DAMPAK KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM Oleh: Sarifa Suhra Dosen tetap pada jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone Email: [email protected] Abstrak: This paper examines the impact of women's involvement in Islamic education. The involvement of women in education stems from increased demand equality of rights between men and women through gender analysis and human rights. Later in today's reality there is a shift value of the role of women began to spread to the public sector. The involvement of women in the world of education puts women as the main actors of education that can determine the progress of development of a nation, while making a respectable woman and domiciled equivalent to men. This is possible because the female can become policy makers in education, both she as a housewife, as a teacher, as well as dai'yah in society where he lives. With the involvement of women in the world of education has an impact on the birth of various professions for women such as ministers, director generals, teachers, professors, researchers, supervisors, principals, employees, and others both in his day and generation after generation. Tulisan ini mengkaji tentang dampak keterlibatan perempuan dalam pendidikan Islam. Keterlibatan perempuan dalam dunia pendidikan bermula dari maraknya tuntutan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan melalui analisis gender serta hak asasi manusia. Kemudian dalam realitas dewasa ini terjadi pergeseran nilai terhadap peran perempuan yang mulai meluas pada sektor publik. Keterlibatan perempuan dalam dunia pendidikan menempatkan perempuan sebagai pelaku utama pendidikan yang dapat menentukan kemajuan pembangunan suatu bangsa, sekaligus menjadikan perempuan terhormat dan berkedudukan setara dengan kaum laki-laki. Ini dimungkinkan karena perempuan dapat menjadi penentu kebijakan dalam dunia pendidikan baik ia sebagai ibu rumah tangga, sebagai guru, maupun sebagai dai’yah di lingkungan masyarakat tempat tinggalnya. Dengan keterlibatan perempuan dalam dunia pendidikan tersebut berdampak pada lahirnya berbagai profesi bagi perempuan-perempuan lainnya seperti menteri, dirjen, guru, dosen, peneliti, supervisor, kepala sekolah, pegawai dan lainlainnya baik bagi generasi pada zamannya maupun generasi setelahnya. Kata kunci: keterlibatan, perempuan, pendidikan I. PENDAHULUAN Dalam dua dasawarsa terakhir ini, kajian tentang perempuan di berbagai belahan dunia khususnya di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Hal itu terlihat pada meningkatnya intensitas diskusi, seminar dan penelitan yang menampilkan keragaman aspek yang dikaji dan metode pendekatan yang dipakai. Semua itu dilakukan sebagai bentuk refleksi akan adanya kesadaran berbagai kalangan akan pentingnya kedudukan dan keterlibatan perempuan dalam proses transformasi sosial. Will Durant, seorang sejarahwan terkemuka sebagaimana dikutif oleh Marwah Daud Ibrahim, pernah menulis bahwa manusia di seluruh penjuru dunia akan menyaksikan revolusi besar mulai abad ke-20. Revolusi tersebut menurutnya bukanlah revolusi politik atau militer, tetapi kebangkitan peran perempuan di berbagai bidang kehidupan.1 Oleh karena itu akhir abad ke 20 menjamur isu gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial dan menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial. Berbagai protes dan gugatan yang terkait dengan gender adalah adanya ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan.2 Sejarah dan budaya menganggap kedudukan perempuan selalu menerima kenyataan subordinasi laki-laki. Pembagian kerja secara tegas antara laki-laki dan perempuan berlaku terutama pada lingkungan budaya dimana laki-laki harus bertanggung jawab mencari nafkah dengan menggunakan kekuatan fisik, sedangkan perempuan tinggal di rumah untuk melahirkan, mengasuh, dan merawat anggota keluarganya. Urusan-urusan produktif seakan-akan menjadi tugas laki-laki dan urusan reproduktif (kerumahtanggaan) adalah tugas perempuan. Idealnya perempuan hanya bisa dinilai secara terhormat jika sanggup menjalankan fungsinya tersebut.3 Walaupun hal ini tidak mewakili sebuah kebenaran, tetapi konsep ini dipercayai validitasnya dan diwariskan secara turun temurun melalui sebuah proses pewarisan nilai-nilai atau sosialisasi. Melihat kondisi ini kaum feminisme melakukan penyadaran peran dan fungsi manusia, baik laki-laki maupun perempuan karena feminisme menganggap telah terjadi banyak ketimpangan yang dihadapi masyarakat dalam mengaplikasikan kedua hal tersebut. Penyadaran peran adalah laki-laki dan perempuan secara kodrati memiliki peran dan fungsi yang berbeda agar keduanya saling mengisi. Peran-peran kodrati tersebut sangat penting karena menyangkut kelangsungan generasi manusia. Adapun penyadaran fungsi, bahwa laki-laki dan perempuan secara fungsional memiliki posisi yang sama di dunia sebagai pengatur kehidupan dunia. Feminisme melakukan penyadaran karena melihat kenyataan bahwa kedudukan sebagai pemimpin banyak didominasi oleh laki-laki, padahal seharusnya perempuan juga memiliki kedudukan yang sama.4 Sehubungan dengan hal tersebut Megawangi melihat bahwa secara de jure, tidak ada hambatan struktural bagi perempuan untuk menjadi