BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja Putri WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia 10-19 tahun. Remaja berada diantara dua masa hidup, dengan beberapa masalah gizi yang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa (WHO,2006). Remaja memiliki pertumbuhan yang cepat (growth spurt) dan merupakan waktu pertumbuhan yang intens setelah masa bayi serta satu-satunya periode dalam hidup individu terjadi peningkatan velositas pertumbuhan. Selama masa remaja, seseorang dapat mencapai 15 persen dari tinggi badan dan 50 persen dari berat badan saat dewasa. Pertumbuhan yang cepat ini sejalan dengan peningkatan kebutuhan zat gizi, yang secara signifikan dipengaruhi oleh infeksi dan pengeluaran energi (UNSSCN,2006). Massa tulang meningkat sebesar 45 persen dan remodeling tulang terjadi; jaringan lunak, organ-organ, dan bahkan massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran, akibatnya kebutuhan zat gizi mencapai titik tertinggi saat remaja. Adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Kebutuhan untuk individual tidak mungkin diestimasikan karena adanya pertimbangan variasi dalam tingkat dan jumlah pertumbuhan (DiMeglio, 2000). Pada remaja wanita, puncak pertumbuhan terjadi sekitar 12-18 bulan sebelum mengalami menstruasi pertama atau sekitar usia 10-14 tahun (ADB/SCN,2001 diacu dalam Briawan,2008). Selama periode remaja, kebutuhan 26 zat besi meningkat secara dramatis sebagai hasil dari ekspansi total volume darah, peningkatan massa lemak tubuh, dan terjadinya menstruasi pada remaja putri (Beard ,2000). Pada wanita, kebutuhan yang tinggi akan besi terutama disebabkan kehilangan zat besi selama menstruasi (Wiseman,2002). Secara keseluruhan, kebutuhan zat besi meningkat dari kebutuhan saat sebelum remaja sebesar 0.7-0.9 mg Fe per hari menjadi 2.2 mg Fe per hari atau mungkin lebih saat menstruasi berat. Peningkatan kebutuhan ini berhubungan dengan waktu dan ukuran growth spurt sama seperti kematangan seksual dan terjadinya menstruasi. Hal ini mengakibatkan wanita lebih rawan terhadap anemia besi dibandingkan pria (Beard, 2000). Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu antara usia 12 sampai 21 tahun. Mengingat pengertian remaja menunjukkan ke masa peralihan sampai tercapainya masa dewasa, maka sulit menentukan batas umurnya. Definisi yang dirumuskan oleh WHO, remaja adalah suatu masa ketika individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak- kanak menjadi dewasa, terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarwono,2006). Wanita cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah dibandingkan pria, membuat wanita lebih rentan mengalami defisiensi zat besi saat asupan zat besi kurang atau kebutuhan meningkat. Jika zat besi yang dikonsumsi terlalu sedikit atau bioavailabilitasnya rendah atau makanan 27 berinteraksi dengan membatasi absorpsi yang dibutuhkan tubuh untuk memenuhi kebutuhan zat besi, cadangan zat besi dalam tubuh akan digunakan dan hal tersebut dapat menimbulkan defisiensi zat besi (Gleason & Scrimshaw,2007). Pada masa remaja, seseorang akan mengalami perubahan baik kognitif, sosial-emosional, dan gaya hidup yang dapat menciptakan dampak yang sangat besar dalam kebiasaan makan remaja. Survei yang dilakukan Hurlock (1997), menunjukkan bahwa remaja suka sekali jajan makanan ringan. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang manis dan golongan pastry serta permen sedangkan golongan sayur-sayuran dan buah-buahan jarang dikonsumsi sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, vitamin, dan lain-lain. Selain itu hasil survei menunjukkan bahwa remaja menyukai minuman ringan, teh, dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan konsumsi susu. Sekitar 1200 juta orang atau sekitar 19% dari populasi total remaja di dunia menghadapi permasalahan gizi yang cukup serius yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan remaja serta kehidupan mereka saat dewasa nanti. Namun tetap saja sebagian besar permasalahan remaja, terutama pada remaja putri sering terabaikan. Padahal masa remaja merupakan masa yang penting dalam daur hidup manusia, karena remaja akan mengalami perkembangan fisik, psikososial dan kognitif yang sangat cepat. Peningkatan kebutuhan zat gizi pada masa remaja berkaitan dengan percepatan pertumbuhan yang dialaminya, dimana zat gizi yang masuk ke dalam tubuhnya digunakan untuk peningkatan berat badan dan tinggi badan yang disertai dengan meningkatnya jumlah dan ukuran jaringan sel tubuh (WHO,2002). 28 Remaja putri mempunyai risiko yang lebih tinggi terkena anemia daripada remaja putra. Alasan pertama karena setiap bulan pada remaja putri mengalami menstruasi. Seorang wanita yang mengalami menstruasi yang banyak selama lebih dari lima hari dikhawatirkan akan kehilangan besi, sehingga membutuhkan besi pengganti lebih banyak daripada wanita yang menstruasinya hanya tiga hari dan sedikit. Alasan kedua adalah karena remaja putri seringkali menjaga penampilan, keinginan untuk tetap langsing atau kurus sehingga berdiet dan mengurangi makan. Diet yang tidak seimbang dengan kebutuhan zat gizi tubuh akan menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi yang penting seperti besi (Utamadi,2002). Penelitian menunjukkan bahwa remaja makan dengan persentase total kalori yang sama dari karbohidrat, protein dan lemak. Jumlah waktu makan yang ditunda dan makan diluar rumah meningkat mulai awal remaja sampai remaja akhir. Terdapat peningkatan asupan makan siap saji yang cenderung mengandung tinggi lemak, kalori, natrium dan rendah asam folat, serat dan vitamin A. Karakteristik pertumbuhan dan implikasi nutrisi untuk remaja adalah periode maturasi yang cepat pada fisik, emosi, sosial dan seksual, pertumbuhan yang cepat pada remaja putri pada usia 10-11 tahun, puncaknya pada usia 12 tahun dan selesai pada usia 15 tahun (Paath, Rumdasih dan Heryati,2005). 