Obstructive Sleep Apnea dan Penyakit Kardiovaskuler

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Obstructive Sleep Apnea dan Penyakit Kardiovaskuler
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2. Patofisiologi OSA terhadap CVD. PNA = Parasympathetic Nervous System Activity. PO2 = Partial
Pressure of Oxygen. PCO2 = Partial Pressure of Carbon Dioxide. SNA = Sympathetic Nervous System Activity. HR =
Heart Rate. BP = Blood Pressure. LV = Left Ventricular. (Lancet 2009; 373: 82–93
Sidhi Laksono Purwowiyoto
Obstructive sleep apnoea
Department of Emergency Medicine and Critical Care, Matak Field Hospital, Matak, Kepulauan Riau, Indonesia
PENDAHULUAN
Tidur merupakan proses fisiologis yang kompleks dan dinamis, hampir sepertiga masa hidup
kita dihabiskan dengan kondisi ini.1 Akan tetapi,
kondisi fisiologis ini dapat terganggu dengan
adanya obstructive sleep apnea (OSA), yang
bermanifestasi pada penyakit kardiovaskuler
(Cardiovascular disease, CVD).2
OSA merupakan salah satu kondisi medis terpenting yang ditemukan sejak 50 tahun yang
lalu, menjadi penyebab terbesar morbiditas dan
mortalitas di seluruh dunia, serta lebih sering
ditemukannya keadaan tertidur di sepanjang
waktu ketika orang normal seharusnya tidak
tertidur pada waktu tersebut.3
OSA memicu efek fisiologis, baik akut maupun
kronik, pada sistem kardiovaskuler.Terdapat bukti
nyata yang menunjukkan bahwa OSA secara
independen berhubungan klinis dengan CVD.4
Artikel ini akan membahas secara singkat akibat
OSA terhadap sistem kardiovaskuler, cara mendiagnosisnya dan cara mengatasinya.
FISIOLOGI TIDUR NORMAL
REM (Rapid Eye Movement) merupakan suatu keadaan jeda dengan periode aktivitas autonomik
dan fungsi jantung yang ireguler, terjadi pada
sekitar 25 persen dari periode tidur. Pada REM,
tidak terdapat termoregulasi, aktivitas simpatis
dan frekuensi denyut jantung meningkat, variabilitas menurun, serta tekanan darah meningkat.
NREM (Non Rapid Eye Movement) terjadi pada
sekitar 75 persen dari periode tidur, dibagi dalam
empat fase; kontras dengan REM, terdapat
aktivitas autonomik dan regulasi jantung yang
stabil. Simpatis menurun, predominasi parasimpatis, penurunan nilai ambang batas baroreseptor, begitu juga dengan frekuensi denyut
jantung, tekanan darah, curah jantung dan
tahanan vaskuler sistemik.4,5
DEFINISI
OSA adalah keadaan hilangnya tonus muskulus
dilator faring pada saat tidur, yang menyebabkan
kolaps faring rekuren dan henti napas sementara
(apnea).
C DK 1 8 4 / Vo l. 38 no. 3/A p r i l 2011
Obstructive apnea merupakan suatu ketidakadaan aliran udara selama paling tidak 10 detik
dengan usaha ventilasi yang aktif (ditandai dengan
pergerakan torakoabdominal).
Obstructive hypopnea adalah penurunan lebih
dari 50% pergerakan torakoabdominal selama
paling sedikit 10 detik, dihubungkan dengan
penurunan 4% saturasi oksigen.
AHI (Apnea-Hypopnea Index) ialah rerata kejadian
apnea dan hypopnea selama satu jam tidur, hal ini
menjadi salah satu acuan tingkat keparahan OSA.
Seseorang dikatakan terkena OSA, jika skor AHI
5 atau lebih, dan tingkat yang parah jika skor
AHI 30 atau lebih.5,6,7,8
POLYSOMNOGRAPHY
Polysomnography merupakan tes baku emas
untuk mendiagnosis sleep-disordered breathing, termasuk OSA. Secara umum, tes ini dilakukan selama tidur malam hari dan dapat diulang
pada malam berikutnya sesuai indikasi.40
Polysomnography terdiri dari pemeriksaan kontinu selama tidur dengan rekaman EEG, okulogram, elektromiogram submental dan tibial, EKG,
nasooral air flow, saturasi oksigen perifer serta pergerakan dinding torakoabdominal dan abdomen.41
Alat ini dapat menyediakan informasi komprehensif mengenai efisiensi tidur, arsitektur tidur,
arousal dan penyebabnya, kejadian gangguan
nafas, perubahan saturasi oksigen, serta aritmia
jantung selama periode tidur40,41 (gambar 1).
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, prevalensi OSA (AHI ≥ 5) pada
orang dewasa kulit putih dengan usia 30 - 60
tahun sekitar 24% laki-laki dan 9% perempuan,
sedangkan AHI ≥ 15 sekitar 9% laki-laki dan 4%
perempuan.9
Di Eropa, usia 30 - 70 tahun dengan AHI ≥ 5 didapatkan 26% laki-laki dan 28% perempuan,
sedangkan AHI ≥ 15 sekitar 14% laki-laki dan
7% perempuan.10
Di Hong Kong, prevalensi usia 30 - 60 tahun
dengan AHI ≥ 5 sebesar 9% dan 4%, serta AHI ≥
15 sebesar 5% dan 3%.11
FAKTOR RISIKO
OSA dua sampai tiga kali lebih sering terjadi
pada laki-laki usia 30 - 64 tahun atau lebih.12
Risiko juga meningkat pada orang-orang yang
memiliki indeks massa tubuh yang besar; peningkatan 10% berat badan akan meningkatkan 6 kali lipat risiko OSA.13 Akumulasi lemak di
leher akibat obesitas menyebabkan penekanan
lumen faring, yang akhirnya kolaps selama tidur.14
OSA juga dapat terjadi pada individu berat
badan normal dengan faktor risiko lain berupa
makroglossia, hipertrofi adenotonsiler14, anomali
struktur kraniofasial (retognatia)15, obstruksi nasal
dan merokok12; juga mungkin ada faktor herediter yang tidak diketahui16.
