1 BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Plantar faciitis a. Definisi Plantar fasciitis adalah cedera berlebihan menyebabkan peradangan pada asal plantar fasia dan sekitarnya struktur perifascial, seperti periosteum kalkanealis, yang mempengaruhi sekitar 10% dari manusia setidaknya dalam satu saat dalam hidup (Roxas, 2005). Plantar fasciitis adalah suatu kondisi terjadinya peradangan yang terjadi akibat overstretch pada fascia plantaris (Lawson, 2007). Plantar fasciitis adalah proses inflamasi atau peradangan pada fascia plantaris, yang merupakan jaringan ikat fibrosa disepanjang permukaan bawah telapak kaki yang menghubungan tulang tumit (calcaneus) dengan tulang jari-jari kaki. Penyebab paling sering terjadi pada cedera ini adalah akibat overuse yang menyebabkan terjadinya peradangan fascia plantaris (Kurniawan, 2013). Plantar fasciitis adalah cedera berlebihan yang pada umumnya terjadi sebagai akibat dari kekuatan traksi berulang pada plantar fascia selama kalkaneus distal (Thing et.al., 2012). Gejala terjadinya plantar fascitis adalah nyeri tajam dibagian dalam telapak kaki di daerah tumit. Nyeri tumit yang cenderung bertambah buruk pada beberapa langkah pertama setelah bangun tidur, pada saat naik tangga 8 2 atau pada saat jinjit, nyeri tumit setelah berdiri lama kemudian bangkit dan berjalan. Area nyeri terdapat di bagian medial atau lateral calcaneus atau dibagian lunak dari apponeurosis plantaris dari bagian inferior tuberositas di calcaneus (Wibowo, 2011). Plantar fasciitis menyebabkan nyeri seperti ditusuk atau terbakar yang biasanya bertambah buruk pada pagi hari karena fascia meregang sepanjang malam. Segera setelah berjalan beberapa saat, nyeri yang dirasakan biasanya berkurang, tetapi mungkin akan terasa nyeri kembali setelah berdiri beberapa lama atau setelah bangun dari posisi duduk. Plantar fasciitis biasanya terjadi pada pasien berusia antara 40-60 tahun. Plantar fasciitis bisa terjadi sebagai penyakit tersendiri atau berkorelasi dengan underlying disease lainnya seperti arthritis, ankylosing spondilitis, dan hiperostosis skeletal idiopatik diffusa. Terkadang plantar fasciitis terjadi tanpa penyebab yang jelas. Gambar 2.1. Plantar faciitis (newyork_footdoctor.com) 3 a. Patofisiologi Plantar faciitis merupakan peradangan pada fasia plantaris terutama pada perlekatan fascia plantaris yang letaknya di medial dari tuberositas calcaneus. Wibowo (2011) menyatakan bahwa kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: 1) Proses degenerasi Proses degenerasi ditandai dengan jaringan lemak yang tebal menjadi menipis. Adanya proses degenerasi menyebabkan perubahan serabut-serabut di dalam struktur fascia. Perubahan yang terjadi berupa peningkatan crosslinkage dari serabut kolagen sehingga struktur kolagen menjadi lebih kaku dan akan mengganggu gerakan molekular dari nutrisi dan sisa metabolisme pada level seluler. Hal ini mengakibatkan berkurangnya daya regang dari struktur fascia sihingga fascia mudah mengalami cedera. 2) Kekakuan otot gastrocnemius dan soleus Kekakuan pada otot gastrocnemius dan soleus membatasi gerakan fleksi pada ankle dan menimbulkan pronasi subtalar yang berlebihan. Akibatnya adalah terjadi stres dan penekanan pada fascia plantaris. 3) Kelemahan otot-otot intrinsik kaki Kelemahan dari otot-otot intrinsik kaki dan yang utama yaitu otot tibialis posterior pada tumit, penambahan berat badan atau 4 aktivitas yang berat, kekurangan proprio-sepsi. Hal tersebut akan mengakibatkan tarikan pada ligament fascia, sehingga terjadi kerobekan dan timbul iritasi pada ligament plantar fascia 4) Kurangnya fleksibilitas fascia Kurangnya fleksibilitas fascia menyebabkan daya regang fascia menurun dan akibatnya fascia mudah mengalami cedera. 5) Aktifitas pembebanan yang berat dan berlebihan Aktifitas seperti berdiri atau berjalan yang lebih lama dibanding biasanya akan menimbulkan overstretch pada struktur fascia. 6) Adanya deformitas dari struktur kaki Deformitas seperti pes cavus atau pes planus menimbulkan perubahan alignment dari kalkaneus sehingga mempengaruhi arkus plantaris dalam aktifitasnya menumpu berat badan saat derdiri atau berjalan 7) Penggunaan alas kaki yang keras Penggunaan alas kaki yang keras menimbulkan penekanan pada fascia. 8) Berat badan yang berlebihan Berat badan yang berlebihan akan memberikan beban yang besar pada kaki terutama daerah tumit yang menerima persentase tekanan yang besar sehingga origo struktur fascia mengalami penekanan. 5 9) Rheumatoid arthritis atau gouty arthritis. Pada plantar fasciitis kronik kadang nyeri dirasakan hampir pada seluruh permukaan plantar dari kaki. Bahkan kadang disertai dengan adanya nyeri pada tendon Achilles dan calf muscle. Nyeri juga dirasakan setelah perubahan tingkat aktifitas yang berhubungan dengan berdiri, berjalan atau lari yang lebih lama dibanding biasanya. Sebagian besar pasien plantar fasciitis mengatakan bahwa nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Lokasi nyeri mulai dari bagian medial tumit pada tempat perlekatan fascia plantaris dan kalkaneus yaitu pada kalkaneus tuberositas. Nyeri kemudian menyebar hingga hampir ke seluruh telapak kaki. Tetapi kadang pasien merasa nyeri hanya pada arkusnya saja. Nyeri akan timbul dan hilang tergantung dari tingkat aktifitas yang dilakukan. Mekanisme terjadinya plantar faciitis adalah adanya pembebanan yang berlebihan menyebabkan fascia plantaris yang mengalami degenerasi terjadi penarikan secara berulang-ulang sehingga menyebabkan microinjury. Adanya gaya regangan yang konstan dan berulang menyebabkan fascia yang merupakan lapisan luar arcus plantaris mengalami penekanan pada origonya atau kerobekan pada tempat perlekatannya. Kerobekan tersebut menyebabkan tipe saraf A delta yang bermielin tipis menjadi aktif sehingga timbul rasa nyeri, kemudian impuls tersebut merangsang pelepasan “P” substance ke struktur fascia sehingga memacu reaksi radang di lokasi tersebut. Adanya peradangan tersebut akan mempengaruhi beberapa jaringan spesifik yang terlibat. 