2.2 Anemia Anemia merupakan penyakit yang masih sering terjadi di negara berkembang khususnya di Indonesia. Anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar zat 29 merah darah atau hemoglobin (Hb) lebih rendah dari nilai normal (Mary,2000). Anemia merupakan kekurangan sel darah merah, yang dapat disebabkan oleh hilangnya darah yang terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi sel darah merah oleh karena kebutuhan yang meningkat dan kehilangan darah. (Guyton dan Hall,1997). Anemia gizi adalah keadaan kadar hemoglobin dalam darah dibawah normal akibat kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial yang diperlukan dalam pembentukan serta produksi sel-sel darah merah (Stoltzfus,2001). Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya anemia gizi antara lain : defisiensi besi, defisiensi vitaman A, defisiensi asam folat, defisiensi vitamin C, defisiensi vitamin B12, defisiensi vitman B6 dan defisiensi protein. Diantaranya Anemia yang paling sering terjadi adalah anemia defisiensi besi. (Wirakusumah, 1999). Status zat besi tiap individu bermacam-macam mulai dari excess zat besi sampai anemia defisiensi zat besi. Walaupun kebutuhan zat besi bervariasi pada tiap grup yang tergantung pada faktor-faktor seperti pertumbuhan (bayi, remaja, kehamilan) dan perbedaan kehilangan normal zat besi (menstruasi dan kelahiran), terjadi proses yang diatur tubuh dalam meningkatkan absorpsi zat besi sejalan dengan penggunaan zat besi dan menurunkan absorpsi zat besi yang disimpan di dalam tubuh sejalan dengan adanya asupan makanan (Gleason & Scrimshaw,2007). Menurut WHO (2001), batas ambang anemia untuk wanita usia 11 tahun keatas adalah apabila konsentrasi atau kadar hemoglobin dalah darah kurang dari 12 g/dl. Penggolongan jenis anemia menjadi ringan, sedang, dan berat belum ada 30 keseragaman mengenai batasannya, namun untuk mempermudah pelaksanaan pengobatan dan mensukseskan program lapangan yang mengacu pada ACC/SCN, anemia dapat digolongkan menjadi tiga. Tabel 2.1 Penggolongan anemia menurut kadar Hb Anemia Ringan Sedang Berat Sumber : WHO,2001 Hb (g/dl) 10,0 – 11,9 7,0 – 9,9 < 7,0 Anemia dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain ; (1) kandungan zat besi makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan, (2) meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi, dan (3) meningkatnya pengeluaran zat besi dari tubuh. Penyebab utama anemia yang paling umum diketahui adalah : (1) kurangnya kandungan zat besi dalam makanan, (2) penyerapan zat besi dari makanan yang sangat rendah, (3) adanya zat-zat yang menghambat penyerapan zat besi, dan (4) adanya parasit di dalam tubuh seperti cacing tambang atau cacing pita, atau kehilangan banyak darah akibat kecelakaan atau operasi (Biesalski dan Erhardt, 2007). Defisiensi zat gizi seperti asupan asam folat dan vitamin A, B12, dan C yang rendah dan penyakit infeksi seperti malaria dan kecacingan dapat pula menimbulkan anemia (WHO,2001). 2.3 Akibat anemia Proses kekurangan zat besi hingga seseorang menderita anemia melalui beberapa tahapan. Pada awalnya terjadi penurunan cadangan besi, dan bila belum 31 dicukupi dengan asupan zat besi maka lama-kelamaan akan timbul gejala anemia yang disertai penurunan kadar Hb dalam darah. Penelitian imunologi yang dilakukan menunjukkan bahwa kekurangan besi dalam tubuh dapat meningkatkan kerawanan terhadp penyakit infeksi. Dimana seseorang yang menderita defisiensi besi lebih mudah terserang penyakit infeksi, karena kekurangan besi berhubungan erat dengan kerusakan kemampuan fungsional dari mekanisme kekebalan tubuh yang sangat penting untuk mencegah masuknya kuman penyakit atau infeksi (Ray,1997). Anemia pada remaja akan menyebabkan gangguan pertumbuhan yang optimal dan tingkat kecerdasan yang menurun (Depkes RI,1996). Remaja putri yang menderita anemia dapat mengalami gangguan pertumbuhan, penurunan daya konsentrasi belajar, kurang bersemangat dalam beraktivitas karena cepat merasa lelah. Defisiensi besi dapat mempengaruhi pemusatan perhatian, kecerdasan dan prestasi belajar di sekolah (Almatsier,1989). Akibat jangka panjang dari anemia pada remaja putri adalah apabila remaja putri hamil, maka ia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan zat-zat gizi bagi dirinya dan juga janin dalam kandungannya. Oleh karena itu keguguran, kematian bayi dalam kandungan, berat badan lahir rendah atau kelahiran prematur rawan terjadi pada ibu hamil yang menderita anemia (Depkes RI,1998). 2.4 Metode penentuan anemia Untuk mendeteksi keadaan anemia seseorang, parameter yang biasa dan telah digunakan secara luas adalah hemoglobin (Hb), karena pada umumnya tujuan dari 32 berbagai penelitian adalah menetapkan prevalensi anemia dan bukan prevalensi kurang besi. Hemoglobin merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah. Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat digunakan sebagai indeks kapsitas pemawa oksigen pada darah. Kandungan hemoglobin yang rendah mengindikasikan anemia (Supariasa, dkk.,2002). Pengukuran kadar Hemoglobin yang dilakukan di lapangan dapat diukur dengan berbagai cara (R. Gandasoebrata,2001). a. Metode talquist (Oktia Woro K.H,1999) Metode ini mempunyai kesalahan yang paling besar dibandingkan cara pemeriksaan Hb yang lain, namun paling mudah dilakukan. b. Metode sahli Pada cara ini hemoglobin diubah menjadi hematin asam, kemudian warna yang terjadi dibandingkan secara visual dengan standard dalam alat itu Cara Sahli ini bukanlah cara yang teliti. Sahli tidak dianjurkan karena mempunyai kesalahan yang besar, alatnya tidak dapat distandarisasi, dan tidak semua jenis hemoglobin dapat ditetapkan, seperti karboksihemoglobin, methemoglobin dan sulfahemoglobin. c. Metode cyanmethemoglobin Cara yang cukup teliti dan dianjurkan oleh International Committee for Standardization in Hematology (ICSH) adalah cara cyanmethemaoglobin (Cook,1982). Pada metode ini, hemoglobin dioksidasi oleh kalium ferrosianida menjadi methemoglobin yang kemudian bereaksi dengan ion sianida (CN2-) membentuk sianmethemoglobin yang berwarna merah. 