BAB I PENDAHULUAN 1.1 latar Belakang Globalisasi sebagai sebuah era baru telah memberikan sebuah dampak tersendiri di dalam relung kehidupan masyarakat di dalam sebuah komunitas dan bahkan bagi suatu negara. Begitu pesatnya kemajuan di dalam sistem informasi yang dibarengi dengan kemajuan teknologi telah menjadi sebuah tonggak terjadi suatu perubahan itu sendiri. Dengan begitu pesatnya kemajuan di bidang teknologi dalam hal ini bidang teknologi komunikasi dan informasi juga telah memberikan kemudahan di dalam memperoleh informasi. Dengan majunya sistem teknologi komunikasi dan informasi juga mempermudah bagi seseorang untuk meraih atau mengakses informasi tentang apa yang sedang terjadi dan sudah terjadi di seluruh penjuru dunia beserta dengan segala perubahan yang diakibatkannya. Perubahan ini tidak hanya berada di dalam tataran bidang ekonomi, politik tetapi juga dalam bentuk gaya hidup, yang memiliki karakterisitik yang berkaitan dengan pola penggunaan waktu, uang, ruang, dan objek-objek yang berkaitan dengan semuanya. Misalnya cara berpakaian, cara makan, cara berbicara, kebiasaan di rumah, kebiasaan di kantor, kebiasaan belanja, pilihan teman, pilihan restoran, pilihan hiburan, tata ruang, tata rambut tata busana dan sebagainya (Piliang, 2004:247). Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang terjadi sangat cepat juga telah berhasil menghilangkan batasan ruang dan waktu antarnegara yang ada di dunia. Globalisasi yang dibarengi oleh perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang begitu pesat dan cepat ini juga menuntut bagi manusia untuk mampu beradaptasi dengan berbagai bentuk pembaharuan yang merupakan dampak dari proses tersebut. Globalisasi dalam hal ini juga telah memberikan ruang yang begitu luas bagi konstruksi identitas, pertukaran benda-benda dan pergerakan antartempat yang semakin mudah dan dikombinasikan dengan kemajuan di dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi. Perubahan–perubahan tersebur juga dipengaruhi oleh modernitas yang dibawa oleh proses globalisasi dan dibarengi dengan perkembangan yang pesat dari teknologi komunikasi dan informasi yang mendorong terjadinya sebuah proses perubahan sosial dan budaya dalam tatanan budaya masyarakat dunia. Seperti perubahan pola hidup dari masyarakat pada suatu negara bahkan komunitas sebagai strukutur masyarakat yang lebih kecil, perubahan budaya dan nilai-nilainya, perubahan seni sebagai pengaruh dari perubahan budaya yang terjadi dan sudah barang tentunya adalah perubahan proses gaya hidup dari masyarakat tersebut. Seperti yang dinyatakan di atas, bahwa globalisasi dan kemajuan teknologi membawa dampak besar di dalam perubahan gaya hidup masyarakat, baik di dalam sebuah komunitas maupun suatu Negara, Menurut David Chaney dalam bukunya yang berjudul Lifestyle, gaya hidup adalah sebuah pola–pola tindakan yang membedakan satu orang dengan orang lain. Di dalam interaksi sehari-hari kita dapat menerapkan suatu gagasan mengenai gaya hidup tanpa perlu menjelaskan apa yang kita maksud; dan kita benar-benar tertantang serta sulit untuk menemukan sebuah deskripsi umum pada hal – hal yang merujuk pada gaya hidup. Oleh karena itu, gaya hidup membantu memahami (yakni menjelaskan tetapi bukan berarti membenarkan) apa yang orang lakukan, mengapa mereka melakukannya, dan apakah yang mereka lakukan bermakna bagi dirinya maupun orang lain (Chaney, 1996:40). Di dalam hubungannya dengan film sebagai salah satu agen dari globalisasi yang sering kali mempengaruhi gaya hidup dari seseorang ataupun komunitas adalah film dokumenter. Fungsi dari film dokumenter menurut Frank Beaver (2009) adalah sebuah film non-fiksi. Film Dokumenter biasanya di-shoot di sebuah lokasi nyata, tidak menggunakan aktor dan temanya terfokus pada subjek–subjek seperti sejarah, ilmu pengetahuan, sosial atau lingkungan. Tujuan dasarnya adalah