BAB II LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BATAK TOBA Bab ini akan membahas tentang latar belakang sosial budaya masyarakat Batak Toba secara umum dan secara spesifik pada masyarakat Batak Toba di kota Medan. Uraian dimaksud akan penulis mulai dengan deskripsi geografis Tanah Batak di Sumatera Utara. Dalam konteks ini juga penulis akan menjelaskan deskripsi geografis kota Medan sebagai daerah tujuan migrasi orang Batak. Pada bagian ini penulis memfokuskan sejarah/latarbelakang kedatangan orang Toba ke kota Medan. Selanjutnya penulis akan menguraikan tentang sistem kepercayaan tradisi leluhur Toba, kepercayaan masyarakat Batak Toba yang mengalami perkembangan dengan masuknya pengaruh Barat yang mengubah cara berpikir masyarakat terhadap pendidikan menjadi berubah. Bagian akhir bab ini akan menguraikan konsep budaya masyarakat Batak Toba. Konsep budaya yang dimaksud disini adalah konsep kebudayaan yang penting dan sangat mendasar yang berhubungan dengan kehidupan sosial sehari-hari, antara lain: adat, marga, dalihan na tolu, pardongansaripeon (perkawinan) dalam masyarakat Batak Toba, dan bagaimana sistem pewarisan (tading-tading) dalam masyarakat tersebut. 2.1. GAMBARAN UMUM WILAYAH BATAK TOBA Tanah Batak merupakan tempat pemukiman orang Batak (halak Batak). Sebutan Tanah Batak menunjukkan wilayah yang didiami masyarakat ini dikenal dalam bahasa Batak Toba dengan “Tano Batak” yang artinya Tanah Batak. Tanah Batak meliputi daerah Danau Toba, Pulau Samosir, daerah Silindung, Humbang, Toba Hasundutan, dan Habinsaran (Hutajulu dan Harahap, 2005:2). Wilayah ini 36 Universitas Sumatera Utara luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian 700-2.300 m di atas wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian 700-2.300 meter di atas permukaan laut 17. Pembagian wilayah Toba pada masa penjajahan Belanda, pemerintah Belanda membentuk Karesidenan (istilah untuk pembagian wilayah administratif Hindia Belanda) Tapanuli pada tahun 1910. Keresidenan Tapanuli terbagi atas 4 (empat) wilayah yang disebut afdeling dan saat ini dikenal dengan kabupaten atau kota, yaitu: • Afdeling Padang Sidempuan, yang sekarang menjadi Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, dan Kota Padang Sidempuan. • Afdeling Nias, yang sekarang menjadi Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan. • Afdeling Sibolga dan Ommnenlanden, yang sekarang menjadi Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga. • Afdeling Bataklanden, yang sekarang menjadi Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir, Kabupaten Dairi, dan Kabupaten Pakpak Bharat. Sebagian besar orang Toba mendiami daerah pegunungan Sumatera Utara, mulai dari perbatasan Daerah Istimewa Aceh di utara sampai ke perbatasan dengan Riau dan Sumatera Barat di sebelah selatan. Wilayah Toba terletak antara 1°30’-2° 4’Lintang Utara dan 98°-100° Bujur Timur di punggung Bukit Barisan dengan ketinggian 906-1500 m dpl (diatas permukaan air laut) dengan sejumlah dataran 17 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32722/4/Chapter%20II.pdf. (akses 28 April 2014) 37 Universitas Sumatera Utara tinggi dan gunung-gunung yang tinggi berkisar antara 1500-2000m dan beriklim sejuk (20°C) (Situmorang, 1993:28). Wilayah Toba berbatasan dengan • Utara berbatasan dengan kabupaten Dairi dan Kabupaten Karo • Timur berbatasan dengan Simalungun • Selatan berbatasan dengan Tapanuli Selatan • Barat berbatasan dengan Tapanuli Tengah. Daerah Toba, komoditi utamanya dihasilkan dari sektor pertanian, sektor ini merupakan sektor yang besar potensinya dikembangkan. Sektor ini juga tulang punggung perekonomian daerah sebagai penghasil nilai tambah, devisa dan penyedia lapangan kerja kepada penduduknya. Mengingat sebagian besar penduduk Toba menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Daerah Toba mempunyai potensi sumber daya alam, sumber daya manusia yang saling melengkapi untuk pengembangan pada sektor ini. Produk yang dihasilkan berupa kopi, jagung, sayurmayur, buah-buahan. Dewasa ini pembangunan di daerah Toba sudah banyak kemajuan. Infrastruktur sudah baik melalui pembangunan di berbagai sektor, sehingga roda perekonomian di tanah Batak membaik. Salah satunya adalah pembangunan bandara silangit yang memudahkan akses ke daerah Toba melalui jalur udara. Sekolah-sekolah mulai dibangun, pembangunan sarana pelayanan kesehatan yang memadai dan berbagai pembangunan di sektor yang lainnya. 38 Universitas Sumatera Utara Gambar 1 Peta daerah pembagian suku bangsa di Sumatera Utara Sumber:http://webapps.lsa.umich.edu/umma/exhibits/Batak2009/batak.html (akses 04 September 2014) 2.2. GAMBARAN UMUM WILAYAH dan MIGRASI BATAK TOBA ke KOTA MEDAN Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar di Pulau Sumatera. Medan didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi pada tahun 1590. Secara geografis, wilayah kota Medan berada antara 3”30’ – 3”43’ LU dan 98”35’ – 98”44’ BT dengan luas wilayah 265,10 km 18. Kota Medan dikelilingi oleh Kabupaten Deli Serdang, sebelah selatan, timur, barat kota Medan. Di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka. Kota Medan dihuni oleh beberapa etnik yang sebagian adalah penduduk asli dan sebagian lagi adalah pendatang. Penduduk asli termasuk etnik Batak (Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, dan Mandailing), Nias, dan Melayu. Sementara itu 18 http://ciptakarya.pu.go.id/profil/profil/barat/sumut/medan.pdf. (akses 09 Agustus 2014) 39 Universitas Sumatera Utara kelompok etnis pendatang antara lain, etnis Jawa, Cina, dan Tamil. Etnik Batak sendiri merupakan etnik dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Berikut jumlah penduduk Sumatera Utara yang tersebar di