33 Intensitas warna dibaca dengan fotometer dan dibandingkan dengan standar. Karena yang membandingkan alat elektronik, maka hasilnya lebih objektif. Penentuan Hb dengan cara ini memerlukan spektrofotometer yang harga dan biaya pemeliharaannya mahal, maka cara ini belum dapat dipakai secara luas di Indonesia. Mengingat bahwa membawa spektrofotometer dapat menyebabkan kerusakan pada alatnya. Jelife, 1989). Metode ini baik untuk diapakai dalam pemeriksaan kadar Hb di laboratorium, namun akan mengalami kesulitan jika digunakan untuk survei lapangan (WHO, UNICEF, UNU,2001). d. Metode hemoque Metode hemoque merupakan pengembangan metode penentuan Hb secara spektrofotometer, dan telah mendapat rekomendasi dari badan dunia UNICEF dan WHO, dengan tingkat akurasi alat ini mencapai 99,9%. Hemocue berukuran sebesar buku agenda dan fortabel (dapat dengan mudah dibawa dan dipindahkan), dioperasikan dengan tenaga baterai. Alat ini terdiri atas dua komponen, yaitu Photometer untuk membaca hasil pemeriksaan dan microcuvette sebagai pipet. 2.5 Faktor Risiko Penyebab Anemia Anemia merupakan keadaan dimana kadar Hb dalam darah dibawah normal. Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya anemia gizi diantaranya ; jumlah zat besi dalam makanan yang kurang, absorpsi Fe dan 34 sumber zat besi yang rendah, kebutuhan Fe menngkat dan kehilangan darah (WHO,2001). Pada dasarnya kekurangan zat besi disebabkan karena keseimbangan negatif antara masukan dan pengeluaran zat besi. Sebagian besar penduduk yang mengalami kekurangan zat besi, terutama di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, disebabkan karena sedikitnya makanan yang mengandung zat besi, terutama mengandung zat besi dengan kestersediaan yang rendah, dan rendahnya konsumsi makanan yang dapat mempunyai kontribusi terhadap absorbsi dan metabolisme zat besi seperti vitamin C, asam folat dan vitamin A, disamping tingginya frekuensi pengeluaran darah kronis, seperti pada infestasi cacing dan malaria (The Common Anemias : Understanding Nutritional Anemia and Anemia Resulting from Chronic Disease,2002). Faktor tidak langsung Ketersediaan Fe dalam makanan kurang Praktek pemberian makan 3 kurang baik Sosial ekonomi rendah 4 Komposisi makanan kurang 5 beragam Terdapat zat-zat penghambat 6 absorbsi 7 Pertumbuhan fisik cepat Kehamilan dan menyusui Faktor langsung Jumlah Fe dalam makanan tidak cukup Absorbsi Fe rendah Kebutuhan Fe meningkat 8 Perdarahan kronis dan akut Kekurangan darah Pelayanan kesehatan rendah Penyakit infeksi Sanitasi yang buruk Parasit Status Gizi Gambar 2.1. Penyebab langsung dan tidak langsung anemia Sumber : florentino, 1984 35 Anemia Berdasarkan faktor-faktor penyebab anemia pada bagan diatas, maka faktorfaktor yang terkait dengan kejadian anemia pada remaja putri, adalah : 2.5.1 Menstruasi Pada masa remaja, seseorang akan mengalami menstruasi. Menstruasi ialah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus disertai pelepasan endometrium. Lama menstruasi biasanya antara 3-5 hari dan ada yang 1-2 hari. Beberapa faktor yang mengganggu kelancaran siklus menstruasi yaitu faktor stres, perubahan berat badan, olahraga yang berlebihan, dan keluhan menstruasi. Menstruasi adalah suatu proses fisiologis yang dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain lingkungan, musim, dan tingginya tempat tinggal dari permukaan laut. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Hal ini menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin, salah satu komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Semakin lama menstruasi berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran dari tubuh. Hal tersebut mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam tubuh terganggu (Depkes,1998). 2.5.2 Status Gizi Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik (Supariasa et al., 2001). Pada periode remaja, 20 persen tinggi badan dan 50 persen berat badan saat dewasa telah dicapai. Oleh karena itu kebutuhan zat gizi mencapai titik tertinggi saat remaja dan adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat mengganggu 36 pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Wanita yang berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan badan dan akan lebih cepat mengalami menstruasi. Sebaliknya wanita yang berstatus gizi buruk pertumbuhannya akan pelan dan lama serta menstruasinya akan lebih lambat(ABD/SCN,2001 yang diacu dalam Briawan,2008). IMT mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin (Thompson,2007). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Permaesih dan Herman (2005), yang menunjukkan bahwa remaja yang mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk menjadi anemia. 2.5.3 Riwayat penyakit Berbagai penyakit infeksi dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena anemia (Permaesih dan Herman,2005). Telah diketahui secara luas bahwa infeksi merupakan faktor yang penting dalam menimbulkan kejadian anemia, dan anemia merupakan konsekuensi dari peradangan dan asupan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan zat besi (Thurnham & Northrop-Clewes,2007). Kehilangan darah akibat schistosomiasis, infestasi cacing, dan trauma dapat menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia. Angka kesakitan akibat penyakit infeksi meningkat pada populasi defisiensi besi akibat efek yang merugikan terhadap sistem imun. Malaria karena hemolisis dan beberapa infeksi parasit seperti cacing, trichuriasis, amoebiasis, dan schistosomiasis menyebabkan kehilangan darah secara langsung dan kehilangan darah tersebut mengakibatkan defisiensi besi (WHO,2001). Kehilangan zat besi selain karena menstruasi dapat pula diakibatkan oleh infestasi parasit seperti cacing tambang (ankilostoma dan nekator), Schistosoma, 37 dan mungkin pula Trichuris trichiura. Kejadian ini lazim terjadi di negara tropis (kebanyakan Negara tropis terklasifikasi sebagai negara belum dan sedang berkembang), lembab serta keadaan sanitasi yang buruk. (Arisman,2004). Peningkatan kejadian akibat malaria pada penderita anemia gizi besi dapat memperberat keadaan anemia. Malaria adalah infeksi parasit yang ditimbulkan oleh satu dari empat spesies dari genus Plasmodium yaitu P. vivax, P. falciparum, P. ovale, dan P. malariae. Pada malaria P. falciparum, anemia sering ditemukan dan menggambarkan anemia berat (Shulman et a,l.,1994). Menurut hasil penelitian Wijianto (2002), penyakit infeksi seperti malaria dapat menyebabkan rendahnya kadar Hb yang terjadi akibat hemolisis intravaskuler. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada wanita hamil di Nepal, terdapat bukti bahwa malaria berhubungan dengan defisiensi besi. Konsentrasi serum ferritin pada wanita yang terjangkit P. vivax lebih rendah dan proporsi wanita dengan serum ferritin rendah cenderung meningkat (Dreyfuss et al.,2000). 2.5.4 Aktivitas Fisik Kesegaran jasmani seseorang dapat mempengaruhi status Anemia. Penelitian Permaesih menemukan 25 persen remaja di Bandung mempunyai kesegaran jasmani kurang dari normal (Permaesih dan Herman, 2005). Aktivitas fisik erat kaitannya dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Tubuh yang sehat mampu melakukan aktivitas fisik secara optimal, sebaliknya aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin dalam porsi yang cukup mempunyai dampak positif bagi kesehatan badan. Pola aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan oleh remaja sehari-hari sehingga akan membentuk pola. Aktivitas 38 remaja dapat dilihat dari bagaimana cara remaja mengalokasikan waktunya selama 24 jam dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan suatu jenis kegiatan secara rutin dan berulang-ulang (Kartono,1992 diacu dalam Ratnayani,2005). Menurut Framingham Study diacu dalam Ratnayani,2005, aktivitas fisik selama 24 jam dibagi menjadi lima yaitu aktivitas tidur, aktivitas berat (olah raga seperti jogging, sepak bola, atletik, dan sebagainya), aktivitas sedang (belajar, naik tangga, mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu, dan sebagainya), aktivitas ringan (kegiatan sambil berdiri), dan aktivitas rileks (duduk, berbaring, dan sebagainya). Performa aktivitas akan menurun sehubungan dengan terjadinya penurunan konsentrasi hemoglobin dan jaringan yang mengandung zat besi. Zat besi dalam hemoglobin, ketika jumlahnya berkurang, secara ekstrim dapat mengubah aktivitas kerja dengan menurunkan transpor oksigen (Beard dan Tobin,2000). 2.5.5 Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan jumlah pangan) merupakan hal yang penting. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pangan sebagai sumber berbagai zat gizi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari (Kusharto dan Sa’diyyah,2006). 39 Pangan sumber zat besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya tinggi, sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang, yang kebanyakan memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk nabati (Backstrand et al., 2002). Di Indonesia, ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai sumber zat besi yang sulit diserap. Sementara itu, daging dan bahan pangan hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan (Depkes,1998). Menurut Almatsier (2001), diperkirakan hanya 5-15 persen besi makanan diabsorpsi oleh seseorang yang berada dalam status besi baik dan jika dalam keadaan defisiensi besi, absorpsi dapat mencapai 50 persen. Faktor bentuk besi berpengaruh terhadap absorpsi besi. Besi heme yang terdapat dalam pangan hewani dapat diserap dua kali lipat daripada besi nonheme. Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme (dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani) dan besi nonheme (dalam makanan nabati). Sumber besi nonheme yang baik diantaranya adalah kacang-kacangan. Asam fitat yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya dapat menghambat penyerapan besi. Namun karena zat besi yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan besipun biasanya akan positif. Sayuran daun berwarna hijau memiliki kandungan zat besi yang tinggi sehingga jika sering dikonsumsi maka akan meningkatkan cadangan zat besi di dalam tubuh. Beberapa jenis sayuran hijau juga mengandung asam oksalat yang dapat menghambat penyerapan besi, namun efek menghambatnya relatif lebih 40 kecil dibandingkan asam fitat dalam serealia dan tanin yang terdapat dalam teh dan kopi (Almatsier,2001). Hasil survei juga menunjukkan bahwa remaja suka minuman ringan (soft drink), teh dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan dengan minum susu. Kebiasaan minum teh/kopi pada masyarakat Indonesia memiliki pengaruh menghambat penyerapan zat besi. Konsumsi kopi atau teh satu jam sesudah makan akan menurunkan absorbs besi sampai 40% untuk kopi dan 85% untuk teh. (Linder,1992 yang dikuti dalam Muhilal,1998). Berdasarkan hasil riset Bagian Kesehatan Ibu dan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, tahun 1999 yang dilakukan secara acak terhadap duabelas ribu Balita dan tigabelas ribu ibu hamil, menujukkan bahwa mereka yang memperoleh menu ber teh mengalami penurunan kadar zat besi yang terlihat dari rendahnya kadar Hb pada sampel. Lebih lanjut disampaikan hasil penelitian tersebut memperkuat hasil penelitian para penelitian T.A. Morck, S.R. Lynch, dan J.D. Cook, yang pernah dipublikasikan The American Journal of Clinical Nutrition pada 1983. Menurut riset itu, minum teh paling tidak sejam sebelum atau setelah makan akan mengurangi daya serap sel darah terhadap zat besi 64 persen. Pengurangan daya serap akibat teh ini lebih tinggi daripada akibat sama yang ditimbulkan oleh konsumsi segelas kopi usai makan. Kopi, menurut riset itu, mengurangi daya serap hanya 39 % (Nugroho dan Amarudin,2000). 41 Survei yang dilakukan Hurlock (1997), menunjukkan bahwa remaja menyukai minuman ringan, teh, dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan konsumsi susu. Teh dan kopi mengandung tanin yang dapat menghambat absorpsi besi dengan cara mengikatnya (Almatsier, 2001). Menurut Groff & Gropper (2000), yang diacu dalam Puri (2007), dan Arumsari ( 2008), senyawa fenol dalam teh yang dikonsumsi bersama dengan pangan sumber zat besi dapat menurunkan absorpsi besi hingga 60 persen, sedangkan konsumsi teh/kopi 1 jam setelah makan dapat menurunkan absorpsi besi hingga 40 persen. Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor pendorong dan penghambat. Absorpsi zat besi dapat bervariasi dari 1-40 persen tergantung pada faktor pendorong dan penghambat dalam makanan (WHO, 2001). Menurut FAO/WHO (2001), faktor pendorong penyerapan zat besi antara lain ; besi heme, terdapat dalam daging, unggas, ikan, dan seafood, Asam askorbat atau vitamin C, terdapat dalam buah-buahan, Makanan fermentasi seperti asinan dan kecap. Sedangkan faktor penghambat penyerapan zat besi meliputi ; Fitat, terdapat dalam sekam dan butir serealia, tepung, kacang-kacangan, makanan dengan kandungan inositol tinggi, Protein di dalam kedelai, besi yang terikat phenolic (tannin); teh, kopi, coklat, beberapa bumbu (seperti oregano), kalsium, terutama dari susu dan produk susu. Sumber baik zat besi berasal dari pangan hewani seperti daging, unggas, dan ikan karena mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi (Almatsier,2001). Pangan hewani seperti daging sapi, daging unggas, dan ikan memiliki Meat,Fish, oultry Factor (MFP Factor) yang dapat meningkatkan penyerapan besi. Hasil 42 pencernaan ketiga pangan tersebut menghasilkan asam amino cysteine dalam jumlah besar. Selanjutnya asam amino tersebut mengikat besi dan membantu penyerapannya (Groff & Gropper,2000 diacu dalam Puri,2007). Konsumsi pangan yang rendah kandungan zat besi dapat menyebabkan ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Selain itu, tingginya konsumsi pangan yang dapat menghambat penyerapan besi dan rendahnya konsumsi pangan yang dapat membantu penyerapan besi di dalam tubuh juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Jika hal tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka dapat menyebabkan defisiensi besi (Almatsier,2001). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui konsumsi pangan adalah metode frekuensi pangan yang dalam pelaksanaannya dilakukan pencatatan frekuensi atau banyak kali penggunaan pangan yang biasanya dikonsumsi untuk suatu periode waktu tertentu. Metode ini bertujuan untuk memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Dengan metode ini dapat dilakukan penilaian frekuensi penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu (sumber lemak, sumber protein, sumber zat besi, dan lain sebagainya) selama kurun waktu yang spesifik (per hari, minggu, bulan, tahun) dan sekaligus mengestimasi konsumsi zat gizinya. Kuisioner biasanya mempunyai dua komponen utama yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan (Kusharto dan Sa’diyyah,2006). 43 2.5.6 Sosial ekonomi Secara umum, status anemia dipengaruhi oleh empat variabel utama yaitu infeksi, konsumsi pangan, keadaan fisiologi, dan pengeluaran zat besi oleh tubuh. Selain itu, terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian anemia antara lain pendidikan, jenis kelamin, wilayah, kebiasaan sarapan, status kesehatan, dan keadaan IMT (Indeks Massa Tubuh) dalam kategori kurus (Permaesih dan Herman 2005). Hasil penelitian Maharani (2003), menunjukkan bahwa faktor risiko yang secara signifikan mempengaruhi kecenderungan status anemia yaitu faktor jenis kelamin, umur, pendapatan orangtua, dan status proteinuria. Faktor pendidikan dapat mempengaruhi status anemia seseorang sehubungan dengan pemilihan makanan yang dikonsumsi. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mempengaruhi pengetahuan dan informasi tentang gizi yang lebih baik dibandingkan seseorang yang berpendidikan lebih rendah. Pilihan konsumsi makanan seseorang selain dipengaruhi oleh pengetahuan gizi, juga dipengaruhi oleh wilayah seseorang tinggal dalam hal ketersediaan pangan (Permaesih dan Herman,2005). Hasil penelitian Maharani menunjukkan bahwa pendapatan orang tua yang rendah memiliki kecenderungan menderita anemia. Hasil tersebut sesuai dengan penyataan WHO (2001), bahwa anemia sering terjadi diantara masyarakat yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah. Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Survival for Women and Children (SWACH) Foundation menemukan bahwa bahwa status sosial ekonomi juga menjadi faktor yang mempengaruhi timbulnya kejadian anemia pada remaja (Bartley et al., 2005). 44 Faktor penentu anemia defisiensi besi lainnya termasuk pendapatan yang rendah dan kemiskinan yang berakibat pada asupan makanan yang rendah dan pola makan yang rendah zat gizi mikro. Keadaan tersebut juga dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman tentang pola makan beragam dan pentingnya pangan sumber zat gizi mikro yang dapat mendorong atau menghambat penyerapan zat besi oleh tubuh (Thompson,2007). Hal ini menggambarkan asupan pangan sumber zat besi yang rendah terutama pangan hewani (Bartley et al., 2005). Bhargava et al. (2001), mengemukakan bahwa faktor sosial ekonomi berpengaruh terhadap asupan besi seseorang yang bersumber dari daging, ikan dan unggas serta makanan hewani lainnya. Faktor-faktor yang melatarbelakangi tingginya prevalensi anemia gizi di negara berkembang adalah sosial ekonomi yang rendah yang meliputi pendidikan orang tua dan penghasilan yang rendah serta keadaaan kesehatan lingkungan yang buruk (Farida,2007). 2.6 Program Penanggulangan Anemia Selama lebih dari 30 tahun telah dilakukan upaya perbaikan gizi masyarakat secara intensif dalam rangka menurunkan angka kesakitan yang salah satu programnya adalah program menurunkan anemia gizi. (Depkes RI,2008). Program penanggulangan anemia gizi dilakukan untuk mempersiapkan kondisi fisik wanita usia subur (WUS) sejak usia remaja, calon pengantin, pra hamil agar siap menjadi wanita yang sehat dan tidak menderita anemia. 