setara dengan laki-laki, termasuk yang menyangkut faktor keragaman biologis. Sedangkan secara de facto, banyak perempuan yang 1 Lebih lanjut dijelaskan bahwa perjuangan perempuan dalam dunia modern ini,bukan sekedar untuk mendapatkan persamaan kedudukan dan hak semata-mata dengan kaum laki-laki, tetapi untuk lebih dapat melakukan peranannya dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dapat dilihat dalam bidikan lensa masa kini tampak bahwa perempuan begitu handal menekan galaksi board merekayasa gene di laboratorium, mengintip galaksi dari lensa teleskop, mengejar dan menulis berita untuk media massa, sebagian lainnya pandangan diarahkan ke manca Negara, mengadu pikiran di lembaga perwakilan rakyat, merancang pesawat terbang, menjadi dokter dan sebagainya. Lihat marwah Daud Ibrahim, Teknologi Emansipasi dan Transendensi: wacana Peradaban dengan Visi Islami, (Bandung: Mizan, 1994), h. 123 2 J.Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana, 2004, h.313. 3 A.Nurfitri Balasong dan Hasmawati Hamid, Perempuan Untuk Perempuan Sketsa Pemikiran Perempuan untuk Pemberdayaan Potensi Perempuan di Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan: Accae Publishing bekerjasama Tim penggerak PKK Propinsi Sulawesi Selatan, 2006.h.xxiv. 4 Mursyidah Thahir, Jurnal Pemikiran Islam Tentang Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: PP Muslimat NU, 2000, h.75. secara sukarela tidak dapat melepaskan faktor biologisnya terutama yang berkaitan dengan aspek reproduksi.5 Oleh karena itu, istilah diskriminasi adalah tidak tepat, karena hambatan yang ada bagi perempuan untuk setara dengan laki-laki sering datang dari dalam diri perempuan sendiri. Walaupun dapat saja dikatakan karena faktor budaya yang merupakan faktor dari luar diri perempuan, dimana konsep gender adalah sosialisasi budaya. Namun faktor budaya tidak lepas kaitannya dengan faktor keragaman biologis, karena di seluruh dunia ada keseragaman budaya tentang konsep “keibuan” yang selalu melekat pada perempuan. Seiring dengan laju perkembangan dan tuntutan zaman, kondisi saat ini semakin menunjukkan adanya perubahan yang berimplikasi mendorong kemajuan peran perempuan di semua bidang. Perempuan sudah lebih terbuka menafsirkan nilai-nilai budaya, mereka secara kuantitas dan kualitas tidak hanya terlibat di ranah domestik, tetapi juga aktif di ranah publik. Gambaran idealnya kaum perempuan mulai bergeser dalam dunia kerja, yang tadinya merupakan sosok sebagai ibu rumah tangga yang diidealkan dalam masyarakat, kemudian bergesar ke dalam suatu peran yang jauh lebih kompleks di luar rumah tangga. Mereka mulai mencari kerja untuk membantu ekonomi keluarganya. Perempuan sebagai salah satu sumber daya manusia dalam pencari nafkah dewasa ini semakin tinggi, hal ini dapat di lihat dari semakin tingginya partisipasi perempuan dalam berbagai bidang khususnya bidang pendidikan. Keterlibatan aktif perempuan di bidang ini menjadikan mereka berdaya di berbagai lini kehidupan. Memperbincangkan perempuan tak akan pernah ada habis-habisnya. Sejak dahulu hingga sekarang wacana tentang perempuan selalu menjadi agenda yang sangat penting. Terlebih lagi dengan munculnya sekian banyak gerakan feminisme yang mempersoalkan peran perempuan yang dianggap marjinal dan subordinasi dari kaum laki-laki. Mereka berpendapat bahwa saat ini tidak ada penghargaan kepada perempuan, padahal perempuan mempunyai potensi dan kemampuan yang besar. Sebagian aktivis gerakan feminisme bahkan menuduh Islam mendiskritkan perempuan, Islam tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada perempuan. Benarkah tuduhan sebagian aktivis gerakan feminisme itu? Tentu tidak benar. Adanya pemahaman yang keliru tentang peran perempuan merupakan refleksi pemahaman ajaran agama dari sebagian penganutnya dan bukan esensi dan substansi ajaran agama Islam itu sendiri. Kajian tentang peran perempuan perspektif Islam khususnya dalam dunia pendidikan bermula dari maraknya tuntutan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan melalui analisis gender serta hak asasi manusia. Kemudian dalam realitas dewasa ini terjadi pergeseran nilai terhadap peran perempuan yang mulai meluas pada sektor publik. Hal ini menimbulkan pemikiran tentang kedudukan perempuan dalam ajaran Islam yang dipandang oleh sebagian orang tidak memenuhi keadilan dan kesetaraan gender, seolah-olah hal tersebut dilegitimasi oleh ajaran Islam itu sendiri. Pemikiran tersebut berkembang sehingga membentuk suatu pola pikir bahwa sesungguhnya anggapan-anggapan yang menyimpang dari sebagian masyarakat tentang keberadaan hukum Islam itu sendiri memerlukan penjelasan-penjelasan yang kongkrit sehingga masyarakat tidak memberikan interpretasi yang salah tentang Islam. Banyaknya pemikiranpemikiran yang muncul tentang keadilan dan kesetaraan gender yang memasuki kehidupan sosial dalam masyarakat tentunya ikut mempengaruhi pola pikir masyarakat. Melalui informasi yang termaktub dalam al-qur’an dapat diketahui bahwa perempuan memiliki keagungan sebagai manusia, seperti; hak perempuan dalam memiliki harta benda, sesungguhnya Islam telah menghapuskan tradisi yang banyak dilakukan oleh banyak bangsa baik Arab maupun non Arab yang melarang perempuan