1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia, tidak
terkecuali anak-anak. Tidur dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk
melepaskan kelelahan jasmani dan kelelahan mental, karena pada saat kondisi
istirahat dan tidur, tubuh melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan
stamina tubuh hingga kondisi yang optimal (Asmadi, 2008). Pada usia anak, tidur
merupakan sesuatu yang penting karena dibutuhkan untuk pertumbuhan fisik dan
intelektualnya. Kebutuhan tidur pada anak-anak bervariasi, tergantung tahapan
usianya. Rata-rata anak usia pra sekolah tidur sekitar 12 jam dalam semalam dan
jarang tidur siang, pada anak usia sekolah kebutuhan tidurnya sekitar 9,5 -10 jam
sehari, sedangkan pada usia remaja kebutuhan tidurnya sekitar 8,5 jam sehari
(Wong, 2009). Namun, pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur setiap orang
berbeda, ada yang terpenuhi dengan baik dan ada pula yang mengalami gangguan
dalam pemenuhannya.
Gangguan tidur merupakan masalah yang lazim terjadi pada anak-anak.
Gangguan tidur yang sering dijumpai pada anak diantaranya adalah kesulitan
untuk memulai atau mempertahankan tidur terjadi sekitar 10-20% pada anak usia
8-9 tahun, gangguan tidur yang berhubungan dengan pernapasan terjadi pada
sekitar 1-3% anak usia sekolah, dan mengantuk yang berlebihan disiang hari
1
2
memberikan masalah pada 10% anak usia sekolah (Chervin et al, 2001). Menurut
Owens (2007), beberapa faktor yang mempengaruhi pola tidur dan perilaku pada
anak diantaranya adalah faktor anak (temperamen dan gaya perilaku, kemampuan
kognitif, perkembangan komorbiditas, kondisi medis atau kejiwaan), faktor orang
tua (tipe pola asuh, depresi maternal, stres, tingkat pendidikan orangtua dan
tingkat
pengetahuan
terhadap
perkembangan
anak),
faktor
lingkungan
(lingkungan fisik, komposisi keluarga, gaya hidup dan status sosial ekonomi),
faktor predisposisi yang meliputi faktor instrinsik dan ekstrinsik (misal,
temperamen yang sulit, penyakit kronis, keterlambatan perkembangan), serta
pertimbangan terhadap kebudayaan dan ras etnik. Menurut data Internasional of
sleep disorder, prevalensi penyebab gangguan tidur adalah penyakit asma (6174%), gangguan pusat pernapasan (40-50%), kram kaki malam hari (16%),
psychophysiological (15%), sindroma kaki gelisah (5-15%), ketergantungan
alkohol (10%), sindrom terlambat tidur (5-10%), depresi (65), demensia (5%),
gangguan perubahan jadwal kerja (2-5%), gangguan obstruksi sesak saluran napas
(1-2%), penyakit ulkus peptikus (<1%), dan narkolepsi (mendadak tidur) (0,03%0,16%) (Japardi, 2002).
Gangguan tidur berisiko meningkat pada anak-anak dengan penyakit kronis.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Hysing et al tahun 2006, anak
dengan penyakit kronis lebih banyak dilaporkan mengalami masalah dalam
memulai tidur dan lebih sering terbangun pada malam hari (Hysing et al, 2009).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sivertsen et al tahun 2002 dan 2006, pada
3
295 (7,3%) anak dengan penyakit kronis, dari total 4025 anak didapatkan
prevalensi masalah tidur pada anak dengan penyakit kronis secara signifikan lebih
tinggi dibandingkan pada anak-anak tanpa penyakit kronis (6,8 % dibanding
3,6%) (Sivertsen et al, 2009).
Asma merupakan penyakit kronis tersering pada anak dan masih merupakan
masalah bagi pasien, keluarga dan bahkan para klinisi dan peneliti asma.
