26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja Putri WHO

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja Putri
WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia 10-19
tahun. Remaja berada diantara dua masa hidup, dengan beberapa masalah gizi
yang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa (WHO,2006). Remaja memiliki
pertumbuhan yang cepat (growth spurt) dan merupakan waktu pertumbuhan yang
intens setelah masa bayi serta satu-satunya periode dalam hidup individu terjadi
peningkatan velositas pertumbuhan. Selama masa remaja, seseorang dapat
mencapai 15 persen dari tinggi badan dan 50 persen dari berat badan saat dewasa.
Pertumbuhan yang cepat ini sejalan dengan peningkatan kebutuhan zat gizi, yang
secara signifikan dipengaruhi oleh infeksi dan pengeluaran energi (UNSSCN,2006). Massa tulang meningkat sebesar 45 persen dan remodeling tulang
terjadi; jaringan lunak, organ-organ, dan bahkan massa sel darah merah meningkat
dalam hal ukuran, akibatnya kebutuhan zat gizi mencapai titik tertinggi saat
remaja. Adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat mengganggu
pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Kebutuhan untuk individual
tidak mungkin diestimasikan karena adanya pertimbangan variasi dalam tingkat
dan jumlah pertumbuhan (DiMeglio, 2000).
Pada remaja wanita, puncak pertumbuhan terjadi sekitar 12-18 bulan
sebelum mengalami menstruasi pertama atau sekitar usia 10-14 tahun
(ADB/SCN,2001 diacu dalam Briawan,2008). Selama periode remaja, kebutuhan
26
zat besi meningkat secara dramatis sebagai hasil dari ekspansi total volume darah,
peningkatan massa lemak tubuh, dan terjadinya menstruasi pada remaja putri
(Beard ,2000). Pada wanita, kebutuhan yang tinggi akan besi terutama disebabkan
kehilangan zat besi selama menstruasi (Wiseman,2002). Secara keseluruhan,
kebutuhan zat besi meningkat dari kebutuhan saat sebelum remaja sebesar 0.7-0.9
mg Fe per hari menjadi 2.2 mg Fe per hari atau mungkin lebih saat menstruasi
berat. Peningkatan kebutuhan ini berhubungan dengan waktu dan ukuran growth
spurt sama seperti kematangan seksual dan terjadinya menstruasi. Hal ini
mengakibatkan wanita lebih rawan terhadap anemia besi dibandingkan pria
(Beard, 2000).
Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu
antara usia 12 sampai 21 tahun. Mengingat pengertian remaja menunjukkan ke
masa peralihan sampai tercapainya masa dewasa, maka sulit menentukan batas
umurnya. Definisi yang dirumuskan oleh WHO, remaja adalah suatu masa ketika
individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual
sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, individu mengalami
perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak- kanak menjadi dewasa,
terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan
yang relatif lebih mandiri (Sarwono,2006).
Wanita cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah
dibandingkan pria, membuat wanita lebih rentan mengalami defisiensi zat besi
saat asupan zat besi kurang atau kebutuhan meningkat. Jika zat besi yang
dikonsumsi terlalu sedikit atau bioavailabilitasnya rendah atau makanan
27
berinteraksi dengan membatasi absorpsi yang dibutuhkan tubuh untuk memenuhi
kebutuhan zat besi, cadangan zat besi dalam tubuh akan digunakan dan hal
tersebut dapat menimbulkan defisiensi zat besi (Gleason & Scrimshaw,2007).
Pada masa remaja, seseorang akan mengalami perubahan baik kognitif,
sosial-emosional, dan gaya hidup yang dapat menciptakan dampak yang sangat
besar dalam kebiasaan makan remaja. Survei yang dilakukan Hurlock (1997),
menunjukkan bahwa remaja suka sekali jajan makanan ringan. Jenis makanan
ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang manis dan golongan pastry serta
permen sedangkan golongan sayur-sayuran dan buah-buahan jarang dikonsumsi
sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, vitamin, dan lain-lain. Selain itu
hasil survei menunjukkan bahwa remaja menyukai minuman ringan, teh, dan kopi
yang frekuensinya lebih sering dibandingkan konsumsi susu.
Sekitar 1200 juta orang atau sekitar 19% dari populasi total remaja di dunia
menghadapi permasalahan gizi yang cukup serius yang berkaitan dengan
pertumbuhan dan perkembangan remaja serta kehidupan mereka saat dewasa
nanti. Namun tetap saja sebagian besar permasalahan remaja, terutama pada
remaja putri sering terabaikan. Padahal masa remaja merupakan masa yang
penting dalam daur hidup manusia, karena remaja akan mengalami perkembangan
fisik, psikososial dan kognitif yang sangat cepat. Peningkatan kebutuhan zat gizi
pada masa remaja berkaitan dengan percepatan pertumbuhan yang dialaminya,
dimana zat gizi yang masuk ke dalam tubuhnya digunakan untuk peningkatan
berat badan dan tinggi badan yang disertai dengan meningkatnya jumlah dan
ukuran jaringan sel tubuh (WHO,2002).
28
Remaja putri mempunyai risiko yang lebih tinggi terkena anemia daripada
remaja putra. Alasan pertama karena setiap bulan pada remaja putri mengalami
menstruasi. Seorang wanita yang mengalami menstruasi yang banyak selama
lebih dari lima hari dikhawatirkan akan kehilangan besi, sehingga membutuhkan
besi pengganti lebih banyak daripada wanita yang menstruasinya hanya tiga hari
dan sedikit. Alasan kedua adalah karena remaja putri seringkali menjaga
penampilan, keinginan untuk tetap langsing atau kurus sehingga berdiet dan
mengurangi makan. Diet yang tidak seimbang dengan kebutuhan zat gizi tubuh
akan menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi yang penting seperti besi
(Utamadi,2002).
Penelitian menunjukkan bahwa remaja makan dengan persentase total kalori
yang sama dari karbohidrat, protein dan lemak.
Jumlah waktu makan yang
ditunda dan makan diluar rumah meningkat mulai awal remaja sampai remaja
akhir. Terdapat peningkatan asupan makan siap saji yang cenderung mengandung
tinggi lemak, kalori, natrium dan rendah asam folat, serat dan vitamin A.
Karakteristik pertumbuhan dan implikasi nutrisi untuk remaja adalah periode
maturasi yang cepat pada fisik, emosi, sosial dan seksual, pertumbuhan yang cepat
pada remaja putri pada usia 10-11 tahun, puncaknya pada usia 12 tahun dan
selesai pada usia 15 tahun (Paath, Rumdasih dan Heryati,2005).