untuk memiliki harta dan mendapat harta pusaka (warisan). Islam juga memberikan kebebasan kepada perempuan untuk menuntut ilmu. Perempuan juga diberi hak untuk mengerjakan tugas-tugas kemasyarakatan seperti yang 5 Megawangi, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Bandung: Pustaka Mizan, 1999, h. 39. dituntunkan kepada laki-laki (QS. Al-Taubah: 71). Selanjutnya Allah menegaskan persamaan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal mendapat balasan dan masuk surga (QS. Ali Imran:195, QS. Al-Nahl: 97, QS. Al-Nisa: 124). Berdasarkan legitimasi ayat-ayat tersebut, maka perempuan berlomba-lomba untuk terjun ke dunia publik karena adanya jaminan kesetaran dalam meraih pahala dan karier. Salah satu aspek yang paling banyak digeluti oleh kaum perempuan adalah aspek pendidikan khusnya pendidikan Islam. II. PEMBAHASAN A. Perempuan dalam pandangan beberapa tokoh 1. Qasim Amin Qasim Amin adalah tokoh feminis Muslim pertama yang dilahirkan di Tarah, Iskandariah (Mesir), Desember 1865. Qasim dapat menyelesaikan pendidikan tingginya dalam waktu yang relatif singkat. Di antara guru yang dikaguminya di Al-Azhar adalah Muhammad Abduh. Pola berpikir kritis banyak diperolehnya dari guru favoritnya itu. Karena kecerdasannya, Qasim Amin kemudian mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke Fakultas Hukum Universitas Montpellier di Paris Perancis. Sekembalinya ke Mesir, Qasim Amin bekerja pada Dewan Perwakilan Rakyat dan pada sebuah lembaga hukum. Ia menetap di Kairo hingga wafatnya 22 April 1908. Di antara karya-karyanya yang banyak menggugah semangat perempuan untuk bangkit adalah Tahrir al-Mar’ah (1900) dan al-Mar’ah al-Jadidah (1911). Dua karya inilah yang kemudian banyak memberi inspirasi kepada para feminis Muslim untuk memperjuangkan kebebasan untuk perempuan setelahnya hingga sekarang. Gagasan Qasim Amin tentang emansipasi menyulut kontroversi diskursus di kalangan ulama Mesir pada waktu itu. Meskipun ide Qasim Amin ini mendapat banyak sorotan dari para ulama Al-Azhar, ia tidak pernah surut untuk menyuarakannya. Ide emansipasi bertujuan untuk membebaskan kaum perempuan sehingga mereka memiliki keleluasaan dalam berpikir, berkehendak, dan beraktivitas sebatas yang dibenarkan oleh ajaran Islam dan mampu memelihara standar moral masyarakat. Kebebasan dapat menggiring manusia untuk maju dan bergerak pada kebahagiaan. Tidak seorang pun dapat menyerahkan kehendaknya kepada orang lain, kecuali dalam keadaan sakit jiwa dan masih anak-anak (Amin, 2003: 49). Karena itulah ia menyarankan adanya perubahan, karena menurutnya tanpa perubahan mustahil kemajuan dapat dicapai. 2. Amina Wadud Muhsin Amina Wadud Muhsin adalah salah satu pemikir feminis kelahiran Malaysia. Dia menamatkan studinya dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi di Malaysia. Dia menamatkan sarjananya dari Universitas Antar Bangsa, masternya dari University of Michigan Amerika Serikat tahun 1989, dan doktornya dari Harvard University tahun 1991-1993. Sekarang ia tinggal di Amerika Serikat menjabat salah satu guru besar di Departemen Filsafat dan Studi Agama pada Universitas Commenwelth di Virginia. Salah satu tulisannya yang kemudian penulis jadikan sebagai bahan kajian terhadap pemikiran feminismenya adalah Qur’an and Woman (1992). Amina pernah membuat geger para ulama dunia, termasuk Syeikh Yusuf al-Qardawi, ketika ia menjadi khathib dan imam shalat Jum’at di New York City tanggal 18 Maret 2005. Belum lama ini juga terbit buku Amina yang berjudul Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam (2006). Dalam bukunya Qur’an and Woman, Amina mengawali pembahasannya dengan mengritik penafsiran-penafsiran yang selama ini ada mengenai perempuan dalam Islam. Ia membagi penafsiran tersebut ke dalam tiga kategori, yaitu tradisional, reaktif, dan holistik. Tafsir tradisional, menurut Amina, memberikan interpretasi-interpretasi tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan mufassirnya yang bisa bersifat hukum, tasauf, gramatik, retorik, atau historis. Metodologi yang digunakan bersifat atomistik, yaitu penafsiran dilakukan dengan mengupas ayat per ayat secara berurutan. Tidak ada upaya untuk menempatkan dan mengelompokkan ayat-ayat sejenis ke dalam pokok-pokok bahasan yang tertulis. Yang ditekankan oleh Amina bahwa tafsir-tafsir tradisional itu ditulis oleh kaum laki-laki secara eksklusif. Itulah sebabnya maka hanya laki-laki dan pengalaman laki-laki saja yang direkomendasikan dalam tafsir itu. Sedang perempuan - berikut pengalaman, visi, perspektif, keinginan, atau kebutuhannya - ditundukkan pada pandangan laki-laki. Pembahasan Amina mengenai kedudukan perempuan dalam buku tersebut cukup ringkas dan terkesan simpel. Namun, dalam buku tersebut ia menonjolkan semangat egalitarianisme. Ia tidak menganggap matriarkisme adalah alternatif bagi patriarkisme yang selama ini dituding sebagai penyebab ketersudutan perempuan. Ia menginginkan suatu keadilan dan kerja sama antara kedua jenis kelamin tidak hanya pada tataran makro (negara, masyarakat), tetapi juga sampai ke tingkat mikro (keluarga). 