Bab 1 Pendahuluan A. Latar belakang Ketika anak tumbuh didalam

advertisement
Bab 1
Pendahuluan
A. Latar belakang
Ketika anak tumbuh didalam keluarga yang harmonis, ada satu perasaan yang
timbul dalam diri anak bahwa kelak dia pun ingin memiliki keluarga yang harmonis
seperti yang ia miliki saat ini. Menikah sendiri merupakan hal yang untuk sebagian
orang merupakan sesuatu hal yang harus atau wajib dilakukan, bahkan ada beberapa
organisasi atau bahkan keluarga yang menjadikan sebuah pernikahaan merupakan
suatu tuntutan yang harus dipenuhi untuk memenuhi standar suatu organisasi atau
keluarga
tersebut.
Berdasarkan Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam kehidupan pernikahan, suatu keluarga baru
dikatakan sebagai keluarga yang lengkap apabila memiliki seorang atau beberapa
orang keturunan yang dapat membawa kelangsungan adat (marga, fam, atau nama
keluarga).
Menurut pasal 1 ayat (3) Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, keluarga sendiri adalah unit terkecil dalam masyarakat yang
terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu
dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai
dengan derajat ketiga.
Dalam suatu keluarga tugas orang tua dalam adalah memastikan semua
kebutuhan anak baik dalam segi pangan, sandang, pendidikan, dan lain-lain. Keluarga
inti memiliki fungsi sebagai berikut :
a. Keluarga menjamin keselamatan dan keamanan anak
b. Keluarga menjamin kesejahteraan anak
c. Keluarga memberikan fasilitas yang bertujuan untuk menunjang kesuksesan
anak baik secara fisik maupun mental, dan secara akademis.
Merujuk pada fungsi keluarga, pengasuhan orang tua juga sangat memiliki
andil dalam masa depan anak. Anak-anak adalah masa depan masyarakat manapun.
Anak yang tidak mencapai potensi mereka, yang tidak dapat memberikan sumbangan
secara efektif terhadap masyarakat, dan yang tidak menggantikan posisi mereka
sebagai orang dewasa yang produktif akan menghilangkan masa depan masyarakat
(Horowitz & O’Brien, 1989). Beberapa ahli perkembangan juga menyatakan bahwa
anak yang mengalami pengasuhan yang hangat dan lembut, selama tahun pertama
atau lebih, kehidupan perkembangannya akan optimal dibandingkan dengan anak
yang tidak (Carlson, Sroufe, & Egeland, 2004; Sroufe dkk, 2005).
Hampir
semua
orang memasuki
pernikahan dengan
harapan bahwa
pernikahannya akan menjadi suatu bentuk saling mendukung yang menguntungkan
dan hubungan seumur hidup. Tetapi dalam kehidupan pernikahan tidak jarang banyak
masalah yang hadir di tengah- tengah keluarga. Begitu juga dengan pasangan suami
istri, ketika mereka (pasangan suami-istri) tidak dapat mengerti perasaan
pasangannya, maka akan terjadi cekcok yang besar dan tidak dapat diselesaikan dalam
waktu yang singkat, dan ada juga pasangan yang merasa akibat terlalu seringnya
terjadi pertengkaran-pertengkaran dalam rumah tangganya, mulai merasa jenuh dan
berpikir ulang apakah perkawinan mereka bisa dilanjutkan atau tidak.
Dalam melakukan proses perceraian ada beberapa hal yang menjadi topik yang
umum dijadikan sebagai unggulan, yaitu keinginan pasangan itu sendiri untuk
bercerai, tentang harta gono-gini, dan tentang pengasuhan anak. Pada persidangan
bukan hal yang aneh bila para orang tua saling bersikukuh bahwa dirinya lah yang
pantas dalam mengasuh anak, bahkan bukan hal yang patut disembunyikan bahwa
para orang tua terlihat saling menjatuhkan satu sama lain dengan tujuan
mempengaruhi sang hakim untuk memutuskan agar hak asuh anak jatuh kepihak
suami atau istri.