6 Pada otot-otot akan terjadi spasme sebagai kompensasi dari nyeri yang terjadi. Selain itu kelemahan pada otot tertentu juga akan menyababkan terjadinya instabilitas sehingga terjadi strain. Fascia plantaris yang mengalami inflamasi pada proses penyembuhan akan mengalami fase proliferasi. Pada fase ini bila terjadi aktifitas fibroblast yang berlebihan dan tidak terkontrol maka akan terjadi abnormal crosslink yang dapat menyebabkan elastisitas fascia menurun. Penurunan elastisitas fascia ini menyebabkan nyeri regang bila fascia terulur. Bila hal ini terjadi terus menerus maka terjadi trauma berulang yang akan menimbulkan inflamasi kronik yang akan semakin memperlambat proses penyembuhan jaringan. Proses radang juga akan mempengaruhi sistem sirkulasi yang akan menurunkan suplai gizi pada jaringan yang mengalami cedera sehingga berlangsung kronik. Penurunan mikrosirkulasi ini juga menyebabkan penumpukan sisa-sisa metabolisme yang dapat mengiritasi jaringan sehingga menimbulkan nyeri. Iritasi kimiawi dari proses radang juga akan mempengaruhi konduktifitas saraf. Akibat terjadi hipersensitifitas yang dapat menurunkan nilai ambang rangsang. Ketika plantar faciitis menjadi kronik sering kali berkembang menjadi heel spur. Heel spur atau kalkaneus spur merupakan suatu pertumbuhan tulang yang abnormal pada bagian bawah tulang calcaneus yang biasnya dihasilkan dari inflamasi fascia plantaris dibagian bawah kaki yang menekan pada tulang kalkaneus. Spur pada tulang berkembang karena fascia plantaris menarik tulang kalkaneus, reaksi terhadap beban regangan 7 tersebut dengan menghasilkan deposit kalsium pada tempat perlekatan fascia sebagai mekanisme proteksi. Deposit kalsium tersebut akan membentuk spur yang bila ujungnya masuk ke dalam fascia plantaris akan menimbulkan nyeri hebat. Kondisi ini dikenal dengan plantar faciitis setempat. Jaringan ikat terutama jaringan ikat padat (dense connective tissue) memiliki beberapa fungsi, diantarnya yaitu (1) memelihara struktur tubuh (2) menyiapakan pertahanan dan kekebalan tubuh terhadap serangan antigen (3) bekerja sama dengan kapiler dalam aktifitas transportasi gizi dan sisa metabolisme. Fascia sendiri merupakan bagian dari jaringan ikat padat teratur (dense regular connective tissue) (Tillman, 2006). Jaringan ikat padat terdiri atas tiga komponen utama yaitu sel, serabut dan bahan ekstraseluler. Sel terdiri dari fibroblast, kondroblas dan osteoblas. Serabut terdiri dari elastin, retikulin dan kolage. Sedang bahan ektraseluler terdiri dari glikosaminoglika, proteoglikan, glikoprotein dan cairan jaringan. Pada proses penyembuhan cedera jaringan ikat sel memiliki peran yang sangat besar. Sel-sel yang terlibat dalam proses tersebut dibedakan atas dua kategori yaitu sel yang bersifat lokal (local) dan sel yang memiliki kemampuan berpindah tempat (transient). Proses penyembuhan cedera terdiri dari beberapa fase yang saling terkait satu sama lain. Untuk dapat memahami proses penyembuhan pada jaringan cedera, berikut ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan proses tersebut. 8 1) Fase inflamasi Reaksi inflamasi bertujuan untuk memindahkan seluruh benda asing bersamaan dengan jaringan yang mati sehingga dapat menurukan kemungkian infeksi dan menyediakan lingkungan yang kondusif untuk penyembuhan luka yang optimal (Tillman, 2006). Fase inflamasi dimulai sesaat setelah terjadi cedera hingga hari ke 10. Saat jaringan lunak penghubung mengalami cedera terjadi degenerasi dari platelet, sel mast dan basofi yang mengakibatkan dilepaskannya beberapa agen. Beberapa agen akan memicu respon inflamasi sedangkan yang lain akan terlibat dalam proses resolusinya. Granulasi dari sel mast akan menghasilkan pelepasan beberapa zat mediator peradangan seperti histamin, asam arasidonik dan heparin yang berperan dalam proses angiogenik pada proses penyembuhan luka. Selama inflamasi akut terbentuk gumpalan darah lokal dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah untuk sementara waktu. Selain itu neutrofi dan monosit akan keluar dari pembuluh darah dan akan tertarik kea era cedera oleh zat kemotaktik yang dilepaskan oleh platelet, sel mast dan basofil. Neutrofi akan memfagositosis bakteri pada area cedera dan meninggikan area cedera saat proses fagositosis selesai. Penghentian invasi dari neutrofil pada aera cedera akan menandai akhir dari bagian awal inflamasi akut. Monosit akan berkembang menjadi makrofag dan akan berada di area cedera selama fase inflamasi hingga fase awal proliferasi. Monosit juga mensintesis dan melepaskan growth 9 factor yang bersifat mitogenik dan angiogenik yang secara kolektif menginisiasi dan membantu untuk kontrol fase proliferasi (Siburian, 2008) Fase inflamasi ini ditandai dengan radang tinggi dengan gejalagejala panas, merah dan bengkak pada daerah trauma. Pada fase ini terjadi aktualitas nyeri yang tinggi dimana fase ini sebagai awal dari prose penyembuhan luka. Proses inflamasi akut adalah proses yang normal dan diperlukan sebagai bagian dari proses penyembuhan cedera jaringan lunak. Kebalikan dari proses ini adalah inflamasi kronik yang menandakan telah terjadi keterlabatan penyembuhan. Fase inflamasi harus dipercepat sehingga fase proliferasi dan remodeling segera dimulai dan proses penyembuhan berlangsung dengan cepat (Siburian, 2008). 2) Fase proliferasi Fase proliferasi ini dimulai pada hari ke 2 atau 3 hingga hari ke 20. Sebagai respon dari pelepasan beberapa faktor atau agen oleh makrofag selama bagian akhir dari fase inflamasi jaringan granulasi akan mulai berkembang di area cedera. Jaringan granulasi adalah bahan yang bervaskularisasi dan bersel. Kaya akan makrofag, limfosit, fibroblast dan sel-sel endothelial. Sel-sel ini dikelilingi oleh matrik berisi fibronekrin, asam hialuronik dan glikosaminoglikan (GAG) dan kolagen. Pada awalnya kolagen yang diproduksi dalam jaringan 10 granulasi adalah tipe III seperti tipe I menjadi dominan. Pada fase ini kolagen mulai tersusun secara acak. Jaringan granulasi dibentuk saat makrofag, fibroblast dan kapiler dibentuk oleh sel-sel endotel yang bermigrasi ke area cedera secara bersama-sama. Makrofag yang mengarahkan migrasi akan diikuti oleh fibroblas dan sel-sel endotel. Fibroblas dan sel-sel endotel ini akan ditarik oleh bahan kemotatik dan growth factor yang dilepaskan oleh makrofag. Sel-sel endotel ini akan tersusun