50 BAB IV ALAT STABILISASI FRAKTUR DENTOALVEOLAR PADA

advertisement
BAB IV
ALAT STABILISASI FRAKTUR DENTOALVEOLAR PADA ANAK
4.1 Definisi Alat Stabilisasi
Fraktur dentoalveolar dapat menyebabkan adanya kegoyangan gigi karena
gangguan pada ligamen periodontal atau karena fraktur akar. Alat stabilisasi
digunakan setelah tahap reposisi atau replantasi dilakukan (Curzon, 1999). Alat
stabilisasi merupakan suatu alat yang digunakan untuk mendukung, melindungi,
dan menstabilisasi gigi serta memberikan perlekatan pada saat proses regenerasi
serat-serat ligamen periodontal pada kasus gigi goyang, gigi yang harus
direplantasi, dan fraktur (Von Arx, 2005). Alat stabilisasi harus meminimalisir
komplikasi, mencegah kerusakan lebih lanjut dari jaringan periodontal, dan
meningkatkan kenyamanan dan percaya diri pasien pasca trauma. Tujuan utama
pemasangan alat stabilisasi adalah untuk mendukung jaringan dental yang terkena
trauma agar tidak mendapat beban atau trauma sekunder selama proses
penyembuhan dan pengembalian gigi ke kondisi normal secara optimal. Berthold
dan rekan (2009) mengatakan bahwa fungsi dari penggunaan alat stabilisasi agar
fragmen gigi yang terkena trauma tidak tertelan atau terhisap oleh pasien. Jenis
dan durasi pemakaian alat stabilisasi bergantung pada trauma yang terjadi. Ada
tiga jenis trauma yang biasanya ditindaklanjuti oleh alat stabilisasi, yaitu luksasi,
avulsi, dan fraktur akar horisontal (Curzon, 1999).
50
51
Alat stabilisasi atau alat stabilisasi secara umum harus memenuhi persyaratan
berikut ini (Andreasen, 2007):
1. Aplikasi intraoral secara langsung
2. Mudah dipasang dengan material yang tersedia di ruang praktik dokter gigi
3. Tidak meningkatkan cedera periodontal dan memicu karies
4. Tidak mengiritasi jaringan lunak
5. Bersifat pasif, yaitu tidak menyebabkan tekanan orthodonti pada gigi
6. Dapat digunakan sebagai alat stabilisasi rigid, semi-rigid, atau fleksibel
7. Mudah untuk dilepas dan memiliki risiko minimal atau bahkan tidak ada
bahaya secara pemanen pada gigi
8. Memungkinkan dilakukannya tes pulpa dan perawatan endodontik
9. Hygienis dan estetis
Penelitian di beberapa dekade terakhir ini mengatakan bahwa tindakan
stabilisasi dapat menimbulkan efek samping pada periodontal dan vitalitas pulpa
selama masa penyembuhannya. Pemakaian yang sangat lama akan menyebabkan
terjadinya ankylosis dan dapat merusak proses revaskularisasi pada pulpa. Efek
samping itu dapat memengaruhi kondisi gingiva, periodontal, pulpa, dan email
(Andreasen, 2007) dan risiko komplikasi saat penyembuhan (Berthold, et al.,
2009). Risiko ankylosis dapat dikurangi dengan meminimalisir periode alat
stabilisasiing dan menggunakan teknik yang sesuai dengan tingkat kegoyangan
gigi (Curzon, 1999). Tabel 4.1 menjelaskan secara umum periode pemasangan
alat stabilisasi sesuai dengan jenis trauma.