3. Fatima Mernissi Fatima Mernissi adalah seorang Muslimah berkebangsaan Maroko. Sekarang ia menduduki jabatan guru besar pada lembaga universiter untuk penelitian ilmiah Universitas Muhammad V Rabat (Maroko). Ia sudah menghasilkan banyak tulisan, baik dalam bentuk buku maupun artikel yang ditulisnya dalam bahasa Perancis. Sebagian karyanya sudah diterbitkan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Di antara karyannya adalah Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society, (1975). Buku ini merupakan desertasinya yang dipertahankan di Brandeis University Amerika Serikat tahun 1973. Bukunya yang lain adalah The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women and Islam (1991). Buku lain yang sebenarnya merupakan terjemahan dari buku yang sama adalah Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry (1991). Melalui bukunya The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam, Mernissi mencoba mengupas penyebab ketersudutan perempuan sepeninggal Nabi Muhammad Saw. Melalui buku ini pula, Mernissi mengajak umat Islam untuk melakukan peninjauan ulang terhadap hadis-hadis Nabi yang dinilai menyudutkan perempuan pada posisi yang rendah dan hina. Dia melakukan banyak kritik terhadap hadis Nabi yang dinilainya sudah banyak mengalami penyimpangan dan manipulasi. Menurut Mernissi, ketersudutan perempuan itu disebabkan oleh banyaknya hadis palsu (tidak sahih) yang bertentangan dengan semangat egalitarianisme yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Masalah hadis baru muncul setelah Nabi wafat, karena pada saat beliau masih hidup segala persoalan yang dialami kaum Muslim bisa langsung dikonsultasikan dengan beliau. Mernissi melacak persoalan itu jauh ke belakang, yakni pada saat Nabi wafat. Pertikaian mulai muncul di kalangan kaum Muslim dalam masalah kepemimpinan (khilafah). Hal ini menjadi pemicu utama ketegangan yang berlarut-larut antara para pemegang otoritas di kalangan kaum Muslim. Dalam analisisnya atas peristiwa yang terjadi pada masa itu, terutama yang berkaitan dengan pemilihan khalifah, Mernissi berkesimpulan bahwa suara kalangan elit, baik dari kalangan Anshar maupun Muhajirin lebih mendominasi (Mernissi, 1991a: 39), sehingga perundingan-perundingan yang terjadi lebih banyak terfokus pada halhal yang esensial menurut kalangan elit tersebut. B. Dampak Keterlibatan Perempuan dalam Pendidikan Islam Keterlibatan perempuan bekerja memang bukanlah sesuatu yang baru bahkan sudah ada sejak zaman dahulu, hanya saja wanita memiliki kesempatan berkiprah di luar lembaga keluarga untuk berpendidikan baik secara individu maupun secara kelompok itu baru terasa beberapa dekade terakhir. Biasanya para wanita memiliki pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya misalnya: mengelolah sawah, membuka warung di rumah, mengkreditkan pakaian dan lain-lain. Di era globalisasi wanita bekerja tidak hanya di dalam rumah sebagai ibu rumah tangga, tetapi bekerja di luar rumah sudah hampir menjadi pemandangan umum, serta menjadi kenyataan yang tidak dapat dijelaskan oleh masyarakat. Sejak zaman purba ketika manusia masih mencari penghidupan dengan cara berburu dan meramu, seorang isteri sesungguhnya sudah bekerja. Wanita bekerja menyiapkan makanan dan mengelola hasil buruan sementara suaminya pergi berburu di hutan. Ketika masyarakat berkembang menjadi masyarakat agraris hingga menjadi masyarakat industri, keterlibatan wanita sangat besar. Bahkan dalam masyarakat berladang berbagai suku di dunia, yang banyak menjaga ternak dan mengelola ladang dengan baik adalah kebanyakan wanita. Begitu juga di era industri permpuan banyak terlibat dalam produksi dan penjualan barang, namun seiring dengan kemajuan zaman terbuka pulalah peran perempuan dalam memajukan peradaban bangsa melalui Pendiidkan. Keterlibatan perempuan dalam pendidikan Islam menjadi suatu keniscayaan sekarang ini terlebih lagi jika melihat dampak era globalisasi yang tidak menutup kemungkinan akan mendangkalkan aqidah dan akhlak generasi muda Islam jika tidak diantisipasi sedini mungkin. Keterlibatan perempuan dalam dunia pendidikan Islam dalam dilihat dalam bidang berikut ini: 1. Dalam keluarga sebagai pendidik pertama dan utama Institusi keluarga sebagai tempat manusia mengawali kehidupannya merupakan dasar dari pembentukan kepribadian setiap insan, karena itu perempuan sebagai pendamping suami, pendidik anak dan pengurus rumah tangga, berperan penting dalam berbagai upaya mewujudkan manusia-manusia yang berbudi luhur, berakhlak mulia, berprikemanusiaan dan berkepribadian teguh.6 6 Muhammad Ali Hasyimi, Syakhshiyyatul Ma’ah al-Musjimah Kama Yashuqhuhal Islam Fil kitab Wassunah diterjemahkan oleh Abdul Goffar dengan judul Jati Diri Wanita Muslimah (Cet. I; Jakarta : Pustaka alKautsar, 1997), h 7. Salah satu fungsi keluarga adalah untuk mendewasaan anak dan memanusiakan manusia. Hal itu dikarenakan dalam keluarga ada proses pendidikan sementara pendidikan berfungsi memanusiakan manusia dengan tanpa pendidikan sama sekali, manusia tidak dapat menjadi manusia sebenarnya.7 Dewasa ini memiliki anak merupakan salah satu pilihan dalam keluarga, karena anak adalah milik orang tua yang pada awalnya anak tidak memiliki kesempatan mengembangkan kepribadiaannya sendiri. Jadi untuk mengarahkan anak berkembang ke arah yang lebih baik adalah orang tuanya sendiri terutama