untuk memberi pencerahan, memberi informasi, pendidikan, melakukan persuasi dan memberikan wawasan tentang dunia yang kita tinggali (Dictionary of Film Terms, 2009:119). Dari berkembangnya teknologi informasi, yang memberikan dorongan untuk turut berkembangnya media televisi, berita, film, dan terlebih lagi perkembangan media internet telah menjadikan ruang dan waktu serta jarak antarbudaya di dunia tidak lagi seluas dahulu, sehingga hal ini memudahkan terjadinya proses penyerapan budaya oleh sebuah komunitas di belahan dunia yang lain yang nantinya diadaptasi oleh komunitas masyarakat di belahan dunia lainnya. Hasil penyerapan budaya yang merupakan bagian dari perkembangan teknologi informasi seperti yang telah disebutkan di atas telah mendorong lahirnya sebuah dinamika perubahan di dalam gaya hidup masyarakat suatu komunitas ataupun suatu negara yang merupakan hasil dari budaya yang mereka serap dari negara atau komunitas lain melalui media film dokumenter tersebut. Gaya hidup sendiri bukanlah sebuah istilah yang baru, gaya hidup adalah pola penggunaan ruang, waktu dan objek yang khas dari kelompok masyarakat tertentu (Piliang, 2005:22). Seiring dengan semakin berkembangnya film – film dokumenter tentang budaya – budaya kaum muda, maka lahirlah sebuah film yang berjudul “Metal: A Headbanger’s Journey” (2005), sebuah film yang bercerita tentang sejarah dan perkembangan metal di fase awal lahirnya musik metal tersebut hingga menyangkut budaya dan gaya hidup serta kontroversi yang dihadapi oleh anggota dari subkultur metal tersebut dari fase awal lahirnya metal pada tahun 1980-an hingga saat ini. Film “Metal: A Headbanger’s Journey” merupakan sebuah film karya dari Sam Dunn seorang antropologis dari Kanada yang menceritakan bagaimana perkembangan dan proses evolusi dari metal sebagai sebuah genre musik dan metal sebagai bagian dari gaya hidup atau life style. Metal sendiri secara historis pertama kali lahir pada tahun 1960-an yang diawali dengan lahirnya band Steppenwolf (Amerika). Penggunaan kata “Metal” sendiri sebenarnya diambil dari salah satu lirik lagu dari band Steppenwolf yang berjudul “Born To Be Wild”, namun istilah “metal” belum sepenuhnya dikenal hingga pada tahun 1970-an. Hingga ketika sebuah band bernama Black Sabbath (Inggris) merilis album debut mereka yang berjudul “Black Sabbath”, yang kemudian setelahnya kata “Heavy Metal” mulai digunakan untuk membuat perbedaan antara Rock dan Metal itu sendiri. Musik metal saat itu merupakan sebuah bentuk penggabungan dari musik rock yang bernuansa lebih berat dengan pengaruh black music, blues rock, dan rock psikedelik. Dalam hal gaya, metal saat itu biasanya bercirikan dengan penampilan jaket kulit, denim, rambut gondrong, dan aksesoris mistis (Adi Susilo, 2009: 83-84). Pada tahun 1980 metal kembali mengalami perkembangan yaitu di Inggris yang dipancing dengan begitu massive-nya budaya punk, sehingga metal sebagai sebuah musik mengalami mendapatkan pengaruh yang besar dari musik punk yang mengubah musik metal menjadi jauh lebih kencang dari sebelumnya dan jauh lebih brutal. Perubahan tersebut juga merubah musik metal dari segi fashion dan juga gaya hidup bagi anggota dari komunitas tersebut. Perkembangan ini ditandai munculnya band-band seperti Iron Maiden (Inggris), Motorhead (Inggris), Judas priest (Inggris), dan diamond head (Inggris) atau yang disebut dengan New Wave Of British Heavy Metal (NWOBHM) di mana dari segi musik sudah mulai menggunakan nada-nada triton dengan jenis music yang jauh lebih progresif, seperti Motorhead di mana menulis lagu dengan bentuk gaya baru yang menjadi rival dari The Beatles di mana menjembatani antara gaya musik psychedelic space rock dengan gaya musik punk yang agresif dan sebuah bentuk sederhana dari gaya musik rock-metal ala Blue Cheer (Mock Him production, 2004)1. Perkembangan musik metal pada