52
Tabel 4.1 Waktu Pemakaian Alat Stabilisasi (Flores, et al., 2007)
Tipe Trauma
Waktu Alat stabilisasiing
Subluksasi
2 minggu
Ekstrusi
2 minggu
Avulsi
2 minggu
Luksasi lateral
4 minggu
Fraktur Akar (tengah-sepertiga apikal)
4 minggu
Fraktur Alveolar
4 minggu
Fraktur Akar (sepertiga servikal)
4 bulan
Keberhasilan proses stabilisasi pada gigi yang telah direposisi juga ditentukan
oleh kooperatif pasien. Intruksi yang dapat diberikan pada pasien yang
menggunakan alat stabilisasi untuk mendukung keberhasilan perawatan, di
antaranya adalah (Gregg, 1997; Garrido, 2007):
1. Hindari menggigit di atas gigi yang sedang distabilisasi,
2. Menjaga kebersihan mulut, yaitu rajin menyikat gigi dan berkumur dengan
klorheksidin.
3. Hubungi dokter gigi segera jika alat stabilisasi patah/longgar,
4. Aspirin atau asetaminofen dapat diberikan sebagai analgesik, selain itu
antibiotik dapat diresepkan untuk mencegah infeksi,
5. Mengkonsumsi makanan lunak,
6. Hindari terlalu sering berkumur dan meludah selama 24 jam setelah replantasi,
53
7. Setelah 24 jam pemakaian, pasien dianjurkan berkumur dengan air garam
hangat setiap dua jam untuk mencegah pembengkakan pada jaringan di sekitar
gigi.
4.2 Pengaruh Tumbuh Kembang Anak pada Pemilihan Alat Stabilisasi
Fraktur Dentoalveolar pada Anak
Penanganan fraktur dentoalveolar pada anak memiliki perbedaan dengan
penanganan pada orang dewasa karena dokter gigi harus memperhatikan tahap
tumbuh
kembang
anak
tersebut.
Perawatan
yang
dilakukan
harus
mempertimbangkan dampak yang akan terjadi pada perkembangan anak tersebut
di kemudian hari. Dokter gigi menangani pasien yang sedang mengalami masa
pertumbuhan biasanya berdasarkan ukuran tubuhnya masing-masing, namun anak
dapat dikategorikan menjadi 3 tahap perkembangan, yaitu tahap infant di mana
anak tersebut dalam usia 1 tahun setelah persalinan, masa anak adalah ketika ia
berumur 1 hingga 11 tahun, dan masa remaja pada usia 11 hingga 19 tahun
(Fonseca, 2005).
Usia 2 tahun adalah saat di mana prominence dagu berkembang dan gigi
sulung mulai erupsi, garis melintang pada maksila juga berkembang dilengkapi
dengan palatal, premaksila, dan sutura maksila di garis tengah. Usia ini pun
merupakan awal perkembangan gigi tetap, di mana gigi insisif terletak pada
palatal dan sangat dekat dengan apeks gigi insisif sulung. Oleh karena itu bila
terjadi trauma pada gigi sulung maka dokter gigi harus benar-benar
mempertimbangkan kemungkinan terjadi kerusakan pada gigi tetap di bawahnya.
Gambar 4.1 memberikan ilustrasi gangguan perkembangan gigi permanen pada
54
usia 2 tahun ketika terkena trauma. Mahkota gigi insisif sulung bergeser ke bukal
sehingga tekanan akar akan mengganggu perkembangan mahkota gigi insisif
tetap.
Gambar 4.1 Ilustrasi Gangguan Perkembangan Gigi Permanen (Kouch and Poulsen,
2001)
Proses perkembangan maksila berhenti di usia 8 hingga 12 tahun. Pergantian
gigi sulung oleh gigi permanen dimulai pada usia 6 tahun dan pada masa ini
rahang dalam kondisi gigi campuran. Mandibula berkembang menjadi semakin
panjang dan lebar untuk memberikan ruang pada perkembangan gigi.
Perkembangan mandibula berlanjut dengan deposisi di bagian posterior dan
resorpsi di anterior ke arah ramus. Kondisi gigi campuran ini cukup menyulitkan
untuk dilakukan tindakan, maka sebagai aturan umum dokter gigi biasanya
mengambil tindakan yang sederhana pada penanganan trauma anak (Haug and
Foss, 2005).