2.2 Anemia
Anemia merupakan penyakit yang masih sering terjadi di negara berkembang
khususnya di Indonesia. Anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar zat
29
merah darah atau hemoglobin (Hb) lebih rendah dari nilai normal (Mary,2000).
Anemia merupakan kekurangan sel darah merah, yang dapat disebabkan oleh
hilangnya darah yang terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi sel
darah merah oleh karena kebutuhan yang meningkat dan kehilangan darah.
(Guyton dan Hall,1997).
Anemia gizi adalah keadaan kadar hemoglobin dalam darah dibawah normal
akibat kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial yang diperlukan dalam
pembentukan serta produksi sel-sel darah merah (Stoltzfus,2001). Beberapa faktor
yang menyebabkan terjadinya anemia gizi antara lain : defisiensi besi, defisiensi
vitaman A, defisiensi asam folat, defisiensi vitamin C, defisiensi vitamin B12,
defisiensi vitman B6 dan defisiensi protein. Diantaranya Anemia yang paling
sering terjadi adalah anemia defisiensi besi. (Wirakusumah, 1999).
Status zat besi tiap individu bermacam-macam mulai dari excess zat besi
sampai anemia defisiensi zat besi. Walaupun kebutuhan zat besi bervariasi pada
tiap grup yang tergantung pada faktor-faktor seperti pertumbuhan (bayi, remaja,
kehamilan) dan perbedaan kehilangan normal zat besi (menstruasi dan kelahiran),
terjadi proses yang diatur tubuh dalam meningkatkan absorpsi zat besi sejalan
dengan penggunaan zat besi dan menurunkan absorpsi zat besi yang disimpan di
dalam
tubuh
sejalan
dengan
adanya
asupan
makanan
(Gleason
&
Scrimshaw,2007).
Menurut WHO (2001), batas ambang anemia untuk wanita usia 11 tahun
keatas adalah apabila konsentrasi atau kadar hemoglobin dalah darah kurang dari
12 g/dl. Penggolongan jenis anemia menjadi ringan, sedang, dan berat belum ada
30
keseragaman mengenai batasannya, namun untuk mempermudah pelaksanaan
pengobatan dan mensukseskan program lapangan yang mengacu pada ACC/SCN,
anemia dapat digolongkan menjadi tiga.
Tabel 2.1
Penggolongan anemia menurut kadar Hb
Anemia
Ringan
Sedang
Berat
Sumber : WHO,2001
Hb (g/dl)
10,0 – 11,9
7,0 – 9,9
< 7,0
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain ; (1) kandungan
zat besi makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan, (2) meningkatnya
kebutuhan tubuh akan zat besi, dan (3) meningkatnya pengeluaran zat besi dari
tubuh. Penyebab utama anemia yang paling umum diketahui adalah : (1)
kurangnya kandungan zat besi dalam makanan, (2) penyerapan zat besi dari
makanan yang sangat rendah, (3) adanya zat-zat yang menghambat penyerapan
zat besi, dan (4) adanya parasit di dalam tubuh seperti cacing tambang atau cacing
pita, atau kehilangan banyak darah akibat kecelakaan atau operasi (Biesalski dan
Erhardt, 2007).
Defisiensi zat gizi seperti asupan asam folat dan vitamin A, B12, dan C
yang rendah dan penyakit infeksi seperti malaria dan kecacingan dapat pula
menimbulkan anemia (WHO,2001).
2.3
Akibat anemia
Proses kekurangan zat besi hingga seseorang menderita anemia melalui
beberapa tahapan. Pada awalnya terjadi penurunan cadangan besi, dan bila belum
31
dicukupi dengan asupan zat besi maka lama-kelamaan akan timbul gejala anemia
yang disertai penurunan kadar Hb dalam darah.
Penelitian imunologi yang dilakukan menunjukkan bahwa kekurangan besi
dalam tubuh dapat meningkatkan kerawanan terhadp penyakit infeksi. Dimana
seseorang yang menderita defisiensi besi lebih mudah terserang penyakit infeksi,
karena kekurangan besi berhubungan erat dengan kerusakan kemampuan
fungsional dari mekanisme kekebalan tubuh yang sangat penting untuk mencegah
masuknya kuman penyakit atau infeksi (Ray,1997).
Anemia pada remaja akan menyebabkan
gangguan pertumbuhan yang
optimal dan tingkat kecerdasan yang menurun (Depkes RI,1996). Remaja putri
yang menderita anemia dapat mengalami gangguan pertumbuhan, penurunan daya
konsentrasi belajar, kurang bersemangat dalam beraktivitas karena cepat merasa
lelah. Defisiensi besi dapat mempengaruhi pemusatan perhatian, kecerdasan dan
prestasi belajar di sekolah (Almatsier,1989). Akibat jangka panjang dari anemia
pada remaja putri adalah apabila remaja putri hamil, maka ia tidak akan mampu
memenuhi kebutuhan zat-zat gizi bagi dirinya dan juga janin dalam
kandungannya. Oleh karena itu keguguran, kematian bayi dalam kandungan, berat
badan lahir rendah atau kelahiran prematur rawan terjadi pada ibu hamil yang
menderita anemia (Depkes RI,1998).
2.4 Metode penentuan anemia
Untuk mendeteksi keadaan anemia seseorang, parameter yang biasa dan telah
digunakan secara luas adalah hemoglobin (Hb), karena pada umumnya tujuan dari
32
berbagai penelitian adalah menetapkan prevalensi anemia dan bukan prevalensi
kurang besi. Hemoglobin merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah
merah. Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat
digunakan sebagai indeks kapsitas pemawa oksigen pada darah. Kandungan
hemoglobin yang rendah mengindikasikan anemia (Supariasa, dkk.,2002).
Pengukuran kadar Hemoglobin yang dilakukan di lapangan
dapat diukur
dengan berbagai cara (R. Gandasoebrata,2001).
a. Metode talquist (Oktia Woro K.H,1999)
Metode ini mempunyai kesalahan yang paling besar dibandingkan cara
pemeriksaan Hb yang lain, namun paling mudah dilakukan.
b. Metode sahli
Pada cara ini hemoglobin diubah menjadi hematin asam, kemudian warna
yang terjadi dibandingkan secara visual dengan standard dalam alat itu
Cara Sahli ini bukanlah cara yang teliti. Sahli tidak dianjurkan karena
mempunyai kesalahan yang besar, alatnya tidak dapat distandarisasi, dan
tidak
semua
jenis
hemoglobin
dapat
ditetapkan,
seperti
karboksihemoglobin, methemoglobin dan sulfahemoglobin.
c. Metode cyanmethemoglobin
Cara yang cukup teliti dan dianjurkan oleh International Committee for
Standardization in Hematology (ICSH) adalah cara cyanmethemaoglobin
(Cook,1982). Pada metode ini, hemoglobin dioksidasi oleh kalium
ferrosianida menjadi methemoglobin yang kemudian bereaksi dengan ion
sianida (CN2-) membentuk sianmethemoglobin yang berwarna merah.