dan membentuk bundelbundel kapiler yang akan mensuplai nutrisi untuk perkembangan jaringan glanulasi. Makrofag memiliki peran penting dalam mengontrol proses perkembangan jaringan granulasi. Bila migrasi makrofag ke area cedera ini dibatasi misalnya oleh pemberian obat-obat steroid anti inflamasi atau oleh serum anti makrofag maka perkembangan jaringan granulasi akan terhambat. Ada beberapa tahap dari fase proliferasi dalam proses pengerutan luka yang bekerja secara simultan. Proses ini terjadi sebagai akibat dari aktivitas myofibroblas yang terletak di tepian daerah cedera. Proses ini merupakan bagian dari proses penyembuhan, dimulai sejak hari ke 4 setelah cedera hingga hari ke 14 atau 21. Adapun tahapan tersebut akan diuraikan sebagai berikut (1) tahapan dari fase proliferasi, perubahan yang terjadi pada aera cedera (2) epitelisasi (granulasi), area cedera akan dipenuhi oleh jaringan granulasi dan struktur seperti batang rambut dan kelenjar keringat, sel epitel akan mecari lingkungan yang 11 kaya akan oksigen dan lembab (3) wound contraction, myofibroblast akan menarik seluruh luka, terjadi mulai hari ke 4 hingga hari ke 14-21 (4) produksi kolagen tensile strength dari luka tergantung dari cross linking yang terjadi. 3) Fase remodeling Selama fase remodeling derajat keteraturan dari penyusunan kolagen meningkat. Hal ini diperkirakan berkaitan dengan gaya mekanik yang terjadi pada jaringan selama aktifitas fisik. Selama fase remodeling selularisasi dan vaskularisasi dari jaringan yang baru terbentuk di area cedera akan berkurang secara bertahap. Hal ini terjadi seiring dengan digantikannya jaringan granulasi oleh jaringan parut. Walaupun proses remodeling berlangsung selama bertahun tahun, jaringan parut tidak akan pernah mencapai keadaan kembali normal. b. Faktor Risiko Nyeri Plantar fasciitis Astuti (2012) menyatakan bahwa beberapa faktor risiko nyeri plantar fasciitis meningkat antara lain adalah : 1) Aktif dalam olahraga. Aktifitas yang menempatkan sejumlah stress pada tulang tumit dan jaringan yang melekat di sekitar tumit adalah yang paling sering menyebabkan plantar fasciitis, antara lain berlari, dansa balet, dan aerobik. 2) Kaki datar atau mempunyai lengkung tinggi. Orang-orang dengan kaki datar mempunyai penyerapan kejutan yang kurang, yang mana hal ini meningkatkan peregangan dan tegangan pada plantar fascia. Orang- 12 orang dengan lengkung kaki yang tinggi mempunyai jaringan plantar yang lebih ketat, yang juga menyebabkan penyerapan kejutan yang kurang. 3) Usia. Nyeri tumit cenderung lebih umum dijumpai oleh karena penuaan menyebabkan lengkung kaki mulai mendatar, menimbulkan stress pada plantar fascia. 4) Berat badan berlebih. Berjalan-jalan dengan berat badan yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan jaringan lemak di bawah tulang tumit dan menyebabkan nyeri tumit. Orang-orang yang naik berat badannya dengan cepat dapat menderita plantar fasciitis, tetapi tidak selalu. 5) Kehamilan. Berat badan yang bertambah dan pembengkakan yang dialami pada saat hamil dapat menyebabkan ligamen (jaringan pengikat) pada tubuh termasuk di kaki–untuk mengendur. Ini dapat menyebabkan permasalahan mekanikal dan peradangan. 6) Pekerjaan. Orang-orang dengan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan banyak berjalan atau berdiri pada permukaan yang keras, termasuk pekerja pabrik, guru, dan pelayan restoran, dapat merusak plantar fascia mereka. 7) Mengenakan sepatu dengan support lengkung kaki yang kurang atau alas sepatu yang kaku.. 13 2. Anatomi pergelangan kaki dan kaki a. Tulang dan persendian Tumit merupakan salah satu bagian dari sistem pertulangan tubuh kita yang terletak di kaki. Tumit itu sendiri merupakan tulang terbesar dari telapak kaki. Tulang ini terletak disebelah belakang yang mengalihkan berat baban di atas tanah ke belakang. Dengan demikian, tulang tumit mempunyai tugas untuk menyangga berat badan, terutama ketika sedang berjalan atau berlari. Di sebelah atas tumit juga bersendi dengan talus (tulang tempat mata kaki berada) dan di depan kuboid (tulang penguhubung dengan jari kaki) (Novita, 2012). Sendi pergelangan kaki membentuk, sendi engsel. Sendi ini dibentuk oleh 3 tulang yaitu: tulang tibia, tulang fibula dan tulang talus. Pada ujung-ujung di persendian pergelangan kaki lindungi cartilago articularis. Terdapat 3 ligamen yang terletak di sebelah lateral dan 1 ligamentum yang terletak di sebelah medial. Ligamentum yang terletak di sebelah lateral di antaranya talofibular anterior ligament, calcaneofibular ligament (CFL) dan posterior ligament talofibular (PTFL), sedangkan ligamentum yang terletak di sebelah medial adalah ligament Deltoid. Pada penderita plantar fasciitis, pada saat berjalan tidak terdapat fase heel strike dan fase mid stance. Hal ini di karenakan adanya nyeri sehingga berjalan jinjit (langsung fase toe off) (Tamsuri, 2007). 14 Tibia Calcaneus Fibula Rearfoot Talus Midfoot Navicula r Forefoot Cuboid Cuneiforms Gambar 2.2. Bones of the Foot and Ankle (Sumber: Novita, 2012) Pada sendi pergelangan kaki terdapat banyak otot di antaranya : (1) otot gastrocnemius dan soleus yang menpunyai tendon yang lebar yang dikenal dengan tendon Achilles yang berfungsi untuk fleksi plantar, (2) Otot peroneus longus yang berorigo di caput fibula dan insersio di tulang tuberositas ossis metatarsal I dan berfungsi untuk fleksi plantar, (3) Otot peroneus brevis yg berorigo di setengah distal fasies lateralis dan insersio di tuberositas osis metatarsal V yang berfungsi untuk fleksi plantar, (4) Otot tibialis anterior yang berfungsi untuk fleksi dorsal dan inverse pergelangan kaki, (5) Otot tibialis posterior yang berfungsi untuk fleksi plantar dan inverse pergelangan kaki (Putz dan Pabst, 2005). Persarafan pada sendi ankle terdiri dari : (1) nerves ischiadicus yang mensarafi otot tungkai bawah dan kaki yang terletak di segmen vertebra 15 setingkat L4 – S3,2, (2) nerves fibularis superficialis yang terletak di segmen vertebra L4-S2 yang mensarafi otot peroneus longus dan peroneus brevis, (3) nerves fibularis profundus yang terletak di segmen L4-S1 yang mensarafi otot tibialis anterior dan ekstensor jari kaki, (4) nerves tibialis yang