berbagai wilayah di Sumatera Utara. Orang Batak sendiri merupakan etnik dengan jumlah penduduk yang relatif besar, sekitar 30% dari jumlah total penduduk Provinsi Sumatera Utara. Total pendudukan Sumatera Utara yakni ± 3,672,443 jiwa. Tabel 1 berikut ini merupakan gambaran penduduk yang ada di wilayah Sumatera Utara. Tabel 1 Jumlah penduduk Sumatera Utara menurut Kab/Kota No 1 Kbptn/Kota Nias Jml Pend. No Kbptn/Kota Jml Pend. 132.329 17 T.Tinggi 145 180 2 Mand. Natal 403.394 18 Medan 2 109 339 3 Tapsel 264 108 19 Binjai 246 010 4 Taput 278 897 20 Nias Selatan 289 876 5 Tapteng 310 962 21 Humbang 171 687 6 Tobasa 172 933 22 Pakpak Bharat 40 481 7 Labuhan Batu 414 417 23 Samosir 119 650 8 Asahan 667 563 24 Serdang Bedagai 592 922 9 Simalungun 818 104 25 Batu Bara 374 535 10 Dairi 269 848 26 Pdg. Lawas Utara 223 049 11 Karo 350 479 27 Padang Lawas 223 480 12 Deliserdang 1 789 243 28 Lab. Batu Utara 331 660 40 Universitas Sumatera Utara 13 Langkat 966 133 29 Lab. Batu Selatan 277 549 14 Sibolga 84 444 30 Nias Utara 127 530 15 Tanjung Balai 154 426 31 Nias Barat 81 461 16 P.siantar 234 885 32 Padang sidimpuan 191 554 Sumber: Sensus Penduduk 2010-Badan Pusat Statistik Kota Medan adalah sebuah kota yang penduduknya terdiri dari berbagai sub etnik dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda. Sebagai kota yang heterogen, kota Medan adalah sebuah kota yang hidup dari segi ekonomi maupun kultural. Orang Toba sudah mulai masuk ke kota ini sejak 1920-an walaupun dengan jumlah yang sedikit. Migrasi besar-besaran terjadi pada tahun 1940-an. Orang Batak Toba di kota Medan dewasa ini kendati bukan sebagai kultur dominan tapi keberadaan (eksistensi) mereka sangat nyata di kota Medan. Saat ini banyak terdapat gedung serbaguna yang hampir setiap akhir pekan selalu diisi oleh kegiatan adat. Dimana kegiatan adat itu menampilkan berbagai kegiatan sosial, interaksi antara satu orang dengan yang lain. Bahwa pesta adat itu, disamping menjalankan norma adat warisan leluhur, juga merupakan wadah untuk bertemu muka dengan sanak saudara. Hal ini yang memperpanjang atau memperlanggeng hubungan kekerabatan orang Batak Toba. Orang Batak Toba berusaha keras untuk dapat hidup bertahan (survive) di kota Medan dengan cara meleburkan diri terhadap pola dan tatanan hidup pada masyarakat pribumi pertama yang tinggal di kota Medan tetapi, hal yang dapat dilihat adalah mereka tetap hidup berkelompok dengan membuat perkumpulan komunitas. Ini sebagai reaksi menjaga, memelihara identitas, membentuk sarana interaksi sosial. Mereka membentuk kesatuan-kesatuan hegemonis marga menurut garis keturunan, 41 Universitas Sumatera Utara kelompok satu daerah asal (sahuta ) dari tingkat pemuda hingga jenjang ke keluarga yang sudah menikah. Hubungan komunikasi diantara sesamanya dapat dipupuk terus melalui kumpulan-kumpulan marga. 2.2.1. MIGRASI BATAK TOBA KE KOTA MEDAN Pendidikan sudah masuk sekitar tahun 1860-an ke tanah Batak yang dibawa oleh para misionaris kristen (RMG) 19. Ketika penyebaran agama kristen mengalami perkembangan, umumnya dibarengi dengan pembukaan sekolah. Adanya kesatuan antara sekolah dan gereja tidak terlepas dari keinginan orang Toba yang kuat untuk bisa sekolah. Seperti Aritonang menjelaskan dalam bukunya: “faktor penunjang utamanya adalah kesatuan gereja dengan sekolah karena gereja yang bertumbuh itu merupakan Gereja Rakyat, maka dalam ungkapan “kesatuan gereja dan sekolah” itu terkandung pengertian bahwa rakyat memberi dukungan sepenuhnya bagi sekolah karena dalam diri mereka tertanam rasa memiliki atas sekolah-sekolah itu.” (Aritonang, 1988:31) Sekolah yang diselenggarakan saat itu, masih setara SD/SMP. Orang yang berkesempatan untuk melajutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, harus keluar dari desa. Kemudian dari situlah mulai muncul konsep hamajuon (kemajuan), konsep inilah yang mendorong orang Toba untuk mendapatkan pendidikan dan mendorong orang Toba keluar dari desa. Mendorong mereka mendapatkan 19 Lihat aritonang (1988:6) 42 Universitas Sumatera Utara pendidikan di luar kota untuk bisa mendapatkan pekerjaan melalui pendidikan yang dimilikinya. Dalam buku Migran Batak Toba di Luar Tapanuli Utara (1998: 1-273) migrasi orang Toba sudah dimulai sejak tahun 1900-an keluar dari kampung halamannya di Tapanuli dan kota Medan merupakan salah satu tujuan migrasi orang Toba. Orang Toba melakukan migrasi ke daerah Simalungun, Pematang Siantar, Dairi, Asahan, Labuhan Batu, Karo, Serdang, Medan dan kota lainnya. Semua daerah tersebut didatangi oleh orang Toba untuk membuka perkampungan yang baru akibat dari luas lahan persahawahan yang semakin sempit di Tapanuli. Sementara itu citacita untuk selalu mengejar 3H (hamoraon, hagabeon, hasangapon) tidak pernah padam dalam diri setiap orang Toba. Berbagai keterbatasan yang dihadapi di Tapanuli mendorong orang Toba untuk meninggalkan kampung halamannya. Di Medan sendiri, pada tahun 1905 sudah ada 14.250 jiwa penduduk Medan termasuk orang Toba yang jumlahnya relatif kecil (Purba O.H.S, 1997:98). Sumber yang sama menyebutkan pada tahun 1919 diperkirakan tidak kurang dari 200 orang Batak Toba sudah tinggal di Medan yang terdiri dari para pemuda dan yang sudah berkeluarga. Pada sumber lain disebutkan dalam tahun 1930, hanya ada 820 orang Batak Toba di kota Medan, tetapi dalam 1981 terdapat 182.686 orang Batak Toba. Secara kuantitatif populasi Batak Toba meningkat 222 kali lipat (Pelly, 1994:84). Orang Toba yang melakukan migrasi ke daerah Medan awalnya untuk mencari pekerjaan di daerah perkebunan di Langkat, dan Deli Serdang. Di tahun berikutnya, orang Toba yang datang ke Medan bukan hanya untuk mencari pekerjaan tetapi juga untuk melanjutkan pendidikan. Dan