33
Intensitas warna dibaca dengan fotometer dan dibandingkan dengan
standar. Karena yang membandingkan alat elektronik, maka hasilnya lebih
objektif.
Penentuan Hb dengan cara ini memerlukan spektrofotometer yang
harga dan biaya pemeliharaannya mahal, maka cara ini belum dapat
dipakai
secara
luas
di Indonesia.
Mengingat
bahwa
membawa
spektrofotometer dapat menyebabkan kerusakan pada alatnya. Jelife,
1989). Metode ini baik untuk diapakai dalam pemeriksaan kadar Hb di
laboratorium, namun akan mengalami kesulitan jika digunakan untuk
survei lapangan (WHO, UNICEF, UNU,2001).
d. Metode hemoque
Metode hemoque merupakan pengembangan metode penentuan Hb secara
spektrofotometer, dan telah mendapat rekomendasi dari badan dunia
UNICEF dan WHO, dengan tingkat akurasi alat ini mencapai 99,9%.
Hemocue berukuran sebesar buku agenda dan fortabel (dapat dengan
mudah dibawa dan dipindahkan), dioperasikan dengan tenaga baterai. Alat
ini terdiri atas dua komponen, yaitu Photometer untuk membaca hasil
pemeriksaan dan microcuvette sebagai pipet.
2.5
Faktor Risiko Penyebab Anemia
Anemia merupakan keadaan dimana kadar Hb dalam darah dibawah normal.
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya anemia gizi
diantaranya ; jumlah zat besi dalam makanan yang kurang, absorpsi Fe dan
34
sumber zat besi yang rendah, kebutuhan Fe menngkat dan kehilangan darah
(WHO,2001).
Pada dasarnya kekurangan zat besi disebabkan karena keseimbangan negatif
antara masukan dan pengeluaran zat besi. Sebagian besar penduduk yang
mengalami kekurangan zat besi, terutama di negara yang sedang berkembang
termasuk Indonesia, disebabkan karena sedikitnya makanan yang mengandung zat
besi, terutama mengandung zat besi dengan kestersediaan yang rendah, dan
rendahnya konsumsi makanan yang dapat mempunyai kontribusi terhadap
absorbsi dan metabolisme zat besi seperti vitamin C, asam folat dan vitamin A,
disamping tingginya frekuensi pengeluaran darah kronis, seperti pada infestasi
cacing dan malaria (The Common Anemias : Understanding Nutritional Anemia
and Anemia Resulting from Chronic Disease,2002).
Faktor tidak langsung
 Ketersediaan Fe dalam
makanan kurang
 Praktek pemberian makan
3 kurang baik
 Sosial ekonomi rendah
4
 Komposisi makanan kurang
5 beragam
 Terdapat zat-zat penghambat
6 absorbsi
7 Pertumbuhan fisik cepat
 Kehamilan dan menyusui
Faktor langsung
Jumlah Fe dalam
makanan tidak
cukup
Absorbsi Fe
rendah
Kebutuhan Fe
meningkat
8 Perdarahan kronis dan akut
Kekurangan
darah
 Pelayanan kesehatan rendah
Penyakit infeksi
 Sanitasi yang buruk
 Parasit
Status Gizi
Gambar 2.1. Penyebab langsung dan tidak langsung anemia
Sumber : florentino, 1984
35
Anemia
Berdasarkan faktor-faktor penyebab anemia pada bagan diatas, maka faktorfaktor yang terkait dengan kejadian anemia pada remaja putri, adalah :
2.5.1 Menstruasi
Pada masa remaja, seseorang akan mengalami menstruasi. Menstruasi ialah
perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus disertai pelepasan endometrium.
Lama menstruasi biasanya antara 3-5 hari dan ada yang 1-2 hari. Beberapa faktor
yang mengganggu kelancaran siklus menstruasi yaitu faktor stres, perubahan berat
badan, olahraga yang berlebihan, dan keluhan menstruasi. Menstruasi adalah
suatu proses fisiologis yang dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain
lingkungan, musim, dan tingginya tempat tinggal dari permukaan laut. Saat
menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Hal ini menyebabkan zat
besi yang terkandung dalam hemoglobin, salah satu komponen sel darah merah,
juga ikut terbuang. Semakin lama menstruasi berlangsung, maka semakin banyak
pengeluaran dari tubuh. Hal tersebut mengakibatkan pengeluaran besi meningkat
dan keseimbangan zat besi dalam tubuh terganggu (Depkes,1998).
2.5.2 Status Gizi
Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi,
penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang
lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian
yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik (Supariasa et al., 2001).
Pada periode remaja, 20 persen tinggi badan dan 50 persen berat badan saat
dewasa telah dicapai. Oleh karena itu kebutuhan zat gizi mencapai titik tertinggi
saat remaja dan adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat mengganggu
36
pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Wanita yang berstatus gizi
baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan badan dan akan lebih cepat
mengalami
menstruasi.
Sebaliknya
wanita
yang
berstatus
gizi
buruk
pertumbuhannya akan pelan dan lama serta menstruasinya akan lebih
lambat(ABD/SCN,2001 yang diacu dalam Briawan,2008). IMT mempunyai
korelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin (Thompson,2007). Hal tersebut
sejalan dengan penelitian Permaesih dan Herman (2005), yang menunjukkan
bahwa remaja yang mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko
1.5 kali untuk menjadi anemia.
2.5.3 Riwayat penyakit
Berbagai penyakit infeksi dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah
terkena anemia (Permaesih dan Herman,2005). Telah diketahui secara luas bahwa
infeksi merupakan faktor yang penting dalam menimbulkan kejadian anemia, dan
anemia merupakan konsekuensi dari peradangan dan asupan makanan yang tidak
memenuhi kebutuhan zat besi (Thurnham & Northrop-Clewes,2007). Kehilangan
darah akibat schistosomiasis, infestasi cacing, dan trauma dapat menyebabkan
defisiensi zat besi dan anemia. Angka kesakitan akibat penyakit infeksi meningkat
pada populasi defisiensi besi akibat efek yang merugikan terhadap sistem imun.
Malaria karena hemolisis dan beberapa infeksi parasit seperti cacing, trichuriasis,
amoebiasis, dan schistosomiasis menyebabkan kehilangan darah secara langsung
dan kehilangan darah tersebut mengakibatkan defisiensi besi (WHO,2001).