Gambar 1. Rekaman polysomnography terdiri elektrookulogram (EOG), elektroensefalogram (EEG), elektromiogram (EMG), elektrokardiogram (EKG), sympathetic
nervous system activity (SNA), respirasi (RESP) dan tekanan
darah (BP) selama tidur periode REM pada pasien OSA.
BP meningkat pada akhir periode apnea, mencapai puncak selama arousal (sebagai indikasi adanya peningkatan
tonus muskulus; lihat tanda panah). (Intern Med J 2004;
34: 420-426)
OSA dan Penyakit Kardiovaskuler
Selama tidur fase NREM, laju metabolisme, aktivitas saraf simpatis, tekanan darah dan heart
rate semuanya menurun, sedangkan tonus vagal
kardiak meningkat.17
OSA mengganggu aktivitas jantung selama
tidur, dengan cara memacu suatu jalur hemodinamik, fungsi autonom, efek kimiawi, inflamasi
dan metabolik yang (jika berlangsung kronik)
dapat berisiko kardiovaskuler5 (gambar 2).
199
PNA
HR
Arousal
PO2 PCO2
SNA
Catechols
Myocardial
BP
• Hypertension
• Atherosderosis
• Myocardial Ischaemia
• LV hypertrophy and failure
• Cardiac arrhythmias
• Cerebrovascular disease
O2 delivery
Siklus hipoksia dan retensi karbondioksida akibat
OSA akan menimbulkan efek terhadap parasimpatis dan simpatis kardiak sehingga berpengaruh terhadap heart rate. Ketika parasimpatis dominan, heart rate menjadi lambat.
Sebaliknya jika simpatis dominan, heart rate
akan meningkat.18
Gejala hipoksia akibat apnea dan retensi karbondioksida yang berulang selama tidur, mengakibatkan usaha bernafas menjadi tidak efektif
dan terbentuk tekanan intrathorakal negatif.
Hal tersebut menyebabkan peningkatan perbedaan tekanan intrakardiak dengan ekstrakardiak, meningkatkan tekanan transmural
ventrikel kiri.19
Tekanan intrathorakal yang negatif mengakibatkan aliran balik ke thorak meningkat, preload
ventrikel kanan juga meningkat, sedang hipoksia
akibat apnea menyebabkan vasokonstriksi pulmoner dan peningkatan afterload ventrikel kanan.20
Keadaan ini menghasilkan distensi ventrikel kanan,
dengan hasil akhir gangguan pengisian ventrikel
kiri dan penurunan stroke volume.17,19
Hipoksia yang terjadi selama OSA secara langsung mengakibatkan gangguan kontraktilitas
kardiak dan relaksasi diastolik.19 Siklus hipoksia
dan retensi karbondioksida tersebut berpengaruh terhadap saraf simpatis, terjadilah vasokonstriksi perifer, meningkatkan afterload dan peningkatan tekanan darah.19,20
200
Intrathoracic pressure
• Oxidative stress
• Inflammation
• Endothelial dysfunction
LV wall tension
Cardiac O2 demand
Ketika terminasi apnea, asfiksia memicu terjadinya usaha bangun dari tidur (arousal) yang
meningkatkan aktivitas simpatis dan menekan
tonus vagal (meningkatkan tekanan darah dan
heart rate).20,21 Efek akut ini dipertahankan selama
keadaan bangun penuh, dengan peningkatan
tekanan darah dan gangguan vagal (variabilitas
heart rate).22
Lekosit yang teraktivasi memiliki peran penting
pada respon inflamasi endotel vaskuler terhadap
kerusakan seluler akibat hipoksia atau reoksigenasi. Hal ini, mungkin akan mengubah reaktivitas endotel dan menyebabkan proses aterogenesis. Namun, belum terdapat bukti yang
nyata OSA menyebabkan aterosklerosis secara
langsung.23
Pasien OSA juga menunjukkan peningkatan
stres oksidatif (reactive oxygen spesies pada monosit23 dan neutrofil24). Peningkatan stres oksidatif dihubungkan dengan peningkatan molekul
adhesi, seperti ICAM-1 (Intracellular Adhesion
Molecule-1), VCAM-1 (Vascular Cell Adhesion
Molecule-1) dan E-selectin.23,24,32
Mediator inflamasi seperti CRP (C- Reactive Protein), begitu juga dengan stres oksidatif mempunyai peran penting dalam proses aterogenesis dan pembentukan trombus arteri.25
Hipoksia intermiten dapat memicu produksi
radikal bebas oksigen23-24, aktivasi jalur inflamasi
yang menggangu fungsi endotel vaskuler26-28
dan peningkatan tekanan darah secara tidak
langsung akibat aktivitas simpatis tersebut.29
Pasien dengan OSA memiliki konsentrasi plasma
nitrit yang rendah, menunjukkan bioavaibilitas
nitric oxide yang rendah juga. Didapatkan
peningkatan ekspresi molekul adhesi monosit
CD15 dan CD11c, serta monosit pasien OSA
memiliki adhesi yang lebih tinggi dibandingkan orang normal.30
OSA juga mengakibatkan oksidasi lipoprotein,
peningkatan ekspresi molekul adhesi, perlekatan monosit pada endotel vaskuler dan proliferasi otot polos vaskuler.31-33 Efek-efek ini, ditambah dengan aktivitas vasokonstriksi simpatis dan inflamasi, dapat mengakibatkan hipertensi
dan aterosklerosis.34
Mekanisme fisiologi akut maupun kronis yang
terjadi selama OSA berupa : aktivasi simpatis,
peningkatan stres dinding ventrikel kiri, peningkatan afterload, disfungsi diastolik akut, left
atrial stretch, pembesaran atrium kiri, resistensi
insulin, hiperleptinemia, hiperkoagulabilitas, inflamasi sistemik, stres oksidatif maupun disfungsi
endotel dapat berkaitan dengan risiko beberapa
penyakit kardiovaskuler; di antaranya, hipertensi, disfungsi diastolik dan sistolik, sinus pause
atau arrest, AV block, atrial fibrillation, ventricular
ectopic, nocturnal angina, CAD (coronary artery
disease), penyakit serebrovaskuler, maupun
sudden cardiac death.35-39
Terapi OSA
Terapi positive airway pressure (PAP) efektif
mengatasi obstruksi jalan nafas, mencegah
kolaps dan apnea. Dapat diaplikasikan melalui
masker naso-oral, nasal, maupun nasal pillow.