45 Strategi operasional penanggulangan anemia gizi dilakukan melalui pendekatan multi sektoral untuk mencapai kepada sasaran yang diinginkan, seperti pada remaja putri, calon pengantin, ibu hamil/nifas dan pekerja wanita. Program penanggulangan anemia gizi pada WUS khususnya remaja putri ditujukan untuk mempersiapkan kondisi fisik wanita sehingga tidak menurunkan prestasi belajar dan olah raga, kemampuan fisik meningkat, produktifitas kerja meningkat serta mempersiapkan menjadi ibu yang sehat. Pelaksanaan Program Penanggulangan Anemia Gizi berlandaskan pada kemitraan dan pendekatan keluarga, yang berarti penanggulangan anemia gizi harus merupakan upaya dari berbagai sektor terkait dan swasta serta kelompok masyarakat dengan pendekatan pemberdayaan keluarga. Pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk kerjasama saling menguntungkan terbuka dan setara guna meningkatkan status kesehatan Remaja putri melalui kemitraan, mobilisasi potensi dan pemberdayaan keluarga. (Depkes RI,2008). Strategi operasional penanggulangan anemia gizi pada remaja putri dijabarkan dalam 2 kegiatan pokok (Depkes RI,,2008). a. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Kegiatan KIE seperti penyuluhan, konseling, promosi, kampanye dan lainnya tentang anemia dan TTD merupakan kegiatan yang sangat penting dalam rangka meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga tentang kesehatan dan gizi khusunya bagi remaja putri. Promosi juga dilakukan untuk meningkaktan konsumsi keluarga dalam konsumsi sumber-sumber zat besi dari hewan, sayuran dan buah-buahan yang 46 banyak mengandung vitamin C untuk meningkatkan daya serap besi terurama yang dari sumber nabati. b. Suplementasi Tablet Tambah Darah (TTD) Tablet tambah darah (TTD) adalah suplemen zat gizi yang mengandung 60 mg besi elemental dan 0,5 mg asam folat (sesuai rekomendasi WHO). TTD bila diminum secara teratur dan sesuai aturan dapat mencegah dan menanggulangi anemia gizi. Bagi remaja putri dianjurkan minum TTD secara rutin dengan dosis 1 tablet setiap minggu dan 1 tablet setiap hari pada masa haid. 2.7 Pengetahuan Tentang Anemia Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo,2007). Pengetahuan tersebut sangat erat dipengaruhi oleh faktor pendidikan seseorang, dimana dengan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang diharapkan semakin luas juga pengetahuannya. Tetapi perlu ditekankan bahwa orang yang berpendidikan rendah mutlak mempunyai pengetahuan yang rendah pula, hal ini disebabkan karena pengetahuan seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh pendidikan saja tetapi masih banyak faktor yang dapat mempengaruhinya. (Wawan dan Dewi,2010). 47 Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam terbentuknya tindakan seseorang (ovent behavior). Dalam berbagai penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmojo,2003) Menurut Notoatmodjo (2007), berbagai faktor dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang. 1) Sosial ekonomi Lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan seseorang, sedangkan ekonomi dikaitkan dengan pendidikan dan pendapatan, ekonomi baik tingkat pendidikan akan tinggi sehingga tingkat pengetahuan akan tinggi juga, serta ketersediaan akan bahan makanan dalam keluarga. 2) Kultur (budaya, agama) Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang, karena informasi yang baru akan disaring kira-kira sesuai tidak dengan budaya yang ada dan agama yang dianut. Dalam hal ini budaya akan mempengaruhi kebiasaan seseorang dalam melakukan suatu tindakan baik untuk dirinya maupun keluarganya, sehingga kebiasaan keluarga seperti perilaku makan dan hal-hal tabu lainnya. 3) Pendidikan Semakin tinggi pendidikan maka ia akan mudah menerima hal-hal baru dan mudah menyesuaikan dengan hal yang baru tersebut. Tetapi tidak menjamin bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang tidak akan mutlak 48 berpengaruh terhadap perilakunya. Akan lebih banyak faktor lain seperti sosial ekonomi, budaya serta lingkungan sekitar. 4) Pengalaman Berkaitan dengan umur dan pendidikan individu, bahwa pendidikan yang tinggi maka pengalaman akan luas, sedangkan semakin tua umur seseorang maka pengalaman akan semakin banyak. Sehingga seseorang akan dapat menentukan sikap dalam hal perilaku seperti perilaku makannya . Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo,2003). Pengetahuan (Notoatmodjo,2003), merupakan resultan dari akibat proses penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan tersebut sebagian besar berasal dari penglihatan dan pendengaran individu. Pengukuran pengetahuan pada umumnya dilakukan melalui tes wawancara dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner yang berisi materi pertanyaan yang ingin diukur dari responden. Menurut Sukmadinata (2003), faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang digolongkan menjadi dua faktor yaitu internal dan eksternal. Faktor internal meliputi jasmanai dan rohani, sedangkan faktor eksternal meliputi pendidikan, paparan media massa, hubungan sosial dan pengalaman. Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan sikap seseorang, karena pengetahuan dapat menimbulkan perubahan persepsi dan kebiasaan masyarakat. Pengetahuan yang meningkat dapat mengubah persepsi masyarakat 49 tentang penyakit. meningkatnya pengetahuan juga dapat mengubah kebiasaan masyarakat dari yang positif menjadi yang lebih positif, selain itu pengetahuan juga membentuk kepercayaan (Notoatmodjo,2007). 2.8 Sikap Dalam Pencegahan Anemia Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek (Notoatmojo,2007). Menurut Azwar (2009), faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap seseorang meliputi ; pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, institusi/lembaga pendidikan dan agama serta faktor emosi dalam diri individu. 1) Pengalaman pribadi Sesuatu yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis. 2) Kebudayaan Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila kita hidup dalam budaya yang mempunyai norma longgar bagi pergaulan heteroseksual, perilaku makan yang kurang baik, serta budaya yang buruk sangat mungkin kita akan mempunyai sikap yang menyimpang dari ketentuan yang ada. Apabila kita hidup dalam budaya sosial yang sangat mengutamakan kehidupan 50 berkelompok, maka sangat mungkin kita akan mempunyai sikap negatif terhadap kehidupan individualisme yang mengutamakan kepentingan perorangan. 