tahun 1980-an khususnya di Inggris dan Amerika adalah puncak perkembangan musik heavy metal menjadi banyak sub-genre 1 http://www.anus.com/metal/about/history.html seperti thrash metal, death metal, black metal, doom metal, viking metal, grindcore, power metal, industrial metal, metalcore dan masih banyak lagi. Pada era 80-an inilah komunitas metal mengalami banyak perlawanan dan penolakan serta hujatan yang terbesar dari masyarakat umum di dunia semenjak musik metal menjadi sebuah youth culture. Opini masyarakat di Inggris dan Amerika yang ada pada saat itu menganggap bahwa anak-anak yang menganut kultur metal adalah anak-anak yang tidak memiliki masa depan (no future), tidak berpendidikan, dan merupakan antekantek dari ajaran satanisme. Karena begitu besarnya hujatan dari masyarakat umum terhadap subkultur metal pada saat itu mendorong istri Presiden Amerika nyonya Tipper Gore untuk mengumpulkan komunitas masyarakat dan gereja di Amerika untuk mendorong lahirnya sebuah gerakan stereotape terhadap kultur dan musik metal dan juga melahirkan semboyan yang harus diletakan di dalam setiap sampul CD atau kaset dari band-band metal yang disebut dengan “Parental Advisory, Explicit contents” (Metal: A Headbanger’s Journey, 2005). Parental Advisory, Explicit Contents pada dasarnya adalah sebuah peringatan yang diberikan oleh asosiasi industri rekaman di Amerika (RIAA) kepada orang tua yang berarti bahwa album yang berisikan label tersebut menampilkan lagu-lagu yang memiliki kata-kata yang mungkin dianggap tidak layak di masyarakat dan atau sebuah anjuran yang sugestif di dalamnya, di mana label tersebut masih harus digunakan hingga saat ini, (Darrick Lee, 2006).2 2 http://www.hushyourmouth.com/parental_advisory_labels.htm Pergerakan dinamika di dalam kultur kaum muda ini tidak hanya berhenti di sana. Namun, pada tahun 1990-an metal sebagai sebuah sub kultur dari Underground mencapai perubahan yang begitu besar, mungkin dapat dikatakan mencapai klimaksnya dengan lahirnya berbagai jenis genre musik yang merupakan sub genre dari musik metal awal itu sendiri. Lahirnya genre-genre musik baru ini juga ditandai dengan lahirnya band-band yang mewakili sub genre dari metal itu sendiri dengan ciri musik, pakaian dan gaya hidup yang juga berbeda dari pendahulunya. Band-band yang menandai klimaks dari perkembangan metal itu sendiri adalah Megadeath, Slayer, Anthrax, dan Metallica yang dijuluki The Big Four Of Thrash Metal, dan juga band-band besar seperti Napalm Death, Testament, Entombed, Death, Morbid Angel, Brutal Truth, dan Suffocation. Perubahan Metal di Inggris dan Amerika tersebut ditandai dengan berubahnya ciri musik di masing-masing sub genre, namun pada umumnya semua subgenre memiliki kesamaan yaitu penggunaan downstroke atau penggunaan kunci gitar yang bernada lebih rendah, penggunaan vocal yang lebih serak dan menyerupai suara monster. Dari pakaian komunitas metal ini juga memiliki perbedaan dengan pendahulunya, penggunaan celana pendek dengan baju yang bergambarkan monster atau zombie, darah, mutilasi, dan pembunuhan atau sering juga disebut sebagai dark art. Pada saat ini gaya hidup dari komunitas metal pun mulai berubah dengan seiring berubahnya tema-tema dari lagu mereka, groupies sudah mulai ditinggalkan dan istilah “Sex, Drugs, & Rock’N’Roll” juga mulai ditinggalkan, dan berubah menjadi sebuah jargonjargon persaudaraan di antara anggota komunitasnya. Pada 1990-an lahir sebuah sebutan baru bagi para “Die Hard Metal Fans” atau fans berat musik metal dengan sebutan “Metalhead” dengan simbolnya “Corna” yang dilakukan dengan melipat ke dalam semua jari tangan kecuali jari telunjuk dan kelingking sehingga menyerupai sebuah tanduk yang pertama kali diperkenalkan oleh Ronnie James Dio saat dia menjadi vocalis Black Sabbath menggantikan Ozzy Osbourne. Para metalhead akan mengacungkan simbol tersebut