Kehilangan zat besi selain karena menstruasi dapat pula diakibatkan oleh
infestasi parasit seperti cacing tambang (ankilostoma dan nekator), Schistosoma,
37
dan mungkin pula Trichuris trichiura. Kejadian ini lazim terjadi di negara tropis
(kebanyakan Negara tropis terklasifikasi sebagai negara belum dan sedang
berkembang), lembab serta keadaan sanitasi yang buruk. (Arisman,2004).
Peningkatan kejadian akibat malaria pada penderita anemia gizi besi dapat
memperberat keadaan anemia. Malaria adalah infeksi parasit yang ditimbulkan
oleh satu dari empat spesies dari genus Plasmodium yaitu P. vivax, P. falciparum,
P. ovale, dan P. malariae. Pada malaria P. falciparum, anemia sering ditemukan
dan menggambarkan anemia berat (Shulman et a,l.,1994). Menurut hasil
penelitian Wijianto (2002), penyakit infeksi seperti malaria dapat menyebabkan
rendahnya kadar Hb yang terjadi akibat hemolisis intravaskuler. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan pada wanita hamil di Nepal, terdapat bukti bahwa
malaria berhubungan dengan defisiensi besi. Konsentrasi serum ferritin pada
wanita yang terjangkit P. vivax lebih rendah dan proporsi wanita dengan serum
ferritin rendah cenderung meningkat (Dreyfuss et al.,2000).
2.5.4 Aktivitas Fisik
Kesegaran jasmani seseorang dapat mempengaruhi status Anemia.
Penelitian Permaesih menemukan 25 persen remaja di Bandung mempunyai
kesegaran jasmani kurang dari normal (Permaesih dan Herman, 2005). Aktivitas
fisik erat kaitannya dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Tubuh yang sehat
mampu melakukan aktivitas fisik secara optimal, sebaliknya aktivitas fisik yang
dilakukan secara rutin dalam porsi yang cukup mempunyai dampak positif bagi
kesehatan badan. Pola aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa
dilakukan oleh remaja sehari-hari sehingga akan membentuk pola. Aktivitas
38
remaja dapat dilihat dari bagaimana cara remaja mengalokasikan waktunya
selama 24 jam dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan suatu jenis kegiatan
secara rutin dan berulang-ulang (Kartono,1992 diacu dalam Ratnayani,2005).
Menurut Framingham Study diacu dalam Ratnayani,2005, aktivitas fisik selama
24 jam dibagi menjadi lima yaitu aktivitas tidur, aktivitas berat (olah raga seperti
jogging, sepak bola, atletik, dan sebagainya), aktivitas sedang (belajar, naik
tangga, mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu, dan sebagainya), aktivitas
ringan (kegiatan sambil berdiri), dan aktivitas rileks (duduk, berbaring, dan
sebagainya).
Performa aktivitas akan menurun sehubungan dengan terjadinya penurunan
konsentrasi hemoglobin dan jaringan yang mengandung zat besi. Zat besi dalam
hemoglobin, ketika jumlahnya berkurang, secara ekstrim dapat mengubah
aktivitas kerja dengan menurunkan transpor oksigen (Beard dan Tobin,2000).
2.5.5 Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang
dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.
Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis
pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung
jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan jumlah pangan)
merupakan hal yang penting. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan
dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang
dikonsumsi. Pangan sebagai sumber berbagai zat gizi merupakan kebutuhan yang
harus dipenuhi setiap hari (Kusharto dan Sa’diyyah,2006).
39
Pangan sumber zat besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya
tinggi, sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang, yang
kebanyakan memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk nabati (Backstrand et
al., 2002). Di Indonesia, ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena
pola konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai
sumber zat besi yang sulit diserap. Sementara itu, daging dan bahan pangan
hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi terutama
oleh masyarakat pedesaan (Depkes,1998).
Menurut Almatsier (2001), diperkirakan hanya 5-15 persen besi makanan
diabsorpsi oleh seseorang yang berada dalam status besi baik dan jika dalam
keadaan defisiensi besi, absorpsi dapat mencapai 50 persen. Faktor bentuk besi
berpengaruh terhadap absorpsi besi. Besi heme yang terdapat dalam pangan
hewani dapat diserap dua kali lipat daripada besi nonheme.
Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme (dalam hemoglobin
dan mioglobin makanan hewani) dan besi nonheme (dalam makanan nabati).
Sumber besi nonheme yang baik diantaranya adalah kacang-kacangan.
Asam
fitat yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya dapat menghambat
penyerapan besi. Namun karena zat besi yang terkandung dalam kedelai dan hasil
olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan besipun biasanya akan
positif. Sayuran daun berwarna hijau memiliki kandungan zat besi yang tinggi
sehingga jika sering dikonsumsi maka akan meningkatkan cadangan zat besi di
dalam tubuh. Beberapa jenis sayuran hijau juga mengandung asam oksalat yang
dapat menghambat penyerapan besi, namun efek menghambatnya relatif lebih
40
kecil dibandingkan asam fitat dalam serealia dan tanin yang terdapat dalam teh
dan kopi (Almatsier,2001).
Hasil survei juga menunjukkan bahwa remaja suka minuman ringan (soft
drink), teh dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan dengan minum
susu. Kebiasaan minum teh/kopi pada masyarakat Indonesia memiliki pengaruh
menghambat penyerapan zat besi. Konsumsi kopi atau teh satu jam sesudah
makan akan menurunkan absorbs besi sampai 40% untuk kopi dan 85% untuk teh.
(Linder,1992 yang dikuti dalam Muhilal,1998).
Berdasarkan hasil riset Bagian Kesehatan Ibu dan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, tahun 1999 yang dilakukan
secara acak terhadap duabelas ribu Balita dan tigabelas ribu ibu hamil,
menujukkan bahwa mereka yang memperoleh menu ber teh mengalami penurunan
kadar zat besi yang terlihat dari rendahnya kadar Hb pada sampel. Lebih lanjut
disampaikan hasil penelitian tersebut memperkuat hasil penelitian para penelitian
T.A. Morck, S.R. Lynch, dan J.D. Cook, yang pernah dipublikasikan The
American Journal of Clinical Nutrition pada 1983. Menurut riset itu, minum teh
paling tidak sejam sebelum atau setelah makan akan mengurangi daya serap sel
darah terhadap zat besi 64 persen. Pengurangan daya serap akibat teh ini lebih
tinggi daripada akibat sama yang ditimbulkan oleh konsumsi segelas kopi usai
makan. Kopi, menurut riset itu, mengurangi daya serap hanya 39 % (Nugroho dan
Amarudin,2000).