pada tahun 1940-an merupakan timing-nya orang Toba keluar dari desa. 43 Universitas Sumatera Utara 2.3. KEPERCAYAAN DAN AGAMA 2.3.1. KEPERCAYAAN Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat tradisional Batak Toba adalah kepercayaan yang mengakar pada tradisi leluhur. Dengan kata lain, sebelum kedatangan missionaris Kristen yang berasal dari Jerman di bawah institusi Rheinische Mission Gesellfschaft (RMG), orang Batak Toba percaya terhadap Mulajadi Na Bolon sebagai dewa tertinggi mereka, pencipta 3 (tiga) dunia: dunia atas (banua ginjang), dunia tengah (banua tonga) dan dunia bawah (banua toru). Sebagai Debata Mulajadi Na Bolon, ia tinggal di langit dan merupakan maha pencipta 20. Sianturi (2003:22) lebih menjelaskan lagi, wujud pancaran kekuasaannya Mulajadi Na Bolon adalah Debata Na Tolu yaitu Batara Guru dengan wujud kebijakan (hahomion) lambang warna hitam, kesucian (habonaron) disebut Debata Sori dengan lambang warna putih, Debata Balabulan sumber kekuatan (hagogoon) lambang merah. 2.3.2. AGAMA Masuknya kekristenan memberikan paradigma berpikir yang baru kepada masyarakat Batak Toba. Kedatangan para misionaris kristen ke tanah Batak memberikan nuansa baru. Para misionaris tersebut banyak mengalami tantangan. Sebagai jalan alternatif, para misionaris melakukan pendekatan budaya, misalnya dengan mendirikan Rumah Sakit dan pendidikan formal (sekolah). Melalui ini masyarakat Batak Toba mulai tertarik dengan kegiatan para misionaris dan mengikuti pendidikan formal. Pendidikan yang dibawa para misionaris membawa perubahan sosial budaya dan pandangan masyarakat tentang pendidikan secara universal. 20 repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32722/4/Chapter%20II.pdf (akses 10 juli 2014) 44 Universitas Sumatera Utara Lumbantobing dalam bukunya (Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak) menjelaskan dengan detail tentang masuknya agama kristen di Tanah Batak. Kristen datang melalui misionaris dari Eropa yang mengirimkan tiga pemberita injil yaitu Richard Burton, Nathaniel Ward dan Evans penyebar pertama yang datang membawa agama Kristen ke Tanah Batak. Mereka bertiga sengaja diutus gereja baptis Inggris sebagai penginjil ke Indonesia khususnya ke Tanah Batak, Sumatera (Lumbantobing, 1996:65). Setibanya mereka di Bengkulu pada Tahun 1820, Burton ditempatkan di Sibolga, Evans bertugas di Padang, sedangkan Ward di Bengkulu. Namun setelah 4 Tahun menginjil disana, mereka bertiga mengalihkan penginjilan ke arah Tanah Batak, karena diketahui daerah tersebut sebagaian besar penduduknya masih kafir atau belum memiliki agama. Holland mengirim Van Asselt untuk bekerja sebagai penginjil di sumatera. Dia tiba di Padang pada bulan Desember 1856, Gubernur Sumatera Barat mempekerjakannya sebagai pengawas produksi perkebunan kopi milik pemerintah Belanda di Angkola sekaligus untuk misi penginjilannya. Setibanya di Sipirok kawasan Angkola, dia menunaikan tugas penginjilan. Inilah usaha pertama kali yang berhasil dilakukan di Tanah Batak. Dengan berbagai usaha dia berhasil membaptis Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar sebagai orang pertama masuk agama Kristen di Sipirok bahkan diseluruh kawasan Tanah Batak. Pekabaran injil (PI) yang paling kuat dan membuahkan hasil adalah usaha yang dilakukan Ludwiq Ingwer Nommensen. Dia adalah pendeta yang diutus Rheinische Mision Gesellschaft (RMG) suatu organisasi misionaris Jerman di kota Bremen. Ia tiba dikota Padang pada tanggal 14 Mei 1862 setelah menempuh perjalanan selama 142 hari dengan kapal Laut. Rencana awal dimulai dari Sipirok 45 Universitas Sumatera Utara dengan misi ke Barus. Pengijilan tersebut terus berkesinambungan hingga ke daerah Batak Toba, Silindung, Tukka, Bungabondar, Simangambat, Huta Banjar, Sigotom. Pekerjaan Nommensen untuk mengabarkan injil di tanah Batak sangatlah sulit, dia harus mengalami banyak penolakan, menghadapi ancaman pencobaan pembunuhan dan hinaan. Diperlakukan begitu tidak membuat Nommensen menyerah, tetapi bersikap tetap ramah dan lemah lembut. Menurut Nommensen benteng keberhalaan 21 Batak yang kukuh tidak dapat ditaklukkan dengan kekerasan. Tetapi harus dengan kesabaran, kesopanan, kerendahan hati dan kasih sayang secara tulus. Dengan cara tersebut, Nommensen berharap pertahanan tersebut dapat diruntuhkan. Melihat sikap Nommensen yang tetap baik akhirnya ada beberapa orang yang takluk dan hormat padanya. Nommensen mulai membuka pelajaran katekisasi 22 yang pertama. Awalnya muridnya hanya beberapa orang lama kelamaan bertambah banyak setelah sekolah itu banyak tersiar tentang keberadaannya. Berikutnya, para penganut agama suku berbondong-bondong minta diterima sebagai jemaat. Mereka berbalik menyatakan bahwa melalui pendidikannya mereka mendapat sahala 23. Menurut perhitungan mereka melalui pendidikan akan mendapat kesempatan bekerja yang memberikan upah besar, kuasa dan kehormatan. Hal ini sesuai dengan cita-cita masyarakat Batak Toba hamoraon, hagabeon, dan hasangapon (3H). Timbulnya doktrin terhadap pendidikan meyakini orang Toba bahwa melalui pendidikan, ambisi dan cita-cita dapat terwujud yang bermuara para cita-cita orang Toba yaitu 3H. Hal ini memotivasi para orangtua untuk menyekolahkan anak-anaknya 21 Benteng keberhalaan yang penulis maksud adalah sesuatu yang dipakai masyarakat Batak Toba untuk mempertahankan/membentengi diri dari pengaruh luar 22 Katekisasi adalah kegiatan pengajaran dan bimbingan iman tentang iman kristen yang dilakukan oleh gereja, diberikan kepada orang-orang sebelum mereka diterima jadi orang Kristen. Martin Luther, Katekismus Besar (Jakarta:bpk Gunung Mulia, 2001) 23 Sahala adalah kemuliaan, kharisma, hikmat, kewibawaan, kebesaran otoritas, penuh