sambil melakukan headbanging sebagai sebuah bentuk penghormatan kepada band-band yang tampil tersebut (BBC News. 2010)3. Dengan begitu pesatnya arus globalisasi dan kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi dan dengan begitu mendunianya musik metal sebagai sebuah sub kultur yang mendunia maka pada tahun 1980-an perkembangan musik metal dunia mendorong untuk lahirnya grup band rock di Indonesia yang merupakan embrio dari perkembangan musik metal dan subkultur metal di Indonesia. seperti God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy (Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten. Menjelang akhir era 80-an, di seluruh dunia anak-anak muda sedang mengalami demam musik thrash metal. Sebuah perkembangan style musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal. Band- band yang menjadi gods- 3 http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/magazine/8687002.stm nya antara lain Slayer, Metallica, Exodus, Megadeth, Kreator, Sodom, Anthrax hingga Sepultura. Kebanyakan kota- kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang hingga Bali, scene underground-nya pertama kali lahir dari genre musik ekstrem tersebut. Selain hal tersebut, perkembangan scene metal di Indonesia juga dipengaruhi dengan datangnya dua grup besar untuk konser di Indonesia yaitu Metallica dan Sepultura pada tahun 1992 dan tahun 1993. Kedua grup itu menjadi tonggak perubahan atau evolusi dari metal di Indonesia yang melahirkan begitu banyak skena metal di Indonesia. Dan, pada tahun 1990-an yaitu tepatnya pada tahun 1996 telah menandai lahirnya sebuah fazine. Fanzine adalah majalah khusus yang diproduksi oleh komunitas Underground dalam hal ini komunitas metal di Jakarta yang nantinya ditujukan kepada anggota komunitas tersebut. Fanzine umumnya berisikan tentang info-info band baik di luar negeri maupun di Indonesia. Fanzine pertama berlebel Brainwashed yang merupakan pelopor dari perkembangan fanzine di berbagai kota besar di Indonesia. Pada era tahun 1990-an musik metal di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup besar yang ditandai dengan semakin digandrunginya subgenre yang makin ekstrem yaitu Death metal, Brutal death metal, Grindcore, Black metal hingga Gothic/Doom metal. Beberapa band yang menjadi ikon di era ini adalah Grausig, Trauma, Aaarghhh, Tengkorak, Delirium Tremens, Corporation of Bleeding, Adaptor, Betrayer, Sadistis, Godzilla dan sebagainya. Band grindcore Tengkorak pada tahun 1996 malah tercatat sebagai band yang pertama kali merilis mini album secara independen di Jakarta dengan judul .It’s A Proud To Vomit Him. Album ini direkam secara profesional di Studio Triple M, Jakarta dengan sound engineer Harry Widodo (sebelumnya pernah menangani album Roxx, Rotor, Koil, Puppen dan PAS) (Bayu Rianda, 2010).4 Seiring berkembangnya musik metal dan sub kultur metal di tanah air dari era 1980-an dan dengan latar belakang Pulau Bali yang merupakan pulau yang sering dikunjungi oleh para wisatawan baik dari dalam negeri maupun mancanegara, metal juga tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kultur yang massive di pulau Bali yang dapat dilihat dengan lahirnya sebuah komunitas metal tertua yang ada di Bali pada umumnya dan kota Denpasar pada khususnya yang dikenal dengan sebutan 19-21 Bali Corpsegrinder. 