ibu. Secara naluri setiap anak akan memiliki keinginan sesuai dengan kebutuhan setiap jenjang pertumbuhannya, baik itu secara biologis maupun secara sosial. Pola asuh adalah suatu proses interaksi orang tua dengan anak, dimana orang tua menjaga anak-anak mereka, mengarahkan pada hal-hal tertentu dan bagaimana orang tua menanamkan nilai-nilai yang ada pada masyarakat pada anak-anak mereka. Pola asuh orang tua merupakan pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relative konsisten dari waktu ke waktu yang dapat dirasakan oleh anak baik dari segi negatif maupun positif. Pola asuh sejak dini sangatlah menentukan pembentukan kepribadian atau emosi pada anak. Seperti layaknya kita membuat pedang dari besi, kalau kita membentuk pedang tersebut selagi panas maka apa yang terwujud adalah sama dengan apa yang kita harapkan. Tetapi bila kita membentuknya setelah dingin maka sangat sulit dan cenderung mustahil jika kita membuat bentuk seperti yang kita harapkan. Sejak lahir anak bagaikan kertas putih, setelah dewasa kertas putih tersebut berubah menjadi kertas yang berwarna berdasarkan dari karakter dan sifat yang diperoleh dari orang tuanya. Pola asuh yang baik dalam mendidik anak seperti demokratis (mau mendengar dan menerima saran) dan tidak otoriter (memaksakan kehendak) atau permisif (melakukan pembiaran kepada anak) itu diperlukan pendidikan. Sebuah analisis menarik dari Qasim Amin seorang pejuang emansipasi perempuan berkebangsaan Mesir di awal abad ke-19 mengatakan; kenapa umumnya Negara yang mayoritas penduduknya Islam seperti Mesir, India, Malaysia, Indonesia dan lain-lain dijajah oleh oleh bangsa Barat? Jawabnya adalah karena kita miskin dan bodoh. Pertanyaan kemudian muncul kenapa kita miskin dan bodoh? Jawabnya adalah karena separuh penduduk negeri tidak berkualitas dalam hal ini perempuan, mereka dibiarkan dipingit dan dibatasi ruang geraknya untuk aktif di sektor publik termasuk mereka dilarang menuntut ilmu pengetahuan. Menurut Qasim Amin, tidak mungkin perempuan yang bodoh mampu melahirkan generasi berkualitas. Untuk itulah perempuan harus dipersiapkan dan dibekali berbagai ilmu untuk dapat menyiapkan generasi yang berkualitas karena hanya perempuan yang pandai, pintar dan berpendidikanlah yang bisa melahirkan generasi yang berkualitas. Lebih lanjut Qasim Amin dalam hal pendidikan memaparkan bahwa pendidikan Barat modern itu, menempatkan perempuan bukan saja mampu mengatur rumah tangganya tetapi juga mampu membiayai 7 M, Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di lingkungan Sekolah dan Kelurga (Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 25. kehidupan mereka. Oleh karena itu ia tidak dianggap remeh oleh kaum laki-laki, sebab pendidikan membentuk keahlian pada seseorang. Keahlian ini tidak akan tersalur kalau tidak ditopang oleh pendidikan.8 Perempuan tidak akan dapat mengurusi rumah tangganya tanpa pengetahuan intelektual dan etika yang memadai. Perempuan wajib belajar (mempelajari) apa yang dipelajari kaum lelaki mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi agar ia paham dasar-dasar pengetahuan yang memungkinkan ia dapat memilih sesuai minat dan pengembangannya kapan saja. Perempuan adalah sosok yang menjadi tauladan bagi sebuah generasi sehingga perlu dipersiapkan secara matang untuk menuju pada sebuah perubahan. Tampaknya pendapat tersebut didukung oleh Muhammad Abduh, yang berpendapat bahwa pendidikan perempuan tak terbatas pada pendidikan agama saja, namun meliputi juga pendidikan pengelolaan rumah tangga, cara membesarkan anak yang baik dan kondisi dunia, maupun memahami dengan baik hubungan manusia. Membiarkan perempuan dalam kebodohan adalah kejahatan besar, karena mematikan potensinya untuk mengetahui apa saja tentang ilmu pengetahuan, sebab ilmu adalah sesuatu yang wajib dipelajari, Islam sangat mewajibkan kepada ummatnya baik laki-laki maupun perempuan untuk ikut serta menuntut ilmu pengetahuan tanpa menentang ajaran al-qur’an dan sunnah Rasulullah saw. 9 Dari sinilah Qasim Amin memandang perlu untuk mengangkat martabat dan harkat perempuan setara dengan kaum laki-laki dalam mendapatkan hak dan perlakuan yang setara dalam berpendidikan dan melakukan aktivitas kemanusiaan lainnya. Perempuan adalah cermin kemajuan dan kemunduran suatu bangsa. Qasim Amin betul-betul mengubah kebiasan-kebiasan dulu yang terjadi dalam masyarakat Mesir yang membuatnya menjadi bangsa yang tertinggal dari kemajuan bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa Eropa pada waktu itu menuju masyarakat maju dan merdeka dari kebodohan dan kemiskinan. Lebih lanjut Athiyyah al-Abrsyi mengemukakan perempuan harus membekali diri dengan ilmu sebagai pembuka cakrawala dan akhlak yang baik. Kesetaran antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dari kemampuan dan ilmu pengetahuan yang dimiliki.10 Hal ini menunjukkan eksistensi seseorang. Peran pendidik perempuan dapat dimulai dari keluarga. Karena keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak dan sekaligus tempat menimba ilmu, akhlak dan berbagai kecakapan hidup lainnya sebelum bersentuhan dengan dunia luar. Untuk mengokohkan kontribusi perempuan dalam pendidikan dapat dilihat dari syair sebagai berikut: اﻷم ﻣﺪرﺳﺔ إذا أﻋﺪدﺗﮭﺎ * أﻋﺪدت ﺷﻌﺒﺎ طﯿﺐ اﻻﻋﺮاق Artinya: Ibu adalah sekolah jika engkau mempersiapkannya dengan baik* 8 Amin, Qsim. Tahrir al- Mar’ah, ( Cet. I; al-Hay’ah al-Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 1993), h. 32. 