TINJAUAN HUKUM AKTA PERDAMAIAN YANG

advertisement
TINJAUAN HUKUM AKTA PERDAMAIAN YANG
MENYAMPINGKAN PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH
BERKEKUATAN HUKUM TETAP
(Studi Kasus Perdata No. 305/Pdt.G/2007/PN.Bekasi)
TESIS
Disusun
Untuk Memenuhi Persayaratan Memperoleh Derajat S2
Program Studi Magister Kenotariatan
Oleh :
Rima Nurhayati
B4B008226
PEMBIMBING :
Suradi, SH. MHum.
NIP. 195709111984031003
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2010
TINJAUAN HUKUM PERDAMAIAN YANG
MENYAMPINGKAN PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH
BERKEKUATAN HUKUM TETAP
(Studi Kasus Perdata No. 305/Pdt.G/2007/PN.Bekasi)
Disusun Oleh :
Rima Nurhayati
B4B008226
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat S2
Program Studi Magister Kenotariatan
Pembimbing,
Suradi, SH. MHum
NIP. 195709111984031003
TINJAUAN HUKUM PERDAMAIAN YANG
MENYAMPINGKAN PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH
BERKEKUATAN HUKUM TETAP
(Studi Kasus Perdata No. 305/Pdt.G/2007/PN.Bks)
Disusun Oleh :
Rima Nurhayati
B4B008226
Dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal 27 Juni 2010
Tesis ini telah diterima
Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar
Magister Kenotariatan
Pembimbing,
Suradi, SH. MHum
NIP. 195709111984031003
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro
H. Kashadi, SH, MH.
NIP. 19540624 198203 1 001
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini Nama : Rima Nurhayati, S.H.,
dengan ini menyatakan hal-hal sebagai berikut :
1. Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan di dalam tesis ini
tidak terdapat karya orang lain yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar di perguruan tinggi atau lembaga pendidikan
manapun. Pengambilan karya orang lain dalam tesis ini dilakukan
dengan menyebutkan sumbernya sebagaimana tercantum dalam
Daftar Pustaka;
2. Tidak berkeberatan untuk dipublikasikan oleh Universitas
Diponegoro
dengan
sarana
apapun,
baik
seluruhnya
atau
sebagian, untuk kepentingan akademik atau ilmiah yang non
komersial sifatnya.
Semarang, 27 Juni 2010
Yang Menyatakan
Rima Nurhayati
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT., yang telah
memberikan berkah, rahmat serta karunianya kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “ TINJAUAN
HUKUM AKTA PERDAMAIAN YANG MENYAMPINGKAN PUTUSAN
PENGADILAN YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP (Studi
Kasus Perdata No. 305/Pdt.G/2007/PN.Bks)”.
Penulisan tesis ini bertujuan untuk memenuhi dan melengkapi
persyaratan guna mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Program
Studi
Magister
Kenotariatan,
Program
Pascasarjana
Universitas
Diponegoro Semarang.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini jauh dari sempurna oleh
karena itu, guna perbaikan penulisan tesis ini, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak sebagai bahan masukan
bagi penulis untuk menghasilkan karya ilmiah yang lebih baik di masa
yang akan datang.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini belum tentu selesai
tanpa adanya pihak-pihak yang telah berjasa membimbing, mengarahkan,
memberikan semangat dan motivasi serta memberikan data kepada
penulis, untuk itu dengan segala kerendahan hati yang tulus, penulis ingin
mempergunakan kesempatan ini untuk menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Yth : Bapak Suradi., S.H., MHum., selaku
Dosen Pembimbing yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktu, tenaga
dan pikiran dengan penuh
kesabaran dan perhatiannya dalam
memberikan pengarahan serta saran-saran kepada penulis.
Begitu pula atas jasa dan peran serta Bapak/Ibu, penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada Yth :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Susilo Wibowo, M.S., Med, Sp.And selaku Rektor
Universitas Diponegoro Semarang;
2. Bapak Prof.Drs.Y. Warella, MPA, PhD selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang;
3. Bapak Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro Semarang;
4. Bapak H. Kashadi, S.H., M.H., selaku Ketua Program Pascasarjana
Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang;
5. Bapak Prof. Dr. Budi Santoso, S.H., M.S selaku Sekretaris Bidang
Akademik Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas
Diponegoro Semarang;
6. Bapak Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Bidang
Keuangan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas
Diponegoro Semarang;
7. Bapak Budi Ispriyarso S.H., M.Hum. selaku Dosen Wali Program
Pascasarjana
Semarang;
Magister
Kenotariatan
Universitas
Diponegoro
8. Bapak/Ibu Dosen pada Program Pascasarjana Magister Kenotariatan
Universitas
Diponegoro
Semarang
yang
telah
dengan
tulus
menularkan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di
Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro
Semarang;
9. Tim Reviewer proposal penelitian serta tim penguji tesis yang telah
meluangkan waktu untuk menilai kelayakan proposal penelitian penulis
dan bersedia menguji tesis dalam rangka meraih gelar Magister
Kenotariatan
(MKn)
pada
Program
Pascasarjana
Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang;
10. Staf
administrasi
Program
Pascasarjana
Magister
Kenotariatan
Universitas Diponegoro Semarang yang telah memberi bantuan
selama proses perkuliahan;
Akhir kata penulis, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan
yang telah diberikan dan semoga penulisan tesis ini dapat memberikan
manfaat dan kegunaan untuk menambah pengetahuan, pengalaman bagi
penulis pada khususnya dan para pembaca pada umumnya serta dapat
membawa hikmah dan ridho Allah SWT., amin…!
Semarang, 27 Juni 2010
Penulis
Rima Nurhayati
ABSTRAK
TINJAUAN HUKUM AKTA PERDAMAIAN YANG MENYAMPINGKAN
PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH BERKEKUATAN
HUKUM TETAP
(Studi Kasus Perkara Perdata No. 305/Pdt.G/2007/PN. Bekasi)
Putusan hakim mempunyai kekuatan yang mengikat bagi pihakpihak yang berperkara, dan kekuatan pembuktian, yang berarti bahwa
dengan adanya putusan telah diperoleh suatu kepastian tentang sesuatu,
serta kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa
yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara.
Berdasarkan kenyataan atas kritik terhadap peradilan, putusan
pengadilan seringkali tidak mampu memberikan penyelesaian yang
memuaskan kepada para pihak. Putusan pengadilan tidak mampu
membari kedamaian dan ketentraman kepada pihak-pihak yang
berperkara.
Para pihak dalam upaya menyelesaikan sengketa waris melalui
proses persidangan, yang pada akhirnya di putus oleh Pengadilan Negeri
Bekasi dengan nomor perkara : 305/ Pdt. G/2007/PN. Bks. Realisasi
putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde) dapat dijalankan dengan sukarela dan eksekusi. Para pihak
berkehendak untuk
upaya damai. Akta perdamaian dibuat karena
dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan
kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum
bagi pihak yang berkepentingan. Akta perdamaian yang dijalankan bukan
perdamaian dading, tetapi akta perdamaian yang dibuat oleh para pihak
dihadapan notaris yang merupakan bentuk perjanjian pada umumnya.
Hal-hal tersebut yag melatarbelakangi penelitian ini.
Tujuan penelitian untuk mengetahui apa akibat hukum dari akta
perdamaian yang isinya menyampingkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap, dan akibat hukum putusan pengadilan yang
disampingkan dengan akta perdamaian.
Metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis
normatif. Kesimpulan yang diperoleh adalah, suatu perjanjian tidak dapat
ditarik kembali sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu,
bahwa perjanjian perdamaian setelah adanya putusan mempunyai
kekuatan hukum tetap tidak menggugurkan putusan tersebut.
Kata kunci : Akibat Hukum, Akta Perdamaian, Menyampingkan Putusan
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN .................................................................... iii
KATA PENGANTAR .............................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................... v
ABSTRACT ............................................................................................ vi
DAFTAR ISI ............................................................................................ vii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.................................................................
1
B.
Perumusan Masalah........................................................
3
C.
Tujuan Penelitian............................................................
3
D.
Manfaat Penelitian............................................................
3
E.
Kerangka Pemikiran..........................................................
5
F.
Metode Penelitian.............................................................. 17
G.
Sistematika Penulisan....................................................... 20
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Hukum Perjanjian Pada Umumnya................................... 21
1.
Pengertian Perjanjian................................................ 22
2.
Syarat Sahnya Perjanjian......................................... 23
3.
Unsur-Unsur Perjanjian.............................................. 26
4.
Subyek dan Obyek Perjanjian.................................
27
5.
Asas-Asas Perjanjian..............................................
29
6.
Saat Berlaku dan Berakhirnya Perjanjian ……….
31
B.
Tinjauan Umum Perjanjian Perdamaian………………….. 33
1.
Pengertian Perjanjian Perdamaian……………………. 33
2.
Macam-macam Akta Perdamaian.................................. 36
3.
Subyek dan Obyek Akta Perdamaian…………………
4.
Jenis-Jenis Akta Perdamaian…………………………… 40
39
C. Tinjauan Umum Notaris………………………………………. 42
1. Pengertian Notaris dan Kewenangan Notaris …….. 42
2. Akta Notaris sebagai Akta Otentik……………………. 51
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
B.
Hasil Penelitian……………………………………………... 58
1.
Kasus Posisi…………………………………………… 58
2.
Tentang Duduknya Perkara…………………………... 60
Pembahasan………………………………………………... 71
1.
Akibat
hukum
dari
akta
perdamaian
yang
isinya
menyampingkan putusan pengadilan……………… 71
2.
Akibat Hukum Putusan Pengadilan Yang Dikesampingkan
Oleh Akta Perdamaian……………. 80
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 82
B. Saran ................................................................................ 83
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Pada tanggal 20 September 2007 SELVI dan GUSTAMAN selaku
penggugat mengajukan gugatan pada Pengadilan Negeri Bekasi dan telah
didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri Bekasi, dibawah register
perkara nomor: 305/Pdt.G/2007.PN.Bks, melawan HERWAN SANTOSO,
HERU GUNAWAN, dan MULYADI, masing-masing sebagai penggugat dan
tergugat. Gugatan tersebut diajukan karena penggugat dirugikan atas harta
warisan
Pihak-pihak berperkara mempertahankan haknya masing-masing
penggugat dan tergugat. Penggugat sebagai orang yang menyatakan dirinya
sebagai ahli waris yang sah dan tergugat kedudukannya sebagai orang yang
mengaku juga sebagai ahli waris dari pewaris. Hal ini menimbulkan suatu
permasalahan antara para pihak dan pada akhirnya ke pengadilan untuk
menyelesaikan sengketa. Dalam faktanya para penggugat tetap ingin
pembagian harta warisan tersebut mendapat haknya yaitu untuk diakui
sebagai salah satu ahli waris dan mendapat bagian harta warisan yang
disengketakan, sehingga gugatan dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Bekasi.
Proses persidangan di pengadilan telah mempunyai putusan yang tetap dari
Pengadilan Negeri Bekasi, isi putusan tersebut adalah dengan ketentuan
apabila pembagian tersebut secara teknis menemui kesulitan maka harta
warisan tersebut dijual lelang di muka umum dan hasil penjualannya di bagi
tergugat, serta penggugat masing-masing mendapat 1/5. (karena jumlah
tergugat terdiri dari tiga orang, sedangkan penggugat terdiri dari dua orang)
bagian setelah di potong biaya pajak dan biaya lain yang diperlukan,
menetapkan antara penggugat dan tergugat sama-sama sah para ahli waris
dari Pewaris dan mengatur hak mereka.
Pelaksanaan putusan pengadilan terhadap sengketa tersebut
diatas, oleh karenanya para pihak menempuh jalan arternatif yaitu
dengan membuat akte perdamaian dihadapan notaris.
Pihak-pihak sudah sepakat untuk mengadakan perdamaian dihadapan
notaris sebagai mana ternyata dalam akta tanggal 11 Desember 2008, nomor
: 014 yang isinya para pihak sepakat melakukan pembagian harta warisan
tersebut dengan menyampingkan isi dari Putusan Negeri Bekasi nomor :
305/Pdt.G/2007/PN.Bks tersebut
dengan tujuan tidak ada yang dirugikan
akibat putusan tersebut (win-win solution).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil judul
penulisan
“TINJAUAN
MENYAMPINGKAN
HUKUM
PUTUSAN
AKTA
PERDAMAIAN
PENGADILAN
YANG
YANG
TELAH
BERKEKUATAN HUKUM TETAP”, (Studi kasus Putusan Perkara Perdata
Nomor 305/Pdt.G/2007/PN.Bks).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan paparan dalam latar belakang di atas, beberapa
permasalahan pokok yang akan di teliti adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
akibat
hukum
dari
akta
perdamaian
yang
isinya
menyampingkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap ?
2. Bagaimana akibat hukum putusan pengadilan yang disampingkan dengan
akta perdamaian?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan beberapa permasalahan di atas ada beberapa tujuan
yang hendak dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini. Adapun tujuan dari
penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui
akibat
hukum
Akta
Perdamaian
yang
menyampingkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap.
2. Untuk mengetahui akibat hukum putusan pengadilan yang
disampingkan dengan akta perdamaian?
D. Manfaat Penelitian
Beranjak dari tujuan penelitian sebagai mana tersebut di atas,
maka diharapkan ini akan memberikan manfaat atau kontribusi
sebagai berikut
1.
Kegunaan Teoritis.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Hukum
Perdata khususnya di bidang kenotariatan dan praktek notaris
dalam penyelesaian perkara bila telah terjadi suatu putusan
pengadilan dan membuat Akta Perdamaian sebagai upaya damai
antara para pihak.
2.
Kegunaan Praktis.
Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
bagi berbagai pihak baik akademisi, praktisi hukum, dan anggota
masyarakat yang memerlukan informasi hukum dan atau pihakpihak terkait dengan peranan notaris di dalam penyelesaian
sengketa hak waris.
