"SEWA-MENYEWA DALAM KUHPERDATA PASAL DAN HUKUM ISLAM' I57 6 (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2439lKIPdtl2002) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarj ana Syariah(S. Sy) ; ;tn utn Oleh: Zuni Fatihah r09043100011 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436rr/2015M SEWA-MEI{YEWA DALAM KUHperdata pASAL ts76 DAN HUKUM ISLAM ( studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2439 wrdtr2002) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakurtas syari'ah Dan Hukurn Unfuk Memenuhi syarat-syarat J -Mendapatkan Gelar Sarjana Syari,atr (S,Sy) ' Oleh Zuni Fatihah NIIVI: 10904310001I Di bavrah Bimbingan Dosen Pembimbing 196912161996031001 KONSENTRASI PERBANDINGAN FIQIH PROGRAM STTIDI PERBANDINGAN IVIADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI,AH DAN HUKUM UNIVBRSITAS ISLAM NEGBRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/201s M PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul SEWA-MENYEWA DALAM KUHPERDATA PASAL 1576 DAN HUKUM ISLAM (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 24391K/Pdtl2002) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada I April 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S,Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqh. Jakafta, 1 April2015 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum PANITIA UJIAN MUNAQASYAH l. Ketua Dr. Khamami Zada. MA NrP. 1 9750 102200312 1001 2. Sekretaris Hj. Siti Hanna. S. Ag. Lc. MA NIP. 197402162008012013 3. Pembimbing Dr. Asep Saepudin Jahar. MA NrP. 1969 1 2161996031001 4. Penguji I Dra. Afidah Wah)'uni. M.Ag NrP. I 96804081997032002 5. Penguji II Nahrowi. SH. MH NrP. 19730215199903t002 tl+ .....) LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa; 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 1 April 2015 M Peneliti ABSTRAK Zuni Fatihah (109043100011), Sewa-Menyewa dalam KUHPerdata Pasal 1576 dan Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2439/K/Pdt/2002). Konsentrasi Perbandingan Fiqih Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sewa-menyewa merupakan salah satu bagian terpenting dari kebutuhan ekonomi dan sosial manusia karena dapat menunjang taraf kehidupan. Namun kadangkala transaksi sewamenyewa menimbulkan persengketaan apabila tidak dilakukan secara transparansi oleh kedua belah pihak, sebagaimana yang terjadi dalam kasus putusan Mahkamah Agung Nomor 2439/K/Pdt/2002 yang mana pihak penyewa merasa dirugikan dengan adanya surat eksekusi pengosongan dari Pengadilan Negeri Bogor atas persengketaan tanah yang terjadi antara pihak yang menyewakan dan pihak ketiga, sedangkan pihak penyewa tidak diikutsertakan dalam persengketaan tersebut. Pada penelitian ini, rumusan masalah yang diteliti adalah konsep sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam serta landasan Hukum yang melatarbelakangi putusnya sewamenyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam. Adapun metode penelitian yang dipakai adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif-analisis-komparatif dengan menggunakan studi pustaka sebagai acuanya serta putusan Mahkamah Agung Nomor 2439/K/Pdt/2002. Dari penelitian ini diketahui bahwa sewa-menyewa dalam KUHPerdata lebih condong pada perlindungan pihak penyewa atas persengketaan yang terjadi akibat pengalihan hak milik baik berupa jual beli, hibah, tukar menukar dan waris yang dilakukan oleh pihak yang menyewakan kepada pihak ketiga. Dalam hal pengalihan hak milik / penjualan barang yang disewa kepada pihak ketiga yang mana masa sewa belum berakhir maka ditetapkan bahwa sewamenyewa tidak terputus (Koop Brekt Geen Hurr) begitupun dengan meninggalnya salah satu pihak maka sewa-menyewa dapat digantikan oleh ahli waris. Sedangkan dalam Hukum Islam, sewa-menyewa dihukumi fasakh apabila terdapat udzur baik dari pihak yang menyewakan, pihak penyewa ataupun barang yang disewakan, seperti halnya udzur yang memaksa pihak yan menyewakan untuk menjual barang yang disewakan dikarenakan terlilit hutang yang sudah jatuh tempo baik disertai dengan pengakuan atas kepemilikan hutang maupun tidak oleh pihak yang menyewakan, maka sewa-menyewa antara pihak yang menyewakan dan penyewa terputus / fasakh dengan dijualnya barang yang disewakan. Kata kunci : Sewa-menyewa, Koop Brekt Geen Hurr, Ijārah, Fasakhnya Ijārah, Udzur/Alasan, KUHPerdata, Hukum Islam, Putusan Mahkamah Agung No 2439/K/Pdt/2002. Pembimbing: Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. i Pedoman Transliterasi Arab-Latin Berikut ini adalah pedoman transliterasi yang diberlakukan berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 1987 dan Nomor 0543/b/u/1987. 1. Konsonan No Arab Latin No Arab Latin No Arab Latin 11 ز z 21 ق q Tidak 1 أ dilamban gkan 2 ب b 12 س s 22 ك k 3 ت t 13 ش sy 23 ل l 4 ث ṡ 14 ص ṣ 24 م m 5 ج J 15 ض ḍ 25 ن n 6 ح ḥ 16 ط ṭ 26 و w 7 خ Kh 17 ظ ẓ 27 ه h 8 د d 18 ع ʻ 28 ء ʹ 9 ذ ż 19 غ g 29 ي y 10 ر r 20 ف f 2. Vokal Pendek 4. Diftong ــــَــــ = a َكَتَب kataba ْــــَي = ai َكَيْف kaifa ــــِــــ = i َسُئِل suʹ ila ْــــَو = au َحوْل َ ḥ aula ــــُــــ = u ُيَذْهَب yażhabu 3. Vokal Panjang ــــَــــا = ā َقَال qāla = ــــِــــيī َقِيْل qīla = ــــُــــوū ُيَ ُقوْل yaqūlu ii KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Segala puji bagi Allah, dzat yang Maha Agung dan Esa yang telah memberikan kemudahan serta karuniaNya kepada penulis, sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini sebagai kewajiban akademik. Lantunan sholawat dan salam tetap terhaturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya, semoga syafaatnya selalu terlimpahkan kepada kita semua sebagai umatnya pada hari akhir kelak. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan. Untuk itu dengan kerendahan hati serta penuh rasa ta’zhim dan takrim penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pembimbing yang dengan kesabaran dan ketelatenannya membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi. 2. Bapak Dr. Khamami Zada, MA. selaku Ketua Jurusan Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, beserta Ibu Siti Hanna, S,Ag., Lc, MA selaku Sekretaris Jurusan Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag dan bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si yang telah memberikan nasihat, arahan, bimbingan serta petunjuk selama perkuliahan dan penulisan skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. iii 4. Segenap Dosen dan Civitas Akademik Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dengan ikhlas dan sabar mengajarkan, membimbing, serta mendidik penulis dalam berbagai disiplin ilmu. Semoga setiap tetesan keringat bapak ibu dibalas oleh Allah dengan kebaikan yang berlipat. 5. Seluruh Staff Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah bekerjasama dan memberikan kemudahan bagi penulis dalam masa pembelajaran kuliah dan pengumpulan materi skripsi. 6. Kedua orang tua penulis, bapak Karno Hadi dan ibu Artijah yang untaian do’anya tidak pernah terputus disetiap sujudnya serta pengorbanan yang dipenuhi dengan cucuran keringat dan limpahan kasih sayangnya. Juga teruntuk adikku Atika, bekna, manur, bektri, pakdeji, mbaklis, mbok dan pae atas semua perhatian, nasihat dan dukunganya baik secara moriil ataupun materiil. 7. Teristimewa buat acak Shofi L. Syarifuddin yang merubah kejenuhan menjadi kebahagian, kesedihan menjadi keceriaan, terimakasih atas ketulusan dan semangatmu untuk memotifasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 8. Teman-teman seperjuangan PMH angkatan 2009, ayat, al, dely, rijal, dadan, uday, Firman, hamzah, olid, syukur, nabila, mas inun. Terimakasih telah mengisi kekosongan bangku kuliah dengan canda tawa dan motivasi. 9. Teman-teman IMAGE (Ikatan Mahasiswa Gresik), HAMAM (Himpunan Alumni Mambaus Sholihin) , dan WASIAT, cak Nailul, Ichil, mbak Inay, Wahyu, Ucup, Hikam, mas’ad, Marom, dan semuanya yang tak bisa disebut satu persatu. Terimakasih atas pengetahuan, pengalaman, dan kebersamaan yang telah dibagi bersama-sama. iv 10. Bapak Dr. Agus Sholeh, M.Ed dan Ibu Drs. Yeti Munjiawati dan teman-teman ALINAYAH yang selalu memberi pelajaran dan pengalaman dalam melalui proses pembelajaran. 11. Teman-teman kosan ilma, ayu, kolek, intuk, mbak luk, mbak sun, mbak is terimakasih atas motivasi dan dorongannya untuk cepat-cepat menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya, tiada kata ucapan syukur yang indah dan pantas dipanjatkan kecuali kepada Sang Maha Besar Allah SWT atas terselesaikannya skripsi ini, mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umunya bagi pembaca. Wassalamualaikum. Wr. Wb. Jakarta, 1 April 2015 M Penulis v DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................................... ABSTRAKSI .......................................................................................................................... i PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................................... ii KATA PENGANTAR ............................................................................................................ iii DAFTAR ISI........................................................................................................................... vi BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................................ 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................................. 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................ 7 D. Studi Pustaka.................................................................................................... 8 E. Kerangka Teori ................................................................................................ 9 F.Metodologi Penelitian......................................................................................... 12 G. Sistematika Penulisan ...................................................................................... 14 BAB II : KONSEP SEWA-MENYEWA MENURUT KUHPerdata A. Pengertian Sewa-menyewa .............................................................................. 16 B. Hak dan Kewajiban Pihak yang Menyewakan dan Penyewa ......................... 19 C. Bentuk dan Substansi Perjanjian Sewa-menyewa ........................................... 23 D. Risiko Atas Musnahnya Barang....................................................................... 25 E. Bukti Pembayaran Uang Sewa......................................................................... 27 F.Mempersewakan Lagi (Onderhuur) ................................................................... 29 G. Berakhirnya Sewa-menyewa ........................................................................... 31 H. Ganti Rugi ........................................................................................................ 34 I. Jual Beli tidak Memutus Sewa (Koop Brekt Geen Hurr) ................................... 38 vi BAB III : KONSEP SEWA-MENYEWA MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Ijarah .............................................................................................. 44 B. Dasar Hukum Ijarah ......................................................................................... 47 C. Rukun dan Syarat Ijarah................................................................................... 49 D. Sifat Ijarah dan Hukumnya .............................................................................. 52 E. Macam-macam Ijarah ...................................................................................... 53 F. Menyewakan Barang Sewaan .......................................................................... 54 G. Perihal Resiko .................................................................................................. 55 H. Perselisihan Antara Para Pihak dalam Ijarah ................................................... 56 I. Pembatalan dan Berakhirnya Akad Ijarah ....................................................... 57 BAB VI : ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2439 K/Pdt/2002 PRESPEKTIF HUKUM PERDATA PASAL 1576 DAN HUKUM ISLAM. A. Permasalahan Kasus......................................................................................... 62 B. Dasar Hukum Putusan Hakim ......................................................................... 64 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................................... 73 B. Saran ................................................................................................................ 74 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 75 LAMPIRAN vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia memiliki banyak kebutuhan. Untuk memenuhinya manusia melakukan kegiatan yang dapat memperoleh penghasilan. Perilaku manusia yang berusaha mendapatkan barang ekonomi untuk memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas guna mencapai kemakmuran adalah tanda bahwa manusia adalah makhluk ekonomi. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan, manusia tidak bisa mengandalkan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain sehingga manusia membutuhkan suatu kelompok yang bisa diajak berkomunikasi dan bekerja sama untuk menghasilkan penghasilan. Ini merupakan salah satu kodrat manusia sebagai makhluk social sekaligus makhluk ekonomi. Dewasa ini perkembangan arus globalisasi ekonomi dunia dan kerjasama di bidang perdagangan dan jasa berkembang sangat pesat. Masyarakat semakin banyak mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian dengan anggota masyarakat lainnya, sehingga kemudian timbul bermacammacam perjanjian. Suatu perjanjian juga harus memenuhi syarat sah perjanjian yakni kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal agar perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.1 Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan 1 Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta : Kencana, 2004), h.1. 1 2 perikatan.2 Memang perikatan itu paling banyak lahir dari perjanjian, tetapi ada juga perikatan yang lahir dalam undang-undang.3 Salah satu contoh adalah perjanjian sewa-menyewa. Perjanjian sewa menyewa banyak digunakan oleh para pihak pada umumnya, karena dengan adanya perjanjian sewa-menyewa ini dapat membantu para pihak, baik itu dari pihak penyewa maupun yang menyewakan akan saling mendapatkan keuntungan. Penyewa memperoleh keuntungan dengan kenikmatan benda dari benda yang di sewa, dan yang menyewakan akan memperoleh keuntungan dari harga sewa yang telah diberikan oleh pihak penyewa. Secara yuridis, ketentuan sewa-menyewa telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu dalam buku ketiga bab VII mulai dari pasal 1548 sampai pasal 1600 KUH Perdata.4 Dalam pasal 1548 KUHPerdata ditentukan bahwa sewa-menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan ini disanggupi pembayarannya.5 Dengan demikian, unsur sewa-menyewa dalam pasal 1548 KUHPerdata adalah adanya pihak pemilik barang yang merupakan pihak pertama dan pihak penyewa sebagai pihak kedua yang menikmati manfaat barang yang disewakan, adanya konsensual antara pemilik barang dan 2 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004), h.42. 3 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1979), h.1. 4 Salim. H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), h. 58. 5 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradya Paramita, 2009), h.381. 3 penyewa, adanya barang yang disewakan baik berupa benda bergerak ataupun benda tidak bergerak, adanya kewajiban dan hak antara pemilik barang dan pihak penyewa, kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang kedua ini adalah membayar harga sewa.6 Jadi barang diserahkan tidak untuk dimiliki seperti halnya dalam jual beli, tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaannya. Dengan demikian maka penyerahan hanya bersifat menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang disewa itu. Beda halnya dengan seorang diserahi suatu barang untuk dipakaiannya tanpa kewajiban membayar sesuatu apa, maka yang terjadi adalah suatu akad perjanjian pinjam-pakai. Menurut Yahya Harahap, sewa-menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak disewa kepada penyewa untuk dinikmati sepenuhnya.7 Sedangkan menurut Wirjono Projodikoro sewa-menyewa barang adalah suatu penyerahan barang oleh pemilik kepada orang lain untuk memulai dan memungut hasil dari barang itu dan dengan syarat pembayaran uang sewa oleh pemakai kepada pemilik.8 Sewa menyewa ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang bersifat 6 Salim, H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2003), h.59. 7 M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), Edisi kedua, h.19. 8 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu (Bandung: Sumur, 1981), h. 190. 4 perseorangan dan bukan perjanjian yang bersifat hak kebendaan yaitu dengan perjanjian sewa menyewa ini kepemilikan terhadap objek sewa tersebut tidaklah beralih kepada penyewa tetapi tetap menjadi hak milik dari yang menyewakan. Sewa-menyewa tidak memindahkan hak milik dari yang menyewakan kepada penyewa. Karena selama berlangsungnya masa persewaan pihak yang menyewakan harus melindungi pihak penyewa dari segala gangguan dan tuntuta pihak ketiga atas benda atau barang yang diewakan agar pihak penyewa dapat menikmati barang yang disewanya dengan bebas selama massa berlangsung.9 Namun dalam realita aplikasi kehidupan perihal sewa-menyewa benda tidak bergerak semacam rumah, apartemen, tanah, ruko dan lainnya tidak berjalan mulus tanpa permasalahan, masih banyak permasalahan yang terjadi dan menimbulkan perselisihan yang berujung pada meja hijau. Seperti halnya dalam kasus perkara10 Erwan Djaya Dharmadhi dan Foet Tjin Lan sebagai pemohon kasasi dengan Sherly Indriati dan Patmajani Tanadjana alias Tan Tjit Nio (Tan Pat Nio) sebagai termohon kasasi. Perkara ini dimulai dengan adanya kiriman surat dari Pengadilan Negeri Bogor yang berisi perintah eksekusi pengosongan terhadap tanah sengketa dalam perkara Nomor 18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. Jo Nomor 112/Pdt/G/1992/PN.Bgr., dimana tanah dan bangunan yang disewa para Pelawan dari Terlawan II termasuk didalamya. Pemohon merasa ini tidak adil karena dalam jangka masa persewaan baik pada masa orang tuanya dulu sampai sekarang tidak pernah 9 M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), Edisi kedua,h.19. 10 Putusan Mahkamah Agung Nomor 2349/K/Pdt/2002. 