kesaktian. Setiap orang memilikinya, tetapi tidak sama besarnya untuk semua orang http://haposanbakara.blogspot.com/2012/02/sahala.html (akses 09 Agustus 2014) 46 Universitas Sumatera Utara setinggi-tingginya. Kebanyakan anak yang mengecap pendidikan menyebar ke daerah lain untuk mendapatkan peluang pekerjaan yang lebih baik. Pandangan masyarakat terhadap kekayaan juga mengalami perubahan, yang tadinya kekayaan diukur dari materi berubah menjadi diukur dari keberhasilan anak juga. Keberhasilan anak menjadi kekayaan yang berorientasi kepada penghargaan moralitas kepada orangtua. Masuknya injil ke tanah Batak juga mengubah paradigma berpikir masyarakat Batak Toba. Sadar atau tidak sadar para misionaris telah menjadi wakil budaya bangsanya. Merekalah yang memperkenalkan dan memasukkan unsur-unsur budaya Barat ke dalam tata kehidupan masyarakat Batak Toba tanpa lebih jauh menyadari atau memikirkan akibatnya. Misalnya membangun rumah gereja menurut gaya Jerman, yang berbeda dengan gaya bangunan Batak dengan atapnya yang indah melengkung. Juga kebiasaan menempatkan lonceng di menara gereja, alat kelengkapan gereja Jerman, dijadikan juga sebagai persyaratan untuk gereja Batak (Lumbantobing, 1996: 78) Purba dalam artikelnya “Gereja dan Adat: Kasus Gondang Sabangunan Dan Tortor” sejak peradaban Barat masuk ke tanah Batak sudah banyak terjadi perubahan dalam tata-laksana adat, sehingga banyak ketentuan adat lama yang dihilangkan atau jadi kurang dihargai. Salah satu dampaknya adalah berubahnya konsepsi atau pemahaman masyarakat Batak Toba tentang tradisi gondang sabangunan, tortor dan adat. Tradisi tersebut mengalami proses pendekontekstualisasi (melepaskan tradisi secara sistematis dari praktek adat dan kepercayaan pra-Kristen), dan perekontekstualisasi (memberikan fungsi dan konteks baru pada tradisi tersebut)24 tetapi untuk masa selanjutnya sikap masyarakat Batak Toba mulai terbuka dalam 24 Mauly Purba, “Gereja dan Adat: Kasus Gondang Sabangunan Dan Tortor,” Jurnal Antropologi Indonesia, No. 62 (Mei-Agustus, 2000), hal 25-41. 47 Universitas Sumatera Utara menerima agama baru (diluar kekristenan). Hal ini merupakan paduan antara keinginan untuk merubah hidup dan gigihnya pekerjaan para zending. 2.4. Adat Adat selalu menjadi isu sosial yang selalu diperbincangkan baik para akademia, dan orang biasa, semua memahami dengan makna yang berbeda-beda. Ada yang mendefenisikan sebagai norma dan hukum agama yang menjaga hubungan antara tuhan, manusia, nenek moyang dan keturunan mereka, yang lain menyebutkan adat sebagai sistem yang sengaja dibuat untuk menjaga keseimbangan dari kekuatan roh lain dan melindungi manusia antara satu dengan yang lain. Antropolog, Bruner, mengamati bahwa adat tidak hanya mencakup hukum perkawinan, warisan, dan harta benda tetapi juga kemelut kehidupan. Adat adalah rangkaian atau tatanan normanorma sosial dan religius yang mengatur kehidupan sosial, hubungan manusia dengan leluhurnya, hubungan vertikal kepada sang Pencipta, serta pelaksanaan upacaraupacara ritual keagamaan 25. Adat adalah sistem sosial yang terus berubah, prinsip-prinsip etika dan dan praktek-praktek agama yang mengatur kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat. Termasuk mengatur dalam hal pengolahan lahan, pengelolaan pertanian dan irigasi, sistem pewarisan dan sistem perkawinan. Dalam hal etika sosial adat mengarahkan masyarakat untuk bersikap yang lebih baik lagi terhadap saudara kerabat dan lingkungan sekitar 26. Hal ini berhubungan dengan sistem kekerabatan, adat sebagai penanda identitas, gaya hidup yang dilakukan di berbagai upacara adat Batak Toba. 25 Mauly Purba, “Results Of Contact Between The Toba Batak People, German Missionaries, And Dutch Government Officials: Musical And Social Change,” Jurnal Etnomusikologi, No 2 (September, 2005), hal 118-143) 26 Ibid 48 Universitas Sumatera Utara Ketika adat dipraktekkan di perayaan-perayaan, itu disebut ulaon adat atau pesta adat. Namun, istilah pesta adat tidak harus bingung dengan hukum adat yang mengontrol sehari-hari kehidupan sosial. Pesta adat adalah kegiatan sosial khas resmi diatur oleh hukum adat. Adat juga bersifat exclusive yang maksudnya adalah sesuatu yang resmi, sesuatu sangat terorganisir dan terstruktur, bagian dari kehidupan sosial, tetapi tidak terjadi setiap hari. Pesta adat memiliki fungsi tertentu, seperti untuk merayakan hari pernikahan, untuk menyambut bayi yang baru lahir, untuk merayakan pemakaman, untuk mulai mendirikan sebuah desa baru atau rumah, untuk merayakan pindah ke rumah baru, untuk merayakan musim padi, untuk merayakan panen, atau hanya untuk ibadah roh leluhur, dewa, dan kekuatan supranatural lainnya. 2.5. SISTEM KEKERABATAN Tata cara kehidupan masyarakat Batak Toba secara tradisional diatur dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan yang disebut dalihan na tolu. Dalihan na tolu secara harfiah mengandung arti “tiga tungku”. Di atas ketiga tungku itulah tatanan sosial masyarakat disandarkan. Konsep dasar dalihan na tolu, tingkat tertinggi yang dihayati sebagai sistem kognitif yang memberikan pedoman bagi orientasi nilai setiap orang batak. Bidang Sosial-dalihan na tolu adalah pengetahuan kolektif yang menetukan perspektif dan defenisi terhadap realiatas. Kebudayaan-dalihan na tolu adalah potensi yang bisa didayagunakan untuk mengetahui memahami mengambil sikap terhadap apa yang dipahami dan diketahui itu. Dalihan na tolu adalah sistem nilai sekaligus sebagai sistem aturan mengenai nilai-nilai tersebut. Sebagai sistem, yang betumpu pada tiga aktor ini menanamkan kepribadian yang mandiri dan sangat menghargai keterbukaan (Dalimunthe, 1995: 15). 