E. Kerangka Pemikiran
1. Kerangka konsep
Sengketa
Peradilan
Proses
Persidangan
Non Litigasi
Perdamaian / dading
Pasal 130 HIR,
PERMA No.1/2008
Putusan In Kracht
Van Gewisjde
Secara
Sukarela
Upaya
Eksekusi
Perdamaian (Akta Perdamaian
Psl 120, 1338, 1851, 1313 KUHPdt)
PERDAMAIAN
Sengketa terjadi karena tidak tercapainya kesepakatan
diantara para pihak, di mana para pihak yang bersengketa tersebut
tidak dapat menyelesaikan sengketanya melalui perdamaian maka
salah satu pihak melanjutkan sengketa tersebut ke pengadilan
dengan mengajukan gugatan. Dalam proses pengadilan majelis
hakim berupaya untuk mendamaikan para pihak sesuai dengan
ketentuan Pasal 130 HIR dan PERMA No. 1 Tahun 2008, namun
upaya tersebut belum tercapai sehingga majelis hakim melanjutkan
proses Perkara tersebut. Dalam proses berperkara tersebut maka
pengadilan melalui majelis hakim untuk memutus terjadinya
persengkataan tersebut, putusan majelis hakim dapat dijalankan
secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa dan apabila
salah satu pihak tidak menjalankan dalam hal ini pihak yang
dikalahkan tidak menjalankan putusan majelis hakim maka pihak
yang dimenangkan dapat melakukan upaya eksekusi terhadap
putusan tersebut. Putusan yang dilaksanakan secara suka rela
dapat juga dilaksanakan melalui perdamaian antara para pihak
yang bersengketa. Jika para pihak atau salah satu pihak tidak puas
terhadap eksekusi maka dapat mengajukan gugatan baru.
2. Kerangka teori
Hukum
pelaksanaan
Acara
Perdata
mempunyai
fungsi
hukum
perdata
dalam
mempertahankan
arti
sebagai
berlakunya hukum perdata. Mengatur bagaimana para pihak
seharusnya menyelesaikan sengketa jika terjadi persengketaan
tentang
pemenuhan
penyelesaian
secara
hak
mereka,
damai
baik
maupun
yang
merupakan
penyelesaian
melalui
pengadilan. Setiap orang akan mentaati atau mematuhi peraturan
hukum yang telah ditetapkan akan tetapi dalam melakukan
hubungan hukum mungkin timbul suatu keadaan bahwa pihak yang
satu tidak memenuhi kewajiban terhadap pihak yang lain sehingga
pihak yang lain tersebut dirugikan haknya. Dapat juga terjadi tanpa
suatu alasan hak seseorang dirugikan akibat perbuatan orang lain.
Untuk mempertahankan hak dan memenuhi kewajiban sebagai
mana diatur, orang tidak boleh bertindak semaunya (main hakim
sendiri)
melainkan
harus
berdasarkan
hukum
yang
telah
bersangkutan tidak dapat melaksanakan sendiri tuntutannya secara
damai maka dapat minta hakim menyelesaikannya.
Eksekusi merupakan suatu pelaksanaan terhadap suatu putusan
yang sudah berkekuatan hukum tetap yang dilakukan dengan bantuan
pengadilan atau dikutip pendapat R. Subekti bahwa eksekusi adalah 1
"Melaksanakan putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi
itu, ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi
di dalam makna perkataan eksekusi sudah mengandung arti
pihak yang kalah mau tidak mau harus mentaati putusan itu
secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan
kepadanya dengan bantuan kekuatan umum, dimana
kekuatan umum ini berarti polisi".
Menurut R. SUPOMO,2
"Hukum yang mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai
oleh alat-alat negara guna membantu pihak yang
berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila
pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyinya putusan
dalam waktu yang ditentukan".
1
R.Subekti, Hukum Acara Perdata, cet.3 (Bandung:Binacipta, 1989), hlm.130 R.Soepomo, Hukum Acara Pengadilan Negeri, cet.9, (Jakarta : PT. Pradnya
Paramita, 1986), hlm. 119 2
Pihak-pihak untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya tidak
jarang
melakukan
perundingan.
Perundingan
dan
tawar-menawar
tersebut dikenal dengan istilah negosiasi.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur dalam Pasal
1851 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :
“Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah
pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu
barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang berkembang
ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah
sah, melainkan jika dibuat secara tertulis."
Pasal tersebut menjelaskan dalam sebuah perdamaian haruslah
dibuat secara tertulis atau dituangkan dalam suatu akta perdamaian,
dikarenakan yang akan dibahas adalah perdamaian hasil dari non litigasi
sehingga dalam pembuatan akta perdamaian tersebut tidak terlepas dari
Hukum perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai mana terdapat
dalam buku III KUHPerdata perjanjian adalah suatu peristiwa di mana
seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa tersebut timbulah
suatu hubungan hukum antara dua orang yang disebut perikatan.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta
benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk
menuntut barang sesuatu dan yang lainnya, sedangkan orang yang
lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.3
3
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet.15, (Jakarta : PT. Intermasa, 1980),
hlm.123. Perjanjian perdamaian di atur dalam Pasal 1851 sampai dengan
Pasal 1864 KUHPerdata. Perdamaian adalah suatu persetujuan yang
berisi bahwa dengan menyerahkan, menyampaikan atau memakai suatu
barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang
diperiksa pengadilan atau mencegah timbulnya suatu perkara (Pasal
1851 KUHPerdata). Di mana terpenuhinya unsur yang tercantum dalam
perjanjian perdamaian, yaitu:
a) Adanya kesepakatan kedua belah;
b) Isi perjanjiannya merupakan persetujuan untuk melakukan
sesuatu;
c) Kedua belah pihak sepakat mengakhiri sengketa;
d) Sengketa tersebut sedang diperiksa atau untuk mencegah
timbulnya suatu perkara atau sengketa.
Penyelesaian melalui perdamaian mengandung berbagai
keuntungan yaitu 4:
a) Penyelesaian bersifat informal;
b) Yang menyelesaikan sengketa para pihak sendiri;
c) Jangka waktu penyelesaian pendek;
d) Biaya ringan;
e) Aturan pembuktian tidak perlu;
f) Proses penyelesaian bersifat konfidensial;
g) Hubungan para pihak bersifat kooperatif;
4
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, cet.8 (Jakarta : Sinar Grafika) hlm
.236-238. h) Komunikasi dan fokus penyelesaian;
i) Hasil yang dituju sama menang;
j) Bebas emosi dan dendam.
Adapun obyek dari perjanjian perdamaian diatur dalam Pasal 1853
KUHPerdata, yaitu :
a) Perdamaian
keperdataaan
dapat
yang
diadakan
timbul
dari
mengenai
suatu
kepentingan
kejahatan
atau
pelanggaran.
b) Setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang tercantum di
dalamnya. Sedangkan pelepasan segala hak dan tuntutantuntutan itu berhubungan dengan perselisihan yang menjadi
sebab perdamaian tersebut.
Di dalam Pasal 1851 KUHPerdata :
"Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua
belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan
suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang
bergantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara.
Perjanjian yang diadakan di antara para pihak harus dibuatkan
dalam bentuk tertulis".
Isi perjanjian perdamaian yang dibuat oleh para pihak
ditandatangani kedua belah pihak adalah merupakan hukum yang
dibuat dan telah disepakati kedua belah pihak untuk itu para pihak
harus mentaati dan melaksanakannya dengan baik dan benar.
Selanjutnya Pasal 1859 KUHPerdata menyatakan, bahwa:
"Namun itu suatu perdamaian dapat dibatalkan, apabila telah
terjadi suatu kekhilafan mengenai orangnya, atau mengenai
pokok perselisihan, ia dapat membatalkan dalam segala hal di
mana telah dilakukan penipuan atau paksaan."
Hukum perjanjian menganut asas kebebasan berkontrak, dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata :
"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnnya."
Pasal ini berisikan suatu pernyataan bahwa masyarakat
boleh membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja dari
perjanjian itu yang mengikat para pihak yang membuatnya seperti
suatu undang-undang. Hukum Perjanjian juga memberlakukan
asas konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latin
consensus yang berarti sepakat. Dengan perkataan lain, perjanjian
itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok
dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.5 Dalam hal sahnya
suatu perjanjian, diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :6
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3. Mengenai suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.
5
6
Subekti, Hukum Perjanjian, cet.12, (Jakarta : PT. Intermasa, 1990), hlm.15 Ibid Dalam hal ini akta perdamaian sebenarnya dapat dibuat
dibawah tangan atau dibuat oleh seorang Notaris. Notaris yang
dikenal di sini adalah notaries yang dikenal dalam system Eropa
Kontinental (Continent, daratan Eropa) yang juga disebut Civil Law
Notary's7 Definisinya termuat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris yaitu "Pejabat
umum
yang
berwenang
untuk
membuat
akta
otentik
dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
ini." Atau dengan kata lain Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik
tertentu tidak di khususkan bagi pejabat umum.
Akta itu sendiri mengandung pengertian suatu tulisan yang
sengaja dibuat untuk membuktikan suatu peristiwa atau hubungan
hukum tertentu8 Notaris dalam hal ini sebagai pejabat umum erat
hubungannya dengan wewenang dan kewajibannya yang utama
ialah akta-akta otentik .9
Pengertian akta otentik terletak dalam hukum pembuktian
(bewijsrecht) yang termasuk dan diatur dalam Buku IV, Pasal 1868
KUH Perdata, yang menentukan :10
7
Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-serba Praktek Notaris, (Jakarta : PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve,2000), hlm.229. 8
Setiawan Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung : alumni,
1992), hlm.403. 9
Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, (Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada,1993), hlm.42 10
Ibid "Akta otentik ialah akta yang dibuat dan diresmikan dalam
bentuk menurut hukum, oleh atau dihadapan pejabat-pejabat
umum, yang berwenang untuk berbuat demikian itu, di tempat
di mana akta itu dibuat".
Di Indonesia dalam pembuatan akta otentik seseorang harus
mempunyai kedudukan sebagai "Pejabat umum". Tanpa adanya
kedudukan sebagai pejabat umum, seseorang tidak dapat membuat
akta otentik, karena kekuatan Akta otentik sebagai alat pembuktian
dalam Pasal 1870 KUHPerdata, yaitu :11
"Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta
ahli waris - ahli warisnya atau orang yang mendapat hak
daripada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang
dimuat di dalamnya".
Dan ketentuan Pasal 1870 KUHPerdata, dapat disimpulkan bahwa
akta otentik itu mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak,
apabila akta itu memuat perjanjian-perjanjian yang mengikat para
pihak yang membuat perjanjian. Jadi apabila ada pihak yang
menyangkal atas kebenaran isi akta tersebut, maka pihak yang
menyangkallah yang harus membuktikannya karena yang terdapat
dalam akta otentik itu merupakan bukti yang sempurna, sehingga
tidak perlu lagi dibuktikan dengan alat-alat pembuktian lain. Disinilah
letak dari arti penting akta otentik, yang di dalam praktek hukum
11
Ibid., hlm. 43 sehari-hari
memudahkan
dalam
melakukan
pembuktian
dan
memberikan kepastian hukum yang lebih kuat dalam kehidupan
masyarakat.
Apabila terdapat dua orang atau lebih, dan diantara yang satu
dengan yang lain saling memberi keterangan untuk dituangkan
dalam akta atas tindakan para pihak (yang saling bersengketa)
ditinjau dari kekuatan pembuktian materil akta otentik menimbulkan
akibat hukum sebagai berikut :12
1. Keterangan atau pernyataan itu sepanjang saling bersesuaian,
melahirkan persetujuan yang mengikat kepada mereka,
2. Akta
tersebut
menjadi
bukti
tentang
adanya
persetujuan
sebagaimana yang diterangkan dalam akta tersebut.
Dalam suata akta otentik ditentukan secara jelas mengenai hak dan
kewajiban dari masing-masing para pihak, untuk menghindari terjadinya
sengketa dikemudian, dan walaupun dikemudian timbul suatu sengketa
yang tidak dapat dihindari, maka dalam proses penyelesaiannya setidaktidaknya akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis dan terpenuh
memberikan sumbangan nyata penyelesaian perkara secara murah dan
cepat.
Notaris mempunyai suatu kewajiban yang antara lain sebagai
berikut ; 13
12
M.Yahya Harahap, Op.cit, hlm.569. Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknis Penyusunan Kontrak, cet.3, (Jakarta
: Sinar Grafika, 2006), hlm. 94. 13
1. Membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,
dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan atau yang di kehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan
dan kutipan akta, semuanya sepanjang pembuatan akta-akta itu
tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang
yang ditetapkan oleh undang-undang.
2. Notaris berwenang pula :
a. Mengesahkan tandatangan dan menetapkan kepastian tanggal
surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Membuktikan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar
dalam buku khusus;
c. Membuat copy dari asli surat-surat di bawah tangan berupa
salinan yang memuat sebagaimana ditulis dan digambarkan
dalam surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan foto copy dengan Surat
aslinya;
e. Memberikan
penyuluhan
hukum
sehubungan
pembuatan akta,
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan atau;
g. Membuat akta risalah lelang.
dengan
3. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada (1) dan (2),
Notaris mempunyai kewenangan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Mengikat sama dengan putusan hakim
tingkat akhir, baik itu putusan kasasi maupun peninjauan kembali
Menurut Mochammad Djais dan RMJ. Koosmargono Pasal
165 HIR yang berkaitan dengan akta otentik tersebut mengandung
unsur-unsur :14
1. Tulisan yang memuat;
2. Fakta, peristiwa, atau keadaan yang menjadi dasar dari suatu hak
atau perikatan;
3. Ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan;
4. Dengan maksud untuk menjadi bukti.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa akta otentik merupakan akta yang
dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang, mempunyai
kekuatan pembuktian sempurna dengan sendirinya dan apabila
dibantah
keasliannya
maka
pihak
yang
membantah
membuktikan kepalsuannya.15
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah.
