PANDUAN SINGKAT KESEHATAN ANAK 12/28/2006 APAKAH DEMAM ITU? Tubuh kita memiliki hipotalamus anterior di otak yang bertugas mengatur agar suhu tubuh stabil (termostat) yaitu berkisar 37 +/- 1 derajat selsius. Pengukuran Suhu Suhu di daerah dubur (temperatur rektal) paling mendekati suhu tubuh sebenarnya (core body temperature). Suhu di daerah mulut atau ketiak (aksila) sekitar 0,5 sampai 0,8 derajat lebih rendah dari suhu rektal, dengan catatan setelah pengukuran selama minimal 1 menit. Tidak dianjurkan mengukur (“menebak”) suhu tubuh berdasarkan perabaan tangan (tanpa mempergunakan termometer) Fisiologi Demam (Bagaimana Demam Terjadi) Demam biasanya terjadi akibat tubuh terpapar infeksi mikroorganisme (virus, bakteri, parasit). Demam juga bisa disebabkan oleh faktor non infeksi seperti kompleks imun, atau inflamasi (peradangan) lainnya. Ketika virus atau bakteri masuk ke dalam tubuh, berbagai jenis sel darah putih atau leukosit melepaskan “zat penyebab demam (pirogen endogen)” yang selanjutnya memicu produksi prostaglandin E2 di hipotalamus anterior, yang kemudian meningkatkan nilai-ambang temperatur dan terjadilah demam. Selama demam, hipotalamus cermat mengendalikan kenaikan suhu sehingga suhu tubuh jarang sekali melebihi 41 derajat selsius. DAMPAK DEMAM Dampak Menguntungkan terhadap Fungsi Imunitas (Daya Tahan) Tubuh Beberapa bukti penelitian „in-vitro‟ (tidak dilakukan langsung terhadap tubuh manusia) menunjukkan fungsi pertahanan tubuh manusia bekerja baik pada temperatur demam, dibandingkan suhu normal. IL-1 dan pirogen endogen lainnya akan “mengundang” lebih banyak leukosit dan meningkatkan aktivitas mereka dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Demam juga memicu pertambahan jumlah leukosit serta meningkatkan produksi/fungsi interferon (zat yang membantu leukosit memerangi mikroorganisme). Dampak Negatif Pertama, kemungkinan dehidrasi (kekurangan cairan tubuh). Ketika mengalami demam, terjadi peningkatan penguapan cairan tubuh sehingga anak bisa kekurangan cairan. Kedua, kekurangan oksigen. Saat demam, anak dengan penyakit paru-paru atau penyakit jantung-pembuluh darah bisa mengalami kekurangan oksigen sehingga penyakit paru-parau atau kelainan jantungnya infeksi saluran napas akut (Isakan semakin berat. Ketiga, demam di atas 42 derajat selsius bisa menyebabkan kerusakan neurologis (saraf), meskipun sangat jarang terjadi. Tidak ada bukti penelitian yang menunjukkan terjadinya kerusakan neurologis bila demam di bawah 42 derajat selsius. Terakhir, anak di bawah usia 5 tahun (balita), terutama pada umur di antara 6 bulan dan 3 tahun, berada dalam risiko kejang demam (febrile convulsions), khususnya pada temperatur rektal di atas 40 derajat selsius. Kejang demam biasanya hilang dengan sendirinya, dan tidak menyebabkan gangguan neurologis (kerusakan saraf). Lihat guideline kejang demam. Demam seringkali disertai dengan gejala lain seperti sakit kepala, nafsu makan menurun (anoreksia), lemas, dan nyeri otot. Sebagian besar di antaranya berhubungan dengan zat penyebab demam tadi. Demam pada Infeksi Virus Demam pada bayi dan anak umumnya disebabkan oleh infeksi virus. Pada demam yang disertai sariawan, ruam cacar, atau ruam lainnya yang mudah dikenali, virus sebagai penyebab demam dapat segera disimpulkan tanpa membutuhkan pemeriksaan khusus. Demam ringan juga dapat ditemukan pada anak dengan batuk pilek (common colds), dengan rinovirus salah satu penyebab terseringnya. Penyebab lain demam pada anak adalah enteritis (peradangan saluran cerna) yang disebabkan terutama oleh rotavirus. Penyakit yang disebabkan virus adalah self-limiting disease (akan berakhir dan sembuh dengan sendirinya). Demam pada Infeksi Bakteri Di antara demam yang disebabkan oleh infeksi bakteri pada anak, salah satu yang paling sering ditemukan adalah infeksi saluran kemih (ISK). Umumnya tidak disertai dengan gejala lainnya. Risiko paling besar dimiliki bayi yang berusia di bawah 6 bulan. Infeksi bakteri yang lebih serius seperti pneumonia atau meningitis (infeksi selaput otak) juga dapat menimbulkan gejala demam. Namun demikian persentasenya tidaklah besar. Dari bayi > 3 bulan dan anak 1-3 tahun dengan demam > 39C, hanya 2% (1–3.6%) saja yang bakterinya sudah memasuki peredaran darah (bakteremia). Pada golongan usia ini, program imunisasi HiB berhasil menurunkan risiko meningitis bakterial secara sangat signifikan. S. pneumoniae (penyebab utama infeksi bakteri yang cukup serius) hanya ditemukan pada < 2 % populasi. Dan sebagian besar anak dalam golongan usia ini dapat mengatasi S. pneumoniae tanpa antibiotika. Hanya 10 %-nya yang berlanjut menjadi pneumonia yang lebih berat dan 3-6 % menjadi meningitis. Usia yang menuntut kewaspadaan tinggi orangtua dan dokter adalah usia di bawah 3 bulan. Bayi harus menjalani pemeriksaan yang lebih teliti karena 10 %-nya dapat mengalami infeksi bakteri yang serius, dan salah satunya adalah meningitis. Untuk memudahkan penilaian risiko tersebut, Rochester menetapkan beberapa poin untuk mengidentifikasi risiko rendah infeksi bakteri serius pada bayi yang demam. Kriteria Rochester ini adalah: Bayi tampak baik-baik saja Bayi sebelumnya sehat : Lahir cukup bulan (≥ 37 minggu kehamilan) Tidak ada riwayat pengobatan untuk hiperbilirubinemia (kuning) tanpa sebab yang jelas Tidak ada riwayat pengobatan dengan antibiotika Tidak ada riwayat rawat inap Tidak ada penyakit kronis atau penyakit lain yang mendasari demam Dipulangkan dari tempat bersalin bersama / sebelum ibu Tidak ada tanda infeksi kulit, jaringan lunak, tulang, sendi, atau telinga Nilai laboratorium sebagai berikut : Leukosit 5000 – 15000/µl Hitung jenis neutrofil batang 1500/µl ≤10 leukosit/LPB di urin ≤ 5 eritrosit (sel darah merah)/LPB pada feses bayi dengan diare Walaupun diketahui bahwa sebagian besar penyebab demam adalah infeksi virus, namun data menunjukkan bahwa justru sebagian besar tenaga medis mendiagnosisnya sebagai infeksi bakteri. Dalam satu penelitian di Amerika Serikat, persentase ini mencapai 56 %. Dan pada penelitian yang sama masih ditemukan adanya pemberian antibiotik pada demam yang belum jelas diidentifikasi penyebabnya (virus atau bakteri). Efek Obat Pereda Demam (Antipiretik) Sebuah penelitian melaporkan relawan dewasa yang secara sukarela diinfeksi virus Rhinovirus dan diterapi dengan aspirin dosis terapetik (dosis yang lazim digunakan dalam pengobatan), lebih cenderung menjadi sakit dibandingkan yang mendapatkan plasebo. Hasil serupa (meski tidak signifikan), dilaporkan dengan penggunaan aspirin dan parasetamol. Lebih lanjut, penggunaan kedua obat ini, ditambah ibuprofen, meningkatkan penyumbatan di hidung (obstruksi nasal) dan menekan respon antibodi Penelitian-penelitian lain belum menunjang temuan ini. Pada sebuah survei terhadap 147 anak dengan infeksi bakteri, tidak ada perbedaan lama rawat inap pada mereka yang diberi dua atau lebih obat antipiretik, dibandingkan yang menerima satu, atau sama sekali tidak diberi antipiretik. Sebuah penelitian randomized terhadap anak-anak demam yang diduga akibat virus, menunjukkan parasetamol tidak mengurangi lamanya demam dan tidak menghilangkan gejala-gejala yang terkait. Namun demikian, parasetamol membuat anak sedikit lebih aktif dan lebih bugar. REKOMENDASI TATA LAKSANA DEMAM Pengobatan dengan Antipiretik Mekanisme Kerja Parasetamol, aspirin, dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) lainnya adalah antipiretik yang efektif. Bekerja dengan cara menghambat produksi prostaglandin E2 di hipotalamus anterior (yang meningkat sebagai respon adanya pirogen endogen). Parasetamol Parasetamol adalah obat pilihan pada anak-anak. Dosisnya sebesar 10-15 mg/kg/kali. Parasetamol dikonjugasikan di hati menjadi turunan sulfat dan glukoronida, tetapi ada sebagian kecil dimetabolisme membentuk intermediet aril yang hepatotoksik (menjadi racun untuk hati) jika jumlah zat hepatotoksik ini melebihi kapasitas hati untuk memetabolismenya dengan glutation atau sulfidril lainnya (lebih dari 150 mg/kg). Maka sebaiknya tablet 500 mg tidak diberikan pada anak-anak (misalnya pemberian tiga kali tablet 500 mg dapat membahayakan bayi dengan berat badan di bawah 10 kg). Kemasan berupa sirup 60 ml lebih aman. Aspirin Merupakan antipiretik yang efektif namun penggunaannya pada anak dapat menimbulkan efek samping yang serius. Aspirin bersifat iritatif terhadap lambung sehingga meningkatkan risiko ulkus (luka) lambung, perdarahan, hingga perforasi (kebocoran akibat terbentuknya lubang di dinding lambung). Aspirin juga dapat menghambat aktivitas trombosit (berfungsi dalam pembekuan darah) sehingga dapat memicu risiko perdarahan). Pemberian aspirin pada anak dengan infeksi virus terbukti meningkatkan risiko Sindroma Reye, sebuah penyakit yang jarang (insidensinya sampai tahun 1980 sebesar 1-2 per 100 ribu anak per tahun), yang ditandai dengan kerusakan hati dan ginjal. Oleh karena itu, tidak dianjurkan untuk anak berusia < 16 tahun. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) Jenis OAINS yang paling sering digunakan pada anak adalah ibuprofen. Dosis sebesar 5-10 mg/kg/kali mempunyai efektifitas antipiretik yang setara dengan aspirin atau parasetamol. Sama halnya dengan aspirin dan OAINS lainnya, ibuprofen bisa menyebabkan ulkus lambung, perdarahan, dan perforasi, meskipun komplikasi ini jarang pada anak-anak. Ibuprofen juga tidak direkomendasikan untuk anak demam yang mengalami diare dengan atau tanpa muntah. Jenis Lainnya Turunan pirazolon seperti fenilbutazon dan dipiron, efektif sebagai antipiretik, tetapi jauh lebih toksik (membahayakan). Terapi Suportif Upaya Suportif yang Direkomendasikan Tingkatkan asupan cairan (ASI, susu, air, kuah sup, atau jus buah). Minum banyak juga mampu menjadi ekspektoran (pelega saluran napas) dengan mengurangi produksi lendir di saluran napas. Jarang terjadi dehidrasi berat tanpa adanya diare dan muntah terus-menerus.. Hindari makanan berlemak atau yang sulit dicerna karena demam menurunkan aktivitas lambung. Kenakan pakaian tipis dalam ruangan yang baik ventilasi udaranya. Anak tidak harus terus berbaring di tempat tidur)tetapi dijaga agar tidak melakukan aktivitas berlebihan. Mengompres atau anak dengan air hangat dapat dilakukan jika anak rewel merasa sangat tidak nyaman, umumnya pada suhu sekitar 40 selsius. Mengompres dapat dilakukan dengan meletakkan anak di bak mandi yang sudah diisi air hangat. Lalu basuh badan, lengan, dan kaki anak dengan air hangat tersebut. Umumnya mengompres anak akan menurunkan demamnya dalam 30-45 menit. Namun jika anak merasa semakin tidak nyaman dengan berendam, jangan lakukan hal ini. Upaya Suportif yang Tidak Direkomendasikan Upaya „mendinginkan‟ badan anak dengan melepaskan pakaiannya, memandikan atau membasuhnya dengan air dingin, atau mengompresnya dengan alkohol. Jika nilai-ambang hipotalamus sudah direndahkan terlebih dahulu dengan obat, melepaskan pakaian anak atau mengompresnya dengan air dingin justru akan membuatnya menggigil (dan tidak nyaman), sebagai upaya tubuh menjaga temperatur pusat berada pada nilai-ambang yang telah disesuaikan. Selain itu alkohol dapat pula diserap melalui kulit masuk ke dalam peredaran darah, dan adanya risiko toksisitas. KESIMPULAN Pandangan masyarakat akan demam terus berubah. Kini demam dianggap sebagai respon „sehat‟ terhadap penyakit dan dianggap wajar. Pengobatan secara „agresif‟ harus dibuktikan oleh bukti-bukti ilmiah. Sehingga terapi yang rasional adalah menenangkan pasien dan tenaga kesehatan, serta meyakinkan bahwa merekalah yang „mengendalikan‟ penyakit anaknya, bukan „dikendalikan‟ penyakit. Upaya menangani demamnya bukanlah prioritas utama. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi adakah infeksi bakteri (pneumonia, otitis media, faringitis streptokokus, meningitis, atau sepsis), dan kalau perlu merujuk ke RS untuk tindakan selanjutnya. Baik orangtua maupun tenaga kesehatan seharusnya tidak otomatis memberikan obat pereda demam pada semua anak demam. “Tangani anaknya, bukan termometernya”. Usaha meredakan demam lebih ditujukan mengatasi ketidaknyamanan anak (jika memang signifikan), dan biasanya diperoleh melalui pemberian parasetamol secara oral pada anak yang hanya mengalami demam tinggi saja. Hal ini akan menciptakan layanan kesehatan (dan keluarga) yang efisien semata-mata ditujukan bagi kebaikan anak, menekankan pada upaya mencari penyebab serta melalui usaha mengurangi polifarmasi yang tidak perlu, serta memprioritaskan pengobatan esensial saja. Catatan: Panduan / guideline ini dapat senantiasa mengalami perubahan seiring dengan ditemukannya perkembangan ilmiah terkini, dan adanya guideline terbaru yang dapat diadaptasi. Kejang Demam 12/28/2006 Apakah kejang demam itu ? Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada saat seorang bayi atau anak mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat (1,2). Hal ini dapat terjadi pada 2-5 % populasi anak. Umumnya kejang demam ini terjadi pada usia 6 bulan – 5 tahun dan jarang sekali terjadi untuk pertama kalinya pada usia < 6 bulan atau > 3 tahun. Tidak ada nilai ambang suhu untuk dapat terjadinya kejang demam (2). Selama anak mengalami kejang demam, ia dapat kehilangan kesadaran disertai gerakan lengan dan kaki, atau justru disertai dengan kekakuan tubuhnya. Kejang demam ini secara umum dapat dibagi dalam dua jenis yaitu (1,2): Simple febrile seizures : kejang menyeluruh yang berlangsung < 15 menit dan tidak berulang dalam 24 jam. Complex febrile seizures / complex partial seizures : kejang fokal (hanya melibatkan salah satu bagian tubuh), berlangsung > 15 menit, dan atau berulang dalam waktu singkat (selama demam berlangsung). Risiko berulangnya kejang demam Simple febrile seizures tidak meningkatkan risiko kematian, kelumpuhan, atau retardasi mental. Risiko epilepsi pada golongan ini adalah 1%, hanya sedikit lebih besar daripada populasi umum. Risiko yang dimiliki hanyalah berulangnya kejang demam tersebut pada 1/3 anak yang mengalaminya. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (1,2): Usia < 15 bulan saat kejang demam pertama Riwayat kejang demam dalam keluarga Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam atau saat suhu sudah relatif normal Riwayat demam yang sering Kejang pertama adalah complex febrile seizure Risiko berulangnya kejang demam adalah 10% tanpa faktor risiko, 25% dengan 1 faktor risiko, 50% dengan 2 faktor risiko, dan dapat mencapai 100% dengan ≥ 3 faktor risiko. Penanganan kejang demam Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri setenang mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut (2,3): Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping, bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak. Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok atau penggaris, karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan napas. Jangan memegangi anak untuk melawan kejang. Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan penanganan khusus. Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat. Sumber lain menganjurkan anak untuk dibawa ke fasilitas kesehatan jika kejang masih berlanjut setelah 5 menit. Ada pula sumber yang menyatakan bahwa penanganan lebih baik dilakukan secepat mungkin tanpa menyatakan batasan menit (4). Setelah kejang berakhir (jika < 10 menit), anak perlu dibawa menemui dokter untuk meneliti sumber demam, terutama jika ada kekakuan leher, muntah-muntah yang berat, atau anak terus tampak lemas. Jika anak dibawa ke fasilitas kesehatan, penanganan yang akan dilakukan selain poin-poin di atas adalah sebagai berikut (3,4): Memastikan jalan napas anak tidak tersumbat Pemberian oksigen melalui face mask Pemberian diazepam 0,5 mg/kg berat badan per rektal (melalui anus) atau jika telah terpasang selang infus 0,2 mg/kg per infus Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan Sebagian sumber menganjurkan pemeriksaan kadar gula darah untuk meneliti kemungkinan hipoglikemia. Namun sumber lain hanya menganjurkan pemeriksaan ini pada anak yang mengalami kejang cukup lama atau keadaan pasca kejang (mengantuk, lemas) yang berkelanjutan (1). Berikut adalah tabel dosis diazepam yang diberikan : TERAPI AWAL DENGAN DIAZEPAM Dosis IV (infus) Dosis per rectal (0.2mg/kg) (0.5mg/ kg) 1-2 mg 2.5-5 mg 3 mg 7.5 mg 5-10 mg 10-15 mg Usia < 1 tahun 1-5 tahun >10 tahun Jika kejang masih berlanjut : o o Pemberian diazepam 0,2 mg/kg per infus diulangi. Jika belum terpasang selang infus, 0,5 mg/kg per rektal Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan Jika kejang masih berlanjut : o o Pemberian fenobarbital 20-30 mg/kg per infus dalam 30 menit atau fenitoin 15-20 mg/kg per infus dalam 30 menit. Pemberian fenitoin hendaknya disertai dengan monitor EKG (rekam jantung). Jika kejang masih berlanjut, diperlukan penanganan lebih lanjut di ruang perawatan intensif dengan thiopentone dan alat bantu pernapasan. Perlu tidaknya pemeriksaan lanjutan Setelah penanganan akut kejang demam, sumber demam perlu diteliti. Dalam sebuah penelitian, sumber demam pada kejang demam antara lain infeksi virus (tersering), otitis media, tonsilitis, ISK, gastroenteritis, infeksi paru2 (saluran napas bagian bawah), meningitis, dan pasca imunisasi. Beberapa pemeriksaan lanjutan hanya diperlukan jika didapatkan karakteristik khusus pada anak. Pungsi lumbar (1) Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi (usia < 12 bulan) karena gejala dan tanda meningitis pada bayi mungkin sangat minimal atau tidak tampak. Pada kejang demam pertama di usia antara 12-18 bulan, ada beberapa pendapat berbeda mengenai prosedur ini. Berdasar penelitian yang telah diterbitkan, cairan serebrospinal yang abnormal umumnya diperoleh pada anak dengan kejang demam yang : Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher) Mengalami