terletak di segmen vertebra L4-S3 yang mensarafi gastrocnemius, soleus, tibialis posterior dan fleksor jari kaki (Puzt dan Pabst, 2005). b. Perlekatan fascia dengan tulang Pada periosteum tulang banyak mengandung pembuluh darah dan saraf. Aponeurosis plantaris sebagai fascia plantaris melekat pada periosteum tulang calcaneus, sehingga jika fascia plantaris mengalami gangguan atau cedera akan terdeteksi dengan adanya rasa nyeri yang dihantarkan oleh saraf–saraf pada periosteum tulang calcaneus. Selain itu pada perlekatan aponeurosis plantaris dan periosteum ini terdapat sel–sel yang saling bertumpang tindih, sehingga bila terjadi cedera maka cenderung bersifat kronik dan mudah terjadi deposit kalsium yang dapat memicu terbentuknya spur. Medi al Band Later al Band Centr al Band Gambar 2.3. Perlekatan plantar fascia (Sumber: Novita, 2012) 16 2. Konsep Nyeri dan Proses Timbulnya Nyeri a. Definisi Nyeri Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain menyebutkan nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (Smeltzer dan Bare, 2002). Pada dasarnya nyeri dapat diatasi dan atau dikurangi dengan melihat jenis dan tingkatan respn masing-masing individu (Rospond, 2010). Setiap orang dapat mengalami nyeri selama kehidupannya. Derajat nyeri dan respons nyeri berbeda antara satu orang dengan orang lain. Nyeri adalah suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan, yang berhubungan dengan kerusakan jaringan secara aktual atau potensial (Wijaya, 2014). b. Faktor- faktor yang mempengaruhi nyeri Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang Bidan harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri. Hal ini sangat penting dalam pengkajian nyeri yang tepat dan memilih solusi penanganan nyeri yang baik. Judha, et.al 17 (2012), menyatakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nyeri antara lain adalah : 1) Usia Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan. 2) Jenis Kelamin Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam merespon terhadap nyeri. Sesuatu yang diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam mengekspresikan nyeri. Toleransi sejak lama telah lama menjadi subyek penelitian yang melibatkan pria dan wanita, akan tetapi toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap individu tanpa memperhatikan jenis kelamin. 3) Budaya Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena 18 mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri. 4) Makna nyeri Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya. 5) Perhatian Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri. 6) Ansietas/ kecemasan Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. 7) Pengalaman masa lalu Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri. 8) Pola koping Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri. 19 9) Support keluarga dan sosial Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan c. Fisiologi nyeri Menurut Smeltzer dan Bare (2002) cornu dorsalis dari medula spinalis dapat dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan serabut traktus sensori asenden berawal disini. Juga terdapat interkoneksi antara sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri. Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis yang ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan taransmisi informasi yang menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali area ini disebut “gerbang”. Kecendrungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua input yang menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari neuron inhibitor sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan mencegah transmisi sensasi nyeri (Smeltzer dan Bare, 2002). 20 d. Mekanisme timbulnya nyeri pada plantar fasciitis Nyeri pada bagian bawah kaki akibat plantar fasciitis disebabkan oleh adanyan pembebanan yang berlebihan menyebabkan struktur fascia mengalami penekanan yang diikuti penarikan secara berulang-ulang. Adanya daya regang yang konstan dan berulang-ulang serta penekanan yang berlebihan akan menyebabkan struktur fascia akan mengalami kerobekan atau cedera pada tempat perlekatannya. Penyebab lain adalah adanya deposit kalsium pada tulang calcaneus (calcaneus spur) dimana apeksnya masuk ke dalam fascia plantaris sehingga menimbulkan cedera dan dikenal dengan plantar fasciitis setempat (Sidharta, 2008). Nyeri pada fasciitis plantaris biasanya muncul saat bangun tidur di pagi hari saat ingin menapakan atau menjejakan kaki pertama kali ke lantai, berdiri lama,berjalan jauh, duduk terlalu lama dan saat ingin berdiri di medial calcaneus dan pada saat berjalan maka nyeri akan meningkat. Hal ini dikarenakan terjadinya penguluran atau adanya beban yang berlebihan pada arkus longitudinal atau dan hilangnya arkus longitudinal (Rustanti dan Wahyu, 2014). e. Pengukuran nyeri Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon 21 fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007). Penilaian intensitas nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan skala sebagai berikut : 1) Skala intensitas nyeri deskritif Gambar. 2.4 Skala Nyeri Deskriptif Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri (Potter dan Perry, 2006). 22 2) Skala identitas nyeri numerik Gambar 2.5 Skala Nyeri Numerik Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992 dalam Potter dan Perry, 2006). 3) Skala analog visual Gambar 2.6. Skala Nyeri Analog Visual Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) adalah suatu garis lurus/horizontal sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Pasien dimimta untuk menunjuk titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi di sepanjang garis tersebut. Ujung kiri biasanya 23 menunjukkan “tidak ada” atau “tidak nyeri”, sedangkan ujung kanan biasanya menandakan “berat” atau “nyeri yang paling buruk”. Untuk menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis dan jarak yang dibuat pasien pada garis dari “tidak ada nyeri” diukur dan ditulis dalam sentimeter (Smeltzer dan Bare, 2002). Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter dan Perry, 2006). Menurut Kozier et.al., (2010), penilaian intensitas nyeri juga dapat dilakukan dengan observasi langsung respons perilaku dan fisiologis klien. Terdapat variasi luas dalam respon non verbal terhadap nyeri. Respons fisiologis bervariasi sesuai dengan asal dan durasi nyeri. Pada awal awitan nyeri akut sistem saraf simpatis distimulasi, menghasilkan peningkatan tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernapasan, pucat, diaforesis dan dilatasi pupil. 24 Tabel 2.1 Skala Nyeri “Observasi Perilaku” Kategori Skor 0 1 2 Muka Tidak ada ekspresi Wajah menyeringai, atau senyuman dahi berkerut, tertentu, tidak menyendiri mencari perhatian Kaki Tidak ada posisi Gelisah, resah atau relaks menegang Aktivitas Sering dahi tidak konstan, rahang menegang, dagu gemetar dan Menendang atau kaki disiapkan Berbaring, posisi Menggeliat, Menekuk, kaku normal, mudah menaikkan punggung atau menghentak bergerak dan maju, menegang Menangis Tidak menangis Merintih atau Menangis keras, (saat bangun merengek, kadang- berpekik atau sedu maupun saat tidur) kadang mengeluh sedan, sering mengeluh Hiburan relaks Kadang-kadang hati Kesulitan untuk tentram dengan menghibur atau sentuhan, memeluk, kenyamanan berbicara untuk mengalihkan perhatian Total skor 0-10 Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan. Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak memakan banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri 25 akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter dan Perry, 2006). 3. Keseimbangan Statis a. Pengertian Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan sistem neuromuscular tersebut dalam suatu posisi atau sikap yang efisien selagi bergerak (Harsono,2004). Keseimbangan terbagi menjadi dua yaitu statis dan dinamis. Keseimbangan statis adalah kemampuan untuk mempertahankan posisi tubuh dimana Center of Gravity (COG) tidak berubah. Contoh keseimbangan statis saat berdiri dengan satu kaki, menggunakan papan keseimbangan. Keseimbangan dinamis adalah kemampuan untuk mempertahankan posisi tubuh dimana (COG) selalu berubah, contoh saat berjalan. Keseimbangan merupakan integrasi yang kompleks dari system somatosensorik (visual, vestibular, proprioceptive) dan motorik (musculoskeletal, otot, sendi jaringan lunak) yang keseluruhan kerjanya diatur oleh otak terhadap respon atau pengaruh internal dan eksternal tubuh. Bagian otak yang mengatur meliputi, basal ganglia, serebelum, area assosiasi (Nadiaty, 2015). 26 b. Kategori Keseimbangan Keseimbangan terbagi atas dua kelompok, yaitu : 1) Keseimbangan statis Keseimbangan statis adalah kemampuan tubuh untuk menjaga keseimbangan pada posisi (Suhartono, 2005). Pada posisi berdiri seimbang, susunan saraf pusat berfungsi untuk menjaga pusat massa tubuh (center of body mass) dalam keadaan stabil dengan batas bidang tumpu tidak berubah kecuali tubuh membentuk batas bidang tumpu lain (misalnya : melangkah). Pengontrol keseimbangan pada tubuh manusia terdiri dari tiga komponen penting, yaitu sistem informasi sensorik (visual, vestibular dan somatosensoris), central processing dan efektor. Pada sistem informasi, visual berperan dalam contras sensitifity (membedakan pola dan bayangan) dan membedakan jarak. Selain itu masukan (input) visual berfungsi sebagai kontrol keseimbangan, pemberi informasi, serta memprediksi datangnya gangguan. Bagian vestibular berfungsi sebagai pemberi informasi gerakan dan posisi kepala ke susunan saraf pusat untuk respon sikap dan memberi keputusan tentang perbedaan gambaran visual dan gerak yang sebenarnya. Masukan (input) proprioseptor pada sendi, tendon dan otot dari kulit di telapak kaki juga merupakan hal penting untuk mengatur keseimbangan saat berdiri statik maupun dinamik 27 Central processing berfungsi untuk memetakan lokasi titik gravitasi, menata respon sikap, serta mengorganisasikan respon dengan sensorimotor. Selain itu, efektor berfungsi sebagai perangkat biomekanik untuk merealisasikan renspon yang telah terprogram di pusat, yang terdiri dari unsur lingkup gerak sendi, kekuatan otot, alignment sikap, serta stamina. Postur adalah posisi atau sikap tubuh. Tubuh dapat membentuk banyak postur yang memungkinkan tubuh dalam posisi yang nyaman selama mungkin. Pada saat berdiri tegak, hanya terdapat gerakan kecil yang muncul dari tubuh, yang biasa disebut dengan ayunan tubuh. Luas dan arah ayunan diukur dari permukaan tumpuan dengan menghitung gerakan yang menekan di bawah telapak kaki, yang di sebut pusat tekanan (center of pressure-COP). Jumlah ayunan tubuh ketika berdiri tegak di pengaruhi oleh faktor posisi kaki dan lebar dari bidang tumpu (Suhartono, 2005). Posisi tubuh ketika berdiri dapat dilihat kesimetrisannya dengan : kaki selebar sendi pinggul, lengan di sisi tubuh, dan mata menatap ke depan. Walaupun posisi ini dapat dikatakan sebagai posisi yang paling nyaman, tetapi tidak dapat bertahan lama, karena seseorang akan segera berganti posisi untuk mencegah kelelahan (Suhartono, 2005). 2) Keseimbangan dinamis Keseimbangan dinamis adalah kemampuan untuk mempertahankan kesetimbangan ketika bergerak. Keseimbangan 28 dinamis adalah pemeliharaan pada tubuh melakukan gerakan atau saat berdiri pada landasan yang bergerak (dynamic standing) yang akan menempatkan ke dalam kondisi yang tidak stabil (Suhartono, 2005). Keseimbangan merupakan interaksi yang kompleks dari integrasi sistem sensorik (vestibular, visual, dan somatosensorik termasuk proprioceptor) dan muskuloskeletal (otot, sendi, dan jaringan lunak lain) yang dimodifikasi/diatur dalam otak (kontrol motorik, sensorik, basal ganglia, cerebellum, area asosiasi) sebagai respon terhadap perubahan kondisi internal dan eksternal. Dipengaruhi juga oleh faktor lain seperti usia, motivasi, kognisi, lingkungan, kelelahan, pengaruh obat dan pengalaman terdahulu. 