14
15
Mochammad Djais dan RMJ.Koosmargono, Op.cit, hlm.153. Ibid, hlm.155 harus
Penelitian
adalah
usaha
untuk
menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan,
usaha
mana
dilakukan
dengan
menguji
kebenaran
suatu
pengetahuan, dengan metode-metode ilmiah.16 Menurut Soerjono
Soekanto metode ilmiah tersebut adalah proses, prinsip-prinsip
dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian
merupakan pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas
terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia,
dengan demikian metode penelitian dapat diartikan sebagai proses
prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang
dihadapi dalam melakukan penelitian.17
Ketertarikan
penulis
mengenai
akta
perdamaian
ini
dikarenakan tidak semua perdamaian dituangkan dalam akta yang
dibuat khususnya Notaris, karena tidak ada ketentuan yang
menjelaskan bahwa suatu perdamaian harus diselesaikan dengan
akta Notaris. Tetapi ada pihak-pihak tertentu yang merasa lebih
baik untuk menyelesaikan permasalahannya dengan membuat
akta perdamaian karena mempunyai kekuatan mengikat sama
dengan putusan hakim tingkat akhir, baik itu putusan kasasi
maupun peninjauan kembali. 18
16
17
hlm.6 18
Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach Jilid I ( Yogyakarta : ANDI, 2000), hlm.4. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986),
Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cet.3 (Jakarta :
Sinar Grafika, 2006), hlm.94. Untuk mengetahui kelebihan dari dibuatnya akta perdamaian
dalam penyelesaian kasus. Dilihat dari sudut tujuannya, penelitian
ini merupakan penelitian problem solution, dan dari penerapannya
berfokuskan pada masalah. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui alasan-alasan dibuatnya akta perdamaian yang oleh
para pihak dijadikan sebagai alternative penyelesaian masalah
pembagian waris.
Dalam melakukan suatu penelitian diperlukan suatu metode
pendekatan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dalam
penetian tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah yuridis normatif.
2. Spesifikasi Penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis adalah suatu
metode penelitian untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan,
dengan cara memaparkan data yang diperoleh sebagaimana adanya,
yang kemudian dianalisis dan menyusun beberapa kesimpulan.
3. Teknik Pengumpulan data
Sumber dan Jenis Data, Sumber data berupa data sekunder, yaitu:
a) Data yang dikumpulkan dalam bentuk bahan hukum primer,
berupa Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun
2004 dan KUHPerdata, H.I.R, Putusan Pengadilan Negeri, Akta
Perdamaian. Bahan hukum primer sebagai landasan hukum
penelitian ini.
b) Data yang dikumpulkan dalam bentuk hukum sekunder berupa
buku dan tulisan lain yang berkaitan dengan permasalahan
yang diteliti. Bahan hukum sekunder ini akan menjelaskan lebih
lanjut dari bahan hukum primer.
c) Data yang dikumpulkan dalam bentuk bahan hukum tertier,
berupa kamus hukum, Bahan Hukum tertier memberikan
petunjuk serta penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder.
d) Data sekunder diperoleh melalui studi dokumen.
4. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan
adalah analisis data kualitatif, Maka dari data yang dikumpulkan
secara
lengkap
dan
telah
di
cek
keabsahannya
dan
menggambarkan gejala atau makna dari kasus yang ada.
5. Obyek Penelitian
Sebagai obyek penelitian dalam penulisan ini adalah akta
perjanjian
perdamaian
dan
Putusan
Pengadilan
nomor
:
305/Pdt/G/2007/PN. Bks). Nara sumber adalah notaris dan hakim
PN serta sumber lain yang terkait dengan yang akan dijadikan
bahan penulisan ini.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam empat bab, yaitu sebagai
berikut :
Bab I
: Pendahuluan, yang menguraikan tentang latar belakang,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab II
: Tinjauan Pustaka di dalam bab ini akan menyajikan
tentang
landasan
hukum,
tinjauan
umum
tentang
perjanjian, tinjauan umum akta perdamaian, tinjauan
umum notaries.
Bab III
: Hasil penelitian dan pembahasan, dalam bab ini akan
Diuraikan
hasil
penelitian
yang
sesuai,
dengan
permasalahan dan kemudian dilakukan pembahasan.
Bab IV
: Di dalam bab ini merupakan Penutup yang berisi
kesimpulan dan saran dari hasil penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Hukum Perjanjian Pada Umumnya
Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata, yaitu
tentang Perikatan yang menganut sistem terbuka (open system),
artinya setiap orang dapat melakukan perjanjian apa saja asal tidak
bertentangan
dengan
undang-undang,
ketertiban
umum
dan
kesusilaan.
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan
perikatan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1233 KUHPerdata,
yang menyatakan sebagai berikut :
“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan,baik
karena undang-undang.”
Perikatan yang lahir dari perjanjian, dikehendaki oleh dua orang
atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, di mana dalam
perikatan timbul hak dan kewajiban dari para pihak yang perlu
diwujudkan. Hak dan kewajiban ini berupa prestasi, pihak debitor
berkewajiban memenuhi prestasi dan pihak kreditor berhak atas
prestasi.19 Sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang
diadakan oleh undang-undang di luar kemauan para pihak yang
bersangkutan.
19
hlm. 13. Abdulkdir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992),
1. Pengertian Perjanjian
Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah : “Suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Hubungan antara dua orang tersebut adalah suatu hubungan
hukum di mana hak dan kewajiban diantara para pihak tersebut
dijamin oleh hukum.
Menurut R. Subekti, suatu perjanjian adalah : “Suatu
peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal. Dari peristiwa ini, timbul suatu hubungan antara dua orang
tersebut yang dinamakan perikatan.”20
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dalam suatu
perjanjian terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
a. Adanya pihak-pihak
Dalam hal ini harus terdapat dua orang atau lebih sebagai subjek
perjanjian, yaitu manusia atau badan hukum yang mempunyai
hak dan kewajiban dalam melakukan suatu perbuatan hukum
sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku.
b. Adanya atau tercapainya kesepakatan antara para pihak yang
mengadakan perjanjian.
c. Adanya tujuan yang hendak dicapai.
20
R. Subekti (1), Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2004), hlm. 1. d. Adanya Prestasi yang dilaksanakan.
e. Adanya bentuk tertentu dalam suatu perjanjian yaitu bisa lisan
atau tertulis.
f. Adanya syarat-syarat tertentu yang tercantum dalam perjanjian.
Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang
yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu
rangkaian
perkataan
yang
mengandung
janji-janji
atau
kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta
kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak
yang satu berhak atas suatu prestasi (kreditor) dan pihak lain
berkewajiban atas suatu prestasi (debitor). Dari definisi tersebut
dapat disimpulkan, bahwa dalam satu perikatan paling sedikit
terdapat satu hak dan kewajiban. Suatu persetujuan dapat
menimbulkan satu atau beberapa perikatan, tergantung pada
jenis-jenis persetujuannya.21
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian yang
sah apabila telah memenuhi 4 (empat) syarat sahnya perjanjian,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, antara
lain :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
21
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Binacipta, 1978), hlm. Sepakat dimaksudkan kedua subyek yang mengadakan
perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dengan demikian
tanpa adanya kesepakatan tersebut maka tidak akan lahir
suatu perjanjian. Menurut Pasal 1321 KUHPerdata, suatu
sepakat yang sah dipandang tidak ada apabila sepakat itu
diberikan karena adanya kekhilafan (dwaling), paksaan
(dwang) ataupun penipuan (bedrog). Jadi dapat disimpulkan
bahwa para pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan
suatu perjanjian harus benar-benar bebas dari tekanan dan
murni atas kehendak sendiri yang disepakati oleh kedua belah
pihak.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Kedua belah pihak harus cakap menurut hukum, artinya
setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat
pikirannya. Beberapa golongan orang yang oleh UndangUndang dinyatakan ”tidak cakap” yakni, orang di bawah umur
dan orang yang di bawah pengawasan (curatele), sedangkan
perempuan yang telah kawin dicabut sesuai SEMA Nomor 3
Tahun 1963. Seseorang yang tidak cakap, maka tidak dapat
melakukan perjanjian dengan pihak lain tetapi dapat diwakili
oleh walinya atau pengampu/kuratornya.
c. Suatu hal tertentu;
Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal
atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu (Pasal 13321334 KUHPerdata). Syarat ini diperlukan untuk menetapkan
kewajiban si berhutang, jika terjadi perselisihan. Barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan
jenisnya.22
d. Suatu sebab yang halal.
Maksudnya adalah isi dan tujuan perjanjian itu tidak dilarang
atau tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum dan kesusilaan atau nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat (Pasal 1335-1337 KUHPerdata).
Dua syarat yang pertama menyangkut subyek atau orang
yang melakukan perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat
subyektif, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat
obyektif karena menyangkut obyek dari perjanjian itu sendiri atau
obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.23 Apabila syarat
subyektif dari perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut
dapat dimintakan pembatalannya, pihak yang dapat memintakan
pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang tidak
menyetujui
perjanjian
tersebut,
apabila
perjanjian
tersebut
dilakukan secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu
mengikat selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan
136. 22
R. Subekti (2), Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 1994), hlm.
23
R. Subekti (1), Op. Cit., hlm. 17. pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut. Sedangkan
apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian
tersebut batal demi hukum, artinya sejak semula dianggap bahwa
perjanjian itu tidak pernah ada.
3. Unsur-unsur Perjanjian
Unsur-unsur
yang
terdapat
dalam
perjanjian
dapat
dikelompokkan dalam beberapa kelompok, sebagai berikut :24
a. Unsur Essensialia adalah unsur mutlak yang harus selalu ada
di dalam suatu perjanjian, di mana tanpa adanya unsur ini
maka perjanjian tidak mungkin ada, seperti “sebab yang halal”
merupakan essensialia untuk adanya perjanjian.
b. Unsur Naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh UndangUndang diatur, tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau
diganti. Pada unsur naturalia ini, dapat menyimpang dari
ketentuan yang sifatnya mengatur, sedangkan pada ketentuan
yang sifatnya memaksa tidak dapat dikesampingkan, seperti
kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan
(Pasal 1476 KUHPerdata) dapat disimpangi atas kesepakatan
kedua belah pihak.
c. Unsur Accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan
oleh para pihak yang tidak diatur dalam Undang-Undang.
4. Subyek dan Obyek Perjanjian
24
J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung : Citra aditya Bakti, 1992), hlm. 57. Perjanjian
timbul
karena
adanya
hubungan
hukum
kekayaan antara dua orang atau lebih. Pendukung hukum
perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu,
masing-masing orang tersebut menduduki tempat yang berbeda,
satu orang menjadi kreditor dan yang seorang lagi sebagai pihak
debitor.25
Subyek perjanjian adalah pihak-pihak yang terikat dalam
suatu perjanjian, yaitu pihak kreditor yang berhak atas prestasi
dan pihak debitor yang wajib melaksanakan prestasi. Kreditor
mempunyai
menyerahkan
hak
atas
sesuatu
prestasi
sehingga
dan
berkewajiban
perjanjian
itu
untuk
terwujud,
sedangkan debitor wajib memenuhi pelaksanaan prestasi dan
mempunyai hak untuk menerima manfaat dari prestasi tersebut.
Dalam perjanjian dapat terjadi para pihak lebih dari satu orang,
misalnya : beberapa orang kreditor berhadapan dengan seorang
debitur atau sebaliknya, tidak mengurangi sahnya perjanjian, atau
jika pada mulanya kreditor terdiri dari beberapa orang kemudian
yang tinggal hanya seorang kreditur saja berhadapan dengan
debitor, juga tidak mengurangi sahnya perjanjian. Sedangkan
obyek dari perjanjian adalah ”prestasi” itu sendiri berupa
memberikan sesuatu, berbuat dan tidak berbuat sesuatu. Sesuai
dengan Pasal 1234 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa :
25
hlm. 15. M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1996),
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”
Obyek perikatan harus memenuhi beberapa syarat tertentu,
yaitu:26
a. Harus tertentu atau dapat ditentukan.
Dalam Pasal 1320 poin ke 3 KUHPerdata menyebutkan
sebagai unsur tejadinya persetujuan suatu obyek tertentu,
tetapi hendaknya ditafsirkan sebagai dapat ditentukan, karena
perikatan dengan obyek yang dapat ditentukan diakui sah.
b. Obyeknya diperkenankan
Menurut
Pasal
1335
dan
Pasal
1337
KUHPerdata,
persetujuan tidak akan menimbulkan perikatan jika obyeknya
bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan atau
jika dilarang oleh undang-undang;
c. Prestasinya dimungkinkan, artinya ketidakmungkinan debitor
untuk melakukan prestasi, hendaknya dilihat dari sudut
kreditor,
apakah
kreditur
mengetahui
tentang
ketidakmungkinan tersebut. Jika kreditor mengetahui, maka
perikatan menjadi batal dan begitu pula sebaliknya, jika
kreditor tidak mengetahui, maka debitor tetap berkewajiban
untuk melaksanakan prestasi.
5. Asas-Asas Perjanjian
26
Ibid. Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas, namun secara umum
asas perjanjian ada lima, yaitu:27
a. Asas kebebasan berkontrak
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
Asas tersebut bermakna bahwa setiap orang bebas membuat
perjanjian dengan siapa saja, apa saja isinya, dan bentuknya bebas
sejauh
tidak
melanggar
undang-undang,
ketertiban
umum,
kesusilaan.28 (Pasal 1337 dan Pasal 1338 KUHPerdata).
Pasal-pasal dalam hukum perjanjian sebagian besar (karena Pasal
1320 KUHPerdata bersifat pemaksa) dinamakan hukum pelengkap
karena para pihak boleh membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang
menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian namun bila para pihak
tidak mengatur sendiri sesuatu soal maka mereka tunduk pada
undang-undang dalam hal ini Buku III KUHPerdata. Jika dipahami
secara seksama maka asas kebebasan berkontrak memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk :
1) Membuat atau tidak membuat perjanjian
2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun
3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya
4) Menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan.