Dasar terapi ini adalah penggunaan kontinu.
Mesin PAP autotitrasi dan bilevel digunakan
pasien OSA yang tidak toleran dengan terapi
standar PAP kontinu.
Keuntungan terapi kardiovaskuler ini yaitu
hilangnya keadaan hipoksemia nokturnal, penurunan aktivitas simpatis, penurunan signifikan
tekanan darah selama tidur42, mengurangi kejadian iskemik miokard nokturnal atau angina,
perbaikan fungsi sistolik ventrikel kiri, peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri dengan hasil
akhir perbaikan status fungsional43, serta mengurangi risiko stroke dan kematian44.
C D K 1 8 4 / V o l . 3 8 n o . 3 / Ap r il 2 0 1 1
TINJAUAN PUSTAKA
Obstructive Sleep Apnea dan Penyakit Kardiovaskuler
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2. Patofisiologi OSA terhadap CVD. PNA = Parasympathetic Nervous System Activity. PO2 = Partial
Pressure of Oxygen. PCO2 = Partial Pressure of Carbon Dioxide. SNA = Sympathetic Nervous System Activity. HR =
Heart Rate. BP = Blood Pressure. LV = Left Ventricular. (Lancet 2009; 373: 82–93
Sidhi Laksono Purwowiyoto
Obstructive sleep apnoea
Department of Emergency Medicine and Critical Care, Matak Field Hospital, Matak, Kepulauan Riau, Indonesia
PENDAHULUAN
Tidur merupakan proses fisiologis yang kompleks dan dinamis, hampir sepertiga masa hidup
kita dihabiskan dengan kondisi ini.1 Akan tetapi,
kondisi fisiologis ini dapat terganggu dengan
adanya obstructive sleep apnea (OSA), yang
bermanifestasi pada penyakit kardiovaskuler
(Cardiovascular disease, CVD).2
OSA merupakan salah satu kondisi medis terpenting yang ditemukan sejak 50 tahun yang
lalu, menjadi penyebab terbesar morbiditas dan
mortalitas di seluruh dunia, serta lebih sering
ditemukannya keadaan tertidur di sepanjang
waktu ketika orang normal seharusnya tidak
tertidur pada waktu tersebut.3
OSA memicu efek fisiologis, baik akut maupun
kronik, pada sistem kardiovaskuler.Terdapat bukti
nyata yang menunjukkan bahwa OSA secara
independen berhubungan klinis dengan CVD.4
Artikel ini akan membahas secara singkat akibat
OSA terhadap sistem kardiovaskuler, cara mendiagnosisnya dan cara mengatasinya.
FISIOLOGI TIDUR NORMAL
REM (Rapid Eye Movement) merupakan suatu keadaan jeda dengan periode aktivitas autonomik
dan fungsi jantung yang ireguler, terjadi pada
sekitar 25 persen dari periode tidur. Pada REM,
tidak terdapat termoregulasi, aktivitas simpatis
dan frekuensi denyut jantung meningkat, variabilitas menurun, serta tekanan darah meningkat.
NREM (Non Rapid Eye Movement) terjadi pada
sekitar 75 persen dari periode tidur, dibagi dalam
empat fase; kontras dengan REM, terdapat
aktivitas autonomik dan regulasi jantung yang
stabil. Simpatis menurun, predominasi parasimpatis, penurunan nilai ambang batas baroreseptor, begitu juga dengan frekuensi denyut
jantung, tekanan darah, curah jantung dan
tahanan vaskuler sistemik.4,5
DEFINISI
OSA adalah keadaan hilangnya tonus muskulus
dilator faring pada saat tidur, yang menyebabkan
kolaps faring rekuren dan henti napas sementara
(apnea).
C DK 1 8 4 / Vo l. 38 no. 3/A p r i l 2011
Obstructive apnea merupakan suatu ketidakadaan aliran udara selama paling tidak 10 detik
dengan usaha ventilasi yang aktif (ditandai dengan
pergerakan torakoabdominal).