49 Universitas Sumatera Utara Prinsip dalihan na tolu merupakan akar kuat dalam bermasyarakat dan berinteraksi dengan keluarga yang menjadi ciri khas spesifik masyarakat Batak yang tidak dimiliki oleh suku bangsa lain. Prinsip itu juga diterapkan dalam kehidupan sehari hari. Komunitas Batak yang ada di Brisbane Austaralia juga mengangap bahwa mereka adalah satu keluarga sehingga sudah layaknya saling menghormati, dan saling mendukung di negeri orang. Pertemuan-pertemuan, saling berkomunikasi dan beribadah merupakan salah satu kunci untuk dapat bertahan di negeri orang 27. Dalihan na tolu merupakan sebuah sistem hubungan sosial yang berlandaskan pada tiga pilar dasar kemasyarakatan, yaitu: hula-hula (pihak keluarga pemberi istri), boru (pihak keluarga penerima istri), dan dongan tubu (sesama saudara lelaki dari rahim ibu yang sama). Bagi masyarakat Batak Toba, hula-hula dianggap memiliki status yang tinggi, baik dilihat dari cara bagaimana kelompok Batak Toba ditempatkan secara sosial maupun dilihat dari cara penghormatan yang diberikan oleh kedua unsur kedua dalihan na tolu. Orang Batak Toba juga memberikan sebutan kepada hula-hula, yaitu debata na tarida yang artinya “tuhan yang tampak”. Pandangan ini merupakan cerminan sikap bagaimana orang Batak menghormati hula-hulanya. Hula-hula ini dianggap sebagai pemberi berkat dan ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi. Tingginya penghormatan terhadap hula-hula ini juga dapat dilihat dalam kehidupan berkeluarga, interaksi sosial masyarakat ataupun dalam pelaksanaan upacara adat. Masyarakat Batak Toba juga melihat bagaimana pentingnya hubungan sesama marga sebagai saudara yang berasal dari keturunan yang sama. Begitu juga dengan boru merupakan hal yang penting bagi masyarakat Batak Toba. Boru dianggap pihak 27 “Dalihan natolu, tetap berkilau di Brisbane,” Tapian edisi juni 2009, hal 18 50 Universitas Sumatera Utara yang selalu berperan di dalam keberlangsungan berbagai pekerjaan. Tanpa kehadiran boru, suatu upacara adat tidak akan dapat dilaksanakan. Kendatipun demikian, boru juga merupakan pihak yang harus diberi perhatian, dilindungi dan dijaga perasaannya. 2.5.1. Hula-hula Kedudukan pemberi anak hula-hula dianggap sebagai pemberi kehidupan dan penyalur berkat, karena itu harus dihormati. Hula-hula disebut juga parrajaon, artinya dirajakan, dan mereka sangat dihormati oleh borunya. Rasa hormat terhadap hula- hula tercermin dalam falsafah dalihan na tolu, bahwa somba marhula-hula artinya seseorang yang mempunyai hula-hula harus hormat dan patuh kepada hula-hula walaupun kedudukannya dari segi jabatan dan kepangkatan di luar adat lebih tinggi, namun tetap harus menghormati hula-hulanya . Penghormatan terhadap hula-hula itu karena mereka dianggap sebagai tempat meminta berkat yang disebut pasu-pasu, sehingga hula-hula dalam masyarakat Batak Toba dianalogikan sebagai perwujudan “tuhan yang kelihatan”. Tidak jarang kita lihat boru pergi mengunjungi hula-hula yang tujuannya untuk menerima berkat dari Tuhan melalui doa dari pihak hula-hula . Keadaan ini seolah-olah memberi gambaran bahwa berkat atau pasu-pasu akan tercapai apabila hula-hula mendoakan borunya. Fungsi hula-hula dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dapat dirinci atas 3 (tiga) bagian, yaitu 28: Dalam suatu musyawarah dan mufakat untuk sebuah rencana, hula-hula adalah sebagai tempat meminta nasihat dan bantuan moral agar terlaksananya suatu upacara adat. 28 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32722/4/Chapter%20II.pdf. (akses 04 September 2014) 51 Universitas Sumatera Utara Pada saat upacara adat berlangsung, hula-hula bertugas memimpin upacara memberkati dan berdoa, agar acara adat tidak mendapat hambatan. Sebagai juru damai dalam suatu perselisihan, misalnya dalam hal pembagian harta warisan. Hula-hula yang bersusah payah untuk mendamaikan, tanpa memihak, sering menjadi pertimbangan untuk selesainya suatu permasalahan. 2.5.2. Boru Boru merupakan tiang beban pelaksana setiap horja dalam hubungan formal dan nonformal. Penerima boru dalam suatu horja berada pada posisi yang lebih rendah dari hula-hula. Dalam posisi ini kelompok hula-hula harus mengasihi dan bersikap mengayomi boru yang tercermin dari filsafat elek marboru (baik kepada boru). Pada upacara adat pihak boru bertindak sebagai parhobas yaitu orang yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kelancaran jalannya pesta. Jika masyarakat Batak Toba, hendak melaksanakan suatu horja, pada saat musyawarah kelompok dongan sabutuha, pendapat dan pertimbangan dari boru juga diminta, terutama mengenai sanggup atau tidaknya rencana keputusan dilaksanakan. Pendapat boru ini sangat penting, karena apa saja keputusan sidang, pelaksananya adalah boru. Jadi dapat dikatakan peranan utama dari boru dalam adat adalah memberi sumbangan tenaga, materi, dan pemikiran pada setiap upacara adat. Selain itu, boru juga memegang peranan penting dalam mendamaikan hula-hulanya apabila terjadi perselisihan. 