41
Survei yang dilakukan Hurlock (1997), menunjukkan bahwa remaja
menyukai minuman ringan, teh, dan kopi yang frekuensinya lebih sering
dibandingkan konsumsi susu. Teh dan kopi mengandung tanin yang dapat
menghambat absorpsi besi dengan cara mengikatnya (Almatsier, 2001). Menurut
Groff & Gropper (2000), yang diacu dalam Puri (2007), dan Arumsari ( 2008),
senyawa fenol dalam teh yang dikonsumsi bersama dengan pangan sumber zat
besi dapat menurunkan absorpsi besi hingga 60 persen, sedangkan konsumsi
teh/kopi 1 jam setelah makan dapat menurunkan absorpsi besi hingga 40 persen.
Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor
pendorong dan penghambat. Absorpsi zat besi dapat bervariasi dari 1-40 persen
tergantung pada faktor pendorong dan penghambat dalam makanan (WHO, 2001).
Menurut FAO/WHO (2001), faktor pendorong penyerapan zat besi antara lain ;
besi heme, terdapat dalam daging, unggas, ikan, dan seafood, Asam askorbat atau
vitamin C, terdapat dalam buah-buahan, Makanan fermentasi seperti asinan dan
kecap. Sedangkan faktor penghambat penyerapan zat besi meliputi ;
Fitat,
terdapat dalam sekam dan butir serealia, tepung, kacang-kacangan, makanan
dengan kandungan inositol tinggi, Protein di dalam kedelai, besi yang terikat
phenolic (tannin); teh, kopi, coklat, beberapa bumbu (seperti oregano), kalsium,
terutama dari susu dan produk susu.
Sumber baik zat besi berasal dari pangan hewani seperti daging, unggas, dan
ikan karena mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi (Almatsier,2001).
Pangan hewani seperti daging sapi, daging unggas, dan ikan memiliki Meat,Fish,
oultry Factor (MFP Factor) yang dapat meningkatkan penyerapan besi. Hasil
42
pencernaan ketiga pangan tersebut menghasilkan asam amino cysteine dalam
jumlah besar. Selanjutnya asam amino tersebut mengikat besi dan membantu
penyerapannya (Groff & Gropper,2000 diacu dalam Puri,2007).
Konsumsi pangan yang rendah kandungan zat besi dapat menyebabkan
ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Selain itu, tingginya konsumsi pangan
yang dapat menghambat penyerapan besi dan rendahnya konsumsi pangan yang
dapat membantu penyerapan besi di dalam tubuh juga dapat menyebabkan
ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Jika hal tersebut berlangsung dalam
jangka
waktu
yang
lama,
maka
dapat
menyebabkan
defisiensi
besi
(Almatsier,2001).
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui konsumsi
pangan adalah metode frekuensi pangan yang dalam pelaksanaannya dilakukan
pencatatan frekuensi atau banyak kali penggunaan pangan yang biasanya
dikonsumsi untuk suatu periode waktu tertentu. Metode ini bertujuan untuk
memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif
tentang pola konsumsi. Dengan metode ini dapat dilakukan penilaian frekuensi
penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu (sumber lemak, sumber
protein, sumber zat besi, dan lain sebagainya) selama kurun waktu yang spesifik
(per hari, minggu, bulan, tahun) dan sekaligus mengestimasi konsumsi zat
gizinya. Kuisioner biasanya mempunyai dua komponen utama yaitu daftar pangan
dan frekuensi penggunaan pangan (Kusharto dan Sa’diyyah,2006).
43
2.5.6 Sosial ekonomi
Secara umum, status anemia dipengaruhi oleh empat variabel utama yaitu infeksi,
konsumsi pangan, keadaan fisiologi, dan pengeluaran zat besi oleh tubuh. Selain
itu, terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian anemia antara
lain pendidikan, jenis kelamin, wilayah, kebiasaan sarapan, status kesehatan, dan
keadaan IMT (Indeks Massa Tubuh) dalam kategori kurus (Permaesih dan
Herman 2005). Hasil penelitian Maharani (2003), menunjukkan bahwa faktor
risiko yang secara signifikan mempengaruhi kecenderungan status anemia yaitu
faktor jenis kelamin, umur, pendapatan orangtua, dan status proteinuria.
Faktor
pendidikan
dapat
mempengaruhi
status
anemia
seseorang
sehubungan dengan pemilihan makanan yang dikonsumsi. Tingkat pendidikan
yang lebih tinggi akan mempengaruhi pengetahuan dan informasi tentang gizi
yang lebih baik dibandingkan seseorang yang berpendidikan lebih rendah. Pilihan
konsumsi makanan seseorang selain dipengaruhi oleh pengetahuan gizi, juga
dipengaruhi oleh wilayah seseorang tinggal dalam hal ketersediaan pangan
(Permaesih dan Herman,2005).
Hasil penelitian Maharani menunjukkan bahwa pendapatan orang tua yang
rendah memiliki kecenderungan menderita anemia. Hasil tersebut sesuai dengan
penyataan WHO (2001), bahwa anemia sering terjadi diantara masyarakat yang
memiliki status sosial ekonomi yang rendah. Penelitian di Indonesia yang
dilakukan oleh Survival for Women and Children (SWACH) Foundation
menemukan bahwa bahwa status sosial ekonomi juga menjadi faktor yang
mempengaruhi timbulnya kejadian anemia pada remaja (Bartley et al., 2005).
44
Faktor penentu anemia defisiensi besi lainnya termasuk pendapatan yang
rendah dan kemiskinan yang berakibat pada asupan makanan yang rendah dan
pola makan yang rendah zat gizi mikro. Keadaan tersebut juga dipengaruhi oleh
kurangnya pemahaman tentang pola makan beragam dan pentingnya pangan
sumber zat gizi mikro yang dapat mendorong atau menghambat penyerapan zat
besi oleh tubuh (Thompson,2007). Hal ini menggambarkan asupan pangan
sumber zat besi yang rendah terutama pangan hewani (Bartley et al., 2005).
Bhargava et al. (2001), mengemukakan bahwa faktor sosial ekonomi
berpengaruh terhadap asupan besi seseorang yang bersumber dari daging, ikan
dan unggas serta makanan hewani lainnya. Faktor-faktor yang melatarbelakangi
tingginya prevalensi anemia gizi di negara berkembang adalah sosial ekonomi
yang rendah yang meliputi pendidikan orang tua dan penghasilan yang rendah
serta keadaaan kesehatan lingkungan yang buruk (Farida,2007).
2.6 Program Penanggulangan Anemia
Selama lebih dari 30 tahun telah dilakukan upaya perbaikan gizi masyarakat
secara intensif dalam rangka menurunkan angka kesakitan yang salah satu
programnya adalah program menurunkan anemia gizi. (Depkes RI,2008).