Asma telah menjadi epidemi di seluruh dunia, dengan kecenderungan
meningkatnya prevalensi dan derajat penyakit asma (Unit Kerja Koordinasi
Pulmonologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2000). Menurut data epidemiologi
Amerika Serikat, pada saat ini diperkirakan terdapat 4-7% (4,8 juta) anak dari
seluruh populasi asma (Akib, 2002). Prevalensi asma pada anak di Indonesia
sekitar 10% pada usia sekolah dasar, dan sekitar 6,5% pada usia sekolah
menengah pertama (Supriyatno, 2005). Menurut hasil riset kesehatan dasar
Provinsi Jawa Tengah tahun 2007, prevalensi penyakit asma di Jawa Tengah
menurut diagnosis tenaga kesehatan sebesar 1,3% dan secara keseluruhan adalah
3% (Balitbangkes Depkes RI, 2009), dan mengalami peningkatan pada tahun
2013 yaitu menjadi 4,3% (Balitbangkes Kemenkes RI, 2013).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di ruang rekam medis RSUD Prof.
Dr. Margono Soekardjo Purwokerto pada tanggal 30 September 2014, didapatkan
jumlah anak penderita asma yang dirawat inap dari tanggal 1 Januari 2014 – 30
September 2014 sebanyak 45 pasien (Data Rekam Medis RSUD Prof Dr.
Margono Soekardjo Purwokerto, 2014). Data yang diperoleh dari studi
4
pendahuluan yang dilakukan di rekam medis RSUD Banyumas pada tanggal 02
Oktober 2014, diperoleh data pada tahun 2013 jumlah anak penderita asma usia 114 tahun yang tercatat di instalasi rawat jalan sebanyak 257 pasien, sedangkan
yang menjalani rawat inap sebanyak 12 pasien. Data pada tahun 2014 (JanuariJuni 2014) menunjukkan jumlah anak asma usia 1-14 tahun di instalasi rawat
jalan sebanyak 84 pasien dan 1 pasien status asmatikus, sedangkan data dari rawat
inap sebanyak 7 pasien.
Penyakit kronis seperti asma, alergi dan dermatitis atopi dilaporkan dapat
mengganggu tidur (Tanjung & Sekartini, 2004). Beberapa faktor yang diduga
menyebabkan adanya gangguan tidur pada anak asma adalah derajat penyakit
asma, serangan asma di malam hari, status gizi, pemberian medikasi, riwayat
atopi, paparan asap rokok dan kondisi lingkungan (Luyster et al, 2012, Ross et al,
2012, Fagnano et al, 2011, van Maanen et al, 2013, & Yolton et al, 2010). Hasil
penelitian Suwitowati (2007) berdasarkan studi fenomenologis didapatkan hasil
bahwa pemenuhan kebutuhan tidur penderita asma terganggu dengan adanya
serangan asma dan juga oleh karena lingkungan yang gaduh, udara dingin dan
stress.
Pasien dengan asma mempunyai tingkat penyakit dari ringan sampai berat.
Tingkat asma yang bervariasi ini berdampak pada kualitas tidur pada anak asma.
Hasil penelitian Yuksel et al (2007), menyimpulkan bahwa tingkat keparahan
asma berhubungan dengan kualitas tidur anak dengan asma. Adanya serangan
tengah malam pada penderita asma diduga yang menyebabkan tidur terganggu
5
(Amir, 2007). Tingkat keterbatasan aliran udara pada pasien asma bervariasi
sehingga gejala klinis yang muncul seperti batuk, mengi, dan sesak napas juga
akan bervariasi (Imelda et al, 2007). Gejala asma yang memburuk di malam hari
pada penderita asma akan membuat anak sering terbangun di malam hari sehingga
mengganggu tidur anak. Hasil penelitian van Maanen et al (2013) menemukan
bahwa sekitar 46.9% anak dengan gejala asma yang sering mengalami terbangun
di malam hari dan 5.2% hampir selalu terbangun saat malam hari. Penelitian
Fagnano et al (2011), didapatkan hasil bahwa anak-anak dengan gejala serangan
asma pada malam hari yang lebih menunjukkan skor tidur yang buruk
dibandingkan dengan gejala serangan malam yang ringan, serta beberapa subskala
seperti terbangun di malam hari, parasomnia, dan gangguan pernapasan saat tidur
(semua p<0.03). Pada kasus asma yang berat tidak dipungkiri dapat membuat
anak mengalami hospitalisasi, dan ketika seseorang dirawat di rumah sakit dapat
memicu terjadinya gangguan dalam tidur dikarenakan adanya sakit fisik atau
emosional, kehilangan lingkungan yang akrab dengannya, kehilangan rutinitas,
ketakutan, pemberian prosedur perawatan dan pengobatan, tingkat kebisingan,
dan juga kehilangan privasi. Hasil penelitian Park et al ( 2014) menunjukkan
bahwa suara/tingkat kebisingan merupakan faktor yang paling signifikan
mengganggu tidur pasien. Tingkat kebisingan yang tinggi dihubungkan dengan
penggunaan obat anastesi yang mana dapat memperpanjang durasi hospitalisasi.