Obstructive hypopnea adalah penurunan lebih
dari 50% pergerakan torakoabdominal selama
paling sedikit 10 detik, dihubungkan dengan
penurunan 4% saturasi oksigen.
AHI (Apnea-Hypopnea Index) ialah rerata kejadian
apnea dan hypopnea selama satu jam tidur, hal ini
menjadi salah satu acuan tingkat keparahan OSA.
Seseorang dikatakan terkena OSA, jika skor AHI
5 atau lebih, dan tingkat yang parah jika skor
AHI 30 atau lebih.5,6,7,8
POLYSOMNOGRAPHY
Polysomnography merupakan tes baku emas
untuk mendiagnosis sleep-disordered breathing, termasuk OSA. Secara umum, tes ini dilakukan selama tidur malam hari dan dapat diulang
pada malam berikutnya sesuai indikasi.40
Polysomnography terdiri dari pemeriksaan kontinu selama tidur dengan rekaman EEG, okulogram, elektromiogram submental dan tibial, EKG,
nasooral air flow, saturasi oksigen perifer serta pergerakan dinding torakoabdominal dan abdomen.41
Alat ini dapat menyediakan informasi komprehensif mengenai efisiensi tidur, arsitektur tidur,
arousal dan penyebabnya, kejadian gangguan
nafas, perubahan saturasi oksigen, serta aritmia
jantung selama periode tidur40,41 (gambar 1).
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, prevalensi OSA (AHI ≥ 5) pada
orang dewasa kulit putih dengan usia 30 - 60
tahun sekitar 24% laki-laki dan 9% perempuan,
sedangkan AHI ≥ 15 sekitar 9% laki-laki dan 4%
perempuan.9
Di Eropa, usia 30 - 70 tahun dengan AHI ≥ 5 didapatkan 26% laki-laki dan 28% perempuan,
sedangkan AHI ≥ 15 sekitar 14% laki-laki dan
7% perempuan.10
Di Hong Kong, prevalensi usia 30 - 60 tahun
dengan AHI ≥ 5 sebesar 9% dan 4%, serta AHI ≥
15 sebesar 5% dan 3%.11
FAKTOR RISIKO
OSA dua sampai tiga kali lebih sering terjadi
pada laki-laki usia 30 - 64 tahun atau lebih.12
Risiko juga meningkat pada orang-orang yang
memiliki indeks massa tubuh yang besar; peningkatan 10% berat badan akan meningkatkan 6 kali lipat risiko OSA.13 Akumulasi lemak di
leher akibat obesitas menyebabkan penekanan
lumen faring, yang akhirnya kolaps selama tidur.14
OSA juga dapat terjadi pada individu berat
badan normal dengan faktor risiko lain berupa
makroglossia, hipertrofi adenotonsiler14, anomali
struktur kraniofasial (retognatia)15, obstruksi nasal
dan merokok12; juga mungkin ada faktor herediter yang tidak diketahui16.
Gambar 1. Rekaman polysomnography terdiri elektrookulogram (EOG), elektroensefalogram (EEG), elektromiogram (EMG), elektrokardiogram (EKG), sympathetic
nervous system activity (SNA), respirasi (RESP) dan tekanan
darah (BP) selama tidur periode REM pada pasien OSA.
BP meningkat pada akhir periode apnea, mencapai puncak selama arousal (sebagai indikasi adanya peningkatan
tonus muskulus; lihat tanda panah). (Intern Med J 2004;
34: 420-426)
OSA dan Penyakit Kardiovaskuler
Selama tidur fase NREM, laju metabolisme, aktivitas saraf simpatis, tekanan darah dan heart
rate semuanya menurun, sedangkan tonus vagal
kardiak meningkat.17
OSA mengganggu aktivitas jantung selama
tidur, dengan cara memacu suatu jalur hemodinamik, fungsi autonom, efek kimiawi, inflamasi
dan metabolik yang (jika berlangsung kronik)
dapat berisiko kardiovaskuler5 (gambar 2).
199
PNA
HR
Arousal
PO2 PCO2
SNA
Catechols
Myocardial
BP
• Hypertension
• Atherosderosis
• Myocardial Ischaemia
• LV hypertrophy and failure
• Cardiac arrhythmias
• Cerebrovascular disease
O2 delivery
Siklus hipoksia dan retensi karbondioksida akibat
OSA akan menimbulkan efek terhadap parasimpatis dan simpatis kardiak sehingga berpengaruh terhadap heart rate. Ketika parasimpatis dominan, heart rate menjadi lambat.
Sebaliknya jika simpatis dominan, heart rate
akan meningkat.18
Gejala hipoksia akibat apnea dan retensi karbondioksida yang berulang selama tidur, mengakibatkan usaha bernafas menjadi tidak efektif
dan terbentuk tekanan intrathorakal negatif.