19-21 Bali Corpsegrinder adalah sebuah acara radio yang merupakan bagian dari radio Yuda yang mengudara dari pukul 19.00 wita hingga pukul 21.00 wita yang dipandu oleh seorang anggota dari Bali Corpsegrinder 19-21 sendiri yaitu Gus Yankky. Acara ini juga merupakan wadah para deaththrasher (sebutan lain dari metalhead) untuk bertemu, mendengarkan musik juga sebagai wadah untuk berdiskusi, tukar kaset, info, issue terbaru tentang perkembangan music metal itu sendiri dan tentunya sebagai "rumah" dari band2 thrash/deathmetal/grindcore kala itu (Sparatis, Epelipsi, Elnino, Eternal Madness, Debtor, Triple Six, Misty, Yankky Rose, dst). Identitas dari para metalhead saat itu sangatlah mudah dikenali, di mana terdapat pemuda yang mayoritas berambut 4 http://bayuriyanda.wordpress.com/2010/01/15/sejarah-musik-metal-di-indonesia/ panjang berjalan bergerombol dengan penuh rasa bangga mengenakan kaos-kaos produksi 19-21 yang bergambarkan band-band yang menjadi panutan bagi mereka dan yang biasa diperdengarkan di radio seperti Napalm Death, Coroner, Morbid Angel, Baphomet, Cerebralfix, Autopsy, Venom, Death,dsb. (TIGA_ANGKA6).5 Selain lahirnya komunitas metal tersebut di atas, tonggak perkembangan musik metal di Bali yang begitu massive juga dtandai dengan diterbitkannya sebuah buku yang berjudul Making Scenes: Reggae, Punk, and Death Metal in 1990s Bali (2007) yang di tulis oleh Emma Baulch yang menggambarkan bagaimana perkembangan blantika music reggae, punk dan metal di Bali yang begitu besar saat itu. Selain itu juga terdapat beberapa dokumentasi berupa video yang juga memperlihatkan perkembangan scenes metal di Bali. Perkembangan musik metal dan sub kultur metal di Bali tidaklah berhenti di sana, Metal sebagai sebuah subkultur di Bali masih berkembang hingga hari ini, di mana semakin banyak bermunculan band-band dan komunitas-komunitas metal yang tidak hanya tumbuh dengan subur di kota Denpasar seperti Bali Metal Sin dikat, Bali Metalhead, 19-21 Bali Corpsegrinder yang masih eksis hingga saat ini dan masih banyak komunitas subkultur metal yang ada di luar Denpasar. Seiring semakin banyak ditontonnya film dokumenter “Metal: A Headbanger’s Journey” hingga saat ini terlebih lagi dengan begitu mudahnya akses internet dalam hal ini situs youtube dan dibarengi dengan berkembangnya komunitaskomunitas metal di Denpasar dan di wilayah Pulau Bali, juga membawa 5 http://1921balicorpsegrinder.blogspot.com/2009/01/1921balicorpsegrinder.html perkembangan di dalam gaya hidup pelaku atau bagian dari sub kultur metal itu hal ini dibuktikan dengan semakin beragamnya subgenre dari music metal yang lahir di kota Denpasar dan bentuk perubahan gaya hidup dari pelaku seperti penggunaan pakaian yang sekarang tidak hanya dominan berwarna hitam namun sudah mulai menggunakan pakaian yang bermotifkan army. Perkembangan tersebut juga dapat dilihat dengan semakin banyaknya toko-toko yang menjual baju-baju dan aksesoris yang berbau musik metal; di kota Denpasar baik yang bertaraf lokal, nasional hingga internasional. Perubahan gaya hidup tersebut sering kali menambahkan sebuah anggapan yang keliru di masyarakat tentang sub kultur metal itu sendiri dari anggapan yang salah yang sebelumya telah diberikan kepada komunitas musik metal di kota Denpasar, seperti ungkapan bahwa komunitas subkultur metal adalah komunitas yang tidak beragama atau atheis yang dilihat dari gaya berpakaian mereka yang selalu berpakaian hitam dengan gambar-gambar monster, darah, dan berbagai gambar dark art lainnya. Gaya hidup mereka dianggap sebagai sebuah gaya hidup yang “menyimpang”, “gelap”, dan bahkan sering kali dipandang “sakit” dan “negatif” yang tidak jarang dihubungkan dengan sebuah gambaran kehidupan yang salah dan yang akan bermuara pada kenakalan remaja. Pandangan atau opini dari masyarakat ini mengakibatkan timbulnya sebuah resistansi dari masyarakat terhadap komunitas subkultur metal di kota Denpasar. Hal ini sering kali berupa ejekan atau cemoohan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan musik atau gaya hidup dari komunitas subkultur metal seperti ungkapan “musik sing dadi dingeh ben kuping” (musik yang tidak bisa didengar dengan telinga), dan pandangan negatif itu sering kali juga berujung pada penolakan dan larangan dari masyarakat terhadap komunitas subkultur metal untuk membuat atau mengadakan acara musik di wilayah lingkungan mereka. Tidak hanya itu, pelabelan negatif