5 terjadi konflik antara Pemohon dan Termohon dan belum pernah diputus sampai saat ini, bahkan Pemohon selalu menunaikan kewajibannya untuk membayar persewaan rumah yang ditempati. Terlebih dalam penyelesaian persengketaan tanah antar Termohon I dan Termohon II juga pihak Pemohon tidak dilibatkan. Dalam kasus perkara tersebut apabila ditinjau dari kacamata KUHPerdata dalam pasal 1576 maka hubungan sewa-menyewa tidak akan putus meski objek sewa telah dialihkan kepada pihak lain/ketiga11 atau dalam istilah hukum dikenal dengan asas “koop breek geen huur” sehingga Pemohon harus mendapat perlindungan hukum.12 Namun antara penyelesaian kasus diatas dalam KUHPerdata pasal 1576 dan hukum Islam terdapat perbedaan yang mendasar. Dalam hukum Islam dijelaskan apabila objek sewa telah dialihkan kepada orang lain sedangkan masa sewa belum habis maka persewaan tersebut terputus dengan dalih tersewa tidak berhak mendapatkan uang sewa dari penyewa atas pemakaiannya terhadap objek sewa.13 Namun maksud dialihkan disini adalah pengalihan atas manfaat barang yang disewa bukan pengalihan atas hak milik barang yang disewa. Adapun untuk pengalihan hak milik barang yang disewa sebelum masa sewa berakhir nampaknya hukum Islam mengaitkanya dengan pendapat 11 R. Subekti dan R. Tjtrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradya Paramita, 2009). 12 Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h.241. 13 Ibnu Qudamah, penerjemah Muhyiddin dkk, Al-Mughni, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2010), h.410. 6 Hanafiyah yang mengatakan bahwa sifat ijarah adalah lāzim atau mengikat kedua belah pihak namun bisa dibatalkan secara sepihak apabila ada udzur.14 Sehingga apabila ada udzur yang memaksa mu‟jir untuk menjual barang yang disewakan maka akad ijarah terputus.15 Berdasarkan pada latar belakang pemikiran dan kasus perkara tersebut, maka penulis ingin mengajukannya menjadi sebuah penelitian skripsi sebagai upaya untuk memahami secara utuh dan mendalam mengenai sewa-menyewa dalam KUHPerdata pasal 1576 dan hukum Islam (Studi Putusan Nomor 2439 K/Pdt/2002). B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas, dan untuk lebih memfokuskan pembahasan agar tidak terlampau jauh dan melewati zona pembahasan judul yang telah penulis kemukakan, maka penulis membatasi pembahasan masalah dalam lingkup sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam (Studi Putusan Nomor 2439 K/Pdt/2002). Adapun perumusan masalah dari judul skripsi ini adalah: 1. Bagaimana konsep sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam? 2. Bagaimana landasan hukum yang melatarbelakangi putusnya sewamenyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam? 14 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.235. 15 Abdur Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh „Ala Al-Madzhab Al-Arba‟ah, ( Kairo : Dar AlHadist, 2004), h.122. 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Sejalan dengan latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: a. Untuk mengetahui konsep sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam. b. Untuk mengetahui landasan hukum yang melatarbelakangi putusnya sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam. 2. Manfaat penelitian Terkait dengan manfaat penelitian, maka paling tidak terdapat tiga manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini: a. Manfaat bagi penulis, penelitian ini menjadi penting karena merupakan syarat akademik untuk mencapai gelar Sarjana Syari‟ah di Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. b. Manfaat bagi institusi, penelitian ini salah satu sumbangsih pemikiran bagi dunia akademisi, khususnya dunia akademik diranah lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. c. Manfaat bagi masyarakat luas, penelitian ini berguna bagi masyarakat akan pentingnya konsep sewa menyewa yang tidak pernah lengkang dalam aplikasi kehidupan sehari-hari sehingga menumbuhkan pengetahuan yang mendasar dan memperkecil konflik antar pihak yang merasa dirugikan dan diuntungkan. 8 D. Studi Pustaka Untuk lebih memudahkan penulis dalam penyusunan skripsi, maka penulis cantumkan beberapa referensi sebagai pendukung, diantaranya: Sewa-menyewa lahan untuk kepentingan maksiat (studi perbandingan antara hukum Islam dan hukum positif) oleh Nur Rofiq (108043100009) Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqih Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam skripsi ini penulis membandingkan antara hukum Islam dan hukum positif terkait penyewaan lahan untuk kepentingan maksiat. Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwasanya penyewaan terjadi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak namun pada realisasinya tidak memenuhi syarat dan ketentuan yang ada dalam hukum Islam dan hukum positif. Dengan demikian, komponen isi skripsi ini jauh berbeda dengan apa yang dibahas oleh penulis dalam skripsinya. Perjanjian sewa kendaraan antara PT.MEDCO POWER INDONESIA dengan PT. PUSTAKA PRIMA TRANSPORT dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif oleh Citra Mayasari (202046101224) Konsentrasi Perbankan Syari‟ah Program Studi Muamalah Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam skripsi ini dibahas pandangan antar hukum Islam dan hukum positif mengenai perjanjian sewa kendaraan atas dua belah pihak instansi, yang mana dalam kacamata hukum Islam perjanjian sewa antar instansi memiliki cacat hukum dalam hal pengenaan denda yang diakui sebagai pendapatan perusahan 9 padahal di dalam hukum Islam denda merupakan bentuk penebusan kesalahan dalam melakukan perbuatan dalam syara‟. Sedangkan dalam kacamata hukum positif, permasalahan yang ditimbulkan adalah adanya kerugian yang ditanggung oleh pihak kedua atas barang yang disewa. Karena dalam KUH Perdata pasal 1533 dijelaskan bahwa resiko mengenai barang sewaan ditanggung oleh pemilik barang yakni pihak pertama. Dengan demikian proporsi pembahasan yang dibahas mempunyai kemiripan dalam perbandingan antara dua hukum, hukum Islam dan hukum positif, namun titik tekanya tidak sama. E. Kerangka Teori Sewa-menyewa dalam hukum Islam terdapat berbagai dikenal dengan istilah ijarah yang berasal dari bahasa arab “Ajara”16 yang bermakna menyewakan.17 Sedangkan menurut terminologi ijarah merupakan suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan diperbolehkan dengan imbalan tertentu.18 Terdapat beberapa pandangan Ulama mengenai definisi ijarah, diantaranya Hanafiyah mengatakan ijarah merupakan transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan. Sedangkan menurut Malikiyyah adalah pemilikan manfaat dengan suatu imbalan terhadap suatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu.19 Hanabilah mengatakan ijarah 16 Kata Ijarah mempunyai sinonim kata “Akraa” yang berarti menyewakan, „athohu ajran” yang bermakna ia memberinya upah, atau atsabahu yang bermakna memberinya pahala. 17 Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Amzah, 2010), h.315. 18 Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Kifayah Al-Akbar fi Hilli Ghayah Al-Ikhtishar, juz 1, (Surabaya : Dar Al-„ilmi). 19 Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2005), h.120. 10 adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafadz ijarah dan kara‟ dan semacamnya.20Dan menurut Syafi‟iyyah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.21 Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwasanya inti dari ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan, sehingga obyek ijarah adalah manfaat atas suatu barang.22 Kemudian berakhirnya/batalnya akad ijarah dikarenakan beberapa hal diantaranya, meninggalnya salah satu pihak (menurut Madzhab Hanafi), terjadi kerusakan pada barang yang disewa, berakhirnya masa sewa, iqolah dan adanya udzur dari salah satu pihak (menurut Hanafiyah)23 Menurut Abu Al-Qasim dalam Al-Mughni, apabila ada suatu permasalahan pemilik rumah memindahtangankan rumah sewaan kepada orang ketiga sebelum masa sewa dengan pihak kedua berakhir maka akad ijarah antara tersewa dan penyewa pertama putus dengan artian si tersewa tidak berhak menerima uang sewaan atas penempatan rumah dari penyewa.24 Dan juga dijelaskan adanya larangan mentasharrufkan barang sewaan yang telah disewakan sebelum masa sewa berakhir.25 Dalam transaksi perikatan jual-beli atau sewa-menyewa, diadakan oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli/ mu‟jir dan musta‟jir) secara tertulis 20 Syamsuddin bin qudamah Al-Maqdisi, Asy-Syarh Al-Kabir, (t.t :Dar Al-Fikr, t.t), juz 3, h.301. 21 Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Kifayah Al-Akhyar fi Hilli Ghayah AlIkhtishar, (Surabaya : Dar Al-Ilmi, t.t), Juz 1, h. 249. 22 Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 317. 23 Isnawati Rais dan hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, (Ciputat : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.168. 24 Ibnu Qudamah, penerjemah Muhyiddin dkk, Al-Mughni, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2010), h.412. 25 Ibnu qudamah; penerjemah, Muhyiddin dkk, Al-Mughni, h.410. 11 atau dengan dua orang saksi. Jual beli atau sewa-menyewa dapat dilakukan secara tunai, dapat pula dilakukan dengan pembayaranya ditangguhkan.26 Adapun dalil Al-Qur‟an yang berkenaan dengan perikatan jual beli secara tidak tunai adalah surat Al-Baqorah ayat 282 yang berbunyi: Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah27 tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di 26 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h.145. 27 Maksud bermuamalah yakni seperti jual beli, hutang piutang atau sewa-menyewa dan sebagainya. 12 antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jenuh menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.”(Q.S.Al-Baqorah:282). Pengertian yang terkandung dalam ayat di atas, tidak terbatas pada jual beli saja, tetapi juga utang piutang, sewa-menyewa dan bentuk hubungan hukum keperdataan Islam lainnya. Manfaatnya jelas, yaitu memberikan kepastian hukum kepada masing-masing pihak yang terlibat di dalam perikatan itu. Selain itu, untuk menghindari adanya kemungkinan sengketa diantara pihak-pihak yang berkepentingan.28 F. Metodologi Penelitian Metode yang dipakai oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang ditulis adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan studi pustaka sebagai acuannya. Mengenai penelitian ini, penulis akan menggunakan metode pendekatan dengan langkah pertama mendefiniskan serta membandingkan antara konsep sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam, kemudian langkah kedua menganalisis kesesuaian konsep sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan hukum Islam 28 h.146. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta : Sinar Grafika, 2006), 13 Serta menganalisis studi kasus putusan Mahkamah Agung tentang sewa menyewa dalam putusan Nomor 2439 K/Pdt/2002. 2. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah semua peraturan yang terkait dengan sewa-menyewa baik dalam proses pelaksanaan sewa-menyewa sampai berakhirnya sewa-menyewa yang terangkum dalam buku III KUH Perdata dan putusan Mahkamah Agung Nomor 2439 K/Pdt/2002 tentang sewa menyewa, karena penelitian ini mencoba mengkomparasikan dengan hukum Islam, maka penulis juga menggunakan sumber data hukum Islam terkait sewa-menyewa, seperti Al-Mughni karangan Ibnu Qudamah, Fiqh Sunnah karangan Sayyid Sabiq, dan lain-lain. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam hal ini penulis menggunakan metode dokumenter yang berupa survey kepustakaan dan studi literature. Yakni pengumpulan data yang berupa sejumlah literature yang diperoleh dari perpustakaan dan tempat lain kemudian dipelajari dan ditelaah sehingga menghasilkan sebuah analisis yang menjadi jawaban dari permasalahan yang menjadi objek hukum. 4. Teknik Analisis Data Data-data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif- analisiskomparatif, yakni penulis mencoba mendiskripsikan konsep sewamenyewa dalam dua hukum tersebut kemudian menganalisis kesesuaian 14 konsep sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan hukum Islam Serta menganalisis putusan Mahkamah Agung tentang sewa-menyewa dalam putusan Nomor 2439 K/Pdt/2002. 5. Teknik Penulisan Skripsi Dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. G. Sistematika Penulisan Dalam skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab, dimana masing-masing bab mempunyai sub bahasan, hal ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan pembahasan mengenai topik-topik tertentu dalam penulisan skripsi ini sehingga mendapatkan gambaran dan penjelasanyang utuh. Lebih jelaasnya, gambaran sistematika pembahasan penulisan skripsi ini sebagai berikut: Pada bab I yang merupakan pendahuluan, berisi tentang latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi pustaka, metode penelitian, kerangka teori serta sistematika penulisan. Pada bab II pembahasan yang dibahas meliputi konsep sewa-menyewa dalam KUH Perdata yang terdiri dari tinjauan KUH Perdata tentang pengertian sewamenyewa, subyek dan obyek sewa-menyewa, hak dan kewajiban pihak yang menyewakan dan si penyewa, bentuk dan substansi sewa-menyewa, resiko, serta akibat berakhirnya sewa-menyewa. 15 Pada bab III membahas tentang konsep sewa-menyewa dalam pandangan hukum Islam. Pembahasan pada bab 3 ini akan memaparkan tinjauan hukum Islam terkait definisi sewa- menyewa, dasar hukum sewa-menyewa, syarat dan rukun sewa-menyewa dan sebab yang mengakibatkan berakhir atau putusnya sewa-menyewa itu sendiri. Pada bab IV ini akan dipaparkan sebuah analisis penulis terkait konsep sewamenyewa dalam KUH Perdata yang dianalisis dari kacamata hukum Islam dan memaparkan kesesuaian dan tidaknya dengan hukum Islam beserta analisis putusan Mahkamah Agung tentang sewa-menyewa dalam putusan Nomor 2439 K/Pdt/2002. Pada bab V ini merupakan penutup yang meliputi ringkasan jawaban atas perumusan masalah serta saran sebagai awal dari perbaikan di masa mendatang. BAB II KONSEP SEWA-MENYEWA MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Sewa-Menyewa Sewa-menyewa dalam bahasa Belanda disebut dengan huurenverhuur dan dalam bahasa Inggris disebut dengan rent atau hire. Sewa-menyewa merupakan salah satu perjanjian timbal balik. Menurut Kamus Besar Indonesia sewa berarti pemakaian sesuatu dengan membayar uang sewa dan menyewa berarti memakai dengan membayar uang sewa.1 Dalam KUHPerdata pasal 1548 dijelaskan bahwasanya sewa-menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang selama satu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan ini disanggupi pembayarannya.2 Sedangkan menurut Yahya Harahap, sewa-menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan menyerahkan barang yang hendak disewa kepada pihak penyewa untuk dinikmati sepenuhnya.3 Menurut Wirjono Projodikoro sewa-menyewa barang adalah suatu penyerahan barang oleh pemilik kepada orang lain untuk memulai dan 1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.IV, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 338. 2 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradya Paramita, 2009), h. 381. 3 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian ( Bandung: Penerbit Alumni, 1986), h. 220. 16 17 memungut hasil dari barang itu dan dengan syarat pembayaran uang sewa oleh pemakai kepada pemilik.4 Pengertian lainya menyebutkan bahwasanya perjanjian sewa-menyewa adalah persetujuan untuk memakai sementara suatu benda, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, dengan pembayaran suatu harga tertentu. 5 Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian antara dua pihak yang menimbulkan persetujuan atas barang dan harga yang diikuti dengan jangka waktu tertentu. Jadi inti dari sewa-menyewa disini adalah barang dan harga. Maksud barang disini merupakan harta kekayaan yang berupa benda material, baik benda bergerak maupun tidak bergerak. Dengan syarat barang yang disewakan adalah barang yang halal, artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban dan kesusilaan.6 Menurut Hofmann dan De Burger, barang yang dapat disewakan adalah barang bertubuh saja. Sedangkan menurut Asser, Van Brekel dan Vollmar, tidak hanya barang yang bertubuh saja yang dapat dijadikan objek sewa akan tetapi hak-hak juga dapat disewa, pendapat ini diperkuat dengan adanya putusan Hoge Raad tanggal 8 Desember 1992 yang menganggap kemungkinan ada persewaan suatu hak untuk memburu hewan (jachtrecht).7 4 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu (Bandung: Sumur, 1981), h. 190. 5 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 58. 6 Ibid., h. 59. 7 Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur, 1981), h.50. 18 Maksud harga di sini merupakan biaya sewa yang berupa imbalan atas pemakaian barang yang disewa. Mengenai uang sewa, harus ditentukan terlebih dahulu oleh pihak yang menyewakan kemudian disetujui oleh pihak penyewa.Menurut Van Brekel, harga sewa dapat berwujud barang-barang lain selain uang, namun barang-barang tersebut harus berupa barang-barang bertubuh, karena sifat dari perjanjian sewa-menyewa akan hilang jika harga sewa dibayar dengan suatu jasa. Namun pendapat tersebut bertentangan dengan pendapat Subekti yang mengatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa tidaklah menjadi keberatan apabila harga sewa tersebut berupa uang, barang ataupun jasa.8 Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya ciri-ciri dari perjanjian sewa-menyewa adalah:9 1. Terdapat dua pihak yang saling mengikatkan dirinya, yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang timbul dari perikatan sewa-menyewa tersebut. 2. Adanya unsur pokok sewa menyewa yang berupa barang dan harga. 3. Pihak yang satu berhak untuk mendapatkan/menerima pembayaran dan berkewajiban memberikan kenikmatan atas suatu kebendaan; sedangkan pihak lainnya berhak atas mendapatkan/menerima kenikmatan atas suatu kebendaan dan berkewajiban menyerahkan suatu pembayaran. 4. Hak bagi pihak yang satu merupakan kewajiban bagi pihak lainnya, begitupun sebaliknya, kewajiban bagi pihak yang satu merupakan hak bagi pihak lainnya. 8 Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1985), h.91. Hasanuddin Rahman, Contact Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.29-30. 9 19 5. Penikmatan berlangsung untuk jangka waktu tertentu. B. Hak dan Kewajiban Pihak Yang Menyewakan dan Penyewa Hak dari pihak yang menyewakan adalah menerima harga sewa yang ditentukan. Sedangkan kewajiban pihak yang menyewakan diatur dalam pasal 1550 KUH Perdata yang terdiri dari tiga macam, yang mana kewajiban tersebut merupakan kewajiban yang harus dibebankan kepada pihak yang menyewakan sekalipun tidak ditentukan dalam persetujuan. Ketiga kewajiban tersebut diantaranya adalah:10 1. Kewajiban menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa. Mengenai penyerahan barang di sini adalah penyerahan secara nyata sehingga pihak yang menyewakan harus melakukan tindakan pengosongan dan penentuan terhadap barang yang disewakan. Dalam penyerahan barang ini pihak yang yang menyewakan tidak bisa dituntut untuk menyerahkan barang secara yuridis karena pihak penyewa tidak berstatus sebagai pemilik sehingga penyerahan barang dilakukan dibawah penguasaan si penyewa. 