27
Salim HS. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia. (Buku
Kesatu. Jakarta: Sinar Grafika. 2003). hlm 9. 28
R. Subekti, Op.Cit. hlm 13-14. Namun, keempat hal tersebut boleh dilakukan dengan syarat tidak
melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
b. Asas konsensualisme
Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya kata sepakat (Pasal 1320,
Pasal 1338 KUHPerdata). Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan
kemauan para pihak.
c. Asas mengikatnya suatu perjanjian (pacta sunt servanda)
Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi yang membuat (Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata).
d. Asas itikad baik (togode trow)
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata).
e. Asas kepribadian (personalitas)
Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian
kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat di dalam
pasal 1317 KUHPerdata tentang janji untuk pihak ketiga.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman ada 10 asas perjanjian, yaitu
:29
a. Kebebasan mengadakan perjanjian;
b. Konsensualisme;
c. Kepercayaan;
d. Kekuatan mengikat;
29
Mariam Darus Badrulzaman. KUHPerdata Buku III. (Bandung : Alumni, 2009)
hlm 108-120 e. Persamaan hukum;
f. Keseimbangan;
g. Kepastian hukum;
h. Moral;
i. Kepatutan;
j. Kebiasaan.
6. Saat Berlaku dan Berakhirnya Perjanjian
Saat mulai berlaku atau saat berlakunya perjanjian atau
jangka waktu perjanjian adalah merupakan suatu rangkaian yang
saling berkaitan satu sama lain yang menunjukkan mengenai
keberlakuan dari suatu perjanjian. Hal ini sangat penting guna
menentukan
mengenai
pelaksanaan
prestasi
yang
harus
dilakukan oleh salah satu pihak yang terkait dalam suatu
perjanjian dan penentuan prestasi untuk pihak yang lain, serta
kapan berakhirnya suatu keadaan tersebut. Saat berlaku suatu
perjanjian adalah penting untuk menentukan risiko dan akibat
apabila terjadi perubahan-perubahan undang-undang.
Dalam hukum perjanjian dianut asas konsensualitas, yang
berarti bahwa suatu perjanjian lahir pada saat tercapainya kata
sepakat diantara kedua belah pihak, pada saat itulah suatu
perjanjian
dianggap
lahir,
kecuali
pada
perjanjian
yang
membutuhkan syarat-syarat khusus tambahan, seperti perjanjian
penghibahan atas benda khusus tak bergerak dan perjanjian
perdamaian, yang membutuhkan suatu formalitas, yaitu harus
dibuat secara tertulis dengan sebuah akta.
Kesepakatan yang dimaksud dalam asas konsensualitas ini
merupakan suatu kesepakatan yang dibuat secara sadar dan
sungguh-sungguh,
tanpa
adanya
kekhilafan,
paksaan
dan
penipuan, serta tidak melanggar asas kesusilaan dan ketertiban.
Kesepakatan untuk melakukan sesuatu perikatan yang bertujuan
untuk kejahatan, dianggap batal demi hukum, artinya perikatan
tersebut tidak sah karena bertentangan dengan hukum dan
Undang-Undang, sehingga kedua belah pihak tidak terikat untuk
melaksanakan perikatan tersebut.
Suatu perjanjian dinyatakan berakhir antaranya berdasarkan
berakhirnya ketetapan waktu dalam suatu perjanjian atau
meninggalnya salah satu pihak dalam perjanjian, dalam hal
prestasi yang dimaksudkan hanya dapat dilakukan oleh debitor
sendiri dan tidak boleh/tidak bisa digantikan oleh orang lain.30
Sesuai dengan adanya asas kebebasan berkontrak yang
melandasi hukum perjanjian, maka para pihak yang membuat dan
melaksanakan perjanjian juga dapat menentukan faktor-faktor lain
yang menyebabkan berakhirnya suatu perjanjian diantara mereka.
Oleh karena itu, berakhirnya suatu perjanjian tidak terbatas hanya
kepada
Pasal
1381
KUHPerdata,
30
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hlm. 64. dan
dengan
hapusnya
perikatan, maka orang-orang yang membuat perjanjian tersebut
kembali pada keadaan semula, yaitu bebas dan tidak terikat
dalam suatu perjanjian.
B. Tinjauan Umum Perjanjian Perdamaian
1. Pengertian Perjanjian Perdamaian.
Suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri
suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu
perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis
(Pasal 1851 KUHPerdata). Dalam perdamaian tersebut kedua belah pihak
saling melepaskan sebagian tuntutan mereka, demi untuk mengakhiri
suatu perkara yang sedang bergantung atau untuk mencegah timbulnya
suatu perkara. Ia adalah suatu perjanjian “formal” karena ia tidak sah (dan
karenanya tidak mengikat) kalau tidak diadakan menurut suatu formalitas
tertentu, yaitu ia harus diadakan secara tertulis. Dalam prakteknya Suatu
perjanjian perdamaian adalah merupakan suatu akta, karena perjanjian
tersebut sengaja dibuat oleh pihak-pihak yang bersangkutan untuk
dijadikan alat bukti dengan tujuan untuk menyelesaiakan sengketa, untuk
itu perjanjian perdamaian haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Perjanjian perdamaian dalam benuk akta otentik.
Suatu perjanjian perdamaian yang dibuat dalam bentuk akta otentik
memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut,
Akta itu harus di buat “di hadapan” seorang pejabat umum. Kata “di
hadapan” meunjukkan bahwa akta tersebutdolongkan ke dalam ata
partij (partij akte), dan pejabat umum yang dimaksud adalah notaris.
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang.
Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, akta otentik dalam bentuk
menurut undang-undang harus memenuhi formalitas tertentu. Dalam
praktek notariat, bentuk tertentu dari notaris yang lazim dipergunakan
terdiri dari tiga bagian yaitu:
a. Kepala Akta;
Terdiri dari judul akta, hari dan tanggal akta, nama notaris, tempat
kedudukannya, serta komparisi (nama para penghadap, jabatan dan
tempat tinggalnya, beserta keterangan apakah ia bertindak untuk diri
sendiri atau sebagai wakil/kuasa orang lain beserta atas kekuatan apa
ia berindak, sebagai wali atau kuasa).
b. Badan Akta
Menyebutkan ketentuan atau perjanjian apa saja yang dikehendaki
oleh para penghadap sepanjang tidak bertntangan dengan undangundang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Badan akta terdiri dari premise (keteranga pendahuluan yang
disampaikan oleh para penghadap sepanjang, dalam hal mengenai
akta perjanjian damai ini, dijelaskan mengenai adanya sengketa dan
keterangan-keterangaan lain yang dianggap perlu) dan klausul-klausul
yang berisikan mengenai kesepakatan yang harus dipatuhi oleh para
pihak.
c. Akhir Akta/Penutup;
Merupakan suatu bentuk yang memuat tempat dimana akta itu dibuat
dan diresmikan serta menyebut nama, jabatan dan tempat tinggal para
saksi pelengkap yang menyaksikan pembuatan akta tersebut (saksi
instrumentair). Selanjutnya di bagian penutup akta disebutkan bahwa
akta itu dibacakan kepada para penghadap dan saksi-saksi,dan
setelah itu ditandatangani oleh para penghadap, saksi-saksi dan
notaris.
Untuk mengadakan suatu perdamaian diperlukan kekuasaan untuk
melepaskan haknya atas hal-hal yang termaksud dalam perdamaian
itu.31
2. Macam-macam Akta Perdamaian
Akta perdamaian dapat di bagi dua sebagai berikut :
a. Akta perdamaian dengan persetujuan hakim atau acta van vergelijk.
Pasal 130 H.I.R menghendaki penyelesaian sengketa secara
damai , Pasal tersebut berbunyi:
“jika pada hari yang ditentukan kedua belah pihak datang maka
pengadilan
negeri
dengan
pertolongan
ketua
mendamaikan mereka”
31
Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, cet.X, 1999) hal 177 mencoba
Menurut ketentuan Pasal 1858 ayat (1) KUHPerdata, bahwa
segala perdamaian di antara pihak suatu kekuatan seperti putusan
Hakim dalam tingkat yang penghabisan. Hal ini pun ditegaskan pada
kalimat terakhir Pasal 130 ayat (2) HIR, bahwa putusan akta
perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Sifat kekuatan yang demikian merupakan
penyimpangan dari ketentuan konvensional. Secara umum suatu
putusan baru memiliki kekuatan hukum tetap, apabila terhadapnya
sudah tertutup upaya hukum. Biasanya agar suatu putusan memiliki
kekuatan yang demikian, apabila telah ditempuh upaya banding dan
kasasi. Namun terhadap putusan akta perdamaian, undang-undang
sendiri yang melekatkan kekuatan itu secara langsung
kepadanya. Segera setelah putusan diucapkan, langsung secara
inheren pada dirinya berkekuatan hukum tetap, sehingga perdamaian
itu mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim
yang berkekuatan hukum tetap32.
Akta perdamaian yang didasarkan atas putusan Majelis Hakim
di pengadilan sudah mempunyai kekuatan eksekutorial. Apabila salah
satu pihak tidak mentaati atau tidak melaksanakan isi yang tertuang
dalam akta perjanjian perdamaian tersebut tersebut secara sukarela
maka dapat diminta eksekusi kepada pengadilan negeri, sehingga
Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan pelaksanaan eksekusi.
Putusan tersebut tidak dapat upaya banding maupun kasasi.
32
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, cet. 8. (Jakarta : Sinar Grafika,
2008) hlm . 279-280 Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008, Akta perdamaian adalah
akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan hakim
yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk
pada upaya hukum biasa maupun luar biasa
b.
Akta perdamaian tanpa persetujuan hakim atau acta van dading.
Menurut Prof. R. Subekti SH dan R. Tjitrosudibio SH: “dading”
adalah suatu perjanjian (overeenkomst) yang tunduk pada Buku
III KUH Perdata, dan oleh karenanya sejalan dengan ketentuan
Pasal 1338 KUH Perdata, alinea pertama, dading sebagai suatu
perjanjian, asalkan dibuat secara sah (wettiglijk) mengikat para
pihak yang membuatnya sebagai undang-undang (strekken
degenen die dezelven hebben aangegaan tot wet). Jadi, asalkan
dading tersebut, sebagai suatu perjanjian, dibuat secara sah
sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai
syarat sahnya perjanjian :
1) kesepakatan (toestemming/mutual consent);
2) kecakapan (bekwaamheid/quality);
3) hal tertentu (bepaalde onderwerp/certain object); dan
4) kausa yang halal (geoorloofde oorzaak/licit cause)
Dengan demikian, dading hanya dapat dibatalkan atau
ditarik kembali bilamana :
a. Para pihak yang terikat oleh dading menyepakati pembatalan
atau
penarikan
kembali
kesepakatannya
tersebut
(met
wederzijdsche toestemming).
b. Atas dasar suatu alasan yang sah yang menurut undangundang dinyatakan cukup untuk pembatalan atau penarikan
kembali tersebut (uit hoofde der redenen welke de wet daartoe
voldoende
verklaart)
(Pasal 1338 KUH Perdata,
alinea
kedua).33
Dalam akta perdamaian terdapat dua istilah acta van dading dan
acta van vergelijk. Di kalangan para hakim lebih cenderung menggunakan
acta van dading untuk akta perdamaian yang dibuat para pihak tanpa
atau belum mendapat pengukuhan dari hakim, sedangkan acta van
vergelijk adalah akta yang telah memperoleh pengukuhan dari hakim.
3. Subyek dan Obyek Akta Perdamaian
Pada dasarnya siapa saja dapat menjadi subyek dari perjanjian
perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 1852, yang berbunyi;
“Untuk mengadakan suatu perdamaian diperlukan bahwa seorang
mempunyai kekuasaan untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang
termaktub di dalam perdamaian itu.
Wali-wali dan pengampu-pengampu tidak dapat mengadakan suatu
perdamaian selain jika mereka bertindak menurut ketentuanketentuan dari bab ke lima belas dan tujuh belas dari buku ke satu
Kitab Undang-Undang ini.
Kepala-kepala daerah yang bertindak sebagai demikian begitu pula
lembaga-lembaga umum tidak dapat mengadakan suatu
33
Permohonan peninjauan kembali diajukan terhadap akta perdamaian hasil
prosedurhakim. http://pwppamungkas.wordpress.com./2010/04/16. perdamaian selain dengan mengindahkan acara-acara yang
ditetapkam dalam perundang-undangan yang mengenai mereka.”
Obyek
perjanjian
perdamaian
diatur
dalam
Pasal
1853
KUHPerdata. Adapun obyek perjanjian perdamaian adalah :
a. Perdamaian dapat diadakan mengenai kepentingan keperdataan
yang timbul dari suatu kejahatan atau pelanggaran. Dalam hal ini,
perdamaian tidak menghalangi pihak kejaksaan untuk menuntut
kejahatan atau pelanggaran yang bersangkutan.
b. Setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang tercantum di
dalamnya. Sedangkan pelepasan segala hak dan tuntutan-tuntutan itu
berhubungan dengan perselisihan yang menjadi sebab perdamaian
tersebut.
Pasal 1851 KUHPerdata, perdamaian yang diadakan di antara para
pihak harus dibuatkan dalam bentuk tertulis, sehingga dapat di simpulkan
bahwa bentuk tertulis dari perjanjian perdamaian yang dimaksudkan
undang-undang adalah bentuk tertulis yang otentik yaitu yang dibuat
dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu, yang dalam hal ini adalah
notaris. Perjanjian perdamaian secara tertulis ini dapat dijadikan alat bukti
bagi para pihak untuk diajukan ke hadapan hakim (pengadilan), karena isi
perdamaian telah mempunya kekuatan hukum yang tetap.
4. Jenis-Jenis Akta Perdamaian
Pada dasarnya substansi perdamaian dapat dilakukan secara
bebas oleh para pihak, namun undang-undang telah mengatur berbagai
jenis perdamaian yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak. Perdamaian
yang tidak diperbolehkan adalah :
a.
Perdamaian tentang telah terjadinya kekeliruan mengenai orang yang
bersangkutan atau pokok perkara.
b.
Perdamaian yang telah dilakukan dengan cara penipuan atau
paksaan.
c.
Perdamaian mengenai kekeliruan duduknya perkara tentang suatu
alas hak yang batal, kecuali bila para pihak telah mengadakan
perdamaian tentang kebatalan itu dengan pernyataan tegas.
d.
Perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian
dinyatakan palsu.
e.