9 Ali Rahmena, Para Printis Zaman Baru Islam, Cet. III: Bandug: Mizan, 1998, h.66 10 Muhammad ‘Attiyah al-Abrashi, al Tarbiyah al-Islamiyah, (Mesir: IsaBabi al Halabi, t.t),, h.115. maka sesungguhnya engkau telah mempersiapkan pemuda baik lagi tangguh di masa depan.11 2. Perempuan sebagai guru Dalam konteks pendidikan nasional, tugas dan peran pokok guru yang profesional adalah mendidik, mengajar, dan melatih, yang ketiga-tiganya diwujudkan dalam kesatuan kegiatan pembelajaran. Dalam konteks pendidikan Islam, karakteristik ustaz\ (guru yang perofesional) selalu tercermin dalam segala aktivitasnya sebagai murabbi>, mu’allim, mursyid, mudarris, dan muaddib. Semua tugas itu akan menuntunnya berkreasi, serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam sekitarnya. Dengan begitu, guru/pendidik yang profesional adalah orang yang mampu menyiapkan peserta didik agar dapat tumbuh dan berkembang kecerdasannya; menjadi model atau sentral identifikasi diri dan konsultan bagi peserta didiknya; memiliki kepekaan informasi, intelektual dan moral spiritual serta mampu mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang diridhai oleh Allah. Menjadi model atau sentral identifikasi diri dan konsultan bagi peserta didik bermakna kemampuan guru menjadi teladan dalam berbagai keadaan. Roger, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Yaumi memperkenalkan tentang adanya teori difusi inovasi, bahwa peranan opinion learder (pemimpin opini) memegang posisi sentral dalam mempengaruhi keberterimaan suatu hasil inovasi dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.12 Hal tersebut terjadi karena pemimpin opini memiliki keteladanan yang dapat ditiru dan diikuti oleh kebanyakan pihak. Guru sebagai opinion leader dalam lingkungan institusi pendidikan juga memiliki posisi sentral dalam membentuk karakter atau kepribadian peserta didik. Keteladanan dalam diri seorang pendidik berpengaruh pada lingkungan sekitarnya dan dapat memberi warna yang cukup besar pada masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Bahkan keteladanan itu akan mampu mengubah perilaku siswa dan masyarakat di lingkungan tempat kerja maupun tempat tinggalnya.13 Dengan begitu guru pada umumnya khususnya guru adalah sosok yang diharapkan menjadi pengubah tingkah laku dan pola pikir siswa serta masyarakat dari pribadi yang tidak baik menuju pribadi lebih baik melalui materi PAI yang diajarkannya. Dalam pandangan agama Islam seorang guru hendaknya memiliki karakteristik dapat membedakannya dengan guru lain. Dengan karakteristik itu menjadi ciri dan sifat akan menyatu dalam seluruh totalitas kepribadiannya. Totalitas tersebut kemudian teraktualisasi melalui seluruh perkataan dan perbuatannya. Karakteristik pendidik atau muslim dapat dilihat dalam beberapa bentuk yaitu: yang yang akan guru 1. Mempunyai watak dan sifat rabbaniyah yang terwujud dalam tujuan, tingkah laku dan pola pikirnya. 2. Untuk mencari keridhaan Alah dan penegakan kebenaran. 3. Bersifat sabar dalam mengajarkan bebagai pengetahuan kepada peserta didik. 4. Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya. 11 Ibid. Muhammad Yaumi, Pilar-Pilar Pendidikan Karakter (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012), 12 h. 129. 13 Lebih lanjut dijelaskan bahwa keteladanan yang harus ditanamkan seorang pendidik kepada peserta didiknya mencakup integritas, profesionalitas, dan keikhlasan. Lihat Muhammad Yaumi, Pilar-Pilar Pendidikan Karakter, h. 130-137. 5. Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi sesuai dengan prinsip-prinsip penggunaan metode pendidikan. 6. Berlaku adil terhadap peserta didiknya.14 Seorang guru juga dituntut berbagai persyaratan untuk menjadi guru yang baik. M. Ngalim Poerwanto mengemukakan beberapa karakteristik sifat guru yang baik meliputi: 1. Mampu bersikap adil, meskipun di dunia ini sulit berlaku adil namun paling tidak seorang guru harus berlaku adil terhadap anak didiknya dengan cara memperlakukan mereka sama. Ia tidak membedakan anak yang cantik, anak saudaranya sendiri, anak orang berpangkat, atau anak yang menjadi kesayangannya. Perlakuan yang adil itu perlu bagi guru, misalnya dalam hal memberi nilai dan menghukum anak jika mereka melakukan kesalahan. 2. Percaya dan suka kepada peserta didiknya, seorang guru harus percaya kepada anak didiknya. Ini berarti bahwa guru harus mengakui dan menginsafi bahwa anak-anak adalah makhluk yang mempunyai kemauan, mempunyai kata hati sebagai daya jiwa untuk menyesali perbuatannya yang buruk dan menimbulkan kemauan untuk mencegah perbuatan yang buruk. Guru tidak boleh selalu mengintai perbuatan dan tingkah laku anak sebab jika hal tersebut dilakukan oleh guru itu menandakan bahwa guru kurang percaya pada peserta didik. 3. Sabar dan rela berkorban, sebagai guru atau pendidik sifat sabar perlu dipunyai, baik dalam melakukan tugas maupun dalam menanti hasil dari jerih payahnya. 4. Memiliki kewibawaan (gezag) terhadap anak-anak didiknya. 