2. Kewajiban memelihara barang yang disewakan selama waktu yang diperjanjikan, sehingga barang itu dapat dipakai dan dinikmati sesuai hajat penyewa. Mengenai kewajiban ini, pihak yang menyewakan wajib melakukan perbaikan atau reparasi dan pemeliharaan barang yang disewakan, apabila waktu perjanjian sewa-menyewa masih berjalan sehingga pihak penyewa 10 Hasanuddin Rahman, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.30. 20 dapat memakai dan menikmati barang yang disewakan sesuai dengan kebutuhanya. Adapun mengenai reparasi yang dilakukan baik oleh pihak yang menyewakan atau pihak penyewa ditentukan dalam pasal 1555 ayat 2 KUH Perdata bahwa reparasi kecil sebagai akibat kerusakan pemakaian normal dibebankan kepada pihak penyewa sedangkan reparasi dan pemeliharaan berat dibebankan kepada pihak yang menyewakan. Dalam melakukan reparasi dan pemeliharaan oleh pihak yang menyewakan, tidak diperkenankan menggangu ketertiban dan kenyamanan pihak penyewa dalam menikmati barang yang disewa sehingga apabila pelaksanaan reparasi tidak bisa ditangguhkan sampai akhir masa kontrak, maka pihak yang menyewakan bisa melakukan reparasi selama tidak melebihi jangka waktu 40 hari. Namun apabila melebihi jangka waktu 40 hari, maka pihak yang menyewakan harus menggurangi harga sewa sebagai ganti rugi akibat terganggunya pemakaian. 3. Kewajiban memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram dari barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa. Dalam hal kewajiban ketiga pihak yang menyewakan ini, hakikat kenikamatan yang tentram ini ditentukan dalam pasal 1552, 1554, 1557 dan 1558 KUH Perdata, antara lain: 1. Pihak yang menyewakan bertanggung jawab atas adanya cacat barang yang disewakan, apabila cacat tersebut menghalangi pemakaian barang. Yang dimaksud cacat di sini adalah tidak semata-mata pada konstruksi atau keadaan barang namun pada hal atau keadaan yang dapat menghalangi penggunaan dan penikmatan. Jadi tidak terpaku pada mutu 21 barang yang tidak berkualitas. Kemudian sampai manakah batasan gangguan pemakaian barang bisa disebut cacat. Menurut M. Yahya Harahap11, batasan gangguan pemakaian barang dianggap cacat apabila sesuatu tersebut menimbulkan gangguan atas pemakaian seluruh barang. Apabila terganggunya pemakaian hanya sebagian saja maka belum dianggap sebagai cacat yang menghalangi pemakaian. Adapun ukuran yang tepat untuk menilai cacat pada barang yang disewa adalah bertitik tolak pada pemakaian yang normal, dalam artian ditinjau dalam segi pemakaian yang wajar, apakah penyewa benar-benar terganggu. Karenanya, sesuatu baru dianggap cacat yang menghalangi pemakaian barang yang disewa, apabila sesuatu keadaan itu sungguh-sungguh serius menghalangi pemakaian dan penggunaan barang yang disewa. 2. Pihak yang menyewakan tidak diperkenankan merubah bangunan dan susunan barang yang disewa selama masa sewa masih berlangsung. Dalam permasalahan adanya gangguan dari pihak ketiga, tidak semuanya dibebankan kepada pihak yang menyewakan akan tetapi kita lihat dulu gangguan yang muncul diakibatkan pihak ketiga. Pada dasarnya gangguan pihak ketiga dibedakan menjadi dua, yakni gangguan atas dasar hak (Trouble de droit) dan gangguan atas dasar kenyataan (trouble de fait). Pada gangguan pihak ketiga yang didasarkan pada hak maka sudah sepatutnya pihak yang menyewakan bertanggung jawab atas gangguan tersebut. Beda halnya dengan gangguan pihak ketiga yang bersifat nyata seperti halnya perbuatan melawan hukum (contoh pelemparan atas rumah sewa oleh pihak 11 h.226. M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), 22 ketiga), maka pihak penyewa yang menanggung semua gangguan tersebut sehingga bisa langsung menuntut pihak ketiga. Adapun gangguan pihak ketiga didasarkan atas hak diatur dalam pasal 1557 dan 1558 KUHPerdata yang penjelasannya di bawah. 1. Gangguan pihak ketiga yang berupa tuntutan atas hak milik mutlak atas barang yang disewakan. Apabila hal tersebut terjadi, maka penyewa dapat menuntut pengurangan harga sewa secara berimbang asalkan ada pemberitahuan sebelumnya terkait gangguan yang akan terjadi oleh pihak ketiga. 2. Gangguan pihak ketiga yang berupa gugatan atas penyewa untuk mengosongkan barang yang disewa baik sebagian maupun seluruhnya dan gugatan atas penggunaan hak pelarangan barang yang disewa. Maka dalam hal ini pihak penyewa harus memberitahukan kepada pihak yang menyewakan melalui juru sita secara resmi, dan dalam hal ini penyewa dapat meminta jaminan kepada pihak yang menyewakan agar tidak dirugikan. Kemudian untuk hak penyewa adalah menerima barang yang disewakan dalam keadaan baik. Sedangkan untuk kewajiban pihak penyewa di atur dalam pasal 1560 KUH Perdata disebutkan bahwa si penyewa harus menepati kewajiban utama sebagai berikut:12 1. Untuk memakai barang yang disewa sebagai seorang bapak-rumah yang baik, artinya kewajiban memakainya seakan-akan barang itu kepunyaan sendiri. 12 Hasanuddin Rahman, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.31. 23 2. Untuk membayar harga sewa pada waktu yang ditentukan. 3. Penyewa wajib menanggung segala kerusakan yang terjadi selama masa penyewaan. Kecuali apabila si penyewa bisa membuktikan bahwa kerusakan itu tidak disebabkan karena kesalahannya, tetapi di luar kesalahannya. 4. Mengembalikan barang yang disewa kepada yang menyewakan pada saat berakhirnya perjanjian sewa.13 Selain kewajiban-kewajiban tersebut diatas, si penyewa juga masih diberikan tanggung jawab. Yang antara lain disebutkan dalam pasal 1564, pasal 1565, dan pasal 1566 KUH Perdata. Si penyewa bertanggung jawab untuk segala kerusakan yang diterbitkan pada barang yang di sewa selama waktu sewa, kecuali jika dia membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi di luar kesalahannya (Pasal 1564). Namun, ia itu tidak bertanggung jawab untuk kebakaran kecuali jika pihak yang menyewakan membuktikan bahwa kebakaran itu disebabkan kesalahan si penyewa (Pasal 1565). Si penyewa adalah bertanggung jawab untuk segala kerusakan dan kerugian yang diterbitkan pada barang yang disewa, oleh kawan-kawannya serumah, atau oleh mereka kepada siapa ia telah mengoperkan sewanya (pasal 1566) . 13 h.231. M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), 24 C. Bentuk dan Substansi Perjanjian Sewa-Menyewa Meskipun sewa-menyewa adalah perjanjian konsensual, namun bentuk perjanjian sewa-menyewa dalam KUH Perdata dijelaskan dalam pasal 1570 perihal perjanjian tertulis dan dalam pasal 1571 perihal perjanjian tidak tertulis (lisan) beserta akibat hukumnya. Apabila bentuk perjanjian sewa-menyewa dilakukan dengan tertulis, maka sewa berakhir dengan demi hukum (secara otomatis), apabila waktu yang ditentukan telah habis, tanpa diperlukannya sesuatu pemberitahuan pemberhentian.14 Namun apabila pihak penyewa tetap menguasai barang yang disewa setelah habisnya masa sewa dan pihak yang menyewakan membiarkannya tanpa ada perlawanan, maka secara otomatis terjadi sewa baru yang mana akibat-akibatnya diatur dalam pasal-pasal persewaan lisan.15 Sedangkan untuk perjanjian sewa-menyewa tidak tertulis (lisan), maka sewa tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, kecuali pihak yang menyewakan hendak menghentikan sewanya dengan cara pemberitahuan sebelumnya dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebisaaan setempat. Apabila tidak ada pemberitahuan seperti itu sebelumnya dari pihak yang menyewakan, maka persewaan tersebut dianggap telah diperpanjang untuk waktu yang sama.16 Namun apabila pihak penyewa tetap menikmati barang persewaan meski sudah ada pemberitahuan sebelumnya dari pihak yang menyewakan untuk menghentikan sewanya maka pihak 14 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradya Paramita, 2009), h.385. 15 Pasal 1573 KUH Perdata. 16 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h.385. 25 penyewa tidak bisa memajukan penyewaan ulang secara diam-diam.17 Dalam bentuk sewa-menyewa bangunan, khususnya dalam praktik dibuat dalam bentuk tertulis dan isi perjanjian itu telah dirumuskan oleh para pihak, dan atau notaris. Adapun substansi perjanjian sewa menyewa minimal memuat hal-hal sebagai berikut :18 1. Tanggal dibuatnya perjanjian sewa menyewa 2. Subjek hukum, yaitu para pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa menyewa. 3. Objek yang disewakan. 4. Jangka waktu sewa. 5. Besarnya uang sewa. 6. Hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam perjanjian tersebut. 7. Dapat juga ditambahkan mengenai berakhirnya kontrak dan denda. D. Risiko Atas Musnahnya Barang Dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan resicoleer (ajaran tentang resiko). Resicoleer adalah suatu ajaran, yaitu sesorang berkewajiban untuk memikul kerugian, jika ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. ajaran ini timbul apabila terdapat keadaan memaksa (overmacht). Ajaran ini dapat diterapkan pada perjanjian timbal balik dan perjanjian 17 Pasal 1572 KUH Perdata. Salim H.S, Hukum kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h.59-60. 18 26 sepihak.19 Dalam perjanjian sewa-menyewa, barang berada pada pihak penyewa. Namun persoalanya bagaimana apabila barang sewaan tersebut hancur atau musnah dalam jangka waktu massa perjanjian sewa masih berlangsung yang tidak disebabkan oleh pihak penyewa. Dalam masalah terdapat ketentuan yang tercantum dalam dalam pasal 1553 KUH Perdata, yang mana musnah atas barang sewaan dibagi menjadi dua macam, yakni musnah secara keseluruhan dan musnah sebagian dari objek sewa. Adapun ketentuanya adalah: 1. Apabila barang yang disewakan oleh penyewa itu musnah secara keseluruhan di luar kesalahanya pada masa sewa, perjanjian sewamenyewa itu gugur demi hukum dan yang menanggung resiko atas musnahnya barang tersebut adalah pihak yang menyewakan. Artinya pihak yang menyewakan yang akan memperbaiki dan menanggung segala kerugiannya.20Namun menurut Yahya Harahap, resiko kerugian dibagi dua antara pihak yang menyewakan dan pihak si penyewa. Setelah musnahnya seluruh barang, pihak yang menyewakan tidak diperkenankan lagi menuntut pembayaran uang sewa, begitupun sebaliknya, si penyewa tidak dapat menuntut ganti rugi maupun penggantian barang. Perlu di catat bahwasanya kemusnahan barang di sini adalah kemusnahan akibat peristiwa overmacht, atau kejadian tiba-tiba yang tak terhindarkan dan musnahnya bukan karena perbuatan pihak yang menyewakan, si penyewa 19 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.103. 20 Ibid., h.62. 27 bahkan si penyewa pihak ketiga.21 Adapun yang dimaksud musnahnya seluruh barang adalah secara pasti materi barang tidak dapat lagi ditunjukkan wujudnya. Semisal, hangusnya seluruh rumah yang disewa sehingga wujud materi rumah tidak Nampak lagi. Bisa juga seperti kapal yang kena bom. 2. Apabila barang yang disewa hanya sebagian yang musnah maka penyewa dapat memilih menurut keadaan, akan meminta pengurangan harga sewa atau akan meminta pembatalan perjanjian sewa menyewa. Pada dasarnya pihak penyewa dapat menuntut kedua hal ini, namun ia tidak dapat menuntut pembayaran ganti rugi kepada pihak yang menyewakan.22 Penentuan batas musnahnya seluruh barang dan sebagian barang kadangkala menuai kesulitan dalam penetapan kapan sesuatu kemusnahan dianggap meliputi seluruh barang atau hanya sebagian saja. E. Bukti Pembayaran Uang Sewa Mengenai pembuktian pembayaran uang sewa diatur dalam pasal 1569 BW. Apabila timbul perselisihan mengenai pembayaran uang sewa yang telah disetujui bersama “secara lisan”, dan sewa menyewa telah berlangsung serta kwitansi pembayaran tidak ada, dalam hal ini hakim sepatutnya melakukan tindakan sebagai berikut:23 1. Harus percaya pada keterangan pihak yang menyewakan, asal keterangan 21 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h. 234. 22 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h.62. 23 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h.236-237. 28 tersebut dibarengi dengan sumpah. 2. Atau hakim menyuruh untuk menaksir besarnya sewa kepada seorang ahli, jika hal ini diminta oleh si penyewa. Ketentuan-ketentuan yang dilakukan seorang hakim di atas hanya berlaku pada perselisihan besarnya sewa yang dilakukan secara lisan serta sewa-menyewa sudah berlangsung sedangkan kwitansi tanda pembayaran tidak ada. Ketentuan tersebut tidak berlaku pada perjanjian sewa yang dilakukan melalui akta otentik atau akte dibawah tangan. Namun demikian, ketentuan-ketentuan sewa di atas juga tidak serta merta dilakukan secara otomatis, tentu juga harus melewati prosedur cara-cara pembuktian biasa yang diatur dalam hukum acara perdata. Apabila cara-cara pembuktian biasa tidak mampu menentukan besarnya uang sewa maka cara di atas barulah diterapkan. Kemudian mengenai sumpah yang dilakukan oleh pihak yang menyewakan dalam pasal 1569 dan alat bukti sumpah yang diatur dalam hukum acara perdata di sini terdapat perbedaan. Alat bukti sumpah yang diatur dalam hukum acara perdata baik itu sumpah tambahan (aan Vullend eed) maupun sumpah yang menentukan (decisoir eed) dilakukan atas “pembebanan”. Sumpah tambahan merupakan sumpah yang dibebankan oleh hakim kepada salah satu pihak yang berperkara bagi pihak yang telah mempunyai permulaan bukti. Sedangkan sumpah yang menentukan merupakan sumpah yang dilakukan atas pembebanan salah satu pihak yang 29 berperkara kepada lawanya.24 Sedangkan sumpah yang dimaksud dalam pasal 1569 adalah sumpah yang diucapkan oleh pihak yang menyewakan “bukan atas pembebanan” salah satu pihak. Juga bukan atas perintah hakim seperti pada sumpah tambahan, akan tetapi yang dilakukan oleh pihak yang menyewakan ini semata-mata “hak yang diberikan undang-undang” kepada pihak yang menyewakan. Hak ini merupakan ekstra kewenangan kepada pihak yang menyewakan. Apabila pihak yang menyewakan telah mengikrarkan sumpah, maka dengan sendirinya sumpah tersebut mengikat kedua belah pihak. Namun ada upaya satu-satunya yang dapat dipergunakan oleh pihak penyewa untuk menghalangi pengikraran sumpah pihak yang menyewakan dengan cara mempergunakan hak meminta penentuan besarnya sewa yang diperselisihkan melalui penaksiran seorang ahli. Apabila hak ini dipergunakan oleh pihak penyewa, maka gugurlah hak pihak yang menyewakan untuk mengucapkan sumpah. Dan apa yang telah ditentukan seorang ahli penaksir dengan sendirinya akan mengikat kedua belah pihak.25 F. Mempersewakan Lagi (Onderhuur) Yang dinamakan mempersewakan lagi atau mengulang sewakan ialah, jika si penyewa menyewakan lagi barangnya kepada orang lain, tetapi perjanjian sewa masih dipertahankan sehingga penyewa itu berada dalam hubungan sewa dengan pemilik. Melepaskan sewa ditujukan pada perbuatan 24 M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), h. 749. 25 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h.237. 30 menyerahkan barang yang disewa kepada pihak ketiga yang sama sekali menggantikan kedudukan si penyewa, sehingga orang baru itu langsung berhubungan sendiri dengan pemilik.26 Dalam pasal 1559 ayat 1 dijelaskan bahwasanya si penyewa dilarang untuk mempersewakan lagi barang yang disewanya kepada pihak ketiga karena pada dasarnya si penyewa terikat pada larangan untuk tidak mempersewakan lagi kepada orang lain, jika pada persewaan tadi tidak ada persetujuan pihak yang menyewakan maka si penyewa diperbolehkan menyewakan lagi pada pihak ketiga. Jadi inti dari pasal ini adalah diperbolehkanya mempersewakan ulang kepada pihak ketiga apabila secara tegas diperbolehkan dalam persetujuan. Persetujuan atau perizinan untuk mempersewakan lagi barang yang disewa, harus ditegaskan secara jelas dalam persetujuan sewa-menyewa. Baik hal itu tanpa syarat, bahwa pemberian hak mempersewakan lagi kepada pihak ketiga harus atas persetujuan tertulis dari pihak yang mempersewakan. Namun demikian, sekalipun ada perizinan untuk mempersewakan lagi kepada pihak ketiga, tentu persewaan seperti itu tidak boleh melebihi jangka waktu perjanjian sewa semula.27 Kemudian untuk permasalahan tanggung jawab uang sewa kepada pihak yang menyewakan semula, maka dalam hal mempersewakan lagi barang yang disewa kepada pihak ketiga, si penyewa semulalah yang bertanggung jawab melaksanakan pelunasan pembayaran sewa kepada pihak yang 26 27 h.232. Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta : Intermasa, 2001), h. 93. M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), 31 menyewakan semula. Apabila dalam persetujuan ditegaskan adanya larangan mempersewakan lagi, lantas si penyewa melanggar larangan tersebut, maka si penyewa dapat dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum atau wanprestasi yang menimbulkan akibat diantaranya adalah: 1. Sewa-menyewa dapat dipecahkan. 2. Si penyewa dapat dihukum untuk membayar ganti kerugian yang terdiri dari ongkos, kerugian dan bunga uang. 3. Dengan dipecahkanya perjanjian sewa-menyewa, maka pihak yang menyewakan semula tidak perlu mengindahkan lagi hubungan antara penyewa semula dengan pihak ketiga dengan alasan bahwa pihak penyewa semula telah melakukan perbuatan melanggar hukum yang berakibat antara hubungan si penyewa dan pihak ketiga tidak mengikat pihak yang menyewakan. Kemungkinan yang terjadi pihak ketiga akan menuntut dan meminta ganti rugi kepada pihak penyewa semula. Atau pelanggaran atas mempersewakan lagi tanpa persetujuan oleh penyewa di anggap tanpa title yang sah sehingga pihak yang menyewakan dapat melakukan tuntutan “revindikasi” serta dapat memaksakan pengosongan kepada pihak ketiga.28 G. Berakhirnya Sewa-menyewa Secara umum undang-undang memberi beberapa ketentuan tentang berakhirnya sewa-menyewa. Dan akibat yang paling jauh dari berakhirnya 28 Ibid., h.232-234. 32 sewa ialah “pengosongan” barang yang disewa.29 Pada dasarnya sewamenyewa akan berakhir dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1. Berakhirnya sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Apabila perjanjian sewa-menyewa dibuat secara tertulis maka berakhirnya secara otomatis (berakhir demi hukum). Sedangkan apabila perjanjian sewa-menyewa dibuat secara lisan maka berakhirnya tidak berpatok pada waktu yang ditentukan kecuali sudah ada pemberitahuan sebelumnya dari pihak yang menyewakan untuk menghentikan sewanya. Dalam penghentian sewa-menyewa secara lisan pengakhiran sewa harus memperhatikan jangka waktu “Penghentian” sesuai dengan kebisaaan setempat. Adapun maksud jangka waktu penghentian di sini adalah batas waktu antara penghentian dan pengakhiran. Seperti contoh, pemberitahuan dilakukan pada 1 Januari dan harus diakhiri dalam tempo 5 bulan. Sehingga antara 1 januari dengan 30 Juni inilah yang dinamakan jangka waktu penghentian. Sedangkan tempo berakhirnya sewa-menyewa jatuh pada 1 Juli. Jangka waktu penghentian sewa-menyewa tidak boleh terlalu pendek atau cepat akan tetapi harus memberi jangka waktu yang layak bagi si penyewa untuk mempersiapkan segala akibat setelah berakhirnya masa sewa. 2. Batas akhir sewa-menyewa tidak ditentukan waktunya. Penghentian atau berakhirnya waktu sewa dalam perjanjian sewamenyewa seperti ini didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya sewa29 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum perjanjian, (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h. 238. 