Program penanggulangan anemia gizi dilakukan untuk mempersiapkan
kondisi fisik wanita usia subur (WUS) sejak usia remaja, calon pengantin, pra
hamil agar siap menjadi wanita yang sehat dan tidak menderita anemia.
45
Strategi operasional penanggulangan anemia gizi dilakukan melalui
pendekatan multi sektoral untuk mencapai kepada sasaran yang diinginkan,
seperti pada remaja putri, calon pengantin, ibu hamil/nifas dan pekerja wanita.
Program penanggulangan anemia gizi pada WUS khususnya remaja putri
ditujukan untuk mempersiapkan kondisi fisik wanita sehingga tidak menurunkan
prestasi belajar dan olah raga, kemampuan fisik meningkat, produktifitas kerja
meningkat serta mempersiapkan menjadi ibu yang sehat. Pelaksanaan Program
Penanggulangan Anemia Gizi berlandaskan pada kemitraan dan pendekatan
keluarga, yang berarti penanggulangan anemia gizi harus merupakan upaya dari
berbagai sektor terkait dan swasta serta kelompok masyarakat dengan pendekatan
pemberdayaan keluarga.
Pelaksanaannya
dilakukan dalam bentuk kerjasama
saling menguntungkan terbuka dan setara guna meningkatkan status kesehatan
Remaja putri melalui kemitraan, mobilisasi potensi dan pemberdayaan keluarga.
(Depkes RI,2008).
Strategi operasional penanggulangan anemia gizi pada remaja putri
dijabarkan dalam 2 kegiatan pokok (Depkes RI,,2008).
a. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
Kegiatan KIE seperti penyuluhan, konseling, promosi, kampanye dan lainnya
tentang anemia dan TTD merupakan kegiatan yang sangat penting dalam
rangka meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga tentang
kesehatan dan gizi khusunya bagi remaja putri.
Promosi juga dilakukan untuk meningkaktan konsumsi keluarga
dalam
konsumsi sumber-sumber zat besi dari hewan, sayuran dan buah-buahan yang
46
banyak mengandung vitamin C untuk meningkatkan daya serap besi terurama
yang dari sumber nabati.
b. Suplementasi Tablet Tambah Darah (TTD)
Tablet tambah darah (TTD) adalah suplemen zat gizi yang mengandung 60
mg besi elemental dan 0,5 mg asam folat (sesuai rekomendasi WHO). TTD
bila diminum secara teratur dan sesuai aturan dapat mencegah dan
menanggulangi anemia gizi.
Bagi remaja putri dianjurkan minum TTD
secara rutin dengan dosis 1 tablet setiap minggu dan 1 tablet setiap hari pada
masa haid.
2.7 Pengetahuan Tentang Anemia
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui
pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa
dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo,2007).
Pengetahuan tersebut sangat erat dipengaruhi oleh faktor pendidikan
seseorang, dimana dengan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
diharapkan semakin luas juga pengetahuannya. Tetapi perlu ditekankan bahwa
orang yang berpendidikan rendah mutlak mempunyai pengetahuan yang rendah
pula, hal ini disebabkan karena pengetahuan seseorang tidak hanya dipengaruhi
oleh pendidikan saja tetapi masih banyak faktor yang dapat mempengaruhinya.
(Wawan dan Dewi,2010).
47
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
terbentuknya tindakan seseorang (ovent behavior). Dalam berbagai penelitian
ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmojo,2003)
Menurut Notoatmodjo (2007), berbagai
faktor dapat
mempengaruhi
pengetahuan seseorang.
1) Sosial ekonomi
Lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan seseorang,
sedangkan
ekonomi dikaitkan dengan pendidikan dan pendapatan,
ekonomi baik tingkat pendidikan akan tinggi sehingga tingkat pengetahuan
akan tinggi juga, serta ketersediaan akan bahan makanan dalam keluarga.
2) Kultur (budaya, agama)
Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang,
karena informasi yang baru akan disaring kira-kira sesuai tidak dengan
budaya yang ada dan agama yang dianut. Dalam hal ini budaya akan
mempengaruhi kebiasaan seseorang dalam melakukan suatu tindakan baik
untuk dirinya maupun keluarganya, sehingga kebiasaan keluarga seperti
perilaku makan dan hal-hal tabu lainnya.
3) Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan maka ia akan mudah menerima hal-hal baru
dan mudah menyesuaikan dengan hal yang baru tersebut. Tetapi tidak
menjamin bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang tidak akan mutlak
48
berpengaruh terhadap perilakunya. Akan lebih banyak faktor lain seperti
sosial ekonomi, budaya serta lingkungan sekitar.
4) Pengalaman
Berkaitan dengan umur dan pendidikan individu, bahwa pendidikan yang
tinggi maka pengalaman akan luas, sedangkan semakin tua umur
seseorang maka pengalaman akan semakin banyak. Sehingga seseorang
akan dapat menentukan sikap dalam hal perilaku seperti perilaku
makannya .
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa
perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo,2003).
Pengetahuan
(Notoatmodjo,2003), merupakan resultan dari akibat proses
penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan tersebut sebagian besar berasal dari
penglihatan dan pendengaran individu. Pengukuran pengetahuan pada umumnya
dilakukan melalui tes wawancara dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner
yang berisi materi pertanyaan yang ingin diukur dari responden.
Menurut Sukmadinata (2003), faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang
digolongkan menjadi dua faktor yaitu internal dan eksternal. Faktor internal meliputi
jasmanai dan rohani, sedangkan faktor eksternal meliputi pendidikan, paparan media
massa, hubungan sosial dan pengalaman.
Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan sikap
seseorang, karena pengetahuan dapat menimbulkan perubahan persepsi dan kebiasaan
masyarakat. Pengetahuan yang meningkat dapat mengubah persepsi masyarakat
49
tentang penyakit. meningkatnya pengetahuan juga dapat mengubah kebiasaan
masyarakat dari yang positif menjadi yang lebih positif, selain itu pengetahuan juga
membentuk kepercayaan (Notoatmodjo,2007).
2.8
Sikap Dalam Pencegahan Anemia
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau obyek (Notoatmojo,2007). Menurut Azwar (2009),
faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap seseorang meliputi ; pengalaman
pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, institusi/lembaga
pendidikan dan agama serta faktor emosi dalam diri individu.
1) Pengalaman pribadi
Sesuatu yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan
mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan
menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai
tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang
berkaitan dengan objek psikologis.
2) Kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan sikap kita. Apabila kita hidup dalam budaya yang
mempunyai norma longgar bagi pergaulan heteroseksual, perilaku makan
yang kurang baik, serta budaya yang buruk sangat mungkin kita akan
mempunyai sikap yang menyimpang dari ketentuan yang ada. Apabila kita
hidup dalam budaya sosial yang sangat mengutamakan kehidupan
50
berkelompok, maka sangat mungkin kita akan mempunyai sikap negatif
terhadap kehidupan individualisme yang mengutamakan kepentingan
perorangan.