55
Fraktur yang sering terjadi pada pasien dalam masa pertumbuhan adalah
greenstick fracture karena struktur korteks tulang yang tipis dan tulang medula
yang berkembang. Konsistensi tulang pada anak kurang kondusif jika dipasang
kawat fiksasi dari dalam sehingga pilihan tindakan reduksi tertutup lebih
dianjurkan dibandingkan reduksi terbuka pada trauma dental anak. Osteogenik
dan potensi remodelling tulang pada anak lebih cepat daripada pasien dewasa.
Proses penyembuhan tulang pada anak lebih cepat jika dibandingkan dengan
pasien dewasa sehingga tindakan stabilisasi yang dilakukan tidak membutuhkan
waktu yang lama (Fonseca, 2005)
Aspek lain yang dapat menjadi pertimbangan pemilihan alat stabilisasi pada
anak adalah dengan mengetahui perbedaan struktur anatomi gigi sulung dan gigi
dewasa. Gigi sulung dan dewasa memiliki perbedaan pada ukuran dan dimensi
mahkotanya. Perbedaan secara umum adalah gigi sulung lebih menonjol cervical
ridgesnya, lebih pendek, lebih terang warna emailnya, dan memiliki akar yang
lebih lebar. Diameter bukolingual gigi molar sulung lebih kecil daripada molar
permanen (Ash and Nelson, 2003). Berikut adalah perbedaan yang lebih spesifik
antara gigi sulung dengan gigi dewasa (Ash and Nelson, 2003):
1. Mesiodistal mahkota gigi sulung anterior lebih lebar dibandingkan dengan
panjang akarnya jika dibandingkan dengan gigi permanen.
2. Akar gigi sulung relatif lebih sempit dan panjang. Akar yang sempit dengan
mahkota yang lebar terlihat di sepertiga servikal mahkota dan akar, berbeda
dengan gigi permanen.
56
3. Akar gigi molar sulung lebih panjang, kecil, dan mengembang ke luar melebihi
proyeksi
mahkota.
Ini
merupakan
ruangan
yang
disediakan
untuk
berkembangnya mahkota gigi molar permanen..
4. Cervical ridge dari email gigi anterior menonjol. Tonjolan ini perlu
diperhatikan ketika melakukan prosedur perawatan.
5. Akar dan mahkota gigi molar sulung di bagian servikal lebih kecil
mesiodistalnya.
6. Cervical ridges bagian bukal pada gigi molar sulung lebih jelas, terutama pada
gigi molar pertama baik maksila maupun mandibula.
7. Permukaan bukal dan lingual gigi molar sulung lebih datar di atas lengkung
servikal dibandingkan gigi permanen sehingga permukaan oklusalnya sempit.
8. Gigi sulung biasanya memiliki pigmen yang sedikit dan lebih putih jika
dibandingkan dengan gigi permanen.
4.3 Jenis-jenis Alat Stabilisasi yang Ideal untuk Pasien Anak
Beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan oleh dokter gigi ketika
memilih perawatan stabilisasi pada anak adalah faktor fisik dan psikis anak
tersebut. Faktor fisik adalah struktur anatomi pasien yang masih dalam tahap
pertumbuhan dan perkembangan serta durasi penyembuhan yang lebih cepat
dibandingkan dengan pasien dewasa. Hal ini berpengaruh terhadap pilihan alat
stabilisasi. Syarat yang harus dipenuhi dengan keadaan ini adalah alat stabilisasi
yang digunakan tidak rumit dan cukup sederhana untuk mempertahankan gigi
kembali ke posisi normalnya. Faktor kedua yang perlu dipertimbangkan adalah
57
faktor psikis yaitu sikap anak tersebut ketika dalam masa perawatan. Pasien anak
cenderung memiliki rasa takut dan cemas ketika diberi tindakan oleh dokter gigi.