Perdamaian mengenai sengketa yang sudah diakhiri dengan suatu
keputusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
pasti, namun tidak diketahui oleh kedua belah pihak atau salah satu
pihak. Akan tetapi, jika keputusan yang tidak diketahui itu masih
dimintakan banding maka perdamaian mengenai sengketa yang
bersangkutan adalah sah.
f.
Perdamaian hanya mengenai suatu urusan, sedangkan dari suratsurat yang ditemukan kemudian ternyata salah satu pihak tidak
berhak atas hak itu.
Apabila keenam hal itu dilakukan maka perdamaian itu dapat dimintakan
pembatalan kepada pengadilan34
34
Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak,cet.3, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006.hlm. 94 Perdamaian yang dilakukan oleh para pihak mempunyai kekuatan
mengikat sama dengan putusan hakim pada tingkat akhir, baik itu
putusan kasasi maupun peninjauan kembali.
Perdamaian itu tidak dapat dijadikan dengan alasan pembatalan bahwa
kekeliruan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak
dirugikan.
C. Tinjauan Umum Notaris
1. Pengertian Notaris dan Kewenangan Notaris
Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan
bahwa:
“ Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik dan kewenangan lainya sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini”.
Wewenang utama notaris adalah membuat akta otentik
sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) huruf d UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004, setiap akta otentik atau akta
notaries mempunyai tiga kekuatan pembuktian yaitu :
1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah
Adalah dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai
akta otentik. Kemampuan ini menurut Pasal 1875 KUHPerdata
tidak dapat diberikan pada akta yang dibuat dibawah tangan.
Akta yang dibuat di bawah tangan baru berlaku sah, apabila
para pihak yang menandatanganinya mengakui kebenaran dari
tanda tangannya.
2. Kekuaran Pembuktian Formal
Dengan kekuatan pembuktian formal ini, maka akta otentik
dapat membuktikan :
a. Bahwa notaris yang bersangkutan telah menyatakan dalam
akta itu uraian-uraian mengenai ppihak-pihak sebagaimana
yang telah tercantum dalam akta itu;
b. Uraian-uraian dalam akta tersebut benar adanya karena
dilakukan, dibuat dan disaksikan oleh notaries sendiri dalam
menjalankan tugas jabatannya;
Kekuatan pembuktian formal berarti dengan akta otentik
terjamin kepastian tanggal dari akta itu, kebenaran tanda
tangan yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orang-orang
yang hadir, tempat dimana akta itu dibuat, dan kebenaran di
antara para pihak yang membuat akta;
3. Kekuatan Pembuktian Materil
Sepanjang
menyangkut
kekuatan
pembuktian
materil,
walaupun terdapat perbedaan antara keterangan dari notaries
yang dicantumkan dalam akta itu dengan keterangan dari para
pihak yang tercantum di dalamnya. Namun, akta otentik tetap
membuktikan adanya sesuatu seperti yang terdapat dalam akta
tersebut. Oleh karena itu, isi dari akta itu dianggap dibuktikan
sebagai benar terhadap setiap orang. Kekuatan pembuktian ini
diatur dalam Pasal 1870, 1871, dan 1875 KUHPerdata.35
Pemberian
kualifikasi
notaris
sebagai
jabatan
umum
berkaitan dengan wewenang notaris untuk membuat akta otentik
sepanjang akta-akta tersebut tidak ditugaskan kepada pejabat
yang lain.36
Menurut
R.
Soegondo
Notodisoerjo,
pejabat
umum
(openbaar ambtenaar), seseorang menjadi pejabat umum apabila
diangkat oleh pemerintah dan diberikan kewenangan melayani
publik dalam hal-hal tertentu, oleh karena notaris melaksanakan
kewibawaan (gezag) dari pemerintah.37 Menurut kamus hukum
salah satu arti dari Ambtenaren adalah pejabat. Dengan demikian
openbare Ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas
yang
bertalian
dengan
kepentingan
masyarakat,
sehingga
openbare Ambtenaren diartikan sebagai pejabat yang diserahi
tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan
masyarakat, dan kualifkasi sepeti itu diberikan kepada notaris.38
Lembaga notariat mempunyai peranan yang penting karena
35
Susanto Nogroho, “Kedudukan dan fungsi akta otentik (Akta Notaris) Sebagai
alat Bukti Dalam Pandangan POLRI,” Media Notariat XIII (Juni 2003), hlm.69 36
Wawan Setiawan, Kedudukan dan Keberadaan serta Fungsi fan Peranan
Notaris sebagai Pejabat umum dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Menurut Sistem Hukum
di Indonesia, Ikatan Notaris Indonesi, Daerah Jawa Timur, 222-23 Mei 1998, hlm. 7 37
R.Soegondo Notodisoeryo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan,
(Jakarta: Rajawali, 1982), Op. Cit, hlm.44. 38
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai pejabat
Publik. (Bandung: PT Refika Aditama, 2008), hlm.27. menyangkut akan kebutuhan dalam pergaulan antara manusia
yang menghendaki adalanya alat bukti tertulis dalam bidang
hukum Perdata, sehingga mempunyai kekuatan otentik. Mengingat
pentingnya lembaga ini, maka harus mengacu pada peraturan
perundang-undangan di bidang notariat, yaitu Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Peraturan
Jabatan Notaris termasuk dalam lingkup undang-undang dan
peraturan-peraturan organik, karena mengatur Jabatan Notaris.
Materi yang diatur didalamnya termasuk dalam hukum publik,
sehingga ketentuan-ketentuan yang terdapat didalamnya adalah
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa (dwingend recht).
Seorang Notaris yang berwenang untuk membuat akta-akta
otentik dan merupakan satu-satunya pejabat umum yang diangkat
serta diperintahkan oleh suatu peraturan yang umum atau yang
dikehendaki oleh orang-orang yang berkepentingan.
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Undang-Undang Jabatan Notaris menjelaskan bahwa
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan
grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang
pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undangundang.
Berdasarkan definisi dari Pasal 15 UUJN apabila dikaitkan
dengan Pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris dapat diketahui,
bahwa :
a. Notaris adalah pejabat umum;
b. Notaris merupakan pejabat yang berwenang membuat akta
otentik
c. Akta-akta yang berkaitan dengan pembuatan, perjanjian dan
ketetapan
undangan
yang
diharuskan
dan/atau
yang
oleh
peraturan
dikehendaki
perundangoleh
yang
berkepentingan supaya dinyatakan dalam suatu akta otentik;
d. Adanya kewajiban dari notaris untuk menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktanya, memberikan groose, salinan
dan kutipannya.
e. Terhadap pembuatan akta-akta itu juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang.
Otensitas dari akta notaris bersumber dari Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004, yaitu notaris
dijadikan sebagai pejabat umum, sehingga akta yang dibuat oleh
notaris dalam kedudukannya tersebut membuat akta otentik. Akta
yang dibuat oleh notaris mempunyai sifat otentik, bukan karena
undang-undang menerapkan demikian, tetapi karena akta itu
dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Hal ini sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang menyebutkan
bahwa akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat di mana
akta dibuatnya.
Dengan demikian unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal
1868 KUHPerdata adalah sebagai berikut :
a. Bahwa akta itu dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut
hukum;
b. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;
c. Bahwa akta itu dibuat dihadapan yang berwenang untuk
membuatnya ditempat dimana dibuat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UUJN dan Pasal 15 UUJN
telah menegaskan, bahwa tugas pokok dari notaris adalah
membuat akta otentik dan akta otentik itu akan memberikan
kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian yang
sempurna. Hal ini dapat dilihat sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu
akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-
ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripada
mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat
didalamnya.
Dalam konteks ini profesi Notaris memiliki arti yang signifikan
karena undang-undang memberikan kepadanya kewenangan
untuk menciptakan alat pembuktian yang sempurna, dalam
pengertian bahwa apa yang tersebut dalam otentik itu pada
pokoknya dianggap benar.
Hal ini sangat penting untuk anggota masyarakat yang
membutuhkan alat pembuktian untuk sesuatu keperluan, baik
untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan suatu
usaha. Notaris tidak hanya berwenang untuk membuat akta otentik
dalam
arti
Verlijden,
yaitu
menyusun,
membacakan
dan
menandatangani dan Verlijkden dalam arti membuat akta dalam
bentuk
yang
ditentukan
oleh
undang-udang
sebagaimana
dimaksud olah Pasal 1858 KUHPerdata, tetapi juga berdasarkan
ketentuan terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN, yaitu
adanya kewajiban terhadap Notaris untuk memberi pelayanan
sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada
alasan untuk menolaknya. Notaris juga memberikan nasehat
hukum dan penjelasan mengenai ketentuan undang-undang
kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Adanya hubungan erat
antara ketentuan mengenai bentuk akta dan keharusan adanya
pejabat
yang
mempunyai
tugas
untuk
melaksanakannya,
menyebabkan adanya kewajiban bagi penguasa, yaitu pemerintah
untuk menunjuk dan mengangkat notaris.
Berkaitan dengan wewenang yang harus dimiliki oleh notaris
hanya diperkenankan untuk menjalankan jabatannya didaerah
yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam UUJN dan didalam
daerah hukum tersebut Notaris mempunyai wewenang. Apabila
ketentuan itu dilanggar, akta yang dibuat oleh Notaris menjadi
tidak sah. G.H.S Lumban Tobing membagi kewenangan yang
dimiliki oleh Notaris menjadi empat (4) hal yaitu sebagai berikut:
a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta
yang dibuat itu
b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang,
untuk kepentingan siapa akta itu dibuat
c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana
akta itu dibuat
d. Notaris
harus
berwenang
sepanjang
mengenai
waktu
pembuatan akta itu.39
Keempat hal tersebut di atas, dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Tidak semua pejabat umum dapat membuat semua akta, akan
tetapi seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta-akta
39
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit. hlm. 49-50 tertentu, yaitu yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
b. Notaris tidak berwenang membuat akta untuk kepentingan
setiap orang. Pasal 52 ayat (1) UUJN, misalnya telah ditentukan
bahwa notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri
sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan
kekeluargaan dengan notaris karena perkawinan maupun
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun
ke atas tanpa pembatasan derajat, serta garis kesamping
sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri
sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan
perantaraan kuasa. Maksud dan tujuan dari ketentuan ini adalah
untuk
mencegah
terjadinya
tindakan
memihak
dan
penyalahgunaan jabatan;
c. Bagi setiap notaris ditentukan wilayah jabatannya dan hanya
didalam wilayah jabatan yang ditentukan tersebut, Notaris
berwenang untuk membuat akta otentik.
d. Notaris tidak boleh membuat akta selama notaris tersebut masih
menjalankan cuti atau dipecat dari jabatannya. Notaris juga
tidak boleh membuat akta sebelum memangku jabatannya atau
sebelum diambil sumpahnya.
Apabila salah satu persyaratan diatas tidak terpenuhi, maka
akta yang dibuat Notaris itu adalah tidak otentik dan hanya
mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan,
apabila akta tersebut ditandatangani oleh para penghadap.40
2. Akta Notaris sebagai Akta Otentik
Secara teoritis menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud
dengan akta otentik adalah surat atau akta yang sejak semula dengan
sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian. Sejak semula dengan
sengaja berarti bahwa sejak awal dibuatnya surat itu tujuannya adalah
untuk pembuktian di kemudian hari kalau terjadi sengketa, sebab ada
surat dengan tidak dengan sengaja dibuat sejak awal sebagai alat bukti
seperti surat korespondensi biasa, surat cinta dan sebagainya.
Dikatakan secara resmi karena tidak dibuat secara dibawah tangan.
Secara dogmatis (menurut hukum positif) apa yang dimaksud
dengan akta otentik terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata jo Pasal
165 HIR, 285 Rbg) : Suatu akta otentik adalah akta yang bentuknya
ditentukan oleh undang-undang (welke in de wettlijke vorm is verleden)
dan dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum (door of ten
overstaan van openbare ambtenaren) yang berkuasa untuk itu (daartoe
bevoegd) ditempat dimana akta dibuatnya.41
Menurut Mochammad Dja’is dan RMJ Koosmargono Pasal 165
HIR yang berkaitan dengan akta otentik tersebut mengandung unsurunsur:
a. Tulisan yang memuat
40
Ibid. hlm 50 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ketujuh, Cetakan
Pertama (Yogyakarta : Liberty, 2006), hlm 153. 41
b. Fakta, peristiwa, atau keadaan yang menjadi dasar dari suatu hak
atau perikatan;
c. Ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan
d. Dengan maksud untuk menjadi bukti.42
Lebih lanjut dijelaskan bahwa akta otentik merupakan akta yang dibuat
oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang, mempunyai kekuatan
pembuktian
sempurna
keasliannya
maka
dengan
pihak
sendirinya
yang
dan
membantah
apabila
harus
dibantah
membuktikan
kepalsuannya.43
Jadi akta otentik itu bentuknya ditentukan oleh undang-undang
bukan oleh peraturan yang lebih rendah dari undang-undang. Kecuali itu
yang namanya akta otentik itu dibuat oleh atau dihadapan openbare
ambtenaren atau “pegawai-pegawai umum”. Untuk tidak menimbulkan
kerancuan
dengan
diterjemahkan
pegawai
dengan
negari
kata
openbaar
ambtenaar,
umum
selanjutnya
pegawai-pegawai
diterjemahkan dengan pejabat umum oleh karena pejabat umum
bukanlah pegawai negeri yang tunduk pada peraturan kepegawaian.
Akta otentik adalah akta yang dibuat dan diresmikan dalam bentuk
menurut hukum, oleh atau dihadapan pejabat umum, yang berwenang
untuk berbuat demikian, di tempat akta itu dibuat.44
Berdasarkan penjelasan Pasal 1869 KUHPerdata, akta otentik
dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut
42
Mochammad Dja’is dan RMJ. Koosmargono, Membaca dan Mengerti HIR,
Badan Penerbit (Semarang: Universitas Diponegoro, 2008) hlm. 153. 43
Ibid, hlm. 155. 44
R. Soegondo Notidisoerja, Op.Cit. hlm. 42. pejabat umum. Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau
tidak berwenang atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869
KUHPerdata:
a. Akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai
akta otentik atau disebut juga akta otentik, oleh karena itu tidak dapat
diperlakukan sebagai akta otentik;
b. Namun akta yang demikian, mempunyai nilai kekuatan sebagai akta
di bawah tangan, dengan syarat apabila akta itu ditandatangani para
pihak.