3) Orang lain yang dianggap penting
Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial
yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap penting,
sesorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak dan tingkah
dan pendapat kita, seseorang yang tidak ingin kita kecewakan atau
seseorang yang berarti khusus bagi kita, akan banyak
mempengaruhi
pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Diantara orang yang biasanya
dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang yang satatus
sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, istri
atau suami dan lain-lain. Faktor tersebut akan mempengaruhi pola hidup
mereka yang cenderung mengarah kepada perilaku atau sikap dimana
seseorang tinggal.
4) Media massa
Media massa sebagai sarana komunikasi. Berbagai bentuk media massa
seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dll, mempunyai pengaruh besar
dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Penyampaian informasi
sebagai tugas pokoknya. Media massa membawa pula pesanpesan yang
berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi
baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif
baru bagi
terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Remaja dimana mempunyai sikap
51
yang masih labil dan cenderung mencari identitas diri, media massa akan
sangat berperan utamanya dalam perilaku sehari-hari seperti kebiasaan
makan dan minum (siap saji, dll) serta dalam menyikapi sesuatu akan
cenderung mengacu pada pesan yang disampaikan media massa.
5) Institusi/ lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai
pengaruh dalam pembentukan sikap karena keduanya meletakkan dasar
pengertian dan konsep moral dalam diri ndividu. Pemahaman akan baik-dan
buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh
dilakukan diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaranajarannya.
6) Faktor emosi dalam diri individu
Bentuk sikap tidak semuanya ditentukan oleh situasi lingkungan dan
pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu bentuk sikap
merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai
semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan
ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera
berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap
yang lebih persisten dan bertahan lama.
Selain dari faktor-faktor diatas yang mempengaruhi pembentukan sikap,
menurut Walgito (2003), adalah faktor pengetahuan. Pengetahuan merupakan
hasil dari tahu, dan hal ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap
suatu objek tertentu, individu mempunyai dorongan untuk mengerti, dengan
52
pengalamannya untuk memperoleh pengetahuan. Sikap seseorang terhadap suatu
objek menunjukkan pengetahuan tersebut mengenai objek yang bersangkutan
(Bungin,2001). Sikap yang dimaksud adalah sikap remaja terhadap pencegahan
anemia
. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat dan pernyataan
responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan
pernyataan pernyataan
hipotesis kemudian dinyatakan pendapat responden
melalui kuesioner (Notoadmojo,2003). Kuesioner mengacu pada skala likert
dengan bentuk jawaban pertanyaan atau pernyataan terdiri dari jawaban sangat
setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju (Hidayat,2007). Sikap dapat
bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif (Azwar,2009): 1) Sikap positif
kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek
tertentu, dan 2) Sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi,
menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu.
2.9 Perilaku Makan
Konsep gaya hidup sangat berguna dalam penelitian perilaku makan, jika
digabungkan dengan perbedaan antar budaya dan pendekatan holistik. Gaya hidup
merupakan bagian dari manifestasi budaya, dan budaya merupakan hasil belajar
dari pengalaman sejak lahir sampai meninggal dunia. Terdapat hubungan yag
sangat erat antara individu, keluarga dan masyarakat dalam menentukan pilihan.
Hubungan tersebut dapat tercermin pada gaya hidup (life style). Berbagai faktor
dapat menentukan gaya hidup sesorang. Manifestasi dari gaya hidup seseorang
53
berbentuk segala perilaku dan merupakan bagian dari budaya masyarakat
(Susediaoetama,1996).
Dari kacamata antropologi, gaya hidup merupakan hasil penyaringan dari
serentetan interaksi sosial, budaya dan keadaan.
Beberapa masukan yang
merupakan variabel utama adalah pendapatan, pendidikan, tempat pemukiman,
pertanian, pedesaan, perkotaan dn sebagainya. Masukan struktur lainnya seperti
struktur keluarga, jumlah anggota keluarga, umur, jarak antar anak, jenis kelamin
dan lainnya (Suhardjo,2004).
Pengaruh Global tampak menonjol di kota-kota besar seiring dengan
mengalirnya arus globalisasi termasuk budaya makanan barat mulai diperkenalkan
dan dipasarkan yang ternyata mampu menarik minat banyak orang baik dari anakanak maupun orang dewasa. Kemajuan ekonomi dan teknologi menyebabkan
perubahan gaya hidup, termasuk pola makan yang berdampak pada perubahan
pola penyakit. Gambaran lain menyebutkan bahwa semakin meningkatnya
pendapatan seseorang akan mengubah gaya hidupnya yang kebarat-baratan.
Pandangan seperti ini dapat dijumpai di kota-kota besar yang hamper setiap sudut
banyak dijumpai restaurant fast food, fried chicken, hamburger, pizza dan lainnya.
Restauran ini bukanlah biang keladi sebagai penyebab utama terjadinya
pergeseran tetapi setidaknya menjadi sumber dalam pergeseran pola makan
(Hardinsyah dan Diah K.,2004).
Pola makan masyarakat yang cukup baik yakni tinggi konsumsi serat dan
karbohidrat, kini telah bergeser kearah pola makan yang ala barat tinggi protein
dan lemak. Perubahan gaya hidup dalam hal pola makan terutama dipicu oleh
54
peningkatan pendapatan/ekonomi, kesibukan yang terlalu tinggi dan promosi
makanan ala barat, namun semua itu tidak diimbangi dengan pengetahuan dan
kesadaran tentang gizi yang tinggi pula (Handrawan,1997).
Menurut
Blum, terdapat empat faktor yang mempengaruhi kesehaan ,
antara lain ; lingkungan, perilaku, pelayanaan kesehatan dan keturunan. Diantara
keempat faktor tersebut, bahwa lingkungan mempunyai andil yang paling besar
terhadap status kesehatan seseorang, kemudian berturut-turut
disusul oleh
perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan (Notoatmojo,2007).
Selanjutnya Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku tersebut
dilatarbeakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni ; faktor predisposisi
(predisposing factor), faktor pendukung (enabling factor) dan faktor penguat/
pendorong (reinforcing factor). Oleh karena itu pendidikan kesehatan sebagai
faktor usaha terhadap intervensi perilaku seseorang harus diarahkan pada ketiga
faktor tersebut.
