertinggi pada pelangi adalah sekitar
yang disebut dengan sudut pelangi primer.
. Sudut inilah
35
Gambar 14. Sudut pelangi adalah
Jadi untuk mengamati pelangi, seorang pengamat harus melihat
tetesan-tetesan air pada sudut
relatif terhadap garis membelakangi
matahari seperti diperlihatkan pada gambar 14 di atas. Jadi jari-jari sudut
pelangi adalah
.
4.3 Besar Sudut Warna Pelangi
Sinar matahari terdiri dari beberapa panjang gelombang, yakni
merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Indeks bias tiap warna
adalah berbeda. Warna sinar merah memiliki indeks bias terkecil daripada
warna sinar yang lain, sedangkan sinar ungu memiliki indeks bias terbesar.
Indeks bias untuk sinar merah adalah nm=1,3318, sedangkan indeks bias
untuk sinar ungu adalah nun=1,3435.
36
Indeks bias untuk warna-warna pelangi dapat dilihat pada tabel 1
sebagai berikut (Jenkins & White, 1960:476).
No
1
2
3
4
5
6
7
Warna
Merah
Jingga
Kuning
Hijau
Biru
Nila
Ungu
Indeks bias
1.3318
1.3339
1.3362
1.3389
1.3403
1.3429
1.3435
Tabel 1. Indeks bias dari warna pelangi.
Untuk mengetahui besarnya sudut warna-warna pelangi, dapat
dicari dengan memasukkan masing-masing nilai indeks bias dari ketujuh
warna pelangi tersebut ke dalam model matematika yang telah dicari
persamaannya.
4.3.1 Sinar Warna Merah
Sinar warna merah memiliki indeks bias 1,3318. Untuk
mencari besar sudut sinar warna merah, terlebih dahulu akan
dicari besarnya sudut deviasi minimumnya. Rumus untuk mencari
dengan
sudut deviasi adalah
dan
Substitusikan
adalah
indeks
ke
bias
dalam
, diperoleh:
.
warna
merah.
persamaan
37
Sudut deviasi minimum terjadi apabila
sehingga
.
Jelas
.
Jadi
.
Jadi diperoleh nilai sudut datang
.
Kemudian substitusikan nilai
ke dalam persamaan
, diperoleh:
38
.
dan terjadi
Jadi sudut deviasi minimumnya adalah
.
ketika
Jadi sudut pelangi untuk sinar warna merah adalah
. Ini berarti seorang pengamat dapat
melihat sinar warna merah pada pelangi dengan sudut
relatif terhadap garis membelakangi matahari.
4.3.2 Sinar Warna Jingga
Sinar warna jingga memiliki indeks bias 1,3339. Untuk
mencari besar sudut sinar warna jingga, terlebih dahulu akan
dicari besarnya sudut deviasi minimumnya. Rumus untuk mencari
dengan
sudut deviasi adalah
dan
Substitusikan
adalah
indeks
ke
bias
warna
dalam
jingga.
persamaan
, diperoleh:
.
Sudut deviasi minimum terjadi apabila
Jelas
sehingga
.
39
.
Jadi
.
Jadi diperoleh nilai sudut datang
.
Kemudian substitusikan nilai
ke dalam persamaan
, diperoleh:
.
40
Jadi sudut deviasi minimumnya adalah
ketika
dan terjadi
.
Jadi sudut pelangi untuk sinar warna jingga adalah
. Ini berarti seorang pengamat dapat
melihat sinar warna jingga pada pelangi dengan sudut
relatif terhadap garis membelakangi matahari.
4.3.3 Sinar Warna Kuning
Sinar warna kuning memiliki indeks bias 1,3362. Untuk
mencari besar sudut sinar warna kuning, terlebih dahulu akan
dicari besarnya sudut deviasi minimumnya. Rumus untuk mencari
dengan
sudut deviasi adalah
dan
Substitusikan
adalah
indeks
ke
bias
warna
dalam
kuning.
persamaan
, diperoleh:
.
Sudut deviasi minimum terjadi apabila
Jelas
sehingga
.
41
.
Jadi
.
Jadi diperoleh nilai sudut datang
.
Kemudian substitusikan nilai
ke dalam persamaan
, diperoleh:
.
Jadi sudut deviasi minimumnya adalah
ketika
.
dan terjadi
42
Jadi sudut pelangi untuk sinar warna kuning adalah
. Ini berarti seorang pengamat dapat
melihat sinar warna kuning pada pelangi dengan sudut
relatif terhadap garis membelakangi matahari.