Hal tersebut menyebabkan peningkatan perbedaan tekanan intrakardiak dengan ekstrakardiak, meningkatkan tekanan transmural
ventrikel kiri.19
Tekanan intrathorakal yang negatif mengakibatkan aliran balik ke thorak meningkat, preload
ventrikel kanan juga meningkat, sedang hipoksia
akibat apnea menyebabkan vasokonstriksi pulmoner dan peningkatan afterload ventrikel kanan.20
Keadaan ini menghasilkan distensi ventrikel kanan,
dengan hasil akhir gangguan pengisian ventrikel
kiri dan penurunan stroke volume.17,19
Hipoksia yang terjadi selama OSA secara langsung mengakibatkan gangguan kontraktilitas
kardiak dan relaksasi diastolik.19 Siklus hipoksia
dan retensi karbondioksida tersebut berpengaruh terhadap saraf simpatis, terjadilah vasokonstriksi perifer, meningkatkan afterload dan peningkatan tekanan darah.19,20
200
Intrathoracic pressure
• Oxidative stress
• Inflammation
• Endothelial dysfunction
LV wall tension
Cardiac O2 demand
Ketika terminasi apnea, asfiksia memicu terjadinya usaha bangun dari tidur (arousal) yang
meningkatkan aktivitas simpatis dan menekan
tonus vagal (meningkatkan tekanan darah dan
heart rate).20,21 Efek akut ini dipertahankan selama
keadaan bangun penuh, dengan peningkatan
tekanan darah dan gangguan vagal (variabilitas
heart rate).22
Lekosit yang teraktivasi memiliki peran penting
pada respon inflamasi endotel vaskuler terhadap
kerusakan seluler akibat hipoksia atau reoksigenasi. Hal ini, mungkin akan mengubah reaktivitas endotel dan menyebabkan proses aterogenesis. Namun, belum terdapat bukti yang
nyata OSA menyebabkan aterosklerosis secara
langsung.23
Pasien OSA juga menunjukkan peningkatan
stres oksidatif (reactive oxygen spesies pada monosit23 dan neutrofil24). Peningkatan stres oksidatif dihubungkan dengan peningkatan molekul
adhesi, seperti ICAM-1 (Intracellular Adhesion
Molecule-1), VCAM-1 (Vascular Cell Adhesion
Molecule-1) dan E-selectin.23,24,32
Mediator inflamasi seperti CRP (C- Reactive Protein), begitu juga dengan stres oksidatif mempunyai peran penting dalam proses aterogenesis dan pembentukan trombus arteri.25
Hipoksia intermiten dapat memicu produksi
radikal bebas oksigen23-24, aktivasi jalur inflamasi
yang menggangu fungsi endotel vaskuler26-28
dan peningkatan tekanan darah secara tidak
langsung akibat aktivitas simpatis tersebut.29
Pasien dengan OSA memiliki konsentrasi plasma
nitrit yang rendah, menunjukkan bioavaibilitas
nitric oxide yang rendah juga. Didapatkan
peningkatan ekspresi molekul adhesi monosit
CD15 dan CD11c, serta monosit pasien OSA
memiliki adhesi yang lebih tinggi dibandingkan orang normal.30
OSA juga mengakibatkan oksidasi lipoprotein,
peningkatan ekspresi molekul adhesi, perlekatan monosit pada endotel vaskuler dan proliferasi otot polos vaskuler.31-33 Efek-efek ini, ditambah dengan aktivitas vasokonstriksi simpatis dan inflamasi, dapat mengakibatkan hipertensi
dan aterosklerosis.34
Mekanisme fisiologi akut maupun kronis yang
terjadi selama OSA berupa : aktivasi simpatis,
peningkatan stres dinding ventrikel kiri, peningkatan afterload, disfungsi diastolik akut, left
atrial stretch, pembesaran atrium kiri, resistensi
insulin, hiperleptinemia, hiperkoagulabilitas, inflamasi sistemik, stres oksidatif maupun disfungsi
endotel dapat berkaitan dengan risiko beberapa
penyakit kardiovaskuler; di antaranya, hipertensi, disfungsi diastolik dan sistolik, sinus pause
atau arrest, AV block, atrial fibrillation, ventricular
ectopic, nocturnal angina, CAD (coronary artery
disease), penyakit serebrovaskuler, maupun
sudden cardiac death.35-39
Terapi OSA
Terapi positive airway pressure (PAP) efektif
mengatasi obstruksi jalan nafas, mencegah
kolaps dan apnea. Dapat diaplikasikan melalui
masker naso-oral, nasal, maupun nasal pillow.
Dasar terapi ini adalah penggunaan kontinu.
Mesin PAP autotitrasi dan bilevel digunakan
pasien OSA yang tidak toleran dengan terapi
standar PAP kontinu.
Keuntungan terapi kardiovaskuler ini yaitu
hilangnya keadaan hipoksemia nokturnal, penurunan aktivitas simpatis, penurunan signifikan
tekanan darah selama tidur42, mengurangi kejadian iskemik miokard nokturnal atau angina,
perbaikan fungsi sistolik ventrikel kiri, peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri dengan hasil
akhir perbaikan status fungsional43, serta mengurangi risiko stroke dan kematian44.
C D K 1 8 4 / V o l . 3 8 n o . 3 / Ap r il 2 0 1 1
TINJAUAN PUSTAKA
Penutup
OSA merupakan penyakit gangguan tidur akibat
obstruksi oleh sebab yang multipel.
Gangguan ini merupakan faktor risiko CVD
(hipertensi, infark miokard, gagal jantung, gangguan irama jantung, maupun kematian jantung
mendadak) akibat proses fisiologi akut maupun kronis pada sistem kardiovaskuler.
Alat polysomnography dapat menegakkan diagnosis pasti OSA, serta untuk terapi PAP akibat
OSA.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kryger MH, Roth T, Dement WC (eds). Principles and
Practice of Sleep Medicine. 4th ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier. 2005.
2. Gami AS, Somers VK. Sleep Apnea and Cardiovascular
Disease. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP (eds).
Braunwald’s Heart Disease A Textbook of Cardiovascular
Medicine. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2008.
pp: 1915-21.
3. Douglas NJ. Sleep Apnea. In: Fauci AS, Braunwald E,
Kasper DL, et al (eds). Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill. 2008.pp:1665-8.