4. Activity of Daily Living (ADL) Suatu bentuk pengukuran kemampuan seseorang untuk melakukan activity of daily living secara mandiri. Penentuan kemandirian fungsional dapat mengidentifikasi kemampuan dan keterbatasan klien sehingga memudahkan pemilihan intervensi yang tepat (Maryam, 2008). Kemandirian berarti tanpa pengawasan, pengarahan atau bantuan pribadi yang masih aktif. Seseorang yang menolak untuk melakukan fungsi dianggap sebagai tidak melakukan fungsi, meskipun dianggap mampu. Kemandirian adalah kemampuan atau keadaan dimana individu mampu mengurus atau mengatasi kepentingannya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain (Maryam, 2008). Menurut Agung (2006), Activity of Daily Living adalah pengukuran terhadap aktivitas yang dilakukan rutin oleh manusia setiap hari. Aktivitas 29 tersebut antara lain: memasak, berbelanja, merawat/mengurus rumah, mencuci, mengatur keuangan, minum obat dan memanfaatkan sarana transportasi. Skala ADL terdiri atas skala ADL dasar atau Basic Activity of Daily Living (BADLs), Instrumental or Intermediate Activity of Daily Living (IADLs), dan Advanced Activity of Daily Living (AADLs). Skala ADL dasar mengkaji kemampuan dasar seseorang untuk merawat dirinya sendiri (self care), dan hanya mewakili rentang (range) yang sempit dari kinerja (performance). Skala ADL dasar ini sangat bermanfaat dalam menggambarkan status fungsional dasar dan menentukan target yang ingin dicapai untuk pasien– pasien dengan derajat gangguan fungsional yang tinggi, terutama pada pusat– pusat rehabilitasi. Terdapat sejumlah alat atau instrument ukur yang telah teruji validitasnya untuk mengukur ADL dasar salah satunya adalah indeks ADL Katz. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi defisit status fungsional dasar dan mencoba memperoleh cara mengatasi dan memperbaiki status fungsional dasar tersebut. Skor ADL dasar dari setiap pasien lansia harus diikuti dan dipantau secara berkala/periodik untuk melihat apakah terjadi perburukan atau perbaikan. Menurut Hardywinoto (2007), kemauan dan kemampuan untuk melakukan activity of daily living tergantung pada beberapa faktor, yaitu: a. Umur dan status perkembangan Umur dan status perkembangan seorang klien menunjukkan tanda kemauan dan kemampuan, ataupun bagaimana klien bereaksi terhadap 30 ketidakmampuan melaksanakan activity of daily living. Saat perkembangan dari bayi sampai dewasa, seseorang secara perlahan–lahan berubah dari tergantung menjadi mandiri dalam melakukan activity of daily living. b. Kesehatan fisiologis Kesehatan fisiologis seseorang dapat mempengaruhi kemampuan partisipasi dalam activity of daily living, contoh sistem nervous mengumpulkan, menghantarkan dan mengolah informasi dari lingkungan. Sistem muskuloskeletal mengkoordinasikan dengan sistem nervous sehingga dapat merespon sensori yang masuk dengan cara melakukan gerakan. Gangguan pada sistem ini misalnya karena penyakit, atau trauma injuri dapat mengganggu pemenuhan activity of daily living (Hardywinoto, 2007). c. Fungsi Kognitif Tingkat kognitif dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan activity of daily living. Fungsi kognitif menunjukkan proses menerima, mengorganisasikan dan menginterpretasikan sensor stimulus untuk berpikir dan menyelesaikan masalah. Proses mental memberikan kontribusi pada fungsi kognitif dapat mengganggu dalam berpikir logis dan menghambat kemandirian dalam melaksanakan activity of daily living (Hardywinoto, 2007). 31 d. Fungsi Psikososial Fungsi psikologi menunjukkan kemampuan seseorang untuk mengingat sesuatu hal yang lalu dan menampilkan informasi pada suatu cara yang realistik. Proses ini meliputi interaksi yang kompleks antara perilaku intrapersonal dan interpersonal. Gangguan pada intrapersonal contohnya akibat gangguan konsep diri atau ketidakstabilan emosi dapat mengganggu dalam tanggung jawab keluarga dan pekerjaan. Gangguan interpersonal seperti masalah komunikasi, gangguan interaksi sosial atau disfungsi dalam penampilan peran juga dapat mempengaruhi dalam pemenuhan activity of daily living (Hardywinoto, 2007). e. Tingkat stress Stress merupakan respon fisik nonspesifik terhadap berbagai macam kebutuhan. Faktor yang dapat menyebabkan stress (stressor), dapat timbul dari tubuh atau lingkungan atau dapat mengganggu keseimbangan tubuh. Stressor tersebut dapat berupa fisiologis seperti injuri atau psikologi seperti kehilangan. f. Ritme biologi Ritme atau irama biologi membantu makhluk hidup mengatur lingkungan fisik disekitarnya dan membantu homeostasis internal (keseimbangan dalam tubuh dan lingkungan). Salah satu irama biologi yaitu irama sirkardian, berjalan pada siklus 24 jam. Perbedaaan irama sirkardian membantu pengaturan aktivitas meliputi tidur, temperatur tubuh, dan hormon. Beberapa faktor yang ikut berperan pada irama 32 sirkardian diantaranya faktor lingkungan seperti hari terang dan gelap, seperti cuaca yang mempengaruhi activity of daily living. g. Status mental Status mental menunjukkan keadaan intelektual seseorang. Keadaan status mental akan memberi implikasi pada pemenuhan kebutuhan dasar individu, salah satu yang dapat mempengaruhi ketidakmandirian individu dalam memenuhi kebutuhannya adalah keterbatasan status mental, tentunya akan mengalami gangguan dalam pemenuhan kebutuhan– kebutuhan dasarnya (Hardywinoto, 2007). h. Pelayanan kesehatan Pelayanan kesehatan dan sosial kesejahteraan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pelayanan kesehatan yang berbasis masyarakat. Jenis pelayanan kesehatan salah satunya adalah pemeliharan Activity of Daily Living. Menurut Maryam (2008) dengan menggunakan indeks kemandirian Katz untuk ADL yang berdasarkan pada evaluasi fungsi mandiri atau bergantung dari klien dalam hal makan, mandi, toileting, kontinen (BAB/BAK), berpindah ke kamar mandi dan berpakaian. Penilaian dalam melakukan activity of daily living sebagai berikut: a. Mandi 1) Mandiri : bantuan hanya pada satu bagian mandi (seperti punggung atau ektremitas yang tidak mampu) atau mandi sendiri sepenuhnya. 33 2) Bergantung : bantuan mandi lebih dari satu bagian tubuh, bantuan masuk dan keluar dari bak mandi, serta tidak mandi sendiri. b. Berpakaian 1) Mandiri : mengambil baju dari lemari, memakai pakaian, melepaskan pakaian, mengancing / mengikat pakaian. 2) Bergantung : tidak dapat memakai baju sendiri atau hanya sebagian. c. Toileting 1) Mandiri : masuk dan keluar dari kamar kecil kemudian membersihkan genitalia sendiri. 2) Bergantung : menerima bantuan untuk masuk ke kamar kecil dan menggunakan pispot. d. Berpindah 1) Mandiri : berpindah dari tempat tidur, bangkit dari kursi sendiri. 