4.3.4 Sinar Warna Hijau
Sinar warna hijau memiliki indeks bias 1,3389. Untuk
mencari besarnya sudut sinar warna hijau, terlebih dahulu akan
dicari besarnya sudut deviasi minimumnya. Rumus untuk mencari
dengan
sudut deviasi adalah
dan
adalah indeks bias warna hijau. Substitusikan
ke
dalam
persamaan
, diperoleh:
.
Sudut deviasi minimum terjadi apabila
Jelas
sehingga
.
43
.
Jadi
.
Jadi diperoleh nilai sudut datang
.
Kemudian substitusikan nilai
ke dalam persamaan
, diperoleh:
.
Jadi sudut deviasi minimumnya adalah
ketika
dan terjadi
.
Jadi sudut pelangi untuk sinar warna hijau adalah
. Ini berarti seorang pengamat dapat
44
melihat sinar warna hijau pada pelangi dengan sudut
relatif terhadap garis membelakangi matahari.
4.3.5 Sinar Warna Biru
Sinar warna biru memiliki indeks bias 1,3403. Untuk
mencari besarnya sudut sinar warna biru, terlebih dahulu akan
dicari besarnya sudut deviasi minimumnya. Rumus untuk mencari
dengan
sudut deviasi adalah
dan
adalah indeks bias warna biru. Substitusikan
ke
dalam
persamaan
, diperoleh:
.
Sudut deviasi minimum terjadi apabila
Jelas
sehingga
.
45
.
Jadi
.
Jadi diperoleh nilai sudut datang
.
Kemudian substitusikan nilai
ke dalam persamaan
, diperoleh:
.
Jadi sudut deviasi minimumnya adalah
ketika
dan terjadi
.
Jadi sudut pelangi untuk sinar warna biru adalah
. Ini berarti seorang pengamat dapat
melihat sinar warna biru pada pelangi dengan sudut
terhadap garis membelakangi matahari.
relatif
46
4.3.6 Sinar Warna Nila
Sinar warna nila memiliki indeks bias 1,3429. Untuk
mencari besarnya sudut sinar warna nila, terlebih dahulu akan
dicari besarnya sudut deviasi minimumnya. Rumus untuk mencari
dengan
sudut deviasi adalah
dan
adalah indeks bias warna nila. Substitusikan
ke
dalam
persamaan
, diperoleh:
.
Sudut deviasi minimum terjadi apabila
Jelas
.
sehingga
.
47
Jadi
.
Jadi diperoleh nilai sudut datang
.
Kemudian substitusikan nilai
ke dalam persamaan
, diperoleh:
.
Jadi sudut deviasi minimumnya adalah
ketika
dan terjadi
.
Jadi sudut pelangi untuk sinar warna nila adalah
. Ini berarti seorang pengamat dapat
melihat sinar warna nila pada pelangi dengan sudut
relatif
terhadap garis membelakangi matahari.
4.3.7 Sinar Warna Ungu
Sinar warna ungu memiliki indeks bias 1,3435. Untuk
mencari besarnya sudut sinar warna ungu, terlebih dahulu akan
48
dicari besarnya sudut deviasi minimumnya. Rumus untuk mencari
dengan
sudut deviasi adalah
dan
adalah indeks bias warna ungu. Substitusikan
ke
dalam
persamaan
, diperoleh:
.
Sudut deviasi minimum terjadi apabila
Jelas
.
Jadi
sehingga
.
49
.
Jadi diperoleh nilai sudut datang
.
Kemudian substitusikan nilai
ke dalam persamaan
, diperoleh:
.
dan terjadi
Jadi sudut deviasi minimumnya adalah
.
ketika
Jadi
sudut
pelangi
untuk
sinar
warna
ungu
adalah
. Ini berarti seorang pengamat dapat
melihat sinar warna ungu pada pelangi dengan sudut
relatif terhadap garis membelakangi matahari.
Perbedaan sudut yang kecil inilah yang menjelaskan
bahwa pelangi terdiri atas tujuh busur warna, yaitu mulai dari
warna merah hingga warna ungu. Semakin besar indeks bias
warna
dari pelangi,
maka
semakin
kecil sudut
deviasi
minimumnya. Sehingga, sudut pelanginya semakin besar. Setelah
dilakukan perhitungan dengan memasukkan masing-masing nilai
indeks bias dari ketujuh warna pelangi, maka diperoleh sudut
50
pelangi untuk warna merah adalah sudut pelangi yang paling
besar, sedangkan untuk warna ungu yang paling kecil.