2.5.3. Dongan Sabutuha Sehubungan dengan kekerabatan dongan sabutuha, dongan sabutuha adalah hubungan berdasarkan garis keturunan dari ayah. Namun cakupannya dalam suatu 52 Universitas Sumatera Utara pelaksanaan upacara adat lebih luas lagi, setiap marga yang dianggap satu nenek moyang juga termasuk dalam klasifikasi dongan sabutuha. Dari kata “dongan”, yang artinya adalah teman sudah dapat diartikan bahwa kedudukan mereka adalah sejajar. Sabutuha adalah “satu ayah” dan “satu ibu”. Misalnya adalah sebagai berikut, yang namanya org Batak tidak pernah akan lupa akan budaya aslinya yaitu senang berkumpul dan senang menari serta bernyanyi. Sekalipun sudah puluhan tahun di negeri orang, budaya Batak tidak bisa lekang, malah semakin ada kepedulian akan keinginan bahwa orang Batak harus tetaplah menjaga prinsip dalihan natolu yang salah satunya adalah manat mardongan sabutuha. Ada anggapan bahwa setiap orang Batak yang berdomisili di luar negeri (swiss) adalah dongan sabutuha, sehingga dirasa perlu untuk saling bertegur sapa dan berkumpul dalam sebuah acara. Begitulah mereka tidak lupa akan tradisi yang turun temurun 29. Dongan sabutuha itu haruslah seia sekata, ringan sama dijinjing berat sama dipikul, sebagai keluarga kandung seibu-sebapak. Fungsi dongan sabutuha di dalam pelaksanaan suatu upacara adat adalah sama dengan suhut (pemilik pesta). Hubungan antara kerabat semarga harus hati-hati dan dijaga sedemikian rupa suaya tetap langgeng dan serasi yang didasari oleh falsafah manat mardongan tubu yang artinya hati-hati terhadap teman semarga, maksudnya ialah harus hati-hati dalam bertindak melaksanakan sesuatu dan juga dalam berbicara. Artinya dalam merencanakan upacara adat, tidaklah dapat bertindak menurut kehendak sendiri, tetapi harus melalui musyawarah dengan dongan sabutuha. Filsafat yang mengatakan somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu merupakan modus umum dalam rangka menjaga keharmonisan diantara 29 “Bangso batak di swiss,” Tapian edisi april 2009, hal 22 53 Universitas Sumatera Utara ketiga pihak tersebut (Zuska, 1995:20). Posisi orang dalam kaitannya dengan asas dalihan na tolu tidak pernah tetap. Seseorang dapat bertukar posisi dan menjadi anggota salah satu tungku tergantung dengan siapa orang itu berhubungan dan bagaimana hubungan kekerabatannya (Dalimunthe, 1995:15). 2.6. SISTEM PERKAWINAN Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat. Pernikahan juga suatu hal yang sakral dan penting dalam kehidupan dua insan yang bertukar ikrar, termasuk keluarga mereka yang akan menyatu melalui kedua mempelai. Hubungan perkawinan dalam masyarakat Batak Toba adalah hubungan asymetric connubium (perkawinan sepihak), perkawinan yang tidak boleh timbal balik (Maria, 1995:18). Misalnya pemuda marga Pasaribu mengambil gadis marga Tambunan, pemuda marga Tambunan tidak boleh mengambil gadis dari marga Pasaribu tetapi harus dari marga purba, demikian seterusnya. Pada dasarnya pernikahan di dalam kebudayaan Batak pernikahan yang ideal bagi orang Batak Toba ialah antara seorang pemuda dengan putri saudara laki-laki ibunya. Sistem ini dinamakan marboru ni tulang atau kawin “pariban”. Demikian juga bila seorang pemudi kawin dengan putra saudara perempuan ayah atau maranak ni namboru, disebut juga kawin “pariban”. Dulu sebenarnya maksud orang Batak menjodohkan anak mereka untuk menjaga keutuhan harta keturunan mereka, agar harta yang mereka miliki jatuh kepada saudaranya sendiri bukan pada orang lain, untuk memperat kekeluargaan, pertalian dengan keluarga ayah/ibu tidak terputus. Lagu “tabo na marpariban” juga melukiskan betapa enaknya punya pariban. 54 Universitas Sumatera Utara Sebaliknya, kawin dengan putri dari saudara perempuan ayah atau boru ni namboru merupakan hal terlarang. Larangan ini sesuai dengan struktur sosial dalihan na tolu bahwa bahwa hanya boru yang boleh mengambil istri dari kelompok hulahula. Pelanggaran atas larangan ini akan dihukum berat (pengusiran dari desa, tidak diakui sebagai anggota marga dan dilarang mengikuti upacara adat). Orang Batak Toba memperkuat hukum adat ini dengan ungkapan: “dang tarpaulak aek tu julu” atau tidak dapat dilalirkan kembali ke hulu. Dalam persoalan ini hula-hula (keluarga mempelai perempuan) adalah sumber asal boru. Oleh karena itu, tidak mungkin proses itu diputar balik. Artinnya, boru menjadi sumber keturunan (secara simbolik adalah pohon kehidupan) bagi hula-hula. Secara ideologis hula-hula merupakan personifikasi dewata Batara Guru dan banua ginjang (dunia atas), sedangkan boru adalah personifikasi dewata Balabulan dan banua toru (dunia bawah). Itulah sebabnya kedudukan yang tinggi dari hula-hula tidak dapat dijungkirbalikkan, sama seperti menukarkan kedudukan dewata Batara Guru dengan Balabulan. Secara realigi hal ini tidak diperbolehkan dan tidak dimungkinkan. Karena itu adat yang menjadi bagian dan kepercayaan keagamaan harus mematuhinya. Dilihat dari sudut pelaksanaan upacara perkawinan yang melibatkan banyak pihak, maka prinsip pertanggungjawaban adalah milik kelompok sosial. Setiap unsur pendukung struktur dan sistem sosial dalihan na tolu terlibat secara langsung dengan bertanggung jawab sesuai kedudukan sosial adatnya. Dengan demikian yang berkepentingan tidak hanya kedua pengantin atau kedua pihak orangtua dan kerabat dekat, namun juga setiap unsur dalihan na tolu dari kedua kelompok sosial tersebut. Keterlibatan semua unsur dalihan na tolu terwujud dalam tanggungjawab masingmasing kepada pengantin, kedua orangtua pengantin, serta tiap-tiap unsur dalihan na tolu dari kedua kelompok yang berhadapan secara langsung. 55 Universitas Sumatera Utara Dalam upacara perkawian peranan kerabat dalihan na tolu dari kedua pihak mempunyai peranan penting. Orangtua pengantin wanita tidak boleh sendirian menerima uang mahar (tuhor) dari pihak laki-laki, mereka haurs mengundang secara lengkap kerabat dalihan na tolu dan membagi tuhor tersebut sesuai dengan adat. Pihak pengantin laki-laki, sinamot harus dibayar bersama-sama oleh kerabat dalihan na tolu pihak laki-laki. Orangtua perempuan bersama dalihan na tolu harus menyerahkan kain adat/ulos kepada orangtua laki dan kepada kedua mempelai. Dimaksudkan sebagai lambang ikatan yang erat antara dalihan na tolu dengan menantu baru antara kerabat kedua belah pihak, sekaligus sebagai pelambang keharmonisan yang didambakan oleh kedua mempelai (Maria, 1995:18). Batak mengenal dua perkawinan, kawin lari/mangalua dan kawin secara biasa mengikuti semua prosedur yang