Keturunan
Pelayanan
Kesehatan
Lingkungan
Status Kesehatan
Perilaku makan
1. Pola makan
2. Frekuensi konsumsi
Pangan55
Predisposing factors ;
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Kepercayaan
4. Tradisi dll
Komunikasi
(Penyuluhan)
Enabling Factors
1. Ketersediaan sarana
dan prsarana (air
bersih,
tempat
pembaunagn
sampah,
ketersedaan
makanan, WC, dsb
2. Faslitas kesehatan
Pemberdayaan
Masyarakat
Reinforcing Factors ;
Sikap dan perilaku
tokoh masyarakat,
tokoh
agama,
petugas kesehatan,
Praturan, UU, dll
Training
Promosi
Kesehatan
Gambar 2.1. Hubungan Status Kesehatan, Perilaku dan Pendidikan Kesahatan
(HL.Blum dan Lawrence Green, dalam Notoatmojo,2007).
,
Pada masyarakat perkotaan yang berpenghasilan mapan disinyalir konsumsi
makanan sehari-harinya telalu selera sentries, gengsi sentries dan ekonomi
sentries. Selera sentris adalah gaya konsumsi makanan yang terlalu berorientasi
pada selera, dalam hal ini lokasi tempat makan dan jenis makanan yang
diharapkan menjadi pertimbangan utama, sedangkan keseimbangan gizi kurang
menjadi perhatian (Handrawan,1997).
Menurut Handayani dalam Suhardjo (2004), pola makan adalah suatu sikap
atau tingkah laku seseorang dalam memenuhi kebutuhannya akan makanan
56
meliputi frekuensi, jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi. Pendapat
lain menyatakan pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan
gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap hari
oleh seseorang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakt tertentu.
Metode Pengukuran Asupanan Makanan
Metode pengukuran asupan makanan pada seseorang ada 2 kelompok meliputi
metode kuantitatif yaitu metode recall 24 jam, perkiraan makanan , penimbangan
makanan, metode inventaris dan pencatatan (household food records). Metode
kualitatif meliputi riwayat makan (dietary history), metode telepon, pendaftaran
makanan (food list) dan Food Frequency Questionaire (FFQ). Metode kualitatif
menggambarkan kebiasaan makan seseorang. Pada metode FFQ dapat
ditambahkan porsi makanan untuk menilai energi dan zat-zat gizi lain, maka
metode ini menjadi Semi-Quantitative FFQ (Gibson,2005).
Seringkali
FFQ dilengkapi dengan ukuran khas setiap porsi dan jenis
makanan untuk memperoleh asupan gizi secara relatif atau mutlak. Karena itu
FFQ tidak jarang ditulis sebagai riwayat pangan semi kuantitatif (semi
quantitative food history). Asupan zat gizi secara keseluruhan diperoleh dengan
jalan menjumlahkan kandungan zat gizi masing-masing pangan. Sebagian FFQ
justru memasukkan pertanyaan tentang bagaimana makanan biasanya diolah,
penggunaan makanan suplemen serta makanan bermerek lainnya (Arisman,
2004).
Dengan menggunakan metode frekuensi makanan maka dapat diperoleh
gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif, tapi karena periode
57
pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan individu berdasarkan rangking
tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering digunakan dalam
epidemiologi gizi (Supariasa,2002).
2.10 Karakteristik Perkotaan dan Pedesaan
2.10.1 Perkotaan
Masyarakat perkotaan sering disebut dengan urban community. Pengertian
masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupannya serta ciri-ciri
kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Beberapa ciri yang
menonjol dapat membedakan masyarakat di perkotaaan (Abu, Ahmadi,1990),
yang diacu dalam BPS,2000).
a. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan
keagamaan di desa
b. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus
bergantung pada orang lain, yang terpenting disini adalah manusia
perorangan atau individu.
c. Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan
mempunyai batas-batas yang nyata.
d. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih
banyak diperoleh warga kota dari pada warga desa.
e. Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan,
menyebabkan interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor
kepentingan dari pada faktor pribadi.
58
f. Jalan kehidupan yang cepat di kota-kota melibatkan pentingnya faktor
waktu bagi warga kota.
g. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab
biasanya sangat terbuka dalam menerima pengaruh dari kota.
Menurut Prof. Drs R. Bintarto, perkotaan merupakan suatu sistem jaringan
kehidupan manusia
dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial
ekonomi yang heterogen dan corak kehidupan yang materialistik (suarakomunitas
online,2008). .
2.10.2 Pedesaan
Desa menurut UU Nomor 5 tahun 1979
adalah suatu wilayah yang
ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di
dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan
terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah
tangganya
sendiri
dalam
ikatan
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
(suarakomunitas online,2008).
Menurut Prof. Drs R. Bintarto , Desa merupakan perwujudan atau kesatuan
geografi, sosial, ekonomi, politik dan cultural yang terdapat di suatu daerah dalam
hubungannya dan pengaruhnya secara timbal
balik dengan daerah lainnya.
Menurut Sutardjo Kartohadikusuma, Desa merupakan suatu kesatuan hukum
dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan sendiri (Abu
Ahmadi,1990 yang diacu dalam BPS,2000).
Desa (Paul H.Landis) adalah penduduk kurang dari 2500 jiwa dengan ciriciri yang mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal, ada pertalian perasaan
59
yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan, cara berusaha berupa agraris.
Pedesaan juga memiliki beberapa ciri-ciri yang menonjol.
a. Di dalam masyarakat pedesaan diantara warganya mempunyai hubungan yang
lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan
lainnya diluar batas-batas wiayahnya.
b. Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan
c. Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian
d. Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian agama adat
istiadat dan lain-lain.
2.10.3 Klasifikasi Perkotaan dan Pedesaan
Penggolongan desa sampai saat ini masih berdasarkan kriteria tahun 1980.
Mulai tahun 2000 desa digolongkan menjadi 4 (empat) golongan (BPS,2000).
a. Perkotaan besar
b. Perkotaan sedang
c. Perkotaan kecil, dan
d. Pedesaan
Penentuan klasifikasi wilayah perkotaan dan perdesaan didasarkan pada
skor variabel yang telah ditentukan.
Terdapat 5 (lima)
pengklasifikasian penggolongan kota dan desa (BPS,2000).
a. Kepadatan penduduk dalam kilometer persegi (Km2)
b. Prosentase rumah tangga (RT) pertanian
c. Prosentase rumah tangga dengan listrik
d. Prosentase rumah tangga dengan telepon
60
variabel dalam
e. Akses fasilitas utama perkotaan, antara lain ; ada tidaknya sekolah taman
kanak-kanak (TK), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah
atas (SMA), pasar dengan bangunan permanen/semi permanen, gedung
bioskop, kelompok pertokoan, rumah sakit (RS) dan hotel, bilyard, Pub,
diskotek, karaoke,panti pijat, salon.
61
Download