4. Hamilton GS, Solin P, Naughton MT. Obstructive Sleep
Apnoea and Cardiovascular Disease. Intern. Med. J.
2004; 34: 420–6.
5. Bradley TD, Floras JS. Obstructive Sleep Apnoea and its
Cardiovascular Consequences. Lancet 2009; 373: 82–93.
6. Shamsuzzaman AS, Gersh BJ, Somers VK. Obstructive
Sleep Apnea: Implication for Cardiac and Vascular
Disease. JAMA 2003; 290: 1906.
7. Bradley TD, Floras JS. Sleep Apnea and Heart Failure Part I:
Obstructive Sleep Apnea.Circulation 2003; 107:1671-78.
8. Floras JS. Hypertension, Sleep Apnea, and Atherosclerosis.
Hypertension 2009; 53: 1-3.
9. Young T, Shahar E, Nieto FJ, et al. Predictors of Sleep-Disordered Breathing in Community-Dwelling Adults: The
Sleep Heart Health Study. Arch Intern Med 2002; 162:
893-900.
10. Duran J, Esnaola S, Rubio R, Iztueta A. Obstructive Sleep
Apnea-Hypopnea and Related Clinical Features in a
Population-Based Sample of Subject Aged 30 to 70 yr.
Am J Respir Crit Care Med 2001; 163: 685-89.
1. Ip MS, Lam B, Lauder IJ, et al. A Community Study of
Sleep-Disordered Breathing in Middle-Aged Chinese
Men in Hong Kong. Chest 2001; 119:62-9.
12. Young T, Skatrud J, Peppard PE. Risk Factors for Obstructive Sleep Apnea in Adults. JAMA 2004; 291: 2013-16.
13. Peppard PE, Young T, Palta M, Dempsey J, Skatrud J.
Longitudinal Study of Moderate Weight Change and
Sleep-Disordered Breathing. JAMA 2000; 284:3015-21.
14. Ryan CM, Bradley TD. Pathogenesis of Obstructive
Sleep Apnea. J Appl Physiol 2005; 99: 2440-50.
15. Li KK, Kushida C, Powell NB, Riley RW, Guilleminault
C. Obstructive Sleep Apnea Syndrome: A Comparison
Between Far-East Asian and White Men. Laryngoscope
2000; 110: 1689-93.
C DK 1 8 4 / Vo l. 38 no. 3/A p r i l 2011
11. Ip MS, Lam B, Lauder IJ, et al. A Community Study of
Sleep-Disordered Breathing in Middle-Aged Chinese
Men in Hong Kong. Chest 2001; 119:62-9.
12. Young T, Skatrud J, Peppard PE. Risk Factors for Obstructive Sleep Apnea in Adults. JAMA 2004; 291: 2013-16.
13. Peppard PE, Young T, Palta M, Dempsey J, Skatrud J.
Longitudinal Study of Moderate Weight Change and
Sleep-Disordered Breathing. JAMA 2000; 284:3015-21.
14. Ryan CM, Bradley TD. Pathogenesis of Obstructive
Sleep Apnea. J Appl Physiol 2005; 99: 2440-50.
15. Li KK, Kushida C, Powell NB, Riley RW, Guilleminault
C. Obstructive Sleep Apnea Syndrome: A Comparison
Between Far-East Asian and White Men. Laryngoscope
2000; 110: 1689-93.
16. Buxbaum SG, Elston RC, Tishler PV, Redline S. Genetics
of the Apnea Hypopnea Index in Caucasians and African
Americans: I. Segregation Analysis. Genet Epidemiol
2002; 22:243-53.
17. Bradley TD, Floras JS. Pathophysiologic Interactions
between Sleep Apnea And Congestive Heart Failure.
In: Bradley TD, Floras JS, eds. Sleep Apnea: Implication
in Cardiovascular and Cerebrovascular Disease. Lung
Biology in Health and Disease. Vol 146. New York, NY:
Marcel Dekker; 2000: 385-414.
18. Bradley TD, Tkacova R, Hall MJ, et al. Augmented
Sympathetic Neural Response to Stimulated Obstructive
Apnea in Human Heart Failure. Clin Sci 2003; 104: 231-8.
19. Xie A, Skatrud JB, Puleo DS, Morgan BJ. Exposure to
Hypoxia Produces Long-Lasting Sympathetic Activation
in Humans. J Appl Physiol 2001: 91 (4): 1555-62.
20. Xie A, Skatrud JB, Crabtree DC, Puleo DS, Goodman BM,
Morgan BJ. Neurocirculatory Concequences of Intermittent Asphyxia in Humans. J Appl Physiol 2000; 89
(4): 1333-9.
21. O’Driscoll DM, Kostikas K, Simonds AK, Morrell MJ.
Occlusion of the Upper Airway Does not Augment
the Cardiovascular Response to Arousal from Sleep
in Humans. J Appl Physiol 2005:98 (4): 1349-55.
22. Bradley TD, Hall MJ, Ando S, et al. Hemodynamic Effects
of Stimulated Obstructive Apnea in Humans with and
without Heart Failure. Chest 2001; 119: 1827-35.
23. Lavie P, Lavie L, Dyugovskaya L. Increased Adhesion
Molecules Expression and Production of Reactive
Oxygen Species in Leukocytes of Sleep Apnea Patients.
Am J Respir Crit Care Med 2002; 165: 934-39.