Gambar 15. Sudut warna pelangi.
4.4 Simulasi Pelangi Dengan Aplikasi Program Maple
Proses terjadinya pelangi dapat digambarkan pada program Maple,
yaitu dengan memasukkan model matematika pelangi pada Maple. Aplikasi
Maple untuk menggambarkan pelangi dapat dilihat sebagai berikut.
>
>
>
51
>
>
52
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
53
>
>
>
>
>
54
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Dari pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
a.
Model
matematika
dari
terjadinya
pelangi
, dengan:
adalah
: sudut deviasi pelangi,
: sudut datang,
: indeks bias udara =1, dan
: indeks bias air = .
b. Untuk mengamati pelangi, maka sudut elevasi dari pengamat ke titik
tertinggi pada pelangi adalah sekitar
. Sudut inilah yang disebut
dengan sudut pelangi.
c. Pelangi tersusun atas tujuh warna yaitu merah, jingga, kuning, hijau, biru,
nila dan ungu yang tiap warna memiliki indeks bias yang berbeda. Karena
indeks bias yang berbeda-beda inilah, sudut pelangi untuk tiap warna pun
juga berbeda. Besarnya sudut pelangi tiap warna dapat disajikan dalam
tabel berikut.
55
56
Tabel 2. Daftar sudut pelangi untuk tiap warna pelangi
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sudut pelangi untuk tiap warna
pelangi adalah berbeda. Hal inilah yang menjelaskan bahwa pelangi
tersusun dari tujuh buah warna mulai dari warna merah hingga ungu.
5.2 Saran
Pada penelitian ini penulis hanya mengkaji tentang pelangi primer.
Penelitian mengenai pelangi masih dapat dikembangkan lagi pada pelangi
sekunder untuk mencari model matematika dan besarnya sudut pelangi
sekunder itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Alonso, M. dan Finn E. J. 1990. Dasar-Dasar Fisika Universitas (Edisi kedua
Jilid 1 Mekanika dan Termodinamika). Terjemahan oleh: Dra. Lea
Prasetyo M.Sc., Ir. Kusnul Hadi, Ir. Viktor Siagian. Jakarta: Erlangga.
Ashby, N and S. C. Miller. 1970. Principles of Modern Physics. http://www.
esnips.com/doc/1eba72a9-0f6e-40a1-8e21-c420f69c4600/Principles-ofModern-Physics. Tgl: 13/12/2010.
Ayres, F. JR. 1985. Kalkulus (Teori dan Soal-Soal Diferensial dan Integral).
Terjemahan oleh: Dra. Lea Prasetyo M.Sc. Jakarta: Erlangga.
Chotim, M. 2008. Kalkulus 1. Semarang: UNNES.
Giancoli, D. C. 2001. Fisika Edisi Kelima. Terjemahan oleh : Dra. Yuhilza
Hanum, M.Eng dan Ir. Irwan Arifin, M.Eng. Jakarta: Erlangga.
Jenkins, F. A. and H. E. White. 1960. Fundamental of Optics Fourth Edition.
California: Mcgraw-Hill International Editions.
Martono, K. 1992. Kalkulus 2,3,4 (Seri Matematika Teori, Soal Jawab dan
Pembahasan Edisi Ketiga). Bandung: ITB.
Pommier, S. And M. Risbet. 2005. Time-derivative equations for fatigue crack
growth in metals. International Journal of Fracture, 131/1: 179-106.
Purcell, E. J., D. Varberg dan S. E. Rigdon. 2004. Kalkulus Jilid 1 Edisi
Kedelapan. Terjemahan oleh: I Nyoman Susila. Jakarta: Erlangga.
Sears, F. W. dan Zemansky, M. W. 1987. Fisika Untuk Universitas 3 (Optika,
Fisika Modern). Terjemahan oleh: Ir. Nabris Katib dan Drs. Amir
Achmad M.Sc. Jakarta: Bina Cipta.
Stewart, J. 1998. Kalkulus Edisi Keempat (Jilid1). Terjemahan oleh: Drs. I
Nyoman Susila, M.Sc. dan Hendra Gunawan, Ph.D. Jakarta: Erlangga.
Tipler, P. A. 1998. Fisika (Untuk Sains dan Teknik Edisi Ketiga Jilid 2).
Terjemahan oleh: Dr. Bambang Soegiyono. Jakarta: Erlangga.
57
Download