Kebisingan juga dapat meningkatkan produksi angiotensin II dalam darah dan
meningkatkan risiko stroke, meningkatkan kolesterol dan trigliserid, memicu
6
elevasi tekanan darah dan nadi, meningkatkan tegangan otot, berkeringat,
kontraksi pembuluh darah perifer dan gangguan pendengaran. Selain itu,
hospitalisasi juga berkaitan dengan pengobatan yang terkadang pemberiannya di
malam hari saat pasien seharusnya beristirahat. Pada pasien asma ada yang
mendapatkan pengobatan dari golongan kortikosteroid, dimana kortikosteroid ini
mempunyai efek terhadap tidur (Lewandowski et al, 2011).
Peningkatan Indeks Masa Tubuh (IMT) yaitu ketika anak mengalami
overweight atau obesitas juga diduga meningkatkan risiko gejala asma dengan
cara meningkatkan napas atau peradangan sistemik (Lessard et al 2008 dan Shore
et al 2007 dalam Sutherland et al, 2009) atau dengan secara langsung
menyebabkan penurunan fisiologis (hiperesponsif bronkus) dengan mengurangi
ukuran/kaliber saluran napas (van Aalderen, 2012), sehingga akan menyebabkan
obstruksi pada jalan napas dan munculnya gejala asma seperti wheezing, batuk,
sesak napas dan dada sesak yang akan mengganggu kualitas tidur anak. Selain itu,
peningkatan IMT dikaitkan dengan penurunan moderat efek terapeutik dari
regimen pengobatan ICS (Inhaled corticosteroid) berkaitan dengan indeks
peradangan saluran napas dan fungsi paru (Sutherland et al, 2009). Selain itu,
kebersihan tidur yang buruk dapat mengganggu kualitas tidur, hal ini dikarenakan
ketika anak mempraktikkan kebersihan tidur yang buruk seperti tidur terlambat,
menonton televisi sampai tengah malam, konsumsi makanan atau minuman yang
mengandung kafein menjelang tidur tentunya akan membuat anak kualitas
tidurnya tidak tercukupi. Kualitas tidur yang baik dapat dilihat sebagai integrasi
7
antara pola tidur dan bangun yang dapat memenuhi kebutuhan tidurnya
(LeBourgeois et al, 2005).
Teman tidur, usia, dan jenis kelamin juga menjadi faktor risiko terganggunya
kualitas tidur. Hasil penelitian cross-sectional yang dilakukan oleh Li et al (2008)
didapatkan hasil bahwa co-sleeping berhubungan dengan beberapa jenis gangguan
tidur yaitu resistensi tidur, kecemasan saat tidur, terbangun di malam hari,
parasomnia, gangguan pernapasan saat tidur, dan mengantuk di siang hari. Dari ke
6 gangguan tidur tersebut, resistensi tidur dan kecemasan saat tidur yang paling
berhubungan dengan praktik berbagi kamar tidur atau kasur. Adanya teman tidur
ini diduga memberikan efek negatif terhadap kebersihan tidur (sleep hygiene)
pada anak. Hasil penelitian Camhi et al (2000), menunjukkan bahwa faktor risiko
dari kesulitan memulai dan mempertahankan tidur adalah jenis kelamin
perempuan, usia 11-14 tahun dan munculnya wheezing, sedangkan faktor risiko
dari tidur yang berlebihan di siang hari adalah karena batuk dan produksi sputum,
dimana batuk dan produksi sputum juga merupakan faktor risiko untuk mengorok
pada anak laki-laki usia 3-6 tahun. Prevalensi insomnia pada perempuan dimulai
dari masa remajanya, dimana terjadi perkembangan fisik dan psikologis yang
salah satunya adalah munculnya menstruasi dan biasanya di rentang usia 11-14
tahun. Adanya siklus menstruasi inilah yang diduga berhubungan dengan
munculnya gangguan tidur yaitu latensi onset tidur dan seringnya terbangun
dimalam hari, sedangkan mengorok pada anak laki-laki usia 3-6 tahun diduga
dikarenakan adanya adenotonsillar hypertrophy yang terjadi diusia tersebut.