5. Mampu menjadi penggembira, seorang guru hendaklah memiliki sifat suka tertawa dan suka memberi kesempatan tertawa kepada peserta didiknya. Sifat ini sangat berguna bagi guru, antara lain akan tetap memikat hati peserta didiknya pada waktu mengajar agar peserta didik tidak cepat bosan atau merasa lelah. 6. Bersikap baik terhadap guru-guru lainnya, tingkah laku dan budi pekerti peserta didik sangat banyak dipengaruhi oleh suasana di kalangan guru-guru. Jika guru saling bertentangan, maka siswa akan mengalami konflik batin, pusing, dan sulit menentukan sikap mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk ditiru. 7. Bersikap adil terhadap masyarakat, seorang guru yang merasa cukup dengan pekerjaan di lingkungan sekolah saja, tentu akan kurang luas pandangannya. Mungkin ia akan dihinggapi suatu penyakit yakni merasa dirinya yang terpandai, yang selalu betul, yang sangat dihormati, dan sebagainya. Penyakit demikian akan menyukarkannya untuk bergaul dalam masyarakat, karena dalam pergaulan orang harus menghormati pendapat orang lain, biarpun pendapat yang berlawanan dengan pendapatnya sekalipun. 8. Menguasai materi pelajaran yang diajarkannya, Guru harus selalu menambah pengetahuannya. Mengajar tak dapat dipisahkan dari belajar jadi seorang guru disamping tugasnya mengajar juga harus belajar untuk menambah wawasannya sekaligus menguasai dan mendalami materi pelajaran yang akan diajarkannya. 9. Mencintai mata pelajaran yang diberikannya, mengajarkan mata pelajaran yang disukai sesuai dengan disiplin ilmu yang guru geluti hasilnya lebih baik dan mendatangkan kegembiraaan baginya daripada sebaliknya. 14 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 45-46. 10. Berpengetahuan luas, selain mempunyai pengetahuan yang dalam tentang mata pelajaran yang sudah menjadi tugasnya, akan lebih baik lagi jika guru itu mengetahui pula tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan tugasnya di masyarakat karena guru merupakan tempat bertanya segala sesuatu bagi masyarakat terutama guru Pendidikan Agama Islam (PAI) mengingat mayoritas masyakat kita beragama Islam.15 3. Perempuan sebagai daiyah Era modern16 perempuan diharapkan mampu berperan melakukan perubahan sosial (amar ma‘ruf nahi mungkar), oleh karena itu perempuan harus memosisikan diri sebagai model atau sentral identifikasi diri dan konsultan bagi masyarakat di sekitar tempat tinggalnya dengan menjadi teladan dari berbagai sifat keutamaan seperti adil, percaya diri, sabar, rela berkorban, berwibawa, setia kawan, menyenangkan, cinta profesi sebagai muballighah/dai’yah, serta berpengetahuan luas. Jika perempuan telah memiliki berbagai sifat keutamaan tersebut, maka akan mampu membentuk masyarakat baru, pemimpin dan pembimbing, pengarah transformasi, agen perubahan, serta arsitek dari tatanan sosial yang baru selaras dengan ajaran dan nilai-nilai Ilahi. Agar peranan itu menjadi lebih efektif, maka perempuan harus menjadi aktivis sosial atau da’iyah yang senantiasa mengajak orang lain kepada kebajikan atau petunjuk-petunjuk Ilahi, menyuruh kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang mungkar, minimal menjadi tenaga penggerak atau pengurus majelis taklim dimanapun dan kapanpun perempuan itu berada. Namun demikian suatu fakta yang diungkap oleh UN Women mencatat bahwa kemiskinan, jarak tempuh dari rumah ke sekolah dan nilai budaya adalah faktor-faktor utama penghambat perempuan mengakses pendidikan. Dalam situasi dimana sebuah keluarga dihadapkan pada keterbatasan finansial untuk menyekolahkan anak-anaknya, maka lebih besar kemungkinan anak perempuan diminta mengalah dan memberikan kesempatan menempuh pendidikan kepada saudara laki-lakinya. Jauhnya jarak tempuh dari rumah ke fasilitas pendidikan adalah faktor penghambat lain, terkait langsung dengan masalah keamanan perempuan dan besarnya biaya transportasi yang harus dikeluarkan. Dalam hal budaya, perempuan menghadapi tekanan sosial yang lebih besar dibandingkan laki-laki untuk segera menikah dan setelah menikah menjadi terkendala untuk mengakses pendidikan terutama pendidikan menengah dan tinggi. Data BPS menunjukkan pada tahun 2010, 12,26% perempuan Indonesia menikah pertama 15 M. Ngalim Poerwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Cet. XV; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), h. 143-148. 16 Istilah modern adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu era baru (new age), yang berfungsi untuk membedakan dengan masa lalu (the ancient). Akan tetapi modern itu tidak semata-mata hanya ditandai dengan munculnya renaissance atau enlightenment di Perancis. Melainkan Bertrand Russel mengungkapkan bahwa ada dua hal terpenting yang menandai sejarah modern, yakni runtuhnya kekuasaan/doktrin gereja di abad pertengahan dan menguatnya otoritas sains. Lihat Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat terj. Sigit Jatmiko dkk. (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 645. Lihat juga Ali Maksum dan Luluk Yunan R., Paradigma Pendidikan Universal (Cet. I; Yogyakarta: Ercisod, 2004), h. 35. Lihat juga Muhammad Karim Pendidikan Kritis Transformatif (Cet. I; Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2009), h. 26. kali saat mereka berusia 10-15 tahun dan 32.46% saat berusia 16-18 tahun. Dengan