ada yaitu kawin lari dan kawin resmi. Kawin lari adalah membentuk rumah tangga tanpa upacara adat umumnya, hal ini terjadi karena adanya ketidak setujuan dari satu pihak, tetapi sering terjadi karena tidak adanya biaya. Karena untuk mendakan pesta, dibutuhkan biaya yg tidak sedikit. Secara adat pasangan ini dianggap belum resmi kawin. Untuk meresmikan harus melalui upacara adat yang disebut dengan mangadati (diadatkan). Selama belum diadatkan pasangan ini belum boleh menyelenggarakan upacara adat. Perkawinan biasa adalah membentuk rumah tangga yang baru dengan mengikuti prosedur adat yang mendahului hadirnya upacara dan beberapa perkataan adat (marhata) antara kerabat dalihan kedua belah pihak. Suatu upacara perkawinan dianggap resmi bila dihadiri oleh semua unsur dari dalihan natolu dan diselengrakan menurut prinsip dalihan. Menyangkut sistem perkawinan pada masyarakat Batak Toba, akan menjadi hal yang menarik perhatian, serta mungkin akan menjadi suatu pertanyaan apabila kata kawin dikaitkan dengan nilai hubungan anak dengan orangtua. Orangtua masih 56 Universitas Sumatera Utara mengharapkan anaknya harus menikah dengan paribannya, sedangkan si anak tidak mau, dan masih banyak lagi fenomena yang terjadi pada masyarakat Batak Toba yang menyangkut dengan pernikahan. Nilai pernikahan bagi masyarakat Batak Toba adalah pertumbuhan. Pernikahan adalah alat untuk melanjutkan keturunan yang tentunya kelahiran keturunan sangat penting bagi masyarakat Batak Toba. Orang/keluarga yang tidak memiliki keturunan adalah suatu ‘kekurangan’ di dalam masyarakat Batak Toba. Hal ini dianggap karena tidak bisa meneruskan silsilah. Keluarga yang tidak memiliki keturunan merupakan aib bagi keluarga. Keluarga tersebut akan biasanya akan dikucilkan dalam kehidupan bermasyarakat. 2.7. SISTEM PEWARISAN Warisan adalah hak peralihan dan penerusan harta benda dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Ketentuan ahli waris menurut hukum adat adalah berdasarkan sistem kekeluargaan. Masyarakat Batak Toba yang mendasarkan pada hubungan genealogik yang patrilineal. Susunan kekeluargaan tersebut sangat erat hubungannya dengan sistem pewarisan, bahwa hanya anak laki-laki saja yang berhak mewarisi harta peninggalan orangtuanya. Masyarakat Batak Toba percaya bahwa seorang bapak dianggap akan terus hidup dalam turunannya yang laki-laki. Dalam pembagian warisan orang tua yang mendapatkan warisan adalah anak laki-laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki-laki yang paling kecil atau dalam bahasa Bataknya Disebut Siapudan. Dan dia mendapatkan warisan yang 57 Universitas Sumatera Utara khusus. Anak perempuan hanya menerima ulos, suatu pemberian untuk dibawa pergi pada saat ia kawin dan mengikuti suaminya. Ulos tersebut menjadi miliknya dan milik anak cucunya. Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak kandung. Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat, harus melewati proses adat tertentu yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah sah secara adat menjadi marga dari orang yang mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka turun-temurun keluarga. Karena yang berhak memperoleh pusaka turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang mewariskan. Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di sana diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal pembagian harta warisan bahwa anak perempuan hanya memperoleh: Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan dari Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Dalam adat Batak yang masih terkesan kuno, peraturan adat istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan dalam pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun. Dan yang paling banyak dalam mendapat warisan adalah anak bungsu atau disebut siapudan yaitu berupa Tanak Pusaka, Rumah Induk atau Rumah peninggalan orang tua dan harta yang lain nya dibagi rata oleh semua anak laki-lakinya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk pergi meninggalkan kampung halamannya, karena anak siapudan tersebut sudah dianggap sebagai penerus ayahnya, misalnya jika ayahnya Raja Huta atau Kepala Kampung, maka itu turun kepada anak bungsunya (Siapudan). Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak perempuannya tidak mendapatkan 58 Universitas Sumatera Utara apapun dari harta orang tuanya. Dalam hukum adatnya mengatur bahwa saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga. Dan akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak lagi banyak dilakukan oleh masyarakat Batak. Khususnya yang sudah merantau dan berpendidikan. Selain pengaruh dari hukum perdata nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak, juga dengan adanya persamaan gender dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan maka pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak Toba saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan. Jadi hanya tinggal orang-orang yang masih tinggal di kampung atau daerahlah yang masih menggunakan waris adat seperti di atas. 2.8. HAL-HAL PENTING DALAM ADAT BATAK MENYANGKUT MARGA 2.8.1. Sistem Sapaan Untuk mengetahui hubungan kekerabatan antara seseorang dengan lainnya dilakukan dengan menelusuri silsilah leluhur beberapa generasi di atasnya yang disebut martarombo/martutur. Masyarakat Batak yang tidak tahu martutur dianggap kurang baik oleh masyarakat Batak lainnya. Bila dua orang Batak kebetulan berasal dari marga yang sama bertemu di perantauan dapat diduga keduanya akan berusaha mencari hubungan kekerabatan dengan menarik garis keturunan. Hal yang dibicarakan adalah nama opung dan kampung asal. Dari dialog ini mereka dapat menentukan hubungan kekerabatan siapa yang harus