24. Schulz R, Mahmoudi S, Hattar K, et al. Enhanced Release
of Superoxide from Polymorphonuclear Neutrophils
in Obstructive Sleep Apnea. Impact of Continuous
Positive Airway Pressure Therapy. Am J Respir Crit Care
Med 2000; 162: 566-70.
25. Ridker PM, Rifai N. Inflammatory Markers and Coronary
Heart Disease. Curr Opin Lipidol. 2002; 13: 3383-9.
26. Yokoe T, Minoguchi K, Matsuo H, et al. Elevated Level
of C-Reactive Protein and Interleukin-6 in Patients
with Obstructive Sleep Apnea Syndrome are Decreased
by Nasal Continuous Positive Airway Pressure. Circulation 2003; 107: 1129-34.
27. Ryan S, Taylor CT, Mc Nicholas WT. Selective Activation
of Inflammatory Pathways by Intermittent Hypoxia
in Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Circulation
2005; 112: 2660-67.
28. Ryan S, Taylor CT, Mc Nicholas WT. Predictors of Elevated
Nuclear Factor-Kappa B-Dependent Genes in Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Am J Respir Crit Care 2006;
174: 824-30.
29. Vongpatanasin W, Thomas GD, Schwartz R, et al.
C-Reactive Protein Causes Downregulation of Vascular
Angiotensin Subtype 2 Receptors and Systolic
Hypertension in Mice. Circulation 2007; 115: 1020-28.
30. Kato M, Roberts-Thomson P, Phillips BG, et al. Impairment of Endothelium-Dependent Vasodilation of
Resistance Vessels in Patients with Obstructive Sleep
Apnea. Circulation 2000; 102: 2607-10.
31. Imadojemu VA, Gleeson K, Quraishi SA, Kunselman
AR, Sinoway LI, Leunberger UA. Impaired Vasodilator
Responses in Obstructive Sleep Apnea are Improved
with Continuous Positive Airway Pressure Therapy.
Am J Respir Crit Care Med 2002; 165: 950-53.
32. Ip MS, Lam B, Chan LY, et al. Circulating Nitric Oxide
is Suppressed in Obstructive Sleep Apnea and is
Reversed by Nasal Continuous Positive Airway
Pressure. Am J Respir Crit Care Med 2000; 162: 2166-71.
33. El-Sohl AA, Mador MJ, Sikka P, Dhillon RS, Amsterdam
D, Grant BJ. Adhesion Molecules in Patients with
Coronary Artery Disease and Moderate-to-Severe
Obstructive Sleep Apnea. Chest 2002; 121: 1541-47.
34. Steiner S, Jax T, Evers S, Hennersdorf M, Schwalen A,
Straner BE. Altered Blood Rheology in Obstructive
Sleep Apnea as A Mediator of Cardivascular Risk.
Cardiology 2005; 104: 92-96.
35. Gami AS, Caples SM, Somers VK. Obesity and Obstructive
Sleep Apnea. Endocrinol Metab Clin North Am 2003;
32: 869.
36. Narkiewicz K, Wolf J, Lopez-Jimenez F, Somers VK.
Obstructive Sleep Apnea and Hypertension. Curr
Cardiol Rep 2005; 7: 435.
37. Brown DL. Sleep Disorders and Stroke. Semin Neurol
2006; 26: 117.
38. Gami AS, Pressman G, Caples SM, et al. Association of
Atrial Fibrillation and Obstructive Sleep Apnea. Circulation 2004; 110: 364.
39. Yaggi HK, Concato J, Kernan WM, et al. Obstructive
Sleep Apnea as a Risk Factor for Stroke and Death.
N Engl J Med 2005; 353: 2034.
40. Young T, Shahar E, Nieto FJ, et al. Predictors of SleepDisordered Breathing in Community-Dwelling Adults:
The Sleep Heart Health Study. Arch Intern Med 2002;
162: 893.
41. Littner MR. Portable Monitoring in the Diagnosis of
Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Semin Respir Crit
Care Med 2005; 26: 56.
42. Giles TL, Lasserson TJ, Smith BJ, et al. Continuous
Positive Airways Pressure for Obstructive Sleep
Apnoea in Adults. Cochrane Database Syst Rev 2006;
(1): CD001106.
43. Kaneko Y, Floras JS, Usui K, et al. Cardiovascular Effects
of Continuous Positive Airway Pressure in Patients
with Heart Failure and Obstructive Sleep Apnea. N
Engl J Med 2003; 348: 1233.