Jenis akta otentik dapat dibedakan atas :
a. Partij akte (akta pihak)
Yaitu akta yang memuat keterangan (berisi) apa yang dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya pihak-pihak yang
bersangkutan mengatakan menjual / membeli selanjutnya pihak
notaris merumuskan kehendak para pihak tersebut dalam suatu akta;
Partij akte ini mempunyai kekuatan pembuktian sempurna bagi pihakpihak yang bersangkutan termasuk para ahli warisnya dan orangorang yang menerima hak dari mereka itu. Pasal 1870 KUHPerdata
dianggap berlaku bagi partij akte ini. Mengenai kekuatan pembuktian
terhadap pihak ketiga tidak diatur.45
b. Ambtelijke akte atau relaas akte atau disebut juga processverbaal
akte
45
Mochammad Dja’is dan RMJ. Koosmargono, Op.Cit. hlm. 154. Yaitu akta yang memuat keterangan resmi dari pejabat yang
berwenang. Jadi akta ini hanya memuat keterangan dari satu pihak
saja, yakni pihak pejabat yang membuatnya. Akta ini dianggap
mempunyai kekuatan pembuktian terhadap semua orang. Contohnya
adalah akta kelahiran, kartu tanda penduduk, surat keterangan
kelakuan baik, akta nikah.46
Perbedaan antara akta pihak (partij akte) dengan akta pejabat
(ambtelijke akte), adalah :
Partij akte:
a. Inisiatif ada pada pihak-pihak yang bersangkutan
b. Berisi keterangan para pihak
Ambtelijke akte:
a. Inisiatif ada pada pejabat;
b. Berisi keterangan tertulis dari pejabat (ambtenaar) pembuat akta47
Kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang terdapat
pada akta otentik, merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan yang
terdapat padanya. Apabila salah satu kekuatan itu cacat mengakibatkan
akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna
(volledig) dan mengikat (bindende). Oleh karena itu untuk melekatkan
nilai kekuatan yang seperti itu pada akta otentik harus terpenuhi secara
terpadu kekuatan pembuktian yang disebut:48
46
Ibid, hlm. 155 Ibid. 48
M. Yahya Harapah, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008,) hlm.
47
566. Akta otentik memiliki kekuatan daya pembuktian sebagai berikut :
a. Kekuatan Bukti Luar
Suatu akta otentik yang diperlihatkan harus dianggap dan
diperlakukan
sebagai
akta
otentik,
kecuali
dapat
dibuktikan
sebaliknya, bahwa akta itu bukan akta otentik. Selama tidak dapat
dibuktikan sebaliknya pada akta tersebut melekat kekuatan bukti
luar. Maksudnya, harus diterima kebenarannya sebagai akta otentik.
Sebaliknya jika dapat dibuktikan kepalsuannya, hilang atau gugur
kekuatan bukti luar dimaksud, sehingga tidak boleh diterima dan
dinilai sebagai akta otentik.
Sesuai dengan prinsip kekuatan bukti luar, hakim dan para
pihak yang beperkara, wajib menganggap akta-akta otentik itu
sebagai akta otentik, sampai pihak lawan dapat membuktikan bahwa
akta yang diajukan, bukan akta otentik karena pihak lawan dapat
membuktikan adanya:
1) Cacat hukum, karena pejabat yang membuatnya tidak berwenang,
atau tanda tangan pejabat didalamnya adalah palsu, atau
2) Isi yang terdapat didalamnya telah mengalami perubahan, baik
berupa pengurangan atau penambahan kalimat.
Dari penjelasan di atas, kekuatan pembuktian luar akta
otentik, melekatkan prinsip anggapan hukum bahwa setiap akta
otentik harus dianggap benar sebagai akta otentik sampai pihak
lawan mampu membuktikan sebaliknya.
b. Kekuatan pembuktian formil
Kekuatan pembuktian formil yang melekat pada akta otentik
dijelaskan Pasal 1871 KUHPerdata, bahwa segala keterangan yang
tertuang di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan
penanda tanganan kepada pejabat yang membuatnya. Oleh karena
itu, segala keterangan yang diberikan penanda tanganan dalam akta
otentik, dianggap benar sebagai keterangan yang dituturkan dan
dikehendaki yang bersangkutan.
Anggapan atas kebenaran yang tercantum didalamnya,
bukan hanya terbatas pada keterangan atau pernyataan yang
terdapat didalamnya benar dari orang yang menandatanganinya
tetapi juga meliputi kebenaran formil yang dicantumkan pejabat
pembuat akta:
1) Mengenai tanggal yang tertera di dalamnya;
2) Tanggal tersebut harus dianggap benar;
3) Berdasar
kebenaran formil atas tanggal tersebut, tanggal
pembuatan akta tidak dapat digugurkan lagi oleh para pihak dan
hakim.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Kasus Posisi
Penggugat
a.
SELVI, beralamat di Babelan Rt. 007/001, Desa Babelan Kota,
Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, selanjutnya disebut sebagai
penggugat I :
b.
GUSTAMAN, beralamat di Babelan Rt. 007/001, Desa Babelan Kota
Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, selanjutnya disebut sebagai
penggugat II :
Dalam hal ini penggugat I dan penggugat II diwakili kuasanya PL.
TOBING, SH, MH, SUARNO, SH, Advokat yang berkantor, di
Gedung Istana Baru Lantai Baru Lantai 3 Unit 30, Jalan Pintu Air
Raya 58, 64 Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Kuasa No.4/lstp/XI.07
tanggal 5 September 2007.
Tergugat
a. HERWAN SANTOSO, beralamat Jalan Veteran no. 18 Kampung Dua
Ratus Rt. 03/06, Kelurahan Marga Jaya, Kecamatan Bekasi Selatan,
Kotamadya Bekasi, selanjutnya disebut sebagai tergugat I;
b. HERU GUNAWAN, beralamat Jalan Veteran no.18 Kampung Dua
Ratus Rt. 03/06, Kelurahan Marga Jaya, Kecamatan Bekasi Selatan,
Kotamadya Bekasi, selanjutnya disebut sebagai tergugat II;
c. MULYADI, beralamat Jalan Veteran no.18 Kampung Dua Ratus Rt.
03/06,
Kelurahan
Marga
Jaya,
Kecamatan
Bekasi
Selatan,
Kotamadya Bekasi, selanjutnya disebut sebagai tergugat III;
d. TJOA HON NIO alias MARNI, beralamat Jalan Veteran no.18
Kampung Dua Ratus Rt. 03/06, Kelurahan Marga Jaya, Kecamatan
Bekasi Selatan, Kotamadya Bekasi, selanjutnya disebut sebagai
tergugat IV;
e. MIA MARINI, SH, Notaris dan PPAT, beralamat di Jalan H. Juanda
Kavling 143 No. 9 Lantai III, Bekasi, yang selanjutnya disebut
sebagai tergugat V.
f.
ACHMAD SULOMO, SH, Notaris, beralamat di Jalan H. Juanda No.
20 Bekasi, yang selanjutnya disebut sebagai tergugat VI.
g. IKA SAKTI RACHMASARI, SH, Notaris dan PPAT, beralamat di
Jalan di Jalan Diponegoro Km. 18 No. 28 Tambun, Bekasi Timur,
yang selanjutnya disebut sebagai tergugat VII.
h. KANTOR PERTANAHAN KOTA, beralamat di Jalan Chairil Anwar
No. 25 Tambun, Bekasi Timur, yang selanjutnya disebut sebagai
tergugat VIII.
i.
KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BEKASI, beralamat Jalan
Doha Blok 84 Lippo Cikarang, Bekasi, yang selanjutnya disebut
sebagai tergugat IX.
2. Tentang Duduknya Perkara
Penggugat dengan surat gugatannya tertanggal 20 September
2007 yang telah didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Pengadilan
Negeri Bekasi, dibawah register perkara no: 305/Pdt.G/2007/PN.Bks
tanggal 20 September 2007, telah mengemukakan dalil-dalil gugatan,
sebagai berikut :
a. Bahwa penggugat I dan penggugat II adalah anak kandung dari
almarhum
GUNAWAN
dari
pernikahannya
dengan
SURYATI,
pernikahan mana tercatat dalam Akte Pernikahan no.8/1975, tanggal
24 Maret 1975 yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil, Kabupaten
Bekasi bukti (P-1).
1) Bahwa penggugat I lahir tanggal 24 April 1975 di Bekasi, sesuai
Surat Kenal laahir no. 636/cs-kpd/1975 tanggal 1 Desember 1975
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II
Bekasi (P-2).
2) Bahwa penggugat II lahir tanggal 25 April 1977, sesuai Akte lahir
no.50/1977 yang dikeluarkan oleh Catatan Sipil Kabupaten Daerah
Tingkat II Bekasi tanggal 28 April 1977 (P-3).
Almarhum GUNAWAN dikenal juga dengan nama GOUW KANG
KIM alias GOUW PIK WIE adalah anak kedua dari pasangan
suami istri almarhum GOUW YAN SOEY dengan almarhum YAP
RINGGIT NIO alias RINI YAKUP;
Pasangan suami istri GOUW YAN SOEY dengan YAP
RINGGIT NIO alias RINI YAKUP mempunyai dua orang anak yaitu
perempuan bernama GOUW NONA alias NONA dan laki-laki yang
bernama GUNAWAN alias GOUW KANG KIM alias GOUW PIK
WIE. Bahwa GOUW YAN SOEY telah meninggal lebih dahulu dan
YAP RINGGIT NIO alias RINI YAKUP tidak pernah menikah lagi
sampai meninggal tanggal 10 Semptember 1990.
Almarhum GOUW NONA alias NONA sampai meninggal
tanggal 12 Oktober 2005 tidak mempunyai suami dan anak dan
tidak
pula
pernah
mengadopsi
seorang
anak,
Almarhum
GUNAWAN sejak bercerai dengan SURYATI (Ibu penggugat I dan
II) tanggal 13 Oktober 1983, sampai meninggal tanggal 28 Juni
2005 tidak pernah menikah lagi.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, sesuai ketentuan
hukum mohon Pengadilan Negeri Bekasi menyatakan bahwa para
penggugat adalah satu-satunya
ahli waris
yang
sah
dari
almarhumah YAP RINGGIT NIO alias RINI YAKUP, almarhum
GUNAWAN alias GOUW KANG KIM alias GOUW PIK WIE dan
almarhumah GOUW NONA alias NONA. Pada saat ibu penggugat
I dan II (SURYATI) pergi ke rumah orang tuanya di Babelan,
Bekasi untuk mengurus orang tuanya yang sedang sakit,
sedangkan ayah penggugat I dan II yang bernama GUNAWAN
alias GOUW KANG KIM alias GOUW PIK WIE tetap tinggal di
kediaman bersama nenek penggugat I dan II YAP RINGGIT NIO
alias RINI YAKUP dan bibi penggugat I dan II yang bernama
GOUW NONA, sejak itulah tergugat IV tinggal di rumah kediaman
bersama di mana semula disebut-sebut sebagai orang yang
membantu pekerjaan rumah nenek penggugat I dan II. Tetapi
kemudian lama-lama Ibu penggugat I dan II menjadi curiga dengan
gerak geriknya karena kemudian tergugat IV hamil, akhirnya terjadi
perceraian ibu penggugat I dan II dengan ayah penggugat I dan II.
Tergugat IV tidak pernah menikah, tetapi mempunyai tiga
orang anak luar nikah yaitu tergugat I, II, dan tergugat III yang
mengaku sebagai anak GUNAWAN dan lahir pada masa
GUNAWAN masih terikat perkawinan yang sah dengan ibu
penggugat I dan II tersebut sampai saat ini, bahkan dengan caracara melanggar hukum telah menguasai seluruh harta kekayaan
nenek penggugat yang meninggal tahun 1990 dan ayah penggugat
GUNAWAN dan bibi penggugat I, II GOUW NONA meninggal
tahun 2005.
YAP RINGGIT NIO alias RINI YAKUP meninggalkan warisan
berupa warisan berupa tanah bangunan, rumah serta tanah sawah
yang pendaftarannya atas nama GOUW NONA alias NONA yang
saat ini seluruhnya dikuasai oleh tergugat I, II, III, dan IV.
Bahwa tergugat I, II, dan III dihadapan tergugat V telah
membuat keterangan waris palsu dengan akta no. 4 tanggal 24
Desember 2005, dengan alasan :
a. Tergugat I, II dan III adalah anak-anak luar kawin dari Nyonya TJOA
HON NIO alias MARNI, sesuai dengan akta lahir HERWAN
SANTOSO No. 8/1980 tanggal 8 Januari 1980 yang dikeluarkan oleh
Kantor Catatan Sipil Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi dan akte
lahir HERU GUNAWAN no. 160/1981, tanggal 20 Juli 1981
dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Kabupaten Daerah Tingkat II
Bekasi, akte lahir MULYADI No. 126/1983, tanggal 2 Juli 1983 yang
dengan tegas menyatakan bahwa anak luar kawin dari nyonya TJOA
HON NIO yang dikelurkan oleh Kantor Catatan Sipil Kabupaten
Daerah Tingkat II Bekasi.
b. Bahwa nyonya TJOA HON NIO tergugat IV, sampai saat ini masih
hidup, bahwa tergugat I, II, dan III hanya mempunyai hubungan
hukum dengan TJOA HON NIO, dengan fakta diatas tergugat I, II, III
bersama-sama dengan tergugat tergugat V telah membuat akta
keterangan waris palsu, setidak-tidaknya tergugat I, II, dan III telah
memasukkan keterangan palsu kedalam akte otentik, guna membagibagi tanah warisan milik para penggugat tersebut di atas, tergugat V
menyadari setidak-tidaknya lalai atau kurang hati-hati sehingga
merugikan para penggugat.