8
Adanya gangguan dalam kualitas tidur pada anak dengan asma tentunya akan
memberikan dampak terhadap kehidupannya. Penelitian Daniel et al (2012)
menyebutkan bahwa tingginya laporan adanya tidur yang kurang pada pasien
asma berhubungan dengan seringnya anak tidak masuk sekolah, aktivitas menjadi
terbatas, dan rendahnya kualitas hidup. Asma yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan mengantuk di siang hari pada anak dengan asma (Li et al,2013).
Gangguan tidur yang tidak segera diatasi, memberikan konsekuensi yang
merugikan di siang hari dan menempatkan anak-anak untuk memperoleh risiko
kesehatan yang buruk (Lewandowski, 2011), sehingga dapat disimpulkan bahwa
kualitas tidur yang baik berhubungan erat dengan kesejahteraan seorang anak.
Kualitas tidur yang kurang baik dapat mengakibatkan berbagai masalah
diantaranya memiliki dampak negatif terhadap mood dan perilaku, gangguan
tidur laten pada beberapa kasus dapat bermanifestasi sebagai gejala psikiatrik
(Tanjung dan Sekartini, 2004), hiperaktivitas dan masalah emosional (Sivertsen et
al, 2009), gangguan pertumbuhan, gangguan kardiovaskular, fungsi kognitif dan
perilaku sehari-hari (Cervin et al, 2001). Oleh karena itu, adanya masalah tidur
pada anak asma beserta dampak yang ditimbulkan perlu digarisbawahi terhadap
pentingnya deteksi dini, peningkatan kewaspadaan dan pengembangan strategi
pengobatan yang tepat.
9
B. Rumusan Masalah Penelitian
Asma merupakan penyakit kronis tersering pada anak dan masih merupakan
masalah bagi pasien, keluarga dan bahkan para klinisi dan peneliti asma.
Asma telah menjadi epidemi di seluruh dunia, dengan kecenderungan
meningkatnya prevalensi dan derajat penyakit asma (Unit Kerja Koordinasi
Pulmonologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2000). Asma dianggap sebagai
penyebab kelima kematian di seluruh dunia dengan kisaran prevalensi sebesar 530% (Oemiati et al, 2010). Prevalensi gangguan tidur pada anak penderita asma
sebesar 60 % (Owens, 2007). Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan adanya
gangguan tidur yang dialami anak dengan asma diantaranya adalah mengantuk di
siang hari yang berlebihan, gangguan pernapasan saat tidur, apnea tidur obstruktif,
dan sering terbangun dimalam hari (Calhoun et al, 2011, Ross et al, 2012,
Kheirandish-Gozal et al, 2011, & Kozyrskyj et al, 2009).