2) Bergantung : bantuan dalam naik atau turun dari tempat tidur atau kursi, tidak melakukan sesuatu atau perpindahan. e. Kontinen 1) Mandiri : BAB dan BAK seluruhnya dikontrol sendiri. 2) Bergantung : inkontinesia persial atau total yaitu menggunakan kateter dan pispot, enema dan pembalut/pampers. f. Makanan 1) Mandiri : mengambil makanan dari piring dan menyuapinya sendiri. 34 2) Bergantung : bantuan dalam hal mengambil makanan dari piring dan menyuapinya, tidak makan sama sekali, dan makan parenteral atau melalui Naso Gastrointestinal Tube (NGT). Adapun penilaian hasil dari pelaksanaan activity of daily living seperti tercantum dalam tabel berikut : Tabel 2.1. Pembacaan Hasil Penilaian Activity Of Daily Living No Penilaian 6 Mandiri total Kriteria Mandiri dalam mandi, berpakaian, pergi ke toilet, berpindah, kontinen dan makan. 5 Tergantung Mandiri pada semua fungsi di atas, kecuali salah paling ringan satu dari fungsi di atas 4 Tergantung Mandiri pada semua fungsi di atas, kecuali mandi ringan dan satu fungsi lainnya 3 Tergantung Mandiri pada semua fungsi di atas, kecuali mandi, sedang berpakaian, dan satu fungsi lainnya 2 Tergantung Mandiri pada semua fungsi di atas, kecuali mandi, berat berpakaian, pergi ke toilet, dan satu fungsi lainnya 1 Tergantung Mandiri pada semua fungsi di atas, kecuali mandi, paling berat berpakaian, pergi ke toilet, berpindah dan satu fungsi lainnya 0 Tergantung total Tergantung pada 6 fungsi di atas Sumber: Katz et al., 1970 dalam Agung (2006) 5. Medial arch support a. Definisi dan fungsi medial arch support Medial Arch Support adalah jenis ortosis yang di pasang pada bagian medial arkus longitudinalis pedis. Fungsinya adalah sebagai shock breaker tumpuan berat badan pada kaki, untuk support bagian medial arkus longitudinalis pedis dan memberikan stabilitas pada kaki (Nadiaty, 2015). Pemberian medial arch support ini diharapkan arkus longitudinalis pedis menjadi lebih stabil, penumpuan berat badan menjadi lebih normal dan keseimbangan tubuh meningkat dan fungsi berjalan menjadi lebih 35 baik. Penggunaan pada kasus plantar fasciitis untuk mengurangi sensasi nyeri pada kaki. b. Desain dan Cara Kerja Medial arch support ini terbuat dari bahan polimer ringan dan lentur dari bagian heel hingga forefoot. Pada bagian medial terbentuk sebuah tonjolan yang digunakan untuk support arkus pedis pada kaki, sehingga diharapkan dapat menyokong arkus pedis kaki selama digunakan saat berdiri. Medial arch support ini disesuaikan dengan tinggi arkus kaki sehingga akan terasa lebih nyaman dan terjaga keseimbangannya pada saat beraktifitas yaitu saat berdiri. Dengan demikian diharapkan akan meningkatkan stabilitas dan keseimbangan saat berdiri (Nadiaty, 2015).. Arch support Heel pad Gambar 2.7. medial arch support c. Desain dan mekanisme kerja medial arch suport pada plantar fasciitis Medial arch support ini terbuat dari bahan sintetis yaitu soft foam, plastik pp 1 mm dan vinil yang dibentuk sesuai dengan alas sepatu. Pada bagian medial dibentuk sebuah lengkung yang di gunakan untuk support pada arkus pedís. 36 Gambar 2.8. Mekanisme kerja medial arch suport pada plantar faciitis Pada bagian heel pad akan meredam atau mengurangi daya tekan pada bagian heel. Tekanan pada heel akan terdistribusi pada bagian arch support sampai pada bagian forefoot. Pemerataan tekanan pada kaki akan membuat facia plantaris lebih rileks. Pada bagian medial wedge menyokong arcus pedis. Secara biomekanik, pada bagian medial wedge akan menahan beban kaki terutama bagian midfoot (tengah kaki) sehingga pada perlekatan facia plantaris tidak mengalami strecthing yang menyebabkan nyeri. Selain itu, pada bagian medial wedge juga berfungsi untuk mencegah terjadinya pronasi kaki yang membuat facia plantaris terulur (strecthing). 37 Gambar 2.9 Mekanisme kerja fascia plantaris terhadap tekanan atau gaya tekan tubuh Gambar 2.9 menerangkan bahwa fascia plantaris akan terulur jika terjadi gaya tekan tubuh karena sebagai shock absorber. Saat terjadi inflamasi di fascia plantaris, nyeri akan muncul saat ada gaya tekan tubuh. Oleh karena itu, pada daerah arcus perlu didukung untuk mengurangi gaya tekan tubuh sehingga mengurangi daya strecthing pada fascia plantaris. B. Penelitian yang Relevan 1. Takhar dan Saxena (2012) melakukan penelitian dengan judul “Effect of Medial Arch Support in Treatment of Plantar Fasciitis”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh medial arch support pada penanganan kasus plantar fasciitis. Penelitian dilakukan pada 10 subjek laki laki dan perempuan yang dipilih secara acak berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. 38 Subjek diberi program pelatihan dan medial arch support selama 6 minggu serta terapi US (Ultrasound) dari fisioterapi sekali tiap hari untuk 6 hari seminggu. Hasil evaluasi setelah 6 minggu perlakuan yaitu medial arch support dan fisioterapi, mampu mengurangi nyeri dengan nilai p < 0.05. Kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Bhanwar Singh Takhar dan Sanjeev Saxena menyebutkan bahwa program latihan dan penggunaan medial arch support dengan terapi US (Ultrasound) efektif untuk kasus plantar fasciitis. 2. Siswiyanti et.al., (2013) dengan judul “Pengaruh Pemberian Edukasi Dan Medial Arch Support Terhadap Keseimbangan Dinamis Pada Kondisi Fleksibel Flatt Footanak Usia 8 s/d 10 Tahun”. Metode penelitian merupakan penelitian “eksperimental” dengan metode Pretest and Posttest Design, yaitu pada tahap pertama adalah pengambilan sampel berdasarkan kriteria inklusi, diperoleh sejumlah calon subyek penelitian yang memenuhi syarat. Kepada subyek penelitian ini diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian ini. Semua calon subyek penelitian bersedia dengan suka rela untuk menjadi subyek penelitian dengan cara orang tua anak mengisi lembar informed consent. Hasil post test, yaitu merupakan catatan nilai keseimbangan dinamis kelompok perlakuan, Nilai keseimbangan dinamis kelompok perlakuan saat pretest dibandingkan dengan posttest. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai keseimbangan dinamis pada awal penelitian dengan saat akhir penelitian. Hasil Penelitian uji beda pada anak dengan edukasi dan pemakaian Medial Arch Support menunjukkan p = 0,521 yang 39 berarti tidak terdapat pengaruh yang bermakna secara statistik pada edukasi dan pemakaian Medial Arch Support terhadap keseimbangan dinamis pada kondisi Fleksibel Flatt Foot Anak Usia 8 s/d 10 Tahun. 3. Rustanti dan Wahyu (2014) dengan judul “Pengaruh Penggunaan Medial Arch Support Terhadap Penurunan Derajat Nyeri Pada Kasus Plantar Faciitis”. Jenis penelitian ini adalah true experimental dengan desain two groups pre and post test, alat ukur Visual Analogue Scale (VAS), Populasi pasien plantar faciitis di Kota Karanganyar usia 40 s.d. 60 tahun, subyek penelitian 16 perempuan 4 laki-laki yang memenuhi kriteria inklusi, dibedakan menjadi dua kelompok pengguna medial archsupport dan kelompok kontrol tanpa menggunakan medial arch support. Hasil uji beda VAS sebelum dan sesudah menggunakan medial arch support pada kelompok perlakuan selama 2 bulan memakai medial arch support dengan menggunakan uji paired t-test, didapatkan hasil p < 0,001, ini berarti pemakaian medial arch support pada kondisi plantar faciitis ada pengaruh yang signifikan. Sedangkan pada kelompok kontrol, hasil analisis data awal dan akhir penelitian, dengan menggunakan uji beda pairwise comparisons, pada kelompok kontrol selama 2 bulan tanpa memakai medial arch support dengan menggunakan uji Wilcoxon, didapatkan hasil p = 0,005, ini berarti keadaan nilai VAS ada pengaruh secara signifikan saat awal dan akhir penelitian. 4. Nadiaty (2015) dengan judul “Pengaruh Medial Arch Support Terhadap Peningkatan Keseimbangan Statis”. Tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah memberikan medial arch support untuk memperluas 40 bidang tumpu dari kaki. Subjek penelitian berjumlah 32 orang mahasiswa jurusan Ortotik Prostetik Poltekkes Kemenkes Surakarta dengan metode purposive sampling. Rancangan penelitian menggunakan one group pretest posttest dengan rancangan penelitian comparative design. Untuk mengetahui nilai keseimbangan statis sebelum dan sesudah menggunakan medial arch support. Analisa statistik menggunakan uji hipotesis Wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai p = 0.007, ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan standing stork test antara sebelum dan sesudah diberikan perlakuan sehingga terdapat pengaruh medial arch support terhadap peningkatan keseimbangan statis. 5. Syatibi (2014) dengan judul “Pengaruh Trunk Control Activity Terhadap Tingkat Kemandirian Aktivitas Kehidupan Sehari-Hari (Activity Of Daily Living) Pasien Pasca Stroke “. Desain penelitian dilakukan menurut rancangan quasi experiment dengan control group pretest-post test design. Populasi penelitian adalah pasien dengan kondisi pasca stroke yang memperoleh intervensi di Klinik Sasana Husada Grup. Pengambilan sampel menggunakan teknik quota sampling dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang. Analisis data menggunakan independent t-test. Hasil analisis menunjukkan bahwa trunk control activity berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemandirian aktivitas kehidupan sehari-hari (activity daily of living) pasien pasca stroke. 6. Salam dan ELhafz (2011) dengan judul “Low-Dye Taping Versus Medial Arch Support in Managing Pain and Pain-Related Disability in Patients With 41 Plantar Fasciitis”. Sampel penelitian sebanyak 30 pasien plantar fasciitis unilateral (23 laki-laki dan 7 perempuan) secara acak dengan pemberian metode LDT atau kelompok MAS. Kedua kelompok dinilai sebelum dan sesudah percobaan untuk nyeri dan fungsi kaki. Kedua kelompok menerima 9 sesi dengan waktu 3 minggu yang terdiri dari USG dan otot betis peregangan. Sampel diperintahkan untuk menjaga intervensi dukungan (LDT atau MAS) di seluruh periode ini. Teknik analisis data menggunakan paired sample t t-test. Hasil penelitian menunjukkan LDT dan MAS berpengaruh untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan fungsi pada kedua kelompok. Hasil analisis juga menujukkan tidak ada perbedaan perbedaan yang signifikan dalam pretest VAS dan pretest FPDs. Sedangkan pasca-VAS dan pasca-FPDs menunjukkan perbaikan yang signifikan pada pasien dalam kelompok MAS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa MAS lebih nyaman untuk pengelolaan jangka pendek dari rasa sakit dan kecacatan pada pasien dengan plantar fasciitis. 42 C. Kerangka Pikir Plantar fasciitis nyeri Keseimbangan Statis Activity Daily Living Terapi ortotik prostetik (medial arch support) Terapi ortotik prostetik (ultrasound) Pemakaian ortosis yang terbuat dari spon, plastik PE dan vinyl Pemberian getaran mekanik dengan frekuensi antara 20 dan 20.000 Hertz Nyeri Keseimbangan Statis Activity Daily Living Gambar 2.9. Kerangka Pikir Faktor risiko plantar fasciitis antara lain proses degenerasi, kekuatan otot gastrocnemius dan soleus, kelemahan otot intrinsik kaki, kurangnya fleksibilitas fascia, aktifitas pembebanan yang berat, adanya deformitas, penggunaan alas kaki yang keras, obesitas, rheumatoid arthritis. Salah satu tanda dan gejala kasus plantar fasciitis adalah nyeri. Nyeri inilah yang mempengaruhi aktifitas pasien 43 dan mendorong subjek untuk mecari pertolongan atau obat (terapi). Berdasarkan hal tersebut perlu diberikan perlakuan medial arch support pada kelompok perlakuan sedangkan pada kelompok kontrol menggunakan metode VAS. Penatalaksanaan rehabilitasi ortotik prostetik diharapkan mampu mengurangi rasa nyeri pada pasien plantar fasciitis serta dapat meningkatkan keseimbangan statis pasien serta memperbaiki activity daily living. D. Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah : a. Terdapat perbedaan penggunaan medial arch support dan ultrasound (US) terhadap penurunan derajat nyeri. Penggunaan terapi medial arch support menghasilkan nyeri yang lebih rendah daripada ultrasound. b. Terdapat perbedaan penggunaan medial arch support dan ultrasound (US) terhadap keseimbangan statis. Penggunaan terapi medial arch support menghasilkan keseimbangan yang lebih baik daripada ultrasound. c. Terdapat perbedaan penggunaan medial arch support dan ultrasound (US) terhadap penurunan activity daily living. Penggunaan terapi medial arch support menghasilkan activity daily living yang lebih rendah daripada ultrasound.