33 menyewa pada saat yang dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang tidak mengatur berakhirnya perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu, sehingga penghentianya diserahkan pada kesepakatan kedua belah pihak.30 3. Berakhirnya sewa-menyewa dengan ketentuan khusus. Dalam hal ini ada tiga pola, diantaranya: a. Permohonan / pernyataan dari salah satu pihak penghentian perjanjian sewa-menyewa hanya dapat dilakukan atas persetujuan dua belah pihak yaitu pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Penghentian karena kehendak para pihak ini bisa dilakukan tanpa putusan dari pengadilan. Di atur di dalam pasal 1579 KUH Perdata yang menyatakan bahwa pemilik barang tidak dapat menghentikan sewa dengan mengatakan bahwa ia akan mengunakan sendiri barangnya, kecuali apabila waktu membentuk perjanjian sewamenyewa ini diperbolehkan. b. Putusan pengadilan. Penghentian hubungan sewa-menyewa yang dikehendaki oleh salah satu pihak saja, hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan seperti yang diatur dalam pasal 10 ayat (3) PP No. 49 tahun 1963 jo PP No. 55 tahun 1981. c. Benda objek sewa-menyewa musnah. apabila benda sewaan musnah sama sekali bukan karena kesalahan salah satu pihak, maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum. 30 Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h. 240. 34 Dengan demikian perjanjian berakhir bukan karena kehendak para pihak melainkan karena keadaan memaksa (Overmacht). d. Perjanjian sewa-menyewa tidak bisa berakhir disebabkan meninggalnya salah satu pihak. Meninggalnya pihak yang menyewakan atau yang menyewa tidak dapat menghapus perjanjian sewa-menyewa, karena perjanjian dapat diteruskan oleh masing-masing ahli waris.31 H. Ganti Rugi Menurut R. Setiawan kerugian adalah kerugian nyata yang terjadi karena wanprestasi. Adapun besarnya kerugian ditentukan dengan membandingkan keadaan kekayaan setelah wanprestasi dengan keadaan sebelum terjadi wanprestasi.32 Pengertian kerugian yang hampir sama juga dikemukakan oleh Yahya Harahap. Ganti rugi adalah “kerugian nyata” atau “fietelijke nadeel” yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi.33 Kerugian nyata ini ditentukan oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur. Lebih lanjut dibahas oleh Harahap, kalau begitu dapat kita ambil rumusan, besarnya jumlah ganti rugi kira-kira sebesar jumlah yang “wajar” sesuai dengan besarnya nilai prestasi yang menjadi objek perjanjian dsbanding dengan keadaan yang menyebabkan timbulnya wanprestasi. Atau ada juga yang berpendapat 31 M. Yahya Harap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h. 240-241. 32 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Bandung : Binacipta, 1977), h. 17. M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), 33 h. 66. 35 besarnya ganti rugi ialah “sebesar kerugian nyata” yang diderita kreditur yang menyebabkan timbulnya kekurangan nilai keuntungan yang akan diperolehnya. Kemudian dikatakan oleh Abdulkadir Muhammad, bahwa dalam pasal 1243-1248 KUHPerdata terdapat pembatasan-pembatasan yang sifatnya sebagai perlindungan undang-undang terhadap debitur dari perbuatan sewenang-wenang pihak kreditur sebagai akibat wanprestasi.34 Pengertian kerugian yang lebih luas lagi dikemukan oleh Mr. J. H. Nieuwenhuis yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.35 Maksud pelanggaran norma di sini adalah perbuatan wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum diatur dalam dalam pasal 1365 KUH Perdata. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum merupakan suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang merugikannya. Ganti rugi tersebut timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian.36 Tanggung jawab untuk melakukan pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang mengalami kerugian tersebut baru dapat dilakukan apabila orang yang yang melakukan perbuatan melanggar hukum tersebut adalah orang yang mampu bertanggung jawab secara hukum (tidak ada alasan pemaaf). Secara 34 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung : Alumni, 1982), h. 41. J. H. Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Penerjemah Djasadin Saragih, (Surabaya : Airlangga University,1985), h. 54. 36 Salim.H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h.100. 35 36 teoritis, dikatakan bahwa tuntutan ganti kerugian berdasarkan alasan perbuatan melanggar hukum baru dapat dilakukan apabila memenuhi empat unsur, diantaranya adalah:37 1. Ada perbuatan melanggar hukum. 2. Ada kerugian. 3. Ada hubungan kausalitas antara kerugian dan perbuatan melanggar hukum. 4. Ada kesalahan. Sedangkan ganti rugi karena wansprestasi diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang dimulai dari pasal 1246 KUH Perdata s.d pasal 1252 KUH Perdata. Ganti rugi karena wansprestasi merupakan suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur dengan debitur. Misalnya A berjanji akan mengirimkan barang kepada B pada tanggal 10 januari 2015. Akan tetapi, pada tanggal yang telah ditentukan, A belum juga mengirimkan barang tersebut kepada B. Supaya B dapat menuntut ganti rugi karena keterlambatan tersebut, maka B harus memberikan peringatan (somasi) kepada A, minimal tiga kali. Apabila peringatan/teguran itu telah dilakukan, maka barulah B dapat menuntut kepada A untuk membayar ganti kerugian. Jadi, momentum timbulnya ganti rugi adalah pada saat telah dilakukan somasi.38 Menurut Purwahid Patrik, ganti kerugian yang dapat dituntut oleh 37 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum PerikatanPenjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), h.96-97. 38 Salim.H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h.100. 37 kreditur kepada debitur terdiri dari dua unsur : 1. Kerugian yang nyata diderita (damnum emergens) meliputi biaya dan rugi 2. Keutungan yang tidak diperoleh (lucrum cessans) meliputi bunga.39 Di dalam pasal 1249 KUHPerdata ditentukan bahwa penggantian kerugian yang disebabkan wansprestasi hanya ditentukan dalam bentuk uang. Namun dalam perkembangannya menurut para ahli dan yurispudensi bahwa kerugian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1. Kerugian materiil, yakni suatu kerugian yang diderita kreditur dalam bentuk uang/kekayaan/benda. 2. Kerugian immaterial, yakni suatu kerugian yang diderita oleh kreditur yang tidak bernilai uang, seperti rasa sakit, mukanya pucat, penderitaan batin, rasa takut dan lain sebagainya.40 Sulit rasanya menggambarkan hakekat dan takaran obyektif dan konkrit sesuatu kerugian immateriil. Misalnya: bagaimana mengganti kerugian penderitaan jiwa. Si A berjanji kepada si B untuk menjual cincin berlian sekian karat. Ternyata berlian itu palsu yang mengakibatkan kegoncangan dan penderitaan batin bagi si B. Bagaimana memperhitungkan kerugian penderitaan batin dimaksud? Sekalipun memang benar menentukan hakekat dan besarnya kerugian non-ekonomis, ganti rugi terhadap hal ini pun dapat dituntut. Penggantiannya dialihkan kepada suatu perhitungan yang berupa “pemulihan”. Biaya pemulihan inilah yang diperhitungkan sebagai ganti rugi 39 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang) (Bandung : Mandar Maju, 1994), h. 14. 40 Salim.H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h.101. 38 yang dapat dikabulkan oleh hakim. 41 Seperti dalam contoh di atas, tentu tidak dapat diganti kegoncangan jiwa yang diderita oleh si pembeli tersebut. Tetapi debitur dapat “dibebankan” sejumlah biaya pengobatan rehabilitasi. Misalnya ongkos dokter dan biaya sanatorium. Sampai benar-benar si kreditur itu pulih kembali. I. Jual Beli Tidak Memutus Sewa (Koop Brekt Geen Huur) Dalam pasal 1576 dijelaskan bahwa “dengan dijualnya barang yang disewa, maka persewaan sebelumnya tidak terputus kecuali ada perjanjian sebelumnya”.42 Dengan ketentuan pasal 1576 ini bermaksud melindungi si penyewa dari peralihan hak milik barang yang disewa. Sewa-menyewa dengan sendirinya menurut hukum tetap melekat pada barang yang dijual. Dengan sendirinya pula si pembeli tetap terikat pada persetujuan sewa-menyewa yang dibuat si penjual dengan si penyewa. Seolah-olah hak sewa yang bersifat perseorangan tersebut dikonstruksikan sebagai hak kebendaan dalam abstrakto.43 Dengan mengingat maksud undang-undang ini, maka perkataan “dijual” dalam pasal 1576 sudah lazim ditafsirkan secara analogis (luas), sehingga tidak terbatas pada jual beli saja, tetapi juga meliputi perpindahan hak milik lainnya, seperti : tukar-menukar, penghibahan, pewarisan dan lain sebagainya. Pendek kata, dijual ditafsirkan sangat luas sehingga menjadi 41 Merry Tjoanda, Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jurnal Sasi, Vol 16, No. 4 ( Oktober - Desember 2010), h.48. 42 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta : Pradya Paramita, 2009), h. 385. 43 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h.241. 39 dipindahkan miliknya. Sebaliknya, kata sewa atau persewaan dalam pasal tersebut harus ditafsirkan secara sempit atau terbatas, dalam arti bahwa yang tidak diputuskan atau harus dihormati oleh pemilik baru itu hanya hak sewa saja. Sebab sangat mungkin dalam perjanjian sewa dimasukkan janji-janji untuk kepentingan si penyewa yang bukan hak sewa, misalnya kepada si penyewa dijanjikan bahwa setelah persewaan berlangsung selama sepuluh tahun, ia diperkenankan membeli barang yang disewanya itu dengan harga yang murah. Hak seperti ini yang lazim dinamakan hak opsi tidaklah berlaku terhadap pemilik baru, apabila barang itu dijual kepada orang lain. Begitu pula apabila perjanjian sewa itu diikuti oleh suatu perjanjian penanggungan, di mana seorang pihak ketiga menanggung pembayaran uang sewa terhadap pemilik, maka perjanjian penanggungan ini dianggap hapus apabila barang yang disewakan itu dijual kepada orang lain. Dan pendapat ini memang tepat karena penanggung (borg) boleh dikatakan telah menyanggupi penanggungan itu kepada pemilik lama, dan tidak kepada orang lain. 44 Memang pihak yang menyewakan sebagai pemilik benda yang disewakan, masih tetap menjadi pemilik mutlak. Sebagai pemilik mutlak, dia berhak sepenuhnya untuk memindahkan dan menjual barang yang disewakan. Namun sebaliknya, dalam mempergunakan haknya atas barang yang telah disewakannya tersebut, tidak boleh merugikan pihak si penyewa. Caranya ialah dengan jalan memperlindungi si penyewa atas kewenangan pihak yang menyewakan dengan asas : jual beli tidak memutuskan hubungan sewamenyewa (koop brekt geen huur). 44 Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta : Intermasa, 2001), h. 94-95. 40 Adapun mengenai perpindahan sewa-menyewa kepada pembeli sebagai pemilik baru atas barang yang disewa, meliputi seluruh kualitas yang dimiliki pemilik lama. Artinya sewa-menyewa tetap berada dalam keadaan semula. Pembeli sebagai pemilik baru beralih menggantikan kedudukan pemilik lama. Karena itu, dia terikat atas segala ketentuan perjanjian sewamenyewa yang melekat pada barang yang dibelinya. Dia terikat atas segala kewajiban yang menyangkut reparasi. Pemecahan sewa-menyewa karena wansprestasi menjadi hubungan hukum yang langsung antara si penyewa dengan si pembeli. Penjual sebagai pemilik lama, telah terputus hubunganya dari segala tanggung jawab yang timbul dari perjanjian sewa. Penjual tidak lagi memikul jaminan atas terlaksananya penikmatan dan pemakaian, karena semua itu telah beralih kepada pembeli sebagai pemilik baru. Itulah sebabnya, peralihan perjanjian sewa kepada pemilik baru tersebut, merupakan peralihan semua title dari pemilik lama, selama jangka waktu sewa-menyewa masih berlangsung. Peralihan semua title ini berlaku, jika penjualan barang yang disewa merupakan penjualan atas keseluruhan. Akan tetapi jika yang dijual hanya sebagian saja dengan alasan untuk tetap mempertahankan hubungan sewa-menyewa antara pihak yang menyewakan semula dengan si penyewa. Pembeli sebagian barang yang disewa, tidak terikat atas persetujuan sewa-menyewa. Peralihan persetujuan sewa-menyewa dari penjual kepada pembeli berlangsung sesaat bersamaan dengan peralihan hak milik kepada pembeli. Dengan perkataan lain : peralihan terjadi sesaat setelah terjadi persetujuan jual-beli. Adapun konsekuensi akibat peralihan karena jual-beli barang yang 41 sedang terlibat dalam persetujuan sewa-menyewa adalah:45 1. Sejak saat penyerahan (levering), si penyewa wajib dan sah membayarkan uang sewa kepada pemilik baru. 2. Pemilik baru harus menerima persetujuan sewa-menyewa terhitung sejak saat berlangsungnya penyerahan. 3. Jika terjadi wansprestasi yang dilakukan oleh penyewa sebelum penyerahan berlangsung maka tuntutan pembatalan sewa dapat diminta baik oleh pemilik lama maupun pemilik baru, ganti rugi yang ditimbulkan wansprestasi sebelum berlangsung penyerahan kepada pemilik baru hanya dapat dituntut oleh pemilik lama, namun apabila wansprestasi yang terjadi itu sesudah penyerahan kepada pemilik baru berlangsung, tuntutan pembatalan dan ganti rugi hanya dapat dilakukan oleh pemilik baru. Mengenai sejauh mana persetujuan sewa-menyewa serta segala persetujuan sewa-menyewa masa mendatang langsung mengikat pembeli di sini akan dijelaskan. Bahwasanya yang dimaksud peralihan dari pemilik lama ke pemilik baru disini hanya pada hak-hak dan kewajiban yang langsung ada hubunganya dengan perhubungan hukum sewa-menyewa, seperti pembayaran uang sewa dan tentang memperbaiki barang sewa yang rusak, akan tetapi hakhak dan kewajiban yang lain tidak beralih. Jadi hanya terbatas pada sifat dan esensi hubungan sewa-menyewa saja.46 Karena itu jika seandainya antara penyewa dan pemilik lama telah 45 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h.242. 46 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu (Bandung : Sumur, 1981), h. 79. 42 membuat perjanjian bahwa si penyewa akan membeli barang sebagai pemilik baru, maka yang beralih hanya hal-hal yang tidak bertentangan dengan tujuan sewa-menyewa itu sendiri. Karena ikatan yang terjadi antara penyewa dan pemilik lama sudah berada di luar hubungan hukum sewa-menyewa. Adapun mengenai ketentuan pasal 1576 ini tidak menegaskan apakah ketentuan tersebut hanya berlaku pada barang yang tidak bergerak saja, oleh karena itu harus dianggap berlaku terhadap benda pada umumnya, yang meliputi barang yang tidak bergerak dan barang bergerak serta barang yang berwujud dan tidak berwujud. Adapun mengenai ketentuan pasal 1576 ini, dapat dikesampingkan dengan jalan “menegaskannya” dalam persetujuan sewa-menyewa dalam ayat ke dua pasal 1576. Penegasan klausul ini harus dicantumkan dalam persetujuan sewa-menyewa, bukan pada persetujuan jual-beli. Apabila klausul seperti ini telah ditegaskan dalam perjanjian sewa-menyewa, si penyewa harus meninggalkan barang yang disewa pada saat setelah terjadi persetujuan jualbeli antara yang menyewakan dengan pihak ketiga. Pengosongan atas dasar klausul demikian tidak menimbulkan kewajiban bagi pihak yang menyewakan untuk membayar ganti rugi. Kecuali jika tentang hal ini disebut secara tegas dalam perjanjian. Jika disetujui penggantian kerugian akibat pemecahan perjanjian sewa karena jual-beli, si penyewa tidak wajib meninggalkan barang yang disewa sampai ganti rugi tersebut dibayar lunas. Besarnya jumlah ganti rugi akibat jual-beli barang yang disewa, sejak semula dapat mereka tentukan dalam perjanjian tersebut. Atau besarnya jumlah ganti rugi dapat 43 diperhitungkan berdasar kebisaan setempat.47 Apabila dalam kontrak sewa diperjanjikan hak si pembeli barang untuk menyuruh si penyewa keluar dari barang yang dibelinya, dan hak itu dipergunakannya, maka pembeli tersebut wajib memberitahukan sebelumnya kepada penyewa untuk keluar meninggalkan barang tersebut. Namun untuk pengosongan, pembeli harus memberikan waktu tempo yang patut sesuai dengan kebisaan dan kelaziman setempat. Untuk perintah pengosongan tanah perkebunan, pemberitahuan harus dilakukan sekurang-kurangnya satu tahun sebelum tanah itu dikosongkan. 47 h. 243. M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), BAB III KONSEP SEWA-MENYEWA MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Ijārah (Sewa-Menyewa) Sewa-menyewa atau dalam bahasa arab disebut ijārah berasal dari kata “ajara” yang mempunyai sinonim kata “Akraa” yang artinya menyewakan, seperti dalam kalimat “ajara al-syaia” (menyewakan sesuatu), dan kata “aʻ thoohu ajran” yang artinya ia memberinya upah seperti dalam kalimat “ajara fulaanan „ala kadza” (ia memberikan kepada si fulan upah sekian), dan kata “atsābahu” yang artinya memberinya pahala, seperti dalam kalimat “ajara allahu „abdahu” (Allah memberikan pahala kepada hamba-Nya).1 Menurut Abdur Rahman Al-Jaziry, ijārah menurut bahasa dengan dikasrohkan hamzahnya dan didhommahkan hamzahnya dan difathahkan hamzahnya. Adapun dikasrohkan hamzahnya adalah lebih tersohor dan dengan dikasroh jimnya, yang berarti suatu pekerjaan atau amal perbuatan.2Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, Ijārah diambil dari kata “AlAjr” yang artinya „iwadh (imbalan), dari pengertian ini pahala (tsawab) dinamakan ajr (upah/pahala). Dan menurut syariat yang dimaksud ijārah adalah akad untuk mendapatkan manfaat sebagai imbalan.3 Menurut Wahbah Zuhaili, ijārah menurut bahasa adalah ِ (menjual manfaat), sedangkan menurut fiqh adalah suatu akad atas manfaat 1 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta : Amzah, 2010), h.315. Abdur Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh „ala Al-Madzhab Al-Arba‟ah (Kairo : Dar Al-Hadist, 2004), h. 76. 3 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Jakarta : Cakrawala publishing, 2009), h. 258. 2 44 45 yang diperbolehkan dengan cara memberi imbalan. Atau juga bisa didefinisikan akad yang diperbolehkan untuk pemilikan manfaat yang diketahui dan dituju dari barang yang disewa dengan imbalan.4 Sedangkan secara terminology, ada beberapa definisi ijārah menurut pandangan para ulama, diantaranya adalah: 1. Menurut Ulama Hanafiyah ijārah adalah: Ijārah adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat yang dimaksud dan tertentu dari barang yang disewa dengan imbalan.5 2. Menurut Malikiyah Ijārah adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat.6 3. Menurut Syafi‟iyyah Definisi akad ijārah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.7 4 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu‟amalat Al-Maliyah Al-Mu‟ashiroh (Damaskus : Dar al-fikr, 2002), h. 72. 5 Abdur Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh „ala Al-Madzhab Al-Arba‟ah (Kairo : Dar Al-Hadist, 2004), h. 77. 6 Ali Fikri, Al-Mu‟amalat Al-Maddiyah wa Al-Adabiyah, cet.I, dalam Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalah (Jakarta: Amzah, 2010), h.316. 