Dokter gigi perlu melakukan suatu cara untuk memodifikasi tingkah laku pada
anak dengan terlebih dahulu mengetahui sumber rasa takut anak tersebut sehingga
dapat dipilih metode yang sesuai (Soemartono, 2003). Plihan alat stabilisasi yang
baik digunakan pada pasien anak yang kurang kooperatif
ini adalah alat
stabilisasi dengan waktu pengaplikasiannya cepat dan nyaman.
Alat stabilisasi di era tahun 1970 hanya terbatas pada jenis cap alat stabilisasi,
arch bars, dan wire. Keterbatasan ilmu dan material alat stabilisasiing yang belum
berkembang menyebabkan pilihan alat stabilisasi terbatas (Andreasen, 2007).
Buonocore pada tahun 1955 memperkenalkan etsa email dengan asam fosfat dan
sejak saat itu banyak studi merekomendasikan penggunaannya dikombinasikan
dengan resin dan atau material komposit. Cara ini memiliki sifat yang mudah dan
cepat dengan material yang tersedia di klinik, namun teknik ini tidak dapat
digunakan pada mahkota dengan restorasi yang cukup luas (Von Arx, 2005).
Alat stabilisasi harus memiliki fleksibilitas secara vertikal dan horisontal untuk
mendukung penyembuhan tulang, maka dari itu kekakuan alat stabilitasi dapat
dideskripsikan menjadi 3 jenis, yaitu:
1. Alat stabilisasi fleksibel, tingkat kekakuan kurang dari pada gigi yang tidak
mengalami cedera;
2. Alat stabilisasi semi-rigid, tingkat kekauan sama dengan gigi normal;
3. Alat stabilisasi rigid, tingkat kekakuan lebih sedikit dari gigi normal.
58
Pilihan
alat
stabilisasi
pada
fraktur
dentoalveolar
anak
dengan
mempertimbangkan kondisi pasien anak yang sudah dijelaskan sebelumnya
memiliki syarat sebagai berikut:
1. Aplikasi mudah dan tidak memakan waktu yang lama karena kurang
kooperatifnya pasien anak
2. Sesuai dengan tumbuh kembang anak dan tidak membahayakan gigi
penggantinya
3. Tidak memerlukan waktu yang lama untuk dilakukan fiksasi karena proses
penyembuhan yang relatif singkat
4. Harus nyaman karena anak cenderung aktif bergerak
Jenis alat stabilisasi yang biasa digunakan oleh dokter gigi dalam
penanganan fraktur dentoalveolar ada banyak macamnya, berikut adalah jenis alat
stabilisasi berdasarkan material yang digunakan yang cocok diaplikasikan pada
pasien anak (Von Arx, 2005; Andreasen, 2007):
4.3.1 Wire-composite Splint
Alat stabilisasi ini diperkenalkan pada tahun 1987 dan telah diuji secara in vitro
dan in vivo. Kelebihan dari teknik ini adalah mudah didapatkan dan biasanya
tersedia di klinik dokter gigi. Alat stabilisasi ini dapat dimodifikasi menjadi rigid
dengan menambah dimensi kawat atau dapat juga dengan penambahan komposit
di celah interdental di aspek labialnya. Teknik ini menggunakan wire lembut yang
beradaptasi dengan lengkung gigi. Wire terfiksasi di gigi dengan komposit yang
adhesif. Ketebalan wire harus berfungsi secara pasif ketika beradaptasi dengan
59
gigi untuk mencegah tekanan ortodonti yang diberikan oleh alat stabilisasi.