demikian sekitar 45% perempuan Indonesia menikah pertama kali sebelum mereka berusia 19 tahun.17 Pendidikan dipercaya sebagai salah satu motor penggerak perubahan sosial. Bagi perempuan, pendidikan adalah kunci menuju kehidupan yang lebih baik. Namun sebenarnya pendidikan memiliki cakupan manfaat yang lebih luas, bukan hanya pada diri perempuan itu sendiri melainkan meliputi keluarga, komunitas dan negara. Tingkat pendidikan perempuan berpengaruh signifikan terhadap kualitas kesehatan anak. Sebuah kajian Bank Dunia berjudul Gender Equality and the Millennium Development Goals (2003) menunjukan bahwa rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya angka buta huruf ibu berdampak langsung terhadap maraknya gizi buruk akibat rendahnya kualitas pengasuhan bayi dan anak balita. Kajian tersebut menunjukan temuan di 25 negara berkembang, dimana perempuan yang tinggal di bangku sekolah satu hingga tiga tahun lebih lama mampu menurunkan 15% angka kematian anak, sedangkan jangka waktu pendidikan yang sama bagi ayah menurunkan hanya 6% angka kematian anak. Perempuan yang berpendidikan, saat ia menjadi ibu ia akan paham peran gizi, sanitasi dan higiene yang baik bagi kesehatan dirinya dan anaknya. Pendidikan bagi perempuan juga berdampak langsung terhadap penurunan angka kematian ibu hingga 66% atau sama dengan menyelamatkan nyawa 189.000 ibu (UN Women, 2015). Logikanya semakin lama perempuan duduk di bangku sekolah berdampak pada semakin meningkatnya usia pernikahan, yang berarti pula mengurangi resiko kematian akibat hamil dan melahirkan terlalu muda dan terlalu sering. Pendidikan bagi perempuan berdampak pula terhadap meningkatnya pendidikan anak. Setiap satu tahun penambahan waktu ibu di bangku sekolah berdampak terhadap penambahan 0,32 tahun pendidikan anak (UN Women, 2015). Logikanya perempuan yang berpendidikan paham pentingnya pendidikan dan saat menjadi ibu ia akan menjadi pendukung utama pendidikan anak-anaknya. Terlepas dari fakta tersebut, di berbagai belahan dunia masih hidup tradisi yang menomordua-kan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan termasuk pendidikan. Tugas kita semua untuk memajukan bangsa ini melalui pendidikan yang berkualitas dan meng-hapuskan diskriminasi dalam pendidikan bagi perempuan dan kelompok marginal lain. III. PENUTUP Demikian keterlibatan perempuan dalam dunia pendidikan menempatkan perempuan sebagai pelaku utama pendidikan yang dapat menentukan kemajuan pembangunan suatu bangsa, sekaligus menjadikan perempuan terhormat dan berkedudukan setara dengan kaum laki-laki. Ini dimungkinkan karena perempuan dapat menjadi penentu kebijakan dalam dunia pendidikan baik ia sebagai ibu rumah tangga, sebagai guru, maupun sebagai dai’yah di lingkungan masyarakat tempat tinggalnya. Dengan keterlibatan perempuan tersebut akan melahirkan berbagai profesi 17 https://www.google.com/search?q=pendidikan+perempuan&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls= org.mozilla: en- US:official&client=firefox-a&gws_rd=ssl diakses31 Desember 2015 bagi perempuan-perempuan lainnya seperti menteri, dirjen, guru, dosen, peneliti, supervisor, kepala sekolah, pegawai dan lain-lainnya bagi generasi pada zamannya maupun generasi setelahnya. DAFTAR RUJUKAN al-Abrashi, Muhammad ‘Attiyah. al Tarbiyah al-Islamiyah, Mesir: IsaBabi al Halabi, t.t. Amin, Qasim. Tahrir al- Mar’ah, Cet. I; al-Hay’ah al-Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 1993. Arifin, M. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di lingkungan Sekolah dan Kelurga Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Balasong, A.Nurfitri dan Hasmawati Hamid, Perempuan Untuk Perempuan Sketsa Pemikiran Perempuan untuk Pemberdayaan Potensi Perempuan di Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan: Accae Publishing bekerjasama Tim penggerak PKK Propinsi Sulawesi Selatan, 2006.h.xxiv. Hasyimi, Muhammad Ali. Syakhshiyyatul Ma’ah al-Musjimah Kama Yashuqhuhal Islam Fil kitab Wassunah diterjemahkan oleh Abdul Goffar dengan judul Jati Diri Wanita Muslimah Cet. I; Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 1997. Ibrahim, Marwah Daud. Teknologi Emansipasi dan Transendensi: wacana Peradaban dengan Visi Islami, Bandung: Mizan, 1994. Karim, Muhammad. Pendidikan Kritis Transformatif Cet. I; Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2009. Maksum, Ali dan Luluk Yunan R., Paradigma Pendidikan Universal Cet. I; Yogyakarta: Ercisod, 2004. Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana, 2004. Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Bandung: Pustaka Mizan. Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002. Poerwanto, M. Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis Cet. XV; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003. Rahmena, Ali. Para Printis Zaman Baru Islam, Cet. III: Bandug: Mizan, 1998. Russel, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat terj. Sigit Jatmiko dkk. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Thahir, Mursyidah. Jurnal Pemikiran Islam Tentang Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: PP Muslimat NU, 2000. Yaumi, Muhammad. Pilar-Pilar Pendidikan Karakter Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012.