complex partial seizure Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya) Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat) Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal. Kejang pertama setelah usia 3 tahun Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan. EEG (electroencephalogram) (1) EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi. Pemeriksaan laboratorium (1) Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin. Neuroimaging (1) Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya. Risiko dan keuntungan penanganan jangka panjang Pemberian obat-obatan jangka panjang untuk mencegah berulangnya kejang demam jarang sekali dibutuhkan dan hanya dapat diresepkan setelah pemeriksaan teliti oleh spesialis (2). Beberapa obat yang digunakan dalam penanganan jangka panjang adalah sebagai berikut. Antipiretik Antipiretik tidak mencegah kejang demam (5,6). Penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan dalam pencegahan berulangnya kejang demam antara pemberian asetaminofen setiap 4 jam dengan pemberian asetaminofen secara sporadis. Demikian pula dengan ibuprofen. Diazepam Pemberian diazepam per oral atau per rektal secara intermiten (berkala) saat onset demam dapat merupakan pilihan pada anak dengan risiko tinggi berulangnya kejang demam yang berat (2,6). Namun, edukasi orang tua merupakan syarat penting dalam pilihan ini. Efek samping yang dilaporkan antara lain ataksia (gerakan tak beraturan), letargi (lemas, sama sekali tidak aktif), dan rewel. Pemberian diazepam juga tidak selalu efektif karena kejang dapat terjadi pada onset demam sebelum diazepam sempat diberikan (5). Efek sedasi (menenangkan) diazepam juga dikhawatirkan dapat menutupi gejala yang lebih berbahaya, seperti infeksi sistem saraf pusat. Profilaksis (obat pencegahan) berkelanjutan Efektivitas profilaksis dengan fenobarbital hanya minimal, dan risiko efek sampingnya (hiperaktivitas, hipersensitivitas) melampaui keuntungan yang mungkin diperoleh (5). Profilaksis dengan carbamazepine atau fenitoin tidak terbukti efektif untuk mencegah berulangnya kejang demam. Asam valproat dapat mencegah berulangnya kejang demam, namun efek samping berupa hepatotoksisitas (kerusakan hati, terutama pada anak berusia < 3 tahun), trombositopenia (menurunnya jumlah keping darah yang berfungsi dalam pembekuan darah), pankreatitis (peradangan pankreas yang merupakan kelenjar penting dalam tubuh), dan gangguan gastrointestinal membuat penggunaan asam valproat sama sekali tidak dianjurkan sebagai profilaksis kejang demam. Dari berbagai penelitian tersebut, satu-satunya yang dapat dipertimbangkan sebagai profilaksis berulangnya kejang demam hanyalah pemberian diazepam secara berkala pada saat onset demam, dengan dibekali edukasi yang cukup pada orang tua. Dan tidak ada terapi yang dapat meniadakan risiko epilepsi di masa yang akan datang (6). Imunisasi dan kejang demam Walaupun imunisasi dapat menimbulkan demam, namun imunisasi jarang diikuti kejang demam. Suatu penelitian yang dilakukan memperlihatkan risiko kejang demam pada beberapa jenis imunisasi sebagai berikut (2): DTP : 6-9 per 100.000 imunisasi. Risiko ini tinggi pada hari imunisasi, dan menurun setelahnya. MMR : 25-34 per 100.000 imunisasi. Risiko meningkat pada hari 8-14 setelah imunisasi. Kejang demam pasca imunisasi tidak memiliki kecenderungan berulang yang lebih besar daripada kejang demam pada umumnya. Dan kejang demam pasca imunisasi kemungkinan besar tidak akan berulang pada imunisasi berikutnya. Jadi kejang demam bukan merupakan kontra indikasi imunisasi. Sumber Provisional Committee on Quality Improvement, Subcommittee on Febrile Seizures. Practice parameter: The neurodiagnostic evaluation of the child with a first simple febrile seizure. AAP Policy 1996; 97:769-775 http://aappolicy.aappublications.org/cgi/content/abstract/pediatrics;97/5/769 Prodigy Guidance Febrile convulsion. April 2005. http://www.prodigy.nhs.uk/guidance.asp?gt=Febrile%20convulsion Clinical Practice Guidelines - Febrile Convulsion. Royal Children‟s Hospital Melbourne. http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm?doc_id=5132 Acute Management of Infants and Children with Seizures. December 2004. www.health.nsw.gov.au/fcsd/rmc/cib/circulars/2004/cir2004-66.pdf Committee on Quality Improvement and Subcommittee on Febrile Seizures. Practice Parameter: Long-term Treatment of the Child With Simple Febrile Seizures. Pediatrics 1999;103:1307-1309 Baumann RJ. Technical Report: Treatment of the Child With Simple Febrile Seizures. Pediatrics 1999; 103:e 86 http://aappolicy.aappublications.org/cgi/content/full/pediatrics;103/6/e86 Infeksi Saluran Kemih (ISK) 12/28/2006 Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada bayi dan anak-anak kecil merupakan suatu keadaan yang perlu dicermati karena 5% dari penderitanya hanya menunjukkan gejala yang amat samar dengan risiko kerusakan ginjal yang lebih besar dibandingkan anak-anak yang sudah lebih besar.1 Dan kerusakan ini dapat berujung pada hipertensi atau menurunnya fungsi ginjal. Definisi dan Angka Kejadian ISK adalah adanya bakteri pada urin yang disertai dengan gejala infeksi.2 Ada pula yang mendefinisikan ISK sebagai gejala infeksi yang disertai adanya mikroorganisme patogenik (patogenik : yang menyebabkan penyakit) pada urin, uretra (uretra : saluran yang menghubungkan kandung kemih dengan dunia luar), kandung kemih, atau ginjal.3 ISK dapat terjadi pada 5% anak perempuan dan 1-2% anak laki-laki.2 Kejadian ISK pada bayi baru lahir dengan berat lahir rendah mencapai 10-100 kali lebih besar disbanding bayi dengan berat lahir normal (0,1-1%). Sebelum usia 1 tahun, ISK lebih banyak terjadi pada anak laki-laki. Sedangkan setelahnya, sebagian besar ISK terjadi pada anak perempuan. Misalnya pada anak usia pra sekolah di mana ISK pada perempuan mencapai 0,8%, sementara pada laki-laki hanya 0,2%. Dan rasio ini terus meningkat sehingga di usia sekolah, kejadian ISK pada anak perempuan 30 kali lebih besar dibanding pada anak laki-laki. Dan pada anak laki-laki yang disunat, risiko ISK menurun hingga menjadi 1/5-1/20 dari anak lakilaki yang tidak disunat.1 Pada usia 2 bulan – 2 tahun, 5% anak dengan ISK mengalami demam tanpa sumber infeksi dari riwayat dan pemeriksaan fisik.1 Sebagian besar ISK dengan gejala tunggal demam ini terjadi pada anak perempuan. Penyebab dan Faktor Risiko Escherichia coli adalah penyebab paling umum pada anak-anak, hingga 80%. Pada bayi baru lahir (0-28 hari), infeksi diperantarai oleh aliran darah. Sedangkan setelah usia itu, ISK umumnya terjadi dengan naiknya bakteri ke saluran kemih. Staphylococcus saprophyticus3 Proteus mirabilis. Selain menyebabkan infeksi, bakteri ini mengeluarkan zat yang dapat memfasilitasi pembentukan batu di saluran kemih. Mikroorganisme lain yang dapat menyebabkan ISK adalah beberapa bakteri yang umumnya menginfeksi saluran cerna dan Candida albicans, jamur yang umumnya menginfeksi pasien dengan kateter (kateter : semacam selang) pada saluran kemihnya, kekebalan tubuh yang rendah, diabetes mellitus, atau pasien dalam terapi antibiotik. Sebagian besar ISK tidak dihubungkan dengan faktor risiko tertentu.3 Namun pada ISK berulang, perlu dipikirkan kemungkinan faktor risiko seperti : Kelainan fungsi atau kelainan anatomi saluran kemih Gangguan pengosongan kandung kemih (incomplete bladder emptying) Konstipasi Operasi saluran kemih Kekebalan tubuh yang rendah Gejala Gejala yang dapat timbul pada ISK pada anak sangat tidak spesifik, dan seperti telah diungkapkan sebelumnya, banyak yang hanya disertai demam sebagai gejala.1,3 Bayi baru lahir (0-28 hari) : demam, kuning berkepanjangan, gagal tumbuh, tidak mau menyusu Bayi : demam, tidak mau menyusu, muntah, diare Anak-anak : demam, nyeri saat berkemih, sering berkemih, adanya darah pada urin, urin yang keruh atau berbau busuk, nyeri pada daerah di atas tulang kemaluan, mengompol (setelah sebelumnya berhenti mengompol) Diagnosis Bayi atau anak di bawah 2 tahun dengan demam tanpa sumber tampak sakit berat, antibiotik diberikan dan contoh urin diambil untuk kultur dengan cara aspirasi suprapubik atau kateter.1 Aspirasi suprapubik adalah pengambilan urin langsung dari kandung kemih dengan jarum. Kemungkinan kontaminasi pada urin yang diperoleh dengan kedua cara tersebut sangat kecil sehingga kedua cara tersebut merupakan cara yang paling diandalkan. Namun bila bayi atau anak di bawah 2 tahun dengan demam tersebut tidak tampak sakit berat, aspirasi suprapubik atau kateterisasi kadang dianggap berlebihan.1,3 Pada kondisi ini, pengambilan contoh urin dapat dilakukan dengan cara yang tidak invasif, misalnya : Pada anak yang sudah cukup besar, dapat dilakukan pengambilan urin mid-stream.3 Pada bayi atau batita, dapat dilakukan pengambilan urin dengan urin mid-stream atau kantung penampung urin yang dilekatkan pada perineum.3,4 Pengambilan contoh urin dengan cara ini memiliki risiko kontaminasi yang rendah jika sebelum pengambilan urin perineum dibersihkan dengan teliti, kantung penampung urin segera dilepaskan setelah urin diperoleh, dan sediaan tersebut cepat diproses.1 Pada anak perempuan, perineum harus dibersihkan dari depan ke belakang dengan semacam kassa yang dibasahi air hangat tanpa antiseptik.3 Jika tidak dapat langsung diproses, sediaan harus disimpan dalam suhu 40. Sediaan yang telah disimpan hingga 48 jam masih dapat digunakan untuk kultur, namun tidak dapat digunakan untuk pemeriksaan mikroskopik karena sel-sel yang ada sudah rusak. Yang dilakukan pada contoh urin itu adalah : Kultur : Kultur (kultur : pembiakan mikroorganisme) yang negatif akan menyingkirkan diagnosis ISK.1 Sedangkan pada kultur yang positif, proses pengambilan contoh urin harus diperhatikan. Jika kultur positif berasal dari aspirasi suprapubik atau kateterisasi, maka hasil tersebut dianggap benar. Namun jika kultur positif diperoleh dari kantung penampung urin, perlu dilakukan konfirmasi dengan kateterisasi atau aspirasi suprapubik. Urinalisis : Komponen urinalisis yang paling penting dalam ISK adalah esterase leukosit, nitrit, dan pemeriksaan leukosit dan bakteri mikroskopik. Namun tidak ada komponen urinalisis yang dapat menggantikan pentingnya kultur sehingga kultur tetap merupakan keharusan untuk mendiagnosis ISK.1,3 Menurut AAP, jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada kultur untuk dapat dikategorikan positif adalah sebagai berikut :1 Pengambilan urin Aspirasi suprapubik Kateterisasi besar infeksi Mid-stream / kantung Anak laki-laki Anak perempuan Kriteria diagnosis ISK Jumlah koloni Kemungkinan infeksi (%) Gram-negatif : berapa >99% pun Gram-positif : > beberapa ribu >105 104-105 >99% 103-104 Meragukan, ulangi <103 >104 Kemungkinan tidak infeksi Kemungkinan besar infeksi 3 sediaan 105 95% 2 sediaan 105 90% 1 sediaan 105 80% 5 × 104 -- 105 Meragukan, ulangi 104 meragukan, ulangi - 5 × 104 + gejala Kemungkinan tidak infeksi <104 gejala Kemungkinan tidak infeksi 95% Kemungkinan Beberapa pihak memiliki batasan berbeda mengenai kriteria ini. Misalnya Royal Children Hospital Australia yang menggunakan 103 sebagai batasan infeksi pada contoh urin yang diperoleh dengan kateterisasi.4 Sedangkan pada contoh urin yang diperoleh dari mid-stream, 108 dalam 1 sediaan dianggap positif, dan antara 105-108 menunjukkan awal infeksi dan perlunya pemeriksaan ulang. Penanganan Pada anak 2 bulan – 2 tahun dengan kecurigaan ISK dan tampak sakit berat, antibiotik dapat diberikan secara parenteral (parenteral : melalui infus).1 Perawatan di rumah sakit diindikasikan jika ada gejala sepsis atau bakteremia (bakteremia : bakteri menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah). Sebagian pihak mengindikasikan perawatan di rumah sakit dan pemberian antibiotik parenteral pada anak di bawah 6 bulan.4 Sedangkan pada anak yang tidak tampak sakit berat, antibiotik yang diberikan umumnya per oral (diminum). Beberapa antibiotik yang dapat digunakan adalah :1,3 Amoxicillin 20-40 mg/kg/hari dalam 3 dosis. Sekitar 50% bakteri penyebab ISK resisten terhadap amoxicillin. Namun obat ini masih dapat diberikan pada ISK dengan bakteri yang sensitif terhadapnya. Co-trimoxazole atau trimethoprim 6-12 mg trimethoprim/kg/hari dalam 2 dosis. Sebagian besar ISK akan menunjukkan perbaikan dengan cotrimoxazole. Penelitian menunjukkan angka kesembuhan yang lebih besar pada pengobatan dengan cotrimoxazole dibandingkan amoxicillin. Cephalosporin seperti cefixime atau cephalexin. Cephalexin kira-kira sama efektif dengan cotrimoxazole, namun lebih mahal dan memiliki spectrum luas sehingga dapat mengganggu bakteri normal usus atau menyebabkan berkembangnya jamur (Candida sp.) pada anak perempuan. Co-amoxiclav digunakan pada ISK dengan bakteri yang resisten terhadap cotrimoxazole. Harganya juga lebih mahal dari cotrimoxazole atau cephalexin. Obat-obatan seperti asam nalidiksat atau nitrofurantoin tidak digunakan pada anakanak yang dikhawatirkan mengalami keterlibatan ginjal pada ISK. Selain itu nitrofurantoin juga lebih mahal dari cotrimoxazole dan memiliki efek samping seperti mual dan muntah. Lama pemberian antibiotik pada ISK umumnya adalah 7 hari pada infeksi akut.3 Walaupun ada pihak yang menganjurkan 10-14 hari, namun pemberian dalam waktu sepanjang itu memberikan kemungkinan lebih besar untuk terjadinya resistensi, gangguan bakteri normal di usus dan vagina, dan menyebabkan candidiasis. Pemberian antibiotik dalam jangka waktu pendek (<5 hari) masih diperdebatkan. Namun dalam penelitian baru-baru ini, tidak ditemukan perbedaan berarti antara hasil pemberian antibiotik oral jangka waktu pendek (2-4 hari) dengan jangka waktu panjang (7-14 hari).5 Selain itu juga tidak ada perbedaan berarti dalam kegagalan pengobatan antara kedua metode tersebut.6 Sehingga saat ini sebagian pihak menilai bahwa pemberian antibiotik jangka waktu pendek dapat dilakukan pada ISK tanpa komplikasi. Sedangkan pengobatan parenteral umumnya dilakukan dengan cephalosporin seperti ceftriaxone 75 mg/kg setiap 24 jam. Sebagian pihak memilih gentamicin 7.5 mg/kg per 24 jam dan benzylpenicillin 50 mg/kg per 6 jam untuk anak di atas 1 bulan Selain antibiotik, pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi gejala contohnya adalah penurun demam jika diperlukan.3 Obat-obatan lain yang pada orang dewasa digunakan untuk ISK, umumnya tidak dianjurkan untuk diberikan pada anak-anak. Jika tidak ada perbaikan dalam 2 hari setelah pengobatan, contoh urin harus kembali diambil dan diperiksa ulang.1 Kultur ulang setelah 2 hari pengobatan umumnya tidak diperlukan jika diperoleh perbaikan dan bakteri yang dikultur sebelumnya sensitif terhadap antibiotik yang diberikan. Jika sensitivitas bakteri terhadap antibiotik yang diberikan atau tidak dilakukan tes sensitivitas/resistensi sebelumnya, maka kultur ulang dilakukan setelah 2 hari pengobatan. Pemeriksaan Lanjutan Setelah pemberian antibiotik selesai dan urin sudah steril, dilakukan pemeriksaan lanjutan pada anak dengan ISK.1,3 Pemeriksaan lanjutan yang dilakukan adalah : Ultrasonografi ginjal, ureter, dan kandung kemih : Pemeriksaan ini dilakukan pada semua anak dengan ISK sesegera mungkin. DMSA scan : Pemeriksaan ini terutama untuk melihat fungsi saluran kemih. DMSA scan masih diperdebatkan batasan usianya. Namun biasanya dilakukan pada anak di bawah 5 tahun dengan hasil ultrasonografi yang tidak normal. Umumnya dilakukan 2 bulan setelah episode ISK untuk memberi waktu perbaikan pada saluran kemih. Selama menunggu dilakukannya pemeriksaan ini, beberapa pihak menganjurkan pemberian antibiotik dosis rendah. Cystogram : Ini adalah pemeriksaan kandung kemih yang juga masih diperdebatkan batasan usianya. Namun umumnya dilakukan pada anak di bawah 1 tahun atau anak dengan hasil ultrasonografi atau DMSA yang tidak normal. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut dilakukan lebih awal jika tidak ada perbaikan setelah 2 hari pemberian antibiotik. Hal-hal Lain yang Berkaitan dengan ISK VUR (vesico ureteral reflux) adalah kelainan paling sering ditemukan pada pemeriksaan lanjutan.1 Pada kelainan ini terjadi pelebaran ureter yang dapat terus berlangsung hingga menyebabkan kerusakan ginjal. Pada anak di bawah 1 tahun dengan ISK, VUR dapat mencapai 50%. Derajat VUR ada berbagai macam, dari yang paling ringan hingga berat. ISK berulang. ISK dapat berulang satu kali pada 20% anak laki-laki dan 30% anak perempuan, atau lebih dari satu kali pada 4% anak laki-laki dan 8% anak perempuan.3 Definisi ISK berulang sendiri adalah 2 atau lebih ISK dalam periode 6 bulan.2 ISK berulang ini dapat berujung pada hipertensi atau gagal ginjal kronik.3 Pemberian antibiotik jangka panjang untuk mencegah berulangnya ISK tidak memiliki dasar yang cukup. Namun, jika pada seorang anak telah terjadi ISK berulang atau VUR, sebagian pihak menganjurkan pemberian antibiotik dosis rendah jangka panjang. Sumber Practice Parameter: The Diagnosis, Treatment, and Evaluation of the Initial Urinary Tract Infection in Febrile Infants and Young Children. PEDIATRICS Vol. 103 No. 4 April 1999, pp. 843-852. Available from http://aappolicy.aappublications.org/cgi/content/full/pediatrics;103/4/843 Ahmed SM, Swedlund SK. Evaluation and Treatment of Urinary Tract Infections in Children. American Family Physician Vol 57 No 7 April 1998. Available from http://www.aafp.org/afp/980401ap/ahmed2.html PRODIGY Guidance - Urinary tract infection – children available from http://www.prodigy.nhs.uk/guidance.asp?gt=UTI%20-%20children Urinary Tract Infection Guideline available from http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm?doc_id=5241 Michael M, Hodson EM, Craig JC, Martin S, Moyer VA. Short versus standard duration oral antibiotic therapy for acute urinary tract infection in children (Cochrane Review). The Cochrane Library, Issue 3, 2005. Available from http://www.updatesoftware.com/abstracts/ab003966.htm Williams GJ, Lee A, Craig JC. Long-term antibiotics for preventing recurrent urinary tract infection in children (Cochrane Review). The Cochrane Library, Issue 3, 2005. Available from http://www.update-software.com/abstracts/ab003966.htm dr. Nurul Itqiyah H D e m a m ( F e v e r t a n p a o f P e n y e b a b U n k n o w n y a n g J e l a s O r i g i n / F U O ) 12/31/2006 Demam adalah salah satu gejala paling umum yang menyebabkan anak dibawa ke dokter (19%-30% alasan kunjungan).1 Definisi demam di sini adalah suhu rektal ≥ 38°C pada bayi (anak ≤ 1 tahun).2,3 Sedang pada anak ≥ 1 tahun definisinya adalah suhu rektal ≥ 38,4°C atau oral (mulut) ≥ 37,8°C.3 5%-20% anak yang mengalami demam tidak memiliki sumber infeksi yang jelas, bahkan setelah riwayat penyakit diteliti dan pemeriksaan fisik dilakukan.1,4 Dari 20% ini, sebagian besar terkait dengan infeksi virus yang akan sembuh dengan sendirinya.1,3,4 Sebab penting lainnya pada usia di bawah 2 tahun adalah ISK (3%-4% pada anak laki-laki dan 8%-9% pada anak perempuan). Namun pada sebagian kecil anak, demam tanpa penyebab yang jelas (fever of unknown origin/FUO) mungkin didasari adanya bakteri dalam peredaran darahnya yang jika tidak ditangani dengan tepat dapat menyebabkan infeksi bakteri yang berat seperti pneumonia (infeksi pada paru-paru), osteomyelitis (infeksi pada tulang) dan meningitis (infeksi pada selaput otak).2,3,4 Karena itu penanganan FUO sangat penting untuk diketahui, terutama untuk anak di bawah 3 tahun di mana hal ini cukup sering ditemui. Riwayat Penyakit dan Pemeriksaan Fisik Yang paling penting dilakukan dalam menangani FUO adalah mengenali apakah anak tampak baik-baik saja, sakit, atau toksik.5 Yang dimaksud dengan toksik adalah kondisi pucat atau kebiruan, dengan napas dan denyut nadi yang cepat, sulit ditenangkan, dan letargi (keadaan di mana anak tidak dapat berinteraksi dengan orang atau benda di sekelilingnya, tidak mengenali orang tua, atau menurun drastisnya kontak mata).2,6 Anak yang tampak baik-baik saja hanya memiliki < 3% kemungkinan infeksi bakteri berat. Anak yang tampak sakit memiliki 26% kemungkinan, dan anak yang tampak toksik memiliki 92% kemungkinan infeksi bakteri berat.5 Gejala atau tanda yang dapat menunjukkan penyebab tertentu demam harus diteliti. Misalnya riwayat anak menarik-narik telinganya (otitis media), batuk (masalah saluran pernapasan), muntah/diare (masalah saluran cerna), atau menangis saat buang air kecil (ISK).5 Selain itu riwayat kesehatan anak juga harus diperhatikan, misalnya hal-hal sebagai berikut: Anak dengan penyakit kronis yang menurunkan sistem kekebalan tubuh (seperti leukemia, HIV, diabetes, atau kelainan jantung bawaan) membutuhkan penanganan FUO yang lebih agresif.2 Anak yang baru saja menggunakan antibiotik juga membutuhkan penanganan lebih agresif karena anak-anak ini cenderung tidak tampak sakit. Satu lagi yang harus diperhatikan adalah apakah anak tersebut menjalani hari-harinya di penitipan anak (day care). Anak-anak yang dititipkan di day care dan sering mengalami otitis media memiliki risiko lebih besar untuk mengalami pneumonia. Penanganan Dasar penanganan yang paling penting adalah apakah anak tampak toksik atau tidak. Semua anak ≤ 3 tahun yang tampak toksik harus menjalani pemeriksaan di rumah sakit untuk meneliti kemungkinan sepsis (bakteri dalam peredaran darah) atau meningitis.6 Penanganan dengan FUO yang tidak tampak toksik dibagi menjadi 3 berdasar kelompok usia: < 28 hari, 28-90 hari, dan 3-36 bulan. Bayi < 28 hari Pada kelompok usia ini, semua yang mengalami demam harus menjalani evaluasi di rumah sakit.6 Pemeriksaan yang dilakukan adalah:3 Hitung darah (eritrosit/darah merah, leukosit/darah putih dan jenis-jenisnya, platelet) Kultur darah Pemeriksaan dan kultur urin (melalui kateter atau pungsi suprapubik) Pungsi lumbar untuk analisis dan kultur cairan serebrospinal (dari tulang belakang) Kultur dan pemeriksaan feses X-ray dada Selain itu juga diberikan antibiotik. Akhir-akhir ini banyak ahli yang menyarankan agar pemberian antibiotik dan perawatan di rumah sakit dilakukan hanya pada bayi dengan FUO yang berusia < 7 hari.3,6 Sedang pada bayi antara 7-28 hari yang memenuhi kriteria risiko rendah untuk infeksi bakteri berat, penanganan dapat dilakukan dengan pemeriksaan di atas tanpa diikuti pemberian antibiotik. Bayi diobservasi hingga hasil pemeriksaan di atas diperoleh. Jika kultur bakteri negatif, maka bayi tidak memerlukan antibiotik dan dapat diobservasi di rumah dengan catatan: Orang tua dapat mengobservasi bayi dengan cermat Terdapat akses yang mudah untuk memperoleh pelayanan medis Dan terjaminnya follow-up si bayi Yang termasuk dalam kriteria risiko rendah adalah sebagai berikut:2,6 Kriteria Rochester untuk Mengidentifikasi Risiko Rendah Infeksi Bakteri Berat pada Bayi Berusia < 90 Hari dengan FUO: Bayi tampak baik-baik saja Bayi sebelumnya selalu dalam keadaan sehat: Lahir cukup bulan (≥ 37 minggu kehamilan) Tidak ada riwayat pemberian antibiotik sebelum, saat, dan setelah kelahiran Tidak ada riwayat pengobatan hiperbilirubinemia (kuning/jaundice) tanpa sebab Tidak ada riwayat perawatan di rumah sakit Tidak ada penyakit kronis atau kongenital Tidak dirawat di rumah sakit lebih lama dari ibu Tidak ada bukti infeksi kulit, jaringan lunak, tulang, sendi, atau telinga Hasil laboratorium: Sel darah putih 5,000-15,000 per mm3 Hitung sel batang (salah satu jenis sel darah putih) 1,500 per mm3 ≤10 sel darah putih per lapang pandang besar (LPB) pada pemeriksaan urin mikroskopis ≤ 5 sel darah putih per LPB pada pemeriksaan feses mikroskopis bayi dengan diare Antibiotik yang digunakan untuk kelompok usia ini adalah:3 Ampicillin 100-200 mg/kg/hari intravena dalam dosis yang dibagi setiap 6 jam dan gentamicin 7.5 mg/kg/hari dalam dosis yang dibagi setiap 8 jam Atau ceftriaxone, 50 mg/kg/hari dalam 1 dosis Atau cefotaxime, 150 mg/kg/hari dalam dosis yang dibagi setiap 8 jam Bayi 28-90 hari Pada kelompok usia ini, bayi juga dikelompokkan dalam risiko rendah atau risiko tinggi dengan Kriteria Rochester di atas. Jika bayi memiliki risiko tinggi, maka selain dilakukan pemeriksaan lengkap, juga diberikan antibiotik.2 Jika bayi masuk dalam kategori risiko rendah, maka ada 2 pilihan. Yang pertama adalah melakukan kultur darah, urin, pungsi lumbar, dan pemberian antibiotik di rumah sakit. Pilihan kedua adalah melakukan kultur urin dan observasi tanpa pemberian antibiotik, kecuali jika hasil kultur diketahui positif. Apapun pilihan yang diambil, evaluasi follow-up harus dilakukan dalam waktu 24-48 jam.2,3 Keputusan untuk melakukan observasi di rumah atau rumah sakit kembali lagi pada kemampuan orang tua melakukan observasi dengan cermat, kemudahan akses pelayanan kesehatan, dan terjaminnya follow-up. Antibiotik yang dipilih sama dengan kelompok usia < 28 hari.3 Anak 3-36 bulan Pada kelompok usia ini, yang pertama dilakukan adalah mengelompokkan apakah demam si anak < 39°C atau ≥ 39°C.2,3,6 Demam < 39°C Yang harus dilakukan adalah pengambilan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencoba mencari penyebab demam.2 Umumnya tidak perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pemberian antibiotik jika anak tampak baik-baik saja, cukup diberikan antipiretik. Namun orang tua atau caregiver harus membawa anak kembali jika demam terus berlanjut dalam 2-3 hari atau jika kondisi anak memburuk. Demam ≥ 39°C Rekomendasi terbaru untuk kelompok ini adalah:2,3,6 Kultur urin pada semua anak < 2 tahun yang diresepkan antibiotik X-ray dada pada anak dengan sesak napas, laju napas yang cepat, ronkhi (bunyi tidak normal saat diperiksa dengan stetoskop), bunyi napas yang menurun, atau saturasi oksigen (dengan oksimeter) < 95%. Juga pada anak tanpa gejala tersebut yang memiliki leukosit > 20.000/mm3 Kultur feses jika ada lendir atau darah pada feses, atau ada > 5 leukosit per LPB pada pemeriksaan feses mikroskopis Kultur darah Ada beberapa pendapat mengenai hal ini. Pendapat pertama adalah melakukan kultur darah pada semua anak dengan demam ≥ 39°C. Pendapat kedua adalah melakukannya hanya pada anak dengan demam ≥ 39°C dan leukosit > 15.000/mm3. Pendapat ketiga melakukannya hanya pada anak dengan demam ≥ 39°C dan leukosit > 18.000/mm3. Sedangkan pendapat yang cukup baru menekankan pada jumlah neutrofil (salah satu jenis leukosit, terdiri atas bentuk batang dan segmen). Jika neutrofil ≥ 10.000/mm3, baru dilakukan kultur darah. Pemberian antibiotik Antibiotik diberikan dengan kriteria yang sama seperti penentuan perlu tidaknya kultur darah. Pemberian antibiotik juga dapat dipertimbangkan jika orang tua atau caregiver tidak dapat diandalkan untuk melakukan evaluasi follow-up. Antibiotik yang dipilih adalah ceftriaxone, 50 mg/kg/hari dalam dosis tunggal atau cefuroxime, 150-200 mg/kg/hari dalam dosis yang dibagi setiap 6-8 jam. Follow-up dalam 24-48 jam Untuk melihat algoritma penanganan demam tanpa penyebab yang jelas pada anak < 3 tahun, mohon merujuk pada sumber nomor 2. Sumber Finkelstein JA, Christiansen CL, Platt R. Fever in Pediatric Primary Care: Occurrence, Management, and Outcomes. PEDIATRICS Vol. 105 No. 1 Supplement January 2000, pp. 260-266. Available from http://pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/105/1/S2/260 Luszczak M. Evaluation and Management of Infants and Young Children with Fever. AFP Vol. 64/No. 7 (October 1, 2001). Available from http://www.aafp.org/afp/20011001/1219.html Brook I. Unexplained Fever in Young Children: How to Manage Severe Bacterial Infection. BMJ 2003;327:1094-1097 (8 November). Available from http://bmj.bmjjournals.com/cgi/content/full/327/7423/1094 Baraff LJ. Management of Fever without Source in Infants and Children. Ann Emerg Med. 2000 Dec;36(6):602-14. Available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=pubmed&do pt=Abstract&list_uids=11097701 Evidence based clinical practice guideline for fever of uncertain source in children 2 to 36 months of age. Cincinnati (OH): Cincinnati Children's Hospital Medical Center; 2003 Oct 27. 12 p. Available from http://www.guideline.gov/summary/summary.aspx?doc_id=5613&nbr=3783 Park JW. Fever without Source in Children. Vol 107 / No 2 / February 2000 / Postgraduate Medicine. Available from http://www.postgradmed.com/issues/2000/02_00/park.htm dr. Nurul Itqiyah H D I A R E 12/31/2006 APA ITU DIARE Diare atau gastroenteritis (GE) adalah suatu infeksi usus yang menyebabkan keadaan feses bayi encer dan/atau berair, dengan frekuensi lebih dari 3 kali perhari, dan kadang disertai muntah. Muntah dapat berlangsung singkat, namun diare bisa berlanjut sampai sepuluh hari.Pada banyak kasus, pengobatan tidak diperlukan. Bayi usia sampai enam bulan dengan diare dapat terlihat sangat sakit, akibat terlalu banyak cairan yang dikeluarkannya. JENIS DIARE Penatalaksanaan diare bergantung pada jenis klinis penyakitnya, yang dengan mudah ditentukan saat anak pertama kali sakit. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan. Empat jenis klinis diare antara lain: Diare akut bercampur air (termasuk kolera) yang berlangsung selama beberapa jam/hari: bahaya utamanya adalah dehidrasi, juga penurunan berat badan jika tidak diberikan makan/minum Diare akut bercampur darah (disentri): bahaya utama adalah kerusakan usus halus (intestinum), sepsis (infeksi bakteri dalam darah) dan malnutrisi (kurang gizi), dan komplikasi lain termasuk dehidrasi. Diare persisten (berlangsung selama 14 hari atau lebih lama): bahaya utama adalah malnutrisi (kurang gizi) dan infeksi serius di luar usus halus, dehidrasi juga bisa terjadi. Diare dengan malnutrisi berat (marasmus atau kwashiorkor): bahaya utama adalah infeksi sistemik (menyeluruh) berat, dehidrasi, gagal jantung, serta defisiensi (kekurangan) vitamin dan mineral. MENGAPA DIARE BERBAHAYA? Diare menyebabkan kehilangan garam (natrium) dan air secara cepat, yang sangat penting untuk hidup. Jika air dan garam tidak digantikan cepat, tubuh akan mengalami dehidrasi. Kematian terjadi jika kehilangan sampai 10% cairan tubuh. Diare berat dapat menyebabkan kematian. PENATALAKSANAAN Anak dengan diare ringan dapat dirawat di rumah. Penatalaksanaan yang utama adalah menjaga agar asupan cairannya tercukupi, yaitu dengan memastikan anak tetap minum. Cairan ini dibutuhkan untuk menggantikan cairan yang hilang lewat muntah ataupun diare. Cairan sangat penting untuk diberikan, bahkan bila diare bertambah buruk. Jangan berikan obat yang dapat mengurangi muntah atau diare. Obat-obatan itu tidak berguna dan berbahaya. Berikan sedikit cairan namun sering. Berikan cairan semulut penuh setiap 15 menit sekali, hal ini baik diberikan untuk anak anda yang sering muntah. HAL PENTING YANG HARUS DIINGAT Bayi dan anak kecil mudah mengalami dehidrasi, oleh karena itu mereka butuh cairan yang diberikan sedikit namun sering. Bayi berusia di bawah enam bulan dengan diare perlu diperiksa oleh dokter setelah 612 jam penanganan diare. Beri minum setiap kali bayi muntah. Tetap berikan ASI untuk bayi yang masih menyusui. Bagi bayi yang minum susu formula, susu tetap diberikan sampai lebih dari 12-24 jam. Berikan anak yang lebih besar satu cangkir (150-200 ml) cairan untuk setiap muntah banyak atau diare. Teruskan pemberian makanan jika anak anda masih mau makan. Jangan sampai anak tidak mendapat asupan makanan sama sekali dalam 24 jam. Bayi atau anak anda sangat infeksius, jadi cuci tangan sampai bersih dengan sabun dan air hangat, khususnya sebelum memberi makan dan sesudah mengganti popok atau celana. Pisahkan anak atau bayi yang terkena diare dari anak atau bayi lain sebisa mungkin, sampai diare berhenti. TANDA-TANDA DEHIDRASI Derajat dehidrasi dinilai dari tanda dan gejala yang menggambarkan kehilangan cairan tubuh. Pada tahap awal, yang ada hanya mulut kering dan rasa haus. Seiring meningkatnya dehidrasi, muncul tanda-tanda seperti: meningkatnya rasa haus, gelisah, elastisitas (turgor) kulit berkurang, membran mukosa kering, mata tampak cekung, ubun-ubun mencekung (pada bayi), dan tidak adanya air mata sekalipun menangis keras. Dehidrasi minimal atau tanpa dehidrasi (kehilangan < 3% cairan tubuh) Status mental: baik, waspada Rasa haus: minum baik, mungkin menolak cairan Denyut nadi: normal Kualitas kecukupan isi nadi: normal Pernapasan: normal Mata: normal Air mata: ada Mulut dan lidah: lembap (basah) Elastisitas kulit: cepat kembali setelah dicubit Pengisian kapiler darah: normal Suhu lengan dan tungkai: hangat Produksi urin: normal sampai berkurang Dehidrasi ringan sampai sedang (kehilangan 3 – 9% cairan tubuh) Status mental: normal, lesu, atau rewel Rasa haus: haus dan ingin minum terus Denyut nadi: normal sampai meningkat Kualitas kecukupan isi nadi: normal sampai berkurang Pernapasan: normal; cepat Mata: agak cekung Air mata: berkurang Mulut dan lidah: kering Elastisitas kulit: kembali sebelum 2 detik Pengisian kapiler darah: memanjang (lama) Suhu lengan dan tungkai: dingin Produksi urin: berkurang Dehidrasi berat (kehilangan > 9% cairan tubuh) Status mental: lesu, sampai tidak sadar Rasa haus: minum sangat sedikit, sampai tidak bisa minum Denyut nadi: meningkat, sampai melemah pada keadaan berat Kualitas kecukupan isi nadi: lemah, sampai tidak teraba Pernapasan: dalam Mata: sangat cekung Air mata: tidak ada Mulut dan lidah: pecah-pecah Elastisitas kulit: kembali setelah 2 detik Pengisian kapiler darah: memanjang (lama), minimal Suhu lengan dan tungkai: dingin, biru Produksi urin: minimal (sangat sedikit) PENANGANAN DI RUMAH a. Pemberian makanan bayi Jika ibu menyusui, ASI terus diberikan dan diberikan lebih sering. Bayi dengan susu formula boleh diberikan cairan rehidrasi oral selama 12 jam pertama, setelah itu dilanjutkan dengan pemberian susu formula lebih sedikit dari jumlah yang biasa diberikan, namun diberikan lebih sering. b. Cairan Rehidrasi Oral (CRO)/Clear fluid Anak dengan diare harus terus minum CRO atau clear fluid. CRO yang kita kenal bisanya oralit (dalam bentuk kantung sachet dengan atau tanpa rasa tambahan) atau CRO khusus anak (yang tersedia dalam kemasan botol plastik dengan aneka rasa). Cairan tersebut dapat dibeli di apotek atau toko obat, tapi bila tidak tersedia dapat diberikan CRO lain seperti yang disebutkan di bawah ini. Untuk bayi hingga usia sembilan bulan, pembuatan CRO harus menggunakan air mendidih yang telah didinginkan. CRO Oralit CRO khusus anak (kemasan botol) Larutan gula Limun (bukan yang rendah kalori) Jus Buah CARA MEMBUAT Satu sachet dilarutkan dengan dua gelas (400 ml) air siap digunakan Satu sendok makan gula dilarutkan dengan dua gelas (200 ml) air Satu gelas limun dilarutkan dgn 4 gelas (800mL) air Satu gelas jus dilarutkan dengan empat gelas (800 ml) air PERHATIAN: Minuman mengandung gula harus diencerkan, karena terlalu banyak gula pada bayi kecil dapat memperberat diare. PEMBERIAN CRO BERDASARKAN BERAT DAN DERAJAT DEHIDRASI Dapat dilihat pada tabel 1. MAKANAN Anak awalnya akan menolak bila diberi makan. Hal ini bukan masalah selama CRO tetap diberikan. Anak dapat diberikan makanan apa saja yang mereka suka, dan berikan setiap kali mereka ingin makan, dan jenis makanan tidak dibatasi. Anak tidak boleh berhenti makan lebih dari 24 jam. KE RUMAH SAKIT BILA Anak tidak mau minum dan tetap muntah dan diare. Anak dengan diare yang sangat banyak (8-10 kali atau 2-3 kali diare dalam jumlah yang banyak), atau diare berlangsung lebih dari sepuluh hari. Anak muntah terus-menerus dan tidak bisa menerima asupan cairan. Anak dengan gejala dehidrasi yaitu TIDAK/JARANG KENCING, PUCAT, BERAT BADAN TURUN, KAKI DAN TANGAN DINGIN, MATA CEKUNG, ATAU SUSAH