dari masyarakat juga mengakibatkan sulitnya bagi band-band metal di dalam komunitas subkultur metal di kota Denpasar untuk mencari studio musik yang dapat mereka gunakan untuk melakukan latihan. Banyak studio musik yang meletakan label “tidak menerima musik metal, punk, dan yang sejenisnya” karena ketakutan dari pemilik studio bahwa alat musik mereka akan rusak apabila digunakan oleh band-band metal dengan karakteristik musik metal yang kencang, dan para personil dari band tersebut yang dianggap tidak meiliki keahlian dalam bermusik. Selain itu sering timbulnya pandangan bahwa budaya atau subkultur metal akan mengakibatkan “erosi” terhadap budaya adi luhung yang sarat dengan nilai-nilai religious yang merupakan landasan dari kehidupan masyarakat di Bali pada umumnya dan kota Denpasar khususnya. Masyarakat menganggap bahwa gaya hidup metal merupakan sebuah budaya luar yang membuat kaum muda di kota denpasar lupa akan tradisi dan adat dari nenek moyang mereka, karena mereka telah mengadaptasi budaya metal yang adalah budaya dari luar negeri. Komunitas subkultur metal dianggap membawa sebuah gaya hidup yang negatif seperti kekerasan, narkoba dan anti tuhan, yang melahirkan sebuah pelabelan negatif terhadap anggota dari subkultur metal di kota Denpasar di lingkungan tempat tinggal mereka yang berujung pada bentuk-bentuk diskriminatif kepada anggota-anggota komunitas subkultur metal di kota Denpasar tersebut. Bentuk resistensi yang terbesar datang dari pihak kepolisian yang mempersulit perijinan untuk mengadakan acara musik di kota Denpasar karena alasan keamanan dan ketertiban. Hal ini lahir dari ketidakpahaman dari pihak keamanan terhadap bentuk-bentuk budaya atau gaya hidup dari komunitas subkultur metal tersebut, sebagai sebuah contoh ketika dalam sebuah konser musik metal para penonton melakukan wall of death (di mana seluruh penonton dibagi menjadi dua bagian kiri dan kanan dan ketika hentakan musik dimulai mereka akan berlari dan saling membenturkan badan mereka) atau pogo dance (saling membenturkan badan mereka seiring dengan musik) pihak keamanan akan beranggapan bahwa mereka sedang melakukan perkelahian dan akan langsung membubarkan dan memukuli penonton dan menghentikan acara tersebut. Hal inilah yang juga melahirkan sebuah pelabelan negatif dari masyarakat, seperti yang disebutkan di atas, bahwa komunitas subkultur metal identik dengan prilaku kekerasan yang mengakibatkan sulitnya untuk mendapatkan ijin dari pihak kepolisian untuk mengadakan acara atau gigs bagi komunitas subkultur metal di kota Denpasar. Hal tersebut bukanlah suatu fenomena yang aneh, hal ini diakibatkan belum terbukanya wawasan dari masyarakat di kota Denpasar khususnya tentang gaya hidup dari subkultur metal itu sendiri. Namun, jika ditelisik lebih dalam, pandangan tersebut tidaklah benar, karena tidak sedikit dari bagian komunitas metal yang memiliki pemikiran-pemikiran positif terhadap berbagai kondisi sosial di masyarakat yang mereka tuangkan di dalam berbagai bentuk media seperti film dokumenter yang berguna untuk memberikan sebuah wawasan dan pengertian yang benar bagi komunitas metal di seluruh dunia, blogspot, akun jejaring sosial seperti facebook dan bahkan hingga merasuk di dalam lirik-lirik lagu mereka dan kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini terbukti dari pendapat yang diutarakan oleh Dek Oleh (38 tahun) yang merupakan salah satu individu yang telah tergabung di dalam sub kultur metal di Denpasar dari era 1980-an hingga sekarang. Menurut Dek Oleh: …gaya hidup anak metal di Denpasar sungguh positif dan memiliki rasa kebersamamaan yang memang kita warisi dari nenek moyang kita terdahulu yg tercermin dalam bhineka tunggal ika, buktinya , kita dalam satu kebersamaan menganggap musik metal tersebut sebagai sarana pemersatu yang telah membuat kita tidak lagi berbeda satu sama lainnya, tidak ada lagi ada perbedaan ras, suku, agama di saat kita berada di mosphit dan berheadbang bersama, dan tiang sendiri merasa punya saudara-saudara baru , yaitu teman-teman dalam komunitas penikmat musik metal itu sendiri...