7 Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Kifayah Al-Akhyar fi Hilli Ghayah Al-Ikhtishar, (Surabaya : Dar Al-Ilmi, t,t), Juz 1, h. 249. 46 4. Menurut Hanabilah Ijārah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafadz ijārah dan kara‟ dan semacamnya.8 Dari pengertian di atas dapat disimpulkankan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip diantara para ulama dalam mendefinisikan ijārah. Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa ijārah adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan demikian, obyek sewa-menyewa adalah manfaat atas suatu barang.9 jadi dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali, dengan perkataan lain dengan terjadinya peristiwa sewamenyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut, dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti kendaraan, rumah bahkan dapat juga berupa karya pribadi seperti pekerja.10Seperti contoh seseorang menyewa sebuah rumah untuk dijadikan tempat tinggal selama satu tahun dengan imbalan tiga juta rupiah, ia berhak menempati rumah itu selama jangka waktu satu tahun akan tetapi ia tidak berhak memiliki rumah tersebut. Dari segi imbalannya, ijārah ini mirip dengan jual beli tetapi keduanya berbeda, karena dalam jual beli objeknya benda sedangkan dalam ijārah objeknya adalah manfaat dari benda. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan menyewa pohon untuk diambil buahnya karena buah itu benda bukan manfaat. 8 Syamsuddin bin Qudamah Al-Maqdisi, Asy-Syarh Al-Kabir, (t.t : Dar Al-fikr, t.t), juz 3, h. 301. 9 Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 317. Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), h. 52. 10 47 Demikian pula tidak dibolehkan menyewa sapi untuk diperah susunya karena susu bukan manfaat tetapi benda.11 B. Dasar Hukum Ijārah Ijārah disyariatkan berdasarkan Al-quran, sunnah, dan ijma ulama. Adapun hukum dari ijārah, para fuqoha bersepakat atas legalnya akad ijārah kecuali Abu Bakar Al-Asham, Ismail bin Ulayyah, Hasan Basri, Al-Qasyani, An-Nahrawani, dan Ibnu Kaisan. Mereka tidak memperbolehkan akad ijārah karena ijārah adalah jual beli manfaat, sedangkan ketika berlangsungnya akad, manfaat tersebut tidak bisa diterimaserahkan. Setelah beberapa waktu barulah manfaat tersebut bisa dirasakan sedikit demi sedikit. Sedangkan sesuatu yang tidak ada pada waktu akad tidak boleh dijualbelikan.12 Namun pendapat tersebut disanggah oleh Ibnu Rusyd, bahwa manfaat walaupun pada waktu akad belum ada, tetapi pada ghalibnya manfaat akan terwujud, dan inilah yang menjadi perhatian serta pertimbangan syara‟.13 Adapun dalil ijārah yang termaktub dalam firman Allah swt diantaranya adalah: 1. Surat Al-Talaq ayat 6 yang berbunyi: 6 “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. Al-Talaq : 6) 11 Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 317. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, cet. 10, (Damaskus : Dar Al-Fikr, 2007), jilid 5, h. 385. 13 Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid, juz 2, Dar Al-Fikr, t.t., h. 166. 12 48 2. Surat Al-Qashash ayat 26 yang berbunyi: 66 “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dipercaya. (QS. Al-Qashash : 26) Adapun dalil dari hadist Nabi saw adalah: 1. Hadist Ibnu Umar “Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rosulullah saw telah bersabda : berikanlah olehmu upah buruh itu sebelum keringatnya kering.” (Riwayat Ibnu Majah)14 2. Hadist Ibnu Abbas “Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Nabi saw berbekam dan beliau memberikan kepada tukang bekam itu upahnya” (HR. Al-Bukhori)15 3. Hadist Aisyah 14 Ash-Shan‟ani, Subulussalam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h. 293. Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Matan Al-Bukhari Masykul Bihasyiyah As-Sindi, (Beirut : Dar Al-Fikr, t.t), h. 33. 15 49 “Dari Urwah bi Zubair bahwa sesungguhnya Aisyah ra. Istri Nabi saw berkata: Rasulullah saw dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari suku Bani Ad-Dayl, penunjuk jalan yang mahir, dan ia masih memeluk agama orang kafir Quraisy. Nabi dan Abu Bakar kemudian menyerahkan kepadanya kendaraan mereka, dan mereka berdua menjanjikan kepadanya untuk bertemu di Gua Tsaur dengan kendaraan mereka setelah tiga hari pada pagi hari selasa”. (HR. Al-Bukhari)16 C. Rukun dan Syarat Ijārah Semua akad dalam jual-beli itu harus memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan oleh syara‟, ketika salah satu rukun dan syarat tersebut tidak terpenuhi maka akad yang telah terjalin dalam jual beli dianggap tidak sah atau batal. Begitupun akad jual beli dalam ijārah. Adapun rukun dan syarat ijārah menurut Mazhab Hanafi hanya satu yakni ijab dan qobul (pernyataan dari orang yang menyewa dan menyewakan). Lafadz yang digunakan adalah lafadz ijārah, isti‟jar, iktira‟, ikra‟.17Sedangkan menurut Jumhur ulama rukun dan syarat ijārah ada empat macam, diantaranya adalah18: 1. „Aqidaini Adapun maksud dari „aqidaini di sini adalah adanya dua orang yang saling berakad yakni mu‟jir (orang yang menyewakan) dan musta‟jir 16 Ibid., juz 2, h. 33. Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalah (Jakarta : Amzah, 2010), h. 320. 18 Muhammad „Abdul „aziz Hasan Zaid, al-Ijārah baina Al-Fiqh Al-Islami wa Al-Tathbiq Al-Mu‟ashir (Kairo : Al-Ma‟had Al-„Allimi lil Fikri Al-Islami, 1996), h. 16. 17 50 (orang yang menyewa). Keduanya pun disyaratkan harus orang yang baligh dan berakal menurut Mazhab Syafi‟I dan Hambali19, cerdas dan bisa memilih20. Transaksi ijārah dianggap tidak sah apabila salah satu ataupun keduanya adalah termasuk orang kecil, gila, bodoh dan orang yang dipaksa. Berbeda halnya dengan Mazhab Hanafi dan Maliki yang mengatakan bahwa orang yang berakad tidak harus orang yang mencapai usia baligh akan tetapi anak yang telah mumayyiz boleh melakukan akad ijārah dengan ketentuan telah disetujui oleh walinya.21 Bagi orang yang melakukan transaksi ijārah juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan secara sempurna, sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.22 2. Shighot Shiqhot di sini merupakan sebuah pernyataan atau ucapan penyerahan dan penerimaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi ijārah. Dalam hal ini juga disyaratkan adanya lafadzh yang mengisyaratkan ijārah seperti contoh ucapan mu‟jir “ajartuka kadza” atau “akraituka hadza” atau “malaktuka manafi‟ahu sanatan bikadza” kemudian musta‟jir menjawab segera dengan ucapan “qobiltu” atau “iktaraitu”. 19 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat) (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.231. 20 Muhammad „Abdul „Aziz Hasan Zaid, Al-Ijārah baina Al-Fiqh Al-Islami wa AlTathbiq Al-Mu‟ashir, (Kairo : Al-Ma‟had al-„Allimi lil Fikri Al-Islami, 1996), h. 17. 21 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.231. 22 Sohari Sahrani dan Ru‟fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor : Ghalia Indonesia, 2011), h. 170. 51 3. Ujrah (sewa) Dalam hal ini ada dua macam syarat ujrah, diantaranya : a). Upah tersebut diketahui dan termasuk harta yang bernilai, sebagaimana sabda Rosulullah saw, "ُجرَه ْ َ( "مَنِ اسْتَاءْجَرَ اَجِ ْيرًا فَ ْليَ ْعلَمَهُ اbarangsiapa mempekerjakan pekerjaan maka hendaklah ia memberitahu upahnya). b). upah tidak berbentuk manfaat yang sejenis dengan Maʻ qūd ʻ alaih. Seperti contoh, ijārah tempat tinggal dibayar dengan tempat tinggal, jasa dibayar jasa, penunggangan dibayar penunggangan, pertanian dibayar pertanian.23 4. Maʻ qūd ʻ alaih Maksud dari Maʻ qūd ʻ alaih adalah barang yang dijadikan obyek sewa-menyewa yakni manfaat. Adapun syarat-syarat manfaat yang boleh dijadikan obyek sewa-menyewa adalah24: a. Manfaat itu berupa sesuatu yang bernilai, baik menururt syara‟ maupun kebiasaan setempat. Maka tidak sah menyewakan anjing meskipun untuk penjagaan. b. Manfaat dari barang yang disewakan itu berupa manfaat yang diperbolehkan. Maka tidak sah ijārah apabila manfaat dari barang yang disewakan itu berupa manfaat yang tidak diperbolehkan. Seperti halnya menyewakan rumah untuk tempat maksiat. c. Manfaat itu dapat diketahui dengan jelas. Maka tidak sah apabila menyewakan salah satu dari dua rumah. 23 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa adillatuhu, cet.10, (Damaskus : Dar Al-Fikr, 2007), jilid 5, h. 400. 24 Muhammad „Abdul „Aziz Hasan Zaid, Al-Ijārah baina Al-Fiqh Al-Islami wa Al-Tathbiq Al-Mu‟ashir, (Kairo : Al-Ma‟had Al-„Allimi lil Fikri Al-Islami, 1996), h. 17. 52 d. Manfaat harus dapat diserahterimakan, bukan manfaat yang tidak bisa diserahterimakan karena adanya kelemahan baik kelemahan inderawi maupun kelemahan syar‟i. contoh kelemahan inderawi, mempekerjakan seorang satpam yang buta atau menyewakan sebidang tanah untuk ditanami yang tidak ada airnya sekalipun bahkan air hujanpun tidak mencukupinya. Sedangkan contoh kelemahan syar‟i, mempekerjakan seorang perempuan yang sedang haid untuk membersihkan masjid. D. Sifat Ijārah dan Hukumnya Hanafiah berpendapat, bahwa akad ijārah itu bersifat mengikat kedua belah pihak, tetapi dapat dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur.25 Sedangkan menurut jumhur ulama, ijārah merupakan akad yang lāzim (mengikat), yang tidak bisa di fasakh kecuali dengan sebab-sebab yang jelas, seperti adanya aib (cacat) atau hilangnya objek manfaat. Hal tersebut oleh karena ijārah adalah akad mu‟awadhah, sehingga tidak bisa dibatalkan begitu saja, sama seperti jual beli.26 Hukum akad ijārah sendiri dibagi menjadi dua, yakni:27 1. Hukum ijārah shahih, yang akibat hukumnya adalah tetapnya hak milik atas manfaat bagi musta‟jir (penyewa), dan tetapnya hak milik atas uang 25 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.235. 26 Alauddin Al-Kasani, Bada‟I Ash-Shanah‟I fi Tartib Asy-Syara‟I, Juz 4, (t.tp, t.p, t.t), h. 58. 27 Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, (Ciputat : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 163. 53 sewa atau upah bagi mu‟jir (yang menyewakan). Hal ini oleh karena sebagaimana dijelaskan di atas bahwa akad ijārah adalah akad mu‟awadhah, yang disebut dengan jual beli manfaat. 2. Dalam ijārah rusak/fasid, apabila musta‟jir telah menggunakan barang yang disewa maka ia wajib membayar uang sewa yang berlaku. Menurut ulama Hanafiyah adalah apabila penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad, ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberi tahukan jenis pekerjaan perjanjiannya upah harus diberikan semestinya. E. Macam-Macam Ijārah Dilihat dari segi objeknya, ijārah dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni :28 1. Ijārah atas manfaat, disebut juga sewa-menyewa. Dalam ijārah bagian pertama ini, objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda. Adapun hukum ijārah atas manfaat ini diperbolehkan atas manfaat yang diperbolehkan, seperti rumah untuk tempat tinggal, toko dan kios untuk tempat berdagang, mobil untuk kendaraan atau angkutan, pakaian dan perhiasan untuk dipakai. Adapun manfaat yang diharamkan maka tidak boleh disewakan, karena barangnya diharamkan. 2. Ijārah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah. Dalam ijārah kedua ini, objek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang. Jadi ijārah atas pekerjaan ini merupakan suatu akad ijārah untuk 28 Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 329-334. 54 melakukan suatu perbuatan tertentu. Seperti membangun rumah, menjahit pakaian, mengangkut barang ketempat tertentu, memperbaiki mesin cuci atau kulkas, dan lain sebagainya. Ajīr atau tenaga kerja ada dua macam, yakni: 1. Ajīr (tenaga kerja ) khusus, yaitu orang yang bekerja pada satu orang untuk masa tertentu. Dalam hal ini ia tidak boleh bekerja untuk orang selain orang yang telah mempekerjakannya. Contohnya seseorang yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada orang tertentu. 2. Ajīr (tenaga kerja) musytarak, yaitu orang yang bekerja untuk lebih dari satu orang, sehingga mereka bersekutu di dalam memanfaatkan tenaganya. Contohnya tukang jahit, tukang celup, notaris, dan pengacara. Hukumnya adalah Ajīr mustarak boleh bekerja untuk semua orang, dan orang yang menyewa tenaganya tidak boleh melarangnya bekerja kepada orang lain. Ia (Ajīr musytarak) tidak berhak atas upah kecuali dengan bekerja. F. Menyewakan Barang Sewaan Musta‟jir dibolehkan menyewakan kembali barang sewaan kepada orang lain, dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad awal, seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad awal dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak di sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul musta‟jir kedua, maka kerbau itu pun harus digunakan untuk membajak pula. Harga penyewaan yang kedua ini bebas-bebas saja, dalam arti boleh lebih besar, lebih kecil, atau 55 seimbang.29 Hal tersebut boleh-boleh saja dilakukan, dan kebiaasaan tersebut dinamakan dengan al-Khulwu. Hal ini berlaku juga untuk penyewaanpenyewaan yang lainnya seperti, penyewaan rumah, kendaraan dan alat-alat musik.30 Namun apabila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu‟jir), dengan syarat kerusakan itu bukan akibat dari kelalaian musta‟jir. Bila kerusakan benda yang disewa itu akibat kelalaian penyewa maka yang bertanggung jawab adalah penyewa itu sendiri.31 G. Perihal Resiko Dalam hal perjanjian sewa-menyewa adakalanya resiko yang ditimbulkan, resiko yang ditimbulkan mengenai objek perjanjian sewamenyewa dipikul oleh si pemilik barang (yang menyewakan), sebab si penyewa hanya menguasai untuk mengambil manfaat atau kenikmatan dari barang yang disewakan, atau dengan kata lain pihak penyewa hanya berhak atas manfaat dari barang/benda saja, sedangkan hak atas bendanya masih tetap berada pada pihak yang menyewakan. Sehingga dalam hal terjadi kerusakan barang maka resiko di tanggung oleh pemilik barang, kecuali kerusakan yang terjadi disebabkan oleh adanya kesalahan dari penyewa.32 Apabila selama waktu sewa barang yang disewakan musnah 29 Sohari Sahroni dan Ru‟fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), h. 173. 30 Abdul Rahman Ghazali, dkk., Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 282. 31 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 122. 32 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), h. 55. 56 seluruhnya karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka perjanjian sewamenyewa dinyatakan gugur. Sedangkan apabila masih ada salah satu bagian barang yang disewakan tersisa, maka si penyewa dapat memilih berupa pengurangan harga sewa atau membatalkan perjanjian sewa-menyewa.33 H. Perselisihan Antara Para Pihak dalam Ijārah Dalam berlangsungnya akad ijārah kadangkala terjadi perselisihan antara orang yang menyewakan dan orang yang menyewa baik dalam hal manfaat atau biaya sewa. Apabila para pihak dalam akad ijārah berselisih tentang kadar manfaat atau besarnya upah/uang sewa yang diterima, sedangkan ijārahnya shahih maka adakalanya perselisihan tersebut terjadi sebelum dipenuhinya manfaat dan adakalanya setelah manfaat atau jasa tersebut diterima. Apabila perselisihan terjadi sebelum manfaat diterima maka kedua belah pihak hendaknya bersumpah satu terhadap yang lainnya. Hal ini didasarkan pada hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ashhab As-Sunan, Ahmad, dan Syafi‟i bahwa Nabi saw bersabda: “apabila dua orang yang melakukan jual beli berselisih pendapat, maka keduanya bersumpah dan saling mengembalikan.”34 Meskipun hadist ini membicarakan masalah jual beli, namun ijārah merupakan salah satu jenis jual beli maka ketentuan yang ada dalam hadist tersebut berlaku juga untuk akad ijārah. Dengan demikian, apabila mereka 33 Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Yogyakarta : Citra Media, 2006), h. 49. 34 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa adillatuhu , cet.10, (Damaskus : Dar Al-Fikr, 2007), jilid 5, h. 427. 57 bersumpah maka ijārah menjadi batal.35 Apabila perselisihan terjadi setelah penyewa menggunakan sebagian dari manfaat barang yang disewanya, misalnya ia telah menempati rumah yang disewa untuk beberapa waktu, maka yang diterima adalah ucapan penyewa yang diperkuat dengan sumpahnya, lalu keduanya saling bersumpah dan ijārah batal untuk sisa manfaatnya. Hal ini karena akad atas manfaat berlaku sedikit demi sedikit, sesuai dengan timbulnya manfaat. Dengan demikian, setiap bagian dari manfaat merupakan objek akad yang berdiri sendiri, sehingga masa sewa yang tersisa juga merupakan akad yang mandiri. Apabila perselisihan terjadi setelah selesainya masa ijārah maka ucapan yang diterima adalah ucapan penyewa dalam penentuan biaya sewa disertai dengan sumpah.36 I. Pembatalan dan Berakhirnya Akad Ijārah Pada prinsipnya ijārah merupakan akad yang bersifat mengikat kedua belah pihak yang melakukannya. Dalam artian, ketika akad berlangsung, masing-masing pihak harus menunaikan kewajiban dan menerima hak masing-masing serta tidak boleh membatalkannya (fasakh) kecuali ada hal-hal yang menurut ketentuan hukum (syara‟) dapat dijadikan alasan pembatalan37. Adapun hal-hal yang bisa menyebabkan batalnya akad ijārah adalah:38 1. Meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad. Ini menurut pendapat Hanafiah. Bagi madzhab ini, waris hanya berlaku pada sesuatu yang ada (wujud fisiknya) dan menjadi hak milik. Sementara, manfaat 35 Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat (Jakarta : Amzah, 2010), h. 337. Ibid., h. 337-338. 37 AH. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h.127. 38 Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat (Jakarta : Amzah, 2010), h. 338. 36 58 yang diperoleh dari ijārah adalah sesuatu yang terjadi secara bertahap dan ketika meninggalnya salah satu pihak manfaat tersebut tidak ada dan tidak sedang dimilikinya. Maka sesuatu yang tidak dimiliki mustahil bisa diwariskan. Oleh karena itu, akad ijārah harus diperbarui dengan ahli waris sehingga akad berlangsung dengan pemiliknya yang baru39. Sedangkan menurut jumhur ulama, kematian salah satu pihak tidak mengakibatkan fasakh atau berakhirnya akad ijārah. Hal tersebut dikarenakan ijārah merupakan akad yang lazim, seperti halnya jual-beli, dimana musta‟jir memiliki manfaat atas barang yang disewa dengan sekaligus sebagai hak milik yang tetap, sehingga bisa berpindah ke ahli waris.40 2. Iqolah, yaitu pembatalan akad atas dasar kesepakatan antara kedua belah pihak. Hal ini karena ijārah adalah akad mu‟awadhah (tukar-menukar), harta dengan harta sehingga memungkinkan untuk dilakukan pembatalan (iqolah) seperti halnya jual beli. 3. Rusaknya barang yang disewakan, sehingga ijārah tidak mungkin untuk diteruskan. 4. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijārah telah berakhir. Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah tersebut dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya. 5. Adanya udzur dari salah satu pihak. Apabila terdapat udzur baik pada pelaku maupun Maʻ qūd ʻ alaih, 39 AH. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h.127-128. Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat (Jakarta : Amzah, 2010), h. 338. 40 59 maka pelaku berhak membatalkan akad, ini menurut Hanafiah. Akan tetapi menurut Jumhur Ulama, akad ijārah tidak batal karena adanya udzur, selama objek akad yaitu manfaat tidak hilang sama sekali.41 Ulama Hanafiyah membagi udzur yang mewajibkan fasakh menjadi tiga bagian, diantaranya:42 1. Udzur dari pihak musta‟jir (penyewa). Misalnya musta‟jir pailit atau pindah domisili. 2. Udzur dari pihak mu‟jir (orang yang menyewakan). Misalnya mu‟jir memiliki utang yang sangat banyak yang tidak ada jalan lain untuk membayarnya kecuali dengan menjual barang yang disewakan dan hasil penjualannya digunakan untuk melunasi utang tersebut. 3. Udzur berkaitan dengan barang yang disewakan atau sesuatu yang disewa. Contoh pertama, seseorang menyewa kamar mandi disuatu kampung untuk digunakannya selama waktu tertentu. Kemudian penduduk desa berpindah ke tempat lain. Dalam hal ini ia tidak perlu membayar sewa kepada mu‟jir. Contoh yang kedua, seseorang menyewakan budaknya selama satu tahun. Baru enam bulan ternyata ia memerdekakan budak tersebut. Dalam keadaan seperti ini, budak tersebut boleh memilih antara meneruskan ijārah atau membatalkannya. Terkait dengan apa saja udzur atau alasan-alasan dari pihak mu‟jir (yang menyewakan) yang bisa merusak akad ijārah tersebut akan dijelaskan lebih rinci dan luas dalam kitab Fiqh Madzahib Arba‟ah yang dinukil dari 41 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, cet.10, (Damaskus : Dar Al-Fikr, 2007), jilid 5, h. 406. 42 Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat (Jakarta : Amzah, 2010), h. 327. 60 pendapat Imam Abu Hanifah yang diantaranya adalah:43 1. Pihak yang menyewakan mempunyai hutang yang sudah melampaui jatuh tempo dan tidak bisa melunasi hutang tersebut kecuali dengan menjual rumah yang disewakan kepada orang lain. Maka dalam hal ini pihak yang menyewakan diperbolehkan merusak akad ijārah melalui salah satu pihak. Dengan demikian, akad ijārah antara pihak yang menyewakan dan pihak penyewa terputus dengan dijualnya rumah yang disewakan baik disertai dengan adanya pengakuan atas utang yang dimilikinya ataupun tidak. 2. Adanya sengketa antara kreditur dan debitur dalam melunasi hutang dengan cara menjaminkan rumah yang disewakan. Maka dalam hal ini, kreditur diperbolehkan menjual rumah yang telah disewakan kepada orang lain tanpa maksud menggangu ataupun merugikan pihak penyewa dengan syarat sudah ada keputusan dari qodhi/hakim atas rusaknya akad tersebut. 3. Pemilik barang mempunyai hutang yang sudah dicatat atau didaftarkan kepada kantor badan hukum atau hutang-hutang yang tercatat dalam perdagangan dan atau surat dagang sebagaimana hutang tersebut sudah diketahui semua orang maka dalam hal ini boleh merusak akad ijārah tanpa adanya putusan hakim. 4. Pihak yang menyewakan mempunyai hak untuk menjual rumah yang disewakan apabila pembayaran uang sewa yang diterima tidak mencukupi untuk melunasi hutang-hutang yang dimilikinya sehingga apabila rumah tersebut dijual maka pihak yang menyewakan harus mengembalikan sisa 43 Abdur Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh „Ala Al-Madzhab Al-Arba‟ah, (Kairo : Dar AlHadist, 2004), h. 122. 61 uang sewa kepada penyewa baru kemudian sisanya untuk pelunasan hutang, namun apabila pembayaran uang sewa sudah mencukupi untuk pelunasan hutang maka akad ijārah tidak bisa diputus dan tidak dijual barang yang disewakan. 5. Akad ijārah tidak tidak terputus dengan adanya pengakuan pihak yang menyewakan bahwa rumah yang disewakan adalah milik orang lain akan tetapi si pengaku baru bisa menempati rumahnya setelah masa sewa berakhir. 6. Tidak adanya kemampuan untuk menafkahi dirinya atau keluarganya sedangkan dia mempunyai rumah lain selain yang ditempati yang disewakan, maka dalam hal ini boleh merusak akad ijārah dan menjual rumah tersebut kepada orang lain. Beda halnya tidak diperbolehkan menjual rumah yang disewakan tanpa adanya udzur selama masa ijārah berlangsung kecuali adanya izin penyewa. Namun apabila pihak yang menyewakan menjual rumah yang disewakan tanpa adanya izin penyewa maka jual beli tersebut diperbolehkan namun tidak terlaksana kecuali setelah habisnya masa sewa rumah tersebut dari penyewa. BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2439/K/Pdt/2002 PRESPEKTIF HUKUM PERDATA PASAL 1576 DAN HUKUM ISLAM A. Permasalahan Kasus1 Kasus ini merupakan kasus bidang perdata yang mana permasalahanya terfokuskan pada adanya surat eksekusi penggosongan rumah dari Pengadilan Negeri Bogor atas sengketa tanah dan bangunan yang dilakukan oleh pihak yang menyewakan dan pihak ketiga atas dasar hak kepemilikan yang dihibahkan orang tua pihak ketiga. Dalam persengketaan yang dilakukan nyatanya pihak penyewa tidak dilibatkan dalam perkara tersebut sehingga tidak tahu-menahu tentang persengketaan tanah dan bangunan yang sekarang ditempatinya. Menurut pernyataan dari pihak penyewa, penyewaan rumah dilakukan sebagai ganti atau penerus dari persewaan sebelumnya yang dilakukan orang tuanya yang mana sekarang sudah meninggal. Adapun hubungan yang terjalin antara pihak yang menyewakan dan penyewa terjalin secara baik-baik tanpa adanya sebuah permasalahan. Namun jalinan yang awalnya baik-baik mengalami keretakan karena adanya gangguan pihak ketiga atas pengakuan hak milik atas rumah yang disewa melalui surat eksekusi pengosongan. Sesuai dengan pengakuan pihak yang menyewakan, penjualan rumah yang dilakukan dahulu kepada orang tua pihak ketiga untuk 1 Putusan Mahkamah Agung Nomor 2439/K/Pdt/2002. 62 63 pembayaran pelunasan hutang yang sudah jatuh tempo namun transaksi jual beli tidak atas izin maupun pengetahuan pihak penyewa dan tidak ada pemberitahuan sebelumnya sehingga pembayaran uang sewa tetap dibayarkan kepada pihak yang menyewakan meskipun hak milik sudah beralih. Atas dasar surat eksekusi pengosongan rumah tersebut, pihak penyewa merasa sangat keberatan karena hak-haknya seakan-akan telah diabaikan dan tidak mendapatkan perlindungan hukum sehingga dia mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Bogor untuk menyatakan bahwa dia adalah penyewa yang sah dan pembatalan atas surat eksekusi yang diajukan kepadanya batal demi hukum. Namun permohonan tersebut ditolak oleh Pengadilan Negeri Bogor. Kemudian pihak penyewa mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Bandung dengan dalih sebagaimana yang diajukan ke Pengadilan Negeri Bogor, akan tetapi permohonanya ditolak juga. Akhirnya pihak penyewa mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung dan membuahkan hasil dengan adanya pembatalan putusan Judex Facti serta pengabulan permohonan yang telah diajukan oleh pihak penyewa. Kasus di atas apabila dilihat sepintas dari pandangan KUHPerdata maka masuk pada ranah asas koop brekt geen hurr yakni jual beli tidak memutus sewa-menyewa, dalam artian bahwa jika barang yang telah disewakan ternyata dijual atau dipindahalihkan kepada pihak ketiga 64 sebelum masa sewa berakhir maka sewa-menyewa tidak terputus2, misalnya A menyewakan sebidang rumah kepada B dalam jangka waktu satu tahun namun belum genap masa sewa ternyata rumah tersebut dijual A kepada C, maka dalam hal ini sewa-menyewa yang dilakukan B tidak terputus meskipun hak milik rumah yang disewa sudah dipindahalihkan kepada C melalui transaksi jual beli. Ataupun bisa juga seperti contoh A menggugat B atas sebidang rumah atas dalil hak milik. Gugatan A dikabulkan dan dinyatakan sebagai pemilik yang sah yang disertai dengan surat eksekusi pengosongan, namun jauh sebelum hal tersebut terjadi, rumah telah disewakan kepada C, dengan demikian eksekusi pengosongan terhadap C tidak bisa dijalankan karena tidak ikut digugat 3. Sedangkan apabila ditinjau dari Hukum Islam Nampak bahwa akad ijārah dapat diputus/difasakh sebelum masa sewa berakhir dengan cara dijualnya barang yang disewakan kepada orang lain apabila terdapat udzur yang memaksa salah satu pihak baik mu‟jir (pihak yang menyewakan) ataupun musta‟jir (pihak penyewa) untuk melaksanakannya4. Misalnya, A menyewakan sebidang rumah kepada B kemudian sebelum masa sewa berakhir A menjual rumah yang disewakan kepada C dengan adanya udzur yang melatarbelakangi dijualnya rumah tersebut kepada C, maka akad ijārah antara mu‟jir dan musta‟jir terputus dengan dijualnya rumah tersebut. 2 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2001), h.95. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 317. 4 Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 327. 3 65 B. Dasar Hukum Putusan Mahkamah Agung Adapun dasar hukum yang melatarbelakangi putusan Mahkamah Agung dalam perkara diatas merujuk pada ketentuan KUHPerdata pasal 1575 dan 1576. Dalam pasal 1575 KUHPerdata diterangkan bahwa dengan meninggalnya salah satu pihak baik penyewa maupun yang menyewakan maka perjanjian sewa-menyewa tidak terputus karena masih bisa dilanjutkan oleh ahli warisnya, kemudian dilanjut ketentuan pasal 1576 KUHPerdata menyebutkan bahwa dengan dijualnya barang yang disewa maka perjanjian sewa-menyewa sebelumnya tidak terputus kecuali ada perjanjian sebelumnya. Atas dasar hukum yang diambil oleh Mahkamah Agung dalam memutuskan perkara di atas yang mana terpaku dalam pasal 1575 dan 1576 KUHPerdata, maka penulis akan mencoba menganalisis perkara di atas apakah sudah sesuai dan tepat dengan ketentuan KUHPerdata begitupun Hukum Islam. Memang putusan Mahkamah Agung yang diambil atas dasar hukum pasal 1575 dan 1576 KUHPerdata di atas sudah tepat dan benar menurut kaidah KUHPerdata yang mana sesuai dengan penjelasan diatas bahwa dalam kasus tersebut sewa-menyewa yang dahulu ditransaksikan oleh orang tua penyewa yang mana sekarang sudah meninggal dilanjutkan/digantikan oleh anaknya atau ahli warisnya baik dalam pembayaran sewa maupun yang lainnya sehingga bisa dikatakan bahwa ahli warisnya merupakan pihak penyewa yang sah karena dalam ketentuan 66 pasal 1575 telah disebutkan bahwa dengan meninggalnya salah satu pihak yakni dalam kasus ini adalah pihak penyewa, maka sewa-menyewa tersebut tidak terputus. Begitu juga apabila ditinjau menurut Hukum Islam, maka dalam Hukum Islam nampak bahwa hukum ijārah yang dilakukan para pihak kasus di atas dihukumi sah karena sudah memenuhi syarat dan rukun ijārah yang mana menurut Jumhur Ulama ada empat5, yakni „aqidaini, shighot, ujrah (sewa), maʻ qūd ʻ alaih. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi hanya ada satu6 yakni ijab dan qobul. Namun mengenai meninggalnya salah satu pihak yakni dalam kasus ini adalah penyewa yang kemudian dilanjutkan oleh ahli warisnya maka ijārah tersebut dihukumi tidak terputus/ fasakh sebagaimana pendapat Jumhur Ulama7 yang mengatakan bahwa kematian salah satu pihak tidak mengakibatkan fasakh atau berakhirnya akad ijārah, dengan argumen ijārah merupakan akad yang lazim, seperti jual-beli, di mana musta‟jir memiliki manfaat atas barang yang disewa dengan sekaligus sebagai hak milik yang tetap, sehingga bisa berpindah ke ahli waris. Akan tetapi beda halnya dengan pendapat Hanafiyah8 yang mengatakan bahwa akad ijārah dihukumi terputus/fasakh apabila salah satu pihak yang melakukan akad meninggal dunia kecuali ada pembaharuan akad yang dilakukan ahli warisnya, dengan argument bahwa waris hanya berlaku pada sesuatu yang ada 5 Muhammad „Abdul Aziz, Hasan Zaid, Al-Ijārah baina Al-Fiqh Al-Islami wa Al-Tathbiq Al-Mu‟ashir, (Kairo : Ma‟had Al-„Allimil lil Fikri Al-Islami, 1996), h.16. 6 Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Amzah, 2010), h.320. 7 Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalah, h. 338. 8 AH. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2005), h.127. 67 (wujud fisiknya) dan menjadi hak milik. Sementara, manfaat yang diperoleh dari ijārah adalah sesuatu yang terjadi secara bertahap dan ketika meninggalnya salah satu pihak manfaat tersebut tidak ada dan tidak sedang dimilikinya. Maka sesuatu yang tidak dimiliki mustahil bisa diwariskan. Oleh karena itu, akad ijārah harus diperbarui dengan ahli waris sehingga akad berlangsung dengan pemiliknya yang baru. Dari dua pendapat diatas, menurut penulis esensinya sama yakni dengan meninggalnya salah satu pihak maka akad ijārah tidak terputus meski menurut Hanafiyah harus ada pembaharuan akad yang baru oleh ahli warisnya. Sedang apabila dilhat dengan perkembangan zaman sekarang, kadangkala ijab qobul atau shighot dalam pembaharuan akad baik ijārah ataupun yang lainya tidak diucapkan secara spesifik sebagaimana yang dijelaskan dalam Hukum Islam sehingga menurut penulis, dengan adanya pemberitahuan atau isyarah mengenai hal yang yang dimaksud oleh pihak penyewa baru yakni ahli waris maka sudah bisa dikatakan sebagai pembaharuan akad. Kemudian mengenai putusan Mahkamah Agung atas dasar hukum pasal 1576 KUHPerdata, yang mana maksud yang melatarbelakanginya adalah untuk melindungi pihak penyewa dari peralihan hak milik barang yang disewa ataupun tuntutan-tuntutan yang sewaktu-waktu bisa terjadi akibat persengketaan hak milik ataupun yang lainnya terhadap penyewa sehingga sewa-menyewa dengan sendirinya menurut hukum tetap melekat pada barang yang dijual dan dengan sendirinya si pembeli tetap terikat 68 pada persetujuan sewa-menyewa yang dibuat si penjual dan si penyewa.9 Dengan mengingat maksud undang-undang ini, maka perkataan “dijual” dalam pasal 1576 KUHPerdata sudah lazim ditafsirkan secara analogis (luas), sehingga tidak terbatas pada jual beli saja, tetapi juga meliputi perpindahan hak milik lainnya, seperti tukar-menukar, penghibahan, pewarisan dan lain sebagainya.10 Senada menggemukakan dengan pernyataan diatas, Yahya Harahap juga bahwa eksekusi terhadap penyewa yang tidak ikut digugat sama halnya dengan eksekusi terhadap pihak ketiga yang menguasai barang obyek eksekusi berdasar alasan hak yang sah pada satu segi, dan sekaligus pula berhadapan dengan asas yang diatur dalam Pasal 1576 KUHPerdata yang menentukan “jual beli tidak memutuskan sewa menyewa” (koop brekt geen huur). Misalnya, A menggugat B atas sebidang tanah dan rumah yang berdiri di atasnya berdasar dalil hak milik. Gugatan A dikabulkan dan dinyatakan sebagai pemilik yang sah serta sekaligus dibarengi dengan amar memerintahkan pengosongan dan penyerahan tanah dan rumah terhadap siapa saja yang memperoleh hak dari tergugat B. Nyatanya, jauh sebelum terjadi perkara antara A dan B, tanah dan rumah sudah disewakan B kepada C. Dalam kasus yang demikian, eksekusi pengosongan terhadap C (sebagai penyewa yang sah) tidak dapat dijalankan atas alasan eksekusi pengosongan tidak dapat ditujukan kepada penyewa yang sah yang tidak ikut digugat. Dan 9 Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h. 241. 10 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2001), h. 94. 69 sekaligus dalam kasus ini dapat diterapkan analog ketentuan Pasal 1576 KUHPerdata, bahwa beralihnya hak milik A (Penggugat) berdasar putusan Pengadilan tidak memutuskan hubungan sewa menyewa yang telah ada.11 Memang pihak yang menyewakan sebagai pemilik benda yang disewakan, masih tetap menjadi pemilik mutlak. Sebagai pemilik mutlak, dia berhak sepenuhnya untuk memindahkan dan menjual barang yang disewakan. Namun sebaliknya, dalam mempergunakan haknya atas barang yang telah disewakan tersebut, tidak boleh merugikan pihak si penyewa. Dengan demikian, diatur bahwa dengan dijualnya barang yang disewa kepada pihak ketiga maka semua perjanjian yang diatur sebelumnya oleh pemilik lama beralih ke pemilik baru baik dalam pembayaran maupun reparasi selama jangka waktu sewa-menyewa masih berlangsung dan penjualan barang yang disewa merupakan penjualan atas keseluruhan.12 Setelah penulis analisis perkara di atas, ternyata kasus yang terjadi tidak hanya memerlukan putusan Mahkamah Agung yang berdasar atas dasar hukum pasal 1575 dan 1576 KUHPerdata akan tetapi masih ada celah-celah yang tersisa untuk dianalisis lebih dalam sesuai dengan ketentuan KUHPerdata tentang sewa-menyewa. Dalam kasus di atas, hakhak yang seharusnya didapatkan penyewa seperti rasa kenyamana, kenikmatan dan kedamaian atas barang yang disewa selama masa sewa berlangsung telah terganggu dengan adanya pengakuan hak milik pihak 11 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata , (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 317. 12 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), h. 241. 70 ketiga atas rumah yang disewa serta adanya surat eksekusi pengosongan terhadap penyewa, sehingga bisa dikatakan bahwa pihak penyewa telah dirugikan karena yang seharusnya gangguan orang ketiga atas hak milik dibebankan kepada pihak yang menyewakan nyatanya ditanggung sendiri oleh pihak penyewa. maka menurut penulis, pihak penyewa harus mendapatkan jaminan yang sesuai dengan ketentuan pasal 1557 dan 1558 KUHPerdata. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa dengan gangguan pihak ketiga atas dasar hak, maka dalam hal ini dibebankan kepada pihak yang menyewakan. Adapun macam gangguan atas dasar hak adalah gangguan berupa tuntutan atas hak milik mutlak atas barang yang disewakan. Apabila hal tersebut terjadi, maka penyewa dapat menuntut pengurangan harga sewa secara berimbang asalkan ada pemberitahuan sebelumnya terkait gangguan yang akan terjadi oleh pihak ketiga, (ketentuan pasal 1557). Dan gangguan berupa gugatan atas penyewa untuk mengosongkan barang yang disewa baik sebagian maupun seluruhnya dan gugatan atas penggunaan hak pelarangan barang yang disewa, maka dalam hal ini pihak penyewa harus memberitahukan kepada pihak yang menyewakan melalui juru sita secara resmi, dan dalam hal ini penyewa dapat meminta jaminan kepada pihak yang menyewakan agar tidak dirugikan, (ketentuan pasal 1558).13 Dengan demikian, apabila terdapat tuntutan dari pihak ketiga atas pembayaran sewa yang seharusnya dibayarkan kepadanya maka yang lebih berhak dituntut adalah pihak yang 13 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian , h. 227-228. 71 menyewakan karena dalam masa penyewaan, penyewa telah membayarkan uang sewa kepada pihak yang menyewakan meskipun pada waktu itu hak milik sudah beralih. Sedangkan menurut Hukum Islam atas dasar hukum putusan Mahkamah Agung pasal 1576 KUHPerdata mengenai persengketaan tanah dan bangunan atas dalih hak milik orang ketiga yang dahulu dijual oleh pihak yang menyewakan kepada orang tua pihak ketiga untuk melunasi hutang-hutang yang dimiliki pihak menyewakan yang mana sudah jatuh tempo untuk melunasinya dan akhirnya berujung pada surat eksekusi pengosongan terhadap penyewa. Mengenai kasus tersebut, Hukum Islam memandang bahwa akad ijārah yang dilakukan oleh pihak yang menyewakan dan penyewa dihukumi fasakh atau terputus dengan dijualnya rumah yang disewakan kepada orang lain dengan alasan untuk melunasi semua hutang-hutang yang dimiliki oleh pihak yang menyewakan yang sudah jatuh tempo baik disertai dengan pengakuan atas kepemilikan hutang maupun tidak oleh pihak yang menyewakan (mu‟jir) . Sebagaimana diketahui bahwa pada prinsipnya ijārah merupakan akad yang bersifat mengikat kedua belah pihak yang melakukannya. Dalam artian, ketika akad berlangsung, masing-masing pihak harus menunaikan kewajiban dan menerima hak masing-masing serta tidak boleh membatalkannya (fasakh) kecuali ada hal-hal yang menurut ketentuan hukum (syara‟) dapat dijadikan alasan pembatalan.14Menurut Hanafiyah, 14 AH. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h.127. 72 salah satu hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan ijārah adalah adanya udzur dari salah satu pihak baik mu‟jir, musta‟jir bahkan maʻ qūd ʻ alaih.15 Adapun udzur yang dimaksud Hanafiyah diatas adalah udzur yang memaksa mu‟jir untuk menjual barang yang disewakan kepada orang lain seperti halnya dalam keadaan mu‟jir mempunyai hutang yang sudah jatuh tempo dan tidak bisa melunasi hutang kecuali dengan menjual rumah yang disewakan dan tidak adanya kemampuan untuk menafkahi dirinya atau keluarganya sedangkan dia mempunyai rumah lain selain yang ditempati yang disewakan, maka dalam hal ini boleh merusak akad ijārah dan menjual rumah tersebut kepada orang lain. Akan tetapi tidak diperbolehkan menjual rumah yang disewakan tanpa adanya udzur selama masa ijārah berlangsung kecuali adanya izin penyewa. Namun apabila pihak yang menyewakan menjual rumah yang disewakan tanpa adanya izin penyewa maka jual beli tersebut diperbolehkan namun tidak terlaksana kecuali setelah habisnya masa sewa rumah tersebut dari penyewa.16 15 Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat (Jakarta : Amzah, 2010), h. 327. Abdur Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh „Ala Al-Madzhab Al-Arba‟ah, (Kairo : Dar AlHadist, 2004), h. 122. 16 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan dari uraian-uraian mengenai sewa-menyewa dalam KUHPerdata pasal 1576 menurut hukum Islam, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian antara dua pihak yang menimbulkan persetujuan atas barang dan harga yang diikuti dengan jangka waktu tertentu. Berdasarkan KUHPerdata pasal 1576 yang menjelaskan bahwa dengan dijualnya barang yang disewa baik dalam hal pengalihan hak milik atas jual beli, tukar menukar, hibah dan waris maka perjanjian sewa-menyewa sebelumnya tidak terputus meskipun terjadi adanya eksekusi pengosongan rumah yang disewa oleh pihak ketiga atas alasan hak kepemilikan rumah yang sah yang mana dalam kasus diatas pihak penyewa tidak diikutsertakan dalam perkara yang diajukan ke Pengadilan Negeri. Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya putusan Mahkamah Agung Nomor 2439 K/Pdt/2002 sudah tepat dan benar. 2. Dalam Hukum Islam, sifat ijārah menurut pandangan Hanafiyah adalah mengikat akan tetapi bisa dirusak melalui salah satu pihak dengan adanya udzur yang mengharuskan pihak yang menyewakan (mu’jir) menjual rumah yang disewakan. Dalam kasus ijārah yang sudah diputus oleh Mahkamah Agung diatas, penjualan rumah yang dilakukan Mu’jir kepada pihak ketiga dengan dalih untuk melunasi hutang-hutang yang dimiliknya 73 74 itu dapat merusak atau memutus akad ijārah, Namun karena penjualan rumah tersebut tidak diiringi dengan pemberitahuan sebelumnya kepada penyewa (musta’jir) dan dalam jangka waktu lama dilanjut pernyataan pihak ketiga atas kepemilikan rumah yang disewa maka akad ijārah tidak terputus kecuali berakhirnya masa sewa rumah. B. Saran 1. Bagi pihak yang berperkara, baik pihak yang menyewakan (mu’jir) ataupun pihak penyewa (musta’jir) sebaiknya dalam melakukan transaksi sewa-menyewa (ijārah) diterapkan unsur transparansi atau keterbukaan mengenai keadaan barang yang disewakan (ma’qud ‘alaih), baik dalam hal kepemilikan ataupun keadaan yang terjadi dan dialami oleh mu’jir sehingga terpaksa untuk menjual barang yang disewakan kepada orang lain. Dengan adanya transparansi tersebut, maka bertujuan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan dan tuntutan yang terjadi dikemudian hari. 2. Bagi Instasi Pemerintah yang menangani berbagai kasus dalam ranah perdata dalam pengadilan sebaiknya tidak hanya terpacu dalam ketentuan KUHPerdata, namun bisa mempertimbangkan dan melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam Hukum Islam bahkan alasanalasan yang melatarbelakangi terjadinya sebuah permasalahan secara implicit sehingga mendapatkan keputusan yang benar-benar tepat, cepat, dan tidak memberikan kekecewaan pada semua pihak. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Sohari Sahrani dan Ru’fah, Fikih Muamalah, Bogor : Ghalia Indonesia, 2011. Abu Bakar bin Muhammad, Taqiyuddin, Kifayah Al-Akbar fi Hilli Ghayah AlIkhtishar, juz 1, Surabaya : Dar Al-‘ilmi,t,t. Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail, Matan Al-Bukhari Masykul Bihasyiyah AsSindi, Beirut : Dar Al-Fikr, t.t. Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2006. Al-Jaziry, Abdur Rahman, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzhab Al-Arba’ah, Kairo : Dar AlHadist, 2004. Al-Kasani, Alauddin, Bada’I Ash-Shanah’I fi Tartib Asy-Syara’I, Juz 4, t.tp, t.p, t.t. Al-Maqdisi, Syamsuddin bin Qudamah, Asy-Syarh Al-Kabir, t.t : Dar Al-fikr, t.t, juz 3. Ash-Shan’ani, Subulussalam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995. Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islam wa adillatuhu, Damaskus : Dar Al-Fikr, 2007, jilid 5, cet. 10. Az-Zuhaili, Wahbah, al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashiroh, Damaskus : Dar al-fikr, 2002. Anshori, Abdul Ghofur, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Yogyakarta : Citra Media, 2006. Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008, ed. IV. 75 76 Fikri, Ali, Al-Mu’amalat Al-Maddiyah wa Al-Adabiyah, Mesir : Musthafa AlBabiy Al-Halabiy,1358, cet. I. Ghazali, Abdul Rahman, dkk., Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung : Penerbit Alumni, 1986. Harahap, M.Yahya, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, pembuktian, dan putusan Pengadilan, Jakarta : Sinar Grafika, 2008. Harahap, M. Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata , Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, t,t. Harahap, M. Yahya, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), Edisi kedua Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003. Hasanudin, Isnawati Rais dan, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, Ciputat : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. H.S, Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2006. Lubis, Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2004. Lathif, AH. Azharuddin, Fiqh Muamalat, Jakarta : UIN Jakarta Press, 2005. Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Bandung : Alumni, 1982. 77 Muhammad, Taqiyuddin Abu Bakar bin, Kifayah Al-Akhyar fi Hilli Ghayah AlIkhtishar, Surabaya : Dar Al-Ilmi, t,t, Juz 1. Muslich, Ahmad Wardi, Fiqh Muamalat, Jakarta : Amzah, 2010. Nieuwenhuis, J. H. terjemahan Djasadin Saragih, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Surabaya : Airlangga University,1985. Pati, Ahmadi Miru dan Sakka, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Jakarta : Rajawali Pers, 2011. Patrik, Purwahid, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang), Bandung : Mandar Maju, 1994. Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Bandung : Sumur, 1981. Qudamah, Ibnu, penerjemah Muhyiddin dkk, Al-Mughni, Jakarta : Pustaka Azzam, 2010. Rahman, Hasanuddin, Contact Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003. Rusyd, Ibnu, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid, juz 2, Dar Al-Fikr, t.t. Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Jakarta : Cakrawala publishing, 2009. Setiawan, R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung : Binacipta, 1977. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Alumni, 1985. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta : Intermasa, 2001. Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradya Paramita, 2009. 78 Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta : Kencana, 2004. Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Tjitrosudibio, R. Subekti dan R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradya Paramita, 2009. Tjoanda, Merry, Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jurnal Sasi Vol 16 No. 4 bulan Oktober - Desember 2010. Widjaja, Kartini Muljadi dan Gunawan, Perikatan Pada Umumnya, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004. Zaid, Muhammad ‘Abdul ‘aziz Hasan, al-Ijarah baina al-Fiqh al-Islami wa alTathbiq al-Mu’ashir, Kairo : al-ma’had al-‘allimi lil fikri al-Islami, 1996. R ep ub putusan.mahkamahagung.go.id P U T U S A N NOMOR 2439 K/Pdt/2002 ng DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA do A gu memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara : ERWAN DJAYA DHARMADHI ; 2. FOE TJIN LAN, keduanya bertempat tinggal di Jalan Roda In 1. Belakang 82 Nomor 4, Kota Bogor, dalam hal ini lik ah memberi kuasa kepada : SRIE MELYANI, S.H. dan kawan-kawan, Advokat, berkantor di Jalan ub m Ahmad Yani Nomor 52, Bogor, para Pemohon Kasasi dahulu para Pelawan/Pembanding ; 1. Ny. SHERLY INDRIATI, bertempat tinggal di Jalan Kebon ep ka melawan : ah Pala, Gang Besi Nomor 5, Rt. 01/Rw. 10, ne NIO Alias TAN PAT NIO, bertempat tinggal di Jalan Suryakencana Nomor 171/167, Rt. 01/Rw. do 02, Kota Bogor ; Ny. MASNAH SARI, S.H., Notaris/PPAT, bertempat tinggal di Jalan Sudirman Nomor 27, Kota Bogor ; In MUHAMAD ADAM, S.H., Notaris/PPAT, bertempat tinggal di Jalan Sawojajar Nomor 24, Kota Bogor, para Termohon Kasasi para/Terbanding ; Mahkamah Agung tersebut ; para Terlawan ub Membaca surat-surat yang bersangkutan ; dahulu lik A gu Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang ep para Pemohon Kasasi dahulu sebagai para Pelawan telah mengajukan perlawanan kepada para Termohon Kasasi dahulu sebagai para Terlawan di muka persidangan Pengadilan Negeri Bogor pada pokoknya atas dalil-dalil : R ka m ah 4. si Ny. PATMAJANI TANADJAJA SAPUTRA Alias TAN TJIT ng 2. R Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor ; 3. s Bahwa para Pelawan adalah penyewa tanah dan bangunan yang terletak ng ne di Gang Miskin (sekarang Gang Melati Nomor 82), Kelurahan Babakan Pasar, do Hal. 1 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002 In A gu Kecamatan Bogor Tengah, Kotamadya Bogor ; ik Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) h ah M MAHKAMAH AGUNG ne si a hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Halaman 1 R ep ub putusan.mahkamahagung.go.id Bahwa para Pelawan menyewa tanah dan bangunan sebagaimana tersebut pada butir 1 di atas dari Ny. Patmajani Tanadjaya Saputra Alias Tan Tjit ng Nio Alias Tan Pat Nio (Terlawan II) sejak tahun 1937, yaitu sejak dari orangtua para Pelawan ; Bahwa hubungan sewa menyewa antara para Pelawan sebagai penyewa A gu do dengan Terlawan II sebagai pemilik sewa belum pernah diputus sampai saat ini, dan para Pelawan tetap melaksanakan kewajibannya sebagai penyewa In sebagaimana layaknya ; Bahwa pada tanggal 30 Agustus 2000 para Pelawan menerima surat dari : Perintah lik ah Pengadilan Negeri Bogor, tertanggal 26 Agustus 2000 perihal Eksekusi Pengosongan terhadap tanah sengketa dalam perkara Nomor 18 Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. jo Nomor 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr., di mana tanah dan 1 di atas termasuk di dalamnya ; ub m bangunan yang disewa para Pelawan dari Terlawan II sebagaimana pada butir ep ka Bahwa dengan adanya perintah eksekusi pengosongan terhadap tanah sengketa dalam perkara Nomor 18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. serta Penetapan ah Pengadilan Negeri Bogor Nomor 18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. jo Nomor si R 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr. termasuk di dalamnya tanah dan bangunan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 1012/Babakan Pasar Tahun 1982, seluas 120 M2 ng ne yang disewa para Pelawan tentunya para Pelawan sangat berkeberatan, oleh karena hubungan sewa menyewa antara para Pelawan dengan Terlawan II A gu do belum pernah diputus sampai dengan saat ini, terlebih lagi para Pelawan juga tidak pernah ditarik sebagai pihak dalam perkara antara Terlawan I dengan Terlawan II ; In Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1576 BW hubungan sewa menyewa lik dikenal dengan asas “koop breek geen huur”, demikian juga berdasarkan ketentuan Pasal 1575 yang menyatakan persetujuan sewa menyewa tidak ub hapus dengan meninggalnya pihak yang menyewakan maupun yang menyewa ; Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1576 dan Pasal 1575 BW para Pelawan tetap sebagai penyewa tanah dan bangunan sebagaimana tersebut pada butir 1 di atas dan harus mendapat perlindungan hukum ; ep ka m ah tidak akan putus walaupun obyek sewa telah dialihkan atau dalam istilah hukum Bahwa dengan demikian maka perintah eksekusi pengosongan terhadap R tanah sengketa dalam perkara Nomor 18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. jo Nomor Nomor 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr. termasuk do Hal. 2 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002 In gu A di ne jo ng 18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. s 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr. serta Penetapan Pengadilan Negeri Bogor Nomor ik Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) h ah M ne si a hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Halaman 2 R ep ub putusan.mahkamahagung.go.id ne si a hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalamnya tanah dan bangunan yang disewa para Pelawan adalah tidak sah dan harus dibatalkan ; ng Bahwa oleh karena pelaksanaan perintah eksekusi a quo akan segera dilaksanakan, yaitu tanggal 7 September 2000 maka para Pelawan mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Bogor untuk menunda pelaksanaan eksekusi do A gu a quo, terutama tanah dan bangunan yang disewa para Pelawan sampai dengan perkara perlawanan mempunyai kekuatan hukum tetap ; In Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas para Pelawan mohon kepada Pengadilan Negeri Bogor agar memberikan putusan sebagai berikut : lik ah PRIMAIR : 1. Menerima dan mengabulkan perlawanan para Pelawan ; 2. Menyatakan para Pelawan adalah penyewa yang sah atas tanah dan ub m bangunan yang terletak di Gang Miskin (sekarang Gang Melati Nomor 82), Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, Kodya Bogor, ep ka Sertifikat Hak Guna bangunan Nomor 1012/Babakan Pasar Tahun 1982, seluas 120 M2 ; ah 3. Menyatakan/memerintahkan Jurusita Pengadilan Negeri Bogor untuk si R menunda pelaksanaan perintah pengosongan terhadap tanah dan bangunan sebagaimana dimaksud pada butir 2 petitum di atas ; sah pengosongan terhadap dan batal tanah demi hukum sengketa dalam perintah eksekusi perkara ne tidak ng 4. Menyatakan Nomor A gu do 18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. jo Nomor 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr. serta Penetapan Pengadilan Negeri Bogor Nomor 18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. jo Nomor 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr., khususnya tanah/bangunan yang disewa para In Pelawan adalah tidak sah dan harus dibatalkan ; Mohon putusan yang seadil-adilnya ; bahwa terhadap perlawanan tersebut Terlawan I ub Menimbang, lik SUBSIDAIR : mengajukan eksepsi dan gugatan balik (rekonvensi) pada pokoknya atas dalildalil sebagai berikut : ep DALAM EKSEPSI : 1. Bahwa di dalam petitum perlawanan Pelawan dalam perkara Nomor ah ka m ah 5. Menghukum para Terlawan untuk membayar biaya perkara ini ; R 70/Pdt.Plw/2000/PN.Bgr. tidak terdapat petitum yang menyatakan bahwa ne do Hal. 3 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002 In A gu ng M mengenai kalimat pelawan yang beritikad baik suatu syarat mutlak karena s Pelawan sebagai yang beritikad baik, adapun permohonan dalam petitum ik h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3 ne si a putusan.mahkamahagung.go.id yang dilawan adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti ; ng 2. Bahwa dalam petitum perlawanan, Pelawan dalam petitumnya mengajukan permohonan : - “Menyatakan/memerintahkan Jurusita Pengadilan Negeri Bogor untuk do A gu menunda pelaksanaan perintah pengosongan terhadap tanah dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam butir 2 petitum di atas” ; “Menyatakan tidak sah dan batal demi hukum perintah eksekusi pengosongan terhadap tanah jo Nomor dalam perkara Nomor 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr. serta lik ah 18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. sengketa In - Penetapan Pengadilan Negeri Bogor Nomor 18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. jo Nomor 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr., khususnya tanah dan bangunan yang ub m disewa para Pelawan adalah tidak sah dan harus dibatalkan” ; Bahwa atas dua petitum tersebut bukan wewenang dari Majelis Hakim untuk karena dapat atau tidak dapat dilaksanakannya atau ep ka menilainya, dibatalkannya eksekusi adalah wewenang dari Ketua Pengadilan ; ah DALAM REKONVENSI : si R 1. Bahwa kuasa yang diberikan oleh Terlawan I juga diberikan kuasa untuk mengajukan gugatan rekonvensi ; ng ne 2. Bahwa dikarenakan Pelawan tidak pernah dilibatkan dalam perkara Nomor 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr., sedang di lain sisi perbuatan Pelawan merugikan A gu do kepemilikan atas tanah dan bangunan Terlawan I, maka demi keadilan patut kiranya kalau dalam perlawanan ini dimasukkan gugatan rekonvensi yang selanjutnya dalam hal ini Terlawan I selaku Penggugat Rekonvensi terhadap In Pelawan selaku Tergugat Rekonvensi I dan Tergugat Rekonvensi II atau lik 3. Bahwa Terlawan I selaku Penggugat Rekonvensi adalah sebagai pemilik tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Roda Belakang 82 Nomor 8 dan ub Jalan Roda Belakang 82 Nomor 4, Kotamadya Bogor, seluas 120 M2 dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 1012/Babakan Pasar, di mana tanah dan bangunan tersebut dihuni oleh para Tergugat Rekonvensi (bukti bertanda T.I-5) ; ep ka m ah para Tergugat Rekonvensi ; 4. Bahwa para Tergugat Rekonvensi/Pelawan dalam menempati tanah dan R bangunan tersebut tidak ada hubungan hukum dengan Penggugat do Hal. 4 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002 In A gu maka kepemilikan tanah dan bangunan telah dibenarkan oleh hukum yang ne ng 5. Bahwa dengan adanya Penetapan Eksekusi Nomor 18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr., s Rekonvensi/Terlawan I ; ik Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) h ah M R ep ub hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Halaman 4 R ep ub putusan.mahkamahagung.go.id merupakan milik dari Penggugat Rekonvensi/Terlawan I, yang juga diakui oleh para Tergugat Rekonvensi/Pelawan di dalam surat perlawanannya ; ng 6. Bahwa sehubungan tidak ada hubungan hukum atas tanah dan bangunan tersengketa milik Penggugat Rekonvensi/Terlawan I dengan para Tergugat Rekonvensi/Pelawan, maka dengan gugatan rekonvensi ini sudah A gu do merupakan penghentian sewa menyewa, hal ini sebagaimana menurut Yurisprudensi Indonesia dalam bentuk Keputusan Mahkamah Agung R.I. In Nomor 83 K/Sip/1955, tanggal 6 Agustus 1957 yang menyebutkan : “Pemberitahuan isi surat gugatan kepada Tergugat untuk mengusir si lik ah penyewa dapat dipandang sebagai penghentian sewa” ; 7. Bahwa oleh karena para Tergugat Rekonvensi/Pelawan membayar sewa bukan kepada pemilik yang sah, maka dengan menghuni rumah tersebut ub m perbuatan para Tergugat Rekonvensi/Pelawan sudah merupakan perbuatan yang melanggar hukum ; ep ka 8. Bahwa sebagai akibat perbuatan melanggar hukum dari para Tergugat Rekonvensi/Pelawan, maka Penggugat Rekonvensi/Terlawan I telah ah mengalami kerugian dengan tidak dapat menikmati tanah dan bangunan berikut : ng ne Beralihnya kepemilikan tanah dan bangunan ke tangan Penggugat Rekonvensi/Terlawan I sejak Tahun 1987 (T.I-6) ; do Nilai kontrak tanah dan bangunan tersebut, dapat dinilai Rp. 1.000.000,- A gu - si R tersebut, sehingga kalau dinilai dengan uang kerugian tersebut sebagai - /tahun untuk setiap rumah, mengingat lokasi tanah dan bangunan tersebut masuk ke Gang, sehingga nilai kerugian Penggugat In Rekonvensi/Terlawan I sampai dengan bantahan ini diajukan : lik oleh Erwan Djaya Dharmadhi, kerugiannya sebesar Rp. 1.000.000,- X 13 tahun = Rp. 13.000.000,- ; ub 2. Untuk rumah Jalan Roda Belakang 82 Nomor 4, Bogor yang dihuni oleh Foe Tjin Lan kerugiannya sebesar Rp. 1.000.000,- X 13 tahun = Rp. 13.000.000,- ; 9. Bahwa Tergugat Rekonvensi/Pelawan mengetahui tentang adanya sengketa ep ka m ah 1. Untuk rumah Jalan Roda Belakang 82 Nomor 8, Bogor yang dihuni perdata dalam perkara Nomor 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr., tetapi tidak pernah R mengajukan perlawanan apapun ; do Hal. 5 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002 In A gu sebagai berikut : ne ng menuntut kepada Pengadilan Negeri Bogor supaya memberikan putusan s Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Penggugat Rekonvensi ik Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) h ah M ne si a hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Halaman 5 DALAM EKSEPSI : ne si a putusan.mahkamahagung.go.id Menyatakan tidak dapat diterima perlawanan dari Pelawan ; ng DALAM REKONVENSI : 1. Mengabulkan gugatan rekonvensi dari Penggugat Rekonvensi/Terlawan I ; 2. Menyatakan Tergugat Rekonvensi/Pelawan telah melakukan perbuatan A gu do melanggar hukum ; 3. Menyatakan tanah dan bangunan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor In 1012/Babakan Pasar, seluas 120 M2 yang dikenal dengan tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Roda Belakang 82 Nomor 4 adalah milik lik ah Penggugat Rekonvensi/Terlawan I ; 4. Menetapkan uang sewa atau kontrak tanah dan bangunan yang dihuni oleh Tergugat Rekonvensi/Erwan Djaya Dharmadhi sebesar Rp. 1.000.000,- ub m /tahun dan bangunan yang dihuni oleh Tergugat Rekonvensi II/Foe Tjin Lan sebesar Rp. 1.000.000,-/tahun, yang kesemuanya dapat dihitung sejak ep ka beralihnya tanah dan bangunan pada Penggugat Rekonvensi/Terlawan I sampai dengan adanya pengosongan dari Pengadilan Negeri Bogor ; ah 5. Menghukum Tergugat Rekonvensi I dan II untuk membayar kerugian uang si R sewa tanah dan bangunan kepada Penggugat Rekonvensi/Terlawan I masing-masing sebesar Rp. 1.000.000,- X 13 tahun = Rp. 13.000.000,- ; ng ne 6. Menghukum Tergugat Rekonvensi I dan Tergugat Rekonvensi II untuk mengosongkan tanah dan bangunan yang dihuni oleh Tergugat Rekonvensi A gu do I dan II yang dikenal dengan tanah dan bangunan di Jalan Roda Belakang 82 Nomor 8 dan Jalan Roda Belakang 82 Nomor 4, Hak Guna Bangunan Nomor 1012/Babakan Pasar ; In 7. Menghukum Tergugat Rekonvensi I dan Rekonvensi II untuk membayar uang lik rugi sebesar Rp. 100.000,-/hari kepada Penggugat Rekonvensi/Terlawan I ; 8. Menghukum Tergugat Rekonvensi I dan Tergugat Rekonvensi II untuk ub membayar biaya perkara ; 9. Menyatakan bahwa putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu, walaupun ada banding atau kasasi maupun bentuk bantahan apapun ; Atau : ep ka m ah paksa dalam hal tidak mau mengosongkan dan tidak mau membayar ganti Bila Pengadilan berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya; R Bahwa terhadap perlawan tersebut Pengadilan Negeri Bogor telah ng Hal. 6 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002 In A do Menolak perlawanan Pelawan untuk seluruhnya ; gu - ne 18 Desember 2000 yang amarnya sebagai berikut : s mengambil putusan, yaitu putusannya Nomor 70/Pdt.Plw/2000/PN.Bgr., tanggal ik Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) h ah M R ep ub hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Halaman 6 - ne si a putusan.mahkamahagung.go.id Menghukum Pelawan untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 279.000,(dua ratus tujuh puluh sembilan ribu rupiah) ; ng Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan para Pelawan putusan Pengadilan Negeri tersebut telah diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi Bandung dengan putusannya Nomor 146/Pdt/2001/PT.Bdg., tanggal 30 A gu do Mei 2001 yang amarnya sebagai berikut : - Menerima permohonan banding dari kuasa para Pelawan Pembanding - In tersebut ; Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Bogor tanggal 18 Desember 2000 lik ah Nomor 70/Pdt/Plw/2000/PN.Bgr. yang dimohonkan banding dengan amar selengkapnya sebagai berikut : m - Menolak eksepsi Terlawan I ; DALAM KONVENSI : Menolak perlawanan para Pelawan ; DALAM REKONVENSI : ah - ep ka - ub DALAM EKSEPSI : Menyatakan gugatan rekonvensi Penggugat Rekonvensi/Terlawan I si R Konvensi tidak dapat diterima ; DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI : ne Menghukum para Pelawan/Tergugat Rekonvensi untuk membayar biaya ng - perkara untuk kedua tingkat peradilan dan dalam tingkat banding sebesar A gu do Rp. 125.000,- (seratus dua puluh lima ribu rupiah) ; Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada para Pelawan/Pembanding pada tanggal 27 Agustus 2001 kemudian In terhadapnya oleh para Pelawan/Pembanding dengan perantaraan kuasanya, lik permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 29 Agustus 2001 sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi Nomor 70/Pdt/Plw/2000/PN.Bgr. yang ub dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Bogor, permohonan tersebut diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 6 September 2001 ; Bahwa setelah itu oleh para Terlawan/Terbanding yang pada tanggal 1 Oktober 2001 telah ep ka m ah berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 27 Agustus 2001 diajukan diberitahu tentang memori kasasi dari para R Pelawan/Pembanding diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di do Hal. 7 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002 In A gu telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam ne ng Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya s Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bogor pada tanggal 10 Oktober 2001 ; ik Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) h ah M R ep ub hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Halaman 7 R ep ub putusan.mahkamahagung.go.id ne si a hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima ; ng Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi/para Pelawan dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah : 1. Bahwa essensi Pemohon Kasasi sebagai penyewa atas tanah dan A gu do bangunan rumah obyek sengketa a quo, yang terletak di Gang Miskin (sekarang Gang Melati Nomor 82), Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan In Bogor Tengah, Kotamadya Bogor, Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 1012/Babakan Pasar, yang dimohonkan eksekusi oleh Termohon Kasasi I lik ah maupun Termohon Kasasi II sebagaimana dalil-dalil jawabannya ; 2. Bahwa dengan telah diakui dan dibenarkannya keberadaan Pemohon Kasasi sebagai penyewa tanah dan bangunan rumah obyek sengketa a quo ub m oleh Termohon Kasasi I dan Termohon Kasasi II, maka pengakuan tersebut merupakan suatu bukti sempurna sebagaimana dimaksud Pasal 174 HIR, ep ka 311 Rbg. dan 1925 BW ; 3. Bahwa Pemohon Kasasi sebagai penyewa tanah dan bangunan rumah ah obyek sengketa a quo keberadaannya dilindungi oleh ketentuan hukum si R yang berlaku, yaitu sebagaimana ketentuan Pasal 1575 dan 1576 BW ; 4. Bahwa jelas-jelas terbukti Termohon Kasasi I sebagai Pemohon Eksekusi atas ng ne tanah dan bangunan rumah obyek sengketa a quo yang disewa oleh Pemohon Kasasi yang kemudian dimohonkan eksekusinya adalah hasil jual beli antara A gu do Termohon Kasasi I dengan Termohon Kasasi II, sebagaimana bukti Termohon Kasasi I T.I-5, Akta Jual Beli, tanggal 11 Desember 1987 Nomor 112/K11/JB/1987. Dan Jauh sebelum jual beli dilakukan Pemohon Kasasi telah In menyewa tanah dan bangunan rumah tersebut dari Termohon Kasasi II ; 5. Bahwa terlebih lagi Pemohon Kasasi juga tidak pernah ditarik sebagai pihak lik eksekusi) a quo antara Termohon Kasasi I dengan Termohon Kasasi II, ub sebagaimana bukti Termohon Kasasi I T.I.1 Putusan Pengadilan Negeri Bogor tanggal 18 Januari 1993 Nomor 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr., T.I.2 Putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 7 September 1993 Nomor ep 394/Pdt/PT.Bdg., T.I.3 Putusan Mahkamah Agung R.I. tanggal 18 Agustus 1995 Nomor 935 K/Pdt/1994 dan T.I.4 Putusan Peninjauan Kembali R Mahkamah Agung R.I. tanggal 1 Februari 1999 Nomor 353 /Pdt/1996 ; ng do Hal. 8 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002 In A gu oleh Termohon Kasasi I, berhak untuk mengajukan perlawanan karena pada ne dan bangunan rumah obyek sengketa a quo yang dimohonkan eksekusinya s 6. Bahwa oleh karena itu jelas Pemohon Kasasi sebagai penyewa atas tanah M h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) ik ah ka m ah dalam perkara jual beli tanah dan bangunan rumah obyek sengketa (obyek Halaman 8 R ep ub putusan.mahkamahagung.go.id dasarnya jual beli antara Termohon Kasasi I dengan Termohon Kasasi II tidak dapat memutuskan hubungan sewa menyewa yang telah terjadi antara ng Termohon Kasasi II dengan Pemohon Kasasi (koop breekt geen huur) vide Pasal 1576 BW ; 7. Bahwa hal ini sesuai juga dengan pendapat M. Yahya Harahap, S.H. dalam RUANG LINGKUP PERMASALAHAN EKSEKUSI BIDANG do A gu bukunya PERDATA, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 317, In yang menyatakan : “Eksekusi terhadap penyewa yang tidak ikut digugat sama halnya dengan lik ah eksekusi terhadap pihak ketiga yang menguasai barang obyek eksekusi berdasar alas hak yang sah pada satu segi, dan sekaligus pula berhadapan dengan asas yang diatur dalam Pasal 1576 KUHPerdata yang menentukan ub m “jual beli tidak memutuskan sewa menyewa” (koop brekt geen huive). Misalnya, A menggugat B atas sebidang tanah dan rumah yang berdiri di ep ka atasnya berdasar dalil hak milik. Gugatan A dikabulkan dan dinyatakan sebagai pemilik yang sah serta sekaligus dibarengi dengan amar ah memerintahkan pengosongan dan penyerahan tanah dan rumah terhadap si R siapa saja yang memperoleh hak dari Tergugat B. Nyatanya, jauh sebelum terjadi perkara antara A dan B, tanah dan rumah sudah disewakan B kepada penyewa yang sah) tidak dapat dijalankan atas ne ng C. Dalam kasus yang demikian, eksekusi pengosongan terhadap C (sebagai alasan eksekusi A gu do pengosongan tidak dapat ditujukan kepada penyewa yang sah yang tidak ikut digugat. Dan sekaligus dalam kasus ini dapat diterapkan analog ketentuan Pasal 1576 KUHPerdata, bahwa beralihnya hak milik A In (Penggugat) berdasar putusan Pengadilan tidak memutuskan hubungan lik 8. Bahwa dengan demikian maka jelas putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 30 Mei 2001 Nomor 146/Pdt/2001/PT.Bdg. yang memperbaiki ub putusan Pengadilan Negeri Bogor tanggal 18 Desember 2000 Nomor 70/Pdt.Plw/2000/PN.Bgr. adalah putusan yang sangat bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku, sehingga mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum serta ketidakadilan ; ep ka m ah sewa menyewa yang telah ada” ; Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung R berpendapat : do Hal. 9 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002 In A gu sebagai berikut : ne ng Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan dengan pertimbangan s Mengenai alasan ke-1 sampai dengan 8 : ik Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) h ah M ne si a hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Halaman 9 - ne si a putusan.mahkamahagung.go.id Bahwa telah diakui kedua belah pihak, bahwa para Pelawan adalah penyewa yang sah dari obyek sengketa sebelum adanya sengketa perdata - ng antara Terlawan I dan Terlawan II ; Bahwa para Pelawan tidak ikut sebagai pihak dalam perkara yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga para Pelawan tidak A gu - harus do tunduk/terkena eksekusi selaku pihak ketiga ; Bahwa pemilik baru dapat menuntut penghentian sewa dengan alasan akan In dipakai sendiri, dengan memberikan ganti rugi ; Menimbang, bahwa oleh karena itu putusan judex facti harus dibatalkan lik ah dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan pertimbangan berikut ini ; Bahwa menurut ketentuan Pasal 1575 dan 1576 BW hak sewa dapat diwariskan atau tidak terputus karena kematian salah satu pihak, penyewa atau ub m yang menyewakan. Demikian juga hak sewa tidak terputus, kendati hak atas barang yang disewakan berpindah tangan (koop breek geen huur), sehingga ep ka eksekusi pengosongan atas tanah dan bangunan obyek sengketa tersebut tidak dapat dijalankan atau tidak dapat ditujukan kepada penyewa yang sah dan tidak R tersebut ; si ah ikut digugat dalam suatu perkara perdata yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan Bahwa oleh karena para Pelawan adalah penyewa yang sah atas tanah ng ne dan bangunan obyek sengketa, maka gugatan rekonvensi dalam perkara perlawanan ini harus dinyatakan tidak dapat diterima karena pada asasnya A gu do gugatan rekonvensi dilarang dalam sengketa mengenai pelaksanaan putusan ; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, In menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan lik dan FOE TJIN LAN dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 146/Pdt/2001/PT.Bdg., tanggal 30 Mei 2001 yang memperbaiki putusan Negeri Bogor Desember 2000 serta Nomor Mahkamah 70/Pdt.Plw/2000/PN.Bgr., ub Pengadilan Agung mengadili sendiri tanggal 18 perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini ; Menimbang, bahwa oleh karena para Termohon Kasasi berada di pihak ep ka m ah permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi : ERWAN DJAYA DHARMADHI yang kalah, maka harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam semua R tingkat peradilan ; ne do Hal. 10 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002 In A gu ng Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan s Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, ik Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) h ah M R ep ub hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Halaman 10 R ep ub ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan ; MENGADILI : do A gu Mengabulkan permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi : ERWAN DJAYA DHARMADHI dan FOE TJIN LAN tersebut ; Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor Pengadilan Negeri Bogor In 146/Pdt/2001/PT.Bdg., tanggal 30 Mei 2001 yang memperbaiki putusan Nomor 70/Pdt.Plw/2000/PN.Bgr., 18 lik ah Desember 2000 ; tanggal ub m MENGADILI SENDIRI : DALAM KONVENSI : - Menolak eksepsi Terlawan I untuk seluruhnya ; ah DALAM POKOK PERKARA : ep ka DALAM EKSEPSI : si R 1. Mengabulkan perlawanan para Pelawan ; 2. Menyatakan bahwa para Pelawan adalah pelawan yang baik dan benar ; ng ne 3. Menyatakan para Pelawan adalah penyewa yang sah atas tanah dan bangunan yang terletak di Gang Miskin (sekarang Gang Melati Nomor 82), do Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, Kodya Bogor, A gu Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 1012/Babakan Pasar Tahun 1982, seluas 120 M2 ; tanah dan bangunan obyek sengketa dalam In 4. Menyatakan tidak sah atau tidak berlaku Perintah Eksekusi Pengosongan atas perkara Nomor Negeri Bogor Nomor lik Pengadilan 18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. jo Nomor para Pelawan atas dasar hak sewa ; DALAM REKONVENSI : Menyatakan gugatan rekonvensi tidak dapat diterima ; ep - ub 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr., khususnya atas obyek sengketa yang dikuasai oleh Menghukum para Termohon Kasasi/para Terlawan untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini R ka m ah 18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. jo Nomor 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr. dan Penetapan do Hal. 11 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002 In A gu Agung pada hari : SELASA, tanggal 8 AGUSTUS 2006 oleh BAGIR MANAN, ne ng Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah s ditetapkan sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) ; ik Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) h ah M ne si a putusan.mahkamahagung.go.id ng hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Halaman 11 R ep ub putusan.mahkamahagung.go.id ne si a hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, I.B. NGURAH ADNYANA, S.H. dan Prof. Dr. H. KAIMUDDIN SALLE, ng S.H.,M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota tersebut dan dibantu oleh WAHYU PRASETYO WIBOWO, S.H.,M.H., Ketua Majelis, ttd./ ttd./ In Hakim-Hakim Anggota, BAGIR MANAN ub Biaya-biaya : ep 6.000,- Rp. 3. Administrasi Kasasi Rp. 193.000,- (+) ttd./ ne WAHYU PRASETYO WIBOWO, S.H.,M.H. Untuk Salinan MAHKAMAH AGUNG R.I. do A gu ka m ah Panitera Pengganti, Rp. 200.000,- ng J u m l a h ………... 1.000,- si 2. R e d a k s i ………. R ka 1. M e t e r a i ……….. Rp. a.n. Panitera Panitera Muda Perdata In m Prof. Dr. H. KAIMUDDIN SALLE, S.H.,M.H. ttd./ lik ah ttd./ lik I.B. NGURAH ADNYANA, S.H. ah do A gu Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak ; MUH. DAMING SANUSI, S.H.,M.H s ne do Hal. 12 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002 In A gu ng M R ah ep ub NIP. 040030169 ik h Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email : [email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12