Kekurangan teknik ini dapat menyebabkan kerusakan pada permukaan email
karena perlekatan komposit, namun teknik ini tidak membahayakan mukosa oral
dan mudah untuk menjaga kebersihan mulut (Andreasen, 2007). Gambar 4.2
menunjukkan penggunaan Wire-composite splint pada gigi incisif lateral hingga
molar pertama sulung pada pasien anak. Pilihan alat stabilisasi ini dapat
diaplikasikan pada fraktur akar di bagian middle to third apical dan jika
rigiditasnya ditingkatkan dapat diaplikasikan pada fraktur prosesus alveolaris dan
fraktur akar infraalveolar di bagian servikal (Berthold, et al., 2009)
Gambar 4.2 Wire-Composite Splint (Saito, et.al., 2011)
4.3.2 Orthodontic Splint
Teknik ini menggunakan pendekatan yang sama yaitu dengan menempatkan
braket dengan metode adhesif, kawat ortho diligasi di braket tersebut (Gambar
4.3). Ada kekurangan pada teknik ini yaitu mengiritasi bibir, membuat
ketidaknyamanan saat berbicara, dan sulit dalam menjaga kebersihan mulut. Perlu
adanya perhatian pada teknik ini untuk tidak mengaplikasikan tekanan orthodonti
60
pada gigi yang distabilisasi. Keuntungan yang didapatkan dari alat ini adalah lebih
akurat untuk proses reduksi dengan tekanannya yang cukup lembut (Welbury,
2005).
Gambar 4.3 Orthodontic Splint (Von Arx, 2005)
4.3.3 Titanium Trauma Splint (TTS)
TTS atau Titanium Trauma Splint merupakan alat stabilisasi baru yang lebih
nyaman (Gambar 4.4). Desain rhomboid dari TTS memudahkan saat adaptasi
sesuai dengan panjangnya (Andreasen, 2007). Alat stabilisasi sepenuhnya
diadaptasi dengan tangan, menjaga mobilitas fisiologi gigi, namun tetap adekuat
untuk memfiksasi gigi selama periode alat stabilisasiing. Saat penggunaan dan
pelepasan alat stabilisasi pun mudah karena hanya membutuhkan sedikit komposit
untuk fiksasi (spot etching and bonding). Alat ini dapat diindikasikan pada kasus
fraktur akar, baik di apikal maupun di tengah akar. Rigiditas yang lebih kaku pada
pemasangan TTS dapat diindikasikan pada fraktur prosesus alveolaris TTS cukup
efektif dan mudah digunakan (Ingimarsson, 2002). Pengaplikasian teknik ini
ditunjukkan pada gambar 4.5.
61
Gambar 4.4 TTS (Von Arx, 2005)
Gambar 4.5 Aplikasi Titanium Trauma Splint pada Gigi (Von Arx,
2005)
Keterangan Gambar:
1. Setelah reposisi gigi yang mengalami trauma,
aplikasi etching sesuai dengan permukaan
TTS,
2. Pengaplikasian bonding agent dan light cured
untuk memfiksasi TTS,
3. Setelah proses stabilisasi, TTS dapat dilepas
dengan cara mencungkil dari permukaan,
4. Kondisi setelah dilakukan alat stabilisasiing
dengan TTS
4.3.4 Resin Splint
Teknik ini menggunakan resin sepenuhnya untuk alat stabilisasi. Alat
stabilisasi resin menjembatani seluruh celah interdental dan cukup tidak nyaman
62
jika dibandingkan dengan teknik lain. Kelebihan teknik ini adalah lebih
mengurangi mobilitas gigi jika dibandingkan dengan alat stabilisasi wirekomposit di beberapa penelitian (Von Arx, 2001).
Alat stabilisasi ini cukup kaku maka dari itu tidak cocok untuk semua kasus.
Pelepasan alat stabilisasi ini dapat mengakibatkan kerusakan pada permukaan
enamel sehingga pemakaian alat stabilisasi resin komposit sebaiknya hanya
melibatkan sedikit gigi saja.
Protemp® dan Luxatemp® merupakan material resin alat stabilisasi multifase
yang digunakan pada restorasi prostetik sementara untuk melapisi prefabrikasi
mahkota. Protemp® mengeras secara kimia, sedangkan Luxatemp® mengeras
dengan dua teknik, kimia dan cahaya. Material ini tidak menggunakan tekanan
pada gigi selama pemakaian dan cukup estetik dan higienis. Teknik ini termasuk
ke dalam alat stabilisasiing semi-rigid (Andreasen, 2007). Gambar 4.6
menunjukkan teknik resin alat stabilisasi.