(Denpasar, 9 Februari 2012) Walaupun dengan begitu banyaknya penolakan dan resistensi dari masyarakat dan pihak keamanan, dengan tanpa adanya sponsor besar, dan dengan menggunakan system kolektif, komunitas subkultur metal di kota Denpasar masih berkembang dengan bergerak di bawah tanah yang dapat dilihat di mana secara keseluruhan perkembangan dari komunitas metal di Denpasar tampak dari kuantitas dan kualitas aktivitas mereka dalam mengadakan acara-acara musik atau yang biasa disebut dengan gigs baik yang bertaraf lokal, nasional, maupun internasional seperti diadakannnya konser music Bali Death Fest dan Bali Extreme Metal Fest yang merupakan ikon dari salah satu konser music besar tahunan di Bali yang melibatkan tidak hanya komunitas-komunitas metal di Bali namun juga komunitas metal nasional dan juga luar negeri seperti Australia dan Swedia. Subkultur metal di Denpasar telah menjadi wadah bagi para metalhead untuk menunjukan keberadaan mereka dan juga sebagai wadah untuk terus membangun semangat kebersamaan dan persatuan di dalam komunitas subkultur metal di kota Denpasar khususnya dan Bali pada umumnya. 1.2. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana pengaruh film “Metal: A Headbanger’s journey” terhadap gaya hidup komunitas subkultur metal di kota Denpasar? 2. Bagaimana sikap komunitas subkultur Metal di kota Denpasar terhadap pengaruh film “Metal: A Headbanger’s journey”? 3. Bagaimana pemaknaan pengaruh film “Metal: A Headbanger’s journey” terhadap budaya lokal dominan di kota Denpasar oleh komunitas subkultur metal di kota Denpasar? 1.3 Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mencapai dua buah tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. 1.3.1 Tujuan umum Secara umum penelitian ini dilakukan untuk membuka fenomena gaya hidup dari budaya anak muda (youth culture) melalui pengaruh film “Metal: A Headbanger’s Journey” terhadap gaya hidup subkultur metal yang telah muncul sebagai sebuah fenomena yang begitu besar, sebagaimana yang terjadi pada gaya hidup subkultur metal di Denpasar. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini dapat dijelaskan sebagi berikut. 1. Untuk mengetahui pengaruh film “Metal: A Headbanger’s journey” terhadap gaya hidup komunitas subkultur metal di kota Denpasar. 2. Untuk memahami sikap komunitas subkultur metal di kota Denpasar terhadap pengaruh film “Metal: A Headbanger’s journey”. 3. Untuk mengungkapkan pemaknaan pengaruh film “Metal: A Headbanger’s journey” terhadap budaya lokal dominan di kota Denpasar oleh komunitas subkultur metal di kota Denpasar. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini meliputi manfaat teoretis dan manfaat praktis sebagai berikut 1.4.1 Manfaat Teoretis Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Sebagai tambahan terhadap khazanah ilmu pengetahuan mengenai permasalahan subkultur metal di kota Denpasar tentang bagaimana pengaruh dari film terhadap gaya hidup komunitas subkultur metal di kota Denpasar. 2. Dapat juga digunakan sebagai bahan acuan bagi calon peneliti lainnya dalam melakukan penelitian tentang subkultur dengan topik dan permasalahan yang berbeda. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagi berikut. 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan cara pandang bagi masyarakat terhadap fenomena subkultur metal bukan sebagai masalah yang mesti ditemukan solusinya, melainkan sebagai sebuah budaya kaum muda yang positif yang harus diberikan ruang untuk berkembang. 2. Penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pedoman untuk hidup dalam masyarakat yang multikultural, khususnya bagi komunitas-komunitas subkultur.