Mekanisme patofisiologi yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan tidur
pada pasien asma adalah memburuknya gejala asma pada malam hari yang
dikaitkan dengan perubahan fisiologis (misal inflamasi dan resistensi jalan napas,
episode batuk, wheezing, napas pendek, bersihan mukosiliaris, dan volume paru
bawah). Adanya eksaserbasi pada malam hari berhubungan dengan variasi
sirkardian pada fungsi paru (Lewandowski et al, 2011). Gangguan tidur yang
dialami oleh anak dengan asma memberikan dampak pada kehidupan anak
tersebut dan juga berdampak pada rendahnya kualitas hidup anak (Li et al, 2013,
Calhoun et al, 2011,
& Diette et al, 2000). Beberapa faktor yang diduga
10
menyebabkan adanya gangguan tidur pada anak asma adalah derajat penyakit
asma, serangan asma di malam hari, status gizi, pemberian medikasi, riwayat
atopi, paparan asap rokok dan kondisi lingkungan (Luyster et al, 2012, Ross et al,
2012, Fagnano et al, 2011, van Maanen et al, 2013, & Yolton et al, 2010),
sedangkan
menurut
penelitian
Suwitowati
(2007)
berdasarkan
studi
fenomenologis didapatkan hasil bahwa pemenuhan kebutuhan tidur penderita
asma terganggu dengan adanya serangan asma dan juga oleh karena lingkungan
yang gaduh, udara dingin dan stres. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah faktor apa sajakah yang berhubungan dengan kualitas tidur
pada anak dengan asma?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk menganalisis faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur pada anak
dengan asma
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi proporsi kualitas tidur pada anak asma
b. Menganalisis hubungan tingkat keparahan asma dengan kualitas tidur pada
anak dengan asma
c. Menganalisis hubungan faktor lain (status gizi (IMT), kebersihan tidur
(sleep hygiene), teman tidur/co-sleeping, riwayat hospitalisasi, usia dan
jenis kelamin) dengan kualitas tidur pada anak dengan asma
11
d. Menganalisis faktor yang paling dominan berhubungan dengan kualitas
tidur pada anak dengan asma
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pelayanan Kesehatan dan Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait kualitas tidur
yang dialami oleh anak yang menderita penyakit asma serta faktor yang
berhubungan, sehingga informasi tersebut dapat digunakan untuk menyusun
program dalam rangka deteksi dini, peningkatan kewaspadaan dan
pengembangan penatalaksanaan yang tepat untuk mengurangi gangguan tidur
pada anak dengan asma serta pemberian asuhan keperawatan yang
komprehensif terhadap kualitas tidur pasien dengan asma.
2. Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam rangka
pengembangan ilmu pengetahuan tentang kualitas tidur, jenis gangguan tidur
yang dialami dan faktor yang mempengaruhi kualitas tidur anak yang
menderita asma.
3. Bagi Bidang Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data awal untuk
penelitian selanjutnya mengenai kualitas tidur pada anak asma.
12
E. Keaslian Penelitian
No
1
Nama Peneliti,
Tahun
Daniel et al,
(2012)
Judul Penelitian &
Tujuan Penelitian
Missed
Sleep
and
Asthma Morbidity in
Urban Children
Tujuan
penelitian:
untuk
mengetahui
hubungan kehilangan
tidur, kualitas hidup
terkait asma dengan
indikator
morbiditas
asma
pada
anak
perkotaan dengan asma
dari ras Latin, AfrikaAmerika, dan non
Latin.
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Penelitian
melibatkan
orangtua dari 147 anak
dengan kriteria inklusi
meliputi anak usia 6-13
tahun dengan diagnosa
asma dari dokter, masalah
pernapasan pada anak
dalam 12 bulan terakhir,
mendapatkan pengobatan
asma,
hidup
dalam
lingkungan
perkotaan.
Orangtua diminta untuk
melengkapi
kuesioner
morbiditas
asma
dan
kehilangan tidur, kualitas
hidup
orangtua,
dan
perilaku anak. Analisis
statistik yang digunakan
adalah pearson correlation,
one way anova, regresi
linier, dan regresi logistik.
Tingginya
laporan
terhadap kehilangan
tidur
berhubungan
dengan
seringnya
absen
sekolah,
pembatasan aktivitas,
dan rendahnya kualitas
hidup.
Hubungan
antara kehilangan tidur
dengan
morbiditas
asma lebih kuat pada
anak
Latin
dibandingkan
anak
non Latin dan anak
Afrika-Amerika.
Hubungan kehilangan
tidur
dengan
morbiditas asma pada
anak
dengan
kecemasan tinggi lebih
kuat
dibandingkan
yang kecemasannya
rendah.
Persamaan
Perbedaan
Persamaan
pada
subyek penelitian
yaitu anak dengan
asma usia sekolah
Perbedaan terdapat
pada variabel yang
akan diteliti yaitu
kualitas tidur dan
faktor-faktor yang
mempengaruhi
kualitas tidur, serta
instrumen
penelitian
yang
akan
digunakan
yaitu
kuesioner
Sleep Disturbances
Scale for Children
(SDSC)
dan
penggunaan buku
harian tidur
13
No
2
Nama Peneliti,
Tahun
Yuksel et al,
(2007)
Judul Penelitian &
Tujuan Penelitian
Evaluation of sleep
quality and anxietydepression parameters
in asthmatic children
and their mothers
Tujuan
penelitian:
untuk
mengevaluasi
kualitas tidur pada anak
asma dan status cemasdepresi pada ibunya
Tabel 1.1 Lanjutan
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Penelitian ini melibatkan 75
anak asma (7-16 tahun) dan
kelompok kontrol 46 anak
sehat (7-15 tahun). Kuesioner
PSQI
(Pittsburgh
Sleep
Quality Index) diberikan
kepada anak dan orangtua
dan
kuesioner
HADS
(Hospital
Anxiety
and
Depression Scale) diberikan
kepada ibu. Analisis statistik
yang digunakan adalah t-test
independen dan pearson x2.