Penggugat I dan II telah beberap kali berupaya secara
musyawarah untuk meminta harta warisa dari nenek penggugat I
dan II,
Pernikahan mana tercatat dalam akta pernikahan No.8/1975 yang
dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil, Kabupaten Bekasi
(P-I).
a. Bahwa perkawinan orang tua penggugat I dan penggugat II telah
putus karena perceraian pada tahun 1983 (Putusan Mahkamah
Agung RI);
b. Bahwa para tergugat I, II, dan III adalah anak luar kawin dari
pasangan almarhum GUNAWAN dan TJOA HON NIO Alias MARNI
(tergugat IV) yang masing-masing lahir sebelum GUNAWAN dan
tergugat IV resmi melangsungkan perceraian;
c. Bahwa orang tua penggugat I dan II (Almarhum GUNAWAN)
mempunyai orang tua yang bernama GOUW YAN SOE dan YAP
RINGGIT sedangkan Almarhum GUNAWAN mempunyai saudara
kandung perempuan bernama GOU NONA Alias NONA yang
semasa hidupnya tidak pernah melangsungkan perkawinan dengan
siapapun dan tidak mengangkat anak;
d. Bahwa semasa hidupnya nenek dan kakek para penggugat
mempunyai harta-harta warisan sebagai berikut :
Sebidang tanah dan bangunan yang berdiri diatasnya yaitu
Seripikat Hak Milik no. 2169 Marga Jaya atas nama YAP RINGGIT NIO
luas 1445 m2, terletak di Gang Nangka no. 18 Kelurahan Marga Jaya
Kecamatan Bekasi Selatan, Kota Bekasi Jawa Barat yang telah dipecah
atau dibagi oleh tergugat I, II dan III berdasarkan akta keterangan waris
yang dibuat tergugat V (bukti P-7) dengan pembagian hak bersama
(bukti P-8, bukti P-9, bukti P-10), dan bukti-bukti lain berupa bukti P-1,
bukti P-2, bukti P-3, bukti P-4, bukti P-5, bukti P-6a, bukti P-6, bukti P10a, bukti P-11, dan bukti P-12) dan ditidak lanjuti oleh tergugat
V
dengan melakukan pemecahan sertipikat Hak Milik 2169 Marga Jaya,
tersebut menjadi 3 sertipikat (bukti P-8a, bukti 9-a dan bukti P-10a).
Bahwa para tergugat I, II, dan III adalah anak luar kawin dari
pasangan almarhum GUNAWAN dan TJOA NIO Alias MARNI
(penggugat IV) yang masing-masing lahir sebelum GUNAWAN dan
tergugat IV resmi melangsungkan perceraian;
a. Bahwa para tergugat I, II, dan III adalah anak luar kawin dari pasangan
almarhum GUNAWAN dan TJOA NIO Alias MARNI (penggugat IV)
melangsungkan perkawinan (bukti T-9, T-10, T11 dan T-12 serta P-16b
dan P-16c), maka hal ini menurut Majelis Hakim dan setelah merujuk
ketentuan Pasal 281 KUHPerdata, di mana anak luar kawin yang diakui,
dipersamakan dengan anak sah.
b. Bahwa oleh akta-akta produk tergugat V, VI dan VII dinyatakan batal demi
hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum beralasan untuk
dikabulkan;
Bahwa oleh Majelis Hakim telah menetapkan bahwa para penggugat
dan tergugat I, II, III bersama-sama sebagai ahli waris yang berhak mewaris
harta warisan Almarhum GUNAWAN atau YAP RINGGIT NIO Alias RINI
YAKUP atau GOUW NONA Alias NONA Majelis Hakim menetapkan agar
harta warisan tersebut dibagi berdasarkan kepatutan dan keadilan dengan
pembagian yang sama antara para penggugat dengan tergugat I, II, dan III,
mengingat sekalipun tergugat I, II, dan III anak luar nikah yang diakui, namun
secara emosional dan historis hubungan individual kekeluargaan
Majelis
Hakim memandang tergugat I, II, dan III lebih dekat bahkan selama hampir
30 (tiga puluh) tahun justru tergugat I, II, dan III hidup bersama-sama dalam
suka dan duka dengan Almarhum GUNAWAN atau YAP RINGGIT NIO Alias
RINI YAKUP atau GOUW NONA Alias NONA.
Pertimbangan hakim dalam perkara pokok gugatan penggugat dalam
rekonpensi ditolak, maka terhadap penggugat rekonpensi haruslah di hukum
untuk membayar dikabulkan sebagian dan dalam pokok perkara :
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bekasi pada hari : SELASA, tanggal
22 April 2008 oleh kami H. SUHARTOYO, SH. MH selaku Ketua
Majelis SUYADI, SH dan AROZIDUHU WARUWU, SH, masing-masing
selaku Hakim Anggota putusan mana diucapkan pada hari : Selasa,
Tanggal 29 April 2008 dalam sidang yang terbuka untuk umum oleh
Hakim Ketua Majelis tersebut dihadiri oleh hakim-hakim
dibantu
oleh
MEI
IRIANTINI,
S.H,
M.H.,
Panitera
anggota
Pengganti
Pengadilan Negeri Bekasi dan dihadiri oleh Kuasa tergugat I, II, III, dan
IV dan tergugat V, tergugat VII dan tanpa dihadiri Kuasa Para
Penggugat, tergugat VI, VIII, dan IX;
Memperhatikan
pasal-pasal
dari
undang-undang
yang
bersangkutan :
1. Mengabulkan gugatan para penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan para penggugat adalah ahli waris dari almarhum YAP
RINGGIT NIO Alias RINI YAKUP Almarhum GUNAWAN Alias
GOUW KANG KIM Almahum GOUW NONA bersama-sama dengan
tergugat I, II, dan III.
3. Menyatakan tergugat I, II, dan III telah melakukan perbuatan
melawan hukum;
4. Menyatakan Akta Keterangan Waris (bukti P-7) yang dibuat tergugat
V, Akta Pembagian Harta Bersama (bukti P-8, bukti P-9, bukti P-10).
(Pada kasus ini dibatasi mengenai obyek dan subyek penelitian).
5. Menyatakan Sertipikat Hak Milik (bukti 8a, bukti 9a, bukti 10a) tidak
mempunyai kekuatan hukum.
6. Menghukum tergugat I, II, dan III untuk bersama-sama dengan
penggugat membagi harta warisan masing-masing mendapatkan 1/5
(satu perlima) bagian, terhadap harta warisan sebagai berikut :
a. Sebidang tanah dan bangunan (bukti 8a, bukti 9a, bukti 10a)
b. Sebidang tanah (bukti 13-a);
c. Sebidang tanah (bukti 14-a);
d. Sebidang tanah (bukti 15-a);
e. Sebidang tanah (bukti T-28).
Dengan ketentuan apabila pembagian tersebut secara teknis
menemui kesulitan, maka harta warisan tersebut di jual lelang
serta para penggugat masing-masing mendapatkan 1/5 (satu
perlima) bagian, setelah dipotong biaya pajak-pajak dan biayabiaya lain yang diperlukan;
7. Menghukum tergugat VII dan IX untuk tunduk dan mentaati isi
putusan.
8. Menolak gugatan penggugat selain dan selebihnya;
Para pihak yang bersengketa pada tanggal 11-12-2008 bersepakat
untuk membuat akta perdamaian yang dituangkan dan di buat oleh
notaris dengan akta notaris nomor 014, yang berisi :
a. Bahwa dengan menyampingkan bunyi Putusan Pengadilan Negeri
Bekasi nomor 305/Pdt.G/2007/PN.Bks tanggal 29 April 2008
tersebut
diatas
dan
atas
kesepakatan
para
penghadap
menerangkan hendak mengakhiri persengketaan dalam perkara
yang masih berjalan dalam proses Banding di Pengadilan Tinggi
Bandung, para penghadap telah sepakat untuk dan dengan ini
mengadakan perdamaian sebagai berikut :
Bahwa para penghadap sepakat melakukan pembagian atas
harta
peninggalan
tersebut
dalam
pasal
ini
mengenyampingkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi
Nomor : 305/Pdt.G/2007/PN.Bks. menjadi sebagai berikut :
a.
GUSTAMAN dan SELVI berupa :
-Sebagian
dari
sebidang
tanah
Hak
Milik
Nomor
2173/Margajaya, seluas 530 M2;
-Sebagian
dari
sebidang
tanah
hak
milik
nomor
:
2172/Margajaya, seluas 530 M2;
-Sebidang tanah sertipikat Hak milik nomor 17/Kedung Jaya,
seluas 22.415 M2;
-sebidang tanah hak milik nomor 01691/kedung Pengawas,
seluas 15.978 M2;
b. HERWAN SANTOSO, Sarjana Sosial :
- sebagian dari sebidang tanah sertipikat hak milik nomor
2174/Margajaya, seluas 443 M2;
c. HERU GUNAWAN
-Sebagian dari sebidang tanah sertipikat hak milik nomor
2172/Margajaya, seluas 176 M2;
d. MULYADI,
-
Sebagian
dari
sebidang
tanah
sertipikat
nomor
2173/Margajaya, seluas 176 M2;
e. HERWAN SANTOSO, HERU GUNAWAN, dan MULYADI,
- Sebidang tanah bekas hak milik adat dengan girik persil nomor
C 415/Kampung Kedaung seluas 20.000 M2;
- Sebidang tanah sertipikat hak milik nomor 01823/Kedung
Pengawas seluas 2.829 M2;
Dengan telah terjadinya kesepakatan mengenai pemisahan
dan pembagian harta peninggalan dari almarhum YAP RINGGIT
NIO alias RINI YAKUP, almarhum GUNAWAN alias GOUW KANG
KIM, almarhum GOUW NONA alia NONA tersebut diatas, maka
para
penghadap
yang
satu
terhadap
yang
lainnya
saling
mengikatkan diri untuk menyatakan tidak mempunyai tuntutan
hukum lagi dan dengan ini saling memberikan pengesahan dan
pembebasan satu terhadap yang lainnya.
B. Pembahasan
1. Akibat
hukum
dari
akta
perdamaian
yang
isinya
menyampingkan putusan pengadilan.
Perjanjian perdamaian pada hakekatnya merupakan salah satu
proses lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada
para
pihak
yang
bersengketa
untuk
memperoleh
keadilan
atau
penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi. Ada
beberapa alasan mengapa perjanjian damai sebagai salah satu
penyelesaian perkara perdata nomor 305/Pdt.G/2007/Bks, yaitu :
a. Faktor teknis dalam melaksanakan putusan Majelis Hakim menemui
kesulitan dilapangan dan para pihak tidak menginginkan harta
warisan tersebut di jual lelang dimuka umum.
b. Faktor para pihak yang keberatan atas biaya-biaya yang akan
dikeluarkan untuk pengurusan peralihan hak dan pemecahan
sertitipikat dan biaya pajak-pajak yang harus dikeluarkan masingmasing pihak.
c. Faktor ekonomis, dimana perjanjian damai memiliki potensi sebagai
sarana untuk menyelesaikan sengketa yang lebih ekonomis, baik
biaya maupun dari waktu.
d. Faktor ruang lingkup yang dibahas, perjanjian damai pada hakikatnya
memiliki kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara
lebih luasa, dan fleksibel.
e. Faktor pembinaan hubungan baik, di mana perjanjian damai yang
mengutamakan cara-cara penyelesaian yang kooperatif sangat
sesuai
dengan
pihak-pihak
yang
mendahulukan
pentingnya
hubungan baik antara mereka, baik untuk sekarang maupun masa
yang akan datang.
Hukum perdata yang berlaku di Indonesia mengakui adanya
kebebasan berkontrak, hal ini di simpulkan dari ketentuan kebebasan
berkontrak, hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa semua
kontrak
(perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi yang membuatnya.
Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu,
sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa suatu kebebasan individu
memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. Sifat Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang bersifat terbuka mempunyai arti
bahwa para pihak dapat membuat perjanjian yang belum diatur secara
konkrit, namun tetap sesuai dengan asas dan syarat dari perjanjian yang
sah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dengan kata lain
dibolehkan mengesampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam
buku ketiga.
Buku ketiga hanya bersifat pelengkap (aanvullend recht), bukan
hukum keras atau hukum yang memaksa. Kontrak yang terjadi
merupakan suatu bentuk kesepakatan antara kedua belah pihak terhadap
suatu perjanjian yang telah ada, di mana kesepakatan terhadap kontrak
tersebut menimbulkan keterikatan antar para pihaknya, sehingga dengan
hal tersebut, maka asas kebebasan berkontrak sangat tampak dalam
Akta Perdamaian.
Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan
isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan “dengan siapa”
perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal
1320 KUHPerdata ini mempunyai kekuatan mengikat, sehingga dengan
adanya asas kebebasan berkontrak serta bebas untuk menentukan isi
dari kontrak yang disepakati yang pada asas konsensualisme menurut
hukum
perjanjian
Indonesia
memantapkan
adanya
kebebasan
berkontrak.
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338
KUHPerdata, dalam ketentuan Pasal 1338 ditemukan istilah “semua”
yang menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk
menyatakan keinginannya (will), yang disarannya baik untuk menciptakan
perjanjian.
Konsensual artinya perjanjian itu terjadi atau ada sejak terjadinya
kata sepakat antara para pihak, dapat diartikan bahwa perjanjian tersebut
sah dan mempunyai akibat hukum sejak terjadinya kesepakatan antara
para pihak mengenai isi dari perjanjian yang dimaksudkan. Pasal 1320
KUHPerdata menyebutkan kata sepakat merupakan salah satu syarat
sahnya suatu perjanjian, sehingga antara para pihak haruslah sepakat
melakukan suatu perjanjian.
Kesepakatan dalam suatu perjanjian akan menimbulkan adanya
akibat hukum berupa hak dan kewajiban antara para pihak, kata sepakat
ini dapat terjadi secara lisan maka perbuatan tersebut diakui oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan perjanjian tertulis sesuai yang
dikehendaki oleh para pihak yang dapat dijadikan alat bukti.