44. Marin JM, Carrizo SJ, Vicente E and Agusti AG.
Long-term Cardiovascular Outcomes in Men with
Obstructive Sleep Apnea-Hypopnea with or without
Treatment with Continuous Positive Airway Pressure:
An Observational Study. Lancet 2005; 365: 1046
201
HASIL PENELITIAN
Pengaruh Perlakuan terhadap Tingkat
Kelelahan Jemaah Haji dengan Pes Planus
di Fase Armina, Arab Saudi
Syarief Hasan Lutfie
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, Jakarta
ABSTRAK
Aktifitas yang tinggi selama ibadah haji dapat memicu kelelahan; apalagi bagi mereka yang mempunyai bentuk lengkung kaki leper (pes
planus). Pes planus menyebabkan seseorang cepat mengalami kelelahan otot tungkai bawah. Hal ini dapat menganggu pelaksanaan
ibadah haji terutama pada fase Armina (Arafah-Mina) yang merupakan fase yang paling berat dengan banyaknya kegiatan fisik berjalan
terutama pada saat melempar jumrah. Penelitian ini bertujuan mengetahui perlakuan yang tepat bagi jamaah haji dengan pes planus
sehingga terhindar dari kelelahan di fase Armina. Penelitian ini dilakukan sebelum keberangkatan dan saat berada di Arab Saudi. Studi
potong lintang dilakukan sebelum keberangkatan pada 1920 orang calon jamaah haji Jakarta Timur untuk mengetahui pes planus. Tahap
kedua: secara randomisasi blok dengan match pairing berdasarkan umur dan jenis kelamin, dari 172 orang pes planus dibuat 4 kelompok
perlakuan. Kelompok A, mendapat latihan kontinu & insol, kelompok B mendapat latihan kontinyu, kelompok C mendapatkan insol saja
sedangkan kelompok D mendapatkan perlakuan edukasi. Tahap ketiga: selama 7 hari fase Armina dilakukan pengamatan/pemeriksaan
terhadap terjadinya kelelahan. Penilaian kelelahan dilakukan menggunakan kuesioner dan selanjutnya dihitung skor kelelahan subyek
studi. Hasilnya Kelompok A mempunyai skor kelelahan paling rendah yaitu sebesar 15,26 + (2,56). Program latihan kontinyu dan penggunaan insol (perlakuan kelompok A) dapat mencegah kelelahan pada fase Armina.
Kata kunci: Perlakuan, skor kelelahan, latihan kontinyu, pes planus, insol.
PENDAHULUAN
Kelelahan, yaitu menurunnya respons jaringan
terhadap stimulus yang tetap atau dibutuhkannya stimulus yang lebih besar untuk memproduksi suatu respons.1 Selama berlangsungnya pelaksanaan ibadah haji tidak ada satu
pun kegiatan ritual haji yang tidak menggunakan fisik. Faktor kelelahan akibat aktivitas fisik
yang tinggi dapat menjadi salah satu faktor
penyebab meningkatnya angka kesakitan dan
kematian pada jemaah haji, di samping faktor
penyebab lainnya.2-4
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya
kelelahan pada jamaah haji Indonesia antara
lain faktor umur, jenis kelamin, status gizi, jenis
pekerjaan dan bentuk sidik tapak kaki. Faktor
lain yang mempengaruhi adalah lingkungan
yang tidak sama dengan lingkungan tanah air,
seperti suhu dan kelembaban.5 Belum lagi jarak
pemondokan yang relatif jauh dari Masjidil Haram.
Setiap jemaah haji dituntut untuk mampu berjalan sejauh +12 km. Tawaf dilakukan 7 kali
putaran mengelilingi Ka’bah, di lingkaran terdekat diperlukan kemampuan berjalan 7 x
200 meter = 1400 meter. Sa’i membutuhkan
kemampuan berjalan dan berlari kecil antara
202
Safa dan Marwah sebanyak 7 kali pulang balik
dengan jarak 1 kali perjalanan adalah 400
meter seluruh jarak yang ditempuh pada saat
Sa’i sejauh 2800 meter. Total kegiatan tawaf
dan sa’i saja belum termasuk perjalanan dari
tempat tinggal pemondokan ke mesjid, diperlukan kemampuan minimal berjalan kaki
berkisar 2800 meter ditambah 1400 meter =
4200 meter. Padahal kegiatan yang dilakukan
jemaah haji minimal 3 kali untuk rukun haji,
ditambah kegiatan di luar rukun haji.
Fase terberat selama pelaksanaan ibadah haji
adalah ketika mereka berada di Arafah-Mina
(Armina). Ibadah yang dilaksanakannya pun
merupakan syarat sahnya haji yang tidak boleh
digantikan oleh orang lain dalam menunaikannya (wukuf). Melempar jumrah juga membutuhkan aktivitas fisik yang tinggi karena para
jamaah harus berjalan minimal 12 km.
Sebenarnya, faktor kelelahan pada jamaah
haji dapat dideteksi. Tentunya bila ada nilai
skor kelelahan. Sehingga bagi para jamaah
yang mempunyai risiko tinggi (nilai tinggi)
dapat dipisahkan dari jamaah lain atau diberi
arahan agar dapat beribadah optimal, namun
terhindar dari sakit dan kematian.
MATERI & METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan sebelum keberangkatan
haji dan di tanah suci (fase Armina). Subyek adalah calon jamaah haji Jakarta Timur sebanyak
1920 orang. Tahap pertama dilakukan pemeriksaan sidik tapak kaki untuk menentukan
pes planus; cara yang mudah adalah dengan
menggunakan sidik tapak kaki. Hal ini dapat
diperoleh dengan cara melapisi telapak kaki
dengan tinta stempel. Subyek lalu diminta
meletakkan kakinya pada secarik kertas putih
dan berdiri dengan beban tubuh sepenuhnya
di atas kertas tadi. Subyek kemudian diminta
untuk memindahkan telapak kaki dari kertas
putih dengan sekali gerakan dan tidak boleh
diulang sampai cap kaki menjadi kering.
Dari 1920 subyek penelitian, 196 terindentifikasi pes planus. Sebanyak 24 orang tidak melanjutkan penelitian. Tahap kedua, pada 172
orang dilakukan randomisasi blok dengan
match pairing berdasarkan umur, jenis kelamin,
status gizi, dan derajat pes planus. Diperoleh
44 orang untuk kelompok A yang mendapatkan perlakuan program latihan kontinyu dan
penggunaan insol, 43 orang di kelompok B yang
mendapatkan perlakuan program latihan kontinyu saja, 42 orang di kelompok C yang menC D K 1 8 4 / V o l . 3 8 n o . 3 / Ap r il 2 0 1 1
Download