BANGUN. Anak dengan sakit perut hebat. atau Orangtua khawatir dengan alasan apapun. DIARE DAN MENYUSUI Meningkatkan upaya menyusui dengan ASI pada bayi sampai usia 6 bulan dapat menyelamatkan kurang-lebih 1,5 juta bayi setiap tahunnya. Sampai dengan 55% kematian pada bayi akibat penyakit diare dan infeksi saluran napas akut terjadi akibat upaya menyusui yang tidak tepat. Upaya menyusui optimal bagi kesehatan anak dan pertumbuhannya adalah memberikan ASI dalam beberapa jam setelah melahirkan, ASI eksklusif selama enam bulan, memberikan makanan pendamping ASI (MPASI) pada waktunya dengan makanan yang tepat, serta meneruskan memberikan ASI sampai umur dua tahun atau lebih. Selama enam bulan pertama, bayi harus diberikan ASI eksklusif. Hal ini berarti bahwa bayi yang sehat hanya menerima ASI, dan tidak ada cairan lain termasuk air putih, teh, jus, dan susu formula. Bayi yang diberikan ASI secara eksklusif lebih jarang mengalami diare atau mengalami kematian akibatnya, dibandingkan bayi yang tdak mendapatkan ASI, atau mendapatkan ASI tidak eksklusif. Memberikan ASI juga melindungi bayi dari risiko alergi, dan infeksi lain seperti penumonia. Jika tidak memungkinkan memberikan ASI, susu sapi atau susu formula sebaiknya diberikan menggunakan cangkir. Hal ini mungkin sekalipun terhadap bayi kecil. Botol susu jangan digunakan karena sukar dibersihkan dan dengan mudah membawa organisme yang menyebabkan diare. Risiko lain juga terjadi pada bayi yang mulai mendapatkan MPASI. Hal ini dikarenakan potensi kuman yang terdapat dalam makanan, dan kehilangan perlindungan dari ASI yang memiliki potensi anti infeksi. Untuk itu perlu mempersiapkan makanan bergizi, dan higienis dalam penyajiannya. Sumber Dikutip dari guideline Royal Children Hospital Australia: http://www.rch.org.au/kidsinfo/factsheet.cfm?doc_id=5353 Dan referensi dari WHO, juga www.guideline.gov Untuk berbagai informasi penting mengenai diare dari WHO (Badan Kesehatan Dunia), dapatkan di: http://www.rehydrate.org http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5216a1.htm http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5216a1.htm#tab1 Informasi lainnya; http://www.med.umich.edu/1libr/pa/pa_diarrhbr_hhg.htm Farian Sakinah (Ian) dan Arifianto (Apin)/NIH Ke Atas K O L I K 12/31/2006 Bayi pada umumnya menangis total 1-3 jam per hari untuk mengkomunikasikan rasa lapar, haus, lelah, ketidaknyamanan karena popok yang basah, rasa dingin, atau kesepian.1 Secara umum, bayi juga lebih sering menangis di sore atau malam hari. Selain untuk mengkomunikasikan hal-hal di atas, tangisan bayi juga dapat memberi petunjuk adanya kemungkinan penyebab lain seperti rasa nyeri, sakit, efek pemberian obat, infeksi (terutama jika disertai demam, napsu makan yang menurun, dan keadaan lemah), proses tumbuhnya gigi, atau kolik.1 Definisi Penyebab terakhir yang disebutkan, kolik, adalah istilah yang digunakan untuk bayi yang menangis lebih dari 3 jam per hari dan tidak disebabkan oleh masalah medis.2 Nama lainnya adalah unexplained crying. Sekitar 20% bayi mengalami hal ini. Umumnya kolik terjadi pada sore atau malam hari, dimulai saat bayi berusia kira-kira 3 minggu, memuncak di usia 4-6 minggu, dan menghilang pada usia 12 minggu. Jika kolik terus berlanjut setelah usia 12 minggu, diagnosis lain perlu diteliti lebih lanjut. Pada usia 6 bulan, kolik harus telah menghilang seluruhnya.3 Sebab Penyebab kolik hingga saat ini belum diketahui dengan pasti.3 Bayi yang mengalami kolik adalah bayi yang sehat, jadi kolik bukan disebabkan masalah medis. Kolik juga bukan disebabkan oleh kesalahan orang tua. Pada umumnya bayi yang mengalami kolik lebih sensitif terhadap hal-hal di sekeliling mereka.3 Mereka juga membutuhkan lebih banyak perhatian dibanding bayi lain. Rasa takut, frustrasi, atau bahkan rasa senang dapat menimbulkan ketidaknyamanan perut dan kolik.2 Jika orang di sekitar mereka khawatir, cemas, atau tertekan, bayi akan menangis lebih banyak. Sebagian bayi dengan kolik yang mengkonsumsi ASI mungkin sensitif (intolerant) terhadap makanan tertentu dalam diet ibu.2 Sedangkan sebagian bayi yang mengkonsumsi susu formula mungkin sensitif terhadap protein dalam formula. Namun dua penyebab ini adalah penyebab yang jarang. Dalam beberapa penelitian yang dilakukan, penanganan kolik dengan memodifikasi dua penyebab ini tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan cara penanganan lainnya (lihat bagian Penanganan). Dulunya gas yang berlebihan dalam usus diperkirakan sebagai penyebab kolik.4 Namun akhir-akhir ini, gas yang berlebihan tersebut dinilai sebagai akibat kolik, bukan sebagai sebab. Gas yang berlebihan dapat terkumpul dengan terus masuknya udara saat bayi menangis. Salah satu kebiasaan yang terbukti berhubungan dengan kolik adalah merokok pada saat kehamilan dan setelah melahirkan. Dari penelitian, bayi dari ibu yang merokok lebih dari 15 batang per hari selama kehamilan memiliki risiko dua kali lipat lebih besar untuk mengalami kolik dibanding bayi dari ibu yang tidak merokok.5 Secara umum, bayi dari ibu yang merokok selama kehamilan dan setelah melahirkan memiliki risiko lebih besar mengalami kolik dibanding bayi dari ibu yang tidak merokok. Gejala Kolik umumnya dimulai pada waktu yang kira-kira sama setiap harinya.2 Bayi akan menangis dengan menarik kaki ke arah perut, perut akan terasa kembung, dan tangan mungkin dikepalkan. Episode ini dapat berlangsung beberapa menit hingga beberapa jam. Kolik berhenti dengan lelahnya bayi, atau dengan keluarnya gas atau feses. Untuk menentukan apakah bayi mengalami kolik, hal pertama yang harus dipastikan adalah bahwa bayi tidak menangis karena sebab lain. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan tentang kolik adalah:4 Bayi yang mengalami kolik memiliki refleks hisap yang normal, napsu makan yang baik, sehat, dan tumbuh sesuai usianya. Bayi yang sakit dapat tampak seperti mengalami kolik, namun napsu makannya akan turun dan refleks hisapnya lemah. Bayi yang mengalami kolik merasa nyaman dengan pelukan. Bayi yang sakit tidak demikian. Bayi yang mengalami kolik dapat mengalami gumoh. Namun jika bayi muntah atau mengalami penurunan berat badan, langkah terbaik adalah menghubungi dokter. Bayi yang mengalami kolik buang air besarnya akan normal. Jika bayi sulit ditenangkan dan mengalami diare atau ada darah di fesesnya, dokter hendaknya dihubungi. Penanganan Penanganan kolik dapat dimulai dengan membuat bayi senyaman mungkin. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah:2,3,4 Menggendong bayi dan mengayun-ayunnya dengan kursi goyang Menggendong bayi dan berjalan-jalan sekeliling ruangan Menggendong bayi dengan posisi tegak, hal ini dapat membantu mengurangi gas yang berlebihan Secara umum, lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk menggendong bayi, bahkan di pagi hari sebelum episode kolik muncul, bayi akan menangis lebih sedikit. Menggendong bayi dengan mengayun-ayunnya juga membantu bayi mengeluarkan gas. Cara lain yang dapat dilakukan adalah:2,3,4 Mengayun-ayun bayi di buaiannya Mengusap lembut perut bayi Meletakkan bayi di pangkuan dan memijat punggungnya dengan lembut Meletakkan botol kecil berisi air hangat atau handuk hangat di perut bayi Menyelimuti bayi dengan selimut hangat Memandikan bayi dengan air hangat Perdengarkan lagu nina bobo atau kaset/CD musik Meletakkan bayi di atas mesin cuci, mesin cuci piring, atau mesin pengering yang sedang bekerja. Kadang white noise dari alat-alat tersebut membantu menenangkan bayi Membawa bayi berjalan-jalan dalam stroller Membawa bayi berkeliling blok dengan mobil (bayi dalam car seat) Jika sudah 2 jam berlalu sejak terakhir menyusui, susui bayi. Susui lebih sedikit dalam jumlah, namun lebih sering dalam frekuensi. Beri waktu yang cukup untuk bayi menyelesaikan menyusu dari satu payudara sebelum menggantinya. Jika bayi disusui dengan botol dan habis dalam waktu kurang dari 20 menit, perkecil lubang di dot untuk menghindari pemberian susu yang terlalu cepat. Ibu yang menyusui juga dapat mempertimbangkan untuk menghindari makanan yang bersifat stimulan seperti kopi atau coklat selama menyusui.2 Penanganan kolik dapat berbeda dari bayi satu dengan bayi lainnya. Hal ini mungkin berhubungan dengan penyebab kolik yang juga beragam . Selain itu tiap bayi dapat memberi respon berbeda terhadap metode yang berbeda. Yang tidak boleh dilupakan adalah fakta bahwa orang tua pun butuh istirahat. Ayah dan ibu dapat bergantian menenangkan bayi yang sedang mengalami kolik.2,3,4 Jika situasi tidak memungkinkan untuk bergantian, ayah atau ibu dianjurkan beristirahat jika merasa sangat lelah atau frustrasi, asalkan bayi diletakkan di tempat yang masih memungkinkan untuk diamati. Mencoba menenangkan bayi yang mengalami kolik dengan perasaan tertekan dan lelah berlebihan bukanlah hal yang baik. Penanganan yang Tidak Tepat Pada sebagian besar bayi, penggantian susu formula tidak menolong mengurangi episode kolik.2,6 Hal ini hanya menolong pada bayi dengan diagnosis pasti sensitivitas terhadap protein formula tertentu. Langkah yang sering diambil orang tua atau dianjurkan tenaga kesehatan contohnya adalah mengganti susu formula bayi dengan formula berbasis kedelai. Penelitian yang dilakukan tidak menunjukkan keuntungan yang berarti dari penggantian tersebut. Selain itu, karena kolik pada umumnya akan menghilang dengan sendirinya maksimal pada usia 4-6 bulan, penanganan agresif dengan penggantian formula adalah penanganan yang berlebihan dan tidak diperlukan. Dari penelitian, menangani kolik dengan mengubah diet ibu (misalnya dengan meminta ibu tidak mengkonsumsi produk susu) juga tidak efektif dibandingkan dengan memberi konseling pada orang tua tentang bagaimana merespon tangisan bayi dan metode menenangkan bayi yang mengalami kolik.7 Salah satu penelitian yang berupaya mencari hubungan antara kolik dengan malabsorbsi (gangguan penyerapan) karbohidrat telah digunakan oleh produsen jus buah tertentu untuk mengklaim bahwa jus buah tertentu lebih mudah diserap usus bayi dibandingkan jus buah lainnya. Perlu diingat bahwa hingga usia 6 bulan, satu-satunya sumber nutrisi yang direkomendasikan adalah ASI.8 Dan karena kolik dialami oleh bayi di bawah usia 6 bulan, pemberian jus buah tidak dibenarkan. Jus buah pada usia di atas 6 bulan pun harus diberikan sebagai bagian jadwal makan, bukan sebagai penenang anak yang menangis. Dan untuk bayi, yang direkomendasikan adalah pemberian buah segar yang dilembutkan, bukan jus buah komersial. Kapan Harus Menghubungi Dokter Walaupun kolik sendiri adalah kondisi yang tidak berbahaya, kadang beberapa penyebab lain tangisan bayi yang lebih serius dapat menyerupai kolik. Segera hubungi dokter jika:2,3 Tangisan bayi mencerminkan rasa sakit (misalnya menjadi lebih lemah atau bernada tinggi) Pertambahan berat badan bayi terhambat Gejala kolik disertai demam, muntah, diare, darah pada feses, atau keadaan lemah Ibu atau ayah tidak yakin bahwa bayi mengalami kolik Ibu atau ayah khawatir tidak dapat menangani bayi atau takut menyakiti bayi Sumber Crying – excessive (0-6 months). Available from http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003023.htm Colic and Crying. Available from http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000978.htm Colic: Learning How to Deal with Your Baby’s Crying. Available from http://familydoctor.org/036.xml Your Colicky Baby. Available from http://kidshealth.org/PageManager.jsp?dn=KidsHealth&lic=1&article_set=213 54&cat_id=20049& Sondergaard C, Henriksen TB, Obel C, Wisborg K. Smoking during Pregnancy and Infantile Colic. PEDIATRICS Vol. 108 No. 2 August 2001, pp. 342-346. Available from http://pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/108/2/342 Soy Protein-based Formulas: Recommendations for Use in Infant Feeding. PEDIATRICS Vol. 101 No. 1 January 1998, pp. 148-153. Available from http://aappolicy.aappublications.org/cgi/content/full/pediatrics;101/1/148 Taubman B. Parental counseling compared with elimination of cow's milk or soy milk protein for the treatment of infant colic syndrome: a randomized trial. Pediatrics Volume 81, Issue 6, pp. 756-761, 06/01/1988 . The Use and Misuse of Fruit Juice in Pediatrics. PEDIATRICS Vol. 107 No. 5 May 2001, pp. 1210-1213. Available from http://aappolicy.aappublications.org/cgi/content/full/pediatrics;107/5/1210 C A C A R A I R 12/31/2006 Cacar air adalah salah satu penyakit yang umum ditemui pada anak-anak. 90% kasus cacar air terjadi pada anak di bawah sepuluh tahun.1 Dan lebih dari 90% orang telah mengalami cacar air pada saat mereka berusia 15 tahun.2 Insidens penyakit ini paling tinggi terlihat pada usia 5 – 9 tahun. Cacar air terjadi akibat infeksi primer (pertama kali) Varicella Zoster Virus (VZV). Karena disebabkan virus, penyakit ini sembuh dengan sendirinya. Namun setelah sembuh, VZV tidak benar-benar hilang dari tubuh. Virus ini akan menetap di bagian saraf tertentu dan nantinya dapat terakivasi kembali dalam bentuk herpes zoster (cacar ular atau shingles).2,3 Herpes zoster ini umumnya terjadi pada usia di atas 60 tahun dan pada sebagian besar kasus hanya terjadi sekali.3 Gejala Penyakit yang umumnya ringan ini ditandai dengan demam ringan dan ruam yang gatal di seluruh tubuh.2 Sebelum ruam tersebut muncul, anak dapat mengalami gejala awal (prodrome) seperti demam ringan, sakit kepala, sore throat, rasa lemas, atau pembesaran kelenjar getah bening di leher bagian belakang.1,2 Pada anak-anak yang sangat muda, gejala awal ini umumnya sangat ringan, sedangkan pada anak-anak yang lebih besar atau orang dewasa, gejala awal ini dapat dirasakan lebih berat. Gejala awal ini dapat berlangsung 1 – 6 hari sebelum ruam cacar muncul. Ruam cacar air pertama muncul di badan untuk kemudian menyebar ke wajah, lengan, dan tungkai.1 Ruam awalnya tampak sebagai bintik-bintik merah, lalu menjadi benjolan-benjolan kecil berisi cairan jernih (vesikel), untuk kemudian pecah dan mengering.1,2 Ruam ini muncul secara bertahap selama 3-4 hari sehingga pada puncak masa sakit dapat ditemui ruam dalam semua tahapannya (bintik-bintik, benjolan berisi cairan, dan ruam yang mengering). Selain di kulit, ruam juga dapat muncul di selaput mukosa seperti bagian dalam mulut atau vagina. Umumnya ruam membutuhkan sekitar 7 – 14 hari untuk sembuh. Diagnosis Diagnosis cacar air dilakukan secara klinis, artinya dari riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik saja.3 Pemeriksaan laboratorium hanya dibutuhkan pada pasien dengan gejala yang tidak khas atau kompleks, atau untuk menentukan status kekebalan terhadap VZV pada orangorang dengan risiko tinggi jika terinfeksi VZV. Komplikasi Cacar air jarang menyebabkan komplikasi. Jika terjadi, komplikasi dapat berupa:2 Infeksi kulit oleh bakteri. Ini adalah komplikasi yang paling umum ditemukan. Bekas luka yang menetap. Hal ini umumnya ditemukan jika cacar air terjadi pada anak yang usianya lebih tua atau pada orang dewasa. Bekas luka yang menetap ini tidak berhubungan dengan digaruk atau tidaknya luka maupun berat ringannya penyakit. 1 Acute cerebellar ataxia. Komplikasi ini tidak umum ditemukan, dan cenderung lebih mungkin terjadi pada anak yang lebih tua. Komplikasi ini ditandai dengan gerakan otot yang tidak terkoordinasi sehingga anak dapat mengalami kesulitan berjalan, kesuliatn berbicara, dan gerakan mata yang berganti-ganti dengan cepat (nystagmus). Ataxia ini akan menghilang dengan sendirinya dalam beberapa minggu atau bulan. Pneumonia (infeksi paru-paru) atau encephalitis (infeksi otak) jarang sekali terjadi pada anak yang sebelumnya sehat. Angka kematian akibat cacar air adalah sekitar 1,4/100.000 Pada beberapa kelompok, cacar air mungkin menyebabkan komplikasi yang serius seperti cacar air yang berat di seluruh tubuh, pneumonia, dan hepatitis. Yang termasuk dalam kelompok tersebut misalnya:2 Bayi di bawah usia 28 hari Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah (misalnya pasien dengan HIV, penerima cangkok organ, penerima kemoterapi, pasien dengan leukemia) Penularan Cacar air sangat menular. Penularan dapat terjadi sejak 48 jam sebelum ruam pertama muncul hingga 5 hari setelahnya.2,4 Dengan demikian anak yang mengalami cacar air sebenarnya dapat kembali ke sekolah setelah 5 hari tersebut berlalu. Setelah tertular, umumnya dibutuhkan waktu sekitar 10 – 21 hari sebelum gejala awal timbul. Jangka waktu ini dikenal sebagai masa inkubasi. Cacar air ditularkan melalui udara pernapasan, kontak langsung dengan cairan ruam, dan kontak dengan barang yang terkena cairan ruam seperti seprai, selimut, atau handuk.2 Penanganan Karena cacar air pada umumnya ringan dan sembuh dengan sendirinya, penanganan cacar air terutama ditujukan untuk meringankan gejala.1 Yang dapat dilakukan adalah:1 Tirah baring secukupnya Parasetamol untuk menurunkan demam Calamine dan mandi dengan air suam-suam kuku untuk meringankan rasa gatal Sarung tangan untuk mencegah anak menggaruk ruam mungkin dibutuhkan pada anak-anak yang sangat kecil. Makanan yang lebih lembut dan menyejukkan jika ada ruam di dalam mulut.5 Sedangkan beberapa penanganan yang tidak dianjurkan adalah:2 Antihistamin yang bersifat sedatif (membuat tidur) seperti chlorpheniramine. Obat golongan ini tidak signifikan untuk menangani rasa gatal pada cacar air.2 Antivirus tidak direkomendasikan penggunaannya pada cacar air tanpa komplikasi. Bahkan jika mulai diberikan pada hari di mana ruam pertama kali muncul, antivirus hanya mengurangi satu hari dari lamanya sakit. Penelitian yang dilakukan juga menunjukkan bahwa acyclovir (salah satu antivirus) tidak bermakna dalam menurunkan risiko komplikasi pada cacar air. Selain itu penggunaan antivirus secara teori juga dapat berubahnya respon kekebalan tubuh sehingga virus dapat