Gambar 4.6 Resin Splint (Von Arx, 2005)
63
4.3.5 Kevlar/fiberglass Splint
Teknik ini menggunakan serat nilon sebagai perekat. Kevlar band atau
fiberglass menstabilkan gigi yang mengalami trauma kepada gigi yang tidak
terkena trauma (gambar 4.7). Fiber atau band ini dicelupkan pada resin dan
diaplikasikan pada permukaan gigi yang sudah dietsa hingga polimerisasi. Alat
stabilisasi ini cukup estetik di dalam mulut dan konstruksinya terang sehingga
menunjukkan tampilan fraktur yang minimal (Von Arx, 2005). Indikasi teknik ini
sama dengan teknik alat stabilisasi resin.
Gambar 4.7 Alat stabilisasi Menggunakan Serat Fiber (Howard, 2008)
4.3.6 Self-etching and bonding materials
Teknik self-etching ini merupakan teknik yang cukup baru dalam metode
adhesif. Kawat ligatur stainless-steel yang lunak dipilin untuk membentuk untai
ganda ditempelken dengan material kompomer oleh light curing secara bertahap.
Teknik ini hadir untuk memudahkan dan mempercepat pengaplikasian alat
stabilisasi, begitu pun saat dilepas. Von Arx mengklaim bahwa material berupa
kompomer ini lebih mudah dilepaskan jika dibandingkan dengan komposit resin
(Von Arx, 2005). Teknik ini dapat dipalikasikan pada kasus fraktur dentoalveolar
dengan tingkat kerusakan atau perubahan posisi gigi yang minimal.
64
4.3.7 Suture Splint
Suture splint merupakan jenis yang cukup praktis (Andreasen, 2007). Suture
splint dapat bermanfaat untuk fiksasi yang bersifat temporer atau bisa dilepas.
Alat stabilisasi ini diindikasikan untuk stabilisasi fraktur tulang pada rahang yang
tidak bergigi atau sudah banyak kerusakan gigi dan atau pada gigi yang kurang
melekat dengan gigi sebelahnya (Syamsudin dan Kasim, 2003). Alat ini hanya
bertahan beberapa hari saja. Jahitan dilakukan di labial dan lingual hingga gigi
tidak bergerak dari soketnya. Sedikit jumlah resin dapat diaplikasikan untuk
memastikan retensi jahitan. Gambar 4.8 menjelaskan cara aplikasi teknik suture
splint.
Gambar 4.8 Aplikasi Suture Splint (Von Arx, 2005)
Keterangan Gambar:
1. Incisif sentral maksila yang mengalami
lateral luksasi
2. Jahitan untuk memfiksasi
diaplikasikan ketika tidak ada gigi
pegangan
3. Setelah dicetak, vacum-formed
removable alat stabilisasi dipasangkan
65
Alat ini juga dinamakan Acrylic Cap Alat stabilisasi. Laporan kasus yang
diterangkan oleh Prabhakar (2006) menjelaskan efektifitas penggunaan alat
stabilisasi Acrylic Cap. Alat stabilisasi ini diindikasikan pada kasus fraktur
alveolar. Prabhakar tidak memilih menggunakan arch bar karena kekurangannya
yang dapat menyebabkan resorpsi akar, atrisi pada gigi sulung, dan pembentukan
akar yang tidak sempurna pada gigi permanen saat fase gigi campuran. Alat ini
cukup ideal di antara pilihan perawatan yang umum digunakan. Acrylic Cap Alat
stabilisasi mudah digunakan dan cukup ekonomis.Alat stabilisasi ini juga cocok
diaplikasikan pada pasien dengan rahang yang sedang berkembang. Instruksi
kepada pasien dan orang tua saat pemakaian alat stabilisasi ini adalah dengan
menjaga kebersihan mulutnya dengan berkumur klorheksidin 0,2% atau
mengirigasi kavitas oral dengan salin hangat 10 cc dengan syringe disposable
setelah makan (Prabhakar, 2006).
Download