Untuk menguji hubungan
digunakan
Pearson
correlations,
sedangkan
untuk perbandingan antara
kelompok asma dan kontrol
digunakan chi square test.
Hasil penelitian ini
menunjukkan nilai
total PSQI pada ibu
kelompok
asma
berhubungan secara
signifikan
dengan
derajat asma pada
anak
(r=0.49,
p=0.00).
Ada
hubungan
antara
skor gejala asma
dengan faktor yang
mengganggu tidur
pada anak dengan
asma
(r=0.34,
p=0.01). Kecemasan
dan depresi pada ibu
kelompok asma pada
kategori
tinggi
(p=0.02).
Kesimpulannya
asma berhubungan
dengan
terganggunya
kualitas tidur pada
anak dan ibu
Persamaan
Perbedaan
Persamaan
terdapat
pada
subyek penelitian
yaitu
anak
dengan asma usia
sekolah
Perbedaan
terdapat
pada variabel yang
akan diteliti yaitu
kualitas tidur dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kualitas tidur, serta
instrumen penelitian
yang akan digunakan
yaitu kuesioner Sleep
Disturbances Scale
for Children (SDSC)
dan penggunaan buku
harian tidur
14
No
3
Nama Peneliti,
Tahun
Janson et al,
(1996)
Judul Penelitian &
Tujuan Penelitian
Increased prevalence of
sleep disturbances and
daytime sleepiness in
subjects with bronchial
asthma: a population
study of young adults in
three
European
countries
Tujuan
penelitian:
untuk
mengetahui
apakah
asma
berhubungan
dengan
kualitas
tidur
dan
peningkatan,
mengantuk di siang
hari
Tabel 1.1 Lanjutan
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Penelitian ini melibatkan
2202 responden yang diambil
secara acak dengan 459
responden dicurigai asma
(20-45 tahun). Pengambilan
data melalui wawancara
terstruktur,
tantangan
melankolin, dan kuesioner
gangguan tidur. selain itu
juga dilakukan perekaman
puncak
aliran
ekspirasi
selama 1 minggu. Analisis
statistik yang digunakan
adalah
Chi-square
test,
unpaired
t-test,spearman
rank correlation, regresi
logistik, dan analisa regresi
linier berganda
Hasil
penelitian
menunjukkan
hubungan
positif
antara asma dengan
kesulitan memulai
tidur (OR: 1,8),
terbangun di awal
pagi (OR: 2.0),
mengantuk di siang
hari
(OR:
1.6),
mengorok (OR: 1.7),
dan
laporan
terjadinya
apnea
(OR: 3.7). Rinitis
alergi berhubungan
dengan
kesulitan
memulai
tidur
(OR:2.0)
dan
mengantuk di siang
hari (OR: 1.3). Ada
hubungan
yang
signifikan
antara
sejumlah
gejala
asma
dengan
gangguan
tidur
(p<0.001)
Persamaan
Perbedaan
Persamaan
terdapat
pada
subyek penelitian
yaitu
anak
dengan asma usia
sekolah,
dan
variabel kualitas
tidur.
Perbedaan
terdapat
pada variabel yang
akan diteliti yaitu
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kualitas tidur, serta
instrumen penelitian
yang akan digunakan
yaitu kuesioner Sleep
Disturbances Scale
for Children (SDSC)
dan penggunaan buku
harian tidur
15
No
4
Nama Peneliti,
Tahun
Kieckhefer et al,
(2008)
Judul Penelitian &
Tujuan Penelitian
Nighttime sleep and
daytime nap patterns in
school age children
with
and
without
asthma
Tujuan
penelitian:
untuk
mengetahui
laporan subyektif dan
obyektif mengenai tidur
siang dan tidur di
malam hari pada anak
asma dan tanpa asma
usia 9-11 tahun
Tabel 1.1 Lanjutan
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Subyek
penelitian
mengumpulkan laporan buku
harian individu dan memakai
aktigrafi untuk mendapatkan
laporan tidur dari 27 anakanak dengan dan tanpa asma
selama 7 hari/ 6 malam
dengan
pemantauan
di
rumah. Pengambilan sampel
dilakukan melalui panggilan
telepon, setelah itu satu paket
informasi tentang penelitian
(buku harian tidur dan
aktigrafi) beserta instruksinya
dikirimkan ke responden.