Anak adalah individu pertama yang mengalami guncangan secara psikologis
ketika orang tuanya memutuskan untuk bercerai dan biasanya anak-anak remaja lebih
mengalami kesulitan untuk menerima perceraian orang tua mereka. Menurut
penelitian Maier & Lachman (dalam Sukirno & Hadjam, 2010) menunjukan bahwa
seorang remaja yang memiliki orang tua bercerai, memiliki penerimaan diri yang
rendah dibandingkan pada remaja yang memiliki orang tua yang utuh. Pada remaja,
umumnya mereka lebih sulit menerima kenyataan perceraian orang tua karena sering
kali perceraian diwarnai dengan konflik, baik itu selama proses perceraian maupun
setelah perceraian (Laumann-Billings & Emery 2000).
Berdasarkan efek psikologis yang diterima anak akibat perceraian orang
tuanya, maka hakim harus benar-benar paham cara untuk mengetahui yang paling
bisa dan dianggap paling bertanggung jawab dalam mengasuh anaknya apakah ayah
atau ibu, karena ada beberapa orang tua baik ayah maupun ibu yang tidak kompeten
dalam mengasuh anak-anak dari hasil perkawinan mereka. Di samping itu, hakim juga
harus jeli dalam memperhatikan kemungkinan orang tua melakukan bias hanya untuk
memenangkan hak asuh atas anak-anak dari hasil perkawinan.
Pada jaman sekarang ini, seiring berkembangnya pengetahuan, seiring dengan
berkembangnya hak-hak asasi, pada proses pengasuhan anak tidak melulu hakim
memutuskan bahwa ibulah yang paling pantas untuk mengasuh anak dibawah umur
(tender year) dengan alasan bahwa ibu lebih bisa mengayomi anak-anaknya pasca
perceraian orang tua. Seiring dengan perkembangan waktu, hakim juga dapat
memutuskan bahwa ternyata sang ayah lebih layak dalam mengasuh anaknya
(property right). Di Indonesia, filosofi tender years umumnya berlaku di kalangan
komunitas muslim. Sedangkan di daerah semisal Bali, terdapat hukum adat yang
berorientasi pada property right, bahwa setiap anak merupakan hak ayah. Berdasarkan
hukum adat tersebut, dapat dipahami bahwa manakala terjadi perceraian, isteri
dituntut untuk menyerahkan hak pengasuhan anak kepada (mantan) suami.
Dalam memutuskan hak asuh, hakim harus benar-benar mengetahui apakah
hasil keputusannya tersebut merupakan suatu hal yang memang merupakan pilihan
terbaik bagi anak.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti bermaksud untuk mengetahui sudah sejauh
apa hakim dalam kasus sidang perceraian benar-benar memahami yang terbaik bagi
anak. Dalam mengambil keputusan hak asuh, metode yang dipakai hakim untuk
mengetahui pihak yang paling layak dalam mengasuh anak-anak hasil dari sebuah
pernikahan, apakah ayah atau ibu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pengamatan sementara, karena proses pemberian kuasa hak asuh
anak merupakan hal yang pelik maka peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan
antara komposisi majelis hakim berdasarkan jenis kelamin dengan jenis hak asuh anak
yang diputuskan?
Dengan latar belakang dan permasalahan yang telah dijelaskan, penulis
membuat sebuah judul yang berkaitan dengan judul penelitian, judul penelitian ini
adalah “Hubungan Antara Komposisi Jenis Kelamin Majelis Hakim Dengan Putusan
Kuasa Hak Asuh Anak”.
C. TUJUAN PENELITIAN
C.1
Tujuan Teoritis
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa faktor
apakah yang membuat hakim dapat memutuskan hak asuh anak.
C.2
Tujuan Praktis
Mengetahui apakah faktor gender turut memberikan pengaruh pada
hakim dalam memberikan kuasa hak asuh pada kasus perceraian.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi psikolog atau tenaga
ahli lainnya untuk membantu hakim dalam memberi putusan kuasa hak asuh anak
yang ada di Indonesia. Peneliti juga berharap bahwa penelitan ini bermanfaat untuk
pihak-pihak lain agar lebih mengetahui secara mendalam mengenai pertimbanganpertimbangan hakim dalam memberikan kuasa hak asuh anak
Download