teraktivasi kembali lebih cepat dalam bentuk herpes zoster (cacar ular).6 Antivirus dapat dipertimbangkan untuk digunakan pada cacar air dengan komplikasi yang berat, cacar air pada bayi di bawah usia 28 hari, atau pada orang dedngan sistem kekebalan tubuh yang rendah. Pemberian antivirus ini harus dilakukan dalam jangka waktu 48 jam setelah ruam pertama kali muncul. Antibiotik. Antibiotik hanya dibutuhkan jika ada infeksi kulit oleh bakteri.5 Pencegahan Cacar air dapat dicegah dengan beberapa cara: Vaksinasi.7 Vaksinasi memberikan perlindungan penuh dari cacar air pada 8 – 9 dari 10 orang. Pada orang yang tetap mengalami cacar air setelah vaksinasi, cacar air yang dialami sangat ringan, dengan jumlah ruam di bawah 50, demam ringan atau tanpa demam, dan hanya berlangsung beberapa hari. Vaksinasi diberikan pada kelompok-kelompok berikut:7 Anak dengan usia antara 12 – 18 bulan yang belum pernah mengalami cacar air harus mendapatkan satu dosis vaksinasi Anak dengan usia antara 19 bulan hingga 13 tahun yang belum pernah mengalami cacar air harus mendapatkan satu dosis vaksinasi Orang dewasa yang belum pernah mengalami cacar air dan bekerja atau tinggal di lingkungan di mana penularan cacar air sangat mungkin terjadi, misalnya di sekolah, penitipan anak, rumah sakit, asrama, penjara, atau barak militer Wanita usia reproduktif yang belum pernah mengalami cacar air dan tidak dalam keadaan hamil Orang dewasa dan remaja yang belum pernah mengalami cacar air dan tinggal dengan anak-anak Orang yang hendak bepergian ke luar negeri dan belum pernah mengalami cacar air Varicella Zoster Immunoglobulin (VZIG).3 VZIG adalah zat kekebalan terhadap virus penyebab cacar air. VZIG diberikan hanya pada kelompok-kelompok tertentu yaitu:3 Orang dengan sistem kekebalan yang rendah Wanita hamil yang terpapar kasus cacar air dan belum pernah mengalami cacar air sebelumnya Bayi di bawah usia 28 hari yang lahir kurang dari usia kehamilan 28 minggu atau berat lahirnya kurang dari 1000 g Bayi di bawah usia 28 hari yang ibunya terpapar kasus cacar air atau mengalami cacar air antara 7 hari sebelum persalinan hingga 7 hari setelah persalinan Yang penting diingat adalah bahwa VZIG hanya efektif mencegah terjadinya cacar air jika diberikan dalam jangka waktu 96 jam setelah paparan terhadap kasus cacar air. Sumber o o Miller C. Varicella/Chickenpox: Essential Facts. Available from http://www.ahmf.com.au/varicella/essential_facts_varicella.htm Prodigy Guidance: Chickenpox. Last revised November 2004. Available from http://www.prodigy.nhs.uk/chickenpox/view_whole_guidance o o o o Australian Herpes Management Forum. Overview of Varicella Zoster Virus. Available from http://www.ahmf.com.au/health_professionals/guidelines/overview_vzv.htm Guidelines on the management of communicable diseases in schools and nurseries: Chickenpox. Reviewed 13 May 2004. Available from http://www.hpa.org.uk/infections/topics_az/schools/guideline_info/chickenpo x.htm Hirsch L. Chickenpox. Reviewed August 2006. Available from http://www.kidshealth.org/parent/infections/skin/chicken_pox.html McKendrick MW. Controversies in Management: Acyclovir for Childhood Chickenpox. BMJ 1995;310:108-109 (14 January). Available from http://bmj.bmjjournals.com/cgi/content/full/310/6972/108 Batuk 12/31/2006 Anak-anak dapat mengalami 6-12 infeksi saluran pernapasan (ISPA) dalam setahun, umumnya disertai batuk. Pada sebagian besar anak, batuk akan berhenti dengan sendirinya dalam 1-3 minggu, walaupun kadang dapat lebih lama. Secara umum, jika seorang anak mengalami batuk setiap hari selama lebih dari 3 minggu, beberapa kemungkinan penyebab selain ISPA harus dipertimbangkan: Anak mungkin memiliki kelainan pada saluran pernapasannya, misal: tracheoesophageal fistula (adanya saluran penghubung antara trakea/saluran napas dan kerongkongan/saluran makan). Benda asing yang tersangkut di saluran napas merupakan kemungkinan penyebab lainnya, terutama pada batita. Asma atau rinitis kronis (reaksi peradangan hidung yang terus menerus berlangsung). Merokok atau faktor psikologis dapat menjadi penyebab batuk kronis pada remaja. Perlu diingat bahwa batuk dengan banyak dahak tidak umum ditemui pada anak-anak dan perlu diteliti penyebabnya. Diagnosis Untuk menentukan penyebab batuk, beberapa hal penting untuk diperhatikan. Yang pertama tentunya perlu dibedakan apakah batuk ini dialami terus menerus atau kambuh kembali setelah sempat sembuh. Mulainya batuk juga penting diketahui, misalnya batuk yang sangat tiba-tiba tanpa gejala lain mungkin menandakan adanya benda asing yang tersangkut di saluran napas. Jenis dan pola batuk juga dapat memberi petunjuk dalam menentukan penyebab batuk. Misalnya batuk yang dialami dalam serangan-serangan yang tidak terkontrol (paroxysmal) mungkin disebabkan pertusis, chlamydia, atau benda asing. Batuk yang menghilang selama tidur dapat menandakan bahwa batuk yang dialami hanyalah karena kebiasaan (habit cough). Gejala lain yang menyertai batuk juga sangat menolong dalam upaya ini karena beberapa penyakit memiliki gejala-gejala yang cukup khas, misalnya: sinusitis, rinitis kronis, atopi, atau asma. Selain itu, paparan terhadap asap rokok juga merupakan faktor penting pada anak dengan keluhan batuk. Pada pemeriksaan fisik, ada tidaknya tanda kekurangan oksigen (hipoksia) yang berlangsung kronis harus diteliti, misalnya: gagal tumbuh dan clubbing (kondisi akibat hipoksia kronis di mana batas kuku dengan kulit jari menjadi datar jika dilamati dari samping dan jari terlihat lebih lebar). Selain itu tentunya tanda-tanda lain seperti demam, napas yang cepat, mengi, dan bunyi napas yang tidak simetris juga harus diperhatikan. Pemeriksaan lebih lanjut seperti pemeriksaan laboratorium atau X-ray hanya dibutuhkan pada kasus-kasus tertentu. Penanganan Jika anak dalam keadaan sehat dan pemeriksaan fisiknya normal, yang perlu dilakukan hanyah menghindari paparan terhadap zat yang mengiritasi seperti asap rokok. Tidak ada bukti yang menunjukkan peran obat penekan batuk, dekongestan, anti alergi, atau antibiotik pada penanganan batuk dalam kasus seperti ini. Kunjungan follow-up ke dokter dapat dilakukan dalam 2-3 minggu. Anak yang tidak terlihat sehat atau yang pemeriksaan fisiknya tidak normal membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut seperti dapat dilihat pada flow chart berikut ini: Anak dengan batuk lebih dari 3 minggu Apakah riwayat/pemeriksaan fisik normal? Ya. Hindari iritan, follow-up. Tidak, lanjut ke pertanyaan berikutnya Apakah riwayat/pemeriksaan fisik mengarah pada pertusis? Ya. Penanganan pertusis Tidak Apakah riwayat/pemeriksaan fisik mengarah pada asma? Ya. Penanganan asma Tidak Apakah riwayat/pemeriksaan fisik mengarah pada benda asing? Ya. Penanganan benda asing Tidak Apakah riwayat/pemeriksaan fisik mengarah pada sinusitis? Ya. Penanganan sinusitis Tidak Lakukan X-ray dada dan pemeriksaan lain yang dibutuhkan. Sumber Clinical Practice Guidelines: Cough Available from http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm?doc_id=9744 T U B E R K U L O S I S ( T B ) 12/31/2006 Diperkirakan sepertiga populasi dunia terinfeksi Mycobacterium tuberculosis, bakteri penyebab tuberculosis (TB).1 Dan dari populasi yang terinfeksi tersebut, setiap tahun lebih dari 8 juta orang menjadi sakit, serta 2 juta orang meninggal karena TB. Dari seluruh kasus, 11%-nya dialami oleh anak-anak di bawah 15 tahun. Menurut perhitungan global lainnya, setiap tahun 1,5 juta kasus baru TB dan 130.000 kematian akibat TB terjadi pada populasi anak, dengan kisaran persentasi yang sangat luas antar berbagai negara di dunia (antara 325%).1,2 Namun seringkali TB pada populasi anak tidak ditempatkan sebagai prioritas utama oleh program penanganan TB nasional karena beberapa alasan:2 Kesulitan diagnosis Jarangnya penularan dari TB anak Sumber daya yang terbatas Keyakinan yang salah mengenai BCG Kurangnya data mengenai pengobatan Definisi Penting Infeksi TB: infeksi pada orang yang terpapar Mycobacterium tuberculosis tanpa adanya gejala penyakit. Juga disebut infeksi laten TB. Umumnya didiagnosis dengan tes tuberkulin kulit.1 Penyakit TB: infeksi TB dengan gejala penyakit. Juga disebut sebagai TB aktif. TB pada Anak TB pada anak dapat terjadi pada usia berapa pun, namun usia paling umum adalah antara 1-4 tahun.3 Anak lebih sering mengalami TB luar paru-paru (extrapulmonary) dibanding TB paru-paru dengan perbandingan 3:1.1,3 TB luar paru-paru dan TB yang berat terutama ditemukan pada usia < 3 tahun.1 Angka kejadian (prevalensi) TB paru-paru pada usia 5-12 tahun cukup rendah, kemudian meningkat setelah masa remaja di mana TB paru-paru menyerupai kasus pada pasien dewasa (sering disertai lubang/kavitas pada paru-paru).3 Selain oleh M. tuberculosis dari orang dewasa atau anak lain, anak dapat terinfeksi Mycobacterium bovis dari susu sapi yang tidak dipasteurisasi.3 Infeksi M. bovis ini umumnya bermanifestasi sebagai TB kelenjar getah bening atau TB usus. Sebagian besar anak yang terinfeksi M. tuberculosis tidak menjadi sakit selama masa anakanak.3 Satu-satunya bukti infeksi mungkin hanyalah tes tuberkulin kulit yang positif. Kemungkinan paling besar anak menjadi sakit dari infeksi M. tuberculosis adalah segera setelah infeksi dan menurun seiring waktu. Jika anak yang terinfeksi menjadi sakit, sebagian besar akan menunjukkan gejala dalam jangka waktu satu tahun setelah infeksi. Namun untuk bayi, jangka waktu tersebut mungkin hanya 6-8 minggu. Faktor Risiko TB Anak dengan risiko tinggi untuk mengalami TB antara lain:1 Anak yang mengalami kontak dengan kasus baru yang pemeriksaan dahak mikroskopiknya positif Anak kurang dari 5 tahun Anak dengan infeksi HIV Anak dengan kurang gizi yang berat Diagnosis TB Pada anak, diagnosis TB dapat didasarkan pada beberapa hal berikut:1 Kontak dengan kasus sumber Kontak dekat didefinisikan sebagai tinggal bersama di satu rumah atau mengalami kontak yang sering dengan kasus sumber yang pemeriksaan dahak mikroskopiknya positif TB. Kasus sumber yang negatif pemeriksaan dahaknya dengan mikroskop namun positif dengan kultur juga infeksius, namun tidak seberbahaya kasus sumber dengan pemeriksaan dahak mikroskopik yang positif. Dengan dasar tersebut, ada beberapa poin yang penting:1 Anak di bawah 5 tahun yang mengalami kontak dekat dengan orang yang pemeriksaan dahak mikroskopiknya positif TB harus menjalani pemeriksaan penyaring TB Setiap satu kasus TB terdiagnosis pada anak atau remaja, kasus sumber dewasanya harus diteliti, terutama orang dewasa yang tinggal di rumah yang sama Jika seorang anak mengalami TB yang infeksius, maka kontak selama masa anakanak harus diteliti dan menjalani pemeriksaan penyaring. Kasus TB pada anak dianggap infeksius jika pemeriksaan dahak mikroskopiknya positif atau memiliki kavitas (lubang) pada X-ray dadanya Gejala TB Anak umumnya mengalami gejala kronis seperti batuk yang tak kunjung sembuh, demam, dan turunnya berat badan atau tidak naiknya berat badan terutama setelah menjalani program perbaikan gizi (nutritional rehabilitation).1 Batuk kronik didefinisikan sebagai batuk yang tak kunjung sembuh dan tidak membaik selama lebih dari 21 hari (3 minggu).1 Demam di sini didefinisikan sebagai demam lebih dari 380C selama 14 hari setelah kemungkinan penyebab lain dapat disingkirkan. Walaupun TB luar paru-paru (extra pulmonary) seringkali tidak menunjukkan tanda yang jelas, beberapa tanda cukup spesifik untuk memulai pemeriksaan dan penanganan sesegera mungkin.1 Tanda fisik seperti tonjolan di tulang belakang (gibbus) atau pembesaran kelenjar getah bening leher yang tidak nyeri dengan pembentukan saluran tempat keluarnya nanah (fistula) sangat sugestif untuk TB luar paru-paru.1 Radang selaput otak (meningitis) yang tidak menunjukkan respon terhadap antibiotik, cairan pada rongga antara paru-paru dengan dinding dada (pleural effusion), cairan pada rongga selaput jantung (pericardial effusion), cairan pada rongga perut (ascites), pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri tanpa pembentukan fistula, pembengkakan sendi yang tidak nyeri, atau benjolan keras kemerahan di lengan/kaki (erythema nodosum) juga merupakan tanda-tanda perlunya dilakukan pemeriksaan TB lebih lanjut. Tes tuberkulin kulit (Mantoux) Tes tuberkulin kulit akan menunjukkan hasil positif jika seorang anak terinfeksi M. tuberculosis.1 Namun hasil positif tidak mengindikasikan adanya penyakit. Untuk mendiagnosis TB, tes ini digunakan bersama dengan pemeriksaan klinis dan X-ray dada. Tes tuberkulin kulit yang negatif tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis TB. Tes ini dikategorikan sebagai positif jika ditemukan:1 Indurasi (tonjolan keras) ≥ 5 mm pada anak berisiko tinggi. Definisi risiko tinggi beberapa di antaranya adalah infeksi HIV dan kurang gizi yang berat. Kadang pada anak dengan HIV, kurang gizi yang berat, atau masalah lain yang menurunkan kekebalan tubuh, tes ini akan menunjukkan hasil negatif palsu karena kekebalan tubuh yang cukup dibutuhkan untuk memberikan reaksi terhadap tes Indurasi ≥ 10 mm pada anak lainnya, baik yang pernah menerima BCG atau tidak X-ray dada Pada sebagian besar kasus, X-ray dada akan menunjukkan perubahan yang tipikal untuk TB.1 Gambaran X-ray paling umum adalah memutihnya suatu area di paru-paru dalam jangka waktu yang lama (persistent opacification) dengan pembesaran kelenjar getah bening di pangkal paru-paru (hilar) atau di sekitar pangkal saluran udara (subcarinal). Gambaran perubahan di bagian atas atau tengah paru-paru lebih umum ditemukan dibanding di bagian bawah.3 Anak dengan gambaran seperti ini yang tidak membaik setelah pemberian antibiotik harus menjalani pemeriksaan TB lebih lanjut.1 Gambaran X-ray dengan titik-titik putih yang tersebar di seluruh paru-paru (miliary) sangat sugestif untuk TB. Pasien remaja umumnya memilikik gambaran X-ray dada serupa dengan pasien dewasa dengan adanya cairan di rongga pleura (pleural effusion) dan memutihnya bagian puncak paru-paru dengan pembentukan lubang (cavity).1 Pemeriksaan X-ray dada berguna dalam diagnosis TB pada anak.1 Karena itu X-ray dada harus diinterpretasikan oleh radiolog atau tenaga kesehatan yang terlatih dalam interpretasi Xray. Tes bakteriologis Pada anak, bahan untuk tes bakteriologis dapat diperoleh dari dahak, pengambilan cairan (aspirasi) dari lambung, atau cara lainnya seperti biopsi kelenjar getah bening.1 Pemeriksaan bakteriologis berperan penting terutama pada anak dengan:1 Kecurigaan resistensi terhadap obat Infeksi HIV Kasus yang kompleks atau parah Diagnosis yang tidak pasti Dahak untuk diperiksa dengan mikroskop umumnya dapat diperoleh pada anak ≥ 10 tahun.1 Pada anak di bawah 5 tahun, dahak sangat sulit diperoleh dan sebagian besar akan menunjukkan hasil negatif. Seperti pada pasien dewasa, pemeriksaan dahak membutuhkan 3 sediaan: yang diperoleh pada awal evaluasi, pada pagi berikutnya, dan pada kunjungan berikutnya. Aspirasi cairan lambung dengan selang khusus lambung yang dimasukkan dari hidung (nasogastric tube) dapat dilakukan pada anak yang tidak dapat atau tidak mau mengeluarkan dahak.1 Cara lain yang dapat dilakukan adalah induksi dahak. Tes lain Pengambilan contoh jaringan (aspirasi) dengan jarum halus atau fine needle aspiration dapat digunakan untuk membantu diagnosis TB luar paru-paru, terutama TB kelenjar getah bening.1 Tes lainnya adalah PCR, suatu teknik untuk mendeteksi adanya materi genetik M. tuberculosis.1 Tes ini tidak direkomendasikan untuk anak karena belum cukupnya penelitian yang dilakukan terhadap tes ini. Selain itu dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan, metode ini menunjukkan hasil yang tidak memuaskan. Pemeriksaan rumit lain seperti CT scan dan evaluasi saluran udara dengan selang khusus yang dilengkapi kamera (bronchoscopy) juga tidak direkomendasikan untuk mendiagnosis TB anak. Mencoba pemberian obat TB sebagai metode untuk mendiagnosis TB pada anak juga tidak direkomendasikan.1 Keputusan untuk memulai pengobatan TB pada anak harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati, dan jika diputuskan untuk dilakukan, maka anak harus menjalani pengobatan dengan jangka waktu penuh. Penggunaan Diagnostic Score Charts Walaupun banyak negara yang menggunakan scoring chart untuk mendiagnosis TB pada anak, tidak ada satupun yang telah diteliti secara sistematik.3 Karena itu, pendekatan ini harus digunakan semata-mata sebagai penyaring, dan bukan sebagai alat untuk menegakkan diagnosis. Di India, sistem ini tidak direkomendasikan untuk diagnosis TB anak dalam National TB Control Program mereka.2 Karena sulitnya memperoleh sediaan dahak pada anak, beberapa kriteria klinis yang sederhana telah diajukan untuk mendiagnosis TB pada anak.1 Kriteria ini didasarkan pada kriteria WHO untuk mendiagnosis TB pada anak. Diagnosis TB ditegakkan jika diperoleh 3 dari kriteria berikut ini: Tes tuberkulin kulit yang positif Gejala kronis sesuai TB Perubahan fisik sugestif untuk TB X-ray dada sugestif untuk TB Di India, diagnosis TB pada anak didasarkan pada kombinasi gejala klinis, pemeriksaan dahak jika memungkinkan, X-ray dada, tes Mantoux, dan riwayat kontak.2 TB yang Resisten terhadap Obat (drug-resistant TB) Diagnosis ini adalah diagnosis yang dibuat berdasarkan data laboratorium.1 Namun, resistensi harus dipikirkan jika ditemukan tanda-tanda berikut: Pada kasus sumber yang dicurigai resisten Kontak dengan kasus yang resisten Kasus sumber yang pemeriksaan dahak mikroskopiknya tetap positif setelah 3 bulan pengobatan Riwayat pengobatan TB sebelumnya Riwayat terhentinya pengobatan TB Pada anak yang dicurigai resisten Kontak dengan kasus yang resisten Tidak adanya respon terhadap pengobatan TB Kembalinya TB setelah pengobatan patuh Kategori TB pada Anak1 TB paru-paru dengan pemeriksaan dahak mikroskopik positif 2 atau lebih sediaan dahak mikroskopik positif, atau 1 sediaan dahak mikroskopik positif dan perubahan X-ray dada yang sesuai dengan TB paru-paru aktif, atau 1 sediaan dahak mikroskopik positif dan kultur positif TB paru-paru dengan pemeriksaan dahak mikroskopik negatif Kategori ini, walaupun jarang ditemukan pada pasien dewasa, merupakan kategori yang umum ditemukan pada anak. Untuk masuk dalam kategori ini, beberapa hal harus terpenuhi adalah: Paling sedikit 3 sediaan dahak mikroskopik negatif, dan Perubahan X-ray dada sesuai TB paru-paru aktif, dan Tidak ada respon terhadap antibiotik spektrum luas, dan Keputusan dimulainya pengobatan TB TB luar paru-paru TB luar paru-paru yang cukup umum pada anak antara lain adalah:1,4 TB kelenjar getah bening leher yang diagnosisnya dibantu dengan aspirasi jarum halus (fine needle aspiration) TB selaput otak (meningitis) yang diagnosisnya dibantu dengan pemeriksaan cairan serebrospinal TB rongga pleura TB rongga selaput jantung (pericardial) yang diagnosisnya dibantu dengan pemeriksaan cairan di rongga selaput jantung TB rongga perut yang diagnosisnya dibantu dengan USG dan biopsi kelenjar getah bening perut TB tulang dan sendi yang diagnosisnya dibantu dengan pemeriksaan cairan sendi Pengobatan Tujuan utama pengobatan TB pada anak adalah:1 Membunuh sebagian besar bakteri dengan cepat untuk mencegah perkembangan penyakit dan penularan Menghasilkan kesembuhan permanen dengan membunuh bakteri yang tidak aktif sehingga tidak akan menimbulkan kekambuhan Mencapai 2 tujuan di atas dengan efek samping seminimal mungkin Mencagah terbentuknya bakteri yang resisten terhadap obat TB dengan menggunakan kombinasi obat. Rekomendasi regimen dan dosis pengobatan TB pada anak-anak sama dengan pada pasien dewasa.3 Hal ini ditujukan untuk menghindari kebingungan dan meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan. Namun tetap ada beberapa perbedaan antara anak dan dewasa yang mempengaruhi pilihan jenis obat. Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase: intensif dan lanjutan.1,3 Fase intensif ditujukan untuk membunuh sebagian besar bakteri secara cepat dan mencegah resistensi obat. Sedangkan fase lanjutan bertujuan untuk membunuh bakteri yang tidak aktif. Fase lanjutan menggunakan lebih sedikit obat karena sebagian besar bakteri telah terbunuh sehingga risiko pembentukan bakteri yang resisten terhadap pengobatan menjadi kecil. Regimen Pengobatan TB untuk Berbagai Jenis TB pada Anak1,3 Dapat dilihat pada table 1. Thiacetazone tidak lagi dianjurkan untuk digunakan dalam pengobatan TB karena risikonya menimbulkan reaksi yang parah pada pasien anak dan dewasa dengan HIV.1,3 Kortikosteroid dapat digunakan dalam penanganan sebagian jenis TB yang kompleks seperti meningitis TB, komplikasi TB kelenjar getah bening bronkus, dan TB rongga selaput jantung.1,3 Pada kasus meningitis TB yang berat, kortikosteroid meningkatkan harapan hidup dan menurunkan angka kesakitan.1 Jenis yang paling umum digunakan adalah prednisone dengan dosis 2 mg/kg/hari (maksimum 60mg/hari) selama 4 minggu. Setelah itu dosis harus diturunkan dalam 1-2 minggu sebelum dihentikan. Pengobatan TB umumnya dilakukan dengan rawat jalan (outpatient basis). Namun ada beberapa kondisi yang membutuhkan perawatan di RS. Kondisi-kondisi tersebut adalah:1 Meningitis TB dan TB milier, lebih baik selama 2 bulan pertama Anak dengan gangguan pernapasan TB tulang belakang Efek samping pengobatan yang parah, misalnya kuning karena keracunan pada hati (hepatotoksisitas). Follow-up Follow-up idealnya dilaksanakan dengan interval sebagai berikut: 2 minggu setelah awal pengobatan, akhir fase intensif (bulan kedua), dan setiap 2 bulan hingga pengobatan selesai.1 Beberapa poin penting dalam follow-up adalah sebagai berikut:1 Pada follow-up, dosis obat disesuaikan dengan peningkatan berat badan. Pemeriksaan dahak mikroskopik pada bulan kedua harus dilakukan untuk anak yang pada saat diagnosis awal pemeriksaan dahak mikroskopiknya positif. X-ray dada tidak dibutuhkan dalam follow-up. Setelah pengobatan dimulai, kadang gejala TB atau gambaran X-ray dada menjadi lebih parah.1 Hal ini umumnya terjadi seiring peningkatan kekebalan tubuh karena perbaikan gizi, pengobatan TB itu sendiri, atau terapi antiviral pada anak dengan HIV. Pengobatan TB harus dilanjutkan, walaupun dalam sebagian kasus kortikosteroid mungkin dibutuhkan. Efek Samping Pengobatan Efek samping pengobatan TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan pada pasien dewasa.1 Efek samping yang paling penting adalah keracunan pada hati (hepatotoksisitas) yang dapat disebabkan oleh isoniazid, rifampicin, dan pyrazinamide. Tidak ada anjuran untuk memeriksa kadar enzim hati secara rutin karena peningkatan enzim yang ringan (< 5 kali kadar normal) bukanlah indikasi untuk menghentikan pengobatan. Namun jika terjadi nyeri hati, pembesaran hati, atau menguningnya kulit, kadar enzim hati harus diperiksa, diikuti penghentian obat-obatan yang hepatotoksik hingga fungsi hati normal kembali. Jika pengobatan TB harus tetap dilanjutkan pada kasus-kasus yang berat, maka yang digunakan haruslah obat-obatan yang tidak bersifat hepatotoksik. Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi vitamin B6 (pyridoxine) pada kondisi tertentu sehingga suplemen vitamin B6 direkomendasikan pada anak yang kurang gizi, anak yang terinfeksi HIV, bayi yang masih menyusu ASI, dan remaja yang hamil.1 BCG World Health Organization (WHO) merekomendasikan vaksinasi bacille Calmette-Guérin (BCG) segera setelah bayi lahir di negara-negara dengan prevalensi TB yang tinggi.1 Negara dengan prevalensi TB tinggi adalah semua negara yang tidak termasuk dalam prevalensi TB rendah. Sedangkan kriteria negara dengan prevalensi TB rendah adalah sebagai berikut:1 Rata-rata tahunan pelaporan TB paru-paru dengan pemeriksaan dahak mikroskopik positif ≤ 5/100.000 selama 3 tahun terakhir Rata-rata tahunan pelaporan meningitis TB pada anak di bawah 5 tahun < 1/1.000.000 populasi selama 5 tahun terakhir Rata-rata tahunan risiko infeksi TB ≤ 0,1% Walaupun BCG telah diberikan pada anak sejak tahun 1920-an, efektivitasnya dalam pencegahan TB masih merupakan kontroversi karena kisaran keberhasilan yang diperoleh begitu lebar (antara 0-80%).1 Namun ada satu hal yang diterima secara umum, yaitu BCG memberi perlindungan lebih terhadap penyakit TB yang parah seperti TB milier atau meningitis TB. Karena itu kebijakan pemberian BCG disesuaikan dengan prevalensi TB di suatu negara.1 Di negara dengan prevalensi TB yang tinggi, BCG harus diberikan pada semua anak kecuali anak dengan gejala HIV/AIDS, demikian juga anak dengan kondisi lain yang menurunkan kekebalan tubuh. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa vaksinasi BCG ulangan memberikan tambahan perlindungan, dan karena itu hal tersebut tidak dianjurkan.1 Sebagian kecil anak (1-2%) dapat mengalami efek samping vaksinasi BCG seperti pembentukan kumpulan nanah (abses) lokal, infeksi bakteri, atau pembentukan keloid. Sebagian besar reaksi tersebut akan menghilang dalam beberapa bulan. Pemeriksaan Penyaring (Screening) Pemeriksaan penyaring (screening) dianjurkan pada seluruh kontak, yaitu orang yang tinggal di kediaman yang sama dengan seseorang yang menderita TB.1 Pemeriksaan penyaring dilakukan dengan penilaian klinis untuk menilai apakah kontak menunjukkan gejala atau baik-baik saja. Tidak diperlukan pemeriksaan rutin X-ray dada atau tes tuberkulin kulit. Anak < 5 tahun dan anak dengan infeksi HIV yang merupakan kontak seseorang dengan TB idealnya diberikan isoniazid sebagai pencegahan.1 Isoniazid yang diberikan setiap hari selama 6 bulan sebagai pencegahan akan mengurangi kemungkinan berkembangnya TB pada anak yang terinfeksi M. tuberculosis namun belum sakit. Dosis yang diberikan adalah 5 mg/kg per hari dengan jumlah maksimum 300 mg/hari selama 6 bulan.1,3 Follow-up harus dilakukan setiap 2 bulan hingga pengobatan selesai. Kehamilan dan ASI Bayi yang lahir dari ibu yang menderita TB paru-paru harus dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya penyakit TB bawaan (kongenital) dan diobati. Jika ibu telah menjalani pengobatan minimal selama 2-3 minggu, risiko penularan umumnya tidak ada lagi. Risiko terbesar penularan adalah jika ibu baru didiagnosis TB saat melahirkan atau segera setelah itu. Bayi yang menyusu ASI memiliki risiko tinggi infeksi dari ibu dengan pemeriksaan dahak mikroskopipk yang positif. Bayi ini harus menerima 6 bulan pengobatan dengan isoniazid, diikuti dengan vaksinasi BCG. Alternatif lain adalah pemberian isoniazid selama 3 bulan untuk kemudian dites tuberkulin kulit. Jika hasilnya negatif, isoniazid dapat dihentikan dan BCG diberikan. Jika hasilnya positif, maka pemberian isoniazid diteruskan 3 bulan lagi sebelum pengobatan dihentikan dan BCG diberikan. Namun tidak berarti selama jangka waktu tersebut bayi tidak boleh menyusu ASI. ASI dapat terus diberikan dengan aman. Sumber Practical Guidelines for the Management of Tuberculosis in Children by National TB Programmes. First Edition. March 2006 Formulation of Guidelines for Pediatric TB Cases under RNTCP. Indian J. Tuberc 2004;51:102-105. Available from www.indianpediatrics.net/sep2004/927.pdf World Health Organization. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National Programmes. Third Edition. 2003. Available from http://www.who.int/docstore/gtb/publications/ttgnp/ Kabra SK, Lodha R, Seth V. Category-based Treatment of Tuberculosis in Children. Available from http://medind.nic.in/ibr/t04/i2/ibrt04i2p102.pdf dr. Nurul Itqiyah H A s m a 12/31/2006 PENGANTAR Asma merupakan penyakit saluran napas kronik (menahun) yang paling sering ditemukan, terutama di negara maju. Penyakit ini umumnya dimulai sejak masa anak-anak. Dampak negatifnya seperti menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah, membatasi kegiatan olahraga, dan aktivitas seluruh keluarga. Pedoman Nasional Asma Anak (Indonesia) mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing/mengi dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. timbul secara episodik dan/atau kronik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus di antaranya aktivitas fisik, dan bersifat reversibel (bisa sembuh seperti sedia kala) baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta 6. adanya riwayat asma atau atopi (kecenderungan mengidap alergi) lain pada pasien/keluarganya, 7. sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan. MEKANISME TERJADINYA ASMA Konsep terkini mekanisme terjadinya asma, yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi (peradangan) kronik/menahun yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik/napas, menyebabkan terbatasnya aliran udara, dan peningkatan reaktivitas (hiperreaktif/hipersensitif) saluran napas. Hiperreaktivitas ini merupakan awal terjadinya penyempitan saluran napas, sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang. Gambaran khas adanya inflamasi saluran napas adalah aktivasi sel-sel dalam darah dan sel berupa eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa (selaput lendir) dan lumen (muara) saluran napas. Perubahan ini dapat terjadi, meskipun secara klinis asmanya tidak bergejala. Sejalan dengan proses peradangan, perlukaan epitel (lapisan terluar) bronkus (batang paru-paru) merangsang proses perbaikan saluran napas yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional, dikenal dengan istilah remodelling. DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI Diagnosis Mengi/wheezing berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Termasuk yang perlu dipertimbangkan kemungkinan asma adalah anak-anak yang hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya tanda, dan pada saat diperiksa tanda wheezing, sesak dan lain-lain sedang tidak timbul. Asma sulit didiagnosis pada anak di bawah 3 tahun. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal/fungsi paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Lainnya bisa melalui uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin, atau dengan NaCl hipertonis. Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara, yaitu didapatkannya: Variabilitas pada PFR (peak flow rate) atau FEV1 (forced expiratory volume in 1 second) ≥15% Variabilitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) hasil PFR dalam satu hari. Penilaian yang baik dapat dilakukan dengan variabilitas mingguan yang pemeriksaannya berlangsung ≥ 2 minggu. Reversibilitas pada PFR atau FEV1 ≥15% Reversibilitas adalah perbedaan nilai (peningkatan) PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator. Penurunan ≥20% pada FEV1 (PD20 atau PC20) setelah provokasi bronkus dengan metakolin atau histamin. Penggunaan peak flow meter merupakan hal penting dan perlu diupayakan, karena selain mendukung diagnosis, juga mengetahui keberhasilan tata laksana asma. Jika tidak tersedia, dapat menggunakan Lembar Catatan Harian sebagai alternatif. Pada anak dengan tanda dan gejala asma yang jelas, serta respon terhadap pemberian obat asma baik sekali, maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik lebih lanjut. Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Anak Dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tata Laksana Asma Jangka Panjang Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci, tujuan yang ingin dicapai adalah: 1. 2. 3. 4. Anak dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal (dalam 24 jam) yang mencolok. 5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan. 6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak. Apabila tujuan ini belum tercapai, maka perlu reevaluasi tata laksananya. Tata Laksana Medikamentosa (dengan Obat-obatan) Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Reliever, sering disebut obat serangan, digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi, maka obat ini tidak digunakan lagi. Controller, sering disebut obat pencegah, digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi respiratorik kronik (peradangan saluran napas menahun). Dengan demikian pemakaian obat ini terus-menerus dalam jangka waktu relatif lama, tergantung derajat penyakit asma, dan responnya terhadap pengobatan/penanggulangan. Controller diberikan pada Asma Episodik Sering dan Asma Persisten. Asma Episodik Jarang Asma episodik jarang cukup diobati dengan reliever berupa bronkodilator (melebarkan bronkus/batang paru-baru) beta agonis hirupan (inhaler/spray) kerja pendek (short acting β2agonist, SABA) atau golongan xantin kerja cepat, bila terjadi gejala/serangan. Kendala penggunaan spray ini adalah harganya yang mahal dan tidak tersedia di semua tempat. Selain itu pemakaian inhaler (Metered Dose Inhaler/MDI atau Dry Powder Inhaler/DPI) ini memerlukan teknik penggunaan yang benar (untuk anak besar), dan memerlukan alat bantu (untuk anak kecil/bayi). Bila obat hirupan tidak ada, maka beta agonis diberikan per oral (obat minum). Penggunaan xantin kerja cepat (teofilin) sebagai bronkodilator makin kurang perannya dalam tata laksana asma, karena batas keamanannya (margin of safety) sempit. Namun mengingat di Indonesia obat beta agonis oral tidak selalu ada, maka dapat menggunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping. Selanjutnya dapat dilihat di lampiran 3. Asma Episodik Sering Jika penggunaan beta agonis hirupan sudah lebih dari 3x per minggu (tanpa menghitung penggunaan sebelum aktivitas fisik), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti inflamasi sebagai pengendali (controller) diperlukan, yakni steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid yang sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200 mg/hari budesonid (50-100 mg/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400 mg/hari budesonid untuk anak berusia di atas 12 tahun. Pada penggunaan dosis 100-200 mg/hari belum dilaporkan adanya efek samping jangka panjang. Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi/peradangan kronik, controller berupa anti inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Penilaian dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Apabila masih tidak respons (masih terdapat gejala asma atau gangguan tidur atau aktivitas seharihari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 mg/hari, yang termasuk dalam tata laksana asma persisten. Selanjutnya dapat dilihat dalam lampiran 3. Prinsip pengobatan adalah: jika tata laksana suatu derajat penyakit asma sudah sesuai dengan panduan, namun respon tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tata laksana berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down). Bila memungkinkan, steroid hirupan dihentikan penggunaannya. Catatan: sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi (1) pelaksanaan penghindaran pencetus, (2) cara penggunaan obat, dan (3) penyakit penyerta yang mempersulit pengendalian asma (seperti rinitis dan sinusitis). Asma Persisten Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi ke rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai dosis terkecil yang masih optimal. Setelah pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai respons yang baik, diperlukan terapi alternatif pengganti, yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis medium atau tetap steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (long acting beta-2 agonist) atau ditambahkan teophylline slow release (TSR) atau ditambahkan anti-leukotriene receptor (ALTR). Dosis medium adalah setara dengan 200-400 µg/hari budosenid (100-200 µg/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 400-600 µg/hari budosenid (200-300 µg/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga, yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi, atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau ALTR. Yang dimaksud dosis tinggi adalah setara dengan > 400 µg/hari budesonid (> 200 µg/hari flutikason), untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan > 600 µg/hari budesonid (> 300 µg/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Penambahan LABA pada steroid hirupan dibuktikan dapat memperbaiki FEV1, menurunkan gejala asma, dan memperbaiki kualitas hidup. Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai > 800 mg/hari namun tidak mencapai respon, maka baru menggunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir. Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat. Sebagai dosis awal, steroid oral dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari. Efek samping steroid sistemik dapat dilihat dalam lampiran 4. Pemberian antileukotrien (zafirlukas) dikontraindikasikan pada kelainan hati. Pemberian obat anti histamin generasi baru non sedatif (misalnya setirizin dan ketotifen), dipertimbangkan pada anak dengan asma yang disertai rinitis. Cara Pemberian Obat Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak, karena perbedaan kemampuan menggunakan alat inhalasi. Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali. Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi (penumpukan) obat dalam mulut (orofaring), sehingga mengurangi jumlah obat yang tertelan, dan mengurangi efek sistemik. Deposisi (penyimpanan) dalam paru pun lebih baik, sehingga didapatkan efek terapetik (pengobatan) yang baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (DPI = Dry Powder Inhaler) seperti Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler memerlukan inspirasi (upaya menarik/menghirup napas) yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah. Pencegahan dan Intervensi Dini Pencegahan dan tindakan dini harus menjadi tujuan utama dalam menangani anak asma. Pengendalian lingkungan, pemberian ASI ekslusif minimal 6 bulan, penghindaran makanan berpotensi alergenik (mampu mencetuskan alergi), pengurangan pajanan terhadap tungau debu rumah dan rontokan bulu binatang, terbukti mengurangi manifestasi alergi makanan, dan khususnya dermatitis atopik pada bayi, juga asma. Penggunaan antihistamin non sedatif (tidak menyebabkan kantuk) seperti ketotifen dan setirizin jangka panjang dilaporkan dapat mencegah terjadinya asma pada anak dengan dermatitis atopik. Namun obat-obat ini tidak bermanfaat sebagai obat pengendali asma (controller), Faktor Alergi dan Lingkungan (Menghindari Pencetus) Saat ini telah banyak bukti bahwa alergi merupakan salah satu faktor penting berkembangnya asma. Paling tidak 75-90% anak asma balita terbukti mengidap alergi, baik di negara berkembang maupun negara maju. Atopi (kecenderungan mempunyai satu atau beberapa jenis dari kelompok besar alergi) merupakan faktor risiko yang nyata untuk menetapnya hiperreaktivitas bronkus dan gejala asma. Terdapat hubungan antara pajanan alergen (pencetus alergi) dengan sensitisasi. Pajanan yang tinggi berhubungan dengan peningkatan gejala asma pada anak. Pengendalian lingkungan harus dilakukan untuk setiap anak asma. Penghindaran terhadap asap rokok merupakan rekomendasi penting. Keluarga dengan anak asma dianjurkan tidak memelihara binatang berbulu, seperti kucing, anjing, burung. Perbaikan ventilasi ruangan, dan penghindaran kelembaban kamar perlu untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungaunya. Perlu ditekankan bahwa anak asma seringkali menderita rinitis alergi dan/atau sinusitis yang membuat asmanya sukar dikendalikan. Deteksi dan diagnosis kedua kelainan itu yang diikuti dengan terapi adekuat akan memperbaiki gejala asmanya. Beberapa penelitian menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak berlanjut menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Adanya asma pada orangtua, dan dermatitis (penyakit kulit eksim) atopik pada anak dengan mengi merupakan salah satu indikator terjadinya asma di kemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut, maka kemungkinan menjadi asma lebih besar. Tata Laksana Serangan Asma GINA membagi tata laksana serangan asma menjadi dua, tata laksana di rumah dan di rumah sakit. Tata laksana di rumah dilakukan oleh anak asma (atau orangtuanya) sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh mereka yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur, dan mempunyai pendidikan yang cukup. Terapi awal berupa inhalasi beta agonis kerja pendek hingga tiga kali dalam satu jam. Kemudian anak atau keluarganya diminta melakukan penilaian respons untuk penentuan derajat serangan, untuk ditindaklanjuti sesuai derajatnya. Namun untuk kondisi di negara kita, pemberian terapi awal di rumah seperti di atas cukup riskan, dan kemampuan melakukan penilaian juga masih dipertanyakan. Dengan alasan demikian, maka apabila setelah dilakukan inhalasi satu kali tidak mempunyai respons yang baik, maka dianjurkan mencari pertolongan dokter. Obat Lain untuk Serangan Asma Magnesium Sulfat Pada penelitian multisenter, pemberian magnesium sulfat intravena (infus) di rumah sakit mempunyai efektivitas sama dengan pemberian beta agonis. Mukolitik (pengencer dahak) Pemberian mukolitik (misalnya Bisolvon sirup) pada serangan asma dapat saja diberikan, tetapi harus berhati-hati pada anak dengan refleks batuk yang tidak optimal. Pemberian mukolitik secara inhalasi (hirupan) tidak mempunyai efek yang signifikan, tetapi harus berhati-hati pada serangan asma berat. Antibiotika Pemberian antibiotika pada asma tidak dianjurkan, karena sebagian besar pencetusnya bukan infeksi bakteri, melainkan infeksi virus. Pada keadaan tertentu, antibiotika dapat diberikan, yaitu pada infeksi saluran napas yang dicurigai karena bakteri, atau dugaan sinusitis yang menyertai asma. Obat sedasi (mempunyai efek membuat kantuk) Pemberian obat sedasi pada serangan asma sangat tidak dianjurkan, karena menekan pernapasan. Anti histamin (anti alergi) Anti histamin jangan diberikan pada serangan asma, karena tidak mempunyai efek yang bermakna, bahkan dapat memperburuk keadaan. TERAPI INHALASI Pengobatan asma bertujuan untuk menghentikan serangan asma secepat mungkin, serta mencegah serangan berikutnya, ataupun bila timbul serangan kembali, serangannya tidak berat. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu diberi obat bronkodilator pada saat serangan, dan obat anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk menurunkan inflamasi yang timbul. Pemberian obat pada asma dapat melalui berbagai macam cara, yaitu parenteral (melalui infus), per oral (tablet diminum), atau per inhalasi. Pemberian per inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas melalui hirupan. Pada asma, penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurangi efek samping yang sering terjadi pada pemberian parenteral atau per oral, karena dosis yang sangat kecil dibandingkan jenis lainnya. Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal , obat yang diberikan per inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas. Obat yang digunakan biasanya dalam bentuk aerosol, yaitu suspensi partikel dalam gas. Jenis Terapi Inhalasi Pemberian aerosol yang idel adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di saluran napas atas, serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat, dan orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai. Berikut beberapa alat terapi inhalasi: Metered Dose Inhaler (MDI) 1. MDI tanpa Spacer 2. MDI dengan Spacer Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara alat dengan mulut, sehingga kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang. Hal ini mengurangi pengendapan di orofaring (saluran napas atas). Spacer ini berupa tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan pada anak. Dry Powder Inhaler (DPI) Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada DPI memerlukan hirupan yang cukup kuat. Pada anak yang kecil, hal ini sulit dilakukan. Pada anak yang lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan MDI. Deposisi (penyimpanan) obat pada paru lebih tinggi dibandingkan MDI dan lebih konstan. Sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun. Nebulizer Alat nebulizer dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terusmenerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan, atau gelombang ultrasonik. Aerosol yang terbentuk dihirup penderita melalui mouth piece atau sungkup. Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping. Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada jenis nebulizer yang digunakan. Ada nebulizer yang menghasilkan partikel aerosol terus-menerus, ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita melakukan inhalasi, sehingga obat tdak banyak terbuang. Sumber Pedoman Nasional Asma Anak, UKK Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia 2004 Referensi mengenai Asma pada anak lainnya bisa Anda dapatkan di: www.aaaai.org/members/resources/initiatives/pediatricasthmaguidelines/default.htm K o n s t i p a s i 1/15/2007 Apakah Konstipasi Itu? Konstipasi adalah kondisi di mana feses memiliki konsistensi keras dan sulit dikeluarkan.1 Masalah ini umum ditemui pada anak-anak. Buang air besar mungkin disertai rasa sakit dan menjadi lebih jarang dari biasa. Pada anak normal, konsistensi feses dan frekuensi BAB dapat berbeda-beda.1,2 Bayi yang disusui ASI mungkin mengalami BAB setiap selesai disusui atau hanya sekali dalam 7-10 hari. Bayi yang disusui formula dan anak yang lebih besar mungkin mengalami BAB setiap 2-3 hari. Dengan demikian frekuensi BAB yang lebih jarang atau konsistensi feses yang sedikit lebih padat dari biasa tidak selalu harus ditangani sebagai konstipasi. Penanganan konstipasi hanya diperlukan jika pola BAB atau konsistensi feses menyebabkan masalah pada anak. Umumnya dengan nutrisi yang baik, perbaikan kebiasaan BAB, dan penggunaan obat yang sesuai jika diperlukan, masalah ini dapat ditangani. Gejala dan Tanda Konstipasi dapat menyebabkan gejala berikut:1,2,3 Sakit perut, BAB mungkin disertai rasa sakit Turun atau hilangnya napsu makan Rewel Mual atau muntah Turunnya berat badan Noda feses di celana dalam anak yang menandakan banyaknya feses yang tertahan di rektum (bagian usus besar terdekat dengan anus). Jika anak mengalami konstipasi yang cukup berat, ia dapat kehilangan kemampuan merasakan kebutuhan ke toilet untuk BAB sehingga menyebabkan anak BAB di celananya. Hal ini disebut encopresis atau fecal incontinence. Mengedan untuk mengeluarkan feses yang keras dapat menyebabkan robekan kecil pada lapisan mukosa anus (anal fissure) dan perdarahan Konstipasi meningkatkan risiko infeksi saluran kemih Konstipasi dapat disebabkan oleh:1,2,3 Kecenderungan alami gerakan usus yang lebih lambat, misalnya pada anak dengan riwayat feses yang lebih padat dari normal pada minggu-minggu awal setelah lahir. Nutrisi yang buruk, misalnya yang tinggi lemak hewani dan gula (pencuci mulut, makanan-makanan manis), serta rendah serat (sayuran, buah-buahan, whole grains). Beberapa obat dapat menyebabkan konstipasi, misalnya antasid, fenobarbital (obat kejang), obat pereda nyeri, dan obat batuk yang mengandung kodein. Kebiasaan BAB yang tidak baik, misalnya tidak tersedianya cukup waktu untuk BAB dengan tuntas. Kurangnya asupan cairan. Kurangnya aktivitas fisik. Adanya kondisi anus yang menyebabkan nyeri, misalnya robekan pada lapisan mukosa anus (anal fissure). Hal ini seperti lingkaran setan karena mengedan untuk mengeluarkan feses yang keras dapat menyebabkan terjadinya fissure, dan nyeri yang disebabkan fissure menyebabkan anak menahan kebutuhan BAB yang memperparah konstipasi. Toilet training yang dipaksakan. Toilet training pada anak yang belum siap secara emosional dapat mengakibatkan anak memberontak dengan menahan keinginan BAB. Jika anak belum siap untuk menjalani toilet training, tunggu beberapa bulan sebelum memulainya kembali. Kadang konstipasi dapat terjadi karena penganiayaan seksual (sexual abuse). Konstipasi dapat merupakan akibat dari beberapa penyakit seperti tidak adanya saraf normal di sebagian usus (Hirschprung disease), kelainan saraf tulang belakang, kurangnya hormon tiroid, keterbelakangan mental, atau beberapa kelainan metabolik. Namun sebab-sebab ini relatif jarang dan umumnya disertai gejala lain. Penanganan Pada bayi di bawah usia satu tahun, kemungkinan masalah organik yang mungkin menyebabkan konstipasi harus diteliti dengan lebih cermat, terutama apabila konstipasi disertai gejala lain seperti: Keluarnya feses pertama lebih dari 48 jam setelah lahir, kaliber feses yang kecil, gagal tumbuh, demam, diare yang diserai darah, muntah kehijauan, atau terabanya benjolan di perut Perut yang kembung Lemahnya otot atau refleks kaki, adanya lesung atau rambut di punggung bagian bawah Selalu tampak lelah, tidak tahan cuaca dingin, denyut nadi yang lambat Banyak BAK, banyak minum Diare, pneumonia berulang Anus yang tidak tampak normal baik bentuk maupun posisinya Lebih dari 95% konstipasi pada anak di atas satu tahun adalah konstipasi fungsional (tidak ada kelainan organik yang mendasarinya).5 Umumnya masalah ini dapat ditangani dengan cara sebagai berikut:2 Kebiasaan BAB yang baik Anak yang mengalami konstipasi harus dilatih untuk membangun kebiasaan BAB yang baik.2 Salah satu caranya adalah dengan membiasakan duduk di toilet secara teratur sekitar lima menit setelah sarapan, bahkan jika anak tidak merasa ingin BAB. Anak harus duduk selama lima menit, bahkan jika anak telah menyelesaikan BAB sebelum lima menit tersebut habis. Anak juga harus belajar untuk tidak menahan keinginan BAB. Kadang anak mengalami kekhawatiran jika harus menggunakan toilet di sekolah. Jika orang tua mencurigai adanya masalah tersebut, orang tua hendaknya membicarakan masalah tersebut dengan anak maupun pihak sekolah. Makanan tinggi serat Serat membuat BAB lebih lunak karena menahan lebih banyak air dan lebih mudah untuk dikeluarkan. Memperbanyak jumlah serat dalam makanan anak dapat mencegah konstipasi. Beberapa cara untuk memenuhi kebutuhan serat anak adalah: Berikan minimal 2 sajian buah setiap hari. Buah yang dimakan beserta kulitnya, misalnya plum, aprikot, dan peach, memiliki banyak kandungan serat. Berikan minimal 3 sajian sayuran setiap hari. Berikan sereal yang tinggi serat sepert bran, wheat, whole grain, dan oatmeal. Hindari sereal seperti corn flakes. Berikan roti gandum (wheat) sebagai ganti roti putih. Banyak minum dapat mencegah konstipasi. Biasakan anak untuk minum setiap kali makan, sekali di antara waktu makan, dan sebelum tidur. Namun perlu diperhatikan bahwa terlalu banyak susu sapi atau produk susu lainnya (keju, yogurt) justru dapat mengakibatkan konstipasi pada sebagian anak. Laksatif Laksatif mungkin dibutuhkan untuk menangani konstipasi. Jika laksatif tidak bekerja atau harus diberikan berulang kali, anak harus dievaluasi oleh dokter. Beberapa laksatif yang dapat diberikan adalah: Jus prune: Jus prune adalah laksatif ringan yang efektif pada sebagian anak. Jus ini mungkin akan terasa lebih enak jika dicampur dengan jus buah lain. Psyllium husk (salah satu merknya adalah metamucil). Laksatif ini bekerja dengan melunakkan feses sehingga lebih mudah dikeluarkan. Senokot (senna). Laksatif ini bekerja dengan menstimulasi usus untuk mengosongkan isinya. Laksatif ini berbentuk butiran yang dapat dicampur dengan makanan seperti es krim. Durolax (bisacodyl). Bentuk laksatif ini adalah tablet dan bekerja dengan cara yang sama seperti senokot. Coloxyl (docusate). Laksatif ini berupa tablet atau tetes, bekerja dengan melunakkan feses. Agarol (parafin cair dan fenoftalein). Laksatif ini berbentuk cairan, bekerja dengan melunakkan dan melicinkan feses, serta menstimulasi usus untuk mengosongkan isinya. Parachoc (parafin cair dengan rasa coklat-vanila). Laksatif ini berbentuk cairan dan bekerja dengan cara yang sama seperti agarol. Laksatif lain yang digunakan misalnya lactulose, sorbitol, barley malt extract, magnesium hydroxyde, atau magnesium citrate. 