Menurut ketentuan Pasal 1315 jo. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
bahwa suatu
perjanjian hanya
membuatnya,
bukan
kepada
berlaku
pihak
antara
ketiga
pihak-pihak yang
kecuali
para
pihak
menghendakinya. Namum demikian, ketentuan tersebut tidak berlaku
untuk ahli waris para pihak yang membuatnya. Artinya bahwa suatu
perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya namun
tetap berlaku bagi ahli warisnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata.
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”.
Menurut Pasal 1862 KUHPerdata suatu persetujuan mengenai
sengketa yang sudah berakhir berdasarkan putusan pengadilan namun
hal itu tidak disadari oleh para pihak atau salah satu dari mereka
mengakibatkan persetujuan itu batal, oleh karena itu penetapan akta
perdamaian yang bersumber dari persetujuan yang demikian dapat
diajukan pembatalannya 49
Akta perdamaian yang dibuat oleh para pihak untuk menyelesaikan
perselisihan tersebut yang di putus oleh pengadilan Bekasi dengan nomor
Putusan
Perkara
Perdata
nomor
305/Pdt.G/2007/Bks
merupakan
perjanjian pada umumnya yang mengikat pada buku III KUHPerdata
tentang obligatoir yang tidak terikat pada Pasal 130 H.I.R Jo. PERMA
Nomor 1 Tahun 2008.
Pasal 130 HIR mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa
secara damai. Pasal 130 HIR berbunyi : “Jika pada hari yang ditentukan
itu kedua belah pihak datang maka pengadilan negeri dengan
pertolongan ketua mencoba mendamaikan mereka “
49
M.Yahya Harahap. Op. Cit. hlm. 278 Akta perdamaian yang dibuat sesuai dengan Pasal 130 HIR ayat (3)
putusan akta perdamaian itu tidak dapat di banding dengan kata lain
terhadap putusan tersebut tertutup upaya hukum banding dan kasasi hal
itupun ditegaskan dalam Putusan MA nomor 1038 K/Sip/1973 bahwa
terhadap putusan perdamaian tidak mungkin diajukan
permohonan
banding.
Syarat Formal Upaya Perdamaian :
a. Adanya persetujuan kedua belah pihak
Dalam usaha melaksanakan perdamaian yang dilakukan oleh majelis
hakim dalam persidangan, kedua belah pihak harus bersepekat dan
menyetujui dengan suka rela untuk mengakhiri perselisihan yang
sedang berlangsung. Persetujuan itu harus betul-betul murni datang
dari kedua belah pihak. Persetujuan yang memenuhi syarat formil
adalah sebagai berikut :
1) Adanya kata sepakat secara sukarela (toestemming);
2) Kedua belah pihak cakap membuat persetujuan (bekwanneid)
3) Obyek persetujuan mengenai pokok yang tertentu (bapaalde
onderwerp);
4) Berdasarkan alasan yang diperbolehkan (georrlosofde oorzaak).
b. Mengakhiri Sengketa
Apabila perdamaian telah dapat dilaksanakan maka dibuat putusan
perdamaian yang lazim disebut dengan akta perdamaian. Putusan
perdamaian yang dibuat dalam majelis hakim harus betul-betul
mengakhiri sengketa yang sedang terjadi diantara pihak-pihak yang
berperkara secara tuntas. Putusan perdamaian hendaknya meliputi
keseluruhan sengketa yang diperkarakan, hal ini dimaksudkan untuk
mencegah timbulnya perkara lagi dengan masalah yang sama.
c. Mengenai Sengketa Yang Telah Ada
Syarat untuk dijadikan dasar putusan perdamaian itu hendaknya
persengketaan para pihak sudah terjadi, baik yang sudah terwujud
maupun yang sudah nyata terwujud tetapi baru akan diajukan ke
pengadilan sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak
mencegah terjadinya perkara di siding pengadilan.
d. Bentuk Perdamaian Harus Tertulis
Persetujuan perdamaian itu sah apabila dibuat secara tertulis, syarat
ini bersifat imperative (memaksa), jadi tidak ada persetujuan
perdamaian apabila dilaksanakan dengan cara lisan dihadapan
pejabat yang berwenang. Jadi akta perdamaian harus dibuat secara
tertulis sesuai dengan format yang telah ditetapkan oleh ketentuan
yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 154 RBG/130 HIR putusan perdamaian
merupakan suatu putusan tertinggi oleh karena itu tidak ada upaya
banding dan kasasi terhadapnya, Putusan akta perdamaian dengan
sendirinya melekat kekuatan eksekutorial sebagaimana layaknya putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, akta perdamaian yang di buat
oleh para pihak dengan menyampingkan isi dari putusan pengadilan tidak
masuk dalam kategori akta perdamaian menurut Pasal 130 HIR meski
syarat-syarat
sahnya
perjanjian
menurut
ketentuan
Pasal
1320
KUHPerdata
dipenuhi,
hal
yang
demikian
mengakibatkan
akta
perdamaian yang dibuat para pihak tidak memiliki kekuatan hukum tetap,
sehingga masih dimungkinkan untuk dapat melakukan upaya hukum lain.
akta perdamaian yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa dengan
tidak
memenuhi
ketentuan
Pasal
130
HIR
dapat
dimintakan
pembatalannya.
“Para pihak yang menyelesaikan sendiri lebih dahulu kesepakatan
tanpa campur tangan hakim.selanjutnya kesepakatan perdamaian
itu diminta kepada hakim untuk di tuangkan dalam bentuk akta
perdamaian. Dengan demikian, tampak jelas terhadap perdamaian
yang disepakati para pihak yang berperkara, intervensi hakim
sangat kecil, hanya berupa pembuatan akta perdamaian yang
dijatuhkan sebagai putusan pengadilan yang berisi amar
menghukum para pihak untuk mentaati dan memenuhi isi
perdamaian.”
Berdasarkan hal tersebut akta perdamaian yang dibuat oleh para
pihak yang bersengketa tanpa meminta kepada hakim agar perdamaian
yang dilakukan oleh para pihak tersebut dituangkan ke dalam akta
perdamaian yang di buat oleh hakim, karena apabila akta perdamaian
tersebut tidak dibuat melalui Majilis Hakim hanya berlaku sebagai akta
biasa yang sifatnya hanya mengikat para pihak serta tidak mempunyai
kekuatan eksekutorial dan apabila timbul persengketaan diantara para
pihak yang bersengketa menyangkut isi akta perdamaian yang dibuat
oleh pejabat lain atau notaris mengakibatkan para pihak dapat
memintakan pembatalan akta perdamaian dan melanjutkan kembali
upaya hukum banding atau kasasi, maupun peninjauan kembali.
Waktu pembuatan akta perdamaian, hakim harus sesuai dengan
PERMA No. 1 Tahun 2008 Pasal 22, upaya perdamaian berlangsung
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak penyampaian kehendak
tertulis para pihak diterima Ketua Pengadilan Tingkat Pertama. Upaya
perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilaksanakan di
pengadilan yang mengadili perkara tersebut di tingkat pertama atau di
tempat lain atas persetujuan para pihak. Jika para pihak menghendaki
mediator, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan
menunjuk seorang hakim atau lebih untuk menjadi mediator. Mediator
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), tidak boleh berasal dari Majelis
Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan pada Pengadilan
Tingkat Pertama, terkecuali tidak ada hakim lain pada Pengadilan Tingkat
Pertama tersebut. Para pihak melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama
dapat mengajukan kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada
majelis hakim tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali untuk
dikuatkan
dalam
bentuk
akta
perdamaian.
Akta
perdamaian
ditandatangani oleh majelis hakim banding, kasasi, atau peninjauan
kembali dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
dicatat dalam register induk perkara. Jika para pihak mencapai
kesepakatan perdamaian yang telah diteliti oleh Ketua Pengadilan
Tingkat Pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Tingkat
Pertama dan para pihak menginginkan perdamaian tersebut dikuatkan
dalam bentuk akta perdamaian, berkas dan kesepakatan perdamaian
tersebut dikirimkan ke pengadilan tingkat banding atau Mahkamah
Agung.50
2. Akibat Hukum Putusan Pengadilan Yang Dikesampingkan Oleh
Akta Perdamaian.
Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap pada dasarnya sudah dapat dilaksanakan atas pelaksanaan
eksekusinya sesuai dengan isi amar putusan. Namun dalam
menyelesaikan sengketa tersebut para pihak malah menempuh
jalan
lain
diluar
isi
putusan
pengadilan
tersebut
untuk
menyelesaikan sengketa secara damai diantara mereka, dengan
membuat akta perdamaian yang di buat oleh pejabat lain yakni
Notaris dengan alasan karena pelaksanaan atas eksekusi isi amar
putusan pengadilan sulit untuk dipenuhi oleh para pihak sehingga
para pihak menyampingkan sebagian isi amar putusan pengadilan
dengan cara membuat akta perdamaian secara Notarial. Akibat
hukumnya, akta perdamaian yang dibuat diluar pengadilan tidak
mempunyai kekuatan eksekutorial, apabila salah satu pihak
wanprestasi. karena akta perdamaian tersebut tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 130 HIR. Sebaliknya isi Putusan Pengadilan tetap
mengikat para pihak untuk dilaksanakan dan ditaati oleh para pihak
yang bersengketa, apabila salah satu pihak tidak mengajukan
banding atas isi putusan pengadilan tersebut.
50
PERMA No.1/2008 Menurut Apeldoorn bahwa tujuan hukum adalah “mengatur
pergaulan hidup secara damai”. Sehingga dapat diketahui bahwa
fungsi dari hukum acara perdata adalah :
a. Untuk melindungi hak dan kepentingan, dengan jalan orang
yang dirugikan dapat menuntut di muka pengadilan apabila
terjadi pelanggaran terhadapnya.
b. Menegakkan
hukum
materiil
dengan
cara
memaksa
ketaatan.
c. Memberi jalan atau cara menyelesaikan sengketa atau
perselisihan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang peneliti kemukakan di atas, akhirnya
penelitian ini sampai pada kesimpulan sebagai berikut :
1. Akibat hukum dari akta perdamaian yang isinya menyampingkan
putusan pengadilan.
Akta perjanjian perdamaian yang dibuat oleh para pihak
dihadapan notaris dalam kasus ini merupakan bentuk perjanjian pada
umumnya, menurut Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, di mana isi yang dituangkan dalam perjanjian dibuat
berdasarkan atas kesepakatan para pihak, sehingga berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan suatu
perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan
kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu.
2. Akibat hukum putusan pengadilan yang dikesampingkan
oleh akta perdamaian.
Bahwa dengan adanya perjanjian perdamaian setelah adanya
putusan
yang
mempunyai
kekuatan
hukum
tetap
tidak
menggugurkan putusan tersebut, sehingga apabila isi putusan
tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, pihak yang
lain tetap dapat meminta eksekusi (pelaksana putusan) kepada
pengadilan yang bersangkutan.
B.
Saran
Saran yang disampaikan penulis dalam penelitian adalah sebagai
berikut :
1. Hendaknya para pihak dalam sengketa ini dalam membuat akta
perjanjian perdamaian dibuatkan oleh hakim agar mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan memiliki kekuatan eksekutorial.
2. Hendaknya para pihak apabila pembuatan akta perjanjian perdamaian
di buat oleh para pihak, upaya perdamaian dengan bantuan seorang
mediator. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak
dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian;
3. Hendaknya para pihak penggugat dan tergugat dalam kasus ini
memenuhi kewajibannya masing-masing dengan itikad baik dan
menjalankan kesepakatan yang sudah mereka sepakati sehingga
nantinya tidak akan menimbulkan sengketa baru diantara para pihak.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung;
Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris
Sebagai pejabat Publik, PT Refika Aditama, Bandung;
J. Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, Citra aditya Bakti, Bandung;
Mariam Darus Badrulzaman, 2009, KUHPerdata Buku III, Alumni,
Bandung;
Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remi Sjahdeini, Heru Soeprapto,
H. Faturrahman Djamil, Taryana Soenandar, 2001, Kompilasi
Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung;
Mochammad Djais dan RMJ.Koosmargono, 2008, Membaca dan
Mengerti HIR, Badan Penerbit, Universitas Diponegoro,
Semarang;
M. Yahya Harahap, 1996, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni,
Bandung;
________, 2008, Hukum Acara Perdata, cet.8, Sinar Grafika, Jakarta;
R. Setiawan, 1978, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Binacipta,
Bandung;
R. Soepomo, 1986, Hukum Acara Pengadilan
Pradnya Paramita, Jakarta;
Negeri, cet.9, PT.
R. Subekti, 1980, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet.15, PT.
Intermasa, Jakarta;
________, 1989, Hukum Acara Perdata, cet.3, Binacipta, Bandung;
________, 1990, Hukum Perjanjian, cet.12, PT. Intermasa, Jakarta;
________, 1999, Aneka Perjanjian, cet. x, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung;
Salim HS. 2003, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di
Indonesia. Buku Kesatu, Sinar Grafika, Jakarta;
Salim HS, 2006, Hukum Kontrak Teori dan Teknis Penyusunan
Kontrak, cet.3, Sinar Grafika, Jakarta;
Setiawan, 1992, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata,
alumni, Bandung;
Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu
Penjelasan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta;
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,
Jakarta;
Sudikno Mertokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi
keenam, Liberty, Yogyakarta;
________, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ketujuh,
Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta;
Sutrisno Hadi, 2000, Metodologi Reseach Jilid I, ANDI, Yogyakarta;
Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat, Serba-serba Praktek Notaris, PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
B. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan
Notaris;
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi Di Pengadilan Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
C. Makalah dan Sumber Lain
Susanto Nogroho, Juni 2003, “Kedudukan dan fungsi akta otentik
(Akta Notaris) Sebagai alat Bukti Dalam Pandangan POLRI,”
Media Notariat XIII;
Wawan Setiawan, Mei 1998, Kedudukan dan Keberadaan serta
Fungsi fan Peranan Notaris sebagai Pejabat umum dan
Pejabat Pembuat Akta Tanah Menurut Sistem Hukum di
Indonesia, Ikatan Notaris Indonesi, Daerah Jawa Timur;
Permohonan peninjauan kembali diajukan terhadap akta perdamaian
hasilprosedurhakim.http://pwppamungkas.wordpress.com./2
010/04/16.
Download