3) Orang lain yang dianggap penting Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap penting, sesorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak dan tingkah dan pendapat kita, seseorang yang tidak ingin kita kecewakan atau seseorang yang berarti khusus bagi kita, akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Diantara orang yang biasanya dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang yang satatus sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, istri atau suami dan lain-lain. Faktor tersebut akan mempengaruhi pola hidup mereka yang cenderung mengarah kepada perilaku atau sikap dimana seseorang tinggal. 4) Media massa Media massa sebagai sarana komunikasi. Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dll, mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya. Media massa membawa pula pesanpesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Remaja dimana mempunyai sikap 51 yang masih labil dan cenderung mencari identitas diri, media massa akan sangat berperan utamanya dalam perilaku sehari-hari seperti kebiasaan makan dan minum (siap saji, dll) serta dalam menyikapi sesuatu akan cenderung mengacu pada pesan yang disampaikan media massa. 5) Institusi/ lembaga pendidikan dan lembaga agama Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap karena keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri ndividu. Pemahaman akan baik-dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaranajarannya. 6) Faktor emosi dalam diri individu Bentuk sikap tidak semuanya ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama. Selain dari faktor-faktor diatas yang mempengaruhi pembentukan sikap, menurut Walgito (2003), adalah faktor pengetahuan. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan hal ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, individu mempunyai dorongan untuk mengerti, dengan 52 pengalamannya untuk memperoleh pengetahuan. Sikap seseorang terhadap suatu objek menunjukkan pengetahuan tersebut mengenai objek yang bersangkutan (Bungin,2001). Sikap yang dimaksud adalah sikap remaja terhadap pencegahan anemia . Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat dan pernyataan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan pernyataan hipotesis kemudian dinyatakan pendapat responden melalui kuesioner (Notoadmojo,2003). Kuesioner mengacu pada skala likert dengan bentuk jawaban pertanyaan atau pernyataan terdiri dari jawaban sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju (Hidayat,2007). Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif (Azwar,2009): 1) Sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu, dan 2) Sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu. 2.9 Perilaku Makan Konsep gaya hidup sangat berguna dalam penelitian perilaku makan, jika digabungkan dengan perbedaan antar budaya dan pendekatan holistik. Gaya hidup merupakan bagian dari manifestasi budaya, dan budaya merupakan hasil belajar dari pengalaman sejak lahir sampai meninggal dunia. Terdapat hubungan yag sangat erat antara individu, keluarga dan masyarakat dalam menentukan pilihan. Hubungan tersebut dapat tercermin pada gaya hidup (life style). Berbagai faktor dapat menentukan gaya hidup sesorang. Manifestasi dari gaya hidup seseorang 53 berbentuk segala perilaku dan merupakan bagian dari budaya masyarakat (Susediaoetama,1996). Dari kacamata antropologi, gaya hidup merupakan hasil penyaringan dari serentetan interaksi sosial, budaya dan keadaan. Beberapa masukan yang merupakan variabel utama adalah pendapatan, pendidikan, tempat pemukiman, pertanian, pedesaan, perkotaan dn sebagainya. Masukan struktur lainnya seperti struktur keluarga, jumlah anggota keluarga, umur, jarak antar anak, jenis kelamin dan lainnya (Suhardjo,2004). Pengaruh Global tampak menonjol di kota-kota besar seiring dengan mengalirnya arus globalisasi termasuk budaya makanan barat mulai diperkenalkan dan dipasarkan yang ternyata mampu menarik minat banyak orang baik dari anakanak maupun orang dewasa. Kemajuan ekonomi dan teknologi menyebabkan perubahan gaya hidup, termasuk pola makan yang berdampak pada perubahan pola penyakit. Gambaran lain menyebutkan bahwa semakin meningkatnya pendapatan seseorang akan mengubah gaya hidupnya yang kebarat-baratan. Pandangan seperti ini dapat dijumpai di kota-kota besar yang hamper setiap sudut banyak dijumpai restaurant fast food, fried chicken, hamburger, pizza dan lainnya. Restauran ini bukanlah biang keladi sebagai penyebab utama terjadinya pergeseran tetapi setidaknya menjadi sumber dalam pergeseran pola makan (Hardinsyah dan Diah K.,2004). Pola makan masyarakat yang cukup baik yakni tinggi konsumsi serat dan karbohidrat, kini telah bergeser kearah pola makan yang ala barat tinggi protein dan lemak. Perubahan gaya hidup dalam hal pola makan terutama dipicu oleh 54 peningkatan pendapatan/ekonomi, kesibukan yang terlalu tinggi dan promosi makanan ala barat, namun semua itu tidak diimbangi dengan pengetahuan dan kesadaran tentang gizi yang tinggi pula (Handrawan,1997). Menurut Blum, terdapat empat faktor yang mempengaruhi kesehaan , antara lain ; lingkungan, perilaku, pelayanaan kesehatan dan keturunan. Diantara keempat faktor tersebut, bahwa lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan seseorang, kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan (Notoatmojo,2007). Selanjutnya Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku tersebut dilatarbeakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni ; faktor predisposisi (predisposing factor), faktor pendukung (enabling factor) dan faktor penguat/ pendorong (reinforcing factor). Oleh karena itu pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha terhadap intervensi perilaku seseorang harus diarahkan pada ketiga faktor tersebut. Keturunan Pelayanan Kesehatan Lingkungan Status Kesehatan Perilaku makan 1. Pola makan 2. Frekuensi konsumsi Pangan55 Predisposing factors ; 