memanggil saudara tua, atau saudara muda melalui ikatan nenek moyang leluhur. Nama marga biasanya ditempatkan dibelakang nama panggilan seseorang, sebagai penunjuk kesatuan keturuanan yang tersusun atas dasar hubungan darah dan 59 Universitas Sumatera Utara ditarik secara patrilineal. Demikian pentingnya fungsi marga dalam adat Batak Toba sehingga keberadan individu tidak terlepas dari konteks marga. Orang Batak yang hidup tanpa mengetahui dan mengenai marganya bagikan kacang lupa kulitnya (cunningham dalam Dalimunthe, 1995). Pola interaksi antar marga dan inter marga tercermin juga dalam dalihan na tolu: Tungku1: pihak yang memberikan anak perempuannya untuk dinikahkan dengan laki-laki dari marga lain Tungku2: pihak yang menerima anak perempuan dari marga tertentu yang menikah dengan laki-laki dari marga mereka Tungku3: mereka yang dilahirkan dan berasal dari satu keturunan dan puya marga yang sama. Sebagai contoh penulis akan cantumkan untuk memperjelas sistem marga dalam masyarakat Batak Toba. Penulis adalah bermarga, yang dalam hal ini adalah boru, yaitu boru Tambunan, berjumpa dengan boru Tambunan juga lalu bersapaan dan pasti akan martutur. Marga Tambunan terbagi lagi kedalam sub marga yang lebih kecil kedalam tiga bagian yaitu Pagar Aji, Lumban Pea, Lumban Raja. Penulis masuk dalam sub marga Pagar Aji. Dalam partuturan tadi dapat diketahui bahwa lawan bicara penulis tadi boru Tambunan dari sub marga Lumban Pea. Dia akan memanggil atau menyebut penulis dengan sebutan kakak dan saya menyebut dia dengan adik. Karena dia berasal dari sub marga Lumban Pea yang dalam silsilah Silahisabungan adalah adik dari Pagar Aji. Pagar Aji merupakan sub marga Tambunan yang paling besar. Dilihat dari generasi itu, maka dia pantas memanggil kakak terhadap penulis walaupun misalnya umur penulis lebih muda dari padanya. Oleh karena itu, perilaku 60 Universitas Sumatera Utara kami pun dalam pembicaraan akan menyesuaikan diri pada silsilah Silahisabungan sesuai dengan moral kekerabatan dalihan na tolu. Pada dasarnya, sekalipun dikalangan suku Batak terjadi banyak perselisihan, mereka tetap sadar bahwa mereka adalah satu keluarga besar yang hidup menurut satu adat yang harus dijunjung tinggi. Mereka yakin bahwa semua orang Batak merupakan turunan dari satu nenek moyang, yaitu si Raja Batak (Lumbantobing, 1996:28). Karena itulah, apabila terjadi pertemuan antara dua orang Batak yang baru saling mengenal, yang pertama mereka ingin tahu adalah soal marga; supaya dapat menentukan sikap terhadapnya sesuai dengan kedudukannya dalam tata laksana adat. Kebiasaan itu dianggap suatu keharusan, seperti yang diungkapkan dalam sebuah peribahasa: Jolo tinitip sanggar, bahen huru-huruan, jolo sinungkun marga, asa binoto partuturan Artinya: Dipotong dahulu pimping, untuk dijadikan sangkar ditanya dahulu marga, agar jelas hubungan kekeluargaan Orang Batak tidak menganggap dirinya sebagai pribadi yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari satu kesatuan Bangso Batak. Oleh karena itu, dia kan berpikir dalam bentuk “kami”, bukan dalam bentuk “aku”, karena dia merasa dirinya satu dengan semua orang Batak. Faktor pengikat yang terpenting dalam sistem pemikiran seperti itu adalah hubungan darah dan kesamaan negeri asal (bona pasogit) yang dianggap sebagai tempat lahirnya. Oleh sebab itu, mereka merasa dirinya 61 Universitas Sumatera Utara sebagai anggota dari satu keluarga besar yang wajib mengalami setiap kesenangan dan kesusahan secara bersama-sama. Penutup Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa Tanah Batak adalah kampung halaman orang Toba, yang masih membutuhkan perhatian semua pihak terlebih para perantau yang sukses di tanah rantau untuk perlu membenahi bona pasogitnya. Demikian juga dengan kota Medan, sebuah kota yang berpenduduk heterogen yang menerima keberadaan orang Toba untuk hidup dan menetap hingga sekarang. Di kota Medan orang Toba bertumbuh dengan semua kebudayaan dan adat istiadatnya. Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi masyarakat pemiliknya dengan membuat tindakan terhadap nilai-nilai budaya. Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia adalah bahwa kehidupannya selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat merupakan kewajiban yang ditaati dan dijalankan. Adat bukan hanya sekedar kebiasaan atau tertib sosial, melainkan sesuatu yan mencakupi seluruh dimensi kehidupan:jasmanai, dan rohani, masa kini dan masa depan, hubungan dengan sesama maupun hubungan dengan ‘sang pencipta’. Sistem kekerabatan yang ada dalam kebuadayaan orang Toba (dalihan na tolu) menggambarkan keseimbangan. Dalihan na tolu sebagai lambang aturan hidup dan sikap hidup orang Toba. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup diantara unsur-unsur dalihan na tolu. Untuk menjaga keseimbangan tersebut orang Toba tidak hanya berada dalam satu posisi saja. Semua orang Toba akan pernah jadi hula-hula, akan menjadi boru, dan menjadi dongan tubu. Intinya adalah adanya ajaran untuk saling menghormati, saling menghargai dan saling menolong. 62 Universitas Sumatera Utara Dalam pembagian warisan dalam kebudayaan orang Toba, yang mendapatkan warisan adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari suaminya. Pembagian harta warisan untuk laki-laki tidak sembarangan karena pembagian warisan tersebut dikhususkan kepada anak laki-laki terkecil yang disebut siapudan. Dewasa ini, adat seperti itu tidak lagi sepenuhnya dilakukan, maka pembagian warisan sudah berdasarkan keinginan dari keluarga masing-masing, yang perempuan berhak mendapatkan warisan orangtuanya. Hal positif yang boleh diambil adalah adanya keadilan antara anak laki-laki dan anak perempuan. 63 Universitas Sumatera Utara