Orangtua dan anak dihubungi
pada pertengahan minggu
untuk memastikan mereka
paham. Analisis data yang
digunakan adalah two-sided
pearson Chi-square test, dan
t-test analysis.
Hasil
penelitian
menunjukkan 32%
responden
melaporkan adanya
tidur siang. Anak
yang tidur siang
lebih banyak pada
anak dengan asma
(12/27 vs 5/27,
p=0.04) dibanding
yang tidak asma.
Awal tidur pada
anak yang tidur
siang lebih malam
dibanding yang tidak
(jam.23.05 vs 22.21,
p= 0.04). Pada anak
dengan asma juga
mengalami
total
tidur malam yang
lebih
sedikit
dibandingkan
dengan yang tidak
(437
vs
465,
p=0.04).
Persamaan
Perbedaan
Persamaan
terdapat
pada
subyek penelitian
yaitu
anak
dengan asma usia
sekolah,
dan
variabel kualitas
tidur
dan
penggunaan
buku harian tidur
Perbedaan
terdapat
pada variabel yang
akan diteliti yaitu
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kualitas tidur, serta
instrumen penelitian
yang akan digunakan
yaitu kuesioner Sleep
Disturbances Scale
for Children (SDSC)
16
No
5
Nama Peneliti,
Tahun
Van Maanen et
al, (2013)
Judul Penelitian &
Tujuan Penelitian
Sleep in children with
asthma: results of the
PIAMA
(Prevention
and
Incidence
of
Asthma
and
Mite
Allergy) study
Tujuan penelitian:
a. untuk mengetahui
perbedaan
tidur
antara anak dengan
dan tanpa asma
b. untuk mengetahui
perbedaan
tidur
antara anak dengan
gejala asma sering
dan jarang
Tabel 1.1 Lanjutan
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Populasi penelitian ini
terdiri dari anak yang
lahir pada tahun 19961997 yang bergabung
dalam penelitian kohort
PIAMA. Subyek yang
terlibat adalah ibu
hamil dengan alergi
selama kehamilan (50%
ibu hamil, n=4146).
Kuesioner dikirimkan
kepada ibu hamil di 3
bulan setiap tahun dari
usia 1-8 tahun dan 11
tahun. Pada saat berusia
11
tahun
anak
melengkapi kuesioner
sendiri.
Kuesioner
selesai diisi setelah 11
tahun oleh orangtua
dan
anak
dan
mendapatkan data 2529
anak. Analisis data
yang digunakan adalah
analisis regresi.
Anak-anak dengan gejala
asma secara signifikan
lebih sering melaporkan
merasa mengantuk atau
lelah di siang hari (34,4%
mengantuk di siang hari/
kelelahan
setidaknya
sekali seminggu), daripada
anak-anak tanpa gejala
asma (22,2%) dan anakanak dengan gejala asma
jarang (21,9%). Hubungan
ini tidak dikacaukan oleh
jenis kelamin, usia, tingkat
pendidikan orangtua atau
merokok di dalam rumah,
efeknya
juga
tidak
dimodifikasi berdasarkan
jenis kelamin. Tidak ada
huungan antara asma
dengan waktu memulai
tidur, lama tertidur atau
kualitas tidur.
Persamaan
Perbedaan
Persamaan
terdapat
pada
subyek penelitian
yaitu
anak
dengan asma usia
sekolah,
dan
variabel kualitas
tidur
Perbedaan
terdapat
pada variabel yang
akan diteliti yaitu
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kualitas tidur, serta
instrumen penelitian
yang akan digunakan
yaitu kuesioner Sleep
Disturbances Scale
for Children (SDSC)
dan penggunaan buku
harian tidur.
Download