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Kepercayaan 4. Tradisi dll Komunikasi (Penyuluhan) Enabling Factors 1. Ketersediaan sarana dan prsarana (air bersih, tempat pembaunagn sampah, ketersedaan makanan, WC, dsb 2. Faslitas kesehatan Pemberdayaan Masyarakat Reinforcing Factors ; Sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas kesehatan, Praturan, UU, dll Training Promosi Kesehatan Gambar 2.1. Hubungan Status Kesehatan, Perilaku dan Pendidikan Kesahatan (HL.Blum dan Lawrence Green, dalam Notoatmojo,2007). , Pada masyarakat perkotaan yang berpenghasilan mapan disinyalir konsumsi makanan sehari-harinya telalu selera sentries, gengsi sentries dan ekonomi sentries. Selera sentris adalah gaya konsumsi makanan yang terlalu berorientasi pada selera, dalam hal ini lokasi tempat makan dan jenis makanan yang diharapkan menjadi pertimbangan utama, sedangkan keseimbangan gizi kurang menjadi perhatian (Handrawan,1997). Menurut Handayani dalam Suhardjo (2004), pola makan adalah suatu sikap atau tingkah laku seseorang dalam memenuhi kebutuhannya akan makanan 56 meliputi frekuensi, jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi. Pendapat lain menyatakan pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh seseorang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakt tertentu. Metode Pengukuran Asupanan Makanan Metode pengukuran asupan makanan pada seseorang ada 2 kelompok meliputi metode kuantitatif yaitu metode recall 24 jam, perkiraan makanan , penimbangan makanan, metode inventaris dan pencatatan (household food records). Metode kualitatif meliputi riwayat makan (dietary history), metode telepon, pendaftaran makanan (food list) dan Food Frequency Questionaire (FFQ). Metode kualitatif menggambarkan kebiasaan makan seseorang. Pada metode FFQ dapat ditambahkan porsi makanan untuk menilai energi dan zat-zat gizi lain, maka metode ini menjadi Semi-Quantitative FFQ (Gibson,2005). Seringkali FFQ dilengkapi dengan ukuran khas setiap porsi dan jenis makanan untuk memperoleh asupan gizi secara relatif atau mutlak. Karena itu FFQ tidak jarang ditulis sebagai riwayat pangan semi kuantitatif (semi quantitative food history). Asupan zat gizi secara keseluruhan diperoleh dengan jalan menjumlahkan kandungan zat gizi masing-masing pangan. Sebagian FFQ justru memasukkan pertanyaan tentang bagaimana makanan biasanya diolah, penggunaan makanan suplemen serta makanan bermerek lainnya (Arisman, 2004). Dengan menggunakan metode frekuensi makanan maka dapat diperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif, tapi karena periode 57 pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan individu berdasarkan rangking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering digunakan dalam epidemiologi gizi (Supariasa,2002). 2.10 Karakteristik Perkotaan dan Pedesaan 2.10.1 Perkotaan Masyarakat perkotaan sering disebut dengan urban community. Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Beberapa ciri yang menonjol dapat membedakan masyarakat di perkotaaan (Abu, Ahmadi,1990), yang diacu dalam BPS,2000). a. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa b. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain, yang terpenting disini adalah manusia perorangan atau individu. c. Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata. d. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota dari pada warga desa. e. Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, menyebabkan interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan dari pada faktor pribadi. 58 f. Jalan kehidupan yang cepat di kota-kota melibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota. g. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab biasanya sangat terbuka dalam menerima pengaruh dari kota. Menurut Prof. Drs R. Bintarto, perkotaan merupakan suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen dan corak kehidupan yang materialistik (suarakomunitas online,2008). . 2.10.2 Pedesaan Desa menurut UU Nomor 5 tahun 1979 adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (suarakomunitas online,2008). Menurut Prof. Drs R. Bintarto , Desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik dan cultural yang terdapat di suatu daerah dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lainnya. Menurut Sutardjo Kartohadikusuma, Desa merupakan suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan sendiri (Abu Ahmadi,1990 yang diacu dalam BPS,2000). Desa (Paul H.Landis) adalah penduduk kurang dari 2500 jiwa dengan ciriciri yang mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal, ada pertalian perasaan 59 yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan, cara berusaha berupa agraris. Pedesaan juga memiliki beberapa ciri-ciri yang menonjol. a. Di dalam masyarakat pedesaan diantara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya diluar batas-batas wiayahnya. b. Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan c. Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian d. Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian agama adat istiadat dan lain-lain. 2.10.3 Klasifikasi Perkotaan dan Pedesaan Penggolongan desa sampai saat ini masih berdasarkan kriteria tahun 1980. Mulai tahun 2000 desa digolongkan menjadi 4 (empat) golongan (BPS,2000). a. Perkotaan besar b. Perkotaan sedang c. Perkotaan kecil, dan d. Pedesaan Penentuan klasifikasi wilayah perkotaan dan perdesaan didasarkan pada skor variabel yang telah ditentukan. Terdapat 5 (lima) pengklasifikasian penggolongan kota dan desa (BPS,2000). a. Kepadatan penduduk dalam kilometer persegi (Km2) b. Prosentase rumah tangga (RT) pertanian c. Prosentase rumah tangga dengan listrik d. Prosentase rumah tangga dengan telepon 60 variabel dalam e. Akses fasilitas utama perkotaan, antara lain ; ada tidaknya sekolah taman kanak-kanak (TK), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), pasar dengan bangunan permanen/semi permanen, gedung bioskop, kelompok pertokoan, rumah sakit (RS) dan hotel, bilyard, Pub, diskotek, karaoke,panti pijat, salon. 61