4Namun bayi di bawah usia satu tahun memiliki risiko lebih besar untuk mengalami keracunan magnesium. Perlu diingat bahwa penggunaan laksatif jangka panjang dapat berbahaya bagi anak. Karena itu, laksatif hanya boleh digunakan dengan pengawasan dokter dan sesuai dosis yang diberikan.3 Supositoria Jika setelah 2-3 hari penggunaan laksatif konstipasi anak tidak membaik, supositoria seperti glycerin atau durolax suppositories dapat digunakan.1,2 Supositoria harus dilapisi dengan pelicin yang larut dalam air seperti KY jelly sebelum dimasukkan ke rektum (bagian usus besar terdekat dengan anus). Jangan gunakan vaselin karena vaselin tidak larut dalam air. BAB biasanya akan terjadi 30 menit setelah pemberian supositoria. Enema Enema tidak boleh diberikan pada anak kecuali jika dokter memerintahkannya.2 Irigasi usus Hal ini hanya diperlukan pada sebagian kecil anak yang mengalami konstipasi yang sangat berat.2 Hal ini dilakukan di RS dengan memberikan cairan bernama Golytely baik dengan cara diminum atau melalui selang lambung. Berikut ini adalah algoritma penanganan konstipasi pada dua kelompok usia: di bawah satu tahun dan di atas satu tahun yang diambil dari http://www.aafp.org/afp/20060201/469.html Sumber Clinical Practice Guideline. Constipation Guideline. Available from http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm?doc_id=5180 Kids Health Info for Parents. Constipation. Available from http://www.rch.org.au/kidsinfo/factsheets.cfm?doc_id=3718 Children and Constipation: Ways to Cope and When to Worry. Available from http://www.mayoclinic.com/health/constipation/HQ00416 Baker SS, et al. Constipation in Infants and Children: Evaluation and Treatment. Available from J Pediatr Gastroenterol Nutr.Volume 29(5).November 1999.612-626 Biggs WS, Dery WH. Evaluation and Treatment of Constipation in Infants and Children. Available from http://www.aafp.org/afp/20060201/469.html dr. Nurul Itqiyah H J a u n d i c e / K u n i n g 1/15/2007 Apakah jaundice itu? Jaundice adalah warna kekuningan yang didapatkan pada kulit dan lapisan mukosa (seperti bagian putih mata) sebagian bayi baru lahir.1 Dalam bahasa Indonesia hal ini lebih sering disebut sebagai „bayi kuning‟ saja. Istilah lain yang kadang digunakan adalah ikterik. Hal ini dapat terjadi pada bayi dengan warna kulit apapun.2 Bagaimana jaundice terjadi? Warna kekuningan terjadi karena penumpukan zat kimia yang disebut bilirubin.2 Sel darah merah manusia memiliki waktu hidup tertentu. Setelah waktu hidupnya selesai, sel darah merah akan diuraikan menjadi beberapa zat, salah satunya bilirubin.1 Bilirubin ini akan diproses lebih lanjut oleh hati untuk kemudian dibuang sebagai empedu. Pada janin, tugas tersebut dapat dilakukan oleh hati ibu.2 Setelah lahir, tugas tersebut harus dilakukan sendiri oleh hati bayi yang belum cukup siap untuk memproses begitu banyak bilirubin sehingga terjadilah penumpukan bilirubin.1 Apakah jaundice berbahaya? Sebagian besar jaundice tidak berbahaya. Namun pada situasi tertentu di mana kadar bilirubin menjadi sangat tinggi, kerusakan otak dapat terjadi.2 Hal ini terjadi karena walaupun secara normal bilirubin tidak dapat melewati pembatas jaringan otak dan aliran darah, pada kadar yang sangat tinggi pembatas tersebut dapat ditembus sehingga bilirubin meracuni jaringan otak.3 Keadaan akut pada minggu-minggu awal pasca kelahiran di mana terjadi gangguan otak karena keracunan bilirubin ini disebut sebagai „acute bilirubin encephalopathy‟.4 Bila keadaan tersebut tidak diatasi, kerusakan otak dapat berlanjut menjadi kronik dan permanen menjadi suatu kondisi yang disebut „kernicterus‟. Inilah alasan mengapa bayi baru lahir harus diperiksa dengan teliti untuk menilai ada tidaknya jaundice dan ditangani secara tepat jika ditemukan adanya jaundice.2 Bilirubin juga dapat menjadi sangat tinggi pada infeksi yang berat, penyakit hemolisis autoimun (penghancuran sel darah merah oleh sistem kekebalan tubuh sendiri), atau kekurangan enzim tertentu. Bagaimana penilaian jaundice dilakukan? Penilaian jaundice dilakukan pada bayi baru lahir berbarengan dengan pemantauan tandatanda vital (detak jantung, pernapasan, suhu) bayi, minimal setiap 8-12 jam.4 Salah satu tanda jaundice adalah tidak segera kembalinya warna kulit setelah penekanan dengan jari. Cara menilai jaundice membutuhkan cahaya yang cukup, misalnya dengan kadar terang siang hari atau dengan cahaya fluorescent.2 Jaundice umumnya mulai terlihat dari wajah, kemudian dada, perut, lengan, dan kaki seiring dengan peningkatan kadar bilirubin. Bagian putih mata juga dapat tampak kuning. Jaundice lebih sulit dinilai pada bayi dengan warna kulit gelap. Karena itu penilaian jaundice tidak dapat hanya didasarkan pada pengamatan visual. Jika ditemukan tanda jaundice pada 24 jam pertama setelah lahir, pemeriksaan kadar bilirubin harus dilakukan. Demikian pula jika jaundice tampak terlalu berat untuk usia tertentu bayi atau ada keraguan mengenai beratnya jaundice dari pengamatan visual. Pemeriksaan kadar bilirubin dapat dilakukan melalui kulit (TcB: Transcutaneus Bilirubin) atau dengan darah (TSB: Total Serum Bilirubin).4 Kadar bilirubin yang diperoleh dari pemeriksaan ini dapat menggambarkan besar kecilnya risiko yang dihadapi si bayi, seperti terilustrasikan pada nomogram 1. Bagaimana membedakan berbagai jenis jaundice? Jaundice fisiologis (normal) dapat terjadi pada 50% bayi baru lahir.5 Tipe jaundice ini umumnya diawali pada usia 2-3 hari, memuncak pada hari 4-5, dan menghilang dengan sendirinya pada usia 2 minggu. Jaundice karena ketidakcocokan rhesus atau golongan darah ibu dan bayi umumnya terjadi dalam 24 jam pertama setelah lahir.5 Tipe jaundice ini memiliki risiko besar untuk mencapai kadar bilirubin yang sangat tinggi. Ketidakcocokan rhesus ibu dan janin dapat terjadi jika ibu memiliki rhesus negatif sementara si janin memiliki rhesus positif. Di Indonesia, hal ini relatif jarang terjadi karena sebagian besar penduduk Indonesia memiliki rhesus positif. Di negara dengan proporsi rhesus negatif yang relatif besar, beberapa pemeriksaan dilakukan untuk mempersiapkan ibu dan bayi menghadapi kemungkinan ketidakcocokan rhesus. Setiap ibu hamil menjalani pemeriksaan golongan darah dan tipe rhesus.4 Jika pemeriksaan tersebut tidak dilakukan dalam kehamilan atau jika ibu memiliki rhesus negatif, maka saat kelahiran dilakukan pemeriksaan pada darah bayi untuk mengetahui golongan darah, rhesus, dan ada tidaknya antibodi yang dapat menyerang sel darah merah bayi. Apakah ASI berhubungan dengan jaundice? Jaundice lebih sering terjadi pada bayi yang memperoleh ASI dibanding bayi yang memperoleh susu formula. Ada dua macam jaundice yang dapat terjadi sehubungan dengan ASI: Breastfeeding jaundice (5-10% bayi baru lahir)5: Hal ini terjadi pada minggu pertama setelah lahir pada bayi yang tidak memperoleh cukup ASI.6 Bilirubin akan dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk empedu yang dialirkan ke usus. Selain itu, empedu dapat terurai menjadi bilirubin di usus besar untuk kemudian diserap kembali oleh tubuh. Jika bayi tidak memperoleh cukup ASI, gerakan usus tidak banyak terpacu sehingga tidak banyak bilirubin yang dapat dikeluarkan sebagai empedu. Dan bayi yang tidak memperoleh cukup ASI tidak mengalami buang air besar yang cukup sering sehingga bilirubin hasil penguraian empedu akan tertahan di usus besar dan diserap kembali oleh tubuh.7 Selain itu kolostrum yang banyak terkandung pada ASI di hari-hari awal setelah persalinan memicu gerakan usus dan BAB. Karena itu, jika Anda menyusui, Anda harus melakukannya minimal 8-12 kali per hari dalam beberapa hari pertama.4 Dan penting untuk diperhatikan bahwa tidak pernah ada alasan untuk memberikan air atau air gula pada bayi untuk mencegah kenaikan bilirubin. Untuk menilai apakah bayi telah memperoleh asupan ASI yang cukup, ada beberapa hal yang dapat diperhatikan:4 o Bayi yang memperoleh ASI tanpa suplemen apapun akan mengalami berkurangnya berat badan maksimal (< 10% berat lahir) pada usia 3 hari. Jika berat badan bayi berkurang ≥ 10% berat lahir pada hari ketiga, kecukupan ASI harus dievaluasi. o Bayi yang memperoleh cukup ASI akan BAK dengan membasahi seluruh popoknya 4-6 kali per hari dan BAB 3-4 kali pada usia 4 hari. Pada usia 3-4 hari, feses bayi harus telah berubah dari mekonium (warna gelap) menjadi kekuningan dengan tekstur lunak. Breastmilk jaundice (1% bayi baru lahir): Hal ini terjadi dalam akhir minggu pertama atau awal minggu kedua setelah lahir.6 Sebagian kecil ibu memiliki suatu zat dalam ASI mereka yang dapat menghambat pengolahan bilirubin oleh hati.6,7 Keadaan ini tidak memerlukan penghentian pemberian ASI karena tipe jaundice ini ringan dan sama sekali tidak pernah menimbulkan kernicterus atau bahaya lainnya. Tipe jaundice ini hanya memiliki sedikit sekali kenaikan bilirubin dan akan menghilang seiring dengan makin matangnya fungsi hati bayi pada usia 3-10 minggu. Secara umum, jaundice karena sebab apapun tidak pernah merupakan alasan untuk menghentikan pemberian ASI. Kapan bayi harus diperiksa setelah meninggalkan RS/RB? Sebelum meninggalkan RS/RB, risiko bayi mengalami hiperbilirubinemia harus dinilai. Penilaian ini oleh American Academy of Pediatrics disarankan dengan melakukan pengukuran kadar bilirubin (TSB atau TcB), penilaian faktor risiko, atau keduanya. Yang merupakan faktor risiko adalah:4 Faktor risiko mayor: TSB atau TcB di high-risk zone Jaundice dalam 24 jam pertama Ketidakcocokan golongan darah atau rhesus Penyakit hemolisis (penghancuran sel darah merah), misal: defisiensi G6PD yang dibutuhkan sel darah merah untuk dapat berfungsi normal Usia gestasi 35-36 minggu Riwayat terapi cahaya pada saudara kandung Memar yang cukup berat berhubungan dengan proses kelahiran, misal: pada kelahiran yang dibantu vakum Pemberian ASI eksklusif yang tidak efektif sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi, ditandai dengan penurunan berat badan yang berlebihan Ras Asia Timur, misal: Jepang, Korea, Cina Faktor risiko minor: TSB atau TcB di high intermediate-risk zone Usia gestasi 37-38 minggu Jaundice tampak sebelum meninggalkan RS/RB Riwayat jaundice pada saudara sekandung Bayi besar dari ibu yang diabetik Usia ibu ≥ 25 tahun Bayi laki-laki Jika tidak ditemukan satu pun faktor risiko, risiko jaundice pada bayi sangat rendah. Pemeriksaan bayi pertama kali setelah meninggalkan RS/RB adalah pada usia 3-5 hari karena pada usia inilah umumnya bayi memiliki kadar bilirubin tertinggi.4 Secara detail, jadwal pemeriksaan bayi setelah meninggalkan RS/RB adalah sebagai berikut: Jika bayi meninggalkan RS/RB < usia 24 jam à pemeriksaan pada usia 72 jam (3 hari) Jika bayi meninggalkan RS/RB pada usia antara 24 – 47,9 jam à pemeriksaan pada usia 96 jam (4 hari) Jika bayi meninggalkan RS/RB pada usia antara 48 – 72 jam à pemeriksaan pada usia 120 jam (5 hari) Pemeriksaan yang dilakukan harus meliputi:4 Berat badan bayi dan perubahan dari berat lahir Kecukupan asupan ASI/susu formula Pola BAK dan BAB Ada tidaknya jaundice Jika ada keraguan mengenai penilaian derajat jaundice, pemeriksaan kadar bilirubin harus dilakukan.4 Jika ada satu atau lebih faktor risiko, pemeriksaan setelah meninggalkan RS/RB dapat dilakukan lebih awal. Selain pemeriksaan kadar bilirubin, penyebab jaundice juga harus dicari.4 Misalnya dengan memeriksa kadar bilirubin terkonjugasi dan tidak terkonjugasi, melakukan urinalisis dan kultur urin jika yang meningkat terutama adalah kadar bilirubin terkonjugasi, melakukan pengukuran kadar enzim tertentu jika ada riwayat serupa dalam keluarga atau bayi menunjukkan tanda-tanda spesifik. Bagaimana jaundice ditangani? Sebagian besar jaundice adalah keadaan fisiologis yang tidak membutuhkan penanganan khusus selain dilanjutkannya pemberian ASI yang cukup. Namun pada keadaan tertentu, jaundice memerlukan terapi khusus yaitu terapi cahaya atau exchange transfusion. Terapi cahaya Perlu tidaknya terapi cahaya ditentukan dari kadar bilirubin, usia gestasi (kehamilan) saat bayi lahir, usia bayi saat jaundice dinilai, dan faktor risiko lain yang dimiliki bayi, seperti digambarkan pada grafik 2.4 Beberapa faktor risiko yang penting adalah Penyakit hemolisis autoimun (penghancuran sel darah merah oleh sistem kekebalan tubuh sendiri) Kekurangan enzim G6PD yang dibutuhkan sel darah merah untuk berfungsi normal Kekurangan oksigen Kondisi lemah/tidak responsif Tidak stabilnya suhu tubuh Sepsis (keadaan infeksi berat di mana bakteri telah menyebar ke seluruh tubuh) Gangguan keasaman darah Kadar albumin (salah satu protein tubuh) < 3.0 g/dL Pada bayi yang menerima ASI yang harus menjalani terapi cahaya, pemberian ASI dianjurkan untuk tetap dilakukan. Namun ASI juga dapat dihentikan sementara untuk menurunkan kadar bilirubin dan meningkatkan efek terapi cahaya. Selama terapi cahaya, beberapa hal ini perlu diperhatikan: Pemberian ASI atau susu formula setiap 2-3 jam Jika TSB 25 mg/dL, ulangi pengukuran dalam 2-3 jam Jika TSB 20–25 mg/dL, ulangi pengukuran dalam 3-4 jam Jika TSB <20 mg/dL, ulangi pengukuran dalam 4-6 jam Jika TSB terus menurun, ulangi pengukuran dalam 8-12 jam Jika TSB tidak menurun atau meningkat menuju batas perlunya exchange transfusion, pertimbangkan exchange transfusion Pada penyakit hemolisis autoimun, pemberian -globulin (gamma globulin) direkomendasikan jika TSB tetap meningkat dengan terapi cahaya atau TSB berada 2-3 mg/dL dari batas perlunya exchange transfusion. Pemberian ini dapat diulangi dalam 12 jam. Pemberian globulin dapat menghindari perlunya exchange transfusion pada bayi dengan ketidakcocokan rhesus atau golongan darah. Penghentian terapi cahaya ditentukan oleh usia bayi saat dimulainya terapi tersebut, kadar bilirubin, dan penyebab jaundice. Pada bayi yang diterapi cahaya setelah sempat dipulangkan dari RS/RB pasca kelahiran, terapi cahaya umumnya dihentikan jika kadar bilirubin sudah di bawah 13-14 mg/dl. Pengukuran ulang bilirubin setelah 24 jam penghentian terapi direkomendasikan terutama pada bayi dengan penyakit hemolisis atau bayi yang menyelesaikan terapi cahaya sebelum usia 3-4 hari. Exchange transfusion Penanganan khusus lainnya yang mungkin diperlukan pada bayi dengan jaundice adalah exchange transfusion. Exchange transfusion adalah tindakan di mana darah pasien diambil sedikit demi sedikit dengan meningkatkan volume pengambilan pada setiap siklusnya, untuk kemudian digantikan dengan darah transfusi dengan jumlah yang sama. Panduan exchange transfusion ini dapat dilihat pada grafik 3. Cara membaca kurva pada grafik ini sama dengan kurva pada grafik panduan terapi cahaya. Exchange transfusion dilakukan dengan segera pada bayi dengan gejala ‟acute bilirubin encephalopathy‟ seperti meningkatnya ketegangan otot, meregangnya bayi dengan posisi seperti busur, demam, tangisan dengan nada tinggi, atau jika TSB ≥ 5 mg/dl di atas kurva yang sesuai. Jika kadar TSB berada pada level di mana exchange transfusion dibutuhkan atau ≥ 25 mg/dl, hal ini adalah keadaan gawat darurat dan harus segera ditangani. (NIH) Sumber www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001559.htm http://www.aap.org/family/jaundicefaq.htm http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/kernicterus2.htm http://pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/114/1/297 http://www.lpch.org/HealthLibrary/ParentCareTopics/NewbornQuestions/Jaun dicedNewborn.html http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003243.htm http://www.breastfeedingbasics.com/html/jaundice.shtml dr. Nurul Itqiyah H N a p p y R a s h / R u a m P o p o k Nappy Rash/Ruam Popok 1/15/2007 Ruam popok (nappy rash) adalah dermatitis pada daerah yang ditutupi popok. Terutama ditandai oleh kemerahan pada daerah bokong yang mencembung, kulit yang menempel dengan popok, dan daerah lipatan. Ruam popok bukanlah satu diagnosis pasti, tetapi diakibatkan oleh problem multifaktorial. Faktor-faktor yang mempengaruhi Faktor-faktor yang mempengaruhi Ruam Popok Iritatif Primer (Primary Irritant Nappy Rash): Pengeluaran air berlebih: 1. 2. Trauma kulit: gesekan antara popok dan kulit Zat-zat iritan: 1. 2. 3. 4. 5. air seni dan tinja frekuensi mengganti popok Amonia (akibat pemecahan di air seni (urine) oleh bakteri yang terdapat di tinja) Tinja/feses (saat diare) Residu/sisa sabun dan deterjen Bahan yang terkandung dalam pembersih kulit Bedak dan krim kulit Candida albicans (terdapat dalam feses/tinja, dan menginfeksi kulit lembab yang luka) Faktor-faktor yang mempengaruhi di atas bisa berbeda-beda untuk tiap kasus, sehingga sulit untuk memberikan terapi tepat. Tata Laksana (Terapi) Mengenakan popok sekali pakai (disposable). Sering mengganti popok dan membersihkan kulit. Menggunakan handuk atau pembersih muka sekali pakai yang dibasuh dalam air atau minyak zaitun (olive oil) untuk membersihkan daerah popok. Mengoleskan krim pelindung (barrier cream) setiap kali mengganti popok, yakni yang mengandung pasta zinc, parafin putih yang lembut, dan vaseline. Dioleskan cukup tebal, tidak boleh dibersihkan semua saat mengganti popok, tetapi oleskan mengenai permukaan sebelumnya. Membiarkan anak tidak mengenakan popok selama mungkin, membaringkan anak di atas permukaan lembut berdaya serap tinggi saat mengganti popok dan menggantinya segera saat basah, dan menjemurnya di bawah sinar matahari. Jika infeksi Candida (jamur) ikut berperan, menyebabkan kemerahan pada lipatan kulit dan bintil-bintil berukuran kecil, berikan anti Candida topikal (oles) seperti imidazole atau nistatin. Sering dikombinasi dengan pemberian hidrokortison 1% untuk mengurangi reaksi radang yang menyertainya. Pertimbangkan diagnosis banding (lihat di bawah). Diagnosis Banding Dermatitis seboroik: ruam kemerahan tipis tidak gatal di wajah, lipat lengan, lipat tungkai, dan lipatan-lipatan kulit. Dermatitis atopi (lihat guideline dermatitis atopi) Psoriasis: plak merah terang berbatas tegas, tidak bersisik, dan berbatas tegas, baik terlokalisir maupun berkelompok, di daerah intertriginosa/lipatan seperti ketiak. Selulitis streptokokal perianal: ruam merah berbatas tegas yang terlokalisir, membentuk lingkaran dengan diameter 1-2 cm di sekitar anus (lubang tinja), dengan kulit yang kering dan pecah-pecah. Dapat disertai dengan keluhan nyeri saat buang air besar, atau konstipasi. Defisiensi zinc (zat seng): ruam merah, berbatas, seringkali melebar, di daerah kemaluan dan anus. Perhatikan tanda-tanda lain seperti dermatitis di sekitar mulut, hidung, tangan, dan kaki, alopesia (kebotakan), diare, dan gagal tumbuh (gangguan tumbuh-kembang). Kremian: pada anak yang agak besar, cacing kremi (Enterobius vermicularis) adalah penyebab utama ruam gatal di daerah kemaluan dan anus. Cari kemungkinan adanya cacingan saat anak tidur malam, dan berikan obat minum mebendazole. Histiositosis sel Langerhans: bintik-bintik ruam merah kecoklatan di daerah selangkangan, kemaluan, dan anus, sering kali mengiritasi kulit, dan sukar diobati. Bentuknya bulat-bulat agak besar, bersisik, dan menonjol, di kulit kepala atau leher. Terdapat tanda-tanda lain: purpura (bulat-bulat kemerahan besar), demam, diare, atau pembesaran hati dan limpa. Sindroma malabsorpsi (gangguan pencernaan): dengan sebab apapun (misal: fibrosis kistik), disertai diare, dermatitis erosif, dan kegagalan tumbuh-kembang. Ruam menjadi semakin parah oleh diare